Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

TB Paru

PEMBIMBING :

dr. Achmad Sanoesi, Sp.PD

OLEH :

Erlisa Azizatul Arifah

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT ISLAM PONDOK KOPI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini tepat pada waktunya. Sholawat
dan salam terlimpah pada Muhammad SAW. Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk
menambah ilmu tentang referat untuk memenuhi tugas sebagai penilaian kegiatan kepaniteraan
klinik stase interna Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.

Pada pembuatan laporan ini penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna karena masih dalam proses belajar. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan
kritik untuk perbaikan penyusunan referat yang akan datang serta membangun laporan ini
menjadi lebih baik dan berguna di masa yang akan datang.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Achmad Sanoesi, Sp.PD sebagai
dokter pembimbing yang telah mendeskripsikan tentang penyusunan referat ini. Terima kasih
kepada orang tua yang selalu mendoakan dan teman teman yang telah memberikan motivasi
serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas referat ini.

Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi instansi
kepaniteraan klinik FKK UMJ dan Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi pada umumnya.

Jakarta, Juni 2017

Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang mengenai parenkim paru,
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang
sudah sangat lama dikenal oleh manusia. Pada peninggalan Mesir kuno, ditemukan relief yang
menggambarkan orang dengan gibbus. Kuman Mycobacterium tuberculosis (MTB) penyebab TB
telah ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882, lebih dari 100 tahun yang lalu.
Di Indonesia, Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 330729 kasus (WHO,
2015) dan estimasi insidensi berjumlah 1.020 kasus baru per 100.000 populasi per tahun. Jumlah
kematian akibat TB diperkirakan 100 kematian per 100.000 populasi per tahunnya.
Meskipun pun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB, tetapi beban
penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak
tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,6 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang
meninggal akibat TB di seluruh dunia (WHO, 2015).Untuk mengurangi beban ini, kesenjangan
deteksi dini dan pengobatan harus diatasi, dengan mengembangkan fasilitas pelayanan dan juga
biaya pengobatan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit akibat infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir
semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
primer.

B. Epidemiologi

Tuberkulosis merupakan masalah


kesehatan masyarakat yang penting di
dunia. Pada tahun 1992 World Health
Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai
Global Emergency. Sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis
dan menurut regional WHO jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia. Di
antara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun.

Di seluruh dunia, diperkirakan 9,6 juta orang menderita TB pada tahun 2014: 5,4
juta orang, 3,2 juta perempuan dan 1,0 juta anak. Secara global, 12% dari 9,6 juta kasus TB
baru di tahun 2014 yang HIV-positif.5 Di Indonesia, Estimasi prevalensi TB semua kasus
adalah sebesar 330729 kasus (WHO, 2015) dan estimasi insidensi berjumlah 1.020 kasus
baru per 100.000 populasi per tahun.3 Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 100
kematian per 100.000 populasi per tahunnya. Adanya prevalens HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.

2
C. Etiologi

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis (MTB). Mycobacterium


tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-10
mikron dan lebar0,32-0,6/mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan Ziehl Neelsen. MTB memiliki dinding yang
sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan dan
arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih
tahan asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia
dan fisis. Kuman nampak berbentuk batang dan berwarna
kemerahan dalam pemeriksaan mikroskopis. Mycobacterium tuberculosis

D. Patogenesis
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil (<5 m), kuman TB dalam percik renik ( droplet nuclei) yang terhirup
dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya
oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh
kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan.
Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus
berkembangbiak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya
kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan focus primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang kan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara focus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).

3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung
selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu.

Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang
dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberculin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negative. Bila imunitas
seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI).

Setelah imunitas selular terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya


mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijauan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis
dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di
jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi


penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limfa, dan kelenjar limfe
superficial. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan
lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetap tidak aktif
(tenang/dorman), demikian pula dengan proses patologiknya.

4
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar
kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut dengan
TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar
serta frekuensi berulangnya penyebaran.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread


dengan jumlah kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam
perjalannya di dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk
tuberkel di tempat tersebut. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi
diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologik
anatomic, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, sedangkan secara histologik
merupakan granuloma.

E. Standar Diagnosis Tuberkulosis berdasarkan ISTC


1. Untuk memastikan diagnosis dini, praktisi harus menyadari faktor risiko individu dan
kelompok untuk TB dan melakukan evaluasi klinis yang cepat dan pemeriksaan
diagnostik yang tepat bagi orang-orang dengan gejala dan temuan yang konsisten dengan
TB.

2. Semua pasien, termasuk anak-anak, dengan batuk yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya, berlangsung dua minggu atau lebih atau dengan temuan radiologi toraks
sugestif tuberkulosis harus dievaluasi untuk tuberkulosis.

