Buku Panduan Praktikum GS PDF
Buku Panduan Praktikum GS PDF
PENDAHULUAN
1.1. Tujuan
a. Mengetahui cara penggambaran simbol struktur bidang dan struktur garis di
peta.
b. Mengetahui gambaran tiga dimensi dari struktur bidang dan struktur garis.
1.3. Definisi
Geologi Struktur :
Adalah suatu ilmu yang mempelajari perihal bentuk arsitektur, struktur kerak bumi
beserta gejala-gejala geologi yang menyebabkan terjadinya perubahan perubahan
bentuk (deformasi) pada batuan. Geologi struktur pada intinya mempelajari struktur
batuan (struktur geologi), yaitu struktur primer dan struktur sekunder. (Bagian
terbesar, terutama mempelajari struktur sekunder ini).
Struktur Primer :
Adalah struktur batuan yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan
batuan. Contoh :
- Pada batuan sedimen:
Perlapisan /laminasi sejajar perlapisan/laminasi silangsiur (cross bedding), perlapisan
bersusun (graded bedding). Secara umum merupakan struktur sedimen.(Gambar 1.1 -
1.3).
- Pada batuan beku :
Kekar kolom (columnar joint), kekar melembar (sheeting joint), vesikuler (Gambar
1.4, 1.5).
- Pada batuan metamorf:
Foliasi (Gambar 1.6).
Struktur Sekunder:
Adalah struktur batuan yang terbentuk setelah proses pembentukan batuan yang
diakibatkan oleh deformasi. Contoh: kekar, sesar, lipatan (Gambar 1.7.a, 1.7.b, 1.7.c).
STRUKTUR
BATUAN
Disajikan Berupa:
- Peta-peta,Penampang
- Diagram Roset,Stereonet
Ditentukan:
Dianalisis - Elips keterakan
Kinematikanya - Pergeseran : arah dan
sifatnya
Input:
Ditafsirkan mekanisme pembentukannya
Hipotesa
Konsep dan teori struktur
batuan
Pengelompokan dan
penamaan Struktur
2.1. Tujuan
a. Mampu menggambarkan geometri struktur bidang ke dalam proyeksi dua
dimensi
(secara grafis).
b. Mampu menentukan kedudukan bidang dari dua atau lebih kemiringan semu.
c. Mampu menentukan kedudukan bidang berdasarkan problem tiga titik ( three
point problem ).
d. Mampu melakukan ploting simbol-simbol geologi dengan geometri bidang
pada peta.
2.3. Definisi
Struktur bidang adalah struktur batuan yang membentuk geometri bidang. Kedudukan
awal struktur bidang (bidang perlapisan) pada umumnya membentuk kedudukan
horizontal. Kedudukan ini dapat berubah menjadi miring jika mengalami deformasi
atau pada kondisi tertentu, misalnya pada tepi cekungan atau pada lereng gunung api,
kedudukan miringnya disebut initial dip. Di samping struktur perlapisan, struktur
geologi lainnya yang membentuk struktur bidang adalah: bidang kekar, bidang sesar,
bidang belahan, bidang foliasi dll.
- Arah kemiringan : arah tegak lurus jurus yang sesuai dengan arah
(dip direction) miringnya bidang yang bersangkutan dan diukur dari arah
utara.
B
Strike
K
A O
Apparent dip
C
Dip
L
Gambar 2.1
AB : Jurus (strike) bidang ABCD diukur terhadap arah utara
: Kemiringan (dip) bidang ABCD diukur tegak lurus AB
: Kemiringan semu (apparent dip)
A O : Arah kemiringan (dip direction)
Gambar 2.2
Pengukuran kedudukan struktur bidang
Aplikasi metode grafis yang akan diterapkan pada praktikum ini meliputi:
A. Menentukan Kemiringan Semu.
B. Menentukan Kedudukan Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada Ketinggian yang
Sama.
C. Menentukan Kedudukan Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada Ketinggian yang
Berbeda.
D. Menentukan Kedudukan Bidang Berdasarkan Problem Tiga Titik (Three Point
Problems).
E. Melakukan ploting simbol struktur bidang pada peta topografi.
Di bawah ini diberikan petunjuk penyelesaian kasus A E.
E
L
x
N
d
C
N x E
d L
A
d K
A
B
d
(a) (b)
B
Gambar 2.3
Menentukan kemiringan semu dengan grafis
B. Menentukan Kedudukan Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada Ketinggian yang
Sama
Pada bidang ABEF di lokasi O, terukur dua kemiringan semu pada titik C dan D
(ketinggian sama) masing -masing sebesar 1 pada arah N X E dan 2 pada arah N
Y E. Berapakah kedudukan bidang ABEF sebenarnya (true dip) ?
d
O
L d C
L
F
d O d
A
D K
?
d K D
d
d
N y E
E
E d
(a) (b)
Gambar 2.4
Menentukan kedudukan bidang dari dua kemiringan semu
pada ketinggian yang sama.
C. Menentukan Kedudukan Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada Ketinggian yang
Berbeda
Pada bidang ABEF di lokasi O (ketinggian 400 m) terukur kemiringan semu l pada
arah N Y E, sedangkan pada lokasi P (ketinggian 300 m) terukur kemiringan semu 2
pada arah N XE. Letak lokasi P terhadap O sudah diketahui. Berapakah kedudukan
bidang ABEF sebenarnya (true dip)?
B
V
O X d
P
U
Q
A d
400
S
R
W
300
d d
200 T
N N
V
V
d
d
P U P U
300 300
O O d 2d
Q
400 W
d d Q
S
R 200 R
2d 2d
400 300 200
T T
(a) (b)
Gambar 2.5
Tahapan menentukan kedudukan bidang
dari dua kemiringan semu pada ketinggian berbeda.
200
A
150
A Q
E
200 P
100 d I
I
B
150
I
d C
B c
100 I
I
B A
C
B
d
I I
B d
d
100
S C C
R
Gambar 2.6
Menentukan kedudukan berdasarkan tiga titik.
