Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Semua subjek hukum baik manusia atau badan hukum dapat membuat
suatu persetujuan yang menimbulkan prikatan diantara pihak-pihak yang
membuat persetujuan tersebut. Persetujuan ini mempunyai kekuatan yang
mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut sebagai mana
yang diatur di dalam pasal 1338 KUH Perdata.
Perikatan yang bersifat senantiasa menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif.
Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut pemenuhan prestasi,
sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk
melaksanakan prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan kontra
prestasi akan saling bertukar, namun pada waktu tertentu pertukaran akan
prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang
disebut wanprestasi. Pelanggaran hak-hak kontraktual tersebut menimbulkan
kewajiban ganti rugi berdasarkan wanprestasi.
Suatu perjanjian dapat dilakukan dengan baik apabila semua pihak telah
melakukan prestasinya masing-masing sesuai dengan yang telah diperjanjikan
tanpa ada yang dirugikan. Tapi adakalanya perjanjian yang telah disetujui tidak
berjalan dengan baik karena adanya wanprestasi dari salah satu pihak. Dari
adanya wanprestasi tersebut akan mengalami beberapa kendala yang nantinya
akan terjadi, contohnya seperti terjadi kerugian kecil maupun besar. Oleh
karena itu orang yang melakukan wanprestasi akan menanggung resiko-resiko
yang harus ditanggung, seperti mengganti kerugian yang telah disebabkan
olehnya, maupun pembatalan perjanjian yang telah disepakati tersebut.
Terkait dengan kegagalan perjanjian, dapat terjadi karena faktor internal
para pihak maupun faktor eksternal yang berpengaruh terhadap eksistensi
perjanjian yang bersangkutan. Dalam pembahasan ini kegagalan pelaksanaan
pemenuhan kewajiban dalam suatu perikatan disebabkan karena wanprestasi.
makalah ini akan membahas dari mulai pengertian wanpresatsi serta akibt
hukum dari prestasi.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wanprestasi
Perjanjian akan menimbulkan suatu perikatan yang dalam kehidupan sehari-
hari sering diwujudkan dengan janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis. Hubungan hukum dalam perjanjian bukanlah hubungan hukum yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang berkeinginan untuk menimbulkan hubungan
hukum tersebut.1 Dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang akan
menimbulkan prestasi, apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dalam
perjanjian akan menimbulkan ingkar janji (wanprestasi) jika memang dapat
dibuktikan bukan karena overmacht atau keadaan memaksa.2 Istilah mengenai
wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu ingkar janji, cidera janji,
melanggar janji, dan lain sebagainya.
Istilah wanprestasi atau yang dalam ranah hukum perdata di Indonesia
sering disebut dengan ingkar janji atau cidera janji berasal dari bahasa Belanda
yaitu dari kata ‘wan’ yang artinya tidak ada, kata ‘prestasi’ yang diartikan
prestasi/kewajiban. Jadi wanprestasi berarti prestasi buruk atau tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana yang telah diperjanjikan. Selain itu bisa juga diartikan
ketiadaan suatu Prestasi.3
Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang artinya prestasi
buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau
lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. 4 Apabila si berutang (debitur)
tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan
“wanprestasi. ia alpa atau “lalai” atau ingkar janji. Atau juga ia melanggar
perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh
dilakukannnya.5 Dengan adanya bermacam-macam istilah mengenai wanprestsi

1
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika (Jakarta : PT. Raja Gravindo Persada,
2004), h. 216
2
Nindyo Pramono, Hukum Komersil (Jakarta : Pusat Penerbitan UT, 2003), h. 221
3
Subekti, Hukum Perjajnjian, (Jakarta:Intermasa, 1984), h.45
4
Abdul R Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia ( Jakarta : Kencana, 2 0 0 4 ) , h. 15
5
Subekti, Hukum Perjanjian, cet. ke-19 ( Jakarta: Intermasa,2002), h. 45

