Programme
i
KATA PENGANTAR
Laporan hasil bimbingan teknis program Teaching Factory disusun berdasarkan
rangkaian proses keterlibatan ATMI-BizDec Surakarta sebagai tim konsultan teknis GIZ
dalam mempersiapkan 19 institusi binaan Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar
dan Menengah (Kemdikbud) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) lingkup
program SED-TVET yang mengimplementasikan Teaching Factory sebagai suatu konsep
pembelajaran di institusi pendidikan dan pelatihan kejuruan. Konsep Teaching Factory
yang merupakan suatu metode pembelajaran terbukti mampu mengantarkan peserta
didiknya mencapai kompetensi standar industri melalui tahapan proses pencapaian
standar penguasaan motorik, kognitif dan afektif serta memunculkan hasil belajar perilaku
inspiratif intuitif, secara akademis dideskripsikan sebagai pembelajaran karakter.
Laporan bimbingan teknis ini mengupas masalah implementasi Teaching Factory yang
memiliki nilai strategis pada pendidikan dan pelatihan kejuruan dalam meningkatkan daya
saing lulusan TVET di pasar tenaga kerja tingkat lokal maupun nasional bahkan regional.
Rangkaian kegiatan bimbingan teknis implementasi Teaching Factory dimulai dengan
membuka wawasan konsep Teaching Factory yang sesuai dengan tujuan pendidikan dan
pelatihan melalui lokakarya. Langkah selanjutnya melakukan pendampingan di sekolah
dalam proses penerapan Teaching Factory, dimulai dengan penyusunan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Satuan Acara Perkuliahan (SAP), mendiskusikan
pengembangan jobsheet serta mengidentifikasi jurusan/program/ studi/program keahlian
yang berpotensi mengimplementasikan Teaching Factory sebagai pilot project di sekolah.
Masing-masing sekolah diberikan pelatihan Production Based Education and Training
(PBET) di kampus ATMI-BizDec dimana juga disusun rencana aksi (action plan) oleh
masing-masing institusi sebagai dasar monitoring dan evaluasi untuk proses
implementasi. Garis besar laporan hasil bimbingan teknis program Teaching Factory
meliputi penjelasan singkat tentang:
ii
Menggunakan ukuran penilaian 7 parameter di institusi pendampingan yang akan
ditampilkan dalam Spider Diagram untuk mengidentifikasi critical point yang
harus dibenahi untuk kesuksesan implementasi Teaching Factory;
Untuk memahami lebih detil dari kondisi kekinian kesiapan 19 institusi program TVET
dalam mengimplementasikan Teaching Factory, dapat dibaca laporan selengkapnya.
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR BAGAN
v
vi
Glossary
1
1 PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Penyerapan tenaga kerja oleh industri secara kuantitatif masih terpaut jauh dari kapasitas
daya tampung industri setiap tahunnya, meskipun celah angka jumlah lulusan (supply)
dengan angka jumlah permintaan (demand) tidak terlalu lebar. Permasalahan yang
dihadapi salah satunya yaitu kesenjangan capaian kompetensi para lulusan institusi
Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan (TVET) dengan kebutuhan riil pada dunia
usaha/dunia industri (DU/DI), dimana keadaan ini dapat diindikasikan sebagai rendahnya
daya serap tenaga kerja lulusan TVET oleh DU/DI. Menyikapi hal tersebut, otoritas
pendidikan mengadopsi dan mengadaptasikan program Link and Match tetapi belum
menunjukkan hasil yang signifikan dan masih memerlukan pengembangan lebih lanjut
serta strategi implementasi yang lebih operasional untuk meningkatkan kualitas tamatan
TVET. Otoritas pendidikan melihat permasalahan tersebut dari dua sisi, yaitu:
sisi suplai, institusi dihadapkan pada keterbatasan sumber daya (sarana, SDM,
finansial) dan rendahnya keterlibatan DU/DI sebagai pengguna lulusan dalam
pengembangan institusi TVET.
2
tenaga kerja di Indonesia melalui peningkatan kualitas tamatan yang memiliki nilai
strategis untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja di Indonesia. Berbagai upaya telah
banyak dilakukan untuk tujuan tersebut, namun masih memerlukan sebuah terobosan
secara sistemik yang dapat meningkatkan kompetensi lulusan baik dalam hal
keterampilan (hardskill) maupun sikap (softskill).
1.2 Tujuan
b. Peserta didik tidak hanya belajar mengenai kompetensi, tetapi juga belajar
mengenai bagaimana menggunakan kompetensinya untuk menghasilkan sesuatu
yang lebih bernilai ekonomis.
c. Peserta didik belajar mengenai pentingnya kualitas dan efisiensi melalui sistem
penilaian yang benar.
3
yang minimal, penggunaannya dapat lebih optimal dan hasil praktik dapat
digunakan atau bahkan bernilai jual sehingga dapat mengurangi beban biaya
bahan praktik.
Laporan ini berisi pemaparan tentang konsep Teaching Factory (TF) berdasarkan metoda
yang diterapkan di SMK Mikael/Politeknik ATMI Solo, dimana konsep ini telah
dilaksanakan secara bertahap dengan prinsip perbaikan secara terus menerus dengan
mempertimbangkan perkembangan akademik maupun industri sebagai pengguna
lulusan.
- Merancang instrumen evaluasi yang dapat dipakai untuk evaluasi diri dalam
rangka meningkatkan kualitas belajar mengajar melalui penerapan konsep TF.
4
TVET (terintergrasi) dengan target utama memberikan kecerdasan dan
keterampilan peserta didik sebagai sasaran, yang berarti bukan merupakan
kegiatan terpisah kurikuler.
5
2 KONSEP TEACHING FACTORY
Untuk lebih memahami konsep TF, berikut merupakan definisi yang disepakati dalam
kegiatan Focus Group Discussion GIZ SED-TVET 2011.
Konsep pembelajaran berbasis industri berarti bahwa setiap produk praktik yang
dihasilkan dapat bernilai ekonomi atau daya jual atau diterima oleh pasar. Sinergi antara
sekolah dengan industri dapat dicapai melalui kerjasama antar keduanya, dimana
kerjasama tersebut mampu untuk mewujudkan transfer teknologi, lulusan yang kompeten
atau memiliki kemampuan yang sesuai dengan yang disyaratkan oleh industri, dan
kegiatan yang saling menguntungkan lainnya. Apabila sekolah dan industri dapat bekerja
sama dengan baik, maka sinergi antara keduanya akan berlangsung secara
berkelanjutan.
6
Bagan 2-1.Konsep Teaching Factory
Bagan di atas menjelaskan variasi antara dua pilihan implementasi TF. Model pertama
(prinsip di ATMI), menjelaskan bahwa TF dapat dilakukan dengan menerapkan dual
system dan Competency Based Training (CBT). Apabila dual system mempersiapkan
peserta didik untuk mampu bekerja sesuai dengan standar industri baik dalam segi
hardskill maupun softskill, maka CBT membekali peserta didik untuk mampu
mendapatkan kualifikasi atas keterampilan yang dipelajarinya berdasarkan pada penilaian
standar yang telah ditetapkan secara nasional. Dengan kata lain, proses penilaian CBT
lebih mengedepankan kesesuaian kompetensi peserta didik dengan kualifikasi yang telah
ditentukan agar peserta didik benar-benar dianggap mampu dan memahami
pengetahuannya (memperoleh sertifikasi kompetensi). Secara ringkas, CBT mencakup
standar kompetensi, standar penilaian, strategi dan materi belajar, serta kerangka
kualifikasi. Perbedaan antara dual system dan CBT dapat dilihat pada matriks berikut.
