Anda di halaman 1dari 27

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus:
ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD TARAKAN

Nama Mahasiswa : Vifin Rotuahdo Saragih Tanda Tangan

Nim : 112015342 ....................

Dr. Pembimbing / Penguji: dr. Tike Sp.JP

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat /tanggal lahir : Jakarta/ 06 Juni 1972 Suku Bangsa : Indonesia

Status Perkawinan : Menikah Agama : Islam

Pekerjaan : lain-lain Pendidikan : SMA

Alamat : Tambora, Tambora, Jakarta Barat, Masuk RS: 15 Juni 2017


DKI Jakarta

ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis, Tanggal 17 Juni 2017

Keluhan utama
Nyeri dada sejak 3 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan Nyeri dada sejak 3 jam SMRS. Nyeri dada sebelah kiri,
terasa seperti tertindis beban berat. nyeri dirasakan menjalar ke lengan, bahu, rahang serta
terasa menembus ke belakang. Durasi nyeri dirasakan lebih dari 30 menit. Nyeri tidak
menghilang dengan istirahat.
Terasa sesak, dada terasa panas, serta badan terasa lemas, terbangun tengah malam
karena sesak ada sesekali. Keluhan dirasa hingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan
batuk tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, Buang air besar lancar, buang air kencil
lancar, makan minum bisa, lemas tidak ada.
. Pasien tidak memiliki riwayat Asma atau sesak napas sebelumnya. Pasien merokok
sejak sekolah menengah pertama. Riwayat penggunaan obat di bawah lidah tidak ada.
Riwayat sakit gula tidak ada.

Penyakit Dahulu
(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu ginjal/Sal.kemih
(-) Cacar Air (-) Disentri (-) Burut (Hemia)
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Penyakit Prostat
(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir
(-) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes
(-) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Khorea (-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh
(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Pendarahan Otak
(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis
(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis
(-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu lain-lain : (-) Operasi

Riwayat Keluarga

Hubungan Umur Jenis Keadaan Kesehatan Penyebab Meninggal


(tahun) Kelamin
Kakek 82 Laki-laki Meninggal Tidak diketahui

Nenek 77 Perempuan Meninggal Tidak diketahui

Ayah 58 Laki-laki Sehat -

Ibu 47 Perempuan Sehat -

Adakah Kerabat yang Menderita:

Penyakit Ya Tidak Hubungan

Alergi -

Asma -

Tuberkulosis -

Arthritis -

Rematisme -

Hipertensi + Paman

Jantung -

Ginjal -

Lambung -

ANAMNESIS SISTEM

Kulit
(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat malam
(-) Kuku (-) Kuning / Ikterus (-) Sianosis
(-) Petechie (-) Lain-lain

Kepala
(-) Trauma (-) Sakit kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri pada sinus
Mata
(-) Nyeri (-) Radang
(-) Sekret (-) Gangguan penglihatan
(-) Kuning / Ikterus (-) Ketajaman penglihatan

Telinga
(-) Nyeri (-) Gangguan pendengaran
(-) Sekret (-) Kehilangan pendengaran
(-) Tinitus

Hidung
(-) Trauma (-) Gejala penyumbatan
(- ) Nyeri (-) Gangguan penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis

Mulut
(-) Bibir: (-) Lidah
(-) Gusi (-) Gangguan pengecap
(-) Selaput (-) Stomatitis

Tenggorokan
(-) Nyeri tenggorokan (-) Perubahan suara

Leher
(-) Benjolan (-) Nyeri leher

Dada (Jantung / Paru)


(+) Nyeri dada (+) Sesak napas
(-) Berdebar (-) Batuk darah
(-) Ortopnoe (-) Batuk

Abdomen (Lambung / Usus)


(-) Rasa kembung (-) Wasir
(-) Mual (-) Mencret
(-) Muntah (-) Tinja darah
(-) Muntah darah (-) Tinja berwarna dempul
(-) Sukar menelan (-) Tinja berwarna ter
(-) Nyeri perut (-) Benjolan
(-) Perut membesar

Saluran Kemih / Alat kelamin


(-) Disuria (-) Kencing nanah
(-) Stranguria (-) Kolik
(-) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi urin
(-) Kencing batu (-) Kencing menetes
(-) Ngompol (tidak disadari) (-) Penyakit Prostat

Saraf dan Otot


(-) Anestesi (-) Sukar mengingat
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot lemah (-) Hipo / hiper esthesi
(-) Kejang (-) Pingsan
(-) Afasia (-) Kedutan (Tick)
(-) Amnesia (-) Pusing (vertigo)
(-) Lain-lain (-) Gangguan bicara (Disartri)