2
ini, ada beberapa sarjana yang memberi pendapat tentang pengertian mengenai
wanprestsi tersebut.
Menurut Gunawan wijaya dan Kartika Muljadi setiap pelaksanaan prestasi
yang tidak baik, prestasi yang buruk, prestasi yang tidak memadai, prestasi yang
tidak beres disebut dengan wanprestasi, yang berarti prestasi yang tidak dipenuhi
dengan baik.6 Wanprestasi berarti suatu keadaan yang menunjukkan debitur tidak
berprestasi (tidak melaksanakan kewajibannya) dan dia dapat dipersalahkan.7
Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa apabila debitur “karena
kesalahannya” tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu
wanprestasi atau cidera janji. Kata karena salahnya sangat penting, oleh karena
debitur tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena
salahnya.8
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan
suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus
dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam Bahasa Indonesia
dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan
pelaksanaannya janji untuk wanprestasi.”.9
Menurut M.Yahya Harahap bahwa “wanprestasi” dapat dimaksudkan juga
sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksanakan
tidak selayaknya.10 Artinya apabila salah satu tidak pihak tidak melaksanakan atau
melanggar isi perjanjian maka telah melakukan perbuatan wanprestasi.
Sehubungan dengan pembahasan mengenai wanprestasi tersebut diatas,
perlu diperhatikan bahwa wanprestasi memiliki makna yang lebih luas dari cidera
janji, sebagaimana juga telah dipergunakan secara luas dikalangan praktisi hukum
yang disandingkan dengan istilah wanprestasi.11

6
Gunawan Wijaya dan Kartini Muljadi, Hapusnya Perikatan (Jakarta: PT. Raja grafindo
Persada, 2003), h. 87
7
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2003), h. 341
8
Subekti, Hukum Perjanjian, cet. Ke-4 (Jakarta: Pembimbing Masa, 1979), h. 59
9
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian (Bandung: Sumur,1999), h.17
10
Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1982), h. 60
11
Gunawan Wijaya dan Kartini Muljadi, Hapusnya Perikatan (Jakarta: PT. Raja grafindo
Persada, 2003), h. 86

3
Menurut Wawan Muhwan Hariri wanprestasi artinya tidak memenuhi
sesuatu yang diwajibkan oleh debitur disebabkan dua kemungkinan alasan,
yaitu :12
1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban
maupun karena kelalaian.
2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majure artinya diluar
kemampuan debitur.

Dengan demikian bahwa dalam setiap perikatan yang berprestasi merupakan


suatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi merupakan
isi dari suatu perjanjian dalam perikatan, apabila debitur tidak memenuhi prestasi
sebagaimana yang telah ditentukan dalam isi perjanjian maka dikatakan
wanprestasi. Begitu juga dalam hukum Islam dalam cabang fiqh muamalah juga
mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta adanya
keadaan memaksa. dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik ketika
akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Wanprestasi
memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa
konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak
yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum
diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi
tersebut.

B. Terjadinya Wanprestasi
Perikatan lahir karena adanya suatu perjanjian. dari perjanjian inilah para
pihak berjanji akan berpertasi. Namun, perjanjian dapat terlaksana dengan baik
apabila para pihak telah memenuhi prestasinya berdasarkan kesepakatan yang
telah dipertanggung jawabkan. Tidak terlaksananya dengan baik suatu perjanjian
itu karena tidak berprestasinya salah satu pihak atau debitur. Untuk
mengatakan bahwa debitur salah dan melakukan wanprestasi dalam suatu

12
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan ( dilengkapi hukum perikatan dalam Islam),
(Bandung: Cv. Pustaka Setia), h. 103