7
Subyek Dual System CBET/CBT
Fokus Proses kerja Penilaian
Pendekatan Holistic (Prakerin) Fragmented (simulatif)
Keseluruhan Kegiatan pembelajaran, Kegiatan pembelajaran dan
sistem kelulusan, dan sertifikasi penilaian/sertifikasi yang terpisah
yang komprehensif sesuai dengan kebutuhan lebih lanjut
Peran Instruktur bertanggung jawab Oleh karena kompetensi peserta didik
guru/Instruktur mendidik peserta didik ditentukan melalui keterampilan yang
supaya mereka siap bekerja bisa diujikan, maka guru atau instruktur
tidak hanya dari sisi skill akan mengidentifikasi kesuksesannya
fungsional tetapi juga dengan menggunakan tingkat kelulusan
kompleksitas tempat kerja uji kompetensi. Dengan demikian, resiko
yang ekstra fungsional: pembelajaran menjadi sekedar
kemampuan bekerjasama, persiapan untuk menghadapi ujian
mampu mengambil yang harus dilalui peserta didik.
keputusan, dsb.
Kelemahan Kualitas untuk menentukan Tidak adanya expiry-dated bagi
dasar apa yang dinamakan standar kompetensi yang dimiliki akan
kompeten karena tidak ada mengakibatkan CBET tidak dapat
standar uji yang sama atau mengikuti perubahan teknologi yang
tidak ada definisi yang jelas terjadi. Di samping itu, karena proses
dari tahapan-tahapan penilaian terpisah dari proses
pelatihan. pelatihan, maka proses feedback yang
sentral dalam pelatihan high-tech
menjadi terpisah.
Tidak mampu menginkorporasikan
kemampuan non-teknikal/ekstra-
fungsional
Kekuatan Fleksibilitas tinggi dan proses Terdapat tahap-tahap kompetensi yang
utama integrasi langsung dengan jelas
situasi nyata di tempat kerja.
Kesimpulan: Penerapan CBET/CBET di Indonesia lebih cocok untuk basic training
(kemampuan unit-unit kompetensi), namun tidak sesuai lagi untuk advance
training karena tidak bisa mengukur kompleksitas di tempat kerja yang
sesungguhnya. CBET/CBET harus dilengkapi dengan praktik kerja di
industri.
Bagan 2-2.Matriks Dual System dan CBT
Irisan dari keduanya (dual system dan CBT) merupakan metode pembelajaran yang
diterapkan oleh ATMI Solo, yakni PBET (Production Based Education and Training).
Metode pembelajaran ini menyempurnakan dual system karena menyatukan workplace
dalam lingkungan belajar (tidak terpisah). Metode pembelajaran ini memiliki paradigma
8
yang berorientasi pasar (market oriented). Kekuatan pada metode pembelajaran PBET
terdapat pada peran dan kemampuan instruktur yang terus-menerus mengembangkan
diri sesuai dengan tuntutan pasar dan perkembangan teknologi.
Apabila merujuk kembali pada Bagan 2, maka dapat dilihat skema yang berbeda dalam
penerapan model TF yang diinisiasikan oleh GIZ SED-TVET. Skema tersebut
menjelaskan prosedur pelaksanaan TF yang melibatkan CBT dan PBET.Skema
implementasi TF GIZ SED-TVET menjelaskan bahwa prosedur untuk mencapai tahap
implementasi TF membutuhkan implementasi dari CBT dan PBET terlebih dahulu. Hal ini
berkaitan dengan institusi TVET di Indonesia yang sebagian besar belum mampu untuk
mengimplementasikan TF secara langsung sehingga untuk mengawalinya memerlukan
program penguatan kompetensi, penerapan pembelajaran yang berbasis produksi, dan
implementasi TF. Tiga prosedur inilah yang nantinya akan menghasilkan lulusan yang
memiliki perilaku industri yakni kompeten, produktif, dan menghasilkan keuntungan/profit.
9
10
Peningkatan pada tahapan ini tidak hanya terletak pada kegunaan dan kualitas produk,
tetapi juga terletak pada kualitas SDM (guru dan peserta didik), lingkup hubungan kerjasama
dengan industri, dan pembekalan pengetahuan kewirausahaan dalam proses pembelajaran
peserta didik. Apabila institusi TVET telah mampu menerapkan CBT dengan baik, maka
akan mudah bagi institusi untuk melangkah pada tahapan selanjutnya (PBET dan TF). Hal
ini dikarenakan ketiganya merupakan tahapan yang saling berkelanjutan dan tidak
terpisah.
Teaching Factory merupakan sebuah model kegiatan pembelajaran yang sangat efektif dan
efisien. Efektif berarti bahwa konsep TF dapat mengantarkan peserta didik mencapai tahap
kompeten, yakni suatu tahapan dimana peserta didik pantas untuk diberikan kewenangan
karena telah dianggap mampu. Sedangkan efisien berarti bahwa pembelajaran dengan
model ini bersifat sangat operasional, memerlukan biaya yang murah dan mudah untuk
diimplementasikan.
11
kreativitas, dan kemampuan untuk melihat peluang-peluang baru di industri seperti
produk, desain, dsb.
Oleh karena berkaitan dengan proses produksi baik barang maupun jasa, maka
implementasi Teaching Factory harus melibatkan tiga disiplin industri berikut ini:
- Disiplin waktu; meproduksi barang atau jasa dengan waktu yang dijanjikan atauu
yang ditargetkan
Unsur ini menjelaskan bahwa belajar merupakan fokus utama dari penyelenggaraan
kegiatan sekolah dan fokus dari kegiatan belajar adalah membangun sikap/perilaku (yang
merupakan bagian terpenting dari karakter). Bagi peserta didik TVET, sikap/perilaku
merupakan suatu elemen yang penting dalam mempersiapkan diri memasuki dunia industri.
Oleh karena itu, sekolah perlu mengembangkan pembelajaran yang tidak hanya mencakup
hardskill tetapi juga mencakup softskill, diantaranya:
A. Motorik/Skill
Kemampuan ini berkaitan dengan mutu atau kualitas dari hasil pekerjaan atau praktik yang
dilakukan oleh peserta didik. Melalui pengembangan kemampuan motorik, peserta didik
akan dapat melakukan setiap pekerjaan atau praktik secara presisi. Kemampuan ini
memaksa peserta didik untuk mencapai batas standar atau kualitas yang telah ditetapkan,
seperti pada produk mekanik fine-N6-0,02 > 50% yang berarti bahwa 50% produk yang
dibuat harus rapi, memiliki tingkat kerataan N6, dan memiliki tingkat toleransi 0,02. Tahapan
ini mendorong peserta didik untuk memperkuat perilaku kejujuran dengan membuktikan
sendiri batas kesanggupan dalam melakukan praktik. Dengan demikian, melalui
kemampuan motorik yang baik, peserta didik akan menghasilkan produk yang memiliki nilai
disiplin kualitas/mutu (rapi, cepat, dan presisi).
12
B. Kognitif/Knowledge
C. Afektif/Attitude
Kemampuan afektif merupakan hasil yang dicapai apabila kemampuan motorik dan
kemampuan kognitif telah berhasil ditanamkan pada peserta didik. Kemampuan ini
menumbuhkan karakter integritas pada peserta didik yang mencakup sikap disiplin,
handal, terbuka, empati, kepemimpinan, dan kewirausahaan.
