IKTERUS NEONATORUM
I. Defenisi
Ikterus berarti jaringan tubuh berwarna kekuning-kuningan, meliputi kekuning-kuningan
pada kulit dan jaringan dalam yang ditandai dengan perubahan warna pada plasma, kulit, dan
selaput lendir menjadi kuning oleh karena peningkatan kadar bilirubin dalam serum.
Konsentrasi bilirubin plasma normal, meliputi hampir seluruhnya bentuk bebas, rata-rata
0,5 mg/dL plasma. Kulit biasanya mulai tampak kuning bila konsentrasinya meningkat kira-kira
tiga kali normal yaitu, diatas 1,5 mg/dL.8 Pada neonatus secara klinis ikterus akan tampak bila
konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL.9 Warna tersebut timbul sebagai akibat penimbunan
pigmen bilirubin indirek yang larut dalam lemak kulit. Pigmen ini terbentuk dari haemoglobin
oleh karena kerja heme oksigenase, biliverdin reduktase dan zat pereduksi nonenzimatik, yang
terdapat dalam sel RES, sebagian terjadi akibat penumpukkan pigmen hasil perubahan dalam
sel mikrosom hati oleh enzim UDPGA menjadi bilirubin yang larut dalam air. Bentuk yang
indirek bersifat neurotoksik pada bayi yang menyebabkan Kernikterus.
Ikterus dapat ditemukan selama minggu pertama kehidupan pada sekitar 60% bayi cukup
bulan dan 80% bayi kurang bulan. Ikterus yang ditemukan pada bayi baru lahir dapat
merupakan suatu gejala fisiologis (terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi
lagi pada neonatus kurang bulan) atau dapat merupakan hal yang patologis misalnya pada
inkompatibilitas Rhesus dan ABO, sepsis, galaktosemia, penyumbatan saluran empedu dan
sebagainya.
Ikterus fisiologis ialah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak
mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau
mempunyai potensi menjadi 'kemikterus' dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus patologis ialah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar
bilirubin dalam darah > 13 mg/dL.9
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem
retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi
daripada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin
indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna
diazo (reaksi Hymans van den Bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam
lemak.
2. Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin. Sel parenkim hepar mempunyai cara
yang selektif dan efektif mengambil bililirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui
membran sel kedalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Di dalam sel bilirubin akan terikat
terutama pada ligandin (protein Y, glutation S-transferasc B) dan sebagian kecil pada
glutation S-transferase lain dan protein Z (WolkofTdkk., 1978). Proses ini merupakan proses
2 arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam
hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit dikonjugasi dan diekskresi ke
dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligandin mengikat bilirubin sedangkan albumin
tidak (Listowsky dkk., 1978). Pernberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligandin dan
memberi ternpat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin (WolkofTdkk., 1978).
3. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronide
walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Glukoronil transferase
merobah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide. Ada 2 enzim yang terlibat dalam
sintesis bilirubin diglukoronide. Pertama-tama ialah uridin difosfat glukoronide transferase
(UDPG:T) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan
ekskresi diglukoronide terjadi di membran kanalikulus. Isomer bilirubin yang dapat
membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi langsung ke dalam
empedu tanpa konjugasi misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto).
Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak FK-UNSYIAH 2
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan
diekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk ini
tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan
direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis.
Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu,
kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh., kadar
bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan
bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke likuor
amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas
dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi
kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. Demikian
kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian hampir semua bilirubin pada janin
dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi
oleh hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat
terjadi kumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa
ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal
ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan
bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang
atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat
kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek
dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung
pada kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah
sehingga dapat dimengerti bila kadar bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan
sangat berbahaya karena bilirubinbin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel
otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan 'kernikterus' dengan pemberian albumin atau
plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal
pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai.
