PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Suatu perjanjian dapat dilakukan dengan baik apabila semua pihak telah melakukan
prestasinya masing-masing sesuai dengan yang telah diperjanjikan tanpa ada yang dirugikan. Tapi
adakalanya perjanjian yang telah disetujui tidak berjalan dengan baik karena adanya wanprestasi
dari salah satu pihak. Dari adanya wanprestasi tersebut akan mengalami beberapa kendala yang
nantinya akan terjadi, contohnya seperti terjadi kerugian kecil maupun besar. Oleh karena itu orang
yang melakukan wanprestasi akan menanggung resiko-resiko yang harus ditanggung, seperti
mengganti kerugian yang telah disebabkan olehnya, maupun pembatalan perjanjian yang telah
disepakati tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Agar makalah ini tidak melenceng dari materi yang diberikan yaitu wanprestasi, oleh sebab
itu penulis membatasi masalah yang akan dibahas pada makalah ini. Yaitu:
1) Apa pengertian dari wanprestasi?
2) Bagaimana bentuk-bentuk presentasi?
3) Bagaimana awal terjadinya wanprestasi?
4) Apa saja sanksi-sanksi yang harus diberikan kepada debitur?
5) Apa saja pembelaan para Debitur agar tidak dituntut?
6) Bagaimana contoh kasus wanprestasi?
1.3 Tujuan
Makalah ini memiliki tujuan agar mahasiswa/ pembaca dapat memahami tentang
wanprestasi, bentuk-bentuk dari wanprestasi, sanksi-sanksi yang diberikan kepada debitur yang
telah melakukan wanprestasi, pembelaan yang dapat dilakukan debitur agar tidak dituntut oleh
pihak lain, serta keadaan memaksa.
BAB II
PEMBAHASAN
Seringnya hal-hal yang menjadi persoalan dalam hokum perjanjian adalah pengingkaran
atau kelalaian seorang debitur kepada kreditur, atau pemenuhan janji yang dilakukan oleh debitur.
Dalam hukum perdata, keduanya disebut dengan prestasi bagi yang memenuhi janji dan
wanprestasi bagi yang tidak memenuhi janji. Riduan Syahrani mendefinisikan bahwa prestasi
adalah suatu yang wajib dan harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi
adalah objek perikatan, sehingga dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu
disertai jaminan harta kekayaan debitor. Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata dinyatakan bahwa harta
kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun
yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditur. Namun, jaminan umum
tersebut dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam
perjanjian antarpihak.
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi artinya
tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban
oleh debitor karena dua kemungkinan alasan:
Untuk menentukan apakah seorang debitor bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan
dalam keadaan bagaimana debitor dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Menurut
Pasal 1234 KUHPerdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan
sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, sebaliknya dianggap wanprestasi
apabila seseorang:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
3) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
4) Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya
Selain itu, terdapat beberapa pandangan menurut para ahli tentang pengertian wanprestasi,
diantaranya:
Wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal
yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali daslam bahasa
Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan
pelaksanaannya janji untuk wanprestasi.
b) Prof. R. Subekti, SH
Wanprestsi itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:
d) M.Yahya Harahap.
Wanprestasi dapat dimaksudkan juga sebagai pelaksanaan kewajuban yang tidak tepat
pada waktunya atau dilaksankan tidak selayaknya.
2.2 Bentuk-bentuk Wanprestasi
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur
tidak memenuhi prestasi sama sekali. Contoh: A dan B telah sepakat untuk jual-beli motor
dengan merek Snoopy dengan harga Rp 13.000.000,00 yang penyerahannya akan
dilaksanakan pada Hari Minggu, Tanggal 25 Oktober 2011 pukul 10.00. Setelah A menunggu
lama, ternyata si B tidak datang sama sekali tanpa alasan yang jelas.
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap
memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Contoh: (Konteks contoh nomor 1). Si B
datang tepat waktu, tapi membawa motor Miu bukan merk Snoopy yang telah diperjanjikan
sebelumnya.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat
diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali. Contoh:
(Konteks contoh nomor 1). Si B datang pada hari itu membawa motor Snoopy, namun datang
pada jam 14.00.
Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu
apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata
debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak
ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan
wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat
peringatan tersebut disebut dengan somasi. Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari
kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi
seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu. Menurut pasal
1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat
perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri,
ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan. Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi
apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
Praktek hukum perikatan di dalam masyarakat, untuk menentukan sejak kapan seorang
debitur wanprestasi terkadang tidak selalu mudah, karena kapan debitur harus memenuhi prestasi
tidak tidak selalu ditentukan dalam perjanjian. Dalam perjanjian jual beli, sesuatu barang, mislnya,
tidak ditetapkan kapan penjual harus menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli, dan
kapan pembeli harus membayar harga barang yang dibelinya kepada penjual.
Lain hal dalam menetapkan kapan debitur wanprestasi pada perjanjian yang prestasinya
untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya untuk tidak membangun tembok yang tingginya lebih dari
dua meter, sehingga begitu debitur membangun tembok yang tingginya lebih dua meter, sejak itu
debitur dalam keadaan wanprestasi.