Dalam kurikulum yang berlaku di tingkat TVET, hubungan antara skill, knowledge dan
attitude bergantung pada tiga mata pelajaran yang berbeda yakni mata pelajaran produktif
(kerja tangan dan kerja mesin), mata pelajaran adaptif (IPA dan IPS), dan mata pelajaran
normatif (Bahasa dan Etika). Ketiga mata pelajaran tersebut membutuhkan skill yang sama
dalam hal kerapihan, kecepatan, dan tingkat presisi. Begitu pun dengan knowledge yang
dibutuhkan adalah pengetahuan yang sistematis. Namun demikian, attitude yang dihasilkan
dari ketiganya berbeda-beda sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Dalam konsep TF, mata pelajaran produktif adalah mata pelajaran yang sangat erat
kaitannya dengan implementasi TF. Mata pelajaran ini terdiri dari dua jenis yaitu kerja
tangan (kerja bangku, GT, dll) dan kerja mesin (teknik bubut, frais, dll). Meskipun keduanya
berada pada program kurikulum yang sama, namun attitude yang dihasilkan dari keduanya
berbeda. Untuk kerja tangan, attitude yang dihasilkan bersifat kualitatif yakni cekatan.
Sementara pada kerja mesin, attitude yang dihasilkan bersifat kuantitatif yakni taktis.
Attitude ini hanya dapat dihasilkan apabila nilai-nilai dalam skill dan knowledge yang
diharapkan telah terpenuhi.
Unsur penentu pertama ini secara praktis dapat dilihat pada bagan/skema pencapaian
kompetensi sebagai berikut:
13
Bagan 2-4."Skill - Knowledge - Attitude" Level Kompetensi
Seorang yang dikatakan kompeten adalah seorang yang dianggap mampu atau dipercaya
untuk memperoleh kewenangan. Bagan di atas menjelaskan mengenai level kompetensi
melalui hubungan yang saling berkaitan antara skill, knowledge dan attitude. Garis vertikal
merupakan nilai-nilai dalam skill, garis horizontal merupakan nilai-nilai dalam knowledge,
dan garis diagonal menjelaskan nilai-nilai dalam attitude. Kemampuan motorik mencakup
kemampuan terbimbing, terbiasa, lincah, variatif, dan kreatif. Knowledge mencakup
kemampuan untuk memahami, menerapkan, menganalisa, mengembangkan konsep atau
skema, dan inovatif. Attitude mencakup sikap mandiri, integrasi, dan intuitif.
Apabila dikaitkan satu sama lainnya, nilai-nilai tersebut akan membentuk level kompetensi
profesi yang berbeda sebagai berikut:
i. Juru; level kompetensi sebagai seorang juru dapat diperoleh apabila peserta didik
memiliki sikap mandiri. Sikap ini dapat diperoleh apabila peserta didik mampu untuk
berpartisipasi, memiliki pengetahuan, memahami pengetahuan tersebut, menerima
dengan baik pengetahuannya, mampu menerapkannya, berperilaku sesuai dengan
bimbingan, dapat membiasakan diri, serta mampu menganalisa suatu permasalahan.
ii. Teknisi; pada level kompetensi ini seseorang telah mampu untuk bekerja sama
dalam sebuah tim. Untuk mencapai tahapan ini, diperlukan sikap yang mampu
mengintegrasikan atau menyelaraskan sebuah tugas. Level ini dapat diperoleh
apabila seseorang yang telah mandiri mempunyai sikap yang cekatan atau lincah,
14
memiliki pemikiran atau ide yang bervariasi, serta mampu mengembangkan sebuah
konsep atau skema.
iii. Ahli; seseorang yang telah mampu menyelaraskan atau mengintegrasikan sebuah
persoalan, memiliki kreativitas dan kemampuan untuk berinovasi maka seseorang
tersebut memiliki sikap yang terpola dan intuitif. Kemampuan ini menjadikan
seseorang layak untuk disebut sebagai seorang ahli.
2.3.2 Guru
Unsur kedua ini berkaitan dengan fungsi guru atau instruktur di institusi. Dalam hal ini, guru
atau instruktur merupakan sumber daya utama yang menjadi tolok ukur bagi peserta didik
TVET dalam mengimplementasikan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan
industri. Keteladanan guru cenderung akan ditiru oleh peserta didik dan hal ini
mempengaruhi afeksi peserta didik. Dengan kata lain, peserta didik menjadi imitator guru
atau instruktur dalam kegiatan pembelajaran praktik. Oleh karena itu, dalam melaksanakan
fungsinya guru atau instruktur mempunyai peranan dan berkemampuan sebagai:
Role model
2.3.3 Manajemen
Manajemen sekolah juga merupakan unsur yang penting dalam implementasi TF.
Manajemen berperan sebagai stimulator atau penggerak kinerja institusi. Program evaluasi
kerja sekolah mencakup beberapa aspek sebagai berikut:
Ketiga unsur penentu utama tersebut merupakan subyek utama dalam mendukung
keberhasilan implementasi TF. Dalam pelaksanaannya, ketiga unsur tersebut mengikuti
15
ketentuan yang termuat dalam kurikulum nasional. Namun demikian, pelaksanaan dari
kurikulum nasional tersebut memerlukan keselarasan dengan tuntutan perkembangan
teknologi di masyarakat dan di lingkungan industri.
16
selalu tersedia, dikerjakan sebanyak-
banyaknya oleh peserta didik dengan
pendampingan yang sesuai dan sepadan
oleh guru/instruktur, dan pemantauan
secara kontinyu guna melakukan koreksi
atas kesalahan yang terjadi selama
kegiatan praktik
b. Rekayasa Terdapat fungsi kerja yang mengakses ke
dan bisnis:
rasionalisasi o Biro konstruksi/rekayasa
o Research and development (R & D)
o Maintenance and repair (MR)
o Production Planning Control
(PPC)/Logistik
o Marketing/sale
untuk mengonversi bahan ajar menjadi
produk/layanan jasa seperti permintaan
pasar/industri
c. Self financed Mengembangkan penerimaan dari kegiatan
produktif hingga dapat memenuhi biaya
operasional sekurang-kurangnya
berkontribusi dalam penghematan (saving
cost) hingga reinvestasi (self financed)
sebagai tolok ukur keberhasilan integrasi
proses bisnis ke dalam kurikuler
17
Untuk membuktikan pencapaian dua indikator tersebut, terdapat beberapa aspek yang
harus diperhatikan oleh institusi. Aspek-aspek tersebut merupakan aspek-aspek yang dapat
mendukung pencapaian kondisi ideal implementasi TF di SMK sebagai berikut.
18
6. Produk/Jasa Menghasilkan produk/jasa yang sesuai dengan standar
7. Transparansi Pencatatan transaksi keuangan sesuai dengan standar prosedur
akuntansi (tata kelola keuangan)
8. Aspek Legal Ketersediaan aspek legal untuk penyelenggaraan TF
Bagan 2-5.Tabel Kondisi Ideal Implementasi Teaching Factory
Penerapan konsep TF membutuhkan sebuah kerangka yang sistematis agar dapat berjalan
sesuai dengan kebutuhan dunia pendidikan dan dunia industri. Kerangka tersebut bertujuan
untuk mengarahkan institusi TVET pada tahapan-tahapan yang akan dilalui sesuai dengan
struktur prosedur implementasi TF. Kerangka ini merupakan sebuah strategi yang
melibatkan hubungan antarelemen dalam sistem pembelajaran di institusi TVET yang pada
dasarnya selalu mengacu pada kurikulum nasional yang berlaku di Indonesia. Oleh karena
TF merupakan sebuah metode pembelajaran, maka strategi implementasi yang dirancang
adalah strategi yang berkaitan dengan proses kegiatan pembelajaran yang melibatkan
seluruh elemen sekolah.
