PENDAHULUAN
jugadapatberesikotertular
dapatjikatidaksegeraditanganiakanmenyebabkankerusakanotakdanbahkankematian.
Berdasarkanpenelitianepidemiologimengenaiinfeksisistemsarafpusat di Asia,
harusmenjadiperhatianbagipihakpemerintahmaupunkalanganmedis,
TINJAUAN PUSTAKA
Meningitis merupakan salah satu infeksi pada susunan saraf pusat yang mengenai
selaput otak dan selaput medulla spinalis yang juga disebut sebagai meningens. Meningitis
dapat disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan
parasit. Meningitis Tuberkulosis tergolong ke dalam meningitis yang disebabkan oleh bakteri
yaitu Mycobacterium Tuberkulosa. Bakteri tersebut menyebar ke otak dari bagian tubuh yang
lain.1
Otak dan sumsum otak belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur syaraf yang
halus, membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan yaitu cairan
serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu3:
Pia meter : yang menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan sumsum tulang
belakang dan sebagai akibat dari kontak yang sangat erat akan menyediakan darah untuk
struktur-struktur ini.
Arachnoid : Merupakan selaput halus yang memisahkan pia meter dan dura meter.
Dura meter : Merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan
ikat tebal dan kuat.
Gambar 1.
Lapisan Otak (Meninges)
1. Bakteri:
Pneumococcus
Meningococcus
Haemophilus influenza
Staphylococcus
Escherichia coli
Salmonella
Mycobacterium tuberculosis
2. Virus :
Enterovirus
3. Jamur :
Cryptococcus neoformans
Coccidioides immitris
Pada laporan kasus meningitis tuberkulosa ini, mycobacterium tuberculosis merupakan faktor
penyebab paling utama dalam terjadinya penyakit meningitis.
3.5. Patogenesis
Kebanyakan bakteri masuk ke cairan serebro spinal dalam bentuk kolonisasi dari
nasofaring atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroid, parenkim otak, atau selaput
meningen. Vena-vena yang mengalami penyumbatan dapat menyebabkan aliran retrograde
transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan dura dapat disebabkan oleh fraktur , paska bedah
saraf, injeksi steroid secara epidural, tindakan anestesi, adanya benda asing seperti implan
koklear, VP shunt, dll. Sering juga kolonisasi organisme pada kulit dapat menyebabkan
meningitis. Walaupun meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen, kerusakan
meningen dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak, penyumbatan vena dan
memblok aliran cairan serebrospinal yang dapat berakhir dengan hidrosefalus, peningkatan
intrakranial, dan herniasi6
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk dan
punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otot-otot
ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala
tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda Kernigs
dan Brudzinsky positif.8
Gambar 2.
Tanda Kernig
Gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung dari usia si penderita serta virus apa
yang menyebabkannya. Gejala yang paling umum adalah demam yang tinggi, sakit kepala,
pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu biasanya penderita merasa sangat lelah, leher terasa
pegal dan kaku, gangguan kesadaran serta penglihatan menjadi kurang jelas.8
3.7.Diagnosis
2. Rontgen thorax
TB apex paru
TB milier
3. CT scan otak
Penyengatan kontras (enhancement ) di sisterna basalis
Tuberkuloma : massa nodular, massa ring-enhanced
Komplikasi : hidrosefalus
4. MRI
Diagnosis dapat ditegakkan secara cepat dengan PCR, ELISA dan aglutinasi Latex.
Baku emas diagnosis meningitis TB adalah menemukan M.Tb dalam kultur CSS. Namun
pemeriksaan kultur CSS ini membutuhkan waktu yang lama dan memberikan hasil positif
hanya pada kira-kira setengah dari penderita
3.8. Penatalaksanaan
Terapi Farmakologis yang dapat diberikan pada meningitis TB berupa8 :
Rifampicin ( R )
Efek samping : Hepatotoksik
INH ( H )
Efek samping : Hepatotoksik, defisiensi vitamin B6
Pyrazinamid ( Z )
Efek samping : Hepatotoksik
Streptomycin ( S )
Efek samping : Gangguan pendengaran dan vestibuler
Ethambutol ( E )
Efek samping : Neuritis optika
Regimen : RHZE / RHZS
3.9. Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosa lebih baik sekiranya didiagnosa dan diterapi seawal
mungkin. Sekitar 15% penderita meningitis nonmeningococcal akan dijumpai gejala sisanya.
Secara umumnya, penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik
atau mental atau meninggal tergantung : 6
o umur penderita.
o Jenis kuman penyebab
o Berat ringan infeksi
o Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
o Kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan
o Adanya dan penanganan penyakit.