B. Ikterus Patologis
Ikterus dikatakan patologik jikalau pigmennya, konsentrasinya dalam serum,
waktu timbulnya dan waktu menghilangnya berbeda dari kriteria yang telah disebut pada
ikterus fisiologik. Walaupun kadar bilirubin masih dalam batas-batas fisiologik, tetapi
klinis mulai terdapat tanda-tanda kernikterus, maka keadaan ini disebut ikterus
patologik(6). Ikterus patologik dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu :7
a) Inkompatibilitas Rhesus
Penyakit ini sangat jarang terdapat di Indonesia. Penyakit ini terutama
terdapat di negeri barat karena 15 % penduduknya mempunyai golongan darah rhesus
negative. Di Indonesia dimana penduduknya hampir 100% rhesus positif, terutama
terdapat dikota besar, tempat adanya pencampuran penduduk dengan orang barat. Walaupun
demikian, kadang-kadang dilakukan tranfusi tukar darah pada bayi dengan ikterus karena
antagonismus Rhesus, di mana tidak didapatkan campuran darah dengan orang asing pada
susunan keluarga orang tuanya. Bayi rhesus positif dari rhesus negatif tidak selamanya
menunjukkan gejala klinik pada waktu lahir, tetapi dapat terlihat ikterus pada hari pertama
kemudian makin lama makin berat ikterusnya, disertai dengan anemia yang makin lama
makin berat pula. Bila mana sebelum kelahiran terdapat hemolisis yang berat maka bayi
dapat lahir dengan oedema umum disertai ikterus dan pembesaran hepar dan lien (hydrops
fetalis). Terapi ditujukan untuk memperbaiki anemia dan mengeluarkan bilirubin yang
berlebihan dalam serum, agar tidak terjadi kernikterus. 6
B3. Kernikterus
Kernikterus adalah sindroma neurologik yang timbul sebagai akibat
penimbunan bilirubin tak terkonjugasi di dalam sel-sel otak. terutama pada korpus
striatum, talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di
dasar ventrikel IV. Istilah ini mula-mula digunakan oleh Schmorl pada tahun 1904
untuk menggambarkan pewarnaan kuning pada inti sel otak yang umumnya
ditemukan pada bayi-bayi kuning yang meninggal akibat eritroblastosis yang berat.
(Oski, 1991; Bratlid, 1990). Gejala-gejala klinis kernikterus berdasarkan stadiumnya
antara lain sebagai berikut 6:
Stadium 1 : Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high
pitched cry.
Stadium 2 : Opistotonus, kejang, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata
bergerak-gerak ke atas.
Stadium 3 : Spatisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu.
Stadium 4 : Gejala sisa lanjut ; spatisitas, tuli parsial/komplit, retardasi mental,
paralisis bola mata ke atas, dysplasia mental.
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat
disusun sebagai berikut:
6. Hipoksia
7. Sferositosis, eliptositosis dan Iain-Iain.
8. Dehidrasi asidosis.
9. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan: Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak
cepat, dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala,
pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu.
III. Ikterus yang limbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu
pertama.
IV. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya.
V. Manifestasi Klinis
Bayi kelihatan berwarna kuning. Ikterus akan terlihat lebih berat bila dilihat
dengan sinar lampu. Tekan kulit dengan ringan memakai jari tangan untuk memastikan
warna kulit dan jaringan subkutan: Hari 1, tekan pada ujung hidung atau dahi; Hari 2,
tekan pada lengan atau tungkai; Hari 3 dan seterusnya tekan pada tangan dan kaki.
Ikterus biasanya mulai pada muka dan, ketika kadar serum bertambah, turun ke
abdomen dan kemudian kaki. Tekanan kulit dapat menampakkan kemajuan anatomi
ikterus (muka ~5mg/dL, tengah - abdomen ~ 15mg/dL) tetapi tidak dapat dijadikan
tumpuan untuk memperkirakan kadarnya di dalam darah. Ikterus pada bagian tengah
abdomen, tanda-tanda dan gejalanya merupakan faktor resiko tinggi yang memberi
kesan ikterus nonfisiologis, atau hemolisis yang harus dievaluasi lebih lanjut. Ikterus
akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit cenderung tampak kuning-terang atau
orange, ikterus pada tipe obstruktif (bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning
kehijauan atau keruh.2
Kadar bilirubin yang terlalu tinggi dapat menimbulkan efek toksik bilirubin yakni
neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke jaringan otak.
Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin
dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik. Bentuk akut
terdiri atas 3 tahap; tahap 1 (1-2 hari pertama): reflex isap lemah, hipotoni, kejang; tahap
2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertoni, epistotonus; tahap 3
(setelah minggu pertama) hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni,
motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan
pendengaran sensorial. 9
Terapi :
1. Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fcnobarbilal. Obat ini bekerja
sebagai 'enzyme inducer" sehingga konjugasi dapat dipcrccpat. Pengobatan dengan cara ini
tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang
berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum
mclahirkan bayi.
2. Mcmberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya ialah
pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan
plasma dengan dosis 15 - 20 ml/kgbb. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar
dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler
Sebelum dan sesudah transfusi tukar beri terapi sinar, Bila tak berhasil transfusi tukar
Observasi
Bahaya hiperbilirubinemia ialah 'kernikterus'. Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita
hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut :
Pcngaruh sinar terhadap ikterus pertama-tama diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang
perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi yang mendapat
sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan bayi
lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan penyelidikan
mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti bahwa di
samping sinar matahari, sinar lampu tertentu juga mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar
bilirubin pada bayi prematur yang diselidikinya.
Penelitian Lucey (1968) yang memperlihatkan efektivitas terapi sinar pada penderita yang
disertai kelola, mendorong secara universal penggunaan cara ini dalam menangani
hipebilirubinemia pada neonatus. Di Bagian llmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta,
Monintja dkk., (1976) juga telah membuktikan manfaat terapi ini pada penderita ikterus. Terapi
sinar ini tidak hanya bermanfaat bagi bayi kurang bulan tetapi juga efektifpada penderita
hiperbilirubinemia oleh sebab lain. Penyelidikan ke arah ini dilakukan oleh Seligman dkk. (1969)
yang telah menyelidiki efek terapi sinar terhadap 4 golongan bayi penderita hiperbilirubinemia
dengan penyebab yang berlainan. Demikian pula penelitian mengenai komplikasi pengobatan cara
ini menunjukkan efek samping yang minimal. Sampai saat ini belum pernah dilaporkan efek
jangka panjang yang berhubungan dcngan gangguan maturasi seksual ataupun efek karsinogenik
Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak FK-UNSYIAH 14
terhadap kulit penderita yang mendapatkan terapi sinar. Di pihak lain 'kernikterus' telah terbukti
menimbulkan kelainan neurologis yang nyata, di samping itu telah pula dilaporkan bahwa tingkat
bilirubin yang jauh dari kadar yang berbahaya juga dapat memperlihatkan gangguan intelektual
yang bermakna (Haris dkk., 1958); Gartner dkk., 1970;Giunta, 1972). Transfusi tukar yang
dianggap suatu tindakan efektif tidak jarang disertai penyulit yang dapat membahayakan kehidupan
bayi (Lucey, 1974). Oleh karena itu dengan mempertimbangkan hal di atas tidaklah heran bila
terapi sinar mendapatkan tempat tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada
neonates.
Pada penelitian terdahulu dilaporkan bahwa terapi sinar dengan mempergunakan kekuatan
400-500 nanometer secara in vitro dapat menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu
senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam
air (Ostrow, 1971).
Perubahan kimiawi yang terjadi dianggap karena adanya oksidasi dari bilirubin indirek
sehingga pada terapi sinar perubahan yang terjadi pada ikterus tersebut adalah akibat fotooksidasi.
Tetapi dalam penelitian klinis temyata terdapat beberapa kenyataan yang menimbulkan pertanyaan
akan kebenaran teori tersebut. Kenyataan tersebut antara lain ialah dengan ditemukannya
penurunan kadar bilirubin darah yang tidak sebanding dengan jumlah dipirol yang terjadi. Di
samping itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam
cairan empedu duodenum (Lund dkk., 1974). Pada penelitian selanjutnya ternyata bahwa pada
terapi sinar terjadi mekanisme lain yan berperan lebih penting daripada peranan
dekomposisi/fotooksidasi bilirubin di atas.
Mc Donagh dkk. (1981) melaporkan bahwa baik secara in vitro maupun in vivo, terapi
sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin indirek yang mudah larut di dalam plasma dan
lebih mudah diekskresi oleh hati ke dalam saluran empedu. Meningkatnya fotobilirubin di dalam
empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga
peristaltik usus mcningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus.
Teori fotoisomerisasi bilirubin ini ditunjang oleh penelitian lain seperti Costarino dkk.
(1983), sehingga teori ini merupakan teori yang paling banyak dianut akhir-akhir ini. Dengan
Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak FK-UNSYIAH 15
terapi sinar, energi sinar akan merubah senyawa bilirubin yang berbentuk 4Z, 15Z: bilirubin
menjadi 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomemya dan mudah larut dalam air seperti
telah diterangkan sebelumnya.