Ketersediaan kurikulum atau silabus membantu institusi dalam menyusun Rencana Program
Pembelajaran (RPP) dan bahan ajar. Namun demikian, untuk menyusun RPP suatu
program studi, institusi setidaknya harus mampu mengidentifikasi kebutuhan dari program
studi tersebut dan sumber daya yang telah dimilikinya. Dalam metode pembelajaran yang
diterapkan oleh ATMI, proses identifikasi yang mengawali penyusunan RPP adalah
penentuan system schedule. Hal ini bertujuan agar penyusunan RPP tepat sasaran dan
tersistematis serta disesuaikan dengan konsep penerapan TF.
Untuk mengawali hal tersebut, terdapat dua hal yang paling komunikatif dan mendasar yaitu
Rencana Program Pembelajaran (RPP) dan schedule. Keduanya memiliki fungsi sebagai
berikut:
19
TVET
Schedule
Kurikulum/Silab
us
Kedalaman Rotasi Sarana dan Anggaran
Belajar (peserta Prasarana (operasion
Rencana didik/guru) al)
Program
Pembelajaran Waktu Belajar
(RPP)
Teknik
Mengajar
Bahan Akademis
Ajar
Teknik Evaluasi
Bahan Ajar
Schedule dan RPP merupakan perangkat utama dalam mengawali implementasi TF. Tetapi,
dalam penyusunan dan pengembangan schedule dan RPP, terdapat beberapa unsur baku
yang menjadi pertimbangan agar schedule dan RPP sesuai dengan tujuan implementasi TF.
Unsur-unsur tersebut merupakan gambaran mengenai tata cara atau garis besar dalam
mengembangkan bahan ajar (module development) menjadi beberapa tingkatan.
20
Bagan 3-2.Garis Besar Pengembangan Schedule dan RPP
1). Pengertian
Berfokus pada optimalisasi sumber daya (peserta didik, sarana dan prasarana) menjadi
sesuatu yang bernilai efisien. Oleh karena itu, dalam menyusun schedule, institusi harus
mempertimbangkan aspek-aspek sebagai berikut:
1) Kedalaman belajar
yang mencakup
o waktu belajar,
o strategi pembelajaran;
Aspek ini merupakan aspek yang sangat penting untuk dirancangkan sebelumnya
karena berkaitan dengan skala prioritas antar tiap program studi.
21
2) Rotasi,
baik peserta didik maupun guru, yang bertujuan untuk pemanfaatan sumber daya
yang dimiliki secara optimal.
4) Anggaran (operasional),
Schedule merupakan strategi implementasi yang paling mendasar dalam pola penerapan
TF. Dalam penyusunannya, schedule sangat memperhatikan hubungan antara keberadaan
dan fungsi personil serta metode yang akanditerapkan. Selain itu, setiap penyusunan
schedule dan RPP diharuskan untuk mencapai hasil akhir yaitu perilaku industri sebagai
pokok tujuan dalam konsep TF, diantaranya kompeten, produktif, dan diterima pasar
(memperoleh keuntungan/profit).
2). Penyusunan
Sebelum menyusun schedule, institusi TVET terlebih dahulu harus mengidentifikasi sasaran
dari proses belajar mengajar yaitu ranah belajar dan kedalaman belajar pada mata pelajaran
normatif, produktif, dan adaptif yang mencakup beberapa pokok sebagai berikut:
Kompetensi 1. Motorik
2. Kognitif
3. Afektif
Urutan 1. Basic
2. Aplikasi
3. Advance
4. Assessment
Metode 1. Penjelasan
2. Peragaan
22
3. Pendampingan/penyertaan
6. Pengukuran/kontrol
7. Umpan balik
Media 1. Panduan kurikuler
2. Sarana prasarana
3. Sistem penilaian
2. Non reguler
3). Cakupan
Schedule bertujuan untuk mengatur agar program pembelajaran dapat berjalan secara
berkelanjutan sebagaimana konsep yang dijalankan oleh industri untuk selalu berproduksi.
Pada schedule, institusi menerapkan sistem produksi yang kontinyu atau terus-menerus,
sehingga institusi dapat memperhitungkan estimasi dari suatu produk yang mencakup
proses penyelesaian dan pemasaran. Karena kegiatan produksi dilakukan secara kontinyu,
23
maka hasil produk bukan lagi untuk kebutuhan internal, melainkan untuk kebutuhan
eksternal. Berikut merupakan muatan yang tercakup dalam schedule:
3. Sarana dan prasarana, berkaitan dengan optimalisasi dan utilitas sarana dan
prasarana;
4. Kegiatan pembelajaran peserta didik, mengajarkan untuk bekerja sama dalam tim;
4). Pengembangan
Pengembangan schedule merupakan perpaduan dari tiga pokok sistem pembelajaran yakni
sistem pembelajaran konvensional, sistem pembelajaran blok dan sistem pembelajaran
kontinyu atau terus-menerus.
A. Konvensional
Sistem pembelajaran ini mengacu pada kurikulum nasional yang berlaku di Indonesia.
Sistem pembelajaran konvensional memuat unsur-unsur yang baku, diantaranya:
Durasi waktu, yaitu jumlah jam minimal yang digunakan oleh setiap program
keahlian. Apabila suatu program keahlian memerlukan waktu yang lebih panjang,
maka penambahan jam diintegrasikan dalam mata pelajaran yang sama di luar
jumlah jam belajar yang telah dicantumkan.
Terdiri dari berbagai mata pelajaran yang ditentukan sesuai dengan kebutuhan
setiap program keahlian.
Jumlah jam belajar Kompetensi Kejuruan pada dasarnya sesuai dengan kebutuhan
standar kompetensi kerja yang berlaku di dunia kerja, tetapi tidak boleh kurang dari
1000 jam.
24
Untuk lebih memahami sistem pembelajaran konvensional dapat dilihat pada tabel berikut.
Durasi Waktu
NO. Komponen
(Jam)
A. Mata Pelajaran
1. Normatif
1.1 Pendidikan Agama 192
1.2 Pendidikan Kewarganegaraan 192
1.3 Bahasa Indonesia 192
1.4 Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan 192
1.5 Seni Budaya 128
2. Adaptif
2.1 Matematika 516 a)
2.2 Bahasa Inggris 440 a)
2.3 Ilmu Pengetahuan Alam 192 a)
2.4 Ilmu Pengetahuan Sosial 128 a)
2.5 Fisika 276 a)
2.6 Kimia 192 a)
2.7 KKPI 202
2.8 Kewirausahaan 192
3. Produktif
a. Dasar Kompetensi Kejuruan b) 140
b. Kompetensi Kejuruan b) 1044 c)
B. Muatan Lokal 192
C. Pengembangan Diri d) (192)
Jumlah 4602
Bagan 3-4.Tabel Struktur Kurikulum (Generik) Standar - Program Keahlian Pemesinan
Durasi jam belajar yang tertulis pada struktur kurikulum adalah jumlah jam pembelajaran
tatap muka. Dua jam pembelajaran praktik di sekolah atau empat jam pembelajaran praktik
di DU/DI setara dengan satu jam tatap muka. Alokasi waktu untuk prakerin diambil dari
durasi waktu mata pelajaran Kompetensi Kejuruan (1044 jam).
