Anda di halaman 1dari 10

Nama : Ibnu Hadi Muliana

Kelas : 2-I D-III PAJAK

NIM : 2301160315

PENERAPAN/IMPLEMENTASI PAJAK PENGHASILAN DI INDONESIA


DALAM RANGKA OPTIMALISASI PENERIMAAN PAJAK

Pasal 1 ayat (1) UU PPh menyatakan bahwa Pajak Penghasilan dikenakan

terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam

satu tahun pajak. Penghasilan yang dimaksud adalah setiap tambahan kemampuan

ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari

Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau

untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan

dalam bentuk apa pun (Pasal 4 ayat (1) UU PPh). Jadi tidak terbatas dalam bentuk

uang saja tetapi juga yang dapat digunakan untuk konsumsi dan menambah

kekayaan wajib pajak (broadbased taxation). Ruang lingkup penghasilan yang

dikenakan untuk WP dalam negeri adalah semua penghasilan, baik dari Indonesia

maupun dari luar Indonesia (world wide income). Sedangkan bagi wajib pajak

luar negeri, hanya dikenai pajak penghasilan jika menerima atau memperoleh

penghasilan dari Indonesia.

Sesuai dengan data yang diterbitkan oleh DJPBN dalam tabel Realisasi

APBN Tahun Anggaran 2016, realisasi pajak penghasilan migas dan non-migas

sebesar 36,1 triliun dan 630,1 triliun, sedangkan total realisasi penerimaan

1
perpajakan adalah sebesar 1.285 triliun. Dari data tersebut, dapat disimpulkan

bahwa persentase penerimaan pajak penghasilan adalah 51,84% dari total

penerimaan perpajakan pada tahun 2016 (per 31 Desember 2016). Tidak hanya

pada tahun 2016 saja tetapi juga pada tahun-tahun sebelumnya penerimaan pajak

penghasilan selalu memiliki persentase terbesar dari total penerimaan perpajakan.

Hal ini membuktikan bahwa pajak penghasilan memiliki peran yang sangat besar

dalam memajukan dan memaksimalkan penerimaan pajak yang akan digunakan

untuk membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintah dan pembangunan. Untuk

mewujudkannya, dibutuhkan sistem pemungutan perpajakan terutama pajak

penghasilan yang optimal dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurut

pasal 1 ayat (1) UU KUP Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang

terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan

Undang - Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan

digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa penerimaan pajak digunakan

untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bersamaan

dengan optimalnya penerimaan perpajakan, kesejahteraan masyarakat dapat

meningkat.

Indonesia baru bisa menggunakan undang-undang pajak penghasilan

buatan sendiri pada tahun 1983 yaitu UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan bersamaan dengan ditetapkannya UU No. 6 tahun 1983 tentang KUP

dan UU No. 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM. Sebelum tahun 1983

Indonesia masih menggunakan undang-undang buatan Belanda yang tentunya

sudah tidak sesuai dengan keadaan negara pada saat itu. Setelah tahun 1983

2
sampai sekarang UU PPh telah mengalami perubahan sebanyak 4 kali terakhir

dengan UU Nomor 36 Tahun 2008. Perubahan ini dilakukan agar dapat sesuai

dengan perkembangan jaman.

Indonesia masih tergolong sebagai pemula dalam menerapkan sistem

pajak penghasilannya jika dibandingkan negara-negara lain yang juga memungut

pajak penghasilan. Misalnya pada Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk

pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan

pajak adalah A persons faculty, personal faculties and abilitites. Pada tahun

1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak didasarkan pada Returns and

gain. Jika dilihat dari sisi sejarah, Amerika tentu lebih unggul dan lebih matang

dalam sistem pemungutan pajak penghasilannya daripada Indonesia karena

mereka telah menerapkan pajak penghasilan lebih dahulu daripada Indonesia yang

pada saat itu masih berjuang melawan penjajahan untuk mendapatkan

kemerdekaan. Sehingga dapat dimaklumi jika Indonesia masih tertinggal

dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah merdeka dan menerapkan

pajak penghasilan terlebih dahulu. Selain itu, penerimaan negara-negara maju

didominasi pajak penghasilan (PPh) Orang Pribadi. Kondisi sebaliknya terjadi

pada negara-negara belum maju seperti Indonesia yang masih bertumpu pada

penerimaan dari PPh Badan. PPh Orang Pribadi memiliki keunggulan lebih jika

dibandingkan dengan PPh Badan yaitu penerimaan negara tak banyak terpengaruh

bila perekonomian melambat karena perlambatan ekonomi tidak membuat gaji

masyarakat turun. Berbeda dengan penghasilan Badan yang sangat dipengaruhi

oleh perekonomian negara tersebut.