Dengan adanya kenyataan bahwa terapi sinar mempunyai manfaat yang besar dalam
pengobatan hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi dan mempunyai
komplikasi yang relatif sedikit, penggunaannya telah dilakukan secara luas walaupun cara ini tidak
dapat dipakai sebagai pengganti transfusi tukar. Tindakan transfusi tukar pada penderita
hiperbilirubinemia berat yang mempunyai risiko 'Kernikterus' tetap masih merupakan pilihan
utama. Terapi sinar dalam hal ini mempunyai peranan dalam mengurangi kemungkinan
dilakukannya transfusi tukar serta dapat pula bermanfaat dalam membantu menurunkan kadar
bilirubin setelah transfusi tukar dilakukan.
Melihat kenyataan di atas, di Bagian llmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta, terapi
sinar dilakukan terhadap penderita :
Karena terapi sinar ini mempunyai komplikasi yang relatif ketil, hendaknya perlu
diperhatikan agar tidak terjadi penggunaan yang salah dari cara ini. Untuk hal ini sebaiknya
dihindarkan usaha melakukan terapi sinar pada penderita ikterus hemolisis yang jelas memerlukan
transfusi tukar sebagai tindakan yang lebih efektif atau penggunaan yang tidak pada tempatnya
sehingga memperpanjang perawatan di rumah sakit yang tidak perlu bagi para penderita. Pada
keadaan tertentu seperti adanya asidosis, hipoksia, prematuritas, hipoalbuminemia dan Iain-lain,
kadang-kadang diperlukan pertimbangan secara individual untuk menentukan dimulai atau
dihentikannya tindakan terapi sinar untuk mencegah ataupun dimulainya tindakan yang lebih
efektif pada penderita tersebut. Demikian pula perlu diketahui bahwa terapi sinar ini tidak banyak
mempunyai manfaat pada penderita dengan gangguan motilitas usus, obstruksi usus atau saluran
Letak yang pasti tempat terjadinya proses isomerisasi bilirubin sampai saat ini belum dapat
ditentukan secara terinci. Tetapi diduga bahwa proses ini terbanyak terjadi di bagian perifer yaitu
di kulit atau kapiler jaringan subkutan. Oleh karena itu penyinaran yang optimal dari bagian kulit
penderita ikterus merupakan salah satu syarat berhasil tidaknya terapi sinar pada penderita. Untuk
mendapatkan penyinaran yang optimal tersebut bermacam-macam alat terapi sinar diperkenalkan
di dalam kepustakaan. Ebbsen dan Moller (1976) memperkenalkan alat terapi sinar yang dapat
melakukan penyinaran terhadap 2 bagian tubuh dan melaporkan bahwa alat tersebut dapat
mengurangi secara bermakna kebutuhan tindakan transfusi ganti pada penderita. Secara teknis alat
ini agak mempersulit perawatan bayi dan karenanya alat yang hanya menyinari sebagian tubuh bayi
lebih banyak digunakan saat ini. Di samping itu efek terapi sinar yang terpenting bukanlah
penyinaran dari beberapa arah tetapi jumlah energi cahaya yang dapat menyinari kulit penderita
(Tan, 1975).
Pada penyinaran searah bila energi cahaya baik, hasil penyinaran yang optimal juga akan
dapat dicapai bila bayi yang mendapat pengobatan tersebut dibaringkan pada posisi yang diubah-
ubah pada interval waktu tertentu. Pada penelitian selanjutnya terbukti bahwa energi cahaya yang
optimal dapat diperoleh dari bermacam-macam lampu neon yang ada di pasaran yang mempunyai
gelombang sinar antara 350 - 470 nanometer (Ennever, 1983). Perlu diperhatikan pula jarak antara
sumber cahaya dengan bagian tubuh yang disinari mempunyai jarak tertentu, sehingga bagian
tubuh tersebut mendapatkan energi cahaya yang optimal.
Walaupun demikian perlu ditekankan di sini bahwa dalam terapi sinar, cahaya yang
digunakan hendaknya terbatas sampai efektifitas energi dapat dicapai. Pemakaian cahaya yang
berlebihan mungkin hanya akan menimbulkan gangguan ataupun komplikasi yang tidak
diinginkan pada bayi.
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar yang perlu diperhatikan tidak saja bayinya, tetapi
juga perangkat yang dipergunakan. Hendaknya diperiksa apakah seluruh lampu telah terpasang
dengan baik. Lampu yang digunakan sebaiknya tidak dipergunakan lebih dari 500 jam, yaitu guna
menghindari turunnya energi yang dihasilkan oleh lampu yang dipergunakan.
1. Diusahakan agar bagian tubuh bayi yang kena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka
pakaian bayi.
2. Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik untuk
mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat
menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala 4-6 jam/kali.
6. Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24 jam.
7. Hemoglobin juga harus diperiksa secara berkala terutama pada penderita dengan hemolisis.
8. Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu konsumsi cairan bayi dinaikkan.
9. Lamanya terapi sinar dicatat,
Bila dalam evaluasi bayi tidak terlihat banyak perubahan dalam konsentrasi bilirubin, perlu
diperhatikan kemungkinan lampu yang tidak efektif atau adanya komplikasi pada bayi seperti
dehidrasi, hipoksia, infeksi dan gangguan metabolisme dan Iain-lain. Dalam hal ini komplikasi
tersebut harus diperbaiki.
Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi sinar,
penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi proses
tumbuh kembang bayi. Baik komplikasi segera ataupun efek Lanjut yang tcrlihat sclama ini bcrsifat
sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dcngan mcmpcrhatikan tata cara pcnggunnan terapi sinar.
Hal ini terutama akan tcrlihal pada bayi kurang bulan. Oh dkk. (1972) mclaporkan kehilangan ini dapat
meningkat 2-3 kali lebih besar dari keadaan biasa. Untuk hal ini pemberian cairan pada penderita
dengan terapi sinar perlu diperhatikan dengan scbaiknya.
Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara lain dikemukakan kare-na meningkatnya
peristaltik usus (Windorfer dkk., 1975). Bakken (1976) mengemukakan bahwa diare terjadi karena
efek sekunder yang terjadi pada pembentukan enzim laktase karena meningkatnya bilirubin indirek
pada usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare. Teori ini
masih belum dapat dibuktikan secara pasti, karenanya masih sering dipertentangkan (Chung dkk.,
1976).
3. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut' flea bite rash' di daerah muka, badan dan
ekstrcmitas. Kelainan ini scgera hilang sctclah terapi dihentikan. Pada beberapa bayi dilaporkan
pula kemungkinan terjadinya ' bronze baby syndrome' (Kopelman dkk, 1972). Hal ini terjadi
karena tu-buh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit
yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
4. Gangguan retina
Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percobaan (Noell dkk., 1966). Pcnelitian Dobson
dkk., (1975) tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi pada retina demikian pula fungsi
mata pada umumnya. Walaupun demikian penyelidikan selanjutnya masih harus terus dijalankan.
5. Gangguan pertumbuhan
Pada percobaan .binatang ditemukan gangguan pertumbuhan (Ballowics dkk., 1970). Lucey dkk..
(1972) dan Drew dkk., (1976) secara klinis tidak dapat menemukan gangguan tumbuh kembang pada
bayi yang mendapat tcrapi sinar Meskipun demikian hendaknya pemakaian terapi sinar dilakukan
dengan indikasi yang tepat selama waktu yang diperlukan.
Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan kenaikan suhu. Bila hal ini
terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan sebagian lampu yang dipergunakan.
7. Beberapa kelainan lain scperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang ditemukan pada
penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan menghilang dengan sendirinya.
8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti ialah kelainan gonad,
terjadinya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
1. Ali Sulaiman H. Pendekatan terhadap pasien ikterus, dalam buku ajar ilmu penyakit
dalam, edisi 3, jilid 1. 1996 : 233.
2. Behrman, Kliegman, Arvin. Kernikterus. Dalam : Nelson, ilmu kesehatan anak, edisi ke-
15, volume 1. Jakarta: EGC, 1999; 614.
3. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3, Balai Penerbit FK-UI, : 1101 1110.
4. Oski FA. Disorder of Bilirubin Metabolisme, Schaffer an Averys : Disease of The
Newborn. Edisi ke 6. Philadelphia. WB Saunders, 1991 : 754 761.
5. Cloherty JP, Neonatal Hyperbilirubinemia, dalam Manual Of Neonatal Care, Edisi ke 3,
Boston, Little Brown Company, 1991 : 298-299.
6. http://www.klinikmedis.com/archive/artikel/hiperbilirubinemia.pdf: akses 16 Maret 2009
7. Robbin dan Kumar. Buku ajar patologi II, edisi 4. Jakarta. EGC, 1995 : 301.
8. Guyton & Hall. Ikterus. Dalam fisiologi kedokteran, Edisi ke 9. EGC, 1997: 1108.
9. Tim ahli HTA Indonesia 2004, dalam : tatalaksana neonatorum : hlm 1- 22