Gambar 1.9
Penggambaran kedudukan batuan pada peta lokasi
ditunjukkan oleh lokasi 12, 13, dan 14
30O
Bidang miring 30o (angka 30o menunjukkan top lapisan)
Bidang horizontal
30O
Lapisan terbalik (angka 30o menunjukkan bottom lapisan)
O
30
Foliasi miring Sesar naik
O
30
Kekar miring Antiklin menunjam
O
30O (terisi mineral & tidak)
30
30 ke NE
O
30
Kekar vertikal sinklin menunjam
(terisi mineral & tidak) 30 ke NE
Kekar horisontal
3.1. Tujuan
a. Mampu menggambarkan geometri struktur garis ke dalam proyeksi dua
dimensi (secara grafis).
b. Mampu menentukan plunge dan rake/pitch suatu garis pada suatu bidang.
c. Mampu menentukan kedudukan struktur garis yang merupakan perpotongan
dua bidang.
3.3. Definisi
Struktur garis adalah struktur batuan yang membentuk geometri garis, antara lain
gores garis, sumbu lipatan, dan perpotongan dua bidang. Struktur garis dapat
dibedakan menjadi stuktur garis riil, struktur garis semu.
Pengertian :
Struktur garis riil : struktur garis yang arah dan kedudukannya
dapat diamati dan diukur langsung di lapangan,
contoh: gores garis yang terdapat pada bidang
sesar.
Struktur garis semu :semua struktur garis yang arah atau
kedudukannya ditafsirkan dari orientasi unsur-
unsur struktur yang membentuk kelurusan atau
liniasi, contoh: liniasi fragmen breksi sesar, liniasi
mineral-mineral dalam batuan beku, arah liniasi
struktur sedimen (groove cast, flute cast) dan
sebagainya.
N B
K
Gambar 3.1
Struktur garis dalam blok tiga dimensi
Keterangan :
AL : Struktur garis pada bidang ABCD
AK : Arah penunjaman (trend)
A L / K A : Arah kelurusan (bearing) = azimuth NAK
: Penunjaman (plunge)
: Rake (pitch)
B. Cara pengukuran struktur garis yang tidak mempunyai arah penunjaman (trend ) /
horizontal (pengukuran kelurusan/ linement)
Adapun yang termasuk struktur garis yang tidak mempunyai arah penunjaman (trend)
umumnya berupa arah-arah kelurusan, misalnya : arah liniasi fragmen breksi sesar,
arah kelurusan sungai, dan arah kelurusan gawir sesar.
Jadi yang perlu diukur hanya arah kelurusan (bearing) saja (Gambar 3.2.c dan 3.2.d).
(a) (b)
(d)
Gambar 3.2
3.5. Aplikasi Struktur Garis
Aplikasi yang akan dibahas meliputi pemecahan dua masalah utama struktur garis:
A. Menentukan plunge dan rake sebuah garis pada sebuah bidang.
B. Menentukan kedudukan garis hasil perpotongan dua buah bidang.
B D N
45 Dr
B A
Q
d
K
C
A P
D Lr
L
C N 135 E
(a) (b)
Gambar 3.3
Penentuan plunge dan rake:
(a) penggambaran dalam blok diagram
(b) analisis secara grafis
Contoh soal . :
Batugamping dengan kedudukan N 048E / 300 NW terpotong intrusi dyke dengan
kedudukan N 021 W / 50 NE, sehingga pada jalur perpotongannya terdapat
mineralisasi. Tentukan kedudukan jalur perpotongannya !
N 021 W N 048 E
d FL2 30
50 B
A
Drg Drd
C D
d Batugamping
Intrusi Dyke
Gambar 3.4
Penentuan unsur-unsur strukur garis perpotongan dari dua buah bidang dengan menggunakan
proyeksi grafis
A E
F L D
Gambar 3.5
Kedudukan struktur garis perpotongan dari dua buah bidang dalam kenampakan tiga dimensi
Keterangan
KL : Struktur garis dari perpotongan bidang ABEK dan
bidang CDEK
KO : Arah penunjaman (trend)
K O / O K : Arah kelurusan (bearing) = azimuth NKO
: Penunjaman (plunge)
1 : Rake (pitch) terhadap bidang ABEK
2 : Rake (pitch) terhadap bidang CDFK
4.1. Tujuan
a. Mampu memecahkan masalah geometri bidang dan geometri garis secara
stereografis.
b. Mampu menggunakan proyeksi stereografis sebagai alat bantu dalam tahap
awal analisis data yang diperoleh di lapangan untuk berbagai macam data
struktur.
4.3. Definisi
4.3.1. Proyeksi Stereografis
Merupakan proyeksi yang didasarkan pada perpotongan bidang / garis dengan suatu
permukaan bola. Unsur struktur geologi akan lebih nyata, lebih mudah dan cepat
penyelesaiannya bila digambarkan dalam bentuk proyeksi permukaan bola.
Permukaan bola tersebut meliputi suatu bidang dengan pusat bola yang terlihat pada
bidang tersebut maka bidang tersebut memotong permukaan bola sepanjang suatu
lingkaran, yaitu lingkaran besar. Gambar 4.1 menunjukkan perbandingan antara
proyeksi orthografi dengan proyeksi permukaan bola.
Yang dipakai sebagai gambaran posisi struktur di bawah permukaan adalah belahan
bola bagian bawah. Selanjutnya proyeksi permukaan bola digambarkan pada
permukaan bidang horisontal dalam bentuk proyeksi stereografis. Hal tersebut didapat
dari perpotongan antara bidang horisontal yang melalui pusat bola dengan garis yang
menghubungkan titik-titik pada lingkaran besar terhadap titik zenithnya. Gambaran
proyeksi yang didapat disebut dengan stereogram dan hubungan sudut di dalam
proyeksi stereografi seperti nampak pada Gambar 4.2. Dari gambar tersebut tampak
bahwa pengukuran besar sudut selalu dimulai dari 0 di tepi lingkaran (lingkaran
primitif) dan 90 di pusat lingkaran.
Hubungan antara proyeksi permukaan bola dengan pembuatan lingkaran besar dan
lingkaran kecil seperti pada Gambar 4.3.
Gambar 4.1
Zn
Zn
Bidang dasar
N Stereografis
E 0 0
W
S 20
20
45 45
Gambar 4.2 70
90
70
Gambar 4.3
Wulf Net
Misalkan pada bidang kedudukan N 000 E/ 45 terletak garis dengan arah N 045 E.
Maka hubungan antara proyeksi gambaran orthografi, stereografis, dan stereogramnya
dapat dilihat pada Gambar 4.4.a, 4.4.b, dan 4.4.c.
