Anda di halaman 1dari 15

MODEL TEACHING FACTORY BERBASIS

KEUNGGULAN LOKAL DI SMK

Yustin Setiya Widoretno


Yustin_setiyo@rocketmail.com
University State of Surabaya

Abstrak: Sesuai dengan kajian literatur yang ada, dari beberapa model TEFA 1, 2
dan 3 saat ini yang ditawarkan oleh PSMK masih berorientasi pada produksi atau
jasa yang mengacu pada standar dan prosedur yang berlaku di industri.
Kelemahan-kelemahan saat ini digunakan peneliti untuk mencoba menawarkan
alternatif integrasi pada model 4 yaitu SMK membuka keunggulan lokal untuk
mitra industri untuk membangun TEFA. Metode yang digunakan dalam model
pengembangan TEFA berorientasi kenggulan lokal di SMK menggunakan model
ADDIE, meliputi 5 tahap atau langkah pengembangan yaitu analisis, desain,
pengembangan, implementasi dan evaluasi. Model SMK membuka keunggulan
lokal untuk membangun TEFA dapat menjadi acuan pengembangan pendidikan
kejuruan kedepan sehingga dapat mengurangi misconception pengembangan dan
penyelenggaraan sekolah maupun program keahlian baru yang berkembang di
setiap daerah. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan pendidikan yang
memperhatikan keunggulan lokal dan potensi daerah sehingga memiliki
pendidikan kejuruan yang berdaya saing.