Gejala TB paru yang paling umum dilaporkan adalah batuk terus-menerus yang
umumnya, tapi tidak selalu, produktif dan kadang-kadang darah (hemoptisis). Pada orang
dengan TBC ini sering disertai gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan
penurunan berat badan. Selain itu, temuan seperti limfadenopati bersamaan dengan TB
paru harus dipertimbangkan, terutama pada pasien dengan infeksi HIV.

5
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-
macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
o Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
o Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
o Bayangan bercak milier
o Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif:


o Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
o Kalsifikasi atau fibrotik
o Kompleks ranke
o Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

3. Semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga menderita TB paru dan dapat
mengeluarkan dahak harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik minimal dua
dahak BTA mikroskop atau spesimen dahak tunggal untuk Xpert MTB / RIF. Pasien
yang beresiko resistensi obat, berisiko HIV, atau sakit serius, harus menjalani
pemerikaan Xpert MTB / RIF sebagai uji diagnostik awal. Tes serologi berbasis darah
dan uji interferon-gamma release assays tidak boleh digunakan untuk diagnosis TB aktif.

4. Pada semua pasien (dewasa, remaja, anak) yang diduga mengalami TB Ekstra Paru,
seharusnya dilakukan pemeriksaan spesimen dari bagian tubuh terkait untuk pemeriksaan
mikrobiologi dan histologi. Tes Xpert MTB / RIF pada cairan serebrospinal
direkomendasikan sebagai tes mikrobiologi awal pada orang yang diduga menderita
meningitis TB untuk diagnosis yang cepat.

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dll.

5. Pada pasien yang diduga menderita TB paru yang BTA negatif, harus dilakukan
pemeriksaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur sputum. Pada pasien dengan sputum negatif
pemeriksaan apusan dan Xpert MTB / RIF yang memiliki gejala klinis sangat sugestif

6
tuberkulosis, pengobatan antituberkulosis harus dimulai setelah pengambilan spesimen
untuk pemeriksaan kultur.

Tuberkulosis paru BTA negatif


o Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.
o Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif.

6. Untuk semua anak yang diduga menderita tuberkulosis intratoraks (yakni, paru, pleura,
dan kelenjar getah bening hilus atau mediastinum), konfirmasi bakteriologi harus dicari
spesimen sekret saluran pernapasan (dahak saat batuk, induksi sputum, bilas lambung)
untuk pemerikaan mikroskopi, sebuah Xpert MTB / RIF tes, dan / atau kultur.

Diagnosis tb pada anak didasarkan atas adanya :


Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan atau kegagalan untuk tumbuh
secara normal.
Demam yang tidak diketahui penyebabnya, terutama lebih dari 2 minggu.
Batuk kronis.
Kontak dengan orang dewasa yang sugestif atau terdiagnosis dengan TBC paru
menular.
Temuan pada pemeriksaan yang merujuk kepada tuberkulosis meliputi:
a) Cairan di salah satu sisi dada (mengurangi masuknya udara, redup pada
perkusi)
b) Pembesaran kelenjar getah bening atau abses kelenjar getah bening, terutama
di leher.
c) Tanda-tanda meningitis, terutama yang berkembang dalam beberapa hari dan
cairan spinal mengandung sebagian besar limfosit dan protein tinggi.
d) Perut bengkak, dengan atau tanpa benjolan yang teraba;
e) Pembengkakan progresif atau deformitas pada tulang atau sendi, termasuk
tulang belakang.

F. Standar penatalaksanaan Tuberkulosis berdasarkan ISTC

7
1. Setiap praktisi yang mengobati pasien TB mengembang tanggung jawab kesehatan
masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak wajib
meresepkan rejimen pengobatan yang tepat, memantau kepatuhan terhadap rejimen dan,
faktor yang menyebabkan gangguan atau penghentian pengobatan dan memerlukan
koordinasi dengan pelayanan kesehatan masyarakat lokal dan / atau lembaga lainnya.

2. Semua pasien yang belum pernah diobati sebelumnya dan tidak memiliki faktor risiko
lain untuk resistensi obat harus
menerima paduan obat lini pertama yang
disepakati secara internasional (WHO)
sesuai obat yang bioavailabilitinya telah
diketahui. Tahap awal harus terdiri dari
dua bulan isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol. Fase
lanjutan terdiri dari isoniazid dan
rifampicin diberikan selama 4 bulan.
Dosis obat antituberkulosis yang
digunakan harus sesuai dengan rekomendasi WHO. Kombinasi dosis tetap obat dapat
memberikan kenyamanan pemberian obat.