4
perjanjian, tidaklah mudah. Hal sulit untuk menyatakan wanprestasi karena
tidak dengan mudah dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan
melakukan prestasi yang diperjanjikan. wanprestasi terjadi karena debitur tidak
memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Telah dikemukakan
diatas bahwa Tidak terpenuhinya kewajiban oleh debitur itu ada beberapa
kemungkinan alasannya, yaitu Kesalahan debitor yang disebabkan karena
kesengajaan atau kelalaian dan Keadaan memaksa (overmacht atau force
majeur);
1. Karena kesalahan Debitur
Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena kesengajaan, kelalaian
dan tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian). Kesalahan disini
adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian. Kita katakan orang
mempunyai kesalahan dalam peristiwa tertentu, kalau ia sebenarnya dapat
menghindarkan terjadinya peristiwa yang merugikan itu, baik dengan tidak
berbuat atau berbuat yang lain, dan timbulnya kerugian itu dapat
dipersalahkan kepadanya sudah tentu kesemuanya dengan
memperhitungkan keadaan dan suasana pada saat peristiwa itu terjadi.13
Dalam hal kesengajaan, maka timbulnya kerugian memang
dikehendaki; bahwa disini orang melakukan suatu tindakan atau
mengambil suatu sikap yang menimbulkan kerugian, memang diniati dan
dikehendaki. Harap waspada,bahwa tidaklah diisyaratkan bahwa debitur
bertujuan untuk merugikan kreditur mungkin sekali bukan maksud debitur,
tetapi kalau kenyataannya menimbulkan kerugian bagi kreditur jadi
sekalipun bukan tujuannya dan ia tahu dan memang menghendaki tindakan
dan timbulnya kerugian, maka di sana tetap ada unsur kesengajaan. 14
2. Karena keadaan memaksa
Karena keadaan memaksa (overmacht/Force Majure), diluar
kemampuan debitur,debitur tidak bersalah. Keadaan memaksa ialah keadaan
tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur karena terjadi suatu
13
Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, cet. Ke-3 (Bandung: Alumni,
1999), h. 90
14
Ibid., 95

5
peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat
diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan.15 Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan
karena keadaan memaksa tersebut timbul diluar kemauan dan kemampuan
debitur.
Wanprestasi yang diakibatkan oleh keadaan memaksa bisa terjadi
karena benda yang menjadi objek perikatan itu binasa atau lenyap, bisa juga
terjadi karena perbuatan debitur untuk berprestasi itu terhalang seperti yang
telah diuraikan diatas. Keadaan memaksa yang menimpa benda objek
perikatan bisa menimbulkan kerugian sebagian dan dapat juga menimbulkan
kerugian total. Sedangkan keadaan memaksa yang menghalangi perbuatan
debitur memenuhi prestasi itu bisa bersifat sementara maupun bersifat
tetap. 16
Unsur-unsur keadaan memaksa, terdapat dalam pasal 1244 BW yang
berbunyi : " jika ada alasan untuk itu siberhutang harus dihukum mengganti
biaya, rugi dan bunga, bila tidak membuktikan bahwa hak tidak
dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian
itu,, disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk
tidak ada pada pihaknya”17
Menurut undang-undang ada 3 unsur yang harus dipenuhi untuk
keadaan memaksa yaitu:18
a. Tidak memenuhi prestasi
b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur
c. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggung jawabkan kepada debitur.

15
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010),
hal. 27
16
Ibid.,h. 27
17
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, h. 324
18
Mariam Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001),h. 25

6
Unsur-unsur keadaan memaksa itu ialah “adanya hal yang tidak terduga
dan yang tidak dapatdipertanggung jawabkan” kepada seseorang. Sedangkan
yang bersangkutan dengan segala daya berusaha secara patut memenuhi
kewajibannya. Dengan demikian hanya debiturlah yang dapat mengemukakan
adanya keadaan memaksa, apabila setelah dibuat suatu perjanjian, timbul suatu
keadaan yang tidak diduga-duga akan terjadi, dan keadaan itu tidak dapat
dipertanggung jawabkan kepadanya.19

C. Wujud Wanprestasi
Menurut ketentuan pasal 1234 KUHPdt ada tiga kemungkinan wujud atau
bentuk prestasi yaitu:
a. Memberikan sesuatu. Menurut Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata,
menjelaskan pengertian memberikan sesuatu adalah menyerahkan
kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur atau
sebaliknya. Contohnya : dalam jual beli, sewa-menyewa, hibah, gadai,
hutang-piutang.
b. Melakukan sesuatu. Dalam perikatan yang objeknya “melakukan sesuatu”,
debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam
perikatan, contoh : membangun rumah / gedung, mengosongkan rumah,
dan menyimpan rahasia perusahaan.
c. Tidak melakukan sesuatu. Dalam perikatan yang objeknya “tidak
melakukan sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah
ditetapkan dalam perikatan, contohnya: tidak melakukan persaingan
curang, dan tidak menggunakan merek orang lain.20
Sedangkan menurut Mariam Badrulzaman Adapun wujud dari tidak
memenuhi perikatan itu ada 3 macam, yaitu:21
- Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan.
- Debitur terlambat memenuhi perikatan
- Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan
19
Ibid., h. 26
20
Muhammad Abdulkadir, op,cit. h. 239
21
Mariam Badrulzaman, op.cit, h. 19