Kata Kunci: Model Teaching Factory, Keunggulan lokal

INTRODUCTION
Di abad ke 21 pendidikan menjadi semakin penting untuk menjamin
peserta didik memiliki keterampilan belajar dan berinovasi, keterampilan
menggunakan teknologi dan media informasi, serta dapat bekerja dan bertahan
dengan menggunakan keterampilan untuk hidup dan karir (Trilling dan Fadel,
2009:49). Revitalisasi layanan pendidikan dalam rangka peningkatan kebekerjaan
lulusan SMK menurut Mustaqfirin (2016) adalah sebagai berikut: (1)
Penyelarasan bidang kejuruan SMK yang sesuai dengan perkembangan teknologi
dan kebutuhan industri; (2) Penguatan kualitas layanan; (3) Revitalisasi Program
SMK 4 tahun; (4) Pembelajaran kejuruan berbasis kompetensi sehingga setiap
lulusan SMK memiliki sertifikasi kompetensi yang diakui industri; dan (5)
Pemenuhan jumlah dan kualitas guru kejuruan SMK.
Selain layanan pendidikan, juga perlu dilaksanakan pembelajaran yang
berfokus pada siswa melalui: pelaksanaan dual system yang lebih sistematik,
durasi yg lebih lama, terbimbing dan sesuai dengan program keahlian yang
ditekuni, serta pembelajaran produktif melalui implementasi konsep Teaching
Factory (TEFA). Muara akhir pencapaian tingkatan dan jenis kompetensi dalam
konteks bidang tertentu ini, lebih mengarah pada ranah untuk melakukan dan
mengembangkan bidang kerja tertentu yang mempunyai nilai tambah dalam hidup
dan kehidupan di masyarakat (Mukhadis, 2013: 3-4).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada BAB X Pasal 36 ayat (3) butir C yang
menyatakan bahwa ”Kurikulum disusun sesuai dengan memperhatikan keragaman
potensi daerah dan lingkungan”. Pendidikan berbasis potensi daerah juga
ditegaskan pada Pasal 37 ayat (1) juga mensuratkan hal yang sama yakni
menyatakan bahwa “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat
keterampilan atau kejuruan dan muatan lokal”. Selain itu dalam Peraturan
Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada BAB
III pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa “Kurikulum SMP/MTS/SMPLB atau
bentuk lain yang sederajat, dan kurikulum untuk SMA/MA/SMALB atau bentuk
lain yang sederajat, dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal.
Pendidikan berbasis potensi daerah juga ditegaskan pada pasal 37 ayat (1)
juga mensuratkan hal yang sama yakni menyatakan bahwa “Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat keterampilan atau kejuruan dan
muatan lokal”. Selain itu dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan pada BAB III pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa
“Kurikulum SMP/MTS/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, dan kurikulum
untuk SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, dapat memasukkan
pendidikan berbasis keunggulan lokal.
TEFA sebagai salah satu strategi pembelajaran memiliki beberapa tujuan.
Dalam makalah yang dipublikasikan American Society for Engineering Education
Annual Conference and Exposition, Alptekin, et al (2001: 1) menyatakan bahwa
tujuan teaching factory ialah: menghasilkan lulusan yang professional di
bidangnya, mengembangkan kurikulum yang fokus pada konsep modern,
mendemonstrasikan solusi yang tepat untuk tantangan yang dihadapi dunia
industri, serta transfer teknologi dari industri yang menjadi partner dengan siswa
dan institusi pendidikan. Sementara pengembangan teaching factory di Penn State
Univesity, The University of Puerto Rico-Mayagues, The University of
Washington, dan Sandia Natinal Labs bertujuan untuk memberikan pengalaman
nyata dalam desain, manufaktur, dan realisasi produk yang dirancang serta
mengembangkan sebuah kurikulum yang memiliki keseimbangan antara
pengetahuan teori dan analisis dengan manufaktur, perancangan, kegiatan bisnis,
dan ketrampilan yang professional (Jorgensen, et al. 1995: 2).
Sedangkan dalam roadmap pengembangan SMK 2010-2014 (Direktorat
PSMK: 2009), TEFA digunakan sebagai salah satu model untuk memberdayakan
SMK dalam menciptakan lulusan yang berjiwa wirausaha dan memiliki
kompetensi keahlian melalui pengembangan kerjasama dengan industri dan
entitas bisnis yang relevan. Selain itu TEFA bertujuan untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran melalui wahana belajar sambil berbuat (learning by doing).
Pembelajaran dengan pendekatan seperti ini, akan menumbuhkan jiwa
entrepreneurship bagi siswa.
Pendidikan berbasis keunggulan lokal merupakan pendidikan yang
mengajarkan peserta didik untuk selalu dengan situasi konkrit yang mereka hadapi
sehari-hari. Model pendidikan berbasis kearifan lokal sebuah contoh pendidikan
yang mempunyai relevansi tinggi bagi kecakapan pengembangan hidup, dengan
berpijak pada pemberdayaan ketrampilan serta potensi pada tiap-tiap daerah.
Pendidikan berbasis kearifan lokal memanfaatkan keunggulan lokal dan global
dalam aspek ekonomi, seni budaya, SDM, bahasa, teknologi informasi dan
komunikasi, ekologi, dan lain-lain ke dalam kurikulum sekolah yang akhirnya
bermanfaat bagi pengembangan komptensi peserta didik yang dapat dimanfaatkan
untuk persaingan global (Direktorat Pembinaan Sekolah Kejuruan, 2017: 164).
Saat ini model TEFA di SMK hanya berorientasi pada produksi atau jasa
yang mengacu pada standar dan prosedur yang berlaku di industri. TEFA
menuntut keterlibatan mutlak pihak industri sebagai pihak yang relevan menilai
kualitas lulusan pendidikan di SMK. Kelemahan-kelemahan TEFA saat ini
digunakan peneliti untuk menawarkan model TEFA berorientasi potensi
keunggulan lokal.
Berdasarkan kondisi tersebut, tujuan dalam penulisan artikel jurnal ini
adalah mengembangkan model TEFA berorientasi keunggulan lokal di SMK
dengan memperhatikan keunggulan potensi lokal masing-masing daerah.