Ekstremitas
(-) Bengkak (-) Deformitas (-) Petechie
(-) Nyeri sendi (-) Sianosis

BERAT BADAN
Berat badan rata-rata (Kg) : 65 kg
Berat tertinggi (Kg) : 68 kg
Berat badan sekarang (Kg) : 65 kg
RIWAYAT HIDUP

Riwayat Kelahiran
Tempat Lahir : (-) Di rumah (-) Rumah Bersalin (+) R.S Bersalin
Ditolong oleh : (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun ( ) lain - lain

Riwayat Imunisasi
(-) Hepatitis (-) BCG (-) Campak (-) DPT (-) Polio (-) Tetanus (Lupa)

Riwayat Makanan
Frekuensi / Hari : 2 - 3 kali
Jumlah / Hari : satu piring nasi
Variasi / Hari : sering mengkonsumsi santan, asinan, serta makanan berminyak
Nafsu makan : baik

Pendidikan
(-) SD (-) SLTP (+) SLTA (- ) Sekolah Kejuruan ( -) Akademi
(-) Universitas (-) Kursus

Kesulitan
Keuangan : Cukup
Pekerjaan : Tidak ada
Keluarga : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 65 kg
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 96 kali/ menit
Suhu : 36,6 C
Pernafasaan : 22 kali/menit, torako-abdominal
Keadaan gizi : Baik
Sianosis : Tidak ada
Udema umum : Tidak ada
Habitus : Atletikus
Cara berjalan : Normal
Mobilitas ( aktif / pasif ) : Aktif

Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku : Wajar
Alam Perasaan : Biasa
Proses Pikir : Wajar

Kulit
Warna : Sawo matang Efloresensi : Tidak ada
Jaringan Parut : Tidak ada Pigmentasi : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Merata Pembuluh darah : Sedikit terlihat
Suhu Raba : Afebris Lembab/Kering : Lembab
Keringat : Tidak ada Turgor : Tidak menurun
Ikterus : tidak Ada
Lapisan Lemak : Tipis Oedem : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada

Kelenjar Getah Bening


Submandibula : Tidak teraba Leher : Tidak teraba
Supraklavikula : Tidak teraba Ketiak : Tidak teraba
Lipat paha : Tidak teraba

Kepala
Ekspresi wajah : Biasa Simetri muka : Simetris
Rambut : Hitam Pembuluh darah temporal: Terabapulsasi
Mata
Exophthalmus : Tidak ada Enopthalmus : Tidak ada
Kelopak : Normal Lensa : Jernih
Konjungtiva : tidak anemis Visus : Normal
Sklera : tidak ikterik Gerakan mata : Normal
Lapangan penglihatan : Normal Tekanan bola mata : Normal
Nystagmus : Tidak ada

Telinga
Tuli : Tidak Selaput pendengaran : Intak
Lubang : Normal Penyumbatan : Tidak ada
Serumen : Tidak ada Perdarahan : Tidak ada
Cairan : Tidak ada

Mulut
Bibir : lembab Tonsil : T1-T1, tenang
Langit-langit : Tidak hiperemis Bau pernapasan : Tidak ada
Gigi geligi : Teratur Trismus : Tidak ada
Faring : Tidak hiperemis Selaput lendir : Normal
Lidah : bersih

Leher
Tekanan vena Jugularis (JVP) : 5-2 cmH2O
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe : Tidak teraba membesar
Deviasi trakea : Tidak ada

Dada
Bentuk : Simetris
Pembuluh darah : Tidak tampak
Buah dada : Normal, Simetris
Paru-paru

Depan Belakang

Inspeksi Kanan Simetris saat statis dan Simetris saat statis dan
dinamis dinamis

Kiri simetris saat statis dan simetris saat statis dan


dinamis dinamis

Palpasi Kanan Tidak ada benjolan Tidak ada benjolan


Fremitus taktil simetris Fremitus taktil simetris
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Kiri Tidak ada benjolan Tidak ada benjolan


Fremitus taktil simetris Fremitus taktil simetris
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Perkusi Kanan Sonor di seluruh Sonor di seluruh


lapang paru lapang paru

Kiri Sonor di seluruh Sonor di seluruh


lapang paru lapang paru

Auskultasi Kanan Suara nafas vesikuler Suara nafas vesikuler


Wheezing(-) ronki (-) Wheezing(-) ronki (-)

Kiri Suara nafas vesikuler Suara nafas vesikuler


Wheezing(-)ronki (-) Wheezing(-)ronki (-)