Perjanjian yang prestasinya untuk memberi sesuatu atau untuk berbuat sesuatu, yang tidak
menetapkan kapan debitur harus memenuhi prestasi tersebut, sehingga untuk memenuhi prestasi
tersebut, debitur harus lebih dahulu diberi teguran (somasi) agar debitur memenuhi kewajibannya.
Jika dalam prestasi tersebut dapat seketika dipenuhi, misalnya penyerahan barang yang
dijual dan barang yang akan diserahkan sudah ada, pprestasi tersebut dapat ditunut supaya
dipenuhi seketika. Akan tetapi, jika prestasi dalam perjanjian tersebut tidak dapat dipenuhi
seketika, misalnya barang yang harus diserahkan masih belum berada di tangan debitur, kepada
debitur (penjual) diberi waktu yang pantas untuk memenuhi prestasi tersebut.
Tentang bagaimana cara memberikan teguran (somasi) terhadap debitur agar jika debitur
tidak memenhui teguran itu dapat dikatakan wanprestasi, diatur dalam Pasal 1238 BW yang
menentukan, bahwa teguran itu harus dengan surat perintah atau dengan akta sejenis.
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi
ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu
seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu dengan kata lain somasi adalah peringatan agar
debitur melaksanakan kewajibannya sesuai dengan tegoran kelalaian yang telah disampaikan
kreditur kepadanya.
Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu
telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang
harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi
apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
2) Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan
kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian
dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan
peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu, somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur
melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn),
prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
Tidak dipenuhinya perikatan yang diakibatkan oleh kelalaian debitur atau wanprestasi
sebagai akibat situasi dan kondisi yang resikonya ada pada diri debitur menimbulkan beberapa
akibat. Akibat-akibat wanprestasi adalah:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan
ganti-rugi.
Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur:
a) Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan
oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian
dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut
tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya
adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.
b) Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang
diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh
pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot rumah.
c) Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan
atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut
sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsur, yaitudommages et interests.
Dommages meliputi biaya dan rugi seperti dimaksudkan di atas, sedangkan interest adalah sama
dengan bunga dalam arti kehilangan keuntungan.
Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan yang
merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi.
Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya
harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian
itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya.
Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan mengenai
bunga moratoir. Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah uang, maka kerugian yang
diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu terlambat, adalah berupa interest, rente atau bunga.
Perkataan moratoir berasal dari kata Latin mora yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi
bunga moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau
lalai membayar utangnya, ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga bunga tersebut baru dihitung
sejak dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat gugatan.
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum
perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik
dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik
uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan.
Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPer yang
mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi: Syarat batal dianggap selamanya
dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun
syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat
batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si
tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya,
jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan.
Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis
walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak
bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan hakim tidak
berbunyi Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan tergugat melainkan,
Membatalkan perjanjian.
Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya : kekuasaan untuk menilai besar
kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang
mungkin menimpa si debitur itu. Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil,
sedangkan pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka
permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut pasal 1266 hakim
dapat memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi kewajibannya. Jangka
waktu ini terkenal dengan nama terme de grace.
3. Peralihan Risiko
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 KUHPer.
Yang dimaksudkan dengan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu
peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Menurut pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada
si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan
barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si pembeli kepada si
penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih kepada dia.
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang
lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan
diwajibkan membayar biaya perkara.
Menurut pasal 1267 KUHPer, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk
melakukan :
a) pemenuhan perjanjian
b) pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi
c) ganti rugi saja
d) pembatalan perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi.
2.5 Pembelaan Debitur agar tidak dituntut
Salah satu contoh kasus wanprestasi adalah sebagaimana yang dilakukan oleh salah
seorang artis, Cinta Laura. Kasus tersebut bermula dari ketidakpuasan pihak MD Entertaiment
karena beranggapan bahwa pihak Cinta Laura menyalahi klausial kontrak. Cinta Laura yang
awalnya terikat perjanjian dengan pihak MD Entertaiment pada pertengahan Mei 2006, untuk
pembuatan sinetron serial bertajuk Bidadari, dalam kontrak tersebut disebutkan, kontrak dianggap
mulai berlaku jika syuting Bidadari dimulai.
KESIMPULAN
3.1 Wanprestasi merupakan debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta
sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini
mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan
3.3 Mulai berlakunya wanprestasi dapat terjadi ketika pihak yang melanggar janji tidak
mengindahkan somasi yang dilontarkan oleh pihak yang dirugikan.
c. Jika perikatan timbul dari suatu persetujuan timbal balik , maka pihak kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajiban melakukan kontraprestasi melalui cara Pasal 1302 BW
atau melalui exceptio non adimpleti contractus menangkis tuntutan debitur untuk
memenuhi perikatan.
3) Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi
3.6 Salah satu contoh kasus wanprestasi adalah sebagaimana yang terjadi antara Cinta Laura
dengan pihak MD Entertaiment, karena pihak Cinta Laura tidak memenuhi kontrak yang
seharusnya syuting sebanyak 316 episode, namun Cinta Laura hanya melakukan syuting sebanyak
310 episode. Walaupun akhirnya pengadilan memenangkan pihak Cinta Laura.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rosyid Sulaiman, SH., MM. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh
Kasus. Prenada Media, Jakarta, 2005.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014.