LITERATURE REVIEW
Teaching Factory di SMK Saat Ini
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan satuan pendidikan
kejuruan pada jenjang pendidikan menengah yang bertujuan mempersiapkan
peserta didiknya untuk dapat bekerja, baik secara mandiri atau mengisi lowongan
pekerjaan yang ada sebagai tenaga kerja tingkat menengah sesuai dengan
kompetensi yang dimilikinya. SMK dituntut mampu membekali lulusannya
dengan seperangkat kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan Dunia
Usaha/Industri (DU/DI).
Pendidikan harus memenuhi dan memperhatikan kebutuhan individu dan
masyarakat harus menjaga agar sistem tersebut saling berkorelasi satu sama lain.
Hal ini sesuai dengan pendapat Daramola, (2006) yang menyatakan bahwa,
“Education has to fulfill both the individual's needs and those of the society and
must keep pace with other sub-systems in the society, as both variables are
interrelated”. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan pendidikan kejuruan
selayaknya harus mempertimbangkan kebutuhan dan karakteristik masyarakat
sekitar. Pengembangan pendidikan yang berlandaskan kebutuhan masyarakat,
akan menghasilkan lulusan yang dapat diterima langsung sesuai dengan
karakteristik daerah.
Pengembangan SMK saat ini mulai bergerak dari orientasi pasar tenaga
kerja lokal kepada pasar tenaga kerja internasional, serta mempersiapkan para
lulusan dengan pembekalan kewirausahaan (enterpreneurship) dibutuhkan
pembelajaran yang berbasis industri dan kewirausahaan melalui teaching factory.
Bentuk pembelajaran berbasis TEFA, dimana teori belajar di sekolah digabung
dengan pendekatan berbasis produksi ada sinkronisasi tuntutan dan standar
pendidikan kejuruan dengan industri. Ada tiga model teaching factory di sistem
pendidikan kejuruan di Indonesia yaitu:
Gambar 1. Model Teaching Factory
(Strategi Implementasi Revitalisasi SMK, 2017:107)

Model teaching factory yang pertama paling sering diterapkan bagi


pendidikan di SMK saat ini. Direktorat Pembinaan SMK juga telah menetapkan
lima area revitalisasi yang terdiri atas kurikulum, guru dan tenaga kependidikan,
kerjasama dengan DU/DI, sertifikasi dan akreditasi, serta sarpras dan
kelembagaan.