B N
C F
W 0
E B
W C E
S
B
B
C C
(a) (b)
N
F
O
E
C
(c)
Gambar 4.4
Keterangan gambar :
Struktur bidang : strike = NOE
dip = EC' atau sudut COC'
Struktur garis OB' : bearing = busur NF
rake/pitch = busur NB' atau sudut.BON
plunge = B'F atau sudut BOB'
Stereogram struktur bidang adalah busur NB'C'S
Stereogram struktur garis adalah garis OB' .
Contoh:
Penggambaran stereogram bidang N 045 E/300 sebagai berikut :
Letakkan kertas kalkir di atas stereonet dan gambarkan lingkaran primitifnya.
Beri tanda N, E, S, dan W serta titik pusat lingkaran.
Gambar garis strike melalui pusat lingkaran sesuai dengan harganya (Gambar
4.5.a).
Putar kalkir sampai garis strike berimpit dengan garis N - S jaring. Lalu gambar
garis busur lingkaran besar sesuai dengan besarnya dip (ingat prinsip aturan
tangan kanan) (Gambar 4.5.b).
Putar kalkir sehingga N kalkir berimpit dengan jaring, maka nampak stereogram
dari bidang N O45 E / 30 (Gambar 4.5.c).
E
Dip
o
E 30
S
S
(a) (b)
E
D
ip
(c)
Gambar 4.5
Penggambaran stereogram bidang N 045 E/300
E
D
E
O
3O F
O D
W
S
S
S
E
(a) (b)
N
45 0
F
Plunge
D
E
O
(c)
Gambar 4.6
Penggambaran stereogram garis kedudukan 30 ,N 045 E
Penyelesaian :
Gambar stereogram bidang N 050 E / 50 dan garis arah apparent dip N 080 E
(Gambar 4.7.a).
Putar kalkir sampai garis arah N 080 E tersebut berimpit dengan E-W jaring dan
baca besarnya apparent dip pada garis tersebut dimana 0 pada lingkaran primitif
(Gambar 4.7.b).
Jika pada bidang N 050 E / 50 ini terletak garis yang arahnya N 080 E, dengan cara
seperti di atas didapat besarnya plunge garis tersebut adalah 31 (Gambar 4.8.a dan
4.8.b). Sedangkan besarnya rake/pitch didapat sebagai berikut:
a. Putar kalkir sehingga garis strike bidang N 050 E/ 50 berimpit dengan N-S jaring.
Dan besarnya rake dihitung pada busur lingkaran besar bidang tersebut dengan
menggunakan lingkaran kecil serta dipilih yang lebih kecil dari 90, yaitu dimulai
dari N-jaring sampai ke perpotongan garis dengan busur lingkaran besar bidang
tesebut, besarnya didapat 12 (Gambat 4.8.c).
50 80
F O
O 31 F apparent dip
E
E
50
S
S
Gambar 4.7
Penggambaran stereogram bidang N 050 E / 50 dan garis arah apparent dip N 080 E
N
N
50 80
F
O E
O
31 F plunge
E
50
S
S
(a) (b)
rake
42
(c)
Gambar 4.8
Penentuan plunge dan rake/pitch dari garis N 080 E pada bidang N 050 E / 50
Penyelesaian :
Gambar masing-masing arah kemiringan semunya, yaitu N 010 E dan N ll0 E
(Gambar 4.9.a).
Putar kalkir sehingga arah kemiringan semu N 010 E berimpit dengan E-W jaring,
plot besar kemiringan semu 25 dihitung dari lingkaran primitif, yaitu titik A
(Gambar 4.9.b).
Begitu juga untuk kemiringan semu 34 pada arah N llO E, yaitu titik B (Gambar
4.9.c).
Kalkir diputar sehingga titik A dan B terletak dalam satu lingkaran besar. Dan
gambar lingkaran besar tersebut beserta garis strike-nya, serta hitung besarnya
dip, yaitu didapat 42 (Gambar 4.9.d).
Putar kalkir sehingga N kalkir berimpit dengan N jaring maka kedudukan
batupasir dapat dibaca, yaitu N 340 E / 42 (Gambar 4.9.e).
A
a W b E
W E o
110
o
110
S
S
(a) (b)
N 10o
A
W E
o
110
B
(c) (d)
(e)
Gambar 4.9
Menentukan Kedudukan Bidang Dari Dua Kemiringan Semu
Penyelesaian :
Gambarkan stereogram kedua bidang tersebut (Gambar 4.10.a).
OB adalah stereogram garis potongnya, sedangkan busur NEF adalah bearing OB
yang diukur pada saat N kalkir berhimpit N jaring.
Busur BF adalah plunge, diukur pada posisi OF berhimpit dengan E-W / N-S jaring
(Gambar 4.10.b).
Busur CB adalah rake OB pada bidang N 010 E / 30, diukur pada posisi strike
bidang tersebut berimpit dengan N-S jaring. Begitu juga busur DB adalah rake OB
pada bidang S 050 E / 50 SW (Gambar 4.10.c).
A
o
N
30 D
B F
O
W E
30 o
G
S
50 o
o
50
C
W
S
(a) (b)
(c)
Gambar 4.10
Menentukan Kedudukan Garis Perpotongan dari Dua Bidang
Catatan :
Pengeplotan proyeksi kutub struktur bidang 0 dimulai dari pusat lingkaran
sedangkan 90 dimulai atau terletak pada lingkaran primitif.
Pengeplotan proyeksi kutub struktur garis 0 dimulai dari lingkaran primitif,
sedangkan 90 terletak pada pusat lingkaran.
Suatu bidang dengan jurus N-S dan dip ke arah E, proyeksi kutubnya digambarkan
sebagai titik pada garis E-W ke arah barat dimana harga dip-nya dihitung 0 dari pusat
lingkaran sedangkan 90 pada lingkaran primitif (Gambar 4.13). Sedangkan suatu
garis dengan plunge tepat ke arah selatan, proyeksi kutubnya berupa titik pada garis
N-S jaring sebelah selatan dengan harga plunge 20 dimulai dari lingkaran primitif dan
90 pada pusat lingkaran, dihitung dari S-jaring (Gambar 4.14).
