Anda di halaman 1dari 63

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Berat Badan Lahir Rendah


2.2.1 Definisi
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang dilahirkan dengan berat
lahir <2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat bayi yang ditimbang
dalam waktu 1 jam pertama setelah lahir. Pengukuran ini dilakukan di tempat
fasilitas kesehatan,sedang bayi yang lahir di rumah waktu pengukuran berat
badan dapat dilakukan dalam waktu 24 jam (Kosim, dkk, 2009). Menurut masa
kahamilan BBLR dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
1. BBLR prematuritas murni yaitu BBLR yang memiliki masa gestasi kurang dari
37 minggu dan berat badan sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi itu
atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan (SMK).
2. BBLR dismatur yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari
seharusnya untuk masa kehamilan. BBLR dismatur lahir pada kondisi preterm
dan postterm (Saputra, 2014).
Sedangkan menurut Saifuddin (2009) berdasarkan batasan berat badan,
BBLR dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir antara 1500
sampai 2500 gram
2. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) adalah bayi dengan berat lahir
antara 1000 sampai kurang dari 1500 gram
3. Bayi Berat Lahir Ekstrem Rendah (BBLER) adalah bayi dengan berat lahir
kurang dari 1000 gram

2.2.2 Etiologi
a. Faktor Ibu
1. Penyakit misalnya: malaria, anemia, sifilis, dan infeksi TORCH
2. Komplikasi pada kehamilan misalnya: perdarahan antepartum, pre-eklampsi
berat, eklamsia, dan kelahiran preterm
3. Usia ibu dan paritas: BBLR banyak terjadi pada ibu hamil yang berusia di
bawah 20 tahun dan pada ibu multigravida, yang jarak antar kelahirannya
terlalu dekat
4. Faktor kebiasaan ibu misalnya: ibu merokok, minum minuman beralkohol
dan menggunakan narkoba
b. Faktor janin
Yaitu prematur,hidramnion, kehamilan kembar, dan kelainan kromosom.
c. Faktor Lingkungan
Misalnya daerah tempat tinggal di daratan tinggi, radiasi, sosial ekonomi
rendah dan paparan zat racun
(Saputra, 2014)

2.2.3 Gambaran Klinis


Gambaran klinis BBLR secara umum adalah:
Berat kurang dari 2500 gram
Panjang kurang dari 45 cm
Lingkar dada kurang dari 30 cm
Lingkar kepala kurang dari 33 cm
Umur kehamilan kurang dari 37 minggu
Kepala lebih besar
Kulit tipis, transparan,rambut lanugo banyak, lemak kurang
Otot hipotonik lemah
Pernafasan tak teratur dapat terjadi apnea
Ekstremitas: paha abduksi,sendi lutut/kaki fleksi lurus
Kepala tidak mampu tegak
Pernapasan 40-50 kali/menit
Nadi 100-140 kali/menit
Gambaran klinis BBLR secara khusus:
1. Tanda bayi prematur
BB kurang dari 2500 gr, PB kurang dari 45 cm, lingkar kepala kurang dari
33 cm, lingkar dada kurang 30 cm.
Umur kehamilan kurang dari 37 mg.
Kepala relatif lebih besar dari pada badannya.
Rambut tipis dan halus, ubun-ubun dan sutura lebar.
Kepala mengarah ke satu sisi.
Kulit tipis dan transparan, lanugo banyak, lemak subkutan kurang, sering
tampak peristaltik usus.
Tulang rawan dan daun telinga imatur.
Puting susu belum terbentuk dengan baik.
Pergerakan kurang dan lemah.
Reflek menghisap dan menelan belum sempurna.
Tangisnya lemah dan jarang, pernafasan masih belum teratur.
Otot-otot masih hipotonis sehingga sikap selalu dalam keadaan kedua paha
abduksi, sendi lutut dan pergelangan kaki fleksi atau lurus.
Genetalia belum sempurna, labia minora belum tertutup oleh labia mayora
(pada wanita), dan testis belum turun (pada laki laki).
2) Tanda-tanda pada bayi dismatur
Preterm sama dengan bayi premature
3) Tanda pada bayi term dan post term
Kulit pucat atau bernoda, keriput tipis.
Vernik caseosa sedikit/kurang atau tidak ada.
Jaringan lemak di bawah kulit sedikit.
Pergerakan gesit, aktif dan kuat.
Tali pusat kuning kehijauan.
Mekonium kering.
Luas permukaan tubuh relatif lebih besar dibandingkan BB (Proverawati &
Isnawati, 2010).

2.2.4 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah,
terutama berhubungan dengan 4 proses adaptasi pada bayi baru lahir diantaranya:
1. Sistem Pernafasan: Sindrom aspirasi mekonium, asfiksia neonatorum, sindrom
distres respirasi, penyakit membran hialin
2. Sistem Kardiovaskuler: patent ductus arteriosus
3. Termoregulasi: Hipotermia
4. Hipoglikemia simtomatik
Komplikasi yang terjadi pada bayi prematur yaitu :
a. Sindrom gangguan pernapasan idiopatik disebut juga penyakit membran hialin
karena pada stadium terakhir akan terbentuk membran hialin yang melapisi
alveoulus paru.
b. Pneumonia Aspirasi
Disebabkan karena infeksi menelan dan batuk belum sempurna, sering
ditemukan pada bayi prematur.
c. Perdarahan intra ventikuler
Perdarahan spontan diventikel otot lateral biasanya disebabkan oleh karena
anoksia otot. Biasanya terjadi kesamaan dengan pembentukan membran hialin
pada paru. Kelainan ini biasanya ditemukan pada atopsi.
d. Hyperbilirubinemia
Bayi prematur lebih sering mengalami hyperbilirubinemia dibandingkan
dengan bayi cukup bulan. Hal ini disebabkan faktor kematangan hepar
sehingga konjungtiva bilirubium indirek menjadi bilirubium direk belum
sempurna.
e. Masalah suhu tubuh
Masalah ini karena pusat pengeluaran nafas badan masih belum sempurna.
Luas badan bayi relatif besar sehingga penguapan bertambah. Otot bayi masih
lemah, lemak kulit kurang, sehingga cepat kehilangan panas badan.
Kemampuan metabolisme panas rendah, sehingga bayi BBLR perlu
diperhatikan agar tidak terlalu banyak kehilangan panas badan dan dapat
dipertahankan sekitar (36,5 37,50 C)
Komplikasi yang terjadi pada bayi dismatur pada umumnya maturitas
fisiologik bayi ini sesuai dengan masa gestasinya dan sedikit dipengaruhi oleh
gangguan-gangguan pertumbuhan di dalam uterus. Dengan kata lain, alat-alat
dalam tubuhnya sudah berkembang lebih baik bila dibandingkan dengan bayi
dismatur dengan berat yang sama. Dengan demikian bayi yang tidak dismatur
lebih mudah hidup di luar kandungan. Walaupun demikian harus waspada akan
terjadinya beberapa komplikasi yang harus ditangani dengan baik.
a. Aspirasi mekonium yang sering diikuti pneumotaritas Ini disebabkan stress
yang sering dialami bayi pada persalinan.
b. Usher (1970) melaporkan bahwa 50% bayi KMK mempunyai hemoglobin
yang tinggi yang mungkin disebabkan oleh hipoksia kronik di dalam uterus.
c. Hipoglikemia terutama bila pemberian minum terlambat agaknya
hipoglikemia ini disebabkan oleh berkurangnya cadangan glikogen hati dan
meningginya metabolisme bayi.
d. Keadaan lain yang mungkin terjadi ; asfiksia, perdarahan paru yang pasif,
hipotermia, cacat bawaan akibat kelainan kromosom (sindrom down's, turner
dan lain-lain) cacat bawaan oleh karena infeksi intrauterine dan sebagainya.
Komplikasi pada BBLR jika bayi dismatur adalah, sebagai berikut :
a. Suhu tubuh yang tidak stabil.
b. Gangguan pernafasan yang sering menimbulkan penyakit berat pada BBLR.
c. Gangguan alat pencernaan dan nutrisi.
d. Ginjal yang immatur baik secara otomatis maupun fungsinya.
e. Perdarahan mudah terjadi karena pembuluh darah yang rapuh.
f. Gangguan immunologi.
(Surasmi, 2003).

2.2.5 Penatalaksanaan
Menurut Khosim (2008) penatalaksanaan bayi dengan BBLR dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1) Medikamentosa
Pemberian Vitamin K1:
a. Injeksi 1 mg IM sekali pemberian, atau
b. Per oral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur
3-10 hari, dan umur 406 minggu)
2) Diatetik
Pemberian nutrisi yang adekuat
a. Apabila daya isap belum baik, bayi dicoba untuk menetek sedikit demi
sedikit
b. Apabila bayi belum bisa meneteki pemberian ASI diberikan melalui sendok
atau pipet
c. Apabila bayi belum ada reflek menghisap dan menelan harus dipasang siang
penduga/ sonde fooding
Bayi premature atau BBLR mempunyai masalah menyusui karena refleks
menghisapnya masih lemah. Untuk bayi demikian sebaiknya ASI dikeluarkan
dengan pompa atau diperas dan diberikan pada bayi dengan pipa lambung atau
pipet. Dengan memegang kepala dan menahan bawah dagu, bayi dapat dilatih
untuk menghisap sementara ASI yang telah dikeluarkan yang diberikan dengan
pipet atau selang kecil yang diberikan dengan pipet atau selang kecil yang
menempel pada putting. ASI merupakan pilihan utama:
a. Apabila bayi mendapat ASI, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup
dengan cara apapun, perhatikan cara pemberian ASI dan nilai kemampuan
bayi menghisap paling kurang sehari sekali.
b. Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20g/hari
selama 3 hari berturut-turut, timbang bayi 2 kali seminggu.
Pemberian minum bayi berat lahir rendah (BBLR) menurut berat badan
lahir dan keadaan bayi adalah sebagai berikut:
1. Berat lahir 1750-2500 gram
a. Bayi sehat
Biarkan bayi menyusu pada ibu semau bayi. Ingat bahwa bayi kecil
lebih mudah merasa letih dan malas minum, anjurkan bayi menyusu
lebih sering (contoh; setiap 2 jam) bila perlu
Pantau pemberian minum dan kenaikan berat badan untuk menilai
efektifitas menyusui. Apabila bayi kurang dapat menghisap tambahkan
ASI peras dengan menggunakan salah satu alternative cara pemberian
minum.
b. Bayi sakit
Apabila bayi dapat minum per oral dan tidak memerlukan cairan IV,
berikan minum seperti pada bayi sehat
Apabila bayi memerlukan cairan intravena:
- Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
- Mulai berikan minum per oral pada hari ke-2 segera setelah bayi
stabil. Anjurkan pemberian ASI apabila ibu ada dan bayi
menunjukkan tanda-tanda siap untuk menyusu
Apabila masalah sakitnya menghalangi proses menyusui (contoh;
gangguan nafas, kejang), berikan ASI peras melalui pipa lambung:
- Berikan cairan IV dan ASI menurut umur
- Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; 3 jam sekali). Apabila
bayi telah mendapat minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih
tampak lapar berikan tambahan ASI setiap kali minum. Biarkan bayi
menyusu apabila keadaan bayi sudah stabil dan bayi menunjukkan
keinginan untuk menyusu dan dapat menyusu tanpa terbatuk atau
tersedak.
2. Berat lahir 1500-1749 gram
a. Bayi sehat
Berikan ASI peras dengan cangkir/sendok. Bila jumlah yang
dibutuhkan tidak dapat diberikan menggunakancangkir/sendok atau
ada resiko terjadi aspirasi ke dalam paru (batuk atau tersedak), berikan
minum dengan pipa lambung. Lanjutkan dengan pemberian
menggunakan cangkir/sendok apabila bayi dapat menelan tanpa batuk
atau tersedak (ini dapat berlangsung setelah 1-2 hari namun ada
kalanya memakan waktu lebih dari 1 minggu)
Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (missal setiap 3 jam). Apabila
bayi telah mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak
lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum.
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan
sendok/cangkir, coba untuk menyusui langsung.
b. Bayi sakit
Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
Beri ASI peras dengan pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi
jumlah cairan IV secara perlahan.
Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; tiap 3 jam). Apabila bayi
telah mendapatkan minum 160/kgBB per hari tetapi masih tampak
lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum.
Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/sendok apabila
kondisi bayi sudah stabil dan bayi dapat menelan tanpa batuk atau
tersedak
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan
cangkir/sendok, coba untuk menyusui langsung
3. Berat lahir 1250-1499 gram
a. Bayi sehat
Beri ASI peras melalui pipa lambung
Beri minum 8 kali dalam 24 jam (contoh; setiap 3 jam). Apabila bayi
telah mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak
lapar, beri tambahan ASI setiap kali minum
Lanjutkan pemberian minum mengguanakan cangkir/sendok
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan
cangkir/sendok, coba untuk menyusui langsung
b. Bayi sakit
Beri cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
Beri ASI peras melalui pipa lambung mulai hari ke-2 dan kurangi
jumlah cairan intravena secara perlahan
Beri minum 8 kali dalam 24 jam (setiap 3 jam). Apabila bayi telah
mendapatkan minum 160 ml/kgBB per hari tetapi masih tampak lapar,
beri tambahan ASI setiap kali minum
Lanjutkan pemberian minum menggunakan cangkir/sendok
Apabila bayi telah mendapatkan minum baik menggunakan
cangkir/sendok, coba untuk menyusui langsung
3) Suportif
Hal utama yang dilakukan adalah mempertahankan suhu tubuh normal:
a. Membersihkan jalan napas
b. Memotong tali pusat dan perawatan tali pusat
c. Membersihkan badan bayi dengan kapas nany oil/minyak
d. Memberikan obat mata
e. Membungkus bayi dengan kain hangat
f. Pengkajian keadaan kesehatan pada bayi dengan berat badan lahir rendah
g. Mempertahankan suhu tubuh bayi dengan cara:
h. Membungkus bayi dengan menggunakan selimut bayi yang dihangatkan
terlebih dahulu
i. Menidurkan bayi di dalam incubator buatan yaitu dapat dibuat dari
keranjang yang pinggirnya diberi penghangat dari buli-buli panas atau botol
yang diisi air pIanas. Buli-buli panas atau botol-botol ini disimpan dalam
keadaan berdiri tutupnya ada disebelah atas agar tidak tumpah dan tidak
mengakibatkan luka bakar pada bayi. Buli-buli panas atau botol inipun harus
dalam keadaan terbungkus, dapat menggunakan handuk atau kain yang
tebal. Bila air panasnya sudah dingin ganti airnya dengan air panas kembali.
j. Suhu lingkungan bayi harus dijaga
Kamar dapat masuk sinar matahari
Jendela dan pintu dalam keadaan tertutup untuk mengurangi hilangnya
panas dari tubuh baIyi melalui proses radiasi dan konveksi
k. Badan bayi harus dalam keadaan kering
l. Gunakan salah satu cara menghangatkandan mempertahankan suhu tubuh
bayi, seperti kontak kulit ke kulit, kangaroo mother care, pemancar panas,
incubator atau ruangan hangat yang tersedia di tempat fasilitas kesehatan
setempat sesuai petunjuk
m. Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan dingin
n. Ukur suhu tubuh dengan berkala
o. Yang juga harus diperhatikan untuk penatalaksanaan suportif ini adalah:
Jaga dan pantau pateInsi jalan nafas
Pantau kecukupan nutrisi, cairan dan elektrolit
p. Bila terjadi penyulit, harus dikoreksi dengan segera (contoh; hipotermia,
kejang, gangguan nafas, hiperbilirubinemia)
q. Berikan dukungan emosional pada ibu dan anggota keluarga lainnya
r. Anjurkan ibu untuk tetap bersama bayi. Bila tidak memungkinkan, biarkan
ibu berkunjung setiap saat dan siapkan kamar untuk menyusui
4) Pemantauan (Monitoring)
a. Pemantauan saat dirawat
1. Terapi
Bila diperlukan terapi untuk penyulit tetap diberikan
Preparat besi sebagai suplemen mulai diberikan pada usia 2 minggu
1. Tumbuh kembang
Pantau berat badan bayi secara periodic
Bayi akan kehilanIIIIgan berat badan selama 7-10 hari pertama
(sampai 10% untuk bayi dengan berat lahir 1500 gram dan 15% untuk
bayi dengan berat lahir <1500>
Bila bayi sudah mendapatkan ASI secara penuh (pada semua kategori
berat lahir) dan telah berusia lebih dari 7 hari:
- Tingkatkan jumlah ASI dengan 20 ml/kg/hari sampai tercapai
jumlah 180 ml/kg/hari
- Tingkatkan jumlah ASI sesuai dengan penigkatan berat badan bayi
agar jumlah pemberian ASI tetap 180 ml/kg/hari
- Apabila kenaikan berat badan tidak adekuat, tingkatkan jumlah
pemberian ASI hingga 200 ml/kg/hari
- Ukur berat badan setiap hari, panjang badan dan lingkar kepala
setiap minggu.

