Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 2005, Kementerian Kesehatan menetapkan strategi kerja yaitu:

menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan

akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, meningkatkan

sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, serta meningkatkan

pembiayaan kesehatan. Namun strategi untuk surveilans belum berjalan dengan

baik sehingga diperlukan banyak perbaikan agar tercapainya sistem surveilans

yang efektif di Indonesia.

Prioritas surveilans penyakit yang perlu dikembangkan adalah penyakit yang dapat

dicegah dengan imunisasi, penyakit yang potensial menimbulkan wabah atau

kejadian luar biasa, penyakit menular dan keracunan, demam berdarah dan demam

berdarah dengue, malaria, penyakit-penyakit zoonosis antara lain antraks, rabies,

leptospirosis, filariasis serta tuberkulosis, diare, tipus perut, kecacingan dan

penyakit perut lainnya, kusta, frambusia, penyakit HIV/AIDS, penyakit menular

seksual, pneumonia, termasuk penyakit pneumonia akut berat (severe acute

respiratory syndrome), hipertensi, stroke dan penyakit jantung koroner, diabetes

mellitus, neoplasma, penyakit paru obstuksi menahun, gangguan mental dan

gangguan kesehatan akibat kecelakaan.

1
Permasalahan tidak berjalannya sistem surveilans tidak saja terjadi pada sistemnya

melainkan juga pada pelaksananya. Selain itu, pelaksanaan program surveilans

oleh unit kesehatan belum terintegrasi secara menyeluruh dan perlunya kehadiran

petugas kesehatan di tengah-tengah masyarakat sebagai tempat mereka bertanya

tentang masalah kesehatan yang mereka hadapi agar dapat dicarikan alternatif dan

solusi untuk permasalahan tersebut.

Maka dari itu, masih banyak diperlukan pembenahan pada pelaksanaan program

surveilans di Puskesmas agar dapat ditingkatkan derajat kesehatan individu,

keluarga dan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas khususnya, dan masyarakat

Indonesia secara umum.

1.2. Batasan Masalah

Makalah ini membahas tentang surveilans, terutama pada tingkat puskesmas.

1.3. Tujuan Penulisan

Makalah ini dibuat untuk membahas tentang Surveilans, Pencatatan dan Pelaporan

yang diharapkan nantinya akan menambahkan pengetahuan dan pemahaman kita

bersama tentang Ilmu Kesehatan Masyarakat.

1.4. Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk pada berbagai

literature.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Surveilans

Istilah surveilans berasal dari bahasa Prancis, yaitu 'surveillance' yang berarti

mengamati tentang sesuatu. Meskipun konsep surveilans telah berkembang cukup

lama, tetapi seringkali timbul kerancuan dengan kata 'surveillance' dalam bahasa

Inggris, yang berarti mengawasi perorangan yang sedang dicurigai. Sebelum tahun

1950, surveilans memang diartikan sebagai upaya pengawasan secara ketat kepada

penderita penyakit menular, sehingga penyakitnya dapat ditemukan sedini

mungkin dan diisolasi secepatnya serta dapat diambil langkah-langkah

pengendalian seawal mungkin. Ada beberapa definisi surveilans, diantaranya

adalah:1

Menurut The Centers for Disease Control, surveilans kesehatan masyarakat

adalah: The ongoing systematic collection, analysis and interpretation of health

data essential to the planning, implementation, and evaluation of public health

practice, closely integrated with the timely dissemination of these data to those

who need to know. The final link of the surveillance chain is the application of

these data to prevention and control.

Langmuir, mengemukakan bahwa surveilens adalah kegiatan perhatian yang terus

menerus pada distribusi dan kecenderungan penyakit melalui sistematika

3
pengumpulan data, konsolidasi, dan evaluasi laporan morbiditas serta mortalitas

juga data lain yang sesuai, kemudian disebarkan kepada mereka yang ingin tahu.

Pengumpulan data yang sistematik

Konsolidasi dan evaluasi data

Diseminasi awal pada mereka yang butuh informasi, terutama mereka yang

berposisi pengambil keputusan

Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data

secara terusmenerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan

(disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan

penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008).

D.A. Henderson, 1976, surveilens berfungsi sebagai otak dan sistem saraf untuk

program pencegahan dan pemberantasan penyakit. Sedangkan menurut WHO,

1968, surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi

data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit

yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.