Vacuolar myelopathy
HIV poliomyelitis
Infeksi opportunistic Toxoplasmosis
Cryptococcal meningitis
Mielopati
Mekanisme masuknya HIV ke SSP belum jelas, namun diduga sebagi sekunder
terhadap viremia dan penetrasi endotel atau melalui transport monosit yang terinfeksi melalui
sawar darah otak. Sekitar 30 % pasien asimtomatis seropositif HIV dengan biakan CSS
positif HIV, kemungkinan virus menembus SSP pada awal perjalanan infeksi dan sering
berada dalam keadaan asimtomatis.12
Saat ini sudah jelas bahwa infeksi HIV primer berakibat spektrum dari kelainan klinis
SSP, meningitis, dan suatu demensia progresif yang disebut kompleks demensia AIDS
(ADC).Dua jenis meningitis dapat terjadi pada infeksi HIV; sindroma febril akuta yang
serupa dengan mononukleosis dalam beberapa hari atau minggu dari munculan HIV inisial
dan meningitis aseptik disekitar saat serokonversi. Gejala meningitis berkaitan dengan
pleositosis CSS mononuklir dan biakan CSS positif HIV pada 50 % pasien. Kedua keadaan
ini self limited 12
ADC adalah sindroma neurologis khas dengan kelainan kognisi, tampilan motor, dan
tingkah laku. Gejala biasanya berupa kesulitan konsentrasi dan memori menuju demensia
yang jelas dengan tingkat aurosal intak. Gerakan bergantian cepat yang melambat,
hiperrefleksia, dan tanda-tanda lepasan frontal biasanya dijumpai pada pemeriksaan, dengan
imbalans, ataksia, dan kelemahan aksial menjadi prominen pada tingkat penyakit yang lebih
parah. Tingkat akhir ADC mendekati vegetatif dengan pandangan kosong, paraparesis, dan
inkontinens. Gambaran ADC adalah khas demensia subkortikal seperti gangguan kognitif
yang tampak pada kelainan Parkinson dan Huntington.12
Sel SSP yang dipastikan memperlihatkan antigen HIV 1 hanya makrofag, mikroglia,
dan sel raksasa multinuklir. Demielinasi dengan tiadanya perubahan inflamatori
(leukoensefalopati), seperti juga mielopati vakuoler, juga umum dijumpai. Tiadanya infeksi
sitolitik dari sel saraf, oligodendrosit, dan astrosit memusatkan perhatian pada kemungkinan
peran mekanisme indirek pada disfungsi otak berhubungan baik dengan virus maupun dengan
toksin 'cellcoded'.11
Kelainan neurologi yang timbul pada penderita AIDS secara umum dapat
dikelompokkan menjadi 13:
(a) Infeksi HIV Primer
Komplikasi langsung terlibat pada sistem saraf yang terinfeksi HIV dengan
perubahan patologi diakibatkan langsung oleh HIV itu sendiri. Harus diingat
bahwa lesi SSP pada AIDS dapat disebabkan proses neoplastik. Limfoma
SSP primer ditemukan sekitar 3 % dari pasien AIDS, dan limfoma sistemik
juga bisa menyebar pada mening. Beberapa sarkoma Kaposi yang metastase
ke otak pernah dilaporkan. Contoh lainnya adalah AIDS Dementia dan
neuropati perifer.
(b) Infeksi Oportunistik SSP
Sekunder/komplikasi tidak langsung sebagai akibat dari proses immunosupresi
konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma.
Patogen viral
Ensefalitis sitomegalovirus
Leukoensefalopati tmultifokal progresif
Patogen non-viral
Ensefalitis toksoplasmas
Meningitis kriptokokus
HIV merupakan virus yang bersifat imunotropik dan neurotropik yang berarti organ
targetnya selain sel imun juga menyerang sistem saraf. HIV melewati sawar darah otak
melalui aksis makrofag-monosit. Mekanisme yang memungkinkan mencakup transport
intraseluler melewati blood-brain barrier dalam makrofag yang terinfeksi, penempatan virus
bebas pada leptomeningens, atau virus bebas setelah replikasi dalam pleksus khoroideus atau
epithelium vaskular 14.
Infeksi virus herpes sering terlihat pada pasien AIDS. Pada orang yang terpajan
dengan herpes zoster, virus dapat tidur di jaringan saraf selama bertahun-tahun hingga
muncul kembali sebagai ruam. Reaktivasi ini umum pada orang yang AIDS karena sistem
kekebalannya melemah 14.
Neurosifilis, akibat infeksi sifilis yang tidak diobati secara tepat, tampak lebih sering
dan lebih cepat berkembang pada orang terinfeksi HIV. Neurosifilis dapat menyebabkan
degenerasi secara perlahan pada sel saraf dan serat saraf yang membawa informasi sensori ke
otak 14 .