Perbedaan Utama :
Wulf Net yaitu lingkaran besar dan lingkaran kecil didapat dari proyeksi permukaan
bola ke arah titik zenit.
Schmidt Net yaitu lingkaran besar dan kecil dibuat berdasarkan luas yang mendekati
kesamaan dari jaring yang dihasilkan oleh perpotongannya sehingga interval tiap
lingkaran akan merata pada setiap kedudukan.
N N
Zn
W
E W E
S
S
A
C
D
N
N
P
E
W W E
0
90
S S
S
E
P
P
W E
N
W
S
(a) (b)
Gambar 4.15
Penggambaran proyeksi kutub pada Schmidt Net untuk bidang dengan kedudukan N 135 E /
60
W
S
P
W E
E N
S
(a) (b)
Gambar 4.16
Penggambaran proyeksi kutub pada Schmidt Net untuk struktur garis 30, N 225 E
50
40
30
20
P
10
W0 180 E
270
S
Gambar 4.17
Cara penggambaran proyeksi kutub suatu bidang dengan
kedudukan N040E / 60
N
0 10
20
30
40
50
60
70
P
80
W 90
E
Gambar 4.18
Cara penggambaran proyeksi kutub suatu garis dengan
kedudukan 40, N 60E
b. Schmidt Net.
* Struktur Bidang.
- Strike : 0 dimulai dari arah utara (N) pada Schmidt Net.
- Dip : 0 dimulai dari lingkaran primitif(tepi) dan.90 berada di pusat
Schmidt Net.
* Struktur Garis.
- Bearing : 0 dimulai dari arah utara (N) pada Schmidt Net.
- Plunge : 0 dimulai dari lingkaran primitif (tepi) dan 90 berada pada
pusat Schmidt Net.
1. Pada struktur sedimen dengan geometri garis, arah arus purba akan searah dengan
sumbu dari struktur sedimen. Struktur sedimen tersebut antara lain: flute cast,
groove cast, dll.
Menentukan arah arus purba dengan struktur sedimen yang bergeometri garis
(Contoh kasus dengan menggunakan flute cast):
1. Gambarkan kedudukan bidang dimana flute cast tersebut terdapat.
2. Gambarkan arah bearing dari flute cast
3. Menghorizontalkan kedudukan bidang dengan sumbu putarnya pada strike
bidang perlapisan tersebut
4. Tempatkan strike bidang perlapisan pada arah utara-selatan stereonet.
5. Pada perpotongan bearing flute cast dengan bidang perlapisan dihubungkan
ke lingkaran primitif stereonet dengan jaring-jaring kecil. Arah arus purba
adalah perpotongan antara lingkaran primitif dengan jaring-jaring tersebut
diukur dari arah utara stereonet sepanjang lingkaran primitif.
2. Pada struktur sedimen dengan geometri bidang, arah arus purba akan tegak lurus
jurus dan searah dengan dip perlapisan. Struktur sedimen tersebut antaralain : cross
bedding,ripple mark, dll.
5.1. Tujuan
Mampu menentukan arah umum dari data struktur lapangan yang diambil di
lapangan.
5.3. Definisi
Metode Statistik :
Adalah suatu metode yang diterapkan untuk mendapatkan kisaran harga rata-rata
atau harga maksimum dari sejumlah data acak, sehingga dapat diketahui
kecenderungan-kecenderungan bentuk pola ataupun kedudukan umum dari jenis
struktur yang sedang dianalisa.
Metode statistik disini terdiri dari dua metode yang pengelompokannya didasarkan
atas banyaknya parameter yang digunakan yaitu:
1. Pertama adalah metode statistik dengan satu parameter
2. Kedua adalah metode statistik dengan dua parameter
a) Diagram kipas
Tujuan diagram ini adalah untuk mengetahui arah kelurusan umum yang datanya
hanya menggunakan satu unsur pengukuran saja (data bearing dan mengabaikan
350 0 10 20
340
330 30
320 40
310 50
300 60
290 70
280 80
270 90
0 4 8 12 16 20 24
Gambar
Gambar 7.1.b pembagian 5.1.b dari pusat bujur
interval
Pembagian interval dari pusat busur
350 0 10 20
340
330 30
320 40
310 50
300 60
290 70
280 80
270 90
0 4 8 12 16 20 24
Gambar 7.1.c Hasil analisis arah umum kekar.
Laboratorium Geologi Struktur UPN Veteran Yogyakarta 53
Gambar 5.1.c
Hasil analisis arah umum kekar
b) Diagram roset.
Tujuan : Diagram ini dimaksudkan untuk mengetahui arah kelurusan umum dari data-
data dengan satu parameter, yaitu bearing (memperhatikan trend).
Tabulasi data: Data-data yang ada dimasukkan dalam tabel dengan tujuan untuk
mempermudah akan tetapi tabelnya berbeda dengan tabel pada diagram kipas.
24
20
16
12
7
O
N 270 O E N 090 E
N 180 E
O (a) (b)
Gambar 5.4
(a) Plot data data pengukuran kekar pada Polar Equal Area Net.
(b) Plotkan jumlah jumlah titik pada pusat segienam pada Kalsbeek
O
N0 E N 0O E
(a) (b)
O
N 180 E
>12% 4 % - 8%
8% -12% 2% - 4%
Gambar 5.5
(a) Penarikan kontur kerapatan pada diagram kontur
(b) Kedudukan umum terletak pada kontur > 12%.
6.l. Tujuan
a. Mampu mengetahui definisi kekar dan mekanisme pembentukannya.
b. Mampu menganalisis struktur kekar baik secara statistik (diagram kipas)
maupun secara stereografis.
6.3. Definisi
Kekar adalah struktur rekahan yang belum/tidak mengalami pergeseran. Kekar dapat
terbentuk baik secara primer (bersamaan dengan pembentukan batuan, misalnya
kekar kolom dan kekar melembar pada batuan beku) maupun secara sekunder (setelah
proses pembentukan batuan, umumnya merupakan kekar tektonik). Pada acara
praktikum ini yang akan dibahas adalah kekar tektonik. Klasifikasi kekar berdasarkan
genesanya, dibagi menjadi :
1. Shear joint (kekar gerus), yaitu kekar yang terjadi akibat tegasan kompresif
(compressive stress).