3
Pada tahun 2016 persentase penerimaan perpajakan atau Tax Ratio

Indonesia hanya sebesar 10,35% atau 1.285 triliun dari Produk Domestik Bruto

(PDB) atas harga dasar berlaku yang mencapai 12.406 triliun. Padahal seperti

yang kita ketahui bahwa penerimaan pajak merupakan sumber pendapatan yang

utama. Rendahnya Tax Ratio merupakan akibat dari ketidakpercayaan masyarakat

terhadap kinerja pemerintah. Oleh karena itu diperlukan kepatuhan dan kesadaran

masyarakat tentang pentingnya melaksanakan kewajiban seperti membayar pajak

penghasilan untuk memajukan Indonesia dengan menggunakan penerimaan

perpajakan untuk membangun Indonesia agar menjadi lebih baik.

Basis pembayar pajak atau tax base di Indonesia masih sangat rendah,

karena dari seluruh penduduk, jumlah penduduk yang memiliki Nomor Pokok

Wajib Pajak (NPWP) hanya 32 juta orang. Untuk mengatasinya, telah banyak

terobosan kebijakan yang dilakukan demi meningkatkan penerimaan perpajakan

terutama pajak penghasilan antara lain dengan kebijakan amnesti pajak yang telah

sukses dilaksanakan selama tiga tahap walaupun target hasil uang tebusan tidak

tercapai yaitu 81,8% atau sebesar Rp135 triliun dari target 165 triliun. Kebijakan

tersebut diharapkan dapat memperkuat fondasi bagi perluasan basis pajak dan

sekaligus meningkatkan kepatuhan pembayar pajak di masa mendatang. Saat ini

tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan pajaknya masih rendah, itu pun

masih didominasi oleh wajib pajak orang pribadi karyawan bukan wajib pajak

pengusaha. Agar dapat mewujudkan tingkat kepatuhan yang tinggi tidak

dilakukan dalam jangka pendek tapi upaya yang berkelanjutan, tidak akan

berhenti. Dengan semakin tingginya tingkat kepatuhan pajak, baik secara formal

4
atau material, maka akan memperbesar basis pemajakan. Hal ini juga akan

memperbesar penerimaan pajak yang dapat dihimpun.

Pajak penghasilan memiliki 5 karakteristik, yaitu merupakan pajak

subjektif, pajak langsung, pajak pusat, system self-assesment & withholding, dan

bersifat progresif. Kelima karakteristik pajak penghasilan menunjukkan

kemudahan dalam melaksanakan kewajiban membayar pajak penghasilan.

Pajak subjektif, pengenaan pajak penghasilan dititikberatkan pada keadaan

dan kondisi subjek pajak. Kondisi subjek pajak yang menjadi pertimbangan

adalah kemampuan dalam menjalankan kewajiban perpajakan yang dikenakan

atas dirinya. Pajak penghasilan juga mengatur kapan saat mulai dan saat

berakhirnya kewajiban pajak yang penting dalam rangka memberikan kepastian

hukum. Dengan kata lain gaya pikul subjek pajak menjadi landasan pemajakan.

Menurut teori gaya pikul, pajak yang harus dibayar diukur dari besarnya

penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan. Jadi kewajiban membayar

baru dilaksanakan setelah kebutuhan primer seseorang telah terpenuhi. Dalam

konteks UU PPh, kebutuhan primer dianggap telah terpenuhi jika telah melebihi

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Jadi apabila penghasilan seseorang dalam

satu tahun berada di bawah PTKP berarti orang tersebut tidak perlu membayar

pajak atau nihil. Sebaliknya, jika penghasilannya melebihi PTKP barulah orang

tersebut harus membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

Pajak Penghasilan merupakan pajak langsung atau pajak yang dibebankan

langsung kepada WP dan tidak dapat dibebankan kepada orang lain. Di sini subjek

pajak berperan sebagai penanggung jawab yuridis formal, penanggung beban

5
ekonomis, dan destinataris undang-undang. Pajak Penghasilan juga merupakan

pajak pusat, otoritas yang berwenang mengadministrasikan pemungutan pajak

penghasilan adalah pemerintah pusat melalui Direktorat Jendral Pajak dan

dikategorikan sebagai penerimaan perpajakan dalam APBN. Oleh karena itu

pemerintah tentu saja akan berusaha keras untuk meningkatkan penerimaan pajak

penghasilan karena memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kegiatan