7
Ada pendapat lain mengenai wujud dari wanprestasi seperti Menurut
Kartini Muljadi dan Gunawan, Bentuk ketiadalaksanaan ini dapat terwujud dalam
bentuk, yaitu:22
1. Debitur sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya.
Contohnya: Kreditur dan Debitur telah sepakat untuk jual-beli
sepeda motor dengan merek Honda dengan harga Rp 15.000.000,00. Dan
debitur sudah menyerahkan sejumlah uang untuk pembayaran sepeda
motor. sesaui dalam perjanjian penyerahannya akan dilaksanakan pada
Hari Rabu, Tanggal 08 November 2017 pukul 10.00. Setelah Kreditur
menunggu lama, ternyata si Debitur tidak datang sama sekali tanpa alasan
yang jelas. Dalam hal ini debitur telah wanprestasi karena dia tidak
melakukan apa yang menjadi kewajiban untuk dilakukan yaitu
menyerahkan sepeda motor kepada Kreditur sebagaimana yang sudah
disepakati/diperjanjikan.
2. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya/
melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya.
Contohnya: Konteks contoh nomor 1 Debitur datang tepat waktu
sebagaimana mestinya tapi yang ia bawa motor merk Yamaha bukan
merk Honda yang telah diperjanjikan sebelumnya. Dalam hal ini debitur
sudah wanprestasi karena melakukan yang diperjanjikan tapi tidak
sebagaimana mestinya.

3. Debitur tidak melaksanakan kewajibanya pada waktunya.


Contohnya: Debitur datang pada hari yang telah disepakati
membawa motor Honda, namun ia datang pada tidak sesusai dengan waktu
yang telah dijanjikan yaitu pada tanggal 14 November 2017. Dalam hal ini
debitur sudah wanprestasi yaitu melakukan apa yang sudah diperjanjikan
tapi terlambat atau tidak sesaui dengan waktunya.

22
Kartini muljadi dan gunawan widjaja, perikatan pada umumnya, (jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 70

8
4. Debitor melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan.
Contohnya: Debitur datang tepat waktu pukul 10.00 pada hari itu
dan membawa motor Honda, namun Debitur menyertakan orang lain
sebagai pihak ketiga yang sudah jelas-jelas dilarang dalam kesepakatan
kedua belah pihak sebelumnya.

Di dalam kenyataan sukar untuk menentukan saat debitur dikatakan tidak


memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian pihak-
pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan di
dalam perikatan di mana waktu untuk malaksanakan prestasi itupun ditentukan,
cidera janji tidak terjadi dengan sendirinya. Yang mudah untuk menentukan saat
debitur tidak memenuhi perikatan ialah pada perikatan untuk tidak berbuat
sesuatu. Apabila orang itu melakukan perbuatan yang dilarang tersebut maka ia
tidak memenuhi perikatan.23

D. Akibat Wanprestasi
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang
melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang
dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan
ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu piha\jhukarena
wanprestasi tersebut.
Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi berupa ganti
rugi, pembatalan kontrak, peralihan risiko, maupun membayar biaya perkara.
Sebagai contoh seorang debitur (si berutang) dituduh melakukan perbuatan
melawan hukum, lalai atau secara sengaja tidak melaksanakan sesuai bunyi yang
telah disepakati dalam kontrak, jika terbukti, maka debitor harus mengganti
kerugian (termasuk ganti rugi + bunga + biaya perkaranya). Ada empat akibat
adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:24
1. Perikatan tetap ada
23
Mariam Badrulzaman, op.cit., h. 19
24
Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2003),
h. 99

9
Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksana prestasi,
apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu,kreditur berhak
menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal
ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur
melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.
2. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH
Perdata);
3. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul
setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan
besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk
berpegang pada keadaan memaksa;
4. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan
menggunakan pasal 1266 KUH Perdata.