2.2 Konsep Persalinan Prematur


2.2.1 Definisi
Kelahiran kurang bulan, yang didefinisikan sebagai pelahiran kurang dari
37 minggu (Cunningham, 2009).
Bayi premature adalah bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari
37 minggu dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Sebagian besar organ
tubuhnya juga belum berfungsi dengan baik, karena kelahirannya yang masih dini.
Maka dari itu, perlu diberikan perwatan khusus untuknya (Priyono, 2010).
Prematur adalah bayi lahir dengan umur kehamilan kurang dari 37 minggu
dan mempunyai berat badan kurang dari 2500 gram untuk masa kehamilan,atau di
sebut neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan (Maryanti, 2011)
2.2.2 Klasifikasi Persalinan Prematur Murni
Organisasi Kesehatan Dunia yaitu WHO (2013) membagi persalinan
prematur menjadi tiga kategori berdasarkan umur kehamilan, yaitu:
a. Extremely preterm bila kurang dari 28 minggu
b. Very preterm bila kurang dari 32 minggu
c. Moderate to late preterm antara 32 dan 37 minggu

Tabel 1.1 Persalinan Premature Berdasarkan Penggolongan Faktor


Penyebab
Penggolongan Kriteria Keterangan

Golongan 1 Dapat terjadi premature Kejadian premature sangat jarang


tapi tidak berulang berulang dengan sebab yang sama
Golongan 2 Resiko kejadian Sebagian masih dapat diupayakan
persalinan premature untuk dikendalikan. Anomali alat
tidak dapat dikontrol oleh reproduksi sebagian sulit
penderita sendiri, seperti dikendalikan sekalipun dengan
hamil usia muda atau tua tindakan operasi
(umur kurang dari 18 atas
dan diatas 40 tahun),
terdapat anomali alat
reproduksi.
Golongan 3 Faktor yang Permasalahan yang dihadapai
menimbulkan persalinan golongan 3 sebagian besar
premature dapat beraspek social sehingga perannya
dikendalikan sehingga sebagian faktor pemicu persalinan
kejadian premature dapat premature dapat dikendalikan.
diturunkan (penyakit Kemampuan pengendalian faktor
STD, Kebiasaan seperti social yang berada ditengan
merokok, ketagihan obat, masyarakat merupakan program
kurang tidur, keadaan obtetri. Keberhasilannya akan
social ekonomi yang dapat dirasakan masyarakat dan
meneyebabkan konsumsi mempunyai nilai untuk
gizi nutrisi rendah, meningkatkan kemampuan
kenaikan berat badan ibu memberikan pelyanan bermutu
hamil kurang, anomali dan menyeluruh, sebagai startegi
serviks inkompeten) nasional

2.2.3 Penyebab
Menurut Cunningham (2009), penyebab persalinan prematur, yaitu
1. Indikasi medis dan obstetris
Preeklamsia, distres janin, kecil masa kehamilan, dan solusio plasenta
merupakan indikasi paling umum atas intervensi medis yang mengakibatkan
kelahiran kurang bulan. Penyebab lainnya yang kurang umum adalah hipertensi
kronik, plasenta previa, perdarahan tanpa sebab yang jelas, diabetes, penyakit
ginjal, isomunisasi Rh, dan malformasi kongenital.
2. Ketuban pecah dini preterm
Didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum persalinan dan sebelum
37 minggu. Ketuban pecah dini prematur dapat disebabkan oleh beragam
mekanisme patologis, termasuk status soisal ekonomi rendah, indeks massa
tubuh rendah (<19,8), kekurangan gizi, dan merokok. Perempuan dengan
riwayat ketuban pecah dini preterm sebelumnya memiliki risiko yang lebih
tinggi terjadinya rekuensi pada kehamilan berikutnya.
3. Persalinan kurang bulan spontan
Konsentrasi progesteron serum tidak menurun menjelang persalinan.
Meskipun demikian, karena antagonis progesteron, seperti RU486, memicu
kurang persalinan kurang bulan, penurunan konsentrasi progesteron lokal
mungkin berperan.
Pada kehamilan aterm, aktivasi inflamasi desidua tampaknya dimediasi
setidaknya sebagian oleh sistem parakrin desidua janin dan mungkin melalui
penurunan konsentrasi progesteron lokal. Namun, pada banyak kasus
persalinan kurang bulan dini, aktivasi desidua tampaknya muncul pada kasus
perdarahan intrauteri atau infeksi intrauteri yang samar.
4. Abortus yang mengancam
Perdarahan ringan dan berat dihubungkan dengan persalinan kurang bulan,
solusio plasenta, dan keguguran sebelulm 24 minggu pada kehamilan
berikutnya.
5. Faktor gaya hidup
Merokok, pertambahan berat badan ibu yang tidak adekuat, penggunaan
narkoba, perempuan gemuk, usia ibu yang terlalu muda atau terlalu tua,
kemiskinan, bertubuh pendek, kekurangan vitamin C, faktor pekerjaan, seperti
berdiri atau berjalan lama, kondisi kerja yang berat, dan jam kerja yang terlalu
panjang. Faktor psikologis seperti depresi, cemas, dan stres kronik.
6. Faktor genetik
Gen imunoregulator yang memperparah korioamnionitis dalam kasus
kelahiran kurang bulan.
7. Cacat lahir
8. Interval antara kehamilan dan kelahiran kurang bulan
Rentang waktu yang pendek antara kehamilan satu dan lainnya telah
diketahui selama beberapa waktu berkaitan dengan hasil perinatal yang buruk.
Pada beberapa penelitian melaporkan bahwa rentang waktu yang lebih pendek
dari 18 bulan dan lebih panjang dari 59 bulan dikaitkan dengan peningkatan
risiko kelahiran kurang bulan dan bayi kecil masa kehamilan.
9. Riwayat kelahiran kurang bulan
Risiko kelahiran kurang bulan berulang, untuk wanita yang pelahiran
pertamanya kurang bulan, meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan
wanita yang bayi pertamanya lahir aterm.
10. Infeksi
Infeksi intrauteri memicu persalinan kurang bulan akibat aktivasi sistem
imun bawaan.

2.2.4 Diagnosis Persalinan Premature


Sebelum persalinan berlangsung telah dapat dirasakan tanda sebagai
berikut:
Terdapat nyeri pinggang bagian belakang
Rasa tertekan pada perut bagian bawah
Terdapat kontraksi ireguler sejak sekitar 24-48 jam
Terdapat pembawa tanda seperti : bertambahnya cairan vagina, terdapat lender
bercampur darah.
Jika persalinan premature berlanjut akan terjadi gejala klinik berikutnya:
Kontraksi uterus berlangsung sekitar 4 kali per 20 menit atau 8 kali per 60
menit
Terjadi perubahan progresif serviks : pembukaan lebih dari 1 cm, perlunakan
sekitar 75-80%, bahkan terjadi penipisan serviks (Manuaba, 2007).

3. Penampilan Bayi Premature


Tanda yang terlihat dari bayi premature, sebagai berikut:
1. Ukuran fisik
Usia kehamilan kurang dari 37 minggu
Berat badan bayi kurang dari 2500 gram
Panjang badan kurang dari atau sekitar 45 cm
Lingkar kepala 33 cm sedangkan lingkar perut 30 cm sehingga kepala
tampak lebih besar tetapi tulang kepala masih tipis
2. Gambaran fisik
Kepala besar
Kulit tipis dan transparan sehingga gerakan peristaltic usus dapat terlihat
Rambut lanugo banyak sedangkan lapisan lemak kurang
Otot masih lemah sehingga nafas lemah, tangisnya masmasih lemah sampai
merintih, kemampuan menghisap masih kurang (Manuaba, 2007).

2.2.5 Gangguan pada Bayi Premature


Organ tubuh bayi premature umumnya belum dapat bekerja secara
sempurna. Hal ini mengakibatkan bayi premature sulit menyesuaikan diri dengan
kehidupan di luar rahim segingga ia pun mengalami banyak gangguan. Semkain
dini ia dilahirkan semakin bnayak organ tubuhnya yang belum siap, dan semakin
banyak pula gangguan yang akan dialami. Gangguan kesehatan yang dialami bayi
premature cukup rentan dan bisa mengancam jiwanya. Ancaman yang paling
berbahaya adalah kesulitan bernafas. Hal ini akibat paru-paru serta seluruh system
pernafasannya seperti otot dada dan pusat pernafasan diotak belum dapat bekerja
secara sempurna. Karena lapisan lemak yang masih tipis, bayi premature juga
tidak memiliki perlindungan yang cukup dalam menghadapi suhu luar yang
memnag lebih dingin dibandingkan suhu dalam rahim ibu. Bayi premature akan
lebih sering mengalami penurunan suhu tubuh dibawah normal (hipotermia).
Selain itu, mekanisme pengontrol suhu tubuh bayi premature memang belum
mampu bekerja sempurna sehingga meski dalam raung yang bersuhu normal, bayi
sering mengalami kedinginan.
Hati dan ginjal bayi premature juga belum siap bekerja secara sempurna.
Hati (liver) bertugas mengolah zat-zat makanan yang masuk ke dalam tubuh
sekaligus menolah zat-zat makanan yang masuk ke dalam tubuh sekaligus
penawar racun (detoksifikasi). Sedangkan ginjal bertuga smengatur dan mengolah
pembuangan di dalam tubuh. Karena hati dan ginjal bayi premature belum
sempurna kerjanya, maka semua pemasukan dan pengeluaran pada tubuh bayi
premature harus benar-benar diperhatikan. Bila tidak, kedua organ ini akan rusak
dan bayi semakin rentan terhadap penyakit (Priyono, 2010).

2.2.6 Penatalaksanaan
Mengingat belum sempurnanya kerja alat-alat yang perlu untuk
pertumbuhan dan perkembangan diri dengan lingkungan hidup di luar uterus maka
perlu diperhatikan pengaturan suhu lingkungan, pemberian makan bila perlu
pemberian oksigen, mencegah infeksi serta mencegah kekurangan vitamin dan zat
besi.
a. Pengaturan Suhu
Bayi prematur mudah dapat cepat sekali menderita hipotermia bila berada
di lingkungan yang dingin. Kehilangan panas disebabkan oleh permukaan suhu
bayi yang relatif lebih luas bila dibandingkan dengan berat badan, kurangnya
aliran lemak di bawah kulit dan kekurangan lemak. Untuk mencegah hipotermi,
perlu di usahakan lingkungan yang cukup hangat dalam keadaan istirahat
konsumsi oksigen paling sedikit, sehingga suhu tubuh bayi tetap normal. Bila bayi
dirawat di dalam inkubator, maka suhunya untuk bayi dengan berat badan kurang
dari 2 kg adalah 35 C dan untuk bayi dengan berat badan 2,5 kg 34C, agar ia
dapat mempertahankan suhu tubuh sekitar 37C, sebelum memasukkan bayi
dalam incubator terlebih dahulu hangatkan sampai sekitar 29,4C , unntuk bayi
dengan berat 1,7 kg dan 32,2C untuk bayi yang lebih kecil. Bayi dirawat dalam
keadaan telanjang hal ini memungkinkan pernapasan yang adekuat, bayi dapat
bergerak tanpa di batasi pakaian, observasi terhadap pernapasan lebih mudah.
Kelembapan inkubator berkisar antara 50-60 persen (Proverawati, 2010).
b. Makanan Bayi
Pada bayi prematur refleks isap, telan dan batuk belum sempurna,
kapasitas lambung masih sedikit, kebutuhan protein 3-5g/hari dan tinggi kalori
(110 kal/kg/hari), agar berat badan bertambah sebaik-baiknya. Jumlah ini lebih
tinggi dari yang diperlukan bayi cukup bulan. Pemberian minum dimulai pada
waktu bayi berumur 3 jam agar bayi tidak menderita hipoglikemia dan
hiperbilirubinemia (Maryanti, 2011).
c. Pemberian Minum
Pada bayi dengan berat di atas 1500 gram dapat dimulai dengan 3 ml/kg
setiap 2 jam dan setiap kali bayi akan di beri minum , cairan lambung harus di
keluarkan pemberian minum berikutnya dapat ditambah 1 ml20 ml setiap kali
minum. Berikutnya mungkin dapat diberi minum setiap 3 jam. Bilah cairan
lambung yang diisap lebih dari 2 ml maka jumlah susu yang akan diberikan harus
dikurangi dengan jumlah cairan yang dikeluarkan sebelumnya. Kegagalan
pemberian pengganti ASI dapat dilihat dari turunnya berat badan yang lebih dari
10 % yang disebabkan oleh pencemaran kuman pathogen atau susunan nutrisi
yang tidak sesuai dengan kebutuhan bayi. Bayi dengan dehidrasiharus diberi infus.
Beri minum dengan tetes ASI/sonde karna refleks menelan belum sempurna,
permulaan cairan diberikan sekitar 50-60 cc / kg BB / hari dan terus dinaikkan
sampai mencapai sekitar 200 cc/kg BB/hari (Wiknjosastro, 2006).
Rumus untuk satu kali pemberian minum :
BB perhari x jumlah kebutuhan dalam air =.................cc

Tabel 1.3 Pemberian Minum pada Bayi


Hari Kebutuhan
Umur 1 hari 60 ml/kg
Umur 2 hari 90 ml/kg
Umur 3 hari 120 ml/kg
Umur 4 hari 150 ml/kg
Umur 10 hari 180 ml/kg

d. Menghindari infeksi
Bayi permaturitas mudah sekali terkena infeksi, karena daya tahan tubuh
yang masih lemah, kemampuan leokosit masih kurang, dan pembentukan antibodi
belum sempurna. Oleh karena itu, upaya preventif sudah dilakukan sejak
pengawasan antenatal sehinggaa tidak terjadi persalinan prematuritas. Dengan
demikian perawatan dan pengawasan bayi prematuritas secara khusus dan
terisolasi dangan baik (Maryanti, 2011)

2.3 Konsep Hyalin Membran Diseases


2.3.1 Definisi
Hyalin Membran Diseases atau Penyakit membran hialin (PMH)
merupakan salah satu penyebab gangguan pernapasan yang sering dijumpai pada
bayi prematur. Gangguan napas ini merupakan sindrom yang terdiri dari satu atau
lebih gejala sebagai berikut: pernapasan cepat > 60 x/menit, retraksi dinding dada,
merintih dengan atau tanpa sianosis pada udara kamar, yang memburuk dalam 48-
96 jam pertama kehidupan. HMD ditemukan pada + 50% bayi yang lahir dengan
berat lahir 501-1500 g (<34 minggu usia gestasi). Insidens HMD berbanding
terbalik dengan masa gestasi (Antonius, 2009).
Hyalin Membran Diseases yang kondisinya buruk selama 48-72 jam
pertama akan membaik dengan diberikan treatment. Lebih dari 90% bayi yang
mengalami HMD akan tetap hidup. Hyalin Membran Diseases banyak terjadi
pada bayi yang lahir pada usia kehamilan kurang dari sama dengan 32 minggu dan
berat badan lahir yang kurang dari 1200 gram (Locci, et al., 2014).