Seperti halnya penyakit infeksi yang lainnya, tuberkulosis pada penyakit AIDS juga
infeksius ada individu sehat. Gejala klinisnya bervariasi tergantung pada tahap penyakit HIV-
nya. Pada stadium awal, dimana relatif ada kekebalan dalam sel (cell mediated immunity),
maka penyakit tuberkulosisnya akan menunjukkan gambaran penyakit primer klasik seperti
pada orang dewasa yakni dengan adanya infiltrat di lobus atas dan adanya kavitasi; dimana
tes tuberkulin biasanya akan positif. Bila penyakit HIV-nya melanjut maka cell mediated
immunity akan rusak disertai gejala non spesifik, yaitu demam, turunnya berat badan
dan fatigue (kelelahan), dengan atau tanpa adanya gejala batuk 14.
Manifestasi Klinis
CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih
manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel ini berfungsi dalam memerangi infeksi yang masuk ke
dalam tubuh. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, jumlah CD4 berkisar antara
1400-1500 sel/L. Pada penderita HIV/AIDS jumlah CD4 akan menurun dan dapat
menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik. Umumnya muncul jika dijumpai keadaan
immunodefisiensi berat (jumlah limfosit CD4 < 200 sel/mm3) 15.
Gambar 3.
Berbagai Manifestasi Klinis sebagai Komplikasi HIV/AIDS
Infeksi oportunistik pada SSP muncul secara tidak langsung sebagai akibat dari proses
immunosupresi konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma. Dapat dibedakan
menjadi 16
Patogen viral
Ensefalitis sitomegalovirus
Leukoensefalopati multifokal progresif
Patogen non-viral
Ensefalitis toksoplasmas
Meningitis kriptokokus
Kelainan sistem saraf terkait AIDS mungkin secara langsung disebabkan oleh HIV,
oleh kanker dan infeksi oportunistik tertentu (penyakit yang disebabkan oleh bakteri, jamur
dan virus lain yang tidak akan berdampak pada orang dengan sistem kekebalan yang sehat),
atau efek toksik obat yang dipakai untuk mengobati gejala. Kelainan saraf lain terkait AIDS
yang tidak diketahui penyebabnya mungkin dipengaruhi oleh virus tetapi tidak sebagi
penyebab langsung. Berikut manifestasi klinik yang ditemukan berdasarkan pembagian
penyakit akibat infeksi oportunistik di sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi 16
3.11. Komplikasi pada Sistem Saraf Pusat 14,15
1.Toksoplasmosis Otak
Toxoplasma gondii dapat menyebakan infeksi asimtomatis pada 80% manusia sehat,
namun bisa menimbulkan manifestasi klinis mematikan pada orang dengan HIV-AIDS
(ODHA). Perjalanan penyakit toksoplasmosis otak biasanya berlangsung subakut pada pasien
HIVstadium lanjut atau yang memiliki jumlah sel CD4 < 200 sel/UL. Keluhan dan gejala timbul
secara bertahap pada minggu pertama hingga mingguke-4. Manifestasi utama yang tampak pada
penderita AIDS dengan toksoplasmosis otak adalah demam, sakit kepala, defisit neurologis
fokaldan penurunan kesadaran.
2. Meningitis Tb
Meningitis TB adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer yang
disebabkan oleh eksudat yang menyumbat akuaduktus, fisura Sylvii, foramen Magendi,
foramen luschka. Meningitis TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis jenis Hominis,
jarang oleh jenis Bovinum atau Aves. Meningitis TB hampir selalu ada dalam diagnosis
banding pasien AIDS karena hampir 50% pasien AIDS menderita tuberkulosis paru.
Manifestasi klinis yang terlihat adalah hidrosefalus dan edema papil yang disebabkan oleh
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.
3. Meningitis kriptokokus
Meningitis kriptokokus terlihat pada sekitar 10% individu dengan AIDSyang tidak
diobati dan pada orang lain dengan sistem kekebalannya sangat tertekan oleh penyakit atau obat. Hal ini
disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, yang umum ditemukan dalam kotoran kotoran dan
burung. Jamur pertama-tama menyerang paru dan menyebar menutupi otak dan sumsum
tulang belakang, menyebabkan peradangan.Gejala termasuk kelelahan, demam, sakit kepala,
mual, kehilanganmemori, kebingungan, mengantuk, dan muntah. Jika tidak diobati, pasien
dengan meningitis kriptokokus dapat jatuh dalam koma dan meninggal.
a. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, yang umum ditemukan
pada tanah dan tinja burung. Jamur ini pertama menyerang paru dan menyebar ke otak dan
saraf tulang belakang, menyebabkan peradangan. Risiko infeksi paling tinggi jika jumlah
CD4 di bawah 50.