2. Tension joint (kekar tarik) ,yaitu kekar yang terjadi akibat tegasan tarikan
(tension stress), yang dibedakan menjadi :
a. Extension joint, terjadi akibat peregangan / tarikan.
b. Release joint, terjadi akibat hilangnya tegasan yang bekerja.
Pola tegasan yang membentuk kekar-kekar tersebut terdiri dari tegasan utama
maksimum ( 1) , tegasan utama menengah ( 2) dan tegasan utama minimum ( 3).
Tegasan utama maksimum ( 1) membagi sudut lancip yang dibentuk oleh kedua shear
joint , sedangkan tegasan utama minimum ( 3) membagi sudut tumpul yang dibentuk
oleh kedua shear joint. (Gambar 6.1 dan Gambar 6.2).
Untuk analisa data digunakan metode statistik yang dilakukan dengan menggunakan
diagram kipas / roset, histogram dan diagram kontur (menggunakan stereonet).
Gambar 6.3
Tabulasi data untuk pembuatan diagram kipas
Gambar 6.5
Diagram kipas dengan dua frekuensi maksimum kekar gerus yang sama
( 1 = N 342 E)
( 2= vertikal pada sumbu diagram)
( 3= N 072 E)
VEIN
Gambar 6.7
Kenampakan kekar yang terisi mineral sekunder (misalnya, kalsit atau kuarsa). Kekar
semacam ini disebut Urat (Vein)
7.1. Tujuan
a. Mampu menentukan pergerakan sesar baik secara langsung di lapangan
maupun secara stereografis
b. Mampu menganalisa berdasarkan data-data yang menunjang serta
unsur-unsur penyertanya dengan menggunakan metode stereogafis.
7.3. Definisi
Sesar adalah suatu rekahan yang memperlihatkan pergeseran cukup besar dan sejajar
terhadap bidang rekahan yang terbentuk. Pergeseran pada sesar dapat terjadi
sepanjang garis lurus (translasi) atau terputar (rotasi). Dalam praktikum ini, hanya
pergeseran translasi yang di analisis.
Angle of dip
Marker unit
Arrows indicate
sense of relative movement
Gambar 7.1
Anatomi Sesar
Gambar 7.2.
Oblique-slip fault memperlihatkan komponen net slip dan rake dari net slip
c. Oblique slip.
- Normal left -slip fault.
- Normal right -slip fault.
- Reverse left - slip fault.
- Reverse right -slip fault.
- Vertikal oblique -slip fault.
Laboratorium Geologi Struktur UPN Veteran Yogyakarta 73
7.6. Contoh Analisis Sesar.
Contoh yang akan diberikan di bawah ini adalah untuk kasus di mana data-data sesar
yang dijumpai di lapangan tidak menunjukkan adanya bukti pergeseran (slip indicator)
Misalnya offset lapisan, drag fold dsb. Data yang didapat berupa unsur-unsur penyerta
pada suatu jalur sesar biasanya terdiri dari kekar-kekar (Shear Fracture/SF dan Gash
Fracture/GF) dan Breksiasi.
Contoh Kasus
1. Pada Lokasi Pengamatan (LP) 48 di Sungai Lhokseumawe terdapat jalur breksiasi
pada satu satuan batuan yang memiliki sifat fisis cenderung brittle, sehingga
berkembang dengan baik struktur penyerta rekahan terbuka (gash fracture) dan
rekahan gerus (shear fracture) yang dapat dibedakan dengan jelas di lapangan, namun
tidak dijumpai bidang sesar. Maka seorang mahasiswa geologi melakukan pengukuran
kekar yang hasilnya sebagai berikut :
Breksiasi N.. E
024 022 021 022 024
024 205 204 027 204
025 205 022 025 027
Penyelesaian :
1. Memplotkan semua data SF dan GF pada kertas kalkir di atas "Polar Equal Area
Net" (Gambar 7.4.).
2. Memplotkan hasil pengeplopatan SF dan GF pada kertas kalkir (nomor 1) pada
"Kalsbeek Counting Net", kemudian mulai menghitungnya (Gambar 7.5.).
3. Membuat peta kontur berdasarkan hasil perhitungan nomor 2 (Gambar 7.6.).
11 11
2 23
33 1 3 1
33 5 1
4 33
3 11 3 11
22 3 1 22
2 33
22 22
3 32
22 22
1
5 11 5 11
22 55 55 22 557 55 2
2 5
5
S S
11
23
3 1
33
3 11
22 3
22
32
2
555 11
22 55
S
4 12 20
0 8 16 24%
Gambar 7.6.
Penggambaran kontur dan perhitungan prosentase berdasarkan
perhitungan nilai kontur pada kalsbeek net
W E
Gambar 7.7.
Arah umum breksiasi
Gambar 7.8.
Analisis sesar pada Wulf Net dengan hasil
Reverse Slip
45 21 6 45
1
Thrust
22 20 3 45 5
45
10 10
19 4
90
0 18 Left Slip Right Slip 7 0
15 8 80 80
10 10
16 45 14 9 11 70 70
45
Lag 60 60
Dip of fault
lip
12
50
ts
50
ne
17 10
45 45 40
of
Normal Slip
40
h
tc
30
Pi
30
20
20
80 13 80 10
10
90 0 0
90 80 70 60 50 40 30 20 10
Dip of fault
Gambar 7.9.
Diagram klasifikasi sesar translasi menurut Rickard, 1972
PENELITI = = = K
PURE SHEAR
( 1957, 1958 )
ANDERSON 15 45 45 15 & 75
30 60
( 1951 ) 45 75 15 45 & 75
PURE SHEAR I
MOODE & HILL
30 60 45 75 15 45 & 75
dan
( 1956, 1963 )
MASON L. HILL
20 50 40 20 & 60
( 1976 ) 30 60
40 70 20 40 & 50
0-30 90-60
UMUM TERBENTUK 15-45 45-75 15-45 15-45
( 30 ) (60)
DALAM BATUAN
8.1. Tujuan.
a. Mengenal macam-macam / jenis lipatan serta mekanisme gaya yang
membentuknya.
b. Mampu merekonstruksi dan menganalisa lipatan.