Gambar 2. Perwujudan Revitalisasi dalam 10 langkah Revitalisasi SMK


(Strategi Implementasi Revitalisasi SMK, 2017:14)
Chryssolouris, et. al (2016) menjelaskan pekerjaan dimasa yang akan
datang melibatkan banyak orang, antara “factories” dan “classrooms”. Teaching
factory juga bisa memiliki dampak signifikan pada pelatihan kejuruan. Teknologi
baru dan konsep manufaktur dapat ditransmisikan kepada operator yang bekerja di
lingkungan industri. Selanjutnya penggunaan konsep teaching factory mendorong
jiwa kewirausahaan di universitas dan inovasi dalam perusahaan, melalui proyek
bersama antara akademisi dan industri.
Tish. M (2013) menjelaskan kompetensi berorientasi learning factories
memenuhi persyaratan industri dapat diimplementasikan dengan penggunaan
sumber input yang lebih sedikit dan peningkatan keberhasilan dalam penerapan
kompetensi dalam situasi nyata.
Pada pelaksanaan teaching factory diperlukan beberapa elemen-elemen
yang perlu dikembangkan demi tercapaianya tujuan dari pembelajaran.
Kuswantoro (2014: 25) menyatakan elemen-elemen teaching factory yaitu: (1)
standar kompetensi, standar kompetensi yang perlu dikembangkan dalam teaching
factory adalah kompetensikompetensi yang dibutuhkan siswa ketika memasuki
dunia industri; (2) siswa, siswa termasuk bagian dari sumber daya manusia dalam
pelaksanaan teaching factory; (3) media pembelajaran, teaching factory
menggunakan pekerjaan produksi sebagai media dalam proses pembelajaran; (4)
penggunaan perlengkapan dan peralatan, harus memperhatikan beberapa hal yang
meliputi, pemeliharaan perlengkapan dan peralatan yang optimal, pemanfaatan
peralatan untuk memberikan fasilitas yang berguna dalam mengembangkan
kompetensi siswa bersamaan dengan penyelesaian produksi dengan hasil yang
berkualitas, penggantian perlengkapan dan peralatan ketika sudah tidak efektif
digunakan dalam produksi; (5) pengajar adalah mereka memiliki kualifikasi
akademik dan pengalaman di industri; (6) penilaian, teaching factory menilai
kompetensi siswa melalui penyelesaian produk.
Secara umum model pembelajaran teaching factory ini bertujuan untuk
melatih siswa dalam mencapai ketepatan waktu, kualitas yang dituntut oleh
industri, mempersiapkan siswa sesuai dengan kompetensi keahliannya,
menanamkan mental kerja dengan beradaptasi secara langsung dengan kondisi
dan situasi industri, dan menguasai kemampuan manajerial dan mampu
menghasilkan produk jadi yang mempunyai standar mutu industri.
Dari uraian di atas diperoleh kesimpulan bahwa teaching factory
merupakan suatu gabungan dari pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi
dan pembelajaran berbasis produksi dimana proses belajar mengajar dilakukan
seperti di dunia kerja yang sesungguhnya dengan mengadakan kegiatan produksi
atau layanan jasa di lingkungan sekolah. Barang atau jasa yang dihasilkan
memiliki kualitas sehingga layak jual dan dapat diterima masyarakat atau
konsumen.
Berdasarkan hasil penelaahan mengenai model-model TEFA yang ada,
maka model TEFA berbasis keunggulan lokal dapat dilaksanakan pada semua
program keahlian yang ada di SMK dengan memperhatikan kearifan lokal
masing-masing daerah. Model TEFA yang sesuai dengan potensi daerah akan
memicu pertumbuhan perekonomian masyarakat lokal, sehingga setiap daerah
mampu bersaing sesuai dengan karakteristik dan keunikan daerah. Beberapa hal
penting yang selayaknya menjadi pertimbangan dalam pengembangan TEFA
pendidikan kejuruan di setiap daerah yaitu karakteristik daerah, regulasi
pemerintah daerah, kesadaran masyarakat, kesiapan sekolah, dan karakteristik
industri setempat. Kelima aspek tersebut sangat penting untuk dijadikan dasar
pengembangan pendidikan kejuruan agar menghasilkan penyelenggaraan
pendidikan kejuruan berbasis kearifan lokal yang mampu mencetak lulusan yang
kompeten dan kompetitif.
Bidang Kegiatan Teaching Factory
Dalam penjelasan yang diperoleh dari Direktorat PSMK (2009), berikut ini
merupakan bidang-bidang kegiatan teaching factory yang dapat dikembangkan
oleh SMK :
a. Bidang Manufaktur
Kegiatan teaching factory dalam bidang manufaktur misalkan saja
dengan pembuatan peralatan perkakas, peralatan pertanian, peralatan
elektronik, dan kendaraan bermotor. Untuk pembuatan peralatan perkakas,
SMK dapat bekerjasama dengan perusahaan Shigata, Headman, Tosuro,