2.3.2 Etiologi dan Patofisiologi


Penyakit membran hialin disebabkan oleh penurunan fungsi dan
pengurangan jumlah surfaktan. Surfaktan sendiri merupakan kompleks lipoprotein
yang terdiri dari fosfolipid seperti lesitin, fosfatidil gliserol, kolesterol, dan
apoprotein (protein surfaktan; PS-A, B, C, D) yang disintesis oleh sel epitelial
alveolar tipe II dan sel Clara yang semakin banyak jumlahnya seiring dengan
umur kehamilan yang bertambah. Komponen-komponen ini selanjutnya disimpan
di dalam sel alveolar tipe II yang akan dilepaskan ke dalam alveoli untuk
mengurangi tegangan permukaan dan mencegah kolaps paru sehingga membantu
mempertahankan stabilitas alveolar. Kadar surfaktan matur muncul sesudah umur
kehamilan 35 minggu. Namun, jika bayi terlahir dalam keadaan prematur, maka
fungsi iniI tidak dapat berjalan dengan baik. Adanya imaturitas pada bayi
prematur, jumlah surfaktan yang dihasilkan dan dilepaskan tidak mencukupi
kebutuhan saat lahir (Nelson, 2012).
Surfaktan yang jumlahnya tidak mencukupi atau tidak ada ini,
menyebabkan tegangan permukaan yang tinggi antara perbatasan gas alveolus
dengan dinding alveolus sehingga paru sulit untuk mengembang dan bayi
berupaya melakukan usaha ventilasi imatur dengan tetap tidak terisi gas di antara
upaya pernapasan. Bayi menjadi semakin berat untuk bernapas dan hipoventilasi.
Kekurangan sintesis atau pelepasan surfaktan pada bayi prematur yang
mempunyai unit saluran pernapasan yang masih kecil dan dinding dada lemah
dapat menimbulkan atelektasis dan hipoksia sehingga menyebabkan peningkatan
gagal napassehingga, dapat disimpulkan bahwa penyakit membran hialin
disebabkan oleh adanya atelektasis dari tiga faktor yang saling berhubungan yaitu
tegangan permukaan yang tinggi akibat fungsi surfaktan yang tidak optimal dan
defisiensi jumlah sintesis atau pelepasan surfaktan, fungsi unit pernapasan yang
masih kecil, dan dinding dada bayi yang masih lemah (Rudolph, 2007).

2.3.3 Manifestasi Klinis


Penyakit Membran Hyalin dapat terjadi segera di kamar bersalin pada bayi
yang sangat imatur di usia gestasi 26 sampai 30 minggu. Sebagian bayi yang lebih
imatur (usia gestasi 34 minggu) mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda HMD,
karena adanya pelepasan awal simpanan surfaktan saat mulai bernapas diikuti
dengan ketidakmampuan untuk menggantikan surfaktan tersebut akibat
penyimpanan yang tidak adekuat.
Manifestasinya meliputi:
a. Sianosis
b. Takipnea
c. Napas cuping hidung
d. Retraksi interkosta dan sternal
e. Merintih. Merintih disebabkan penutupan glotis saat ekspirasi, sebagai efek
untuk mempertahankan volume paru (mengurangi atelektasis) dan pertukaran
gas selama ekshalasi.
Selama 72 jam pertama, bayi dengan HMD mengalami peningkatan distres
dan hipoksemia. Pada bayi dengan HMD berat, terjadinya edema, apnea, dan
gagal napas membutuhkan ventilasi. Setelah itu, kasus tanpa komplikasi
menunjukkan perbaikan spontan yang sering ditandai oleh diuresis dan penurunan
edema yang bermakna (Nelson, 2011).

2.3.4 Diagnosis Penyakit Membran Hyalin


Penyakit membran hialin didiagnosis dengan memperhatikan perjalanan
klinis, radiologi (rontgen dada), nilai gas darah, serta status asam basa. Tanda
klinis berupa kegagalan bayi dalam bernapas yang semakin berat pada beberapa
jam pertama kelahiran. Tanda khas berupa suara mendengkur, sianosis, retraksi
sternum dan interkosta, serta takipneu (frekuensi napas > 60 x/menit) (Rudolph,
2007).
Gambaran radiologi paru pada bayi baru lahir dengan penyakit membran
hialin adalah gambaran serbuk kaca (ground glass) atau retikulogranuler yang
difus dan halus, volume paru kecil, serta bronkogram udara yang sering lebih jelas
pada lobus bagian bawahdan pada jam pertama kelahiran, mungkin didapatkan
gambaran yang normal. Tanda khas tersebut biasanya ada pada 6-12 jam
berikutnya. Apabila diberikan CPAP kemungkinan terdapat variasi pada foto paru
(Nelson, 2012). Neonatus yang diberikan CPAP dapat mempunyai gambaran yang
lebih baik, paru terisi udara dengan tanpa bronkogram udara. Bayi baru lahir yang
mempunyai satdium yang lebih berat, mungkin tidak mampu mengembangkan
parunya yang terlihat lebih opak. Ukuran jantung pada umumnya normal, tetapi
bisa tampak membesar karena berkurangnya volume paru dan bayangan timus
yang masih besar (Rudolph, 2007).
a. Anamnesis
Riwayat kelahiran kurang bulan, ibu DM.
Riwayat persalinan yang mengalami asfiksia perinatal (gawat janin).
Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit membran hialin
(Antonius, 2009).
b. Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan.
Dijumpai sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan gejala:
Takipnea (frekuensi napas >60x/menit)
Grunting atau napas merintih
Retraksi dinding dada
Kadang dijumpai sianosis (pada udara kamar)
Perhatikan tanda prematuritas
Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru
Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya bayi,
adanya infeksi dan derajat dari pirau PDA.
Penyakit dapat menetap atau menjadi progresif dalam 48 96 jam pertama
(Antonius, 2009).
c. Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial. Gambaran
radiologis memberi gambaran penyakit membran hialin. Gambaran yang
khas berupa pola retikulogranular, yang disebut dengan ground glass
appearance,disertai dengan gambaran bronkus di bagian perifer paru (air
bronchogram).
Terdapat 4 stadium :
1. Stadium 1: pola retikulogranular
2. Stadium 2: stadium1 + air bronchogram
3. Stadium 3: stadium 2 + batas jantung-paru kabur
4. Stadium 4: stadium 3 + white lung
Selama perawatan, diperlukan foto toraks serial dengan interval sesuai
indikasi. Pada pasien dapat ditemukan pneumotoraks sekunder karena
pemakaian ventilator, atau terjadi bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
setelah pemakaian ventilator jangka lama (Antonius, 2009).
Laboratorium
- Darah tepi lengkap dan kultur darah
- Bila fasilitas tersedia dapat dilakukan pemeriksaan analisis gas darah
yang biasanya memberi hasil: hipoksia, asidosis metabolik, respiratorik
atau kombinasi, dan saturasi oksigen yang tidak normal.
- Rasio lesitin/sfingomielin pada cairan paru (L/S ratio) < 2:1
- Shake test (tes kocok), dilakukan dengan cara pengocokan aspirat
lambung, jika tak ada gelembung, risiko tinggi untuk terjadinya HMD
(60 %) (Antonius, 2009).

2.3.5 Komplikasi Penyakit Membran Hyalin


a. Duktus Arterosus Paten (DAP)
Komplikasi yang umum terjadi papda bayi berat lahir rendah dengan
HMD. Duktus arteriosus pada bayi prematur kurang responsif terhadap
rangsangan vasokontriktif, yang bila disertai hipoksemia selama Sindrom
Gawat Napas (SGN), dapat menyebabkan DAP persisten yang membentuk
pirau antara sirkulasi paru dan sistemik.
b. Displasia Bronkopulmonal (DBP)
DBP merupakan diagnosis klinis yang didefinisikan sebagai
ketergantungan terhadap oksigen pada usia 36 minggu pascakonsepsi dan
disertai tanda kllinis dan penemuan radiologis yang berhubungan dengan
kelainan anatomi. Pada sebagian besar pasien DBP terjadi setelah dilakukan
ventilasi pada SGN yang dpat disertai komplikasi DAP atau emfisema
interstisial paru (Nelson, 2011).

2.3.6 Pencegahan
Setelah lahir, dapat dicegah atau derajat keparahannya dikurangi dengan
pemberian surfaktan eksogen intratrakeal segera setelah lahir di kamar bersalin
atau dalam beberapa jam setelah lahir. Surfaktan eksogen dapat diberikan
berulang selama perjalanan SGN pada pasien yang terpasang intubasi endotrakeal,
ventilasi mekanik, dan terapi okseigen (Nelson, 2011).

2.3.7 Penatalaksanaan
b. Manajemen Umum
Jaga jalan napas tetap bersih dan terbuka.
Terapi oksigen sesuai dengan kondisi:
Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang cukup
untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 60-70 mmHg (saturasi
oksigen 90%) dan pH harus dipertahankan 7,25.
Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg (hipoksemia), dan
kebutuhan konsentrasi inspirasi mencapai 70-100%, CPAP nasal harus
ditambahkan dengan tekanan 8-10 cm H2O. Bila terjadi gagal napas (PCO2
>60 mmHg, pH <7,20 dan PaO2 <50 mmHg dengan indikasi, jet frekuensi
tinggi (150-600 napas/menit, dan osilator (900-3000 napas/menit) telah
berhasil menanani gagal napas yang disebabkan SGN berat. Penggunaan
NCPAP sedini mungkin (early NCPAP) untuk stabilisasi bayi BBLSR sejak
di ruang persalinan juga direkomendasikan untuk mencegah kolaps alveoli.
Pada pemakaian nasal prong, perlu lebih hati-hati karena pemakaian yang
terlalu ketat dapat merusak septum nasi.
Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan HMD berat atau
komplikasi yang menimbulkan apneu persisten. Indikasi rasional untuk
penggunaan ventilator adalah:
- Jaga kehangatan
- Pemberian infus cairan intravena dengan dosis rumatan.
- Pemberian nutrisi bertahap, diutamakan ASI.
- Antibiotik diberikan dengan spektrum luas, biasanya dimulai dengan
ampisilin 50mg/kg intravena tiap 12 jam dan gentamisin, untuk berat
lahir <2 kg dosis 3 mg/kgBB per hari. Jika tak terbukti ada infeksi,
pemberian antibiotik dihentikan.
- Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi.
Tekanan parsial O2 diharapkan antara 50-70 mmHg, paCO2
diperbolehkan antara 45-60 mmHg (permissive hypercapnia). pH
diharapkan tetap di atas 7,25 dengan saturasi oksigen antara 88-92%
(Antonius, 2009).
c. Pemberian Surfaktan
Diberikan dalam 24 jam pertama jika bayi terbukti mengalami penyakit
membran hialin, diberikan dalam bentuk dosis berulang melalui pipa
endotrakea setiap 6-12 jam untuk total 2-4 dosis, tergantung jenis preparat
yang dipergunakan. Survanta (bovine survactant) diberikan dengan dosis total
4 mL/kgBB intratrakea (masing-masing 1mL/kg berat badan untuk lapangan
paru depan kiri dan kanan serta paru belakang kiri dan kanan), terbagi dalam
beberapa kali pemberian, biasanya 4 kali (masing-masing dosis total atau 1
ml/kg). Dosis total 4 ml/kgBB dapat diberikan dalam jangka waktu 48 jam
pertama kehidupan dengan interval minimal 6 jam antar pemberian. Bayi tidak
perlu dimiringkan ke kanan atau ke kiri setelah pemberian surfaktan, karena
surfaktan akan menyebar sendiri melalui pipa endotrakeal. Selama pemberian
surfaktan dapat terjadi obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh viskositas
obat. Efek samping dapat berupa perdarahan dan infeksi paru (Antonius,
2009).
d. Bedah
Tindakan bedah dilakukan jika timbul komplikasi yang bersifat fatal
seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, empisema subkutan. Tindakan
yang segera dilaksanakan adalah mengurangi tekanan rongga dada dengan
pungsi toraks, bila gagal dilakukan drainase (Antonius, 2009).
e. Suportif
Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya, dll) Bila terjadi
apneu berulang atau perlu bantuan ventilator maka harus dirujuk ke Rumah
Sakit dengan fasilitas Pelayanan Neonatal Level III yang tersedia fasilitas
NICU (Antonius, 2009).
2.3.8 Pemantauan
a. Efektifitas terapi dipantau dengan memperhatikan perubahan gejala klinis yang
terjadi.
b. Setelah BKB/BBLR melewati masa krisis yaitu kebutuhan oksigen sudah
terpenuhi dengan oksigen ruangan/atmosfer, suhu tubuh bayi sudah stabil diluar
inkubator, bayi dapat minum sendiri /menetek, ibu dapat merawat dan
mengenali tanda-tanda sakit pada bayi dan tidak ada komplikasi atau penyulit
maka bayi dapat berobat jalan.
c. Pada BBLR, ibu diajarkan untuk melakukan perawatan metode kanguru
(PMK).
d. Rekomendasi pemeriksaan Retinopathy of Prematurity (ROP):
e. Bayi dengan berat lahir 1500 g atau usia gestasi 34 minngu
f. Pemeriksaan pada usia 4 minggu atau pada usia koreksi 32-33 minggu
(Antonius, 2009).

2.4 Maturitas Paru


2.4.1 Regulasi maturasi paru
Berbagai kondisi fisik, kimia dan rangsangan hormonal dapat
mempengaruhi perkembangan paru serta sintesis dan sekresi fosfolipid. Insiden
RDS ditemukan lebih rendah pada bayi yang dilahirkan setelah melalui proses
persalinan, baik dilahirkan pervaginam maupun dengan seksio sesarea,
dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan tanpa melalui proses bersalin pada
usia kehamilan yang sama. Jenis kelamin nampaknya juga berpengaruh pada
maturasi paru, pada usia kehamilan yang sama laki-laki lebih sering mengalami
RDS daripada perempuan. Perbedaan kadar fosfolipid dalam cairan ketuban
menunjukkan bahwa maturitas biokimia paru perempuan terjadi lebih awal,
kurang lebih 1 minggu, dibandingkan dengan laki-laki. Diabetes maternal juga
mempengaruhi maturitas paru, ditemukan insiden RDS yang lebih tinggi pada
bayi preterm yang dilahirkan dari ibu dengan diabetes kelas A-C dengan
pengontrolan kadar gula yang buruk. Penundaan maturasi paru ini dapat
disebabkan oleh hiperglikemia, hiperinsulinemia, derivat asam butirat yang
berlebih, atau kombinasi dari ketiga faktor tersebut. Asfiksia akut dengan hipoksia
dan asidosis nampaknya juga menghambat produksi surfaktan. Insiden RDS
ditemukan lebih tinggi pada bayi kedua gemelli, mungkin hal ini berkaitan
dengan asfiksia. Akhirnya faktor familial dan juga riwayat RDS pada kehamilan
sebelumnya menempatkan bayi preterm yang dilahirkan berikutnya dengan resiko
lebih besar untuk mengalami RDS. Sebaliknya, beberapa kondisi klinis dapat
mengakselerasi maturasi paru dan menurunkan insiden RDS. Termasuk
diantaranya stress maternal jangka panjang, misalnya toksemia dan hipertensi,
pertumbuhan janin terhambat, infeksi maternal, diabetes kelas F dan R, paparan
maternal terhadap heroin. Stres maternal kronik mengakselerasi maturasi paru
melalui mekanisme yang melibatkan hormon semisal glukokortikokoid dan
katekolamin.
Dari temuan eksperimental sintesis surfaktan distimulasi oleh berbagai
macam hormon, growth factor, dan faktor transkripsi termasuk diantaranya
glukokortikoid, hormon tiroid, thyrotropin-releasing hormone (TRH), prolaktin,
cyclicadenosine monophosphate (cAMP), asam retinoat, epidermal growth
factor, dan thyroid transcription factor. Diantara faktor-faktor tersebut
glukokortikoid paling banyak diteliti. Pemberian glukokortikoid memberikan
efek berupa perubahan morfologi yang menandakan terjadinya akselerasi
terhadap maturasi paru meliputi alveoli yang membesar, septa interalveoler yang
lebih tipis, peningkatan jumlah sel tipe 2, dan jumlah lamellar body di
dalamnya. Sebagai tambahan, glukokortikoid juga meningkatkan biosintesis
fosfolipid juga protein-protein surfaktan.