Surveilans merupakan pengamatan terus menerus dan dilaksanakan secara

sistematis terhadap penyakit atau masalah kesehatan serta faktor-faktor yang

mempengaruhinya agar dapat dilakukan tindakan perbaikan atau penelitian, melalui

kegiatan pengumpulan, pengolahan dan analisis/interpretasi data, diseminasi

4
informasi dan komunikasi ke berbagai pihak terkait.2

Surveilans memungkinkan pengambil keeputusan untuk memimpin dan mengelola

dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi

kewaspadaan dini bagi pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah

kesehatan yang perlu diperhatikan pada suatu populasi. Surveilans kesehatan

masyarakat merupakan instrumen penting untuk mencegah outbreak penyakit dan

mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai menyebar. Informasi dari

surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan, kementerian keuangan, dan

donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik .1

Gambar 1. Prinsip umum surveilans

2.2. Tujuan Surveilans

Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah

5
kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan

dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus

surveilans: (1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit; (2) Mendeteksi

perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak; (3)

Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden)

pada populasi; (4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu

perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan; (5)

Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan; (6) Mengidentifikasi

kebutuhan riset.3

Gambar 2 menyajikan contoh penggunaan surveilans untuk mendeteksi outbreak

disentri. Grafik yang menghubungkan periode waktu pada sumbu X dengan

insidensi kasus penyakit pada sumbu Y dapat digunakan untuk memonitor dan

mendeteksi outbreak. Kecurigaan outbreak terjadi pada kuartal ke 4 tahun 2008,

ketika insidensi mencapai 3 kali rata-rata per kuartal.

Gambar 2. Penggunaan Surveilans untuk Mendeteksi Outbreak.

Surveilans dapat juga digunakan untuk memantau efektivitas program kesehatan.

Gambar 3 menyajikan contoh penggunaan surveilans untuk memonitor performa

6
dan efektivitas program pengendalian TB. Perhatikan, dengan statistik deskriptif

sederhana surveilans mampu memberikan informasi tentang kinerja program TB

yang meningkat dari tahun ke tahun, baik jumlah kasus TB yang dideteksi,

ketuntasan pengobatan kasus, maupun kesembuhan kasus. Perhatikan pula peran

penting data time-series dalam analisis data surveilans yang dikumpulkan dari

waktu ke waktu dengan interval sama.

Gambar 3. Penggunaan Surveilans untuk Memonitor Kinerja Program

Menurut McNabb et al, surveilans berperan dalam mendeteksi KLB, letusan,

wabah (epidemi), memonitor kecenderungan penyakit endemic, evaluasi

intervensi, memonitor kemajuan pengendalian, memonitor kinerja program,

prediksi KLB, letusan, wabah (epidemi), dan memperkirakan dampak masa datang

dari penyakit.4

7
2.3. JENIS SURVEILANS

Dikenal beberapa jenis surveilans: (1) Surveilans individu; (2) Surveilans

penyakit; (3) Surveilans sindromik; (4) Surveilans Berbasis Laboratorium; (5)

Surveilans terpadu; (6) Surveilans kesehatanmasyarakat global.

2.3.1. Surveilans Individu

Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor

individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya

pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu

memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak,

sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina

merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang

atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular

selama periode menular. Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit

selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001).

Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan

SARS. Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial.

Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar

penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang

yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara

selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi

penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit

8
campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang

ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pospos lainnya tetap bekerja.

Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah

legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan

efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan

kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).

2.3.2 Surveilans Penyakit

Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-

menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui

pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan

penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian

surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu. Di banyak negara,

pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal

(pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans

malaria.

Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak

sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena

pemerintah kekurangan biaya. Banyak program surveilans penyakit vertikal

yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya,

menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk

sumberdaya masing-masing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga

9
mengakibatkan inefisiensi.

2.3.3. Surveilans Sindromik

Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan

terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-

masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-

indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum

konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator

individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan

laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh

konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.

Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun

nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-

penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala

praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi

melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan

batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah

kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan

jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna untuk memonitor

aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu burung, dan antraks,

sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai

instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004;

10
Sloan et al., 2006).

Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari

fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu,

disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel

merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan

menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade,

2010).

2.3.4. Surveilans Berbasis Laboratorium

Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor

penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui

makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk

mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi utbreak penyakit

dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan

sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).

2.3.5. Surveilans Terpadu

Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua

kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/

kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu

menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi

mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit.

Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan

11
kebutuhan data khusus penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et

al., 2006).

Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang surveilans sebagai

pelayanan bersama (common services); (2) Menggunakan pendekatan solusi

majemuk; (3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural; (4)

Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan,

pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni,

pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen

sumber daya); (5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian

penyakit. Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap

memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang

berbeda (WHO, 2002).