B. Blok
Implementasi dari sistem ini adalah melalui sistem rotasi dalam penggunaan bengkel atau
penyelenggaraan kegiatan praktik. Hal ini sebagai strategi dalam mengatasi jumlah alat atau
mesin yang tidak sebanding dengan jumlah peserta didik. Sistem pembelajaran blok berarti
bahwa seluruh kompetensi kejuruan dapat berjalan secara serempak di satu kelas. Sebagai
contoh pada kompetensi kejuruan mekanik, dengan penerapan sistem rotasi, peserta didik
dibagi menjadi beberapa kelompok pengerjaan tugas yang berbeda seperti bench working,
25
milling, bubut, grinding, dsb. Pengerjaan tugas ini dirotasi sesuai dengan jadwal yang telah
disusun sehingga peserta didik dapat memenuhi kompetensi yang disyaratkan secara
serempak pula.
C. Kontinyu
Kombinasi dari ketiga sistem pembelajaran tersebut membantu dan mempermudah institusi
dalam menyusun schedule yang komprehensif. Berdasarkan metode TF yang diterapkan
oleh ATMI, penyusunan schedule yang komprehensif ini mencakup diantaranya:
Beban belajar merupakan keseluruhan kegiatan yang harus diikuti oleh peserta didik dalam
satu minggu, satu semester, dan satu tahun pembelajaran. Dalam schedule, pendistribusian
beban jam pelajaran juga ditentukan untuk setiap tingkatan kelas. Distribusi ini meliputi
beban belajar setiap mata pelajaran (normatif, adaptif, produktif). Beban belajar juga
dihitung dalam dua bagian, beban teori kelas dan beban praktik. Dengan perhitungan yang
disusun dalam layout global, maka dalam satu tahun ajaran diperoleh beban belajar 13
minggu praktik dan 26 minggu teori kelas.
26
Berdasarkan pada kurikulum pendidikan nasional, berlaku beban belajar sebagai berikut:
Beban belajar di SMK dinyatakan dalam jam pembelajaran per minggu. Beban
belajar satu minggu kelas XI dan XII setara dengan 48 jam pembelajaran. Durasi
setiap satu jam pembelajaran adalah 45 menit.
Beban belajar di kelas X, XI, dan XII dalam satu semester paling sedikit 18 minggu
dan paling banyak 20 minggu.
Beban belajar di kelas XII pada semester ganjil paling sedikit 18 minggu dan paling
banyak 20 minggu.
Beban belajar di kelas XII pada semester genap paling sedikit 14 minggu dan paling
banyak 16 minggu.
Beban belajar dalam satu tahun pelajaran paling sedikit 36 minggu dan paling
banyak 40 minggu.
Setiap satuan pendidikan boleh menambah jam belajar per minggu berdasarkan
pertimbangan kebutuhan belajar peserta didik dan/atau kebutuhan akademik, sosial,
budaya, dan faktor lain yang dianggap penting.
Perincian sarana dan prasarana dilakukan untuk tiga tingkatan kelas dan diatur dalam
jadwal rotasi (2 shift) seperti pada contoh tabel berikut.
Sarana Praktek
0 Pengembangan diri
36 Peserta didik-workingplace
Bagan 3-5.Schedule - Kebutuhan Sarana dan Prasarana Baku (Kelas X)
27
Mengacu pada layout global dan distribusi beban jam belajar, institusi dapat menerapkan
sistem yang lebih efisien dalam hal implementasi praktik bagi peserta didik. Seperti pada
tabel di atas, untuk sejumlah 36 peserta didik, institusi tidak perlu menyediakan jumlah
peralatan sesuai dengan jumlah peserta didik. Institusi hanya perlu mengatur jadwal rotasi
dari setiap peserta didik agar mendapatkan kompetensi praktik yang sesuai dengan mata
pelajaran yang sudah dibebankan. Oleh karena itu, kebutuhan sarana dan prasarana harus
disertakan dalam penyusunan schedule sehingga membantu institusi dalam mengalkulasi
kesesuaian sarana dan prasarana dengan rasio peserta didik.
Jadwal mata pelajaran dan jam belajar dalam satu minggu dan untuk setiap kelas seperti
contoh berikut.
Jadwal kerja shift ditujukan untuk mengatur jadwal praktik bengkel yang dibagi menjadi
jadwal pagi dan jadwal sore. Jadwal ini diatur juga berdasarkan perhitungan dalam satu
minggu (Senin hingga Sabtu). Jam praktik pun diatur sesuai dengan kebutuhan kompetensi
yang diajarkan.
28
7). Beban kerja baku guru/instruktur
Perhitungan beban kerja baku guru dihitung berdasarkan jumlah jam kerja setiap mata
pelajaran. Jumlah jam mengajar pada masing-masing jam pelajaran akan berdampak pada
perhitungan kebutuhan mengajar dalam satu minggu dan kebutuhan jumlah guru atau
instruktur. Beban kerja ini bukan hanya beban mengajar teori kelas, melainkan juga beban
mengajar praktik bengkel. Jumlah beban kerja baku masing-masing guru atau instruktur
menjadi dasar perhitungan gaji guru dalam alokasi anggaran institusi.
Jadwal praktik bengkel diatur untuk periode satu tahun ajaran. Penentuan jadwal diawali
dengan pembagian kelompok setiap kelas, yakni satu kelompok terdiri dari 3 orang peserta
didik. Hal ini dilakukan untuk penerapan sistem rotasi yang menyesuaikan ketersediaan alat
praktik dengan kompetensi yang diajarkan. Apabila setiap tingkatan terbagi menjadi tiga
kelas (X.A, X.B, X.C) maka terdapat 9 orang peserta didik yang akan melakukan praktik
kompetensi yang sama dalam jadwal shift yang telah disusun. Penyusunan jadwal praktik
bengkel mempermudah institusi dalam memonitor pemerataan kegiatan praktik dari masing-
masing kompetensi untuk seluruh peserta didik.
10) Jobsheet dan bahan ajar, 11) Produk/jasa, 12) Sale (market/network), 13) Budget
(saving cost-self finance), 14) Impact (menebar kebaikan), dan 15) Kompetitif (daya saing)
berkaitan secara langsung dengan penerapan 7 level jobsheet pada bagian pembahasan
selanjutnya.
Keseluruhan unsur ini saling berkaitan satu sama lain. Sarana dan prasarana berkaitan
dengan distribusi beban dan jam belajar, jadwal praktik bengkel, dan sistematika
pembelajaran. Kebutuhan sarana dan prasarana juga berkaitan dengan perhitungan
anggaran dan produk/jasa yang dihasilkan. Produk/jasa yang dihasilkan berkaitan dengan
saving cost-self finance dan pemasaran. Hasil dari sistem pembelajaran yang dirancang pun
harus mempunyai dampak bagi banyak pihak, terlebih lagi mampu menciptakan bibit-bibit
tenaga kerja tamatan SMK yang terampil dan berdaya saing tinggi. Oleh karena itu,
keseluruhan unsur ini disertakan dalam penyusunan schedule.
29
B. RPP (Rencana Program Pembelajaran)
1). Pengertian
RPP berfokus pada pemanfaatan bahan ajar menjadi sesuatu yang multiguna, untuk
mencapai metode pembelajaran yang efektif.
Untuk dapat menerapkan TF dengan optimal, institusi TVET perlu melakukan link & match
antara pola pembelajaran di sekolah dengan kebutuhan industri. Oleh karena itu, schedule
dan RPP menjadi perangkat yang sangat penting dalam pengembangan strategi
pembelajaran di sekolah. Pada diagram yang lebih komprehensif di bawah, penyusunan
schedule dan RPP mengikuti dari perangkat-perangkat yang telah ada sebelumnya dan
disusun sesuai dengan kebutuhan TF.