Sarimas, Perkasa, dan ATMI. Sedangkan untuk peralatan pertanian, SMK
dapat melakukan kerjasama dengan perusahaan Agrindo dan Almas yang
memproduksi traktor tangan. Selain perusahaan-perusahaan yang telah
disebutkan di atas, SMK dapat menjalin kerjasama dengan perusahaan lain
yang sesuai dengan kegiatan teaching factory yang dikembangkan oleh SMK.
Bidang manufaktur tepat dikembangkan oleh SMK yang memiliki
program studi keahlian dalam bidang teknik mesin, teknik otomotif, teknologi
pesawat udara, teknik perkapalan, dan program studi keahlian lain yang masuk
dalam bidang studi teknologi dan rekayasa.
b. Bidang Agro Bisnis
Bidang agro bisnis meliputi pertanian, perikanan dan peternakan.
Kegiatan yang dilakukan mulai dari kegiatan produksi dan pengolahan hasil
pertanian, perikanan, dan peternakan. Dalam bidang pertanian misalkan saja
produksi melon, jagung, dan sayuran. Sementara dalam bidang perikanan
misalkan saja produksi dan pengolahan ikan lele. Sedangkan dalam bidang
peternakan misalkan saja produksi ayam, sapi perah, dll. Bidang agro bisnis
tepat dikembangkan oleh SMK yang memiliki bidang keahlian dalam agro
bisnis dan pengolahan hasil pertanian.
c. Bidang Bisnis Ritel
Bidang bisnis ritel mengajarkan kepada siswa untuk berwirausaha
dengan kegiatan penjualan langsung barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Kegiatan ini dapat dilakukan dengan mendirikan sebuah Bisnis Center di SMK
ataupun dengan memberikan tugas kepada siswa untuk menjual barang-barang
yang telah disediakan oleh sekolah kepada konsumen secara langsung.
d. Bidang Bisnis Jasa
Bidang bisnis jasa dapat dilakukan oleh SMK-SMK yang memiliki
bidang kompetensi keahlian dalam tata busana, tata boga, tata kecantikan
maupun SMK lain yang yang memiliki kompetensi keahlian dalam bidang
yang memerlukan after sales service seperti otomotif dan elektronik. Salah satu
bentuk kegiatan yang dilakukan misalnya usaha catering, kantin sekolah, salon
kecantikan, perawatan kulit dan wajah, pembuatan baju, servis kendaraan,
servis elektronik, dll.
e. Bidang Pariwisata dan Seni
Bidang pariwisata dan seni dapat dilakukan oleh SMK-SMK yang
memiliki kompetensi keahlian perhotelan, seni musik, seni batik, dan seni kria.
Berbagai bentuk kegiatan yang telah dilakukan misalkan saja pembuatan
souvenir dari kayu, kain batik, pentas tari, biro perjalanan wisata, jasa
penginapan (edotel) maupun pentas musik.
Kelemahan-kelemahan Teaching Factory di SMK Saat Ini
Pembelajaran melalui teaching factory ini bertujuan untuk
menumbuhkembangkan karakter dan etos kerja (disiplin, tanggung jawab, jujur,
kerjasama, kepemimpinan) yang dibutuhkan Dunia Usaha/Industri, meningkatkan
kualitas hasil pembelajaran dari sekedar membekali kompetensi (competency
based training) menuju ke pembelajaran yang membekali kemampuan
memproduksi barang/jasa (production based training), sebagai wahana kreativitas
pengembangan technopreneur, membangun budaya industri di sekolah, sebagai
sumber keuntungan bagi sekolah melalui Unit Produksi Jurusan (UPJ) yang
sekaligus sebagai unit praktik bagi peserta didik (PSMK, 2017:111).
Lamancusa, Zayas, Soyster, Morel, dan Jorgensen (2008: 7) menyatakan
bahwa konsep TEFA ditemukan karena tiga faktor yaitu: (1) pembelajaran yang
biasa saja tidak cukup; (2) keuntungan peserta didik diperoleh dari pengalaman
praktik secara langsung; dan (3) pengalaman, pembelajaran berbasis team yang
melibatkan siswa, staf pengajar dan partisipasi industri memperkaya proses
pendidikan dan memberikan manfaat yang nyata bagi semua pihak.
Kemudian menurut Lamancusa, Jorgensen, Zayas-Castro, Ratner (1995:
5), prinsip dasar TEFA merupakan pengintegrasian pengalaman dunia kerja ke
dalam kurikulum sekolah. Semua peralatan dan bahan serta pelaku pendidikan
disusun dan dirancang untuk melakukan proses produksi dengan tujuan untuk
menghasilkan produk (barang ataupun jasa).
Menurut Moerwismadhi (2009: 2) mengungkapkan bahwa dalam TEFA,
sekolah melaksanakan kegiatan produksi atau layanan jasa yang merupakan
bagian dari proses belajar mengajar. Dengan demikian sekolah diharuskan
memiliki sebuah pabrik, workshop atau unit usaha lain untuk kegiatan
pembelajaran. Kegiatan praktik siswa sekolah kejuruan di Jerman dilakukan di
dalam sebuah pabrik atau perusahaan, sedangkan pemerintah mengajarkan materi-