b. Tanda dan Gejala
Gejala meningitis termasuk demam, kelelahan, leher pegal, sakit kepala, mual dan
muntah, kebingungan, penglihatan kabur, dan kepekaan pada cahaya terang. Gejala ini
muncul secara perlahan. Tanda-tanda seperti meningismus, termasuk kuduk kaku, timbul <
40% penderita. Kejang dan defisit neurologik fokal sering timbul dan merupakan tanda koma
kriptokokosis dan tromboflebitis sinus venosus. Manifestasi ekstraneural, dapat terjadi
dengan/tanpa meningitis, termasuk infiltrasi pulmoner, lesi di kulit, abses prostat dan
hepatitis.
c. Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium dipakai untuk menentukan diagnosis meningitis. Tes laboratorium
ini memakai darah atau cairan sumsum tulang belakang. Darah atau cairan sumsum tulang
belakang dapat dites untuk kriptokokus dengan dua cara. Tes yang disebut CRAG mencari
antigen (sebuah protein) yang dibuat oleh kriptokokus. Tes biakan mencoba menumbuhkan
jamur kriptokokus dari sampel. Tes biakan membutuhkan satu minggu atau lebih untuk
menunjukkan hasil positif. Cairan sumsum tulang belakang juga dapat dites secara cepat bila
diwarnai dengan tinta India (70% positif) dan ditemukan antigen kriptokokus dalam darah
dan LCS (95-100% positif). LCS jumlah sel, glukosa, protein dapat terjadi tetapi tidak selalu.
Kultur darah dan urin (+).
d. Penatalaksanaan
Meningitis kriptokokus diobati dengan obat antijamur. Beberapa klinisi memakai
flukonazol namun ada juga yang memilih kombinasi amfoterisin B dan kapsul flusitosin.
Amfoterisin B adalah yang paling manjur, tetapi obat ini dapat merusak ginjal.
Walau jarang, meningitis kriptokokus tampaknya dapat kambuh atau menjadi lebih
berat bila terapi antiretroviral (ART) dimulai dengan jumlah CD4 yang rendah. Hal ini
disebabkan karena adanya pengembangan sindrom pemulihan kekebalan (immune
reconstruction inflammatory syndrome/IRIS). Hal ini karena obat anti-HIV dapat
memulihkan kemampuan sistem kekebalan untuk menanggapi infeksi dan menghasilkan
pemberantasan bakteri secara cepat. ART sering ditunda hingga terapi awal untuk mengobati
infeksi sudah diselesaikan.
e. Pencegahan
Memakai flukonazol waktu jumlah CD4 di bawah 50 dapat membantu mencegah
meningitis kriptokokus. Tetapi ada beberapa alasan sebagian besar dokter tidak
meresepkannya:
Sebagian besar infeksi jamur mudah diobati
Flukonazol adalah obat yang sangat mahal
Memakai flukonazol jangka panjang dapat menyebabkan infeksi jamur ragi (seperti
kandidiasis mulut, vaginitis, atau infeksi kandida berat pada tenggorokan) yang kebal
(resistan) terhadap flukonazol. Infeksi yang resistan ini hanya dapat diobati dengan
amfoterisin B.
Demensia HIV adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan gangguan kognitif dan
motorik yang menyebabkan hambatan menjalankan aktivitas hidup sehari-hari tetapi hal ini bisa
diobati dengan terapi anti-retroviral. Gejala termasuk ensefalitis (peradangan otak),
perubahan perilaku, dan penurunan fungsi kognitif secara bertahap, termasuk kesulitan
berkonsentrasi, ingatan dan perhatian atau ensefalopati terkait HIV, muncul terutama pada
orang dengan infeksi HIV lebih lanjut. Gejala termasuk ensefalitis (peradangan otak),
perubahan perilaku, dan penurunan fungsi kognitif secara bertahap, termasuk kesulitan
berkonsentrasi, ingatan dan perhatian. Orang dengan ADC juga menunjukkan pengembangan
fungsi motor yang melambat dan kehilangan ketangkasan serta koordinasi. Apabila tidak
diobati, ADC dapat mematikan.
Adalah tumor ganas yang mulai di otak atau akibat kanker yang menyebar dari bagian
tubuh lain. Limfoma SSP hampir selalu dikaitkan dengan virus Epstein-Barr (jenis
virus herpes yang umum pada manusia). Gejala termasuk sakit kepala, kejang, masalah
penglihatan, pusing, gangguan bicara, paralisis dan penurunan mental. Pasien AIDS dapat
mengembangkan satu atau lebih limfoma SSP. Prognosis adalah kurang baik karena
kekebalan yang semakin rusak.