30
Bagan 3-7. Diagram Identifikasi Perangkat Pembelajaran Utama Pengertian Schedule dan RPP
31
2). Penyusunan
Berkaitan dengan prinsip yang baku (go atau not go) pada perilaku industri, guru harus
mempunyai kriteria yang rinci, sistematis dan komprehensif pada setiap tahap dan penilaian
hasil produk. Apabila prinsip yang diacu tidak cukup kuat pada tahap pengerjaan produk,
maka produk yang dihasilkan tidak layak jual dan yang terjadi adalah pemborosan.
Sehingga harus dirancang lembar evaluasi yang detil mencakup kualitas seperti furniture,
tingkat presisi, ukuran, dan hasil akhirnya (tingkat kehalusan, warna cat, dll.). Penilaian juga
harus mencakup standar waktu pengerjaan, efisiensi, inovasi, dan kreativitasnya. Sebagai
contoh, penilaian dapat dilihat dari produk berkualitas baik tetapi waktu pengerjaannya
cukup lama (tidak tepat waktu) atau waktu pengerjaan tepat waktu tetapi kurang berkualitas
baik. Hal ini dikarenakan setiap tahapan pengerjaan dalam kategori industri, dapat
menguntungkan ataupun merugikan. Oleh karena itu, penyusunan RPP untuk keperluan
implementasi Teaching Factory harus mempertimbangkan aspek industri tersebut.
Penyusunan RPP mengacu pada kurikulum nasional yang berlaku, diantaranya terkait
dengan jam belajar dan komponen mata pelajaran yang harus diajarkan. Langkah
berikutnya, dengan tetap mengacu pada kurikulum nasional, sekolah perlu menyusun
silabus dan memperhatikan kompetensi isi maupun kompetensi dasar yang harus dimuat
dalam program pembelajaran. Apabila kedua langkah ini telah berhasil dilakukan oleh
sekolah, maka rancangan RPP yang akan disusun dapat bernilai tepat sasaran yakni
mencakup tuntutan dari kurikulum dan silabus serta menyesuaikan dengan sumber daya
yang telah disusun sebelumnya dalam schedule. RPP yang disusun harus mencakup materi
belajar (bahan ajar, bahan kerja, dan bahan uji) dan sistem penilaian belajar yang baku.
Berdasarkan pada fungsinya tersebut, schedule dan RPP diidentifikasi sebagai perangkat
utama dalam pengembangan strategi pembelajaran. Dalam implementasi TF, schedule dan
RPP secara spesifik mengarah pada perilaku industri dan berperan seperti pada bagan di
bawah ini.
32
Bagan 3-1.Perangkat Utama Implementasi Teaching Factory Penyusunan Schedule dan RPP
33
3). Cakupan
3. Strategi pembelajaran,
4. Penilaian, dan
Sistem penilaian pada RPP harus mengandung dua unsur yakni engineering dan bobot
tertentu. Sistem penilaian yang digunakan merujuk pada 7 level jobsheet (akan dijelaskan
lebih lanjut pada bagian berikutnya). Sistem penilaian yang mengikutsertakan fungsi
engineering dan melibatkan bobot tertentu membuat produk hasil praktik memiliki fungsi
yang lebih dari sekedar hasil praktik. Bobot dalam sistem penilaian berkaitan dengan lama
waktu pengerjaan suatu produk. Dalam hal ini, hasil praktik sudah dapat dikatakan sebagai
hasil proyek, yakni memiliki spesifikasi tertentu dan dapat memenuhi kebutuhan internal
sekolah ataupun ditawarkan pada pasar (bernilai profit). Namun, apabila sistem penilaian
hanya berdasarkan pada bahan ajar dan bahan praktik, maka produk yang dihasilkan tidak
bernilai guna dan tidak dapat disebut sebagai perilaku industri.
4). Pengembangan
b. Alat, pengaturan penggunaan alat dalam RPP bertujuan untuk mencukupi kebutuhan
peserta didik dengan seluruh kompetensi yang disyaratkan, termasuk dengan
penerapan sistem rotasi atau shift. RPP memudahkan guru atau instruktur dalam
menyesuaikan ketersediaan alat dengan kebutuhan kompetensi yang diajarkan. Di
samping itu, melalui pengaturan alat secara detil dalam RPP, guru atau instruktur
mampu memetakan rasio alat dengan peserta didik, kapasitas alat dalam bengkel,
dan kualitas alat termasuk gambaran akan perawatan mesin secara rutin
(maintenance, repair, calibration).
c. Tempat, RPP perlu mencakup tempat karena hal ini berkaitan dengan jumlah alat
yang dimiliki atau dibutuhkan. Gedung atau layout perlu disertakan dalam RPP
34
karena berkaitan dengan penataan peralatan atau mesin yang berdampak pada 1)
efisiensi area/gedung, 2) proses produksi (arus/sirkulasi), 3) posisi kerja operator
(kompetensi peserta didik), 4) MRC peralatan, 5) keselamatan kerja (alas, letak,
arah, sinar, udara pada tata letak peralatan), 6) estetika (keteraturan dan
kebersihan), 7) loading (pasang dan bongkar peralatan), dan 8) keamanan.
35
Mengacu pada metode pembelajaran TF, maka garis besar pengembangan RPP dibagi
menjadi tujuh tingkatan atau dikenal dengan tujuh level jobsheet yang dapat
dikategorisasikan lagi berdasarkan pada prosedur implementasi TF (CBT PBET TF).
Bagan di bawah ini menggambarkan penerapan struktur prosedur TF dan fokus materi
pembelajaran di dalamnya. Fokus materi tersebut menjadi acuan bagi institusi dalam
menerapkan metode pembelajaran TF.
Berdasarkan pada 7 level jobsheet di atas, terdapat level pembelajaran basis yang diukur
berdasarkan sistem schedule dan dapat dengan mudah diterapkan oleh institusi TVET di
Indonesia. Ketiga level ini (level 1, level 2, level 3) merupakan metode pembelajaran
berbasis kompetensi dan produksi atau dengan kata lain merupakan dasar dari sistem
pembelajaran TF. Apabila institusi dapat menerapkan ketiga level pembelajaran ini dengan
baik maka institusi mempunyai dasar yang cukup kuat untuk menerapkan metode
pembelajaran selanjutnya, yakni semakin mengarah pada implementasi TF.
36
No. Level Jadwal Model Pembelajaran
2) Level 2 (CBT), pada level ini peserta didik mampu menerapkan pemahaman dan
keterampilan dasar yang diperolehnya di level 1 melalui keterampilan praktik. Level
37
ini menuntut peserta didik untuk tidak lagi bertindak sebagai imitator atau membuat
produk dengan langkah-langkah paten yang telah disediakan. Berbekal pemahaman
dan keterampilan dasar, peserta didik diharuskan mampu merancang sendiri
langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan suatu produk. Dengan demikian,
peserta didik mampu untuk mengembangkan pemahaman dan keterampilan dasar
dalam kegiatan praktik.
3) Level 3 (PBET), pada level ini peserta didik telah mampu untuk menerapkan
pemahaman dan keterampilannya dalam menghasilkan produk melalui praktik.
Dalam penerapannya, level ini mensyaratkan sense of quality, yakni pengerjaan
yang dilakukan oleh peserta didik berdasarkan pada standar obyektif atau standar
kualitas yang telah ditentukan dalam kompetensi. Oleh karena itu, sistem penilaian
yang dilakukan berdasarkan pada standar yang baku (sesuai dengan tingkat presisi
yang ditentukan). Namun, hasil produk pada level ini belum bernilai ekonomi
melainkan hanya berdasarkan pada standar kompetensi yang telah ditetapkan atau
murni untuk tujuan pendidikan. Tindak lanjut pada produk yang dihasilkan adalah
untuk kebutuhan internal institusi atau justru tidak terpakai sama sekali.