2.4.2 Evaluasi Maturasi Paru


Penilaian maturasi paru janin berdasarkan analisis terhadap fosfolipid
pada cairan amnion dimulai pada tahun 1971, ketika Gluck dan rekan
melaporkan adanya perubahan konsentrasi fosfolipid selama kehamilan. Dari
hasil analisis terhadap cairan amnion yang diperoleh dari amniosentesis pada
kehamilan normal dan abnormal, mulai dari usia kehamilan 12 minggu hingga
aterm, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar fosfolipid total seiring
bertambahnya usia kehamilan dan peningkatan tajam terjadi pada usia kehamilan
35 minggu. Kadar lesitin dan sfingomyelin hampir serupa hingga usia
kehamilan 32 minggu, sementara setelah usia kehamilan setelah itu kadar
sfingomyelin terus meningkat sedangkan kadar sfingomyelin justru menurun.
Selanjutnya konsep rasio lesitin-sfingomyelin (L/S) muncul dari temuan
tersebut. Temuan ini kemudian diikuti oleh berbagai penelitian lainnya mengenai
kegunaan klinis dari rasio L/S dalam memprediksi maturitas paru janin. Pada
awal Hobbins dan rekan menggunakan kadar lesitin lebih besar dari
sfingomyelin sebagai definisi maturasi paru janin dan menemukan
bahwa berdasarkan definisi tersebut janin tidak akan mengalami RDS berapapun
berat lahirnya. Rasio L/S 2:1 muncul pada sekitar usia kehamilan 35
minggu dan penelitian-penelitian berikutnya melaporkan bahwa kejadian RDS
hanya ditemukan pada 2-3% bayi dengan rasio L/S 2:1 atau lebih. Dalam usaha
memperbaiki akurasi fosfolipid dalam memprediksi kejadian RDS, fosfolipid
lain seperti FG diteliti pada kehamilan normal dan terkomplikasi. FG
pertamakali terdeteksi pada usia kehamilan 34-35 minggu dan kadarnya
meningkat seiring usia kehamilan. Ditemukannya FG dengan kadar 3% (atau
lebih) dari total fosfolipid merupakan prediktor maturasi janin.
Mengkombinasikan rasio L/S dengan pengukuran kadar FG meningkatkan
akurasi analisis fosfolipid amniotik.
Rasio L/S dan pengukuran kadar FG telah menjadi standar baku
dalam penentuan maturasi paru janin. Rasio L/S yang matur dan FG yang positif
memiliki nilai prediksi negatif mendekati 100%. Namun nilai prediksi positif
hanya berkisar 70%. Tes L/S FG juga memiliki kekurangan lain. Tes ini
dikerjakan dengan metode thin layer chromatography yang membutuhkan
banyak waktu dalam pengerjaannya. Adanya darah dan mekonium dapat secara
signifikan menurunkan akurasi tes rasio L/S. Karena adanya kekurangan ini
maka metode lain untuk menentukan maturitas paru janin terus dikembangkan.
Metode yang ideal seharusnya memenuhi syarat dapat dilakukan berulangkali,
sederhana secara teknis, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk
mengerjakannya serta memiliki akurasi prediksi positif dan negatif yang
tinggi. Namun hingga saat ini metode yang seperti itu masih belum ditemukan.
Mengutip dari Mercer (2009), pada tahun 1972 Clements dan rekan
melaporkan sebuah tes cepat untuk mendeteksi surfaktan pada cairan amnion
yang dikenal dengan tes kocok (shake test). Tes ini berdasarkan kemampuan
surfaktan untuk menghasilkan busa stabil dengan adanya ethanol. Tes ini
sangat sederhana, tidak memerlukan peralatan khusus, dan bisa didapatkan hasil
dalam waktu singkat. Hasil tes dinyatakan matur apabila ditemukan adanya busa
pada pengenceran cairan amnion dengan perbandingan 1 : 2, dan dinyatakan
imatur apabila tidak ditemukan busa pada pengenceran 1 : 1. Tes kocok sama
baiknya dengan rasio L/S dalam memprediksi maturasi paru, namun memiliki
angka false imatur yang sedikit lebih tinggi. Serupa dengan rasio L/S
berkurang akurasinya apabila terdapat mekonium atau darah. Meskipun tes
kocok lebih sederhana dan cepat dibandingkan dengan rasi L/S, namun sebaiknya
hanya digunakan untuk penapisan dan hasil tes yang imatur harus
dikonfirmasikan dengan rasio L/S FG.
Mikroviskositas cairan amnion, yang ditentukan dengan pemeriksaan
fluorescence polarization juga telah digunakan sebagai tes cepat untuk
mendeteksi maturasi paru janin. Cairan amnion memiliki viskositas yang
tinggi dan konstan hingga mendekati usia kehamilan 30-32 minggu dimana
setelah usia kehamilan tersebut terjadi penurunan drastis yang diikuti penurunan
yang lebih perlahan dan konstan hingga usia kehamilan aterm. Hampir serupa
dengan tes lainnya pemeriksaan mikroviskositas ini dapat secara akurat
memprediksi maturasi paru janin namun seringkali memberikan hasil imatur
palsu. Kelebihan dari tes ini adalah mudah dilakukan dan hasil yang didapatkan
cepat karena menggunakan alat pemeriksa yang bersifat otomatis, namun
sekaligus sebagai kekurangan karena ketersediaan alat yang tidak selalu mudah
didapatkan.
Metode lain yang juga digunakan untuk evaluasi maturasi paru janin
adalah pemeriksaan terhadap komponen protein dari surfaktan. King dan rekan
melakukan penilaian terhadap surfactant associated-protein yang kini dikenal
dengan dengan SP-A, pada cairan amnion mulai dari usia kehamilan 12
minggu hingga aterm. Antara 12-32 minggu tidak ditemukan protein yang
dimaksud, namun antara usia 32-37 minggu titernya meningkat dan kemudian
menjadi stabil. Pola peningkatan ini menyerupai peningkatan kadar fosfolipid
pada kehamilan. Kadar SP-A sebesar 3 g / ml atau lebih secara akurat
memprediksikan paru yang matur namun tes ini kurang akurat dalam
memprediksikan imaturitas paru (positif palsu yang tinggi). Ketika tes ini
dikombinasikan dengan L/S FG kemampuan untuk memprediksikan
imaturitas akan menjadi lebih baik.

2.4.3 Surfaktan Paru


Secara umum pengertian surfaktan adalah suatu senyawa percampuran
yang dapat menurunkan tegangan permukaan (atau tegangan antar permukaan)
antara dua zat cair atau antara zat cair dengan zat padat. Surfaktan dapat bekerja
sebagai deterjen, agen pembasah (wetting agent), emulsifier, agen pembusa
(foaming agent) atau dispersan.
Surfaktan biasanya merupakan suatu senyawa organik yang bersifat
ampifilik, yaitu mempunyai bagian hidrofobik (pada bagian ekor) sekaligus
bagian hidrofilik (bagian kepala). Sehingga sebuah surfaktan mengandung kedua
komponen yang bersifat tidak larut air (larut minyak) dan juga komponen larut
air. Surfaktan akan menyebar di air dan menyerap pada antarmuka udara dan air
(atau minyak dan air pada percampuran minyak dan air). Bagian hidrofobik
surfaktan dapat keluar dari zat cair menuju udara atau minyak, sementara bagian
hidrofilik masih tetap berada dalam zat cair. Keberadaan surfaktan pada
permukaan suatu zat akan merubah sifat dari permukaan air pada antarmukanya
dengan udara atau minyak. Dalam industri aplikasi surfaktan terdapat pada
produk rumah tangga seperti: deterjen, cat, zat perekat, tinta, wax,
herbisida, insektisida, kosmetik (shampo, conditioner), alat pemadam
kebakaran dan lain-lain.
Surfaktan paru merupakan kompleks lipoprotein yang bersifat surface-
active yang disintesis oleh sel alveolar tipe II. Protein dan lipid yang terkandung
dalam surfaktan juga memiliki bagian hidrofilik dan hidrofobik. Dengan
melakukan aktivitas penyerapan pada antarmuka cairan-udara alveoli, dimana
bagian hidrofilik menghadap zat cair dan ekor hidrofobik menghadap udara,
komponen lipid utama sufaktan yaitu dipalmitoylphosphatidylcholine(DPPC)
menurunkan tegangan permukaan.

2.4.4 Komposisi Surfaktan


Surfaktan adalah percampuran kompleks antara fosfolipid dan protein
yang disintesis di sel alveolar tipe 2. Fosfolipid utama penyusun surfaktan
adalah fosfatidilkolin (FK, disebut juga lesitin), yang menyusun sekitar 80-85%
fosfolipid, dan fosfatidilgliserol (FG) yang menyusun sekitar 8-11%. Sekitar
separuh fosfatidilkolin berada dalam bentuk tidak terdesaturasi.
Pada sekitar 80-90% kehamilan terjadi peningkatan bermakna
fosfolipid total paru, dimana peningkatan ini sebagian besar terjadi akibat
peningkatan FK. Peningkatan aktivitas permukaan ekstrak paru, serta
distensibilitas dan stabilitas paru juga muncul pada saat ini. Selain fosfolipid,
sebagai komponen penyusun surfaktan, telah diidentifikasi juga empat
surfactant-related proteins. Surfactan protein A (SP-A) adalah protein yang
terglikosilasi dengan berat molekuler 28-36 kDa. SP-A merupakan bagian dari
sistem imun innate paru dan studi terbaru menunjukkan bahwa pada tikus
defisiensi SP-A mengakibatkan mudah terjadinyainfeksi paru dan sistemik pada
pemberian bakteri intratrakeal termasuk bakteri streptokokus grup B. Dua protein
hidrofobik dengan ukuran yang lebih kecil, SP-B dan SP-C, dengan berat
molekuler 4 dan 8 kDa, berperan penting dalam fungsi surface-active dari
surfaktan. Sedangkan SP-D merupakan protein lectin-likedan serupa dengan
SP-A, berperan penting dalam sistem pertahanan terhadap infeksi.