8.3.Definisi
Lipatan merupakan hasil perubahan bentuk dari suatu bahan yang ditunjukkan
sebagai lengkungan atau kumpulan dari lengkungan pada unsur garis atau bidang di
dalam bahan tersebut. Pada umumnya unsur yang terlibat di dalam lipatan adalah
bidang perlipatan, foliasi, dan liniasi. Berdasarkan proses perlipatan dan jenis batuan
yang terlipat, dapat dibedakan menjadi empat macam lipatan, yaitu :
l. Flexure / competent folding termasuk di dalamnya parallel fold (Gambar 8.1.a)
2. Flow / incompetent folding termasuk di dalamnya simillar fold (Gambar 8.1.b)
3. Shear folding (Gambar 8.1.c)
4. Flexure and Flow folding (Gambar 8.1.d)
Gambar 8.2
Mekanisme gaya yang menyebabkan terbentuknya lipatan
Gambar 8.4.b
Unsur-unsur Lipatan
b. Berdasarkan besarnya dip dari hinge surface dan plunge dari hinge line,
dibedakan atas :
Tabel 8.2.
Klasifikasi lipatan berdasarkan dip dari sumbu lipatan dan plunge dari hinge line (Fluety, 1964)
Cara penggunaannya:
Misal didapatkan dip of hinge surface 70 dan plunge of hinge line 45 . Plotkan kedua
nilai tersebut pada diagram segitiga 1 (Gambar 8.5.a), sehingga didapat nilai
perpotongannya. Letakkan di atas diagram segitiga ke-2, (Gambar 8.5.b) maka titik
tadi akan menunjukkan jenis lipatannya yaitu Inclined fold (Gambar 8.5.
Gambar 8.5.c
Contoh :
Pada lintasan tepat timur-barat dari suatu penyelidikan, didapatkan data pengukuran
kemiringan (dip lapisan) dengan jurus utara-selatan. Dimulai dari lokasi A paling barat
berturut-turut sebagai berikut: A=200 E, B=100 W ( A dan B merupakan batas lithologi
yang sama), C=450 W, D=100 W, E=horizontal, F=250 E, G=750 E, H=500 E, I=200 E.
Permasalahan :
Rekontruksi bentuk lipatan daerah tersebut.
Rekonstruksi cara interpolasi dapat dikerjakan menurut cara Higgins (1962) dan cara
Busk (1928).
Permasalahan :
Rekontruksi bentuk lipatan daerah tersebut.
Gambar 8.7
Rekonstruksi lipatan metode Interpolasi Higgins (1962)
Permasalahan :
Rekontruksi bentuk lipatan daerah tersebut.
O2
S
P
Gambar 8.8
Rekonstruksi lipatan metode interpolasi Busk (1929)
Gambar 8.9
Rekonstruksi lipatan dengan metode gabungan
Arc Method dan Free Hand Method
1 Bidang bantu
Hin
ge
L1
an 1
S urfa
p at
ce
p Li
Sa
ya
aya
p
Li
L2
S
pa
ta
n
2
Gambar 8.10
Analisis lipatan pada Wulf Net dengan hasil:
Sayap Lipatan 1 : N 174 E / 35 1 : 120 , N 285E
Sayap Lipatan 2 : N 030 E / 15 2 : 08, N 182E
Hinge Surface : N 016 E / 82 3 : 64, N 057E
Hinge Line : 90,N 1820
Upright Horizontal fold (Fluety, 1964)
Upright Horizontal fold (Rickard, 1971)
9.1. Tujuan
1. Mampu mengaitkan gejala-gejala morfologi dengan geologi struktur.
2. Mampu menganalisa tatanan geologi dari kenampakan morfologi.
3. Mampu membaca dan memahami dasar-dasar pembuatan peta geologi.
9.3. Pendahuluan
Permukaan bumi merupakan salah satu bagian yang harus dipelajari dalam
penguasaan ilmu geologi karena ekspresi topografi dapat menunjukkan keadaan
geologi baik struktur maupun litologinya. Dengan demikian, geomorfologi sangat
terkait dalam mempelajari geologi struktur. Bentukan-bentukan morfologi yang kita
jumpai sekarang merupakan hasil dari gaya yang bekerja baik itu berasal dari dalam
maupun dari luar bumi. Bentukan-bentukan tersebut akan berbeda-beda bentuknya
tergantung dari sistem yang mempengaruhinya. Misalnya, perkembangan sistem
tektonik di suatu daerah akan memberikan konstribusi bagi perkembangan struktur
geologi yang secara langsung maupun tidak langsung akan terilustrasi dipermukaan.
Pada sisi lain litologi juga berperan dalam mengekspresikan topografi. Nilai resisten
dan tidaknya litologi akan memberikan relief yang berbeda-beda di permukaan. Litologi
yang keras (resisten) cenderung membentuk relief yang lebih menonjol (tinggi)
daripada daerah dengan litologi yang lebih lunak (kurang resisten). Misalnya daerah
yang disusun oleh litologi batugamping (resisten) akan membentuk suatu pola bentang
alam "karst topography" sebagai pola yang sangat khas (tersendiri). Bentukan yang
berlainan dari kedudukan litologi dan bentuk morfologi mengakibatkan terbentuknya
pola penyebaran litologi di permukaan atau disebut pola singkapan.
9.4. Definisi
Peta geologi
Peta yang menggambarkan keadaan geologi suatu daerah meliputi penyebaran litologi,
struktur dan morfologi.
Pola singkapan
Perpotongan antara bidang litologi dan bidang permukaan bumi.
Peta lintasan
Suatu peta yang menggambarkan lintasan, lokasi pengamatan, dan hasil pengamatan
lapangan (litologi, struktur, pengambilan sample dan gejala geologi yang lain, misalnya
mata air, gerakan tanah, penambangan).
Penampang geologi
Gambaran secara vertikal bawah permukaan geologi suatu daerah, sehingga dari
gambaran ini akan diketahui hubungan antara satu dengan yang lain.
Legenda
Keterangan litologi yang disusun secara stratigrafis.
Keterangan
Menjelaskan simbol-simbol dalam peta.
Tebal lapisan
Jarak terpendek antara dua bidang sejajar yang merupakan batas bawah dan atas (top
& bottom) lapisan tersebut.