hal ini sama dengan subekti hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak
bagi debitur yang lalai ada 4 macem, yaitu:25
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti rugi
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian
3. Peralihan risiko
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

1. Kewajiban membayar kerugian


Maka Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah
diderita oleh kreditur. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.
Apakah yang dimaksud dengan ganti rugi , kapan ganti kerugian itu
timbul, dan apa yang menjadi ukuran ganti kerugian tersebut, dan bagaimana

25
Subekti, op.cit, h. 45

10
pengaturannya dalam undang-undang. Ganti rugi merupakan kewajiban pihak
yang melakukan wanprestasi untuk memberikan penggantian atas kerugian
yang telah ditimbulkannya.26
Sesuai dengan ketentuan pasal 1243 BW, ganti rugi
meliputi:“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
perikatan, abrulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan
lalai memenuhi perikatannya, tetap melalakainya, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya,hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang
waktu yang telah dilampauinya”.27
Dari pasal di atas dapat kita ketahui komponen-komponen ganti rugi
adalah:28
a. Biaya, meliputi segala biaya (cost) yang telah dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan sehubungan dengan kontrak, misalnya akomodasi, biaya notaris.
b. Rugi, pengertian rugi di sini adalah dalam arti sempit yaitu
berkurangnya nilai kekayaan dari pihak yang dirugikan karena adanya
wanpretasi dari pihak lainnya.
c. Bunga adalah dimaksudkan sebagai kekurangan yang seharusnya diperoleh
tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditor karena adanya wanprestasi
debitor.

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak


pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi
untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada
satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. 29 Ganti rugi
merupakan upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya bersifat
subsidair. Artinya, apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau
sudah tidak diharapkan lagi maka ganti rugi merupakan alternatif yang dapat

26
Nanda malia, Hukum Perikatan (Aceh: Unimal Press, 2012), h. 10
27
Subekti dan Tjitrosudiro, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
28
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial
(Jakarta:Prenada Media Group, 2013), h. 11
29
Munir fuady, hukum kontrak (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), h. 87

11
dipilih oleh kreditor.30 Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata
mengatur ketentuan tentang ganti rugi yang dapat dituntut oleh kreditor dalam
hal debitor wanprestasi. Berdasarkan Pasal 1246 KUHPerdata, ganti rugi
terdiri dari:31
a. Kerugian yang senyata-nyata diderita (biaya-biaya yang
sesungguhnya telah dikeluarkan).
b. Bunga dan keuntungan yang diharapkan.

Segala sesuatu tentang wanprestasi sudah diatur di dalam


KUHPerdata, sebagaimana telah disebutkan bahwa segala macam kerugian
yang terjadi karena wanprestasi dapat dikenai ganti rugi. Ganti rugi tersebut
dapat berupa biaya yang telah dikeluarkan, kerugian yang diderita dan
bunga yang diperjanjikan para pihak. Segala pengaturan wanprestasi dan
cara penyelesaian sudah diatur secara jelas dan rinci, tinggal bagaimana
penyelesaiannya oleh penegak hukum yang berwenang.

2. Pembatalan perjanjian
Pembatalan perjanjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali
pada keadaan sebelum perjajnjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah
menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu
harus dikembalikan.32 Pokoknya perjanjian itu ditiadakan dengan adanya
ketentuan, bahwa pembatalan perjanjian itu harus diminta kepada hakim, tak
mungkinlah perjanjian itu sudah batal secara otomatis pada waktu si Debitur
nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Kalau itu mungkin, permintaan
pembatalan kepada hakim tidak ada artinya dan disebutkan juga secara jelas,
bahwa perjanjian itu tidak demi hukum.33
Selanjutnya Pasal 1266 ayat 1 KUH Perdata menjelaskan bahwa syarat
batal dianggap perlu dicantumkan dalam perjanjian yang bertimbal balik,
30
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., h. 263
31
Jaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan
(Bandung: Nuansa Aulia, 2007Op.Cit., hlm. 101
32
Subekti, op.cit h. 49
33
Ibid., h. 50