materi teoritik di sekolah selama satu sampai dua hari per minggu.
Hadlock, et al. (2008), menjelaskan bahwa tujuan TEFA adalah
menyadarkan bahwa mengajar siswa seharusnya lebih dari sekedar apa yang
terdapat dalam buku. Peserta didik tidak hanya mempraktikan soft skill dalam
pembelajaran, belajar untuk dapat bekerja secara tim, melatih kemampuan
komunikasi secara interpersonal, tetapi mendapatkan pengalaman secara langsung
dan latihan bekerja untuk memasuki dunia kerja nantinya. Pembelajaran TEFA
mengajarkan kepada siswa bagaimana menemukan masalah, membangun
prototype, belajar membuat proposal bisnis, dan belajar untuk mempresentasikan
solusi yang mereka miliki. Proses pembelajaran TEFA peserta didik belajar
tentang keterampilan yang penting untuk dikuasai, seperti bagaimana cara untuk
memenuhi tingkat waktu dan dugaan-dugaan yang mungkin muncul, membangun
dan bekerja dalam tim serta bekerja sama dengan beragam orang yang memiliki
kemampuan dan bakat yang beragam.
Dalam konsep sederhana TEFA merupakan pengembangan dari unit
produksi dan pendidikan sistem ganda yang sudah dilaksanakan di SMK- SMK.
Konsep TEFA merupakan salah satu bentuk pengembangan dari sekolah kejuruan
menjadi model sekolah produksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
disampaikan oleh Triatmoko (2009: 35) bahwa SMK masih kesulitan untuk
menerapkan pendidikan berbasis produksi (production based education and
training) sebagaimana yang dilaksanakan di ATMI (Akademi Teknik Mesin
Indonesia). Oleh karena itu dimunculkan istilah TEFA yang mengharuskan SMK
yang melaksanakannya untuk memiliki sebuah unit usaha atau unit produksi
sebagai tempat untuk pembelajaran siswa.
Dari uraian di atas diperoleh kesimpulan bahwa TEFA merupakan suatu
gabungan dari pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran
hanya fokus berorientasi produksi saja, dimana proses belajar mengajar dilakukan
seperti di dunia kerja yang sesungguhnya dengan mengadakan kegiatan produksi
atau layanan jasa di lingkungan sekolah.
Saat ini model TEFA di SMK masih berorientasi pada produksi atau jasa
yang mengacu pada standar dan prosedur yang berlaku di industri. TEFA
menuntut keterlibatan mutlak pihak industri sebagai pihak yang relevan menilai
kualitas lulusan pendidikan di SMK. Kelemahan-kelemahan TEFA saat ini
digunakan peneliti untuk menawarkan model TEFA berorientasi keunggulan lokal
di SMK.
Model Teaching Factory Berbasis Keunggulan Lokal dalam Penyiapan
Lulusan di SMK
Sesuai dengan amanah Nawacita tahun 2016 telah menempatkan
pendidikan kejuruan sebagai prioritas utama pembangunan pendidikan. Presiden
juga telah mengeluarkan Inpres Nomor 9 tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK
dalam rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia
Indonesia yang menjadi arah pembangunan pendidikan kejuruan ke depan. Salah
satu poin penting pada Inpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing
Sumber Daya Manusia Indonesia adalah menyempurnakan dan menyelaraskan
kurikulum SMK dengan kompetensi sesuai kebutuhan pengguna lulusan (link and
match).
Pendidikan kejuruan diyakini sebagai bagian yang tidak terpisahkan
perkembangan masyarakat, dan bahkan besar konstribusinya bagi peningkatan
ekonomi suatu negara. (Hanafi, 2012; Lynch, R, 2000; Chang, 2010) Daya saing
negara tergantung pada pengetahuan dan keterampilan tenaga kerjanya dan untuk
membuat tenaga kerja berpengetahuan dan berketerampilan, banyak bergantung
pada kualitas pendidikannya. Tenaga kerja yang terlatih akan dapat meningkatkan
nilai tambah produksi berupa produktivitas yang tinggi, biaya rendah, tingginya
kualitas produksi, dan pada akhirnya investasi yang ditanam dapat kembali
dengan lebih cepat.
Sesuai dengan kajian literatur yang ada, dari beberapa model TEFA 1, 2
dan 3 saat ini yang ditawarkan oleh PSMK masih berorientasi pada produksi atau
jasa yang mengacu pada standar dan prosedur yang berlaku di industri. TEFA
menuntut keterlibatan mutlak pihak industri sebagai pihak yang relevan menilai
kualitas lulusan pendidikan di SMK. Kelemahan-kelemahan TEFA saat ini
digunakan peneliti untuk mencoba menawarkan alternatif model pengembangan
integrasi TEFA berorientasi keunggulan lokal di SMK. Adapun model 4 prototipe
yang diusulkan oleh peneliti sebagai berikut:
MODEL 4