Kedalaman
Jarak vertikal dari ketinggian tertentu (umumnya permukaan bumi) ke arah bawah
terhadap suatu titik, garis atau bidang.
d e f
Gambar 9.1
Ekspresi Hukum V yang menunjukkan hubungan kedudukan lapisan dengan morfologi
3. Peta geologi dibedakan atas peta geologi sistematik dan peta geologi tematik.
a. Peta geologi sistematik adalah peta geologi yang menyajikan data dasar
geologi dengan nama dan nomor lembarnya mengacu pada SK Ketua
Bakosurtanal No.019.2.2/1/1975 atau SK Penggantinya.
hipabisal
Gambar 9.4.
Skema corak dasar yang digunakan dalam peta geologi
Keterangan berikutnya
menerangkan :
- informasi tebal lapisan dan atau runtunan satuan/formasi
- fosil petunjuk, umur dan lingkungan pengendapan
- hubungan antar satuan
- sumberdaya mineral dan energi
- unsur penting yang akan menunjang kelengkapan data
9.10.2. Ukuran
1). Peta geologi berskala besar dicetak di atas kertas berukuran 100 cm x 65 cm.
2). Peta geologi berskala kecil menggunakan kertas berukuran 115 cm x 85 cm.
9.11. Spesifikasi
1). Peta geologi skala besar menggunakan peta dasar topografi dengan proyeksi
UTM (Universal Transverse Mercator).
2). Peta geologi skala kecil menggunakan peta dasar topografi dan batimetri dengan
proyeksi kerucut sama bentuk Lambert.
3). Pencantuman batimetri atau kedalaman laut pada peta geologi berskala besar
bukan merupakan keharusan.
4). Peta geologi skala besar dilengkapi dengan penampang geologi.
5). Peta geologi digolongkan menjadi peta geologi standar dan peta geologi
tinjau/permulaan.
a). Peta geologi standar mempunyai data dan informasi yang lengkap dan akurat
setara dengan besar skala.
b). Peta geologi tinjau/permulaan masih memerlukan pemutakhiran data. Peta
ini dapat hanya dibuat dari hasil penafsiran citra inderaan jauh.
6). Peta geologi seyogyanya menyajikan data dasar dan informasi geologi selengkap
mungkin untuk pemakainya, dan berguna untuk tujuan keilmuan dan terapan.
a). Keilmuan, karena data dan informasinya dapat dipakai sebagai titik tolak
pembuatan hipotesis dan sintesis.
b). Terapan, karena dapat digunakan sebagai landasan petunjuk awal dalam prospeksi
dan eksplorasi mineral & sumberdaya energi dan pengembangan
wilayah.
- Peta geologi mencantumkan adanya petunjuk keterdapatan sumberdaya
mineral dan energi.
Peta geologi menggambarkan adanya sebaran gunungapi dan jalur lemah
di permukaan bumi, yang dapat memberikan informasi dasar bagi
kerekayasaan sipil, pertanian, perkebunan, kehutanan, dan kepariwisataan.
Arc Tg = Tg . Sin
Dimana :
: Kemiringan semu (apperent dip)
: Kemiringan sebenarnya (true dip).
: Sudut antara strike dengan arah sayatan penampang geologi.
2. Gambar 9.8.b. adalah contoh rekonstruksi pola singkapan suatu lapisan batubara
dengan kedudukan N 180 E/15 dimana bagian bawah lapisan tersebut tersingkap
di titik A, sedangkan bagian atasnya tersingkap di titik B.
Rekonstruksi pola singkapan bagian bawah (bottom): lihat rekonstruksi bagian
bawah Gambar 9.8.b.
Rekonstruksi pola singkapan bagian atas (top): lihat rekonstruksi bagian atas
Gambar 9.8.b.
dip
Gambar 9.8.a
Rekonstruksi pola singkapan daerah Saman berdasarkan batas litologi batulanau dan batupasir
dengan kedudukan N 090 E/20
Gambar 9.8.b.
Rekonstruksi pola singkapan top dan bottom lapisan batubara berdasarkan batas litologi top
dan bottom lapisan batubara tersebut dengan kedudukan N 180 E/15
Kedalaman ialah jarak vertikal dari ketinggian tertentu (umumnya permukaan bumi)
ke arah bawah terhadap suatu titik, garis atau bidang (Gambar 9.9.).
9.15.1. Ketebalan
Ketebalan lapisan bisa ditentukan dengan beberapa cara, baik secara langsung
maupun yang tidak langsung. Pengukuran secara langsung dapat dilakukan pada
suatu keadaan tertentu, misalnya lapisan horisontal yang tersingkap pada tebing
vertikal (Gambar 9.10.b). Lapisan vertikal yang tersingkap pada topografi datar
(Gambar 9.10.a). Apabila keadaan medan, struktur yang rumit, atau keterbatasan alat
yang dipakai tidak memungkinkan pengukuran secara langsung, diadakan pengukuran
secara tidak langsung, tetapi sebaiknya diusahakan pengukuran mendekati secara
langsung.
Pengukuran tidak langsung yang paling sederhana adalah pada lapisan miring,
tersingkap pada permukaan horisontal, di mana lebar singkapan sebenarnya (diukur
tegak lurus jurus), yaitu w (Gambar 9.11.). Dengan mengetahui kemiringan lapisan ()
maka ketebalannya:
t= w sin (Gambar 9.11.)
Apabila pengukuran lebar singkapan tidak tegak lurus (l) maka lebar singkapan
sebenarnya (w) harus dikoreksi lebih dahulu dengan rumus w = l sin , di mana
adalah sudut antara jurus dengan arah pengukuran. Ketebalan yang didapat adalah:
t= l sin sin
Gambar 9.10.
Pengukuran ketebalan secara langsung pada lapisan vertikal (a) dan horizontal (b)
Gambar 9.11.
Pengukuran tebal dengan arah pengukuran (l) tidak tegak lurus strike
Pendekatan lain untuk mengukur ketebalan secara tidak langsung dapat dilakukan
dengan mengukur jarak antara titik yang merupakan batas lapisan sepanjang lintasan
tegak lurus strike.
Pengukuran ini dilakukan apabila bentuk lereng tidak teratur. Bisa juga menghitung
ketebalan lapisan pada Peta Geologi. Beberapa kemungkinan posisi lapisan terhadap
lereng dan ketebalannya ditunjukkan dalam Gambar 9.13. Untuk mengukur ketebalan
pada lereng, apabila pengukuran tidak tegak lurus strike digunakan persamaan
trigonometri
t = l [ |sin cos Sin sin cos| ]
Dimana :
t : tebal lapisan yang diukur
l : panjang pengukuran yang tidak tegak lurus strike
: slope terukur.