12
manakalah salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi.
Dengan demikian menurut ketentuan dalam ayat 1 wanprestasi adalah
merupakan syarat batal. Akan tetapi, dalam pasal 1266 ayat 2 KUH Perdata
disebutkan bahwa dalam hal terjadi wanprestasi, maka perjanjian tidak batal
demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Jadi,
ketentuan pasal 1266 KUH Perdata sudah mengandung kontroversi.34 kalau
perjanjian itu berupa perjanjian timbal balik, maka berdasarkan pasal 1266
sekarang kreditur berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau
tanpa disertai dengan tuntutan ganti rugi.
Kemudian Bunyi pasal 1267 KUH Perdata adalah sebagai berikut: “Pihak
terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu
masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi
perjanjian ataukah akan menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian
biaya, kerugian, dan bunga,”35

3. Peralihan Resiko
Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (pasal
1237 ayat 2 KUHPerdata). Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk
memberikan sesuatu. Pasal 1237 KUHPerdata :“Dalam hal adanya perikatan
untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak
perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang”.36
Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat
kelalaiannya, kebendaan adalah atas tanggungannya. Berdasarkan pasal ini
dapat kita lihat bahwa kelalaian debitur dalam menyerahkan kebendaan
mengalihkan resiko menjadi atas tanggungannya.
Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur
disebutkan dlam pasal 1237 ayat 2 KUH Perdata. Yang dimaksudkan dengan
risiko, adalah kewajiban untuk memikuli kerugian jika terjadi suatu peristiwa
diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek
34
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus (Jakarta: Kencana, 2004), h. 63
35
Kitab Undang-Undang KUH Perdata
36
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

13
perjanjian.37 Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1236 dan 1243 dalam
hal debitur lalai untuk memenuhi kewajiban perikatannya kreditur berhak
untuk menuntut penggantian kerugian, yang berupa ongkos-ongkos, kerugian
dan bunga. Selanjutnya pasal 1237 mengatakan, bahwa sejak debitur lalai,
maka resiko atas objek perikatan menjadi tanggungan debitur.

E. Penyelesaian sengketa wanprestasi di Pengadilan


Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka
harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berutang melakukan wanprestasi atau
lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, maka harus dibuktikan di muka hakim. 38
Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran,maka dapat diajukan
gugatan wanprestasi, karena ada hubungan kontraktual antra pihak yang
menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian. Tujuan gugatan
wanprestasi adalah untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya
perjanjian tersebut terpenuhi (put the plaintiff to the position if he would have
been in had the contract been performed).39
Pada umumnya, suatu wanprestasi baru terjadi jika debitur dinyatakan telah
lalai untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada kalau
debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu di luar
kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Apabila dalam pelaksanaan
pemenuhan prestasi tidak ditentukan tenggang waktunya, maka seorang kreditur
dipandang perlu untuk memperingatkan/menegur debitur agar ia memenuhi
kewajibannya. Teguran ini disebut dengan sommatie (Somasi atau
ingebrekestilling).
Somasi adalah teguran dari kreditor kepada debitor agar dapat memenuhi
prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antar keduanya.
Ketentuan somasi diatur dalam pasal 1238 dan 1243 KUH Perdata. Ada tiga cara
terjadinya somasi, antara lain:40
37
Subekti., op.cit., h. 52
38
Salim, op.cit., h.96
39
Suharnoko, op.cit., h. 116
40
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistm Hukum Nasional (Jakarta: Kencana, 2008),
h. 206

14
1. Debitor melaksanakan prestasi yang keliru
2. Debitur tidak memenuhi prestasi padahari yang telah dijanjikan
3. Prestasi yang dilaksanakan oleh debitor tidak lagi berguna bagi kreditor
karena kadaluarsa.

Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:41


1. Surat perintah, Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya
berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita
memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya
dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2. Akta sejenis , Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta
notaris.
3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri, maksudnya sejak pembuatan
perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.

Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang


melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk
mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut
ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis. Dalam
keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur
melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian
(fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur
mengakui dirinya wanprestasi. Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila
ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau Juru Sita. Somasi itu minimal telah
dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak
diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan
pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.