SMK membuka
keunggulan lokal
untuk mitra
industri untuk
membangun
Teaching Factory

Gambar 3. Pengembangan Model 4 TEFA Berbasis Keunggulan Lokal

METHODOLGY
Metode yang digunakan dalam model pengembangan TEFA berorientasi
kenggulan lokal di SMK menggunakan model ADDIE. Menurut Molenda, M.
(2003) model ADDIE menggunakan 5 tahap atau langkah pengembangan yaitu
analisis, desain, pengembangan, implementasi dan evaluasi. Model integrasi SMK
membuka keunggulan lokal dipilih oleh peneliti karena dianggap model yang
sesuai pada pengembangan pendidikan kejuruan kedepan sehingga dapat
mengurangi misconception pengembangan dan penyelenggaraaan sekolah di
setiap daerah. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan pendidikan yang
memperhatikan keunggulan lokal dan potensi daerah sehingga memiliki
pendidikan kejuruan yang berdaya saing.

RESULTS AND DISCUSSION


Mengacu pada langkah-langkah pengembangan model ADDIE maka dapat
dijabarkan pengembangan model TEFA berorientasi keunggulan lokal di SMK
sebagai berikut:
1. Analisis (Analyze)
Tahap analisis merupakan suatu proses needs assessment dan
mengidentifikasi masalah TEFA saat ini. Dalam hal ini SMK membuka
keunggulan lokal untuk mitra industri untuk membangun TEFA belum pernah
diidentifikasi sebelumnya sehingga mengetahui peta potensi keunggulan SMK
di masing-masing daerah.
2. Desain (Design)
Tahap ini dikenal dengan istilah membuat rancangan (prototype) yang
diusulkan peneliti tampak pada gambar 3 yaitu model 4 TEFA.
3. Pengembangan (Development)
Merupakan proses mewujudkan rancangan atau desain menjadi model
yang ditawarkan. Pada tahap pengembangan atau develop ini kegiatan
dilakukan dengan merealisasikan konsep yang sudah dibuat pada tahapan
model design yang sudah dilakukan sebelumnya. Dalam hal ini, peneliti
mengembangkan model 4 TEFA di SMK membuka keunggulan lokal untuk
mitra industri untuk membangun TEFA yang belum pernah dilakukan oleh
peneliti lain sebelumnya.
4. Implementasi (Implementation)
Implementasi adalah langkah nyata untuk menerapkan model rancangan
yang dibuat. Artinya pada tahap ini segala sesuatu telah di set sedemikian rupa
sesuai dengan peran dan fungsinya agar bisa diimplementasikan.
5. Evaluasi (Evaluation)
Pada tahap ini evaluasi model 4 TEFA untuk mengetahui apakah model
yang dikembangkan berhasil sesuai dengan harapan awal atau tidak.

CONCLUSION
Sesuai dengan kajian literatur yang ada, dari beberapa model TEFA 1, 2
dan 3 saat ini yang ditawarkan oleh PSMK masih berorientasi pada produksi atau
jasa yang mengacu pada standar dan prosedur yang berlaku di industri. TEFA
menuntut keterlibatan mutlak pihak industri sebagai pihak yang relevan menilai
kualitas lulusan pendidikan di SMK. Kelemahan-kelemahan saat ini digunakan
peneliti untuk mencoba menawarkan alternatif integrasi pada model 4 yaitu SMK
membuka keunggulan lokal untuk mitra industri untuk membangun TEFA. Model
SMK membuka keunggulan lokal untuk membangun TEFA dapat menjadi acuan
pengembangan pendidikan kejuruan kedepan sehingga dapat mengurangi
misconception pengembangan dan penyelenggaraan sekolah maupun program
keahlian baru yang berkembang di setiap daerah. Hal ini bertujuan untuk
mengembangkan pendidikan yang memperhatikan keunggulan lokal dan potensi
daerah sehingga memiliki pendidikan kejuruan yang berdaya saing.