Obat yang digunakan:


a. Jenis obat utama (lini 1)
Rifampisin, INH, Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol
b. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
o Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
o Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg
c. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin, Kuinolon, Derivat rifampisin dan INH
3. Untuk membina dan menilai kepatuhan pengobatan, suatu pendekatan pemberian obat
yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan pasien, dan rasa saling

8
menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya dikembangkan
untuk semua pasien. dalam rangka untuk mempromosikan kepatuhan, meningkatkan
kualitas hidup, dan mengurangi penderitaan.

4. Respon terhadap pengobatan pada pasien dengan TB paru (termasuk orang-orang dengan
TB yang didiagnoi dengan rapid molecular tes) harus dipantau dengan tindak lanjut
sputum BTA mikroskop pada saat stahap awal pengobatan selesai (dua bulan). Jika
sputum BTA positif pada penyelesaian tahap awal, pemeriksaan dahak mikroskopik
harus dilakukan lagi pada bulan ke 3 dan, jika positif, pemerikaan kepekaan obat (tes
pemeriksaan line atau Xpert MTB / RIF) harus dilakukan. Pada pasien dengan TB ekstra
paru dan pada anak-anak, respon pengobatan terbaik dinilai secara klinis.

a. Pemantauan pasien dan pengawasan pengobatan merupakan dua fungsi yang


terpisah. pemantauan pasien diperlukan untuk mengevaluasi respon dari penyakit
sedangkan pemantauan pengobatan untuk mengidentifikasi efek samping obat.
Untuk menilai respon pengobatan tuberkulosis paru, metode yang paling cepat
adalah sputum BTA mikroskopis.
b. Radiografi dada mungkin merupakan tambahan yang berguna dalam menilai
respon terhadap pengobatan, tetapi bukan pengganti untuk evaluasi mikrobiologis.
Demikian pula, penilaian klinis dapat diandalkan dan menyesatkan dalam
pemantauan pasien dengan TB paru terutama di hadapan kondisi komorbid yang
dapat mengacaukan penilaian klinis.

5. Penilaian kemungkinan resistensi obat dilakukan berdasarkan riwayat pengobatan OAT


terdahulu, paparan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan prevalensi resistensi
obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien.

a. Pemerikaan kerentanan terhadap obat harus dilakukan pada awal terapi untuk
semua pasien pada risiko resistensi obat. Pasien yang sputum BTA nya tetap
positif pada akhir pengobatan 3 bulan, pasien yang pengobatannya gagal, dan
pasien yang tidak menindaklanjuti atau kambuh mengikuti satu atau lebih
program pengobatan harus selalu dinilai untuk resistensi obat. Untuk pasien
resistensi obat disarankan melakukan suatu pemeriksaan Xpert MTB / RIF untuk

9
diagnostik awal. Jika resistance rifampisin terdeteksi, kultur dan pengujian untuk
kerentanan terhadap isoniazid, fluoroquinolones, dan obat suntik lini kedua harus
dilakukan segera. konseling dan edukasi pasien, serta pengobatan dengan rejimen
empiris lini kedua, harus dimulai segera untuk meminimalkan potensi untuk
transmisi. langkah-langkah pengendalian infeksi sesuai dengan pengaturan harus
diterapkan.
b. Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
o Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
o Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
o Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
o Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)
o Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip
(tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

6. Pasien TB yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) seharusnya diobati
dengan paduan obat khusus yang mengandung OAT lini kedua. Dosis obat
antituberkulosis harus sesuai dengan rekomendasi WHO. Rejimen yang dipilih dapat
dibakukan atau berdasarkan kecurigaani atau dikonfirmasi pola kerentanan terhadap obat.
Setidaknya lima obat, pirazinamid dan empat obat yang organismenya diketahui atau
diduga rentan, termasuk agen injeksi harus digunakan dalam fase intensif 6-8 bulan dan
setidaknya 3 obat yang organisme diketahui atau diduga rentan, harus digunakan dalam
fase lanjutan. Pengobatan harus diberikan untuk setidaknya 18-24 bulan di luar konversi
kultur. tindakan berpusat pada pasien, termasuk observasi pengobatan, diperlukan untuk
memastikan kepatuhan.

10
7. Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek
samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Amin, Zulkifli. Bahar, Asril. Tuberkulosis Paru. Dalam : Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed V. Jakarta : Balai Penerbit FK UI; 2009
2. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2014
3. Indonesian TB situation Update 2016. Available at :
http://www.searo.who.int/indonesia/topics/tb/en/
4. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan; 2011
5. WHO. Global Tuberculoasis Report 2015. Ed 20th. WHO Library Cataloguing-in-
Publication Data
6. TB Care I. International Standards for Tuberculosis Care, Edition 3. TB CARE I, The
Hague; 2014.
Perhimpunan dokter paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia (KONSENSUS TB); 2014

12

Anda mungkin juga menyukai