Jantung

Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat pada ICS 5

Palpasi Ictus cordis teraba kuat angkat dan reguler


pada ICS 5 garis midclavicularis kiri
Perkusi Batas atas: ICS II linea sternal kiri
Batas pinggang: ICS 3 linea parasternal kiri
Batas kanan: ICS 4 linea sternal kanan
Batas kiri: ICS 5 2 cm medial linea
midclavicula kiri

Auskultasi BJ 1 2 murni reguler


Murmur(-) gallop (-)

Pembuluh darah
Arteri Temporalis : Teraba pulsasi
Arteri Karotis : Teraba pulsasi
Arteri Brakialis : Teraba pulsasi
Arteri Radialis : Teraba pulsasi
Arteri Femoralis : Teraba pulsasi
Arteri Poplitea : Teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : Teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : Teraba pulsasi
Perut
Inspeksi : mendatar, caput medusa (-), pembuluh darah (-), spider
nevi (-), dilatasi vena (-), smilling umbilikus (-)
Palpasi : dinding perut tidak distensi, tidak ada massa, tidak ada
benjolan, nyeri tekan epigastrium (-)
Hati : Hepar tidak teraba
Limpa : tidak teraba
Ginjal : ballotement (-), nyeri ketuk CVA (-)
Lain-lain : tidak ada
Perkusi : timpani shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi : normoperistaltik
Refleks dinding perut : baik
Alat Kelamin
Laki-laki
Tidak dilakukan
Anggota gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : normotonus normotonus
Massa : eutrofi eutrofi
Sendi : tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Gerakan: aktif aktif
Kekuatan: +5 +5
Lain-lain: palmar eritem (-) palmar eritem (-)
flapping tremor (-) flapping tremor (-)

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri


Luka : tidak ada tidak ada
Varises : tidak ada tidak ada
Otot :normotonus, eutrofi normotonus, eutrofi
Sendi : normal normal
Gerakan : aktif aktif
Kekuatan : +5 +5
Edema : tidak ada tidak ada
Lain-lain : tidak ada tidak ada

Refleks

Kanan Kiri

Refleks tendon ++ ++

Bisep ++ ++

Trisep ++ ++

Patella ++ ++
Achilles ++ ++

Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks kulit ++ ++

Refleks patologis - -

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 16 Juni 2017:
Pemeriksaan darah rutin: Hb : 14,2 g/dL
Ht : 40,6 %
Leukosit : 10.200/uL
Trombosit : 304.700/uL
GDS : 110 mg /dL
Fungsi Ginjal Ureum : 40 mg/dL
Kreatinin : 0.91 mg/dL
Fungsi Hati SGOT : 38 U/L
SGPT : 37 U/L
Elektrolit Natrium : 141 mEq/L
Kalium : 3,2 mEq/L
Clorida : 101 mEq/L
CK-MB : 9,2
Pemeriksaan Penunjang
EKG

RINGKASAN
Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan Nyeri dada sejak 3 jam SMRS. Nyeri dada sebelah kiri,
terasa seperti tertindis beban berat. nyeri dirasakan menjalar ke lengan, bahu, rahang serta
terasa menembus ke belakang. Durasi nyeri dirasakan lebih dari 30 menit. Nyeri tidak
menghilang dengan istirahat. Terasa sesak, dada terasa panas.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang dengan
kesadaran kompos mentis, tekanan darah = 100/60 mmHg, Frekuensi Nadi: 90x/menit, suhu :
36oC, frekuensi napas : 22 x/menit.
Pemeriksaan Penunjang
EKG: ST-elevasi II, III, AVF
Diagnosis Kerja dan Dasar Diagnosis

Diagnosis Kerja:
STEMI inferior
Dasar Diagnosis:
Nyeri dada, menjalar, nyeri dirasakan saaat istirahat dan tidak menghilang, serta di
temukan pada ekg st elevasi (inferior)

Tatalaksana
O2 2-4 lpm
IVFD NaCl 0,9 500 cc/ 24 hours
Diet low sodium, low fat
Anti koagulan : Fondaparinux 2,5 mg
Anti platelet : Clopidogrel 1 x 75mg
Aspilet 80 mg loading 1 x 2 tabNitrat
ISDN 5 mg
Simvastatin 1 x 20 mg
Lovenox 0,3 bolus
Rujuk ke Sp.JP

Non medikamentosa
1. Pasien dievaluasi EKG tiap 15 menit.
2. Edukasi pasien kalau pasien membutuhkan perawatan khusus untuk jantung.
Menggunakan masker.
3. Edukasi pasien harus segera dilakukan tindakan reperfusi.
4. Rujuk ke Sp.JP
Prognosis
ad vitam : dubia ad malam
ad functionam : dubia ad malam
ad sanationam : dubia ad malam
INFARK MIOKARD AKUT