6. Infeksi cytomegalovirus (CMV)
Dapat muncul bersamaan dengan infeksi lain. Gejala ensepalitis CMV termasuk
lemas pada lengan dan kaki, masalah pendengaran dan keseimbangan, tingkat mental yang
berubah, demensia, neuropati perifer, koma dan penyakit retina yang dapat mengakibatkan
kebutaan. Infeksi CMV pada urat saraf tulang belakang dan saraf dapat mengakibatkan
lemahnya tungkai bagian bawah dan beberapa paralisis, nyeri bagian bawah yang berat dan
kehilangan fungsi kandung kemih. Infeksi ini juga dapat menyebabkan pneumonia dan
penyakit lambung-usus.
Sering terlihat pada pasien AIDS. Virus herpes zoster yang menyebabkan cacar,
dapat menginfeksi otak dan mengakibatkan ensepalitis dan mielitis (peradangan saraf tulang
belakang). Virus ini umumnya menghasilkan ruam, yang melepuh dan sangat nyeri di kulit
akibat saraf yang terinfeksi. Pada orang yang terpajan dengan herpes zoster, virus dapat tidur
di jaringan saraf selama bertahun-tahun hingga muncul kembali sebagai ruam. Reaktivasi ini
umum pada orang yang AIDS karena sistem kekebalannya melemah. Tanda sinanaga
termasuk bentol yang menyakitkan (serupa dengan cacar), gatal, kesemutan (menggelitik)
dan nyeri pada saraf.
Pasien AIDS mungkin menderita berbagai bentuk neuropati, atau nyeri saraf,
masing-masing sangat terkait dengan penyakit kerusakan kekebalan stadium
tertentu. Neuropati perifer menggambarkan kerusakan pada saraf perifer, jaringan
komunikasi yang luas yang mengantar informasi dari otak dan saraf tulang belakang ke setiap
bagian tubuh. Saraf perifer juga mengirim informasi sensorik kembali ke otak dan saraf
tulang belakang. HIV merusak serat saraf yang membantu melakukan sinyal dan dapat
menyebabkan beberapa bentuk neropati.Distal sensory polyneuropathy menyebabkan mati
rasa atau perih yang ringan hingga sangat nyeri atau rasa kesemutan yang biasanya mulai di
kaki dan telapak kaki. Sensasi ini terutama kuat pada malam hari dan dapat menjalar ke
tangan. Orang yang terdampak memiliki kepekaan yang meningkat terhadap nyeri, sentuhan
atau rangsangan lain. Pada awal biasanya muncul pada stadium infeksi HIV lebih lanjut dan
dapat berdampak pada kebanyakan pasien stadium HIV lanjut.
8. Stroke
Disebabkan oleh penyakit pembuluh darah otak jarang dianggap sebagai komplikasi
AIDS, walaupun hubungan antara AIDS dan stroke mungkin jauh lebih besar dari dugaan.
Para peneliti di Universitas Maryland, AS melakukan penelitian pertama berbasis populasi
untuk menghitung risiko stroke terkait AIDS dan menemukan bahwa AIDS meningkatkan
kemungkinan menderita stroke hampir sepuluh kali lipat. Para peneliti mengingatkan bahwa
penelitian tambahan diperlukan untuk mengkonfirmasi hubungan ini. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa infeksi HIV, infeksi lain atau reaksi sistem kekebalan terhadap HIV,
dapat menyebabkan kelainan pembuluh darah dan/atau membuat pembuluh darah kurang
menanggapi perubahan dalam tekanan darah yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh
darah dan stroke.
Dapat muncul dalam fase infeksi HIV dan AIDS yang berbeda, dan dapat berupa
bentuk yang beragam dan rumit. Beberapa penyakit misalnya demensia kompleks terkait
AIDS yang secara langsung disebabkan oleh infeksi HIV pada otak, sementara kondisi lain
mungkin dipicu oleh obat yang dipakai untuk melawan infeksi. Pasien mungkin mengalami
kegelisahan, depresi, keingingan bunuh diri yang kuat, paranoid, demensia, delirium,
kerusakan kognitif, kebingungan, halusinasi, perilaku yang tidak normal, malaise, dan
mania akut.
2.12. Komplikasi pada Sistem Saraf Tepi
Diagnosis
Berdasarkan hasil rekam medis pasien dan pemerikaan fisik secara umum, dokter
akan melakukan pemeriksaan saraf secara menyeluruh untuk menilai berbagai fungsi saraf:
kemampuan motor dan sensor, fungsi saraf, pendengaran dan berbicara, penglihatan,
koordinasi dan keseimbangan, status kejiwaan, perubahan perilaku atau suasana hati. Dokter
mungkin meminta tes laboratorium dan satu atau lebih tindakan di bawah ini untuk
membantudiagnosis kerumitan neurologi terkait AIDS.
Pemetaan dibantu komputer dapat mengungkap tanda peradangan otak, tumor dan
limfoma SSP, kerusakan saraf, perdarahan dalam, sumsum otak yang tidak biasa, dan
kelainan otak lain. Beberapa tindakan pemetaan yang tidak menyakitkan dipakai untuk
membantu diagnosis komplikasi neurologi terkait AIDS.
