Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Hibah

Selama ini Hibah dan Bansos terkait dengan uang dan sebagian barang diatur dalam PP 58/2005
dan turunannya, dan PP 6/2006 hanya untuk hibah barang.
Sebelum terbitnya Permendagri 32/2011, biasanya praktek yang terjadi adalah sebagai berikut:
Definisi hibah dan bansos belum jelas dan tegas.
Dari sisi penganggaran & pelaksanaan belum tegas: hibah bansos masih dalam dua
kondisi.
o Pertama, penganggaran hibah bansos sudah pasti nama penerima dan
besarannya, walaupun terkadang penentuan peruntukkan hibah bansos biasanya
masih ditetapkan dalam Keputusan Kepala Daerah yang terpisah dengan Perda
APBD. Belum menjadi bagian dalam RKA.
o Kedua, sebagian dana hibah bansos dalam dokumen anggaran masih bersifat
gelondongan, biasanya hanya sampai jenis belanja dan tidak sampai rincian dan
objek. (belum ditetapkan siapa penerimanya, belum sampai rincian objek).
Seiring waktu pelaksanaan APBD, akan ditentukan peruntukkan dan siapa
penerimanya. Dan kewenangan ini ada di eksekutif.
Adanya kecenderungan politik anggaran yang membesar dalam pemakaian hibah
bansos, apalagi menjelang Pemilukada.
Masih mudahnya pertanggungjawaban hibah bansos
Sulitnya DPRD dalam melaksanakan fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan terkait
dengan hibah dan bansos.
latar belakang terbitnya Permendagri tersebut adalah:
Belum ada aturan yang jelas dan tegas atas belanja hibah dan bansos di daerah
Belum seluruhnya daerah menetapkan perKDH ttg hibah dan bansos.
Adanya permasalahan hukum terkait dengan pemberian hibah dan bansos.
Hasil kajian & rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Dengan terbitnya Permendari 32/2011, telah terjadi perubahan hal yang sangat mendasar.
Yaitu :
1. Semua penerima hibah harus dicantumkan dalam RKA SKPD dan RKA PPKD sampai
dengan rincian objek. Artinya dalam menyusun RKA sudah harus dipastikan siapa
penerimanya dan berapa besarnya. Yang selanjutnya setelah Ranperda APBD ditetapkan,
kepala Daerah akan menetapkan Keputusan Kepala Daerah tentang Daftar Penerima
Hibah Bansos.
2. Tidak dapat lagi menganggarkan hibah bansos baik sebagian maupun keseluruhan
dalam bentuk gelondongan (hanya sampai jenis belanja).
Sehingga hibah bansos akan terasa sangat rigid dan kaku. Pertanyaannya, bagaimana dengan
keadaan yang terjadi secara insidentil (mendadak/tidak terduga)?? Bukankah Pemda tetap
harus melaksanakan semua fungsi pelayanan publik?
Misalnya:
Telah terjadi pohon tumbang yang menimpa gedung sekolah sehingga ruang belajar
tidak bisa digunakan, maka hal ini tidak bisa diambilkan dari hibah dan bansos. Tetapi
harus diambilkan dari keadaan darurat atau keperluan mendesak sebagaimana diatur
dalam Pasal 162 Permendagri 21/2011.
Telah terjadi tanah longsor yang menimpa rumah warga, maka pemda ketika itu tidak
dapat melakukan pertolongan kepada warga dengan mengambil dana dari hibah dan
bansos, sebab mereka (korban bencana) belum masuk dalam RKA. Tetapi Pemda dapat
membantu dengan menggunakan dana keadaan darurat, bahkan menggunakan dana
tanggap darurat bencana.
jika Kepala Daerah melakukan kunjungan ke rumah sakit, kemudian kepala daerah
memberikan uang kepada pasien, maka uang yang diberikan tidak boleh lagi berasal dari
hibah dan bansos. Tetapi harus diambilkan dari Belanja Penunjang Operasional Kepala
Daerah. Walaupun prakteknya selama ini BPO Kepala Daerah jarang digunakan.

