TB Paru
PEMBIMBING :
OLEH :
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini tepat pada waktunya. Sholawat
dan salam terlimpah pada Muhammad SAW. Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk
menambah ilmu tentang referat untuk memenuhi tugas sebagai penilaian kegiatan kepaniteraan
klinik stase interna Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.
Pada pembuatan laporan ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna karena masih dalam proses belajar. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan
kritik untuk perbaikan penyusunan referat yang akan datang serta membangun laporan ini
menjadi lebih baik dan berguna di masa yang akan datang.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Achmad Sanoesi, Sp.PD sebagai
dokter pembimbing yang telah mendeskripsikan tentang penyusunan referat ini. Terima kasih
kepada orang tua yang selalu mendoakan dan teman teman yang telah memberikan motivasi
serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas referat ini.
Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi instansi
kepaniteraan klinik FKK UMJ dan Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi pada umumnya.
Penulis
i
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang mengenai parenkim paru,
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang
sudah sangat lama dikenal oleh manusia. Pada peninggalan Mesir kuno, ditemukan relief yang
menggambarkan orang dengan gibbus. Kuman Mycobacterium tuberculosis (MTB) penyebab TB
telah ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882, lebih dari 100 tahun yang lalu.
Di Indonesia, Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 330729 kasus (WHO,
2015) dan estimasi insidensi berjumlah 1.020 kasus baru per 100.000 populasi per tahun. Jumlah
kematian akibat TB diperkirakan 100 kematian per 100.000 populasi per tahunnya.
Meskipun pun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB, tetapi beban
penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak
tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,6 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang
meninggal akibat TB di seluruh dunia (WHO, 2015).Untuk mengurangi beban ini, kesenjangan
deteksi dini dan pengobatan harus diatasi, dengan mengembangkan fasilitas pelayanan dan juga
biaya pengobatan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit akibat infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir
semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
primer.
B. Epidemiologi
Di seluruh dunia, diperkirakan 9,6 juta orang menderita TB pada tahun 2014: 5,4
juta orang, 3,2 juta perempuan dan 1,0 juta anak. Secara global, 12% dari 9,6 juta kasus TB
baru di tahun 2014 yang HIV-positif.5 Di Indonesia, Estimasi prevalensi TB semua kasus
adalah sebesar 330729 kasus (WHO, 2015) dan estimasi insidensi berjumlah 1.020 kasus
baru per 100.000 populasi per tahun.3 Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 100
kematian per 100.000 populasi per tahunnya. Adanya prevalens HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
2
C. Etiologi
D. Patogenesis
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil (<5 m), kuman TB dalam percik renik ( droplet nuclei) yang terhirup
dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya
oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh
kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan.
Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus
berkembangbiak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya
kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan focus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang kan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara focus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).
3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung
selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang
dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberculin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negative. Bila imunitas
seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limfa, dan kelenjar limfe
superficial. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan
lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetap tidak aktif
(tenang/dorman), demikian pula dengan proses patologiknya.
4
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar
kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut dengan
TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar
serta frekuensi berulangnya penyebaran.
2. Semua pasien, termasuk anak-anak, dengan batuk yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya, berlangsung dua minggu atau lebih atau dengan temuan radiologi toraks
sugestif tuberkulosis harus dievaluasi untuk tuberkulosis.
Gejala TB paru yang paling umum dilaporkan adalah batuk terus-menerus yang
umumnya, tapi tidak selalu, produktif dan kadang-kadang darah (hemoptisis). Pada orang
dengan TBC ini sering disertai gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan
penurunan berat badan. Selain itu, temuan seperti limfadenopati bersamaan dengan TB
paru harus dipertimbangkan, terutama pada pasien dengan infeksi HIV.
5
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-
macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
o Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
o Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
o Bayangan bercak milier
o Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
3. Semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga menderita TB paru dan dapat
mengeluarkan dahak harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik minimal dua
dahak BTA mikroskop atau spesimen dahak tunggal untuk Xpert MTB / RIF. Pasien
yang beresiko resistensi obat, berisiko HIV, atau sakit serius, harus menjalani
pemerikaan Xpert MTB / RIF sebagai uji diagnostik awal. Tes serologi berbasis darah
dan uji interferon-gamma release assays tidak boleh digunakan untuk diagnosis TB aktif.
4. Pada semua pasien (dewasa, remaja, anak) yang diduga mengalami TB Ekstra Paru,
seharusnya dilakukan pemeriksaan spesimen dari bagian tubuh terkait untuk pemeriksaan
mikrobiologi dan histologi. Tes Xpert MTB / RIF pada cairan serebrospinal
direkomendasikan sebagai tes mikrobiologi awal pada orang yang diduga menderita
meningitis TB untuk diagnosis yang cepat.
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dll.
5. Pada pasien yang diduga menderita TB paru yang BTA negatif, harus dilakukan
pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur sputum. Pada pasien dengan sputum negatif
pemeriksaan apusan dan Xpert MTB / RIF yang memiliki gejala klinis sangat sugestif
6
tuberkulosis, pengobatan antituberkulosis harus dimulai setelah pengambilan spesimen
untuk pemeriksaan kultur.