2.3.6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global

Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan

binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara.

Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang

dan negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi

global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu

di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti,

pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-

kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka

penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang

12
muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru

muncul (new emerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS.

Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru,

termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi (Calain,

2006; DCP2, 2008).

2.4. Indikator Surveilans

2.4.1. Akurat

Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil mungkin

terjadi hasil negatif palsu. Aspek akurasi lainnya adalah spesifisitas, yakni

sejauh mana terjadi hasil positif palsu. Pada umumnya laporan kasus dari

masyarakat awam menghasilkan false alarm (peringatan palsu). Karena itu

sistem surveilans perlu mengecek kebenaran laporan awam ke lapangan, untuk

mengkonfirmasi apakah memang tengah terjadi peningkatan kasus/ outbreak.

Akurasi surveilans dipengaruhi beberapa faktor: (1) kemampuan petugas; (2)

infrastruktur laboratorium. Surveilans membutuhkan pelatihan petugas. Contoh,

para ahli madya epidemiologi perlu dilatih tentang dasar laboratorium, sedang

teknisi laboratorium dilatih tentang prinsip epidemiologi, sehingga kedua pihak

memahami kebutuhan surveilans. Surveilans memerlukan peralatan

laboratorium standar di setiap tingkat operasi untuk meningkatkan kemampuan

konfirmasi kasus.

2.4.2. Standar, seragam, reliabel, kontinu

13
Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar penting dalam sistem

surveilans agar diperoleh informasi yang konsisten. Sistem surveilans yang

efektif mengukur secara kontinu sepanjang waktu, bukannya intermiten atau

sporadis, tentang insidensi kasus penyakit untuk mendeteksi kecenderungan.

Pelaporan rutin data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases)

dilakukan seminggu sekali.

2.4.3. Tepat waktu

Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu (timely)

memungkinkan tindakan segera untuk mengatasi masalah yang diidentifikasi.

Investigasi lanjut hanya dilakukan jika diperlukan informasi tertentu dengan

lebih mendalam. Kecepatan surveilans dapat ditingkatkan melalui sejumlah

cara:

(1) Melakukan analisis sedekat mungkin dengan pelapor data primer, untuk

mengurangi lag (beda waktu) yang terlalu panjang antara laporan dan

tanggapan;

(2) Melembagakan pelaporan wajib untuk sejumlah penyakit tertentu (notifiable

diseases);

(3) Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan;

(4) Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat menggunakan

hasil surveilans;

(5) Mengimplementasikan sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah dan

segera.

14
2.4.4. Representatif dan lengkap

Sistem surveilans diharapkan memonitor situasi yang sesungguhnya terjadi

pada populasi. Konsekuensinya, data yang dikumpulkan perlu representatif dan

lengkap. Keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data surveilans dapat

menemui kendala jika penggunaan kapasitas tenaga petugas telah melampaui

batas, khususnya ketika waktu petugas surveilans terbagi antara tugas

surveilans dan tugas pemberian pelayanan kesehatan lainnya.

2.4.5. Sederhana, fleksibel, dan akseptabel

Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan praktis, baik dalam

organisasi, struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus relevan dan

terfokus. Format pelaporan fleksibel, bagian yang sudah tidak berguna dibuang.

Sistem surveilans yang buruk biasanya terjebak untuk menambah sasaran baru

tanpa membuang sasaran lama yang sudah tidak berguna, dengan akibat

membebani pengumpul data. Sistem surveilans harus dapat diterima oleh

petugas surveilans, sumber data, otoritas terkait surveilans, maupun pemangku

surveilans lainnya. Untuk memelihara komitmen perlu pembaruan kesepakatan

para pemangku secara berkala pada setiap level operasi.

2.4.6. Penggunaan (uptake)

Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi surveilans

digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun pemangku

surveilans pada berbagai level. Rendahnya penggunaan data surveilans

15
merupakan masalah di banyak negara berkembang dan beberapa negara maju.

Salah satu cara mengatasi problem ini adalah membangun network dan

komunikasi yang baik antara peneliti, pembuat kebijakan, dan pengambil

keputusan.

2.5. Ruang Lingkup Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi

Kesehatan.

Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena itu secara

operasional masalah-masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan oleh sektor

kesehatan sendiri, diperlukan tatalaksana terintegrasi dan komprehensif dengan

kerjasama yang harmonis antar sektor dan antar program, sehingga perlu

dikembangkan subsistem survailans epidemiologi kesehatan yang terdiri dari

Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular, Surveilans Epidemiologi Penyakit

Tidak Menular, Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan Dan Perilaku,

Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan, dan Surveilans Epidemiologi

Kesehatan Matra.

1. Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular

Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit menular

dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular.

2. Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular

16
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak

menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit

tidak menular.

3. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku

Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan faktor

risiko untuk mendukung program penyehatan lingkungnan.

4. Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan

Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan

dan faktor risiko untuk mendukung program-program kesehatan tertentu.

5. Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra

Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan

dan faktor risiko untuk upaya mendukung program kesehatan matra. 2

2.6. Sumber Data, Pelaporan, dan Penyebaran Data - Informasi

2.6.1 Sumber Data

Sumber data surveilans epidemiologi meliputi :

a.Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan

masyarakat.

b.Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan

kantor pemirintah dan masyarakat.

c. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan dan

masyarakat

d.Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit meteorologi dan geofisika

17
e. Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan

masyarakat.

f. Data kondisi lingkungan.

g. Laporan wabah

h. Laporan penyelidikan wabah/KLB

i. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan

j. Studi epidemiology dan hasil penelitian lainnya

k.Data hewan dan vektor sumber penular penyakit yang dapat diperoleh dari unit

pelayanan kesehatan dan masyarakat.

l. Laporan kondisi pangan.

m. Data dan informasi penting lainnya.

2.6.2. Pelaporan

Unit sumber data menyediakan data yang diperlukan dalam penyelenggaraan

surveilans epidemiologi termasuk rumah sakit, puskesmas, laboratorium, unit

penelitian, unit program - sektor dan unit statistik lainnya.

2.6.3. Penyebaran Data dan Informasi

Data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans

epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan

penanggulangan penyakit atau upaya peningkatan program kesehatan, pusat-

pusat penelitian dan pusat-pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring

18
surveilans epidemiologi

2.7. Pengolahan Data

2.7.1. Pencatatan

Data dicatat dalam formulir W1 untuk laporan 1 x 24 jam, formulir W2 untuk

laporan mingguan, dan formulir Survailans Terpadu Penyakit Berbasis

Puskesmas (STPBP). Data pasien juga dilengkapi oleh alamat, keadaan

lingkungan, dan definisi kasus. Data harus ditandatangani oleh petugas

surveilans atau kepala puskesmas.

2.7.2. Pelaporan/Diseminasi

Untuk formulir W1 harus segera dilaporkan unit surveilans kepada DKK dan

pihak pihak yang berwenang lainnya dalam waktu 1 x 24 jam. Pelaporan dapat

menggunakan media telepon, fax, email, ataupun sms. Hendaknya unit

surveilans telah melakukan analis dan interpretasi terhadap data tersebut dan

menyajikanya dalam bentuk grafik/diagram sebelum dilaporkan kepada pihak

yang berwenang sebagai pertimbangan dalam bagi pihak otoritas tersebut dalam

mengambil keputusan.

Formulir W2 dilaporkan ke DKK satu kali dalam seminggu pada hari Selasa.

STPBP dilaporkan ke DKK setiap satu bulan sekali. Masing-masing laporan

dibuat dalam dua rangkap, satu untuk dilaporkan ke DKK dan satu lagi untuk

arsip bagi puskesmas.

19
2.7.3. Analisis dan Interpretasi

Petugas surveilans haruslah orang yang jeli dan mempunyai daya analisa yang

tinggi. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam menganalisis data

dan interpretasi adalah karekteristik data, validasi data, analisa deskriptif, dan

hipotesa sementara. Hasil analisis dan interpretasi ini digunakan sebagai bahan

advokasi bagi pihak yang berwenang dalam mengambil keputusan secara cepat

dan tepat .5

2.8. Aksi

Aksi yang dilakukan dapat berupa pengendalian maupun kebijakan.

Pengendalian

- Respon cepat

- Manajemen kasus

- Pencegahan: perlindungan khusus, isolasi

Kebijakan

- Perubahan kebijakan

- Prediksi, perancanaan

- Kewaspadaan epidemik

2.9. Evaluasi

Proses evaluasi dilakukan tidak hanya terhadap hasil dari aksi epidemiologis

yang dilakukan, juga terhadap hasil surveilans sebagai monitoring apakah aksi

20
sudah sesuai dengan hasil surveilans4.