Computed Tomography (juga disebut CT scan) memakai sinar X dan komputer untuk
menghasilkan gambar tulang dan jaringan, termasuk peradangan, kista dan tumor otak
tertentu, kerusakan otak karena cedera kepala, dan kelainan lain. CT scan
menyediakan hasil yang lebih rinci dibandingkan rontgen saja.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) memakai komputer, gelombang radio dan
bidang magnetik yang kuat untuk menghasilkan gambar tiga dimensi secara rinci atau
potongan struktur tubuh dua dimensi, termasuk jaringan, organ, tulang dan saraf.
Tes ini tidak memakai radiasi ionisasi (serupa dengan rontgen) dan memberi dokter
tampilan jaringan dekat tulang yang lebih baik.
Functional MRI (fMRI) memakai unsur magnetik darah untuk menentukan wilayah
otak yang aktif dan untuk mencatat berapa lama wilayah tersebut tetap aktif. Tes ini
dapat menilai kerusakan otak dari cedera kepala atau kelainan degeneratif contohnya
penyakit Alzheimer, dan dapat menentukan serta memantau kelainan neurologi lain,
termasuk demensia kompleks terkait AIDS.
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) memakai medan magnet yang kuat untuk
meneliti komposisi biokimia dan konsentrasi molekul berbasis hidrogen yang
beberapa di antaranya sangat khusus terhadap sel saraf di berbagai wilayah otak. MRS
dipakai sebagai percobaan untuk menentukan lesi otak pada pasien AIDS.
Elektromiografi atau EMG, dipakai untuk mendiagnosis kerusakan saraf dan otot (misalnya
neuropati dan kerusakan serat saraf yang disebabkan oleh HIV) dan penyakit saraf tulang
belakang. Tes ini mencatat kegiatan otot secara spontan dan kegiatan otot yang digerakkan
oleh saraf perifer.
Biopsi adalah pengangkatan dan pemeriksaan jaringan tubuh. Biopsi otak, yang melibatkan
pengangkatan sebagian kecil otak atau tumor dengan bedah, dipakai untuk menentukan
kelainan dalam tengkorak dan tipe tumor. Berbeda dengan kebanyakan biopsi lain, biopsi
otak memerlukan rawat inap. Biopsi otot atau saraf dapat membantu mendiagnosis masalah
saraf otot, sementara biopsi otak dapat membantu mendiagnosis tumor, peradangan dan
kelainan lain.
Analisis cairan sumsum tulang belakang dapat mendeteksi segala perdarahan atau hemoragi
otak, infeksi otak atau tulang belakang (misalnya neurosifilis), dan penumpukan cairan yang
berbahaya. Contoh cairan diambil dengan jarum suntik dengan bius lokal dan diteliti untuk
mendeteksi kelainan.
Contoh :
A.Toksoplasmosis otak
Pada neuroimaging dapat dijumpai lesi hipodense pada CT scan dan lesi Hipointense pada
MRI.11
B. Meningitis TB.
1. Laboratorium rutin pada meningitis tuberculosis jarang yang khas, bisaditemui leukosit
meningkat, normal atau rendah dan diff. count bergeser kekiri kadang-kadang ditemukan
hiponatremia akibat SIADH.
2. Pemeriksaan CSS Terdapat peningkatan tekanan pada lumbal pungsi 40-75% pada anak
dan50% pada dewasa. Warna jernih atau xantokhrom terdapat
peningkatan protein dan 150-200mg/dl dan penurunan glukosa pada cairan serebrospinal.
3. Terdapat penurunan klorida, ditemukan pleiositosis, jumlahsel meningkat biasanya tidak melebihi
300 cel/mm3. Differential count PMN perdominan dan limpositik.
4. Mikrobiologiditemukan Mycobacterium tuberculosispada kultur cairan serebrospinal
merupakan baku emas tetapi sangat sulit, lebih dari 90% hasilnya negatif
5. Polymerase chain reaction (PCR) spesifitas tinggi tetapi sensivitasmoderat.
6. Pada pemeriksaan foto rontgen toraks ditemukan tuberculosis aktif pada paru dan
dapat sembuh sampai 50% pada dewasa dan 90% padaanak-anak.
7. Hasil tes PDD tuberculin negative pada 10-15% anak-anak dan 50% pada dewasa.
8. CT scan dan MRIPemeriksaan CT scan dengan kontras ditemukan penebalan meningendi
daerah basal, infark, hidrosefalus, lesi granulomatosa. PemeriksaanMRI lebih sensitive
dari CT scan, tetapi spesifitas juga masih terbatas.