6. Untuk semua anak yang diduga menderita tuberkulosis intratoraks (yakni, paru, pleura,
dan kelenjar getah bening hilus atau mediastinum), konfirmasi bakteriologi harus dicari
spesimen sekret saluran pernapasan (dahak saat batuk, induksi sputum, bilas lambung)
untuk pemerikaan mikroskopi, sebuah Xpert MTB / RIF tes, dan / atau kultur.
7
1. Setiap praktisi yang mengobati pasien TB mengembang tanggung jawab kesehatan
masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak wajib
meresepkan rejimen pengobatan yang tepat, memantau kepatuhan terhadap rejimen dan,
faktor yang menyebabkan gangguan atau penghentian pengobatan dan memerlukan
koordinasi dengan pelayanan kesehatan masyarakat lokal dan / atau lembaga lainnya.
2. Semua pasien yang belum pernah diobati sebelumnya dan tidak memiliki faktor risiko
lain untuk resistensi obat harus
menerima paduan obat lini pertama yang
disepakati secara internasional (WHO)
sesuai obat yang bioavailabilitinya telah
diketahui. Tahap awal harus terdiri dari
dua bulan isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol. Fase
lanjutan terdiri dari isoniazid dan
rifampicin diberikan selama 4 bulan.
Dosis obat antituberkulosis yang
digunakan harus sesuai dengan rekomendasi WHO. Kombinasi dosis tetap obat dapat
memberikan kenyamanan pemberian obat.
8
menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya dikembangkan
untuk semua pasien. dalam rangka untuk mempromosikan kepatuhan, meningkatkan
kualitas hidup, dan mengurangi penderitaan.
4. Respon terhadap pengobatan pada pasien dengan TB paru (termasuk orang-orang dengan
TB yang didiagnoi dengan rapid molecular tes) harus dipantau dengan tindak lanjut
sputum BTA mikroskop pada saat stahap awal pengobatan selesai (dua bulan). Jika
sputum BTA positif pada penyelesaian tahap awal, pemeriksaan dahak mikroskopik
harus dilakukan lagi pada bulan ke 3 dan, jika positif, pemerikaan kepekaan obat (tes
pemeriksaan line atau Xpert MTB / RIF) harus dilakukan. Pada pasien dengan TB ekstra
paru dan pada anak-anak, respon pengobatan terbaik dinilai secara klinis.
a. Pemerikaan kerentanan terhadap obat harus dilakukan pada awal terapi untuk
semua pasien pada risiko resistensi obat. Pasien yang sputum BTA nya tetap
positif pada akhir pengobatan 3 bulan, pasien yang pengobatannya gagal, dan
pasien yang tidak menindaklanjuti atau kambuh mengikuti satu atau lebih
program pengobatan harus selalu dinilai untuk resistensi obat. Untuk pasien
resistensi obat disarankan melakukan suatu pemeriksaan Xpert MTB / RIF untuk
9
diagnostik awal. Jika resistance rifampisin terdeteksi, kultur dan pengujian untuk
kerentanan terhadap isoniazid, fluoroquinolones, dan obat suntik lini kedua harus
dilakukan segera. konseling dan edukasi pasien, serta pengobatan dengan rejimen
empiris lini kedua, harus dimulai segera untuk meminimalkan potensi untuk
transmisi. langkah-langkah pengendalian infeksi sesuai dengan pengaturan harus
diterapkan.
b. Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
o Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
o Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
o Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
o Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)
o Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip
(tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).
6. Pasien TB yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) seharusnya diobati
dengan paduan obat khusus yang mengandung OAT lini kedua. Dosis obat
antituberkulosis harus sesuai dengan rekomendasi WHO. Rejimen yang dipilih dapat
dibakukan atau berdasarkan kecurigaani atau dikonfirmasi pola kerentanan terhadap obat.
Setidaknya lima obat, pirazinamid dan empat obat yang organismenya diketahui atau
diduga rentan, termasuk agen injeksi harus digunakan dalam fase intensif 6-8 bulan dan
setidaknya 3 obat yang organisme diketahui atau diduga rentan, harus digunakan dalam
fase lanjutan. Pengobatan harus diberikan untuk setidaknya 18-24 bulan di luar konversi
kultur. tindakan berpusat pada pasien, termasuk observasi pengobatan, diperlukan untuk
memastikan kepatuhan.
10
7. Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek
samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin, Zulkifli. Bahar, Asril. Tuberkulosis Paru. Dalam : Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed V. Jakarta : Balai Penerbit FK UI; 2009
2. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2014
3. Indonesian TB situation Update 2016. Available at :
http://www.searo.who.int/indonesia/topics/tb/en/
4. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan; 2011
5. WHO. Global Tuberculoasis Report 2015. Ed 20th. WHO Library Cataloguing-in-
Publication Data
6. TB Care I. International Standards for Tuberculosis Care, Edition 3. TB CARE I, The
Hague; 2014.
Perhimpunan dokter paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia (KONSENSUS TB); 2014
12