F. Wanprestasi dalam Perikatan Islam

41
Nindyo, Pramono, Hukum Komersil (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), h. 22

15
Hukum Islam sangat memperhatikan agar penyelengaraan akad diantara
manusia itu merupakan hasil keinginan dan kemauannya sendiri yang timbul dari
kerelaan dan mufakat kedua belah pihak yang mengadakan akad/perjanjian.
Sebagaimana fiman Allah dalam Q.S An-Nisa ayat 29
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Hukum Islam memiliki ketentuan yang mendasar dalam masalah perikatan
dan perjanjian yaitu dengan memberi kebebasan kepada pihak-pihak yang terlibat
untuk mengambil bentuk dari macam-macam akad yang dipilihnya. Untuk ini
segala macam cara yang menunjukkan adanya ijab dan qabul sudah dapat
dianggap akad, dan akad ini memiliki pengaruh selama diselenggarakan oleh
mereka dan memenuhi persyaratan penyelenggaraannya.
Menurut ulama fiqh, tujuan suatu akad harus sesuai dengan kehendak
syarak, sehingga apabila tujuannya adalah bertentangan dengan syarak maka
berakibat pada ketidakabsahan dari suaru perjanjian yang dbuat. Tujuan harus ada
pada saat diadakan, dapat berlangsung hingga beakhirnya akad, dan harus
dibenarkan oleh syarak.42 Untuk merealisasikan tujuan-tujuan syari’at, maka
setiap perjanjian wajib dilakukan dengan baik dan jujur serta bersih dari unsur
penipuan, pemalsuan, dan pelanggaran. Sehingga praktek muamalah dalam
Islam menjadi jalan terang yang jauh dari hal yang cacat setelah dibuatnya suatu
perjanjian.
Menurut Nasrun Haroen Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian,
baik ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum
Islam dalam cabang fiqh muamalahnya juga mengakui/mengakomodir
wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta adanya keadaan memaksa, berikut ini
disajikan pemikiran salah satu ahli fiqh muamalat Indonesia.43

42
Abdul Ghafur Anshari, Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Yogyakarta: UGM
Press,2010), h. 27-28
43
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), cet. 1, hal. 120-
121

16
Hal ini biasanya terjadi jika salah satu pihak melanggar ketentuan perjanjian
atau salah satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan perjanjian terdapat unsur
kekhilafan atau penipuan.44 kekhilafan bisa menyangkut objek perjanjian maupun
menyangkut pihaknya. Apabila salah satu pihak telah wanprestasi maka adanya
pembolehan untuk membatalkan perjanjian oleh salah satu pihak apabila pihak
lain menyimpang dari apa yang diperjanjikan adalah didasarkan kepada ketentuan
al-qur’an di antaranya QS. At-taubah ayat 7
Artinya: bagaimana bisa ada Perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya
dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah Mengadakan
Perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidilharaam45? Maka selama mereka
Berlaku Lurus terhadapmu, hendaklah kamu Berlaku Lurus (pula) terhadap
mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.
Sebagai contoh di perbankan bahwasanya musyarakah adalah suatu
kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kontrak
investasi, dimana masing-masing pihak harus memberikan kontribusi dana dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama.
Maka selanjutnya bagi mereka yang melakukan pelanggaran/cidera janji
karena tidak melakukan prestasinya, maka dikenakan sanksi kepadanya berupa
pembayaran ganti rugi kepada pihak kreditur, dan atau penahanan yang menjadi
hak miliknya sebagai suatu jaminan dari sejumlah yang dijanjikannya.
Ganti rugi sendiri dalam Islam dikenal dengan istilah Dhamman. Dalam
menetapkan ganti rugi unsur-unsur yang paling penting adalah darar atau
kerugian pada subyeknya. Darar dapat terjadi pada fisik, harta atau barang, jasa
dan juga kerusakan yang bersifat moral dan perasaan atau disebut dengan
darar adabi termasuk didalamnya pencemaran nama baik. Tolak ukur ganti rugi
baik kualitas maupun kuantitas sepadan dengan darar yang diderita pihak korban,

44
Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2013), h. 71
45
Yang dimaksud dengan dekat Masjidilharam Ialah: Al-Hudaibiyah, suatu tempat yang
terletak dekat Makkah di jalan ke Madinah. pada tempat itu Nabi Muhammad SAW Mengadakan
Perjanjian gencatan senjata dengan kaum musyrikin dalam masa 10 tahun.