2.4.5 Metabolisme Surfaktan


Sel epitel alveolar tipe II dan makrofag merupakan dua sel yang
bertanggungjawab dalam jalur (pathway) utama metabolisme surfaktan. Jalur
sintesis dan sekresi pada sel tipe II merupakan serangkaian proses biokimia
kompleks yang menghasilkan pelepasan lipid, SP-B dan SP-C dari lamellar body
ke alveolus melalui eksositosis.
Surfaktan diproduksi oleh sel epitel alveoli tipe II. Lamellar body,
organela yang mengandung fosfolipid, dibentuk di dalam sel tipe II ini dan
disekresikan ke dalam lumen alveoli melalui mekanisme eksositosis. Tabung
lemak yang disebut tubuler myelin terbentuk dari bagian lamellar yang
menjorok, yang pada prosesnya kemudian membentuk lapisan
fosfolipid.Setelah disekresikan, fosfolipid melapisi alveoli dengan bagian ekor
yang bersifat hidrofobik menghadap lumen alveoli. Tegangan permukaan
berubah secara berbanding terbalik dengan jumlah fosfolipid per unit area,
molekul surfaktan bergerak saling menjauh satu sama lain pada saat alveoli
meregang selama inspirasi dan hal ini mengakibatkan tegangan permukaan
meningkat dan sebaliknya tegangan permukaan menurun ketika molekul saling
mendekat yaitu pada saat terjadi ekspirasi. Sebagian dari kompleks lipid-protein
dari surfaktan diambil kembali oleh sel tipe II melalui proses
endositosis untuk dipergunakan kembali.
Pembentukan lapisan tipis fosfolipid utamanya difasilitasi oleh komponen
protein pada surfaktan.SP-A adalah glikoprotein berukuran besara dan memiliki
beberapa fungsi, termasuk regulasi pengambilan surfaktan oleh sel tipe II.SP-B
dan SP-C merupakan protein dengan ukuran yang lebih kecil yang memfasilitasi
pembentukan lapisan fosfolipid monomolekuler. SP-D menyerupai SP-A
merupakan glikoprotein. Fungsi utamanya tidak diketahui, namun seperti
anggota kelompok protein kolektin lainnya diduga berperan dalam innate
immunity saluran pernapasan dan alveoli.
Sekresi surfaktan distimulasi melalui beberapa mekanisme.Pemberian
agonis memberikan respon pada sel tipe II berupa peningkatan sekresi
surfaktan. Purin seperti adenosine trifosfat (ATP) merupakan stimulant yang
kuat terhadap sekresi surfaktan dan mungkin penting untuk sekresi surfaktan
pada saat lahir.Sekresi surfaktan juga distimulasi oleh adanya peregangan
mekanis seperti misalnya distensi paru dan hiperventilasi. Sekresi surfaktan
yang muncul pada saat dimulainya ventilasi mengikuti lahirnya bayi
kemungkinan berasal dari kombinasi antara efek meningkatnya katekolamin
dan peregangan paru. Meskipun secara umum jalur sintesis surfaktan sudah
diketahui, namun detail mengenai bagaimana komponen dari surfaktan
berkondensasi dengan SP-B dan SP-C untuk membentuk kompleks lipoprotein
surfaktan didalam lamellar body masih belum sepenuhnya dipahami.
2.4.3 Efek fisiologis surfaktan pada paru preterm
1. Mempertahankan stabilitas alveoli
Alveoli secara tradisional digambarkan sebagai bidang berbentuk bola
dimana surfaktan berfungsi untuk mempertahankan ukurannya. Namun
dalam kenyataannya alveoli sebenarnya berbentuk prismatik atau
polygonal dengan permukaan yang datar dengan lekukan dimana dinding-
dinding saling bersilangan. Lebih lanjut, alveoli bersifat interdependen
dimana struktur mereka ditentukan oleh bentuk dan elastisitas dinding
alveoli lain yang saling bersinggungan. Pada saat alveoli mengalami
kolaps maka alveoli di sekitarnya akan teregang oleh alveoli tersebut.
Lebih lanjut lagi sebagai respon terhadap regangan, maka alveoli di
sekitarnya akan menarik alveoli yang mengalami kolaps, gaya
ekspansi yang ditimbulkan akan menjaga alveoli yang kolaps agar
kembali terbuka.
Untuk mempertahankan stabilitas alveoli surfaktan harus merubah
tegangan permukaan sesuai dengan perubahan ukuran alveoli pada saat
ekspirasi dan inspirasi. Penjelasan sederhana dari kerja surfaktan adalah
selama ekspirasi, yaitu pada saat area permukaan alveoli mengecil, maka
molekul-molekul surfaktan akan merapat dan menjadi lebih padat, ini akan
menimbulkan efek yang lebih besar terhadap tegangan permukaan berupa
penurunan tegangan permukaan. Sebenarnya pada keadaan nyata,
mekanismenya jauh lebih kompleks dan belum sepenuhnya dapat
dijelaskan. Penjelasan klasik yang dikenal dengan hipotesis squeeze
out, yaitu pada saat lapisan tunggal surfaktan (surfactant monolayer)
terkompres, fosfolipid yang kurang stabil terperas keluar dari lapisan,
sedangkan jumlah molekul DPCC yang stabil meningkat, dimana
DPCC ini memiliki kerja yang lebih signifikan dalam hal menurunkan
tegangan permukaan. Fosfolipid surfaktan in vivo terdapat dalam bentuk
lapis tunggal dan lapis majemuk (multilayer), dan dimungkinkan pada
beberapa bagian di alveoli lapisan surfaktan berubah-ubah diantara dua
bentuk tersebut sesuai perubahan ukuran alveoli selama proses respirasi.
Surfaktan juga menjaga saluran pernapasan agar tidak terisi oleh
cairan, sehingga mengakibatkan obstruksi lumen. Jika alveoli kolaps
atau terisi cairan, bentuk alveoli yang berdekatan juga akan
mengalami perubahan berupa distorsi, overdistensi atau juga mengalami
kolaps. Jika tekanan positif diberikan pada paru yang mengalami
defisiensi surfaktan maka alveoli yang lebih normal akan cenderung
mengalami overekspansi dan alveoli yang lebih kurang normal (yang lebih
sedikit mengandung surfaktan) akan mengalami kolaps, menciptakan paru
yang mengembang secara tidak seragan. Pemberian terapi surfaktan
dapat menormalkan ukuran dari alveoli.
2. Menurunkan tegangan permukaan
Kemampuan surfaktan untuk menurunkan tegangan permukaan
berasal dari komponen fosfolipid yang dikandungnya. Fosfolipid
memiliki bagian hidrofilik dan sekaligus bagian hidrofobik. Prinsip dari
fosfolipid ini bersifat tidak larut, berada dalam dispersi cairan dalam
bentuk agregat seperti liposom. Kutub fosforilkolin berinteraksi dengan
air, sementara bagian hidrofobik bergerak menuju arah udara. Interaksi
antara molekul-molekul ini lebih lemah dibandingkan interaksi tarik
menarik antar molekul air. Pada kasus ethanol, lipid ini akan menurunkan
tegangan permukaan dengan jalan menggeser air dari permukaan.
Efek surfaktan pada paru preterm yang kekurangan surfaktan
ditunjukkan oleh hubungan tekanan-volume pada saat kuasi-statis
inflasi dan deflasi. Jumlah tekanan yang dibutuhkan untuk membuka
unit paru berkaitan dengan radius kurva dan tegangan permukaan
meniskus cairan yang terdapat pada saluran udara pada unit tersebut. Jika
terdapat defisiensi surfaktan maka tegangan permukaan akan menjadi
tinggi dan bervariasi. Paru yang tidak mengembang terdiri dari saluran
udara yang berisi cairan dengan radius yang berbeda. Unit yang
mengandung saluran udara dengan radius yang besar dan tegangan
permukaan yang rendah akan membuka terlebih dahulu sehingga inflasi
yang terjadi berbeda dengan paru yang yang mengalami defisiensi
surfaktan. Paru preterm yang mengalami defisiensi surfaktan tidak akan
terjadi inflasi sebelum tekanan melebihi 25 cm H2O.
Pemberian surfaktan akan menimbulkan efek berupa penurunan
tajam pada opening pressure hingga sekitar 15 cm H2O. Pemberian
surfaktan tidak merubah radius dari saluran udara, berkurangnya opening
pressure disebabkan oleh adsorbsi surfaktan ke meniscus. Inflasi terjadi
lebih seragam karena tegangan permukaan yang rendah membuat aerasi
lebih tidak bergantung pada ukuran saluran udara.Lebih banyak unit
yang terbuka pada tekanan yang lebih rendah dan juga lebih sedikit
terjadi overdistensi pada unit yang sudah terbuka.
Panah pada kurva menunjukkan arah inflasi-deflasi. Sebagai
kontrol adalah paru kelinci preterm berusia 27 hari. Paru yang mengalami
defisiensi surfaktan dicrikan dengan tekanan pembukaan yang tinggi,
volume maksimal yang rendah pada saat tekanan 35 cm H2O, dan
kurangnya stabilitas pada saat deflasi pada saat tekanan rendah.
Sebaliknya paru kelinci preterm yang diberikan terapi surfaktan
merubah secara signifikan hubungan tekanan-volume. Efek signifikan
surfaktan terhadap paru yang mengalami defisiensi surfaktan adalah
peningkatan 2.5 kali volume maksimal pada tekanan 35 cm H2O. Pada
penelitian, tekanan lebih dari 35 cm H2O akan menyebabkan ruptur pada
paru dengan defisiensi surfaktan. Selain itu peningkatan volume paru juga
berarti peningkatan luas permukaan sehingga terjadi pertukaran gas yang
lebih baik.Sebagai tambahan surfaktan juga memberikan stabilitas yang
lebih baik pada keadaan paru deflasi. Paru yang kekurangan surfaktan
akan mengalami kolaps pada tekanan transpulmoner yang rendah.
Sedangkan paru yang diberikan terapi surfaktan dapat mempertahankan
36% volume paru pada saat deflasi hingga tekanan serendah 5 cm H2O.
3. Reduksi ultra-filtrasi
Selain menurunkan tegangan permukaan secara keseluruhan dan
menciptakan stabilitas alveolar, surfaktan juga mencegah terjadinya udem
paru. Darah yang mengalir melalui alveoli yang kaya akan jaringan
kapiler, seperti pada capillary bed lain yang ada pada tubuh, berlaku
hukum Starling. Yaitu, filtrasi cairan melalui dinding kapiler menuju
jaringan interstisial bergantung pada gradient tekanan hidrostatik. Apabila
tidak terdapat surfaktan, untuk mengembangkan alveoli, tekanan
transpulmoner harus meningkat hingga mencapai 28 cm H2O, ini
akan menyebabkan net gradient tekanan yang bekerja dengan arah keluar.
Namun dengan adanya surfaktan, tegangan permukaan akan menurun,
sehingga mengurangi tekanan transpulmoner yang dibutuhkan, akibatnya
net gradien tekanan akan bekerja kearah dalam dan menjaga interstisial
alveoli tetap kering.

2.5 Steroid Antenatal dan Pematangan Paru Bayi Preterm


Kortikosteroid yang diberikan pada ibu dengan risiko persalinan preterm
secara signifikan menurunkan insiden respiratory distress syndrome (RDS) pada
bayi baru lahir, utamanya jika persalinan terjadi dalam waktu 7 hari setelah
pemberian steroid. Cochrane review terhadap 21 penelitian (melibatkan 3885
wanita dan 4269 bayi) menunjukkan pemberian kortikosteroid antenatal
menurunkan risiko kematian bayi sebesar 31%, RDS 44% dan
intraventricular haemorrhage sebesar 46%. Kortiosteroid antenatal juga
berkaitan dengan penurunan kejadian necrotising enterocolitis, kebutuhan akan
alat bantu pernapasan, perawatan intensif dan infeksi sistemik dalam 48 jam
pertama kehidupan dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa terapi atau
placebo. Tidak didapatkan adanya efek samping dari pemberian steroid antenatal
ini. Hasil yang signifikan pada luaran bayi diperoleh apabila persalinan terjadi
setidaknya 48 jam setelah pemberian steroid dan pada usia kehamilan di
atas 24 minggu.
Pemberian kortikosteroid sebelum paru matang akan memberikan efek
berupa peningkatan sintesis fosfolipid surfaktan pada sel pneumosit tipe II dan
memperbaiki tingkat maturitas paru. Kortikosteroid bekerja dengan menginduksi
enzim lipogenik yang dibutuhkan dalam proses sintesis fosfolipid surfaktan dan
konversi fosfatidilkolin tidak tersaturasi menjadi fosfatidilkolin tersaturasi, serta
menstimulasi produksi antioksidan dan protein surfaktan (SP-A hingga SP-D).
Efek fisiologis glukokortikoid pada paru meliputi peningkatan komplians dan
volume maksimal paru, menurunkan permeabilitas vaskuler, meningkatkan
pembersihan cairan paru, maturasi struktur parenkim, memperbaiki fungsi
respirasi, serta memperbaiki respon paru terhadap pemberian terapi surfaktan post
natal.
Betamethasone dan dexamethasone adalah kortikosteroid sintetis kerja-
panjang dengan potensi glukokortikoid yang serupa dan efek mineralokortikoid
yang tidak bermakna. Adanya perbedaan dalam hal ikatan dengan albumin,
transfer plasenta dan afinitas pada reseptor kortikosteroid, maka dibutuhkan dosis
kortisol, kortison, hidrokortison, prednisone dan prednisolon yang lebih
tinggi untuk mencapai ekuivalensi dosis yang sama dengan dexamethasone
dan betamethasone pada janin. Rejimen pemberian kortikosteroid yang
direkomendasikan oleh Royal College of Obstetricians and Gynaecologists
(RCOG) tahun 2010 adalah 2 dosis bethametasone 12 mg berjarak 24 jam dari
dosis pertama, diberikan intramuskuler atau 4 dosis dexamethasone 6 mg tiap 6
jam, diberikan intramuskuler. Masih menurut rekomendasi dari RCOG setiap
klinisi sepatutnya menawarkan pemberian terapi kortikosteroid antenatal ini
pada setiap wanita dengan risiko persalinan preterm dengan usia kehamilan 24
minggu + 0 hari hingga 34 minggu + 6 hari.

2.6 Terapi Surfaktan pada Respiratory Distress Syndrome (RDS)


Terapi surfaktan telah menjadi standar perawatan pada bayi preterm dengan
respiratory distress syndrome (RDS), penggunaannya juga semakin sering pada
bayi yang mendekati aterm dan aterm dengan acute respiratory distress syndrome
(ARDS). Di Amerika Serikat insiden prematuritas meningkat. RDS menjadi
salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi preterm,
utamanya pada bayi dengan extremely low birth weight < 1000 gram.
Insiden RDS berbanding terbalik dengan usia kehamilan. Dengan semakin
rutinnya penggunaan steroid prenatal, insiden dan juga tingkat severitas RDS
telah menurun secara bermakna hingga hampir 50% pada beberapa tahun terakhir.
RDS terjadi pada sekitar 50% bayi yang lahir < 30 minggu, dan hanya pada 25%
bayi yang lahir di atas 30 minggu. Terapi surfaktan terbukti menurunkan
kejadian luaran buruk berupa bronchopulmonary dysplasia (BPD) dan
kematian pada bayi preterm dengan RDS.
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) bukanlah penyebab tersering
penyebab kegagalan napas pada bayi near-term dan bayi aterm yang baru lahir
yang dirawat pada neonatal intensive care unit (NICU). ARDS seringkali
merupakan dampak sekunder dari meconium aspiration syndrome (MAS),
pneumonia kongenital, ARDS yang diinduksi sepsis, pneumonia viral, perdarahan
pulmoner dan defisiensi SP-B komplit atau parsial. Pada kondisi-kondisi tersebut
inaktivasi atau disfungsi surfaktan merupakan faktor penyebab utama. Mekanisme
utama inaktivasi surfaktan pada ARDS diantaranya dengan berkurangnya sintesis
dan sekresi oleh pneumosit tipe II atau inhibisi langsung fungsi surfaktan oleh zat-
zat seperti mekonium, darah, protein serum atau protein dari cairan udem.
Terapi surfaktan eksogen menunjukkan bermanfaat pada 70% pasien ARDS.
Fujiwara dan rekan-rekan pertamakali melaporkan pada tahun 1980 bahwa
pemberian surfaktan pada saluran pernapasan memberikan efek perbaikan
oksigenasi pada bayi dengan RDS berat. Penggunaan surfaktan untuk RDS untuk
penggunaan klinis secara luas terjadi pada tahun 1990 setelah sejumlah penelitian
uji klinis. Tiga surfaktan yang dibuat dari paru babi atau sapi saat ini
tersedia di Amerika Serikat.Sifat dari surfaktan buatan ini berbeda dengan
surfaktan alami dalam hal komposisi dan fungsi dikarenakan mereka memiliki
komposisi protein dan fosfolipid yang diubah sehingga memiliki karakter
biofisik yang berbeda pula. Pada bayi dengan RDS, alveoli dan jaringan
sekitarnya berukuran kecil dan perlahan-lahan ukurannya bertambah setelah lahir.
Terapi surfaktan secara cepat meningkatkan jumlah baik alveoli maupun jaringan
sekitarnya karena surfaktan eksogen yang diberikan akan diambil oleh sel tipe II
dan kemudian diproses untuk kemudian diresekresi. Surfaktan eksogen yang
diberikan akan bertahan di paru dan tidak cepat mengalami degradasi. Dosis
terapi surfaktan eksogen yang diberikan tidak menyebabkan umpan balik negatif
berupa hambatan sintesis fosfatidilkolin ataupun protein surfaktan
endogen.Hingga saat ini tidak ditemukan adanya konsekuensi metabolik atau
perubahan fungsi paru dengan pemberian terapi surfaktan. Tidak terdapat
perbedaan yang bermakna secara klinis diantara beberapa jenis surfaktan yang
digunakan dalam terapi RDS. Surfaktan telah diujikan penggunaannya pada dua
situasi : pada bayi preterm dengan resiko terjadinya RDS segera setelah lahir,
dan pada bayi yang memang sudah mengalami RDS. Kedua strategi pemberian
tersebut sama-sama secara efektif menurunkan derajat severitas gejala pernapasan
dan kematian bayi.Strategi pengobatan ini mungkin tidak berpengaruh pada
kejadian komplikasi atau luaran bayi aterm dengan RDS namun pengobatan dini
akan sangat bermanfaat pada bayi imatur dengan berat kurang dari 1
kilogram. Pada praktik klinis, perbedaaan kedua strategi pengobatan ini menjadi
kurang jelas karena saat ini terapi diberikan segera setelah lahir dan ketika tanda-
tanda distres napas baru mulai nampak.Pemberian terapi surfaktan tidak boleh
mempengaruhi pemberian bantuan resusitasi neonatus dan stabilisasi awal.
Strategi perawatan di dalamnya juga harus melibatkan penggunaan continuous
positive end expiratory pressure.

2.7 Continuos Positive Airway Pressure (CPAP)


2.7.1 Definisi
Continuos Positive Airway Pressure (CPAP) adalah merupakan suatu alat
untuk mempertahankan tekanan positif pada saluran napas neonatus selama
pernafasan spontan. CPAP merupakan suatu alat yang sederhana dan efektif
untuk tatalaksana respiratory distress pada neenatus. Penggunaan CPAP yang
benar terbukti dapat menurunkan kesulitan bernafas, mengurangi ketergantungan
terhadap oksigen, membantu memperbaiki dan mempertahankan kapasitas
residual paru, mencegah obstruksi saluran nafas bagian atas, dan mecegah kollaps
paru, mengurangi apneu, bradikardia, dan episode sianotik, serta mengurangi
kebutuhan untuk dirawat di Ruangan intensif. Beberapa efek fisiologis dari CPAP
antara lain :
1. Mencegah kolapsnya alveoli paru dan atelektasis
2. Mendapatkan volume yang lebih baik dengan meningkatkan
kapasitas residu fungsional
3. Memberikan kesesuaian perfusi, ventilasi yang lebih baik dengan
menurunkan pirau intra pulmonar
4. Mempertahankan surfaktan
5. Mempertahankan jalan nafas dan meningkatkan diameternya
6. Mempertahankan diafragma.