4) Level 4 (PBET), kegiatan praktik pada level ini tidak hanya berbasis pada sense of
quality tetapi juga berbasis pada sense of efficiency. Peserta didik melakukan
kegiatan praktik dengan mempertimbangkan budaya kerja di perusahaan atau
industri, yakni dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dalam setiap prosesnya.
Produk yang dihasilkan bukan hanya baik melainkan juga harus benar atau rapi
secara aspek dasar kompetensi, melainkan juga bernilai ekonomi atau memiliki daya
jual. Hasil dari produksi menjadi sumber pendapatan institusi yang disebut dengan
self-financed. Karena praktik yang dilakukan berbasis produksi, maka level ini setara
dengan struktur prosedur PBET.
5) Level 5 (TF), level pembelajaran ini lebih kompleks apabila dibandingkan dengan
empat level jobsheet sebelumnya. Metode pembelajaran pada level ini tidak hanya
mencakup sense of quality dan sense of efficiency, tetapi juga mencakup sense of
creativity and innovation. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab
pendahuluan, sense of creativity and innovation bagi peserta didik adalah
kemampuan penyelesaian masalah, penciptaan inovasi, dan kemampuan untuk
melihat peluang-peluang baru. Kemampuan inovasi di level ini digambarkan melalui
penggabungan atau integrasi antara setidaknya 3 bagian (3 parts) membentuk
sebuah produk baru. Proses ini yang membedakan jobsheet level 5 dengan jobsheet
level 4, dimana jobsheet level 4 membuat bagian dari produk (part). Level ini juga
38
mempertimbangkan aspek MRC pada peralatan untuk kebutuhan kegiatan produksi.
Selain itu, karena mempertimbangkan perilaku industri, maka peserta didik dituntut
untuk mempunyai kemampuan kerjasama yang baik dalam sebuah kelompok.
Umumnya, terdapat penanggung jawab tersendiri berkaitan dengan MRC pada
peralatan, yakni dengan penunjukan wakil kepala sekolah bidang MRC. Produk yang
dihasilkan pun sudah mempunyai nilai jual dan reinvestasi. Bentuk inovasi lainnya
pada proses pembelajaran jobsheet level 5 dilakukan dengan mengubah fungsi
akademis menjadi fungsi yang lebih produktif, misalnya ruang gambar teknik
ditransformasi menjadi biro konstruksi. Melalui serangkaian proses yang dijalankan
tersebut, level ini telah sampai pada tahapan TF. Bukan hanya kerjasama tim,
melainkan juga kemampuan mengelola sumber daya manusia, alat dan
pekerjaan/aktivitas.
6) Level 6 (TF), merupakan tindak lanjut dari jobsheet level 5. Pada level ini, kegiatan
produksi bukan hanya kegiatan praktik peserta didik melainkan repeat order atau
untuk memenuhi permintaan pasar. Kegiatan produksi dilakukan secara massal
(masspro). Tingkat kompleksitas produk memenuhi sense of quality, sense of
efficiency, dan sense of innovation. Jobsheet level ini tidak begitu signifikan untuk
dibudayakan di sekolah. Karena produksi dilakukan secara massal, maka pada level
ini memungkinkan institusi untuk bekerja sama dengan pihak lain.
7) Level 7 (TF), jobsheet ini menyerupai jobsheet level 6. Perbedaan antara keduanya
terletak pada orientasi institusi untuk kegiatan produksi bukan hanya mass
production dan repeat order, melainkan orientasi bisnis dan pasar. Dalam kategori
ini, institusi dapat mengajukan harga jual pada pasar atas produk yang ditawarkan.
Sebagaimana jobsheet level 6, jobsheet level 7 pun tidak begitu signifikan untuk
dibudayakan di sekolah. Hal ini karena jobsheet level 6 dan 7 telah mengarah pada
pembentukan technopark, yakni mencakup kegiatan consultative dan trading
(jobsheet level 8 dan 9).
39
Bagan 3-13.Kompetensi Baku dalam RPP (Jobsheet Level 1 & Level 3)
Evaluasi, secara harfiah, merupakan upaya penilaian secara teknis dan ekonomis terhadap
sesuatu untuk kemungkinan pelaksanaan pengembangannya.1 Dalam implementasi TF,
evaluasi berarti penilaian terhadap metode pembelajaran yang telah dilaksanakan guna
melakukan perbaikan berkelanjutan. Melalui proses evaluasi, institusi dapat menimbang
kekuatan dan kelemahan dari elemen-elemen yang mempengaruhi implementasi TF di SMK
dan memperoleh gambaran untuk peningkatan mutu dan kualitas yang akan menunjang
keberhasilan implementasi TF. Berikut adalah 7 parameter baku yang telah ditetapkan
sebagai bahan evaluasi TF di institusi TVET.
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia
40
training (jobsheet)
b. Bahan praktik
c. Basis praktik
d. Pelaksanaan diklat
e. Kewirausahaan
f. Kegiatan pengajar/instruktur
g. Berbasis corporate culture
4. Marketing a. Marketing & promotion plan
b. Media komunikasi untuk Teaching Factory
promosi
c. Brosur/leaflet/sarana lain (website, CD, dll.)
d. Mog up/produk contoh/model
e. Jangkauan pasar
f. Penanggung jawab
5. Produk jasa a. Produk untuk kebutuhan internal
b. Keberterimaan pasar
c. Delivery
d. Quality
e. Quality control
f. Inovasi produk/diversifikasi
6. SDM a. Kompetensi TF
b. Jumlah dan kesesuaian SDM untuk menjalankan Teaching
Factory
c. Motivasi
d. Inovasi (benefit untuk user)
e. Team work
f. Training bagi internal personel
7. Hubungan Industri a. Bentuk kerjasama
b. Project work
c. Transfer teknologi
d. Investasi oleh industri
Bagan 4-1.Tabel 7 Parameter Evaluasi Teaching Factory
41
dengan proses produksi, serta tujuan pembelajaran yang berorientasi pada perilaku
industri.
5) Produk jasa, evaluasi produksi dilakukan dalam lingkup waktu produksi (kontinyu
atau insidental), tingkat nilai tawar produk, kualitas dan keberterimaan pasar, dan
kebutuhan pengembangan produk.
6) SDM, implementasi TF harus memiliki SDM yang berpengalaman produksi dan TF,
serta SDM yang mampu berinovasi dan bekerja sama dengan baik dalam tim.
7) Hubungan industri, untuk mencapai tujuan implementasi TF, maka institusi perlu
mengevaluasi secara berkala dan mengembangkan lingkup kerjasama dengan
industri di bidang-bidang yang secara spesifik berkaitan dengan kebutuhan
pelaksanaan TF di institusi. Hubungan industri juga harus berdampak pada adanya
transfer teknologi antara industri dan institusi serta memperkirakan kemungkinan
investasi dari industri tersebut.
Evaluasi TF yang komprehensif dilakukan dan diterjemahkan ke dalam satuan angka baku
yang sudah ditentukan sehingga diperoleh hasil tertentu yang selanjutnya menunjukkan
kesiapan, potensi, dan kualitas implementasi TF di institusi. Hasil penilaian digambarkan
dengan spider graphic seperti pada gambar berikut. Semakin tumpul sudut yang dihasilkan
dan semakin proporsional bentuk dari grafik, maka semakin baik potensi yang dimiliki oleh
institusi dalam pengembangan dan perbaikan implementasi TF. Oleh karena itu, evaluasi
implementasi TF harus dilakukan secara berkala.