Adalah kerusakan sel miokard dikarenakan iskemia berat yang terjadi secara tiba-tiba.
Hal ini sangat berkaitan dengan adanya thrombus yang terbentuk oleh rupturnya plak
ateroma. Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) merupakan bagian dari
spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tidak stabil,
IMA tanpa elevasi ST (NSTEMI) dan IMA dengan elevasi ST (STEMI).1

Patofisiologi

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi dan akumulasi lipid.1,2
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisura,
ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis sehingga
terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian
histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous
cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada STEMI gambaran patologik klasik terdiri dari
trombus merah kaya fibrin, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberi respons
terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, serotonin,
epinefrin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
Tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIa. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuens asam amino pada protein adesi yang
larut (integrin) seperti vWF dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalen
yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang
platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang
kemudian mengonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner
oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit
inflamasi sistemik.

Diagnosis
Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan

gambaran EKG adanya elevasi ST 1 mm, minimal pada 2 sandapan yang berdampingan.

Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis,


namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan
enzim.
1. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara
cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung. Selanjutnya perlu
dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah
ada riwayat infark miokard sebelumnya, serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, DM,
dislipidemia, merokok, stres, serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga,
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti
aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI dapat
terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa
jam setelah bangun tidur.
Nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat
nyeri dada angina sbb:
Lokasi: sub/retrosternal, prekordial
Sifat: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk,
diperas, dan dipelintir
Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau nitrat
Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah makan
Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas
2. Pemeriksaan fisis
Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Sering kali ekstremitas pucat disertai
keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai
kuat adanya STEMI. Seperempat pasien infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas
saraf simpatis (takikardia dan/atau hipertensi) dan hampir setengah pasien infark inferior
menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena
disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 0C
dapat dijumpai pada minggu pertama pasca STEMI.
3. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi karena bukti
kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat
untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien
tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10
menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi
potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi
kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.2
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami evolusi menjadi gelombang
Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil
menetap menjadi infark miokard non-gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI.

4. Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah
creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan
secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang
disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan
CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan sesegera
mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan
kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi
setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase
(LDH)
Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat terjadi
dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat
mencapai 12.000-15.000/uL.3

Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi
IMA.4
1. Tatalaksana awal
Tatalaksana pra-rumah sakit. Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2
kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik
(pump failure).
Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi
ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan
lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra-RS
pada pasien yang dicurigai STEMI a.l:
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi
Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter
dan perawat yang terlatih
Melakukan terapi reperfusi
Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI
mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan
kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di RS dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
2. Tatalaksana umum
Oksigen. Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6
jam pertama.
Nitrogliserin (NTG). Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan
dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi
nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang
terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat
diberikan NTG intravena. NTG IV juga dapat diberikan untuk mengendalikan hipertensi dan
edema paru. Terapi nitrat harus dihindarkan pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg
atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Nitrat juga harus dihindari pada
pasien yang menggunakan fosfodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya
karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada. Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan
vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
Morfin. Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4
mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek
samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan
arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi
curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi
tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl
0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior.
Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg IV.
Aspirin. Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis
160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
Penyekat beta. Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat, mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung >60 kali/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik
dan rhonki <10 cm dari diafragma. 15 menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan
dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan
100 mg tiap 12 jam.
Terapi reperfusi. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan
pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah door-to-needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-balloon time untuk PCI dapat
dicapai dalam 90 menit.

Seleksi strategi reperfusi


Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi, antara lain:
1. Waktu onset gejala
Waktu onset untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas infark dan
outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus sangat
tergantung waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam
jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan
angka kematian.
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten,
kurang lebih tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan
menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI
dikerjakan setelah 2-3 jam setelah gejala.4
2. Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko
mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi,
seperti pada pasien dengan syok kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih
baik.
3. Risiko perdarahan
Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika
tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis,
semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi
farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.
4. Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat
dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih
superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite end point kematian, infark miokard
rekuren nonfatal atau stroke dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju
infark miokard nonfatal berulang.5
Percutaneous Coronary Intervention (PCI)
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI
jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif daripada
fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome
klinis jangka pendek dan panjang yang lebih baik. Dibandingkan fibrinolisis, PCI lebih
dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan
meningkat, atau gejala sudah ada minimal 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan
kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dan
aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa RS.6
Fibrinolisis
Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat
beberapa macam obat fibrinolitik a.l: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK) dan reteplase (rpA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu
konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan trombus fibrin. Terdapat
2 kelompok, yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan nonspesifik fibrin seperti
streptokinase.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 (menunjukkan perfusi pembuluh
yang mengalami infark dengan aliran normal), karena perfusi penuh pada arteri koroner yang
terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark,
mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan
panjang.
tPA dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain sepeti rPA dan TNK lebih efektif
daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan
memperbaiki survival sedikit lebih baik.
5. Obat fibrinolitik
Streptokinase (SK). Merupakan fibrinolitik nonspesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi.
Reaksi alergi sering ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens
perdarahan intrakkkranial yang rendah.
Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase). GUSTO-1 trial menunjukkan
penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA disbanding SK.
Namun harganya lebih mahal dari SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.
Reteplase (retavase). INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK
dan sebanding tPA pada GUSTO trial III, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu
paruh yang lebih panjang.
Tenekteplase (TNKase). Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin
dan resistensi tinggi terhadap PAI-1. Laporan awal dari TIMI 10 B menunjukkan TNKase
memiliki laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.