17
walaupun dalam kasus-kasus tertentu pelipatgandaan ganti rugi dapat dilakukan
sesuai dengan kondisi pelaku.46
Adapun menurut fathurahman djamal, pembatalan/pemutusan akad dapat
terjadi dengan sebab-sebab berikut:47
a. Adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’,seperti terdapat kerusakan
dalam akad (fasadal-‘aqad). misalnya, jual beli barang yang tidak
memenuhi kejelasan (jahalah) dan tertentu waktunya (mu’aqqat).
b. Adanya kiyar, baik khiyar rukhyar, khiyar ‘aib, khiyar syarat. atau khiyar
majelis.
c. Adanya penyelesaian dari salah satu pihak (iqalah). salah satu pihak yang
berakad dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merana
menyesal atas akad yang baru saja dilakukan.

BAB III
PENUTUP
1. Wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau
kesalahannya, sehingga debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti
yang telah yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam
keadaan yang memaksa. Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban
yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh
debitur karena dua kemungkinan alasan yaitu:
a. Karena kesalahan debitur,
b. Karena keadaan memaksa (force majeure).

46
Asmuni A. Rahmad, Ilmu Fiqh 3 (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf direktorat
Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2007), h.120
47
ibid., 71-72

18
2. Akibat hukum atau sanksi hukum bagi debitur yang telah melakukan
wanprestasi ialah sebagai berikut:
a. Kewajiban membayar ganti rugi yang diderita oleh kreditur (pasal
1243 KUHPdt)
b. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat meminta
pembatalan perjanjian melalui pengadilan (pasal 1266 KUHPdt)
c. Terjadinya peralihan resiko (pasal 1237 ayat 2)
3. Jika debitur lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan
dalam perikatan maka cara untukmengingatkan debitur ada 2 cara :
a. peringatan tertulis (melalui pengadilan yang berwenang disebut
Sommatie
b. peringatan tidak tertulis (surat tercatat, surat peringatan didebut
ingebreke stelling)
4. Menurut Nasrun Haroen Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian,
baik ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum
Islam dalam cabang fiqh muamalahnya juga mengakui/mengakomodir
wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta adanya keadaan memaksa.

DAFTAR PUSTAKA

A. Rahmad, Asmuni. Ilmu Fiqh 3. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf


direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2007.
Abdulkadir, Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2010.
Badrulzaman, Mariam. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2001.
Fuady, Munir. hukum kontrak. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.
Ghafur Anshari, Abdul. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Yogyakarta: UGM
Press,2010.
19
Harahap, Yahy. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni, 1982.
Haroen. Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Makarim, Edmon. Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta : PT. Raja Gravindo
Persada, 2004.
Malia, Nanda. Hukum Perikatan. Aceh: Unimal Press, 2012.
Mardani. Hukum Perikatan Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,2013.
Muhwan Hariri, Wawan. Hukum Perikatan (dilengkapi hukum perikatan dalam
Islam). Bandung: Cv. Pustaka Setia.
Muljadi, Kartini dan gunawan widjaja. Perikatan pada umumnya. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003
Pramono, Nindyo. Hukum Komersil. Jakarta : Pusat Penerbitan UT, 2003.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur,1999.
R Saliman, Abdul. Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Jakarta : Kencana, 2004.
S. Meliala, Jaja. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum
Perikatan. Bandung: Nuansa Aulia, 2007.
Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar
Grafika, 2003
Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, cet. Ke-3. Bandung:
Alumni, 1999.
Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Jakarta:
Pradnya Paramita, 2003.
Subekti. Hukum Perjanjian. cet. ke-19. Jakarta: Intermasa,2002.
Subekti. Hukum Perjanjian. cet. Ke-4. Jakarta: Pembimbing Masa, 1979.
Subekti. Hukum Perjajnjian. Jakarta:Intermasa, 1984.
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana, 2004.
Triwulan Tutik, Titik. Hukum Perdata dalam Sistm Hukum Nasional. Jakarta:
Kencana, 2008.
Wijaya, Gunawan dan Kartini Muljadi. Hapusnya Perikatan. Jakarta: PT. Raja
grafindo Persada, 2003.
Yudha Hernoko, Agus. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial. Jakarta: Prenada Media Group, 2013.

20

Anda mungkin juga menyukai