2.1.4. Penatalaksanaan 13
Pada saat ini sudah banyak obat yang bisa digunakan untuk mengobati infeksi HIV :
1.Golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitor meliputi AZT(zidovudin), ddI
(didanosin), ddC (zalsibatin), d4T (stavudin), 3TC(lamivudin), abakavir.
2.Golongan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor meliputinevirapin, delavirdin,
efavirenz.
3.Golongan protease inhibitor, saquinavir, ritonavir, indinavir, nelfinavir.
Semua obat-obatan tersebut ditujukan untuk mencegah reproduksi virus sehingga
memperlambat progresivitas penyakit. HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat-
obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif adalah kombinasi
antara 2 obat atau lebih, Kombinasiobat bisa memperlambat timbulnya AIDS pada penderita
HIV positif danmemperpanjang harapan hidup. Penderita dengan kadar virus yang tinggi
dalamdarah harus segera diobati walaupun kadar CD4+ nya masih tinggi dan penderitatidak menunjukkan gejala
apapun.
AZT, ddI, d4T dan ddC menyebabkan efek samping seperti nyeriabdomen, mual, dan sakit
kepala (terutama AZT). Penggunaan AZT terus menerus bias merusak sumsum tulang dan
menyebabkan anemia. ddI, ddC, dand4T bisa merusak saraf-saraf perifer. ddI bisa merusak
pancreas. Dalam kelompok nukleosid, 3TC tampaknya mempunyai efek samping yang paling
ringan.
Ketiga protease inhibitor menyebabkan efek samping mual dan muntah,diare dan gangguan perut.
Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzim hati, bersifat reversible dan tidak
menimbulkan gejala, juga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang
serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batuginjal. Ritonavir dengan pengaruhnya pada hati
menyebabkan naik atau turunnyakadar obat lain dalam darah. Kelompok protease inhibitor
banyakmenyebabkan perubahan metabolisme tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan
kadar lemak, serta perubahan distribusi lemak tubuh (protease paunch).15
Penderita AIDS diberi obat-obatan untuk mencegah infeksi oportunistik seperti
toksoplasmosis otak, meningitis TB, meningitis kriptokokus, demensia HIV dan neuropati
akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengobatan toksopalsmosis otak dibagi menjadi dua fase pengobatan yaitu fase akut dan fase
rumatan. Pengobatan fase akut meliputi pirimetamin loading dose 200 mg (untuk BB < 50 kg 2 x
25 mg per hari p.o sedangkan untuk BB > 50 kg 3 x 25 mg per hari p.o)
dan klindamisin dengan dosis 4 x 600 mg per hari p.o.Pengobatan fase akut ini diberikan
selama 3-6 minggu sesuai dengan perbaikan klinis yang terjadi. Pengobatan toksoplasmosis
otak fase rumatan dapat menggunakan pengobatan fase akut dengan dosis setengahnya
sampai jumlah sel CD4 >200 sel/UL.
2. Pengobatan meningitis TB dilakukan dengan menggunakan kombinasi triple drugs yaitu
kombinasi antara INH dengan dua jenis tuberkulostikalainnya.
3. Pengobatan demensia HIV menggunakan terapi ARV (anti-rettroviral)yang mengkombinasikan 3 obat
yaitu:
d4T - 3TC - NVP (stavudin - lamifusin - nevirapin)
d4T - 5TC - EFV (stavudin - lamifusin - efavirens)
AZT - 3TC - NVP (zidovudin - lamifusin - nevirapin)
AZT - 3TC - EFV (zidovudin - lamifusin - nevirapin)
Gejala sesak nafas yang dirasakan oleh pasien sebenarnya tidak signifikan untuk mengarah
kepada penyakit yang spesifik. Tetapi ketika akan dilakukan rontgen paru (karena dicurigai
Tb paru dari hasil anamnesis bahwa pasien merupakan pasien Tb drop out), pasien
mengalami kejang umum seluruh tubuh dengan mata melotot. Dan berdasarkan pemeriksaan
fisik, dimana ditemukan semua tanda rangsang mening dan refleks fisiologi meningkat serta
ditemukan semua refleks patologis, maka kecurigaan mengarah ke meningitis Tb.
Keluarga pasien mengaku bahwa pasien semakin turun berat badannya secara drastis dalam
waktu singkat, dan diketahui bahwa pasien merupakan pasien poliklinik melati (poliklinik
HIV), maka kemungkinan bahwa meningitis yang didapat merupakan komplikasi dari HIV-
nya.