2.7.2 Indikasi Dan Kontraindikasi


Ada beberapa kriteria terjadinya respiratory distress pada neonatus yang
merupakan indikasi penggunaan CPAP. Kriteria tersebut meliputi :
1. Frekuansi nafas > 60 kali permenit
2. Merintih ( Grunting) dalam derajat sedang sampai parah
3. Retraksi nafas
4. Saturasi oksigen < 93% (preduktal)
5. Kebutuhan oksigen > 60%
6. Sering mengalami apneu
Semua bayi cukup bulan atau kurang bulan, yang menunjukkan salah satu
kriteria tersebut diatas, harus dipertimbangkan untuk menggunakan CPAP. Pada
penggunaan CPAP, pernapasan spontan dengan tekanan positif dipertahankan
selama siklus respirasi, hal ini yang disebut disebut dengan continuous positive
airway pressure. Pada mode ventilasi ini, pasien tidak perlu menghasilkan
tekanan negatif untuk menerima gas yang diinhalasi. Hal ini dimungkinkan oleh
katup inhalasi khusus yang membuka bila tekanan udara di atas tekanan atmosfer.
Keistimewaan CPAP adalah dapat digunakan pada pasien-pasien yang tidak
terintubasi. Beberapa gangguan nafas atau respiratory distress yang dapat diatasi
dengan mempergunakan CPAP antara lain :
1. Bayi kurang bulan dengan Respiratory Distress Syndrom
2. Bayi dengan Transient Takipneu of the Newborn (TTN)
3. Bayi dengan sindroma aspirasi mekoneum
4. Bayi yang sering mengalami apneu dan bradikardia karena kelahiran kurang
bulan
5. Bayi yang sedang dalam proses dilepaskan dari ventilator mekanis
6. Bayi dengan penyakit jalan nafas seperti trakeo malasia, dan bronkitis
7. Bayi pasca operasi abdomen
Adapun beberapa kondisi respiratory distress pada neonatus, tetapi
merupakan kontraindikasi pemasangan CPAP antara lain :
1. Bayi dengan gagal nafas, dan memenuhi kriteria untuk
mendapatkan support ventilator
2. Respirasi yang irreguler
3. Adanya anomali kongenital
4. Hernia diafragmatika
5. Atresia choana
6. Fistula tracheo-oeshophageal
7. Gastroschisis
8. Pneumothorax tanpa chest drain
9. Trauma pada nasal, yang kemungkinan dapat memburuk dengan
pemasangan nasal prong
10. Instabilitas cardiovaskuler, yang akan lebih baik apabila
memdapatkan support ventilator
11. Bayi yang lahir besar, yang biasanya tidak dapat mentoleransi
penggunaan CPAP, sehingga menimbulkan kelelahan bernafas, dan
meningkatkan kebutuhan oksigen

2.7.3 Komplikasi Pemasangan CPAP


Pemasangan nasal CPAP pada beberapa kasus dapat mengakibatkan
komplikasi. Komplikasi pemasangan CPAP antara lain :
1. Cedera pada hidung, misalnya erosi pada septal nasi, dan nasal snubbing.
Penggunaan nasal prong atau masker CPAP dapat mengakibatkan erosi pasa
septal nasi, sedangkan penggunaan CPAP dalam jangka waktu yang lama
dapat mengakibatkan snubbing hidung
2. Pneumothorak. Kejadian Pneumothorak dapat terjadi karena proses
penyakit dari Respiratory Distress Syndrom ( karena alveolar yang over
distensi) , dan angka kejadian tersebut meningkat dengan penggunaan
CPAP.
3. Impedasi aliran darah paru. Terjadi karena peningkatan resistensi
vaskularisasi paru, dan penurunan cardiac output, yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan inthorakal karena penggunaan CPAP yang tidak
sesuai.
4. Distensi abdomen. Pada kebanyakan neonatus tekanan spingkter
oeshiphagus bagian bawah cukup baik untuk dapat menahan distensi
abdomen karena tekanan CPAP. Tetapi distensi abdomen dapat terjadi
sebagai komplikasi dari pemaangan CPAP. Resiko terjadinya distensi
abdomen dapat berkurang dengan pemasangan orogastric tube (OGT).
5. Nasal prong atau masker pada CPAP dapat menyebabkan
ketidaknyamanan bayi yang dapat menyebabkan agitasi dan kesulitan tidur
pada bayi

2.7.4 Perlengkapan CPAP


Sistem CPAP sendiri terdiri dari 3 komponen yaitu :
1. Sebuah sirkuit yang mengalirkan gas terus menerus, untuk diisap. Sunber
oksigen dan udara bertekanan yang menghasilkan gas untuk dihirup.
Pencampur oksigen yang memungkinkan gas dapat diberikan sesuai FiO2
yang sesuai. Sebuah flow meter yang mengkontrol kecepatan aliran terus
menerus dari gas yang dihirup (biasanya dipertahankan pada kecepatan 5-7
liter ). Sebuah humidifier yang melembabkan dan menghangatkan gas yang
dihirup.
2. Sebuah alat untuk menghubungkan sirkuit ke saluran nafas neonatus.
Dalam prosedur ini , nasal prong merupakan metode yang paling banyak
digunakan.
3. Sebuah alat untuk menghasilkan tekanan positif pada alat sirkuit.
Tekanan positif dalam sirkuit dapat dicapai dengan memasukkan pipa
ekspirasi bagian distal dalam larutan asam asetat 0,25% sampai
kedalaman yang diharapkan ( 5cm) atau katup CPAP.
Suatu sistem CPAP yang baik mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Pipanya fleksibel dan ringan sehingga pasien bisa mengubah posisi dengan
mudah
2. Mudah dilepas dan ditempel
3. Resistensinya rendah, sehingga pasien bisa bernafas dengan spontan
4. Relatif tidak invasif5. Sederhana dan mudah dipahami, oleh semua pemakai
5. Aman dan efektif dari segi biaya.
Sirkuit CPAP lengkap harus dirangkai dan siap digunakan setiap saat. Jika
memerlukan CPAP, seharusnya kita hanya tinggal memnyambungkan CPAP ke
nasal prong yang sesuai dan tepat ukurannya, menyalakan alat pengatur
kehangatan dan mengisi tabung botol outlet dengan air steril.

2.7.5 Penggunaan CPAP


CPAP adalah salah satu alat yang digunakan sebagai tatalaksana
respiratory distres pada neonatus. Seperti penggunaan alat kesehatan lainnya
penggunaan CPAP juga harus memperhatikan standard kebersihan dan
keamanan. Menjaga kebersiha jalan nafas bayi merupakan kunci keberhasilan
tatalaksana paru yang baik. Mencuci tangan yang benar sebelum menyantuh
prong atau pipa CPAP, adalah suatu keharusan. Ujung selalng yang lain yang
tidak digunakan juga harus bersih., dan harus dijauhkan dari lantai atau
tempat yang tidak bersih lainnya.
Cara pemasangan CPAP adalah sebagai berikut :
1. Tempelkan selang oksigen dan udara ke pencampur dan flow meter, lalu
hubungkan ke alat pengatur kelembapan. Pasang floe meter antara 5-10 liter
2. Tempelkan satu selang ringan , lemas dan berkerut ke alat pengatur
kelembapan.
3. Hubungkan probe kelembapan, dan suhu ke selang kerut yang masuk
ke bayi. Pastikan probe suhu tetap diluar inkubator atau tidak di dekat
sumber panas dari penghangat.
4. Siapkan satu botol air steril di dekat alat pengatur kelembapan
5. Jaga kebersihan ujung selang
Untuk menghubungkan sistem ini ke bayi, langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut :
0
1.
Posisikan bayi dan naikkan kepala tempat tidur 30
2. Hisap lendir dari mulut, hidung, dan faring. Pastikan bayi tidak
mengalami atresia choana
3. Letakkan gulungan kain dibawah bahu bayi, sehingga leher bayi
dalam posisi ekstensi untuk menjaga jalan nafas tetap terbuka.
4. Lembabkan prong dengan air steril atau Nacl 0,9% sebelum
memasukkannya kedalam hidung bayi. Masukkan dengan posisi
lengkungan kebawah. Sesuaikan sudut prong dan kemudian sesuaikan
selang kerut dengan posisi yang sesuai.
5. Masukkan pipa Orogastrik (OGT) dan lakukan aspirasi isi perut,
kita boleh membiarkan pipa lambung tetap ditempatnya untuk
mencegah distensi lambung
6. Pergunakan topi untuk menjaga kehangatan bayi
7. Setelah bayi nyaman dan stabil dengan CPAP, barulah kita melakukan
fiksasi agar nasal prong tidak bergeser dari tempatnya.
Selama penggunaan CPAP hendaknya kita mengevaluasi tanda vital bayi ,
sistem kardiovaskuler ( perfusi sentral, perifer, tekanan darah), respon neurologis
( tonus otot, kesadaran dan respon terhadap stimulasi), gastrointestinal ( distensi
abdomen, visible loops dan bising usus). Hisap lendir harus selalu dilakukan
dari rongga hidung, mulut, faring dan perut setiap 2-4 jam, sesuai dengan
kebutuhan. Meningkatnya upaya nafas, kebutuhan oksigen, dan insiden apneu
atau bradikardi, dapat disebabkan karena adanya lendir berlebih. Untuk
melunakkan konsistemsi lendir dapat digunakan NaCl 0,9%.
Selama penggunaan CPAP kita harus selalu memantau apakah alat
selalu berfungsi dengan baik, dan tidak terjadi perburukan pada kondisi bayi
yang mengharuskan kita menghentikan penggunaan CPAP. Berikut adalah
kondisi-kondisi yang mengindikasikan kegagalan penggunaan CPAP dan
memerlukan ventilasi mekanis :
1. FiO2 > 60 %
2. PaCO2 > 60mmHG
3. Asidosis metabolik menetap dengan defisit basa > -8
4. Terlihat retraksi yang semakin lama semakin meningkat dan menunjukkan
kelelahan pada bayi
5. Sering mengalami apneu dan bradikardia
6. Pernafasan yang irreguler
Apabila terjadi kondisi tersebut, maka kita harus mempertimbangkan
untuk melakukan intubasi dan support ventilasi mekanik.

2.7.6 Pemberian Minum Selama Penggunaan CPAP


Pemberian minum dapat diberikan selama penggunaan CPAP nasal.
Sebelum memberikan makanan harus dilakukan aspirasi terlebih dahulu untuk
menghindari udara yang berlebihan di lambung akibat penggunaan CPAP. Jika
kondisinya stabil, bayi dapat minum personde.

2.8 Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)


Pada pasien ARDS, perbaikan PO2 arterial yang besar sering kali dapat
dicapai dengan mempertahankan tekanan jalan napas positif yang kecil pada akhir
ekspirasi. Nilai sekecil 5 cm H2O sering kali bermanfaat. Akan tetapi, tekanan
setinggi 20 cm H2O atau lebih kadang kala digunakan. Katup khusus tersedia
untuk memberi tekanan. Keuntungan PEEP adalah alat ini memungkinkan
konsentrasi oksigen inspirasi diturunkan sehingga mengurangi risiko toksisitas
oksigen.
Beberapa mekanisme mungkin berperan pada peningkatan PO2 arterial
yang dihasilkan dari PEEP. Tekanan positif meningkatkan FRC, yang tipikalnya
kecil pada pasien ini karena pengingkatan rekoil elastic paru. Volume paru yang
kecil menyebaban penutupan jalan napas dan ventilasi intermiten (atau tidak ada
ventilasi sama sekali) di beberapa daerah, terutama di daerah dependen, dan
absorpsi atelektasis. PEEP cenderung membalikkan perubahan ini. Pasien dengan
edema jalan napasnya juga mendapat keuntungan, mungkin karena cairan bregeser
ke dalam jalan napas perifer kecil atau alveoli, memungkinkan beberapa daerah
paru diventilasi ulang.
Tabel 2.1 Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)
Sering berguna untuk meningkatkan PO2 arterial pada pasien
dengan gagal napas
Nilai 5-20 cm H2 lazim dipakai
Memungkinkan konsentrasi O2 inspirasi menurun
Dapat menurunkan curah jantung dengan menghambat aliran
balik vena
PEEP tingkat tinggi dapat merusak kapiler paru

(Sumber: Patofisiologi Paru Esensial Edisi 6, 2003)


Terkadang, penambahan PEEP yang terlalu besar menurunkan PO2 arteri,
bukan meningkatkannya. Mekanisme yang mungkin meliputi: 1) curah jantung
sangat menurun, yang menurunkan PO2 dalam darah vena campuran dan PO2; 2)
penurunan ventilasi daerah berperfusi baik (karena peningkatan ruang mati dan
ventilasi ke daerah berperfusi buruk); 3) peningkatan aliran darah dari daerah
berventilasi ke tidak berventilasi oleh peningkatan tekanan jalan napas. Akan
tetapi, efek PEEP membahayakan ini pada PO2 ini jarang terjadi.
PEEP cenderung menurunkan curah jantung dengan menghambat aliran
balik vena ke toraks, terutama jika volume darah yang bersirkulasi menurun
karena perdarahan atau syok. Oleh karena itu, nilainya tidak boleh diukur dari
efeknya pada PO2 arteri saja, tetapi bersamaan dengan jumlah total oksigen yang
dikirim ke jaringan. Hasil dari konsentrasi oksigen arterial dan curah jantung
merupakan indeks yang berguna karena perubahan padanya akan mengubah PO2
darah vena campuran dan kemudia PO2 banyak jaringan. Beberapa dokter
menggunakan kadar PO2 dalam darah vena campuran sebagai panduan untuk
tingkat optimal PEEP.
Dalam keadaan tertentu, pemasangan PEEP menyebabkan penurunan
seluruh konsumsi oksigen pasien. Konsumsi oksigen menurun karena perfusi di
beberapa jaringan sangat marginal sehingga jika aliran darahnya menurun lagi,
jaringan tidak dapat mengambil oksigen dan mungkin mati perlahan.
Bahaya PEEP tingkat tinggi yang lain adalah kerusakan pada kapiler paru
akibat regangan tinggi pada dinding alveolar. Dinding alveolar dapat dianggap
sebagai benang kapiler. Tegangan tingkat tinggi meningkatkan stres pada dinding
kapiler yang menyebabkan robekan pada epitel alveolar, endotel kapiler, atau
semua lapisan dinding.
2.9 Nutrisi Parenteral pada Neonatus
2.9.1 Definisi
Nutrisi Parenteral (NP) merupakan cara pemberian nutrisi dan energi secara
intravena yang bertujuan untuk memberikan kecukupan karbohidrat, protein,
lemak, vitamin dan mineral yang diperlukan untuk metabolisme dan
pertumbuhan bayi baru lahir yang mempunyai problem klinik yang berat,
terutama pada Bayi Baru Lahir Amat Sangat Rendah (BBLASR) di mana
belum/tidak memungkinkan untuk diberikan nutrisi enteral
2.9.2 Indikasi
Bayi dengan berat badan 1800 g yang kebutuhan nutrisi
enteralnya tidak dapat terpenuhi > 3 hari.
Bayi dengan berat badan > 1800 g yang kebutuhan nutrisi enteralnya
tidak terpenuhi > 5 hari.
Gangguan respirasi > 4 hari (termasuk seringnya serangan apnea)
Malformasi kongenital traktus gastrointestinalis
Enterokolitis netrotikan
Diare berlanjut atau malabsorbsi
Pasca operasi (khusunya operasi abdomen)

2.9.3 Kebutuhan Nutrien


Untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal bayi
baru lahir harus mendapat cairan dan elektrolit, kalori (karbohidrat, protein,
lemak), vitamin dan mineral yang sesuai dengan kebutuhan.