Jika dilihat dari mekanisme penganggaran hibah bansos yang kaku dan rigid, maka untuk
daerah yang kemungkinan sering terjadi kejadian yang sifatnya insidentil harus diantisipasi
dengan memperbesar Belanja Tidak Terduga (yang nantinya akan digunakan jika terjadi
Keadaan Darurat, Keperluan Mendesak dan Tanggap Darurat Bencana) atau mengoptimalkan
sumber2 lain yang bisa digunakan untuk memberi/membantu masyarakat, misalnya BPO
Kepala Daerah, BPO Pimpinan DPRD. Sebenarnya amanah bagi Pemda untuk menyusun
peraturan kepala daerah tentang hibah, bansos dan bantuan keuangan sudah ada sejak
Permendagri 13/2006 diterbitkan, yaitu Pasal 133 (3), tetapi karena masih banyak Pemda yang
belum menetapkan PerKDH tersebut, maka dalam Permendagri 22/2011 tentang Pedoman
Penyusunan APBD TA 2012 dinyatakan bahwa pemerintah daerah HARUS menyusun sistem dan
prosedur penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja HIBAH, belanja
BANTUAN SOSIAL serta belanja BANTUAN KEUANGAN ditetapkan dalam peraturan kepala
daerah.
Artinya, jika Pemda sudah membuat PerKDH tersebut agar disesuaikan dengan Permendagri
32/2011, jika belum menyusun HARUS segera menyusun PerKDH tersebut.
Referensi Dasar Hukum :
1. PP 58/2005
2. PP 24/2005
3. Permendagri 13/2006
4. Permendagri 59/2007
5. Permendagri 21/2011
6. Permendagri 22/2011
7. Permendagri 32/2011
Program dan kegiatan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan salah satunya adalah
dengan menganggarkan belanja daerah dalam bentuk hibah dan bantuan sosial. Dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pedoman
Pengelolaan keuangan Daerah (PMDN 13 Tahun 2006) menyebutkan bahwa tujuan belanja
daerah hibah dan bantuan sosial merupakan program yang bertujuan untuk :
1. Menunjang peningkatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah.
2. Menunjang peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
3. Menunjang peningkatan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan layanan dasar umum.
4. Meningkatkan partisipasi penyelenggaraan pembangunan daerah atau secara fungsional
terkait dengan dukungan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Belanja hibah dan bantuan sosial tersebut ditetapkan melalui regulasi yaitu Peraturan Daerah
(Perda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran yang ditetapkan
dalam APBD yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan bertujuan untuk
merencanakan kegiatan dan program yang akan dilaksanakan
Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan dalam Pasal 27 ayat (7) PP 58 Tahun 2005
disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari :
1. Belanja pegawai;
2. Belanja barang dan jasa;
3. Belanja modal;
4. Bunga; subsidi;
5. Hibah;
6. Bantuan sosial;
7. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan belanja tidak terduga.
Pemerintah Daerah dalam rangka mengatasi kerentanan sosial permasalahan yang ada
dimasyarakat salah satu cara yang diberikan adalah dengan menganggarkan belanja daerah
dalam bentuk hibah dan bantuan sosial sebagaimana terdapat dalam jenis belanja daerah yang
terdapat dalam Pasal 27 ayat (7) PP 58 Tahun 2005.
Hibah dan bantuan sosial sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (PMDN 13 Tahun 2006) beserta
perubahannya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 (PMDN 57 Tahun
2007) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 (PMDN 21 Tahun 2011) yang
menyebutkan bahwa pemerintah daerah dapat menganggarkan dana hibah dan bantuan sosial
dalam belanja daerah yaitu klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan yang mempunyai
tujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dan untuk melindungi
dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Pasal 37 PMDN 13 Tahun 2006 dan perubahannya menyebutkan bahwa hibah dan bantuan
sosial merupakan belanja daerah kelompok belanja tidak langsung yang dianggarkan tidak
terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Pedoman Pemberian hibah
dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD yang dianggarkan dalam belanja daerah telah
diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 (PMDN 32 Tahun 2011) Jo.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012 (PMDN 39 Tahun 2012) tentang
Pedoman Pemberian hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah yang dibentuk oleh pemerintah mempunyai maksud agar tercipta tertib
administrasi, akuntabilitas dan transparansi pengelolaan hibah dan bantuan sosial yang
diberlakukan untuk semua pemerintah daerah
Untuk dapat menganggarkan belanja hibah dan bantuan sosial dalam perda APBD, PMDN 32
Tahun 2011 dan PMDN 39 Tahun 2012 mengharuskan kepada daerah untuk membuat suatu
regulasi dalam bentuk peraturan kepala daerah tentang mekanisme pemberian hibah dan
bantuan sosial.

Anda mungkin juga menyukai