Terapi Farmakologis
1. Antitrombotik
Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi
arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien
menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Obat anti trombin
standar yang digunakan dalam praktik klinis adalah unfractionated heparin. Pemberian UFH
IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin
membantu trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait
infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000 U) dilanjutkan
infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). APTT selama terapi pemeliharaan
harus mencapai 1,5-2 kali. Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low-molecular-
weight heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis
penuh memperbaiki mortalitas, reinfark di RS dan iskemia refrakter di RS.6,7
2. Penyekat beta (Beta-blocker)
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera
bila obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan
untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya
infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk
yang mendapat terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien
dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung,
hipotensi ortostatik atau riwayat asma).
3. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan
TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada
pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark inferior, riwayat infark sebelumnya
dan/atau fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka
pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil
pada STEMI (pasien dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg). Mekanismenya melibatkan
penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung.
Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE
menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Pemberian
inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung,
pada pasien dengan dengan pemeriksaan pencitraan menunjukkan penurunan fungsi ventrikel
kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.
Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian pada
pasien STEMI menunjukkan bahwa ARB mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi
ventrikel kiri menuru.7

Komplikasi dan Prognosis


IMA dapat memberikan komplikasi seperti aritmia (takiaritmia, bradiaritmia),
disfungsi ventrikel kiri, hipotensi, gagal jantung, syok kardiogenik, perikarditis dan lain-lain.
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA dengan
melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi Killip:
Kelas Definisi Proporsi pasien Mortalitas(%)
I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 40-50% 6
II + S3 dan/atau ronki basah di basal paru 30-40% 17
III Edema paru akut 10-15% 30-40
IV Syok kardiogenik 5-10% 60-80
Klasifikasi Killip pada IMA

Skor risiko TIMI merupakan salah satu dari beberapa stratifikasi risiko pasien infark dengan
ST elevasi, yakni:

Faktor risiko (bobot) Skor risiko/mortalitas 30 hari (%)


Usia 65-74 (2) atau usia >75 (3) 0(0,8) / 1(1,6)
DM/HT/angina (1) 2(2,2)
SBP<100 (3) 3(4,4)
HR >100 (2) 4(7,3)
Klasifikasi killip II-IV (2) 5(12,4)
Berat <67 kg (1) 6(16,1)
ST elevasi anterior atau LBBB (1) 7(23,4)
Waktu ke reperfusi >4jam (1) 8(26,8)
(skor maksimum 14 poin) >8(35,9)
Daftar Pustaka

1. Cambridge Comunication Limited. Anatomi dan Fisiologi : Sistem Pernapasan dan


Kardiovaskular. Jakarta : EGC; 2002.

2. Brown CT.2012. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price SA, Wilson LM.
Patofisiologi : Konsel Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed. Jakarta : EGC;2012.
3. Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard dengan ST Elevasi. Dalam: Sudoyono, W.A.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI,

4. Jackson G. Acute Coronary Syndrome. New York: Oxford Press; 2008. p 4-10.
5. Chaudry S, Wong E. Ischemic Heart Disease [Internet]. [Place unknown]: McMaster
Patophysiology Review; 2012 [updated 2012 Oct 21; cited 2015 Aug 15]. Available
from: http://www.pathophys.org/acs/
6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi : Konsel Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed.
Jakarta : EGC;2012.
7. OGara PT, Kushner FG, Ascheim DD, et al. 2013 ACCF/AHA Guideline for the
Management of ST-Elevation Myocardial Infarction: Executive Summary. American
Heart Asscociation [Internet]. 2012 Dec [cited 2015 Aug 19]; 127: 529-555.
Availiable from: http://circ.ahajournals.org/content/127/4/529.full

Anda mungkin juga menyukai