REFERENCES

Alptekin, S.E. Pouraghabagher, R. McQuaid. P, & Waldorf .P. 2001. Teaching


factory. Proceedings of the 2001 American Society for Engineering
Education Annual Conference & Exposition, San Luis Obispo, 3563.
Chang, T. Y., & Hsu, J. M. (2010). Development framework for tourism and
hospitality in higher vocational education in Taiwan. Journal of
Hospitality, Leisure, Sports and Tourism Education (Pre-2012), 9(1), 101.
Chryssolouris. G., Mavrikiosa. D., & Rentzosa. L. 2016. The Teaching Factory: A
Manufacturing Education Paradigm. 49th CIRP Conference on
Manufacturing Systems Procedia CIRP 57: 44-48.
Daramola, C. O. 2006. Education And Society: What Type Of Relationship?.
Ilorin:Education Foundations.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Depdiknas. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Direktorat Pembinaan SMK.2016.Optimalisasi Pembelajaran di SMK Untuk
menghasilkan Skilled Labor pada era masyarakat ekonomi ASEAN
(MEA). Jakarta: Direktorat Peminaan Sekolah Menengah Kejuruan.
Direktorat PSMK. 2006. Penyelenggaraan Sekolah Menengah Kejuruan Kaitanya
dengan Aspek Mutu Outcome Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Jakarta: Depdiknas
Direktorat PSMK. 2009. Roadmap pengembangan SMK 2010-2014. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
PSMK. Strategi Implementasi Revitalisasi SMK (10 Langkah Revitalisasi SMK).
Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.
Hadlock, H. Wells.S, Hall, Clifford. J, Winowich.N, & Burns. J. 2008. From
Practice to Entrepreneurship: Rethingking the Learning Factory Approach.
Proceeding of the 2008 IAJC IJME International Conference, ISBN 978-1-
60643-379-9.
Joice, B. & Weil, M. 2000. Model of Teaching. New York: Englewood Cliffs
Prentice Hall.
Jorgensen, J.E, Lamancusa, J.S, Castro, J.L, & Ratner.J. 1995. The learning factory.
Proceedings of the Fourth World Conference on Engineering Education, St.
Paul, Minneapolis, USA.
Kuswantoro, Agung. 2014. Teaching Factory: Rencana dan Nilai
Enterpreneurship. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lamancusa, John S., Jorgensen, Jens E., Zayas- Castro, & Jose L. 1995. The
learning factory – a new approach to integrating design and manufacturing
into engineering curricula. ASEE Proceedings, Anaheim,California, 2262.
Lamancusa, John S., Zayas, Jose L., Soyster, & Allen L. 2008. The Learning
Factory: industry-Partnered Active Learning. Journal of engineering
Education.
Lynch, R. (2000). High school career and technical education for the first decade
of the 21st century. Journal of vocational education research, 25(2), 155-
198.
Maekae, J., dan Kingdom, E. 2013. The Role Of Education In National
Development: Nigerian Experience. European Scientific Journal. Vol. 9
(28): 1857-7881.
Moerwishmadhi. 2009. Teaching factory suatu pendekatan dalam pendidikan
vokasi yang memberikan pengalaman kearah pengembangan
technopreneurship. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional
Technopreneurship Learning for Teaching factory di Universitas Negeri
Malang.
Molenda, M. (2003). In search of the elusive ADDIE model. Performance
improvement, 42(5), 34-37
Mukhadis, Amat. 2013. Evaluasi Program Pembelajaran Bidang Teknologi:
Terminologi, Prosedur Pengembangan Program, dan Instrumen. Malang:
Bayumedia Publishing.
Mustaghfirin. 2016. Revitalisasi Layanan Pendidikan Kejuruan. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.
Nayang Polytechnic. 2003. An Overview Teaching factory Concept. Diambil dari
http://www.nyp. edu.sg/seg/innovative-teachingnlearning/ the-teaching-
factory-concept pada 20 November 2017.
State Board of Education. 1997. Production Work Handbook: A Handbook for
Administering Production Work Activities in Workforce Development
Education Programs. North Carolina: State Board of Education.
Tisch, M., Hertle, C., Cachay, J., Abele, E., Metternich, & J., Tenberg, R. 2013. A
systematic approach on developing action-oriented, competency-based
Learning Factories. Forty Sixth CIRP Conference on Manufacturing Systems
Procedia CIRP 7:580-585.
Triatmoko, SJ. 2009. The ATMI story, rainbow of excellence. Surakarta:
Atmipress.
Trilling and Fadel. 2009. 21st Century Skills: Learning for life in our times. USA:
Jossey-Bass.

Anda mungkin juga menyukai