Gambar 4. Alur proses pencatatan dan pelaporan

2.10. Peran Puskesmas dalam Penyelenggaraan Surveilans Terpadu Penyakit

2.10.1. Pengumpulan dan Pengolahan Data

Unit surveilans Puskesmas mengumpulkan dan mengolah data STP Puskesmas

harian bersumber dari register rawat jalan & register rawat inap di Puskesmas

dan Puskesmas Pembantu, tidak termasuk data dari unit pelayanan bukan

puskesmas dan kader kesehatan. Pengumpulan dan pengolahan data tersebut

dimanfaatkan untuk bahan analisis dan rekomendasi tindak lanjut serta

21
distribusi data.

2.10.2. Analisis serta Rekomendasi Tindak Lanjut

Unit surveilans Puskesmas melaksanakan analisis bulanan terhadap penyakit

potensial KLB di daerahnya dalam bentuk table menurut desa/kelurahan dan

grafik kecenderungan penyakit mingguan, kemudian menginformasikan

hasilnya kepada Kepala Puskesmas, sebagai pelaksanaan pemantauan wilayah

setempat (PWS) atau sistem kewaspadaan dini penyakit potensial KLB di

Puskesmas.

Apabila ditemukan adanya kecenderungan peningkatan jumlah penderita

penyakit potensial KLB tertentu, maka Kepala Puskesmas

melakukanpenyelidikan epidemiologi dan menginformasikan ke Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota. Unit surveilans Puskesmas melaksanakan analisis

tahunan perkembangan penyakit dan menghubungkannya dengan faktor risiko,

perubahan lingkungan, serta perencanaan dan keberhasilan program. Puskesmas

memanfaatkan hasilnya sebagai bahan profil tahunan, bahan perencanaan

Puskesmas, informasi program dan sektor terkait serta Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota.

2.10.3. Umpan Balik

Unit surveilans Puskesmas mengirim umpan balik bulanan absensi laporan dan

permintaan perbaikan data ke Puskesmas Pembantu di daerah kerjanya.

2.10.4. Laporan

22
Setiap minggu, Puskesmas mengirim data PWS penyakit potensial KLB ke

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagaimana formulir PWS KLB (terlampir

form 3). Setiap bulan, Puskesmas mengirim data STP Puskesmas ke Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota dengan jenis penyakit dan variabelnya sebagaimana

formulir STP.PUS (terlampir form 4). Pada data PWS penyakit potensial KLB

dan data STP Puskesmas ini tidak termasuk data unit pelayanan kesehatan

bukan puskesmas dan data kader kesehatan Setiap minggu, Unit Pelayanan

bukan Puskesmas mengirim data PWS penyakit potensial KLB ke Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota sebagaimana formulir.

BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

23
1. Surveilans memungkinkan pengambil keeputusan untuk memimpin dan

mengelola dengan efektif.

2. Surveilans dapat digunakan untuk (1) Memonitor kecenderungan (trends)

penyakit; (2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk

mendeteksi dini outbreak; (3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya

beban penyakit (disease burden) pada populasi; (4) Menentukan kebutuhan

kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan

evaluasi program kesehatan; (5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program

kesehatan; (6) Mengidentifikasi kebutuhan riset.

3. Peran Puskesmas dalam penyelenggaraan surveilans terpadu penyakit antara lain

berupa (1) Pengumpulan dan Pengolahan Data (2) Analisis serta Rekomendasi

Tindak Lanjut, (3) Umpan Balik, dan (4) Laporan.

DAFTAR PUSTAKA

1. DCP2. Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease

24
Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf. Diakses

10 Januari 2012.

2. Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in

decisionmaking for quarantine. Am J Public Health;97:S44-48.

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menteri Kesehat

an Republik Indonesia Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003 Tentang Pedoman

Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit

Tidak Menular Terpadu.

http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.

%201116%20ttg%20Pedoman%20Penyelenggaraan%20Sistem%20Surveilans

%20Epidemiologi%20Kesehatan.pdf. Diakses 10 Januari 2012

4. Last, JM. 2001. A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press,

Inc.

5. McNabb SJN, Chungong S, Ryan M, Wuhib T, Nsubuga P, Alemu W, Karande-

Kulis V, Rodier G; 2002. Conceptual framework of public health surveillance and

action and its application in health sector reform. BMC Public Health, 2:2

http://www.biomedcentral.com. Diakses 10 Januari 2012.

6. Kasjono, Heru S. 2009. Intisari Epidemiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

7. Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F,

Pavlin JA, Gesteland PH, Treadwell T, Koski E, Hutwagner L, Buckeridge DL ,

Aller RD, Grannis S (2004). Implementing syndromic surveillance: A practical

guide informed by the early experience. J Am Med Inform Assoc., 11:141150.

25
26

Anda mungkin juga menyukai