: dip lapisan
: sudut antara strike dan arah pengukuran.
Perhitungan dengan cara yang lain dapat juga dilakukan dengan mencari lebih dahulu
slope yang tegak lurus strike Gambar 9.15.
Untuk mencari kemiringan lereng yang tegak lurus jurus lapisan (w) dapat dilakukan
beberapa cara, yaitu dengan menggunakan Alignment nomograph dengan menganggap
kemiringan lereng terukur sebagai kemiringan semu dan kemiringan lereng tegak
lurus jurus sebagai kemiringan sebenarnya. Dengan menggunakan persamaan:
Sin
W=l
Sin
Gambar 9.12.
Posisi pengukuran dan perhitungan
Gambar 9.13.
Beberapa posisi pengukuran dan perhitungan ketebalan dengan komponen
vertikal dan horizontal
Gambar 9.14.
Pengukuran ketebalan pada lereng dengan pengukuran tidak tegak lurus jurus sepanjang CA
Gambar 9.15.
Pengukuran ketebalan dengan slope tegak lurus strike sepanjang W
9.15.2. Kedalaman
Menghitung kedalaman lapisan ada beberapa cara, di antaranya :
Menghitung secara matematis
Dengan Alignment diagram
Secara grafis (pada contoh soal)
Di mana :
d = kedalaman yang diukur
m = jarak tegak lurus dari singkapan ke titik tertentu
= kemiringan lapisan
Untuk kemiringan lapisan dan kemiringan lereng tertentu kedalaman dapat dicari
dengan menggunakan rumus pada Gambar 9.16. sedang rumus umumnya :
Keterangan :
d = kedalaman yang diukur
m = jarak terukur
= kemiringan lapisan
= kemiringan lereng
Gambar 9.16.
Beberapa posisi pengukuran dan kedudukan lapisan dan perhitungan kedalaman
80
75
70
65
60
15
10
5
t scale
15
10
40
5
65
60
55
50
35
90
75
70
45
30
20
25
10
00
Angle of slope ( scale) 0
10
00
30 00 0
50 000
40 00
e) Sl
4
00
al op
25 00
30 500
c e
20 00
2
s
0
di
0
(s
00
20
st
ce
0
a
0
nc
0
15
n
0
ta e
00
15
is (s
80 00 0
d
10 00 0
sc
9 0
e
9
10
00
op
7 0
a
80 00
le
Sl
6 00
7 00
)
50 00
6 0
40 0
50 0
30 0
40 0
0
30
20
0
10 100
0
10
0
100
300
1000
700
200
0
400
300
700
900
800
600
500
600
900
400
500
0
800
200
Gambar 9.18.
Alignment diagram untuk mencari kedalaman
2. Pada daerah Gedung Kuning dijumpai adanya singkapan kontak bagian bawah
batupasir dengan bagian atas batugamping pada lokasi A (700 m), B(700 m), C(800
m). Pada lokasi D (900 m) dijumpai singkapan kontak antara bagian bawah breksi
dengan bagian atas atas batupasir di mana kedudukannya selaras. (Gambar 9.20.)
Pertanyaan :
A. Tentukan kedudukan lapisan batuan tersebut !
B. Tentukan ketebalan batupasir secara grafis !
1. Asikin Sukendar, 1966. Analisis Struktur Daerah Pra Tersier Luk Ulo Jawa Tengah,
Desertasi.
2. Asikin Sukendar, 1978, Dasar-dasar Geologi Struktur, DepartemenTeknik Geologi, ITB,
Bandung.
3. Badgley, P.C, 1959, Structural Method For The Ekploration Geologist. Oxford Book
Company. New Delhi.
4. Billings. M.p. 1977, Structural Geology. Third edition. Prentice Hall of India. New Delhi
5. Buchanan, P.G., and McClay, K., 1991, Sandbox Experiments of Inverted Listric and Planar
Fault Systems, Tectonophysics, v. 188, p. 97-115.
6. Byerlee, J.D., 1978, Friction of rocks, Pure and Applied Geophysics, v. 116, p. 615-626.
7. Christiansen, A.F., 1983, An Example of A Major Syndepositional Listric Fault, in
A.W.Bally, ed., Seismic Expression of Structural Styles, AAPG studies in Geology 15, p.2.3.1-
36-40.
8. Compton. Robert.R, 1962.Manual Field Geology. John Willey & Sons. Inc, New York.
9. Davis, G., and Reynolds, S. J., 1996, Structural Geology of Rocks and Regions, John Willey
and Sons Inc., New York, 776p.
10. Dahlen,F.A,Suppe,J., and Davis,D, 1984, Mechanics of Fold and Thrustbelts and
Accretionary Wedges:Cohesive Coulomb Theory, Journal of Geophysical
Research,v.89,no.B12,p.10087-10101.
11. Eisenstadt, G., Vendeville B. C., and Withjack, M. O., 1995, Introduction to Experimental
Modeling of Tectonic Processes, GSA Annual Meeting, New Orleans, USA.
12. Ellis, P., and McClay, K., 1988, Listric Extensional Fault Systems-Results of Analogue
Model Experiments, Basin Research, v. 1, p. 55-70.
13. Emmons, R, 1969, Strike-slip Rupture
14. Handoyo, Agus 1981, Metoda Geometri Geologi Struktur, Direktorat Jendral Pertambangan
Umum, PPTM, Bandung.
15. Hill, Masson L. 1976, Fault Tectonic, Atlantic Richfield Company.
16. Hobbs, B.E,W.D, Means & P.F Williams, 1976, An Outline of Structural Geology, John
WilIey & Sons. Inc, New York.
17. Hubbert, M.K., 1937, Theory of Scale Models as Applied to Study of Geological Structure,
Geological Society of America., v.48, p.1459-1520.
18. Jaeger, J. C., and Cook, N. G. W., 1976, Fundamental of Rocks Mechanics, Halsted Press,
New York, 585p.
19. Krantz, R. W., 1991, Measurements of Friction Coefficients and Cohesion for Faulting and
Fault Reactivation in Laboratory Models Using Sand and Sand Mixtures, Tectonophysics, v.
188, p. 203-207.