42
Bagan 4-2.Spider Graph Evaluasi Implementasi Teaching Factory
43
5 ANALISIS IMPLEMENTASI TEACHING FACTORY DI INSTITUSI SED-TVET
Berdasarkan pada program bimbingan teknis yang dilaksanakan oleh Tim ATMI BizDec
pada 19 Institusi Pelatihan dan Pendidikan Kejuruan Teknis GIZ SED-TVET dan mengacu
pada kondisi ideal dalam penerapan metode pembelajaran TF, maka diperoleh hasil temuan
sebagai berikut:
44
Aspek Temuan di Regional Jawa Barat, Jawa Tengah & D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan &
Kalimantan Timur
o Produk yang dihasilkan masih merupakan benda yang tidak terpakai (dibuang)
o RPP berfungsi murni pendidikan (tidak menerapkan budaya industri)
o Sistem penilaian belum menggambarkan fungsi dari sebuah produk (belum
mengedepankan kualitas dan efisiensi)
o Penyelenggaraan pembelajaran menggunakan model konvensional (pembelajaran model
kelas)
o Tidak memperhatikan rasio guru, peserta didik dan alat praktik
b. Proses Pembelajaran
o Sebagian besar sekolah masih melaksanakan proses pembelajaran level 3 dari 7 level
o Jadwal penyelenggaraan pembelajaran, sebagian besar sekolah masih melaksanakan
proses pembelajaran level 1 dari 3 level
2. Sumber Daya Manusia a. Sebagian besar guru tidak memiliki pengalaman industri sehingga masih lemah pada sense
of quality, sense of efficiency dan sense of innovation
b. Kegiatan TF terkendala oleh rendahnya motivasi
c. Inovasi hanya terletak pada bentuk suatu produk dan belum mengarah pada kegunaan suatu
produk/jasa
d. Team work belum optimal
3. Bengkel/Laboratorium a. Jumlah, jenis dan alat bantu cukup memadai, tetapi standarisasi alat termasuk kalibrasi (yang
diperlukan) kurang diperhatikan sehingga terdapat peralatan yang tidak siap pakai
45
b. Tata kelola bengkel/laboratorium belum dijalankan secara optimal
c. MRC tidak terencana dan tidak dilaksanakan
d. Luasan ruang cukup memadai, tetapi layout belum optimal (perlu re-layout) atau belum sesuai
dengan standar yang diterapkan oleh industri, kecuali SMK SMTI Makassar dan ATI
Makassar
4. Produk/Jasa a. Sebagian besar sekolah memiliki produk/jasa baik untuk internal maupun eksternal, tetapi
tingkat keberterimaan pasar masih rendah
b. Produk/jasa belum digunakan untuk media pembelajaran
c. Produk/jasa belum berjalan secara kontinyu (on/off)
5. Manajemen a. Belum ada pencatatan transaksi keuangan yang baku
b. Penetapan penanggung jawab TF belum dilakukan
c. SOP, organigram dan jobdesc telah tersedia tetapi belum diberlakukan
6. Marketing/Promotion Belum direncanakan dan belum dijalankan
7. Hubungan Industri Kerjasama hanya sebatas kegiatan prakerin dan rekrutmen tamatan
Informasi Umum:
a. Sebagian besar institusi baru benar-benar memahami konsep TF dan baru berada dalam taraf persiapan implementasi
b. Sebagian besar institusi baru akan mengimplementasikan TF pada tahun ajaran 2015/2016 dengan pertimbangan bahwa:
o Implementasi TF membutuhkan persiapan
o Program pembelajaran, yang telah disiapkan sebelumnya, sedang berjalan. Apabila program pembelajaran diubah
secara tiba-tiba, maka dikhawatirkan akan mengganggu serangkaian proses pendidikan yang sedang berlangsung.
46
No. Nama Sekolah Sebelum Sesudah Keterangan
Level Level Level Level
Jobsheet Jadwal Jobsheet Jadwal
1 STTT Bandung 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
Level Jobsheet dan Jadwal setelah coaching baru dalam taraf rencana
2 AKA Bogor 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
3 SMAK Bogor 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
4 SMK N 1 Pacet 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
5 SMKN 2 Tasikmalaya 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
6 SMK N 1 Cibinong 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
7 SMK N 1 Kota Bekasi 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
8 SMK N 2 Adiwerna 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
(diatas kertas)
9 SMK N 1 Magelang 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
10 SMK N 1 Jepara 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
11 SMTI Yogyakarta 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
12 SMK N 2 Pengasih 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
13 ATK Yogyakarta 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
14 SMK N 1 Bontang 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
15 SMTI Makassar 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0/3.0
16 SMAK Makassar 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0/3.0
17 ATIM 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
18 SMK N 2 Somba Opu 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
19 SMK N 1 Bulukumba 1.0 & 3.0 1.0 1.0 3.0 2.0
47
Level Nama Institusi Jurusan
Berdasarkan pada hasil temuan tersebut, maka analisis temuan institusi TVET mencakup
diantaranya:
A. Potensi
1. Sekolah yang ditunjuk sebagai pilot project implementasi TF merupakan
sekolah favorit dan sekolah besar (jumlah peserta didik dan jurusan banyak)
di daerahnya
48
2. Jurusan yang dinominasikan memiliki potensi untuk implementasi TF
3. Dukungan pemerintah dan lembaga dukungan cukup besar
4. Sekolah mempunyai kemampuan mengembangkan bahan ajar menjadi
produk untuk memenuhi kebutuhan internal dan eksternal (jobsheet level 4
5)
5. Sekolah mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan kegiatan
pembelajaran praktik yang kontinyu (jobsheet level 2 3)
B. Hambatan
1. Umum
a. Lemahnya kinerja perencanaan
b. Kecenderungan kinerja hanya sebatas formalitas (tidak diberlakukan)
2. Khusus
a. Pembelajaran
c. Fasilitas
o Kurangnya kesiapan peralatan (dari segi jenis, rasio, dan kondisi alat)
o Penggunaan peralatan belum optimal
o Lemah dalam perencanaan pengembangan peralatan sesuai
pengembangan produk/jasa/teknologi
d. Manajemen
o Organigram dan job description cenderung hanya bersifat formalitas
o Belum dilaksanakannya evaluasi kinerja secara baik dan benar
o Belum ada aspek regulasi yang jelas
C. Kebutuhan Dasar untuk Implementasi Teaching Factory
49
layout
6 PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Sebelum pelaksanaan program coaching dan pelatihan TF, secara umum belum ada
pemahaman yang sistematis dan komprehensif mengenai konsep TF dan
implementasinya. Setelah program coaching dan pelatihan TF, institusi dampingan mulai
memahami dan melakukan persiapan untuk implementasi konsep TF sesuai dengan yang
dicanangkan. Pada akhirnya, konsep TF dipahami sebagai metode pembelajaran untuk
pencapaian kompetensi seperti yang diterapkan dalam dunia industri, yakni mencakup:
Praktik, pembelajaran praktik berbasis teori dalam bentuk pelatihan dan simulasi. Sistem
penilaian dilakukan dalam konteks pendidikan dengan toleransi nilai lulus hingga tidak
lulus.
Institusi SED-TVET juga telah memahami dampak positif penerapan konsep TF yang
dilihat dari sisi kompetensi lulusan, efisiensi peralatan praktik dan penghematan biaya.
50
6.2 Saran
51