pemerintahan dan berperan penting dalam mengoptimalkan penerimaan negara di

bidang perpajakan karena memiliki persentase terbesar dalam penerimaan

perpajakan. Sistem self-assesment adalah sistem di mana wajib pajak menghitung

melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang dan peran fiskus hanya sebatas

mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan. Self-assesment memberikan

kepercayaan yang tinggi kepada WP untuk melaksanakan kewajiban perpajakan

mereka. Sistem ini sebenarnya diterapkan agar wajib pajak menjadi mandiri. Perlu

diketahui dengan menggunakan sistem ini masyarakat harus benar-benar

mengetahui ketentuan-ketentuan dan tata cara melaksanakan kewajiban

perpajakan. Oleh karena itu banyak WP yang berkonsultasi kepada penyedia jasa

konsultasi pajak untuk menghindari kesalahan dalam penghitungan dan pelaporan

pajak. Pemerintah memberikan banyak kemudahan kepada wajib pajak untuk

melaksanakan kewajiban perpajakannya melalui media internet seperti

penyampaian SPT Tahunan dengan e-filing, pendaftaran WP secara on-line

melalui e-registration, pembayaran pajak dengan e-billing, e-tax invoice dan

adanya contact center.

Pajak penghasilan bersifat progresif yaitu jika penghasilan yang diterima

lebih besar maka persentase tarif pajak penghasilan juga semakin besar. Tarif

6
pajak penghasilan progresif ada pada pasal 17 UU PPh. Pengenaan pajak

penghasilan dengan tarif progresif ini merupakan wujud dari teori daya pikul di

mana pajak dibebankan kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan

ekonominya. Tarif pajak meningkat seiring dengan meningkatnya penghasilan,

jadi yang memiliki penghasilan kecil tidak hanya membayar pajak penghasilan

yang lebih sedikit tetapi juga persentase yang lebih kecil dari penghasilan mereka

pula. Sebaliknya, yang memiliki penghasilan lebih akan membayar pajak

penghasilan lebih besar dan persentase yang dikenakan terhadap penghasilannya

semakin besar. Pajak penghasilan melalui penerapan tarif progresif dengan tujuan

untuk meningkatkan kesetaraan pendapatan.

Pajak penghasilan memiliki peranan yang sangat penting dalam

penerimaan perpajakan Indonesia yang dapat kita lihat dari persentase penerimaan

pajak penghasilan dengan total penerimaan perpajakan. Agar penerimaan pajak

penghasilan Indonesia lebih optimal, kita harus mencontoh negara-negara maju

dengan beralih untuk fokus pada penerimaan pajak penghasilan orang pribadi

bukan badan karena tidak mudah dipengaruhi oleh keadaan ekonomi. Saat ini tax

rasio dan tax base Indonesia masih rendah, hal ini disebabkan karena kesadaran

akan pentingnya membayar pajak masyarakat Indonesia yang kurang dan

merupakan imbas dari rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah

mereka sendiri. Dan juga dari kelima karakteristik pajak penghasilan kita juga

dapat menyimpulkan bahwa karakteristik tersebut merupakan bentuk dari

kemudahan dan keunggulan pajak penghasilan dibandingkan pajak lainnya. Untuk

meningkatkan penerimaan perpajakan Indonesia terutama pajak penghasilan yang

perlu dilakukan tidak hanya mempermudah sistem perpajakan tetapi juga

7
memberikan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya membayar pajak.

Setelah masyarakat sadar akan pentingnya membayar pajak diharapkan

penerimaan perpajakan terutama pajak penghasilan meningkat.

8
REFERENSI

Santosa, Wahyu dan Sadimin. 2013. BAHAN AJAR PAJAK PENGHASILAN (PPh).

Zulfina, Susi. PENGANTAR HUKUM PAJAK.

http://www.djpbn.kemenkeu.go.id/portal/id/berita/lainnya/pengumuman/153-

realisasi-apbn/2599-realisasi-apbn-per-31-desember-2016.html

www.pajak.go.id/content/article/menakar-kadar-kepatuhan-wajib-pajak

LAMPIRAN

9
10

Anda mungkin juga menyukai