Beberapa hal yang perlu dibahas mengenai kasus ini antara lain :
Anamnesis
Penurunan berat badan, penurunan nafsu Proses inflamasi aktivasi makrofag, oleh IFN-y,
makan IL-1, IL-4, IL-6, TNF-a pyrogen endogen
bersirkulasi sistemik dan menembus masuk
hepatoencephalic barrier bereaksi terhadap
hypothalamus produksi prostaglandin
prostaglandin merangsang cerebral cortex
respon behavioral nafsu makan menurun dan
leptin meningkat menyebabkan stimulasi
hypothalamus nafsu makan disupresi, pada
masa yang sama terjadi peningkatan metabolisme
pada pasien TB karena peningkatan penggunaan
energy metabolik Penurunan nafsu makan dan
peningkatan metabolism tubuh pasien TB
menyebabkan penurunan BB
Jika dilihat secara umum, kemungkinan untuk terjadi ADC adalah besar dikarenakan pada pasien
sudah mulai terjadi kesulitan dalam berkomunikasi dan gangguan perhatian (tidak fokus).
Dimana gejala dari ADC salah satunya adalah berupa
perubahan perilaku, dan penurunan fungsi kognitif secara bertahap, termasuk kesulitan
berkonsentrasi, ingatan dan perhatian atau ensefalopati terkait HIV
Tatalaksana
Infus RL 500cc 20 tpm Untuk pemberian cairan via line infus, Nacl 0,9%
dikarenakan pasien perlu asupan nutrisi
OAT Kategori II R/H/Z/E/S/1x3 tab Diberikan OAT kategori II karena pasien sudah
putus obat
Citicoline 2x250 mg atau 500mg/12 jam Citicoline adalah neuroprotector di berikan untuk
memperbaiki vaskularisasi otak dan system saraf
pusat yang diakibatkan karena adanya kerusakan
otak
Prognosis
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Meningitis merupakan suatu penyakit akibat inflamasi yang terjadi pada selaput
otak yaitu meninges. Meningitis dapat terjadi karena adanya faktor resiko tertentu
seperti pada usia, kekebalan tubuh yang menurun, adanya penyakit sistemik atau
penyakit lain sebelumnya, dan adanya riwayat kontak dengan penderita meningitis.
salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru yang
morbiditas tuberkulosis masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang semua usia,
termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah.
gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus segera
diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis.
sisaneurologis (sekuele).
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis
dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila
tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia.
Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3 tahun,
orang lanjut usia, dan yang mengalami imunokompremise mempunyai prognosis yang
lebih buruk.
pengenalan dan pengobatan dini (sekunder), dan untuk mengurangi komplikasi dan
gejala sisa (tertier), sehingga diharapkan pasien dapat tetap menjalani aktivitas
secara maksimal dalam ruang lingkup yang luas, kematian dan kecacatan akibat
2. Gilroy J. 2000, Basic Neurology, New York: Mc Graw-Hill. 3rd edition,p. 482-90.
3. Israr YA. Meningitis. Last Updated 2008. Available from
http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/01/meningitis.pdf
4. Ramachandran TS. Tuberculous Meningitis. Last Updated 4 December 2008. Available
from http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview ----
5. Nofareni. Status imunisasi bcg dan faktor lain yang mempengaruhi terjadinya meningitis
tuberkulosa. Available from http://library.usu.ac.id/download/fk/anak-nofareni.pdf
6. Koppel BS. Bacterial, 2007, Fungal,& Parasitic infections of the Nervous System in
Current Diagnosis and Treatment Neurology. USA; The McGraw-Hill Companies. p403-
08, p421-23.
7. Meningitis.Availablefromhttp://forbetterhealth.files.wordpress.com/2009/01/meningitis.p
df
8. Nicola Principi, Susanna Esposito. Diagnosis and Therapy of Tuberculous Meningitis in
Adult. Department Neulorogy Sciences, Universit degli Studi di Milano, Fondazione
IRCCS Ca Granda Ospedale Maggiore Policlinico, Via Commenda 9, 2012 Milan,
Italyen
9. Miller RD. 2000. lumbal puncture,5th ed. Philadelphia : Churchill Livingstone
10. Mulroy MF. Lumbal puncture, 1996, An Illustrated Procedural Guide. 2nd ed. Boston :
Little, Brownand Company
11. Manji, Miller. The Neurology of HIV Infection. J Neural Neurosurg Psychiatry 2004.
http://www.jnpp.bmj.com
12. Ghoufari et al. 2006, HIV-1 associated Dementia: symptom and causes.J Retrovirology.
http://www.biomed.com
13. Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. 2003, Human Immunodeficiency Virus and
Acquired Immunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology. Goetz. P.955-89.
14. Harrington Robert. 2003, Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Practice Medicine
15. Howard L. Weiner, dkk. 2001, AIDS dan system saraf dalam Buku Saku Neurologi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
16. Raka Sudewi, A.A dkk.(2011). Infeksi Pada Sistem Saraf. Penerbit: PusatPenerbitan dan
Percetakan Unair. Bandung. 2011: 63
17. Yayasan Spritia. Neuropati Perifer [online]. Availabbe from:http://www.spiritia
or.id/li/pdf/LI555.pdf