2.9.4 Cairan
Tabel 1 : Kebutuhan cairan inisial pada neonatus

Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml/kg BB/hari)


< 24 jam 24-28 jam > 48 jam

< 1,0 100 150 120 150 140 190

1,0 1,5 80 100 100 120 120 160

> 1,5 60 80 80 - 120 120 160


2.9.5 Elektrolit
Tabel 2 : Kebutuhan elektrolit yang dianjurkan pada neonatus
Elektrolit Dosisi harian yang dianjurkan
(meq/kg/BB)
Kalium 14
Natrium 25
Klorida 15

Kalsium 3-4
Magnesium 0,3-0,5
Fosfor 1-2 mmol/kg

2.9.6 Energi
Umumnya bayi baru lahir untuk dapat tumbuh memerlukan kalori
50-60 kkal/kg BB/hari (to maintain weight) dan 100-200 kkal/kg
BB/hari (to induce weight-gain).
2.9.6.1 Karbohidrat
Sumber utama karbohidrat berasal dari glukosa. Untuk mencegah
terjadinya hipoglikemia, kebutuhan yang diperlukan untuk bayi cukup bulan
adalah 6-8 mg/kg BB/menit dan bayi kurang bulan adalah 4 mg/kg BB/menit,
dapat ditingkatkan 0,5-1 mg/kg BB/menit setiap hari sampai 12-14 mg/kg
BB/menit dalam 5-7 hari. Kebutuhan akan meningkat pada keadaan stress
(misalnya : sepsis, hipotermia) atau bayi dengan ibu Diabetes Mellitus.
2.9.6.2 Protein
Pemberian protein biasanya dimulai dalam 48 jam pemberian nutrisi
parenteral dan diberikan dalam bentuk asam amino sintetik. Dosis yang
dianjurkan adalah sebagai berikut :
a. Neonatus dengan BB
< 1000 g
Pemberian awal dengan 0,5-1 g/kg BB/hari, kemudian ditingkatkan lagi
0,25-0,5 g/kg BB/hari sampai mencapai 2,5-3,5 g/kg BB/hari dan asam
amino 2-2,5 g/kg BB/hari.
b. Neonatus dengan BB
> 1000 g
Pemberian awal dengan dosis 1 g/kg BB/hari, kemudian ditingkatkan
1 g/kg
BB/hari sampai mencapai 1,5-3,5 g/kg
BB/hari.
2.9.6.3 Asam Amino
Mencegah katabolisme asam
amino
Pengenalan yang cepat melalui TPN memberikan keseimbangan
nitogen yang positif
Menurunkan frekuensi dan tingkat keparahan dari hiperglikemia
neonatal dengan merangsang sekresi insulin endogen dan merangsang
pertumbuhan meningkatkan pelepasan insulin dan insuline-like growth
factor

2.9.6.4 Lemak
Pemberian lemak dapat menggunakan emulsi lemak 10% yang
mengandung 10 g trigliserida dan 1,1 kkal/ml atau 20% yang mengandung
20 g trigliserida dan 2 kkal/ml. Kebutuhan lemak pada pemberian NPT adalah
sebagai berikut :
a. Nonatus dengan BB < 1000 g
Pemberian awal 0,5 g/kg BB/hari, kemudian ditingkatkan 0,25-0,5 g/kg
BB/hari sampai mencapai 2-2,5 g/kg BB/hari.
b. Neonatus dengan BB > 1000 g
Pemberian awal di mulai dengan dosis 1 g/kg BB/hari, kemudian
ditingkatkan
1 g/kg BB/hari sampai mencapai 3 g/kg BB/hari.
Pemberian emulsi lemak dimulai setelah pemberian dekstrosa dan asam
amino dapat di toleransi dengan baik oleh neonatus dan pemberian emulsi lemak
sebaiknya dalam 24 jam. Untuk perkembangan otak diperlukan asam lemak rantai
panjang seperti asam linoleat dan asam arakhidonat. Pada bayi kurang bulan dan
Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) sering defisiensi asam lemak.
Manifestasi klinis defisiensi asam lemak antara lain : dermatitis, pertumbuhan
rambut yang buruk, trombositopenia, gagal tumbuh dan mudah terjadi infeksi.
Pada pemberian lemak, harus dilakukan monitoring terhadap kadar trigliserida
darah, pemberian harus dikurangi jika kadar trigliserida > 150 mg/dl. Hati-
hati pemberian lemak pada bayi dengan penyakit paru atau hati.
Pemberian infus lemak harus di hentikan, jika terjadi :
Sepsis

Trombositopenia (< 50.000/mm3)


Asidosis (pH < 7,25)
Hiperbilirubin
2.9.6.5 Vitamin dan Mineral
Dapat diberikan multivitamin intravena yang berisi gabungan vitamin
yang larut dalam lemak dan air. Sediaan yang hanya larut dalam air,
dapat ditambahkan pada larutan glukosa dan yang larut dalam lemak,
dapat ditambahkan pada larutan lemak.
Pemberian vitamin A dapat diberikan sejak awal, karena vitamin
A penting untuk pertumbuhan jaringan, sintesa protein, diferensiasi epitel dan
juga diduga dapat mengurangi insidensi displasia bronkopulmonal. Pemberian
vitamin B12 setelah bayi berusia bayi berusia 1 bulan.
Walaupun unsur mineral didalam tubuh jumlahnya sangat sedikit (<
0,01%), tetapi diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan. The
American Society for Clinical Nutrition menganjurkan pemberian unsur
kelumit setelah pemberian NPT selama 4 minggu, tetapi seng (zinc) dapat
diberikan lebih awal.
Tabel 3 : Komposisi Kebutuhan Vitamin & Unsur Kelumit

Komponen Bayi cukup bulan Bayi kurang bulan


( /kg BB/hr) ( /kg BB/hr)
Vitamin :
Vitamin A 700 mcg 500 mcg
Vitamin E 7 mg 2,8 mcg
Vitamin K 200 mcg 80 mcg
Vitamin D 10 mcg 4 mcg
Thiamine (B1) 1,2 mg 0,35 mg
Riboflavin (B2) 1,4 mg 0,15 mg
Niacin 17 mg 6,8 mg
Piridoksin 1,0 mg 0,18 mg
Asam askorbat (C) 80 mg 25 mg
Asam pantotenat 5,0 mg 2 mg
Sianokobalamin 1,0 mg 0,3 mcg
Folat 140 mg 56 mcg

Unsur Kelumit :
Zinc 100-200 mcg 400-600 mcg
Copper (cupric sulfate) 10-20 mcg 20 mcg
Manganese sulfat 2-10 mcg 2-10 mcg
Kromium klorida 0,14-0,2 mcg 0,14-0,2 mcg

Flouride 1 mcg 1 mcg


Iodin 3-5 mcg 3-5 mcg

Meskipun disetujui bahwa nutrisi yang optimal adalah tujuan utama


perawatan neonatal, strategi administrasi nutrisi yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan ini tidak sepenuhnya dipahami. Jadi, regimen nutrisi yang diberikan dapat
sangat bervariasi dari satu kasus ke kasus yang lain, terutama untuk neonatus
sakit atau BBLSR pada hari-hari pertama kehidupan. Pada neonatus, nutrisi
parenteral sering ditingkatkan secara bertahap pada 1-2 minggu pertama
kehidupan karena kekhawatiran dapat terjadi intoleransi neonatus pada substrat
segera setelah lahir. Hal ini terjadi akibat ketidakmampuan neonatus untuk
memetabolisme nutrisi yang sering dikaitkan dengan stres dari proses kelahiran,
proses metabolisme yang belum matang pada bayi prematur, dan proses
patofisiologis yang terkait berbagai dengan penyakit yang berbeda, seperti
infeeksi.
Bayi dengan BBLSR yang hanya menerima nutrisi intravena berupa
glukosa kehilangan> 1% dari total protein setiap hari, namun penambahan asam
amino intravena dapat membalikkan tingkat katabolisme protein.
Namun demikian, pengenalan asam amino pada hari-hari pertama
kehidupan pada bayi sakit dan prematur seringkali terbatas karena kekhawatiran
ketidakmampuan bayi tersebut untuk memetabolisme asam amino tertentu, yang
dapat mengakibatkan hyperaminoacidemia, uremia, dan asidosis metabolik.
2.9.6.6 Prosedur Pemberian Nutrisi Parenteral Total (Npt)
a. Npt Perifer
Nutrien diberikan melalui vena perifer yang biasanya vena pada
kaki atau tangan. Osmolaritas cairan yang diberikan antara 300-900 mosm/L.
Maksimum konsentrasi dekstrose yang digunakan adalah 12,5%, asam amino 2%
dan 400 mg/dl kalsium glukonas. Prosedur pemberian NPT secara perifer :
Larutan asam amino, dekstrose dan lipid dapat diberikan perinfus melalui
kateter plastik (No. 22 atau 24 F) atau melalui wing needle.
Dekstrose dan asam amino dicampur pada botol yang sama, kemudian
dihubungkan dengan bagian bawah infus yang mempunyai filter
berukuran 0,22 um.
Cairan lipid dihubungkan dengan infus diluar filter melalui bagian
atas dari T-connector atau Y-connector.
Infusion pump dibutuhkan untuk mempertahankan tetesan cairan infus
agar tetap konstan.
Infus set, termasuk tube dan jarum intravena harus diganti setiap 3
hari, kecuali untuk lipid diganti setiap 24 jam. Sebaiknya jarum intravena
dipindahkan ke tempat lain setiap 48 jam. Cairan parenteral dan cairan
lipid diganti setiap hari.
Obat-obatan tidak boleh melalui cairan NPT. Obat-obatan diberikan
setelah kateter dibilas dengan NaCl dan melalui cairan intravena.
Semua cairan infus disipakan oleh bagian farmasi.
Dapat ditambahkan mineral, vitamin dan unsur kelumit.
Dapat digunakan emulsi lemak 10 atau 20%
b. Npt Sentral
Osmolaritas cairan yang digunakan dapat diatas 900 mosm/L, konsentrasi
dekstrose 15-25%. Prosedur pemberian NPT sentral :

Kateter dipasang pekutan atau melalui vena seksi. Pada BBLSR


digunakan kateter silastik yang paling kecil, yaitu No. 1, 9 F sedangkan
untuk bayi yang lebih besar digunakan No. 2, 7 F. Sebaiknya dihindari
penggunaan kateter double lumen yang lebih besar, karena berhubungan
dengan sindroma Vena Cava Superior dan erosi dinding pembuluh darah.
Kateter dapat dimasukkan melalui V. Antekubiti, V. Saphena, V.
Jugularis interna dan eksterna, V. Subkalvia atau yang lebih jarang
melalui V. Umbikalis atau fermoralis. Kateter harus diarahkan
sedemikian rupa sehingga ujungnya terletak pada sambungan antara
atrium kanan dan V. Cava superior/inferior.
Sebaiknya hindari penggunaan keteter arteri umbikalis untuk infus
NPT pada BBLSR, karena hal ini menimbulkan kerugian berupa
insiden trombosis tinggi tidak dapat digunakan untuk memperoleh
sampel darah, biasanya tidak diberikan nutrisi enteral selama terpasang
kateter arteri umbilikal.
Cairan yang diberikan dengan infusion pump melalui penghubung Y
atau T, sama dengan pemberian perifer.
Karena tingginya resiko infeksi pada pemberian secara sentral, maka
tidak boleh digunakan untuk pengambilan darah, pemberian obat-obatan
maupun transfusi.
Semua cairan disiapkan di bagian farmasi.
Heparin ditambahkan dengan konsentrasi 0,5 u/ml cairan

2.9.6.7 Komplikasi
Mekanik
Pada kateter vena sentral dapat terjadi : sindroma vena cava superior,
aritmia atau tamponade jantung, trombus intrakardial, efusi pleura atau
kilotorak, emboli paru dan hidrosefalus sekunder terhadap trombosis vena
jugularis.
Infeksi
Sepsis sering disebabkan oleh Staphylococcus epidermis, Stretococcus
viridans, Escheria Coli, Pseudomonas spp dan Candida albicans. Infeksi
ditanggulangi dengan pemberian antibiotik. Kejadian sepsis dapat
berkurang dengan digunakannya kateter karet silikon perkutaneus.
Metabolik
Pada bayi berat lahir amat sangat rendah sering terjadi hiperglikemia,
karena produksi insulin yang tidak adekuat dan berkurangnya sensitivitas
terhadap insulin. Hipoglikemia terjadi karena penghentian infus glukosa
atau kelebihan pemberian insulin.
Pada bayi kurang bulan kelebihan beban protein akan menimbulkan
azotemia, hiperammonia.
Resiko terjadi hiperbilirubinemia meningkat pada bayi cukup bulan dan
pemberian NPT yang lama tanpa disertai enteral feeding. Keadaan
ini biasanya terjadi secara dini dan lebih berat pada keadaan pemberian
protein yang tinggi dan cairan dekstrosae yang hipertonis. Penyebabnya
multi faktor, biasanya dihubungkan dengan stimulasi aliran empedu,
malnutrisi, defisiensi atau toksis terhadap asam amino.
Kelainan metabolik yang berhubungan dengan pemberian lipid,
antara lain: kolestatik, hiperlipidemia dan hiperkolesterolemia.
2.9.6.8 Pemantauan
Tujuan pemantauan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan
menilai keberhasilan terapi.

Tabel 4 : Jadwal Pemantauan Neonatus dengan Nutrisi Parenteral


Parameter Frekwensi Pemeriksaan
Suhu Setiap 4 jam
Antropometri
Berat badan Setiap hari
Panjang badan Setiap minggu
Lingkar kepala Setiap hari
Metabolik Glukosa Setiap hari
Kalsium & Fosfor 2 x/minggu, kemudian setiap minggu
Elektrolit Setiap hari dalam 3 hari pertama,
kemudian 2 x/minggu, jika berat
Magnesium badan < 1000 g, 3 x/minggu
Selang sehari dalam minggu pertama,
Hematokrit kemudian setiap minggu
BUN & Kreatinin Bilirubin Selang sehari selama 1 minggu,
Ammonia kemudian setiap minggu
Protein & Albumin SGOT & SGPT Setiap minggu
Trigliserida Setiap minggu, jika menggunakan protein
2.10 BALLARD SCORE
Urine tinggi
Sistem
Berat penilaian
jenis ini dikembangkan oleh
& Glukosa S Dr. Jeanne L Ballard, MD untuk
menentukan usia gestasi bayi baru lahir melaluie pen ilaian neuromuskular dan
fisik. Penilaian neuromuskular meliputi postur, square
t window, arm recoil, sudut
popliteal, scarf sign dan heel to ear maneuver. Penilaian
i fisik yang diamati adalah
kulit, lanugo, permukaan plantar, payudara, mata/telinga,
a dan genitalia.
1. Penilaian Maturitas Neuromuskular p
a. Postur
m tubuh bayi saat istirahat dan
Tonus otot tubuh tercermin dalam postur
adanya tahanan saat otot i
diregangkan (Gambar II.3).
n
Ketikapematangan berlangsung, berangsur-angsur janin mengalami
g
peningkatan tonus fleksor pasif dengan arah sentripetal, dimana
ekstremitas bawah sedikit lebih awal gdari ekstremitas atas. Pada awal
kehamilan hanya pergelangan kaki yangu fleksi. Lutut mulai fleksi
bersamaan dengan pergelangan tangan. Pinggul mulai fleksi, kemudian
diikuti dengan abduksi siku, lalu fleksiSbahu. Pada bayi prematur tonus
e
t
i
a
p
pasif ekstensor tidak mendapat perlawanan, sedangkan pada bayi yang
mendekati matur menunjukkan perlawanan tonus fleksi pasif yang
progresif.

Untuk mengamati postur, bayi ditempatkan terlentang dan pemeriksa


menunggu sampai bayi menjadi tenang pada posisi nyamannya. Jika
bayi ditemukan terlentang, dapat dilakukan manipulasi ringan dari
ekstremitas dengan memfleksikan jika ekstensi atau sebaliknya. Hal ini
akan memungkinkan bayi menemukan posisi dasar kenyamanannya.
Fleksi panggul tanpa abduksi memberikan gambaran seperti posisi kaki
kodok.
b. Square Window

Fleksibilitas pergelangan tangan dan atau tahanan terhadap peregangan


ekstensor memberikan hasil sudut fleksi pada pergelangan tangan.
Pemeriksa meluruskan jari jari bayi dan menekan punggung tangan
dekat dengan jari-jari dengan lembut. Hasil sudut antara telapak tangan
dan lengan bawah bayi dari preterm hingga posterm diperkirakan
berturut-turut > 90 , 90 , 60 , 45 , 30 , dan 0 .
c. Arm Recoil

Manuver ini berfokus pada fleksor pasif dari tonus otot biseps dengan
mengukur sudut mundur singkat setelah sendi siku difleksi dan
ekstensikan. Arm recoil dilakukan dengan cara evaluasi saat bayi
terlentang. Pegang kedua tangan bayi, fleksikan lengan bagian bawah
sejauh mungkin dalam 5 detik, lalu rentangkan kedua lengan dan
lepaskan.Amati reaksi bayi saat lengan dilepaskan. Skor 0: tangan
tetap terentang/ gerakan acak, Skor 1: fleksi parsial 140-180 , Skor 2:
fleksi parsial 110- 140 , Skor 3: fleksi parsial 90-100 , dan Skor 4:
kembali ke fleksi penuh.

d. Popliteal Angle
Manuver ini menilai pematangan tonus fleksor pasif sendi lutut dengan
menguji resistensi ekstremitas bawah terhadap ekstensi. Dengan bayi
berbaring telentang, dan tanpa popok, paha ditempatkan lembut di
perut bayi dengan lutut tertekuk penuh. Setelah bayi rileks dalam
posisi ini, pemeriksa memegang kaki satu sisi dengan lembut dengan
satu tangan sementara mendukung sisi paha dengan tangan yang lain.
Jangan memberikan tekanan pada paha belakang, karena hal ini dapat
mengganggu interpretasi. Kaki diekstensikan sampai terdapat resistensi
pasti terhadap ekstensi. Ukur sudut yang terbentuk antara paha dan
betis di daerah popliteal. Perlu diingat bahwa pemeriksa harus
menunggu sampai bayi berhenti menendang secara aktif sebelum
melakukan ekstensi kaki. Posisi Frank Breech pralahir akan
mengganggu maneuver ini untuk 24 hingga 48 jam pertama usia
karena bayi mengalami kelelahan fleksor berkepanjangan intrauterine.
Tes harus diulang setelah pemulihan telah terjadi
e. Scarf Sign

Manuver ini menguji tonus pasif fleksor gelang bahu. Dengan bayi
berbaring telentang, pemeriksa mengarahkan kepala bayi ke garis
tengah tubuh dan mendorong tangan bayi melalui dada bagian atas
dengan satu tangan dan ibu jari dari tangan sisi lain pemeriksa
diletakkan pada siku bayi. Siku mungkin perlu diangkat melewati
badan, namun kedua bahu harus tetap menempel di permukaan meja
dan kepala tetap lurus dan amati posisi siku pada dada bayi dan
bandingkan dengan angka pada lembar kerja, yakni, penuh pada
tingkat leher (-1); garis aksila kontralateral (0); kontralateral baris
puting (1); prosesus xyphoid (2); garis puting ipsilateral (3); dan garis
aksila ipsilateral (4)
f. Heel to Ear

Manuver ini menilai tonus pasif otot fleksor pada gelang panggul
dengan memberikan fleksi pasif atau tahanan terhadap otot-otot
posterior fleksor pinggul. Dengan posisi bayi terlentang lalu pegang
kaki bayi dengan ibu jari dan telunjuk, tarik sedekat mungkin dengan
kepala tanpa memaksa, pertahankan panggul pada permukaan meja
periksa dan amati jarak antara kaki dan kepala serta tingkat ekstensi
lutut (bandingkan dengan angka pada lembar kerja). Penguji mencatat
lokasi dimana resistensi signifikan dirasakan. Hasil dicatat sebagai
resistensi tumit ketika berada pada atau dekat: telinga (-1); hidung (0);
dagu (1); puting baris (2); daerah pusar (3); dan lipatan femoralis (4)
2. Penilaian Maturitas Fisik
a. Kulit

Pematangan kulit janin melibatkan pengembangan struktur intrinsiknya


bersamaan dengan hilangnya secara bertahap dari lapisan pelindung,
yaitu vernix caseosa. Oleh karena itu kulit menebal, mengering dan
menjadi keriput dan / atau mengelupas dan dapat timbul ruam selama
pematangan janin. Fenomena ini bisa terjadi dengan kecepatan
berbeda-beda pada masing-masing janin tergantung pada pada kondisi
ibu dan lingkungan intrauterin. Sebelum perkembangan lapisan
epidermis dengan stratum corneumnya, kulit agak transparan dan
lengket ke jari pemeriksa. Pada usia perkembangan selanjutnya kulit
menjadi lebih halus, menebal dan menghasilkan pelumas, yaitu vernix,
yang menghilang menjelang akhir kehamilan. pada keadaan matur dan
pos matur, janin dapat mengeluarkan mekonium dalam cairan ketuban.
Hal ini dapat mempercepat proses pengeringan kulit, menyebabkan
mengelupas, pecah-pecah, dehidrasi, seperti sebuah perkamen.
b. Lanugo

Lanugo adalah rambut halus yang menutupi tubuh fetus. Pada extreme
prematurity kulit janin sedikit sekali terdapat lanugo. Lanugo mulai
tumbuh pada usia gestasi 24 hingga 25 minggu dan biasanya sangat
banyak, terutama di bahu dan punggung atas ketika memasuki minggu
ke 28. Lanugo mulai menipis dimulai dari punggung bagian bawah.
Daerah yang tidak ditutupi lanugo meluas sejalan dengan maturitasnya
dan biasanya yang paling luas terdapat di daerah lumbosakral. Pada
punggung bayi matur biasanya sudah tidak ditutupi lanugo. Variasi
jumlah dan lokasi lanugo pada masing-masing usia gestasi tergantung
pada genetik, kebangsaan, keadaan hormonal, metabolik, serta
pengaruh gizi. Sebagai contoh bayi dari ibu dengan diabetes
mempunyai lanugo yang sangat banyak. Pada melakukan skoring
pemeriksa hendaknya menilai pada daerah yang mewakili jumlah
relatif lanugo bayi yakni pada daerah atas dan bawah dari punggung
bayi.
c. Permukaan Plantar

Garis telapak kaki pertama kali muncul pada bagian anterior ini
kemungkinan berkaitan dengan posisi bayi ketika di dalam kandungan.
Bayi dari ras selain kulit putih mempunyai sedikit garis telapak kaki
lebih sedikit saat lahir. Di sisi lain pada bayi kulit hitam dilaporkan
terdapat percepatan maturitas neuromuskular sehingga timbulnya garis
pada telapak kaki tidak mengalami penurunan. Namun demikian
penialaian dengan menggunakan skor Ballard tidak didasarkan atas ras
atau etnis tertentu. Bayi very premature dan extremely immature tidak
mempunyai garis pada telapak kaki. Untuk membantu menilai
maturitas fisik bayi tersebut berdasarkan permukaan plantar maka
dipakai ukuran panjang dari ujung jari hingga tumit. Untuk jarak
kurang dari 40 mm diberikan skor -2, untuk jarak antara 40 hingga 50
mm diberikan skor -1. Hasil pemeriksaan disesuaikan dengan skor di
tabel.
d. Payudara

Areola mammae terdiri atas jaringan mammae yang tumbuh akibat


stimulasi esterogen ibu dan jaringan lemak yang tergantung dari nutrisi
yang diterima janin. Pemeriksa menilai ukuran areola dan menilai ada
atau tidaknya bintik-bintik akibat pertumbuhan papila Montgomery
(Gambar II.11). Kemudian dilakukan palpasi jaringan mammae di
bawah areola dengan ibu jari dan telunjuk untuk mengukur
diameternya dalam milimeter 9.

e. Mata/Telinga
Daun telinga pada fetus mengalami penambahan kartilago seiring
perkembangannya menuju matur. Pemeriksaan yang dilakukan terdiri
atas palpasi ketebalan kartilago kemudian pemeriksa melipat daun
telinga ke arah wajah kemudian lepaskan dan pemeriksa mengamati
kecepatan kembalinya daun telinga ketika dilepaskan ke posisi
semulanya Pada bayi prematur daun telinga biasanya akan tetap terlipat
ketika dilepaskan. Pemeriksaan mata pada intinya menilai kematangan
berdasarkan perkembangan palpebra. Pemeriksa berusaha membuka
dan memisahkan palpebra superior dan inferior dengan menggunakan
jari telunjuk dan ibu jari. Pada bayi extremely premature palpebara
akan menempel erat satu sama lain. Dengan bertambahnya maturitas
palpebra kemudian bisa dipisahkan walaupun hanya satu sisi dan
meningggalkan sisi lainnya tetap pada posisinya. Hasil pemeriksaan
pemeriksa kemudian disesuaikan dengan skor dalam tabel. Perlu
diingat bahwa banyak terdapat variasi kematangan palpebra pada
individu dengan usia gestasi yang sama. Hal ini dikarenakan terdapat
faktor seperti stress intrauterin dan faktor humoral yang mempengaruhi
perkembangan kematangan palpebra.
f. Genital (Pria)

Testis pada fetus mulai turun dari cavum peritoneum ke dalam scrotum
kurang lebih pada minggu ke 30 gestasi. Testis kiri turun mendahului
testis kanan yakni pada sekitar minggu ke 32. Kedua testis biasanya
sudah dapat diraba di canalis inguinalis bagian atas atau bawah pada
minggu ke 33 hingga 34 kehamilan. Bersamaan dengan itu, kulit
skrotum menjadi lebih tebal dan membentuk rugae.

Testis dikatakan telah turun secara penuh apabila terdapat di dalam


zona berugae. Pada nenonatus extremely premature scrotum datar,
lembut, dan kadang belum bisa dibedakan jenis kelaminnya. Berbeda
halnya pada neonatus matur hingga posmatur, scrotum biasanya seperti
pendulum dan dapat menyentuh kasur ketika berbaring. Pada
cryptorchidismus scrotum pada sisi yang terkena kosong, hipoplastik,
dengan rugae yang lebih sedikit jika dibandingkan sisi yang sehat atau
sesuai dengan usia kehamilan yang sama.
g. Genital (wanita)

Untuk memeriksa genitalia neonatus perempuan maka neonatus harus


diposisikan telentang dengan pinggul abduksi kurang lebih 45o dari
garis horizontal. Abduksi yang berlebihan dapat menyebabkan labia
minora dan klitoris tampak lebih menonjol sedangkan aduksi
menyebabkankeduanya tertutupi oleh labia majora 9. Pada neonatus
extremely premature labia datar dan klitoris sangat menonjol dan
menyerupai penis. Sejalan dengan berkembangnya maturitas fisik,
klitoris menjadi tidak begitu menonjol dan labia minora menjadi lebih
menonjol. Mendekati usia kehamilan matur labia minora dan klitoris
menyusut dan cenderung tertutupi oleh labia majora yang membesar.
Labia majora tersusun atas lemak dan ketebalannya bergantung pada
nutrisi intrauterin. Nutrisi yang berlebihan dapat menyebabkan labia
majora menjadi besar pada awal gestasi. Sebaliknya nutrisi yang
kurang menyebabkan labia majora cenderung kecil meskipun pada usia
kehamilan matur atau posmatur dan labia minora serta klitoris
cenderung lebih menonjol.
3. Interpretasi Hasil

Masing-masing hasil penilaian baik maturitas neuromuskular maupun


fisik disesuaikan dengan skor di dalam tabel 2.8 dan dijumlahkan hasilnya.
Interpretasi hasil dapat dilihat pada tabel skor.

Tabel 2.8 Ballard Score


2.11 Down Score

Masalah pernapasan menjadi morbiditas yang sering dialami bayi yang


mendapat perawatan di NICU. Saat resusitasi dilakukan upaya membuka alveoli
paru, pasca resusitasi alveoli paru belum sepenuhnya terbuka. Beberapa faktor
predisposisi :
Prematuritas
Persalinan seksio cesaria
Sindroma aspirasi mekoneum (MAS)
Proses inflamasi
Pneumotoraks: komplikasi, spontan
Kelainan bawaan : CDH, kista paru,
Masalah lain di luar paru (hipotermia, hipoglikemia, kelainan jantung, dll)
Problema sumbatan jalan napas

Deteksi dini kegawatan napas dan evaluasi terapi, termasuk menilai


progresifitas gangguan pernapasan sangat penting. Salah satu penilaian dini
gangguan pernapasan yang mudah adalah menggunakan Skor Down.

Skor Down
0 1 2
Kecepatan < 60x/menit 60-80x/menit > 80x/menit
napas
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Tidak tampak sianosis Sianosis (+) dg. O2
dg O2
Udara masuk (+) Udara masuk berkurang Tidak ada udara
masuk
Megap- Tidak megap- Terdengar melalui Terdengar tanpa
megap megap stetoskop menggunakan
peralatan

Interpretasi down score:

Skor < 4 Gangguan pernapasan ringan

Skor 4-5 Gangguan pernapasan sedang

Skor 6 Gangguan pernapasan berat

(diperlukan analisis gas darah)

Selain mengamati tanda kegawatan pernapasan, penting untuk menilai:


1) Kebutuhan oksigen dan peningkatan kebutuhan
2) Komplikasi akibat hipoksia dan hiperkarbia
a. PPHN (perbedaan saturasi O2 pre dan post duktal)
b. Perfusi perifer, tekanan darah
c. Neurologis : kesadaran, aktifitas, ada tidaknya kejang
d. Produksi urin
3) Tanda-tanda akan terjadi kegagalan pernapasan
a. Pernapasan megap-megap
b. Tidak berespons dengan pemberian O2
c. Bila memungkinkan : analisis gas darah (data penting: pCO2 dan
BE)
4) Stabilisasi pernapasan :
a. Segera berikan bantuan ventilasi. Pilih bantuan ventilasi yang
dapat memberikan PEEP (untuk membuka alveoli paru).
Misalnya: CPAP, high flow nasal canula
b. Bila ada tanda akan terjadi kegagalan pernapasan: segera intubasi
dan beri napas buatan (penggunaan sungkup laring bisa
merupakan alternatif, bila tidak memungkinkan intubasi).
c. Pasang saturasi O2, target saturasi (post duktal; awal lahir : 90-
94% , setelah usia 3 hari : 88-90/92%)
d. Pasang pipa orogastrik untuk dekompresi lambung

Anda mungkin juga menyukai