Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

DERMATITIS VENENATA

Moderator :
dr. Afaf Agil Al Munawwar, Sp.KK

Disusun oleh :
Fadhila Ayu Safirina
1102013101

Hari/ Tanggal Presentasi:


Senin, 2 Oktober 2017

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN KULIT DAN KELAMIN


RSPAD GATOT SOEBROTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 11 SEPTEMBER 14 OKTOBER 2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul Dermatitis Venenata. Tujuan penulisan laporan kasus ini
ialah untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik bagian
Kulit dan Kelamin di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.

Dalam kesempatan ini perkenakanlah penulis untuk menyampaikan ucapan


terima kasih kepada :

1. dr. Afaf Agil Al Munawwar, Sp.KK selaku moderator dalam laporan


kasus ini.
2. Dokter dokter spesialis kulit dan kelamin lainnya, atas arahan dan
bimbingannya.
3. Teman teman dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki kekurangan dan
jauh dari sempurna. Tetapi, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat
serta bisa menambah wawasan khususnya dalam bidang kedokteran bagi yang
membacanya.

Jakarta, 18 September 2017

Penulis

2
BAB I
STATUS PASIEN

1.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. G
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Pasar Minggu
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Status Perkawinan : Menikah

1.2. Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan dengan pasien pada hari Senin, 18 September
2017 di ruang Poli Klinik bagian Kulit dan Kelamin RSPAD Gatot
Soebroto.

1.2.1. Keluhan Utama


Timbulnya bintik-bintik merah di punggung pasien disertai rasa
gatal

1.2.2. Keluhan Tambahan


Tidak ada.

1.2.3. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang dengan keluhan muncul bintik-bintik merah yang
gatal pada punggung bawahnya. Menurut pasien, bintik-bintinya ini

3
sudah mulai muncul sekitar 6 hari sebelum masuk rumah sakit dan
terus bertambah hingga 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Satu hari sebelum pertama kali muncul keluhan, pasien baru saja
mengunjungi rumahnya di Pasar Minggu yang sedang direnovasi.
Menurut pasien keadaan rumahnya sangat kotor, berdebu, dan tidak
terawat.
Keesokan harinya, tepatnya 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,
pada pagi hari timbul bercak kemerahan dengan bintil-bintil berisi
air pada punggungnya yang terasa panas dan gatal. Pasien
menggaruk bintil tersebut hingga pecah.
Keesokan harinya, tepatnya 6 hari sebelum masuk rumah sakit,
pasien melihat tiba-tiba sudah muncul bintik-bintik kemerahan di
sekitar bekas lenting. Bintik-bintik tersebut terasa gatal dan pasien
selalu menggaruk punggungnya karena terasa gatal. Semakin hari,
bintik-bintik tersebut semakin bertambah dan menyebar hingga ke
punggung bawah.
Menurut pasien, gatal dirasakan menetap sepanjang hari. Garal
bertambah berat apabila disentuh atau digaruk. Gatal tidak
dirasakan memberat apabila pasien berkeringat atau pada malam
hari. Pasien tidak memiliki riwayat demam, lemas dan lesu
sebelum timbul keluhan. Pasien tidak merasakan pernah digigit
oleh serangga. Namun pasien mengatakan pernah berkontak
dengan serangga pada daerah kelainan kulit tersebut.

1.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu


Sebelumnya pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini.
Riwayat berkontak dengan zat iritan lain seperti zat kimia asam
atau basa atau tanaman sebelum muncul keluhan disangkal.
Riwayat penyakit seperti asma, rhinitis alergika, dan urtikaria
disangkal.

4
1.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama.

1.3. Pemeriksaan Fisik

1.3.1. Status Generalis


Keadaan Umum : Tampak tidak sakit
Kesadaran : Composmentis
Kondisi Gizi :
- BB = 78 kg
- TB = 160 cm
- IMT = 30.47 kg/m2
Tanda Vital : Tidak dilakukan
Kepala : Normocephal
Mata
- Konjungtiva anemis : (- / -)
- Sklera ikterik : (- / -)
Tenggorok : Tidak dilakukan
Toraks : Tidak dilakukan
Abdomen : Tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral hangat

1.3.2. Status Dermatologikus


Lokasi : Regio thoracalis posterior, regio lumbalis

Efloresensi : Bercak hiperpigmentasi dengan skuama


halus, berbatas tegas, berukuran numular, disertai erosi,
dan papul-papul eritematosa berukuran milier hingga
lentikuler.

5
Gambar 1 Gambaran lesi pada punggung. Tampak bercak hiperpigmentasi disertai papul-papul
eritematosa yang menyebar pada punggung bagian tengah hingga bawah.

Gambar 2 Bercak hiperpigmentasi berbentuk anular, berukuran numular, berbatas tegas, dan diliputi
skuama halus, disertai erosi akibat bekas garukan

6
Gambar 3 Papul eritem berukuran milier hingga lentikular yang menyebar ke arah punggung bawah

Gambar 4 Papul-papul eritem berukuran lentikular, dari dekat

1.4. Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan.

1.5. Resume
Ny. G, 52 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan muncul
bintik-bintik kemerahan yang gatal. Pasien memiliki riwayat kontak dengan
serangga. Pada status generalis tidak ditemukan kelainan. Pada status

7
dermatologikus ditemukan bercak hiperpigmentasi berukuran numuler,
berbentuk anular, berbatas tegas, diliputi skuama halus disertai papul-papul
eritematosa berukuran milier hingga lentikuler pada regio thoracalis
posterior.

1.6. Diagnosis Kerja


Dermatitis Venenata

1.7. Diagnosis Banding


Tidak ada

1.8. Penatalaksanaan
1.8.1. Non-Medikamentosa
Mengedukasi pasien untuk mneghindari pajanan terhadap
serangga dengan cara menghindari tempat-tempat yang kotor
dan berdebu
Mengedukasi pasien untuk tidak menggaruk lesi.

1.8.2. Medikamentosa
Sistemik:
Tablet Interhistin 50mg 1x1
Topikal:
Inerson ointment 15g
1.9. Prognosis
Quo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Functionam : Bonam
Quo Ad Sanationam : Bonam

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berinteraksi dengan bahan-
bahan yang mungkin dapat menimbulkan iritan maupun alergi bagi
seseorang dan belum tentu bagi individu lain. Bahan-bahan ini dapat
menimbulkan kelainan pada kulit sesuai dengan kontak yang terjadi.
Kelainan ini disebut dermatitis kontak. Salah satu bentuk iritan yang dapat
menimbulkan kelainan pada kulit adalah serangga, baik gigitan, liur, bulu,
atau sekret yang dikeluarkan. Dermatitis kontak akibat kontak dengan
produk serangga tersebut disebut Dermatitis Venenata.1
Penyebab dermatitis kadang-kadang tidak diketahui, sebagian
besar merupakan respon kulit terhadap agen eksogen maupun endogen.
Dermatitis kontak ini dibagi menjadi Dermatitis Kontak Iritan dan
Dermatitis Kontak Alergi. Dermatitis Venenata termasuk ke dalam
Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan lebih banyak tidak terdeteksi secara klinis
disebabkan karena penyebabnya yang bermacam-macam dan interval
waktu antara kontak dengan bahan iritan serta munculnya ruam tidak dapat
diperkirakan. Dermatitis muncul segera setelah pajanan dan tingkat
keparahannya ditentukan berdasarkan kuantitas, konsentrasi, dan lamanya
terpajan oleh bahan iritan tersebut.3 Penanganan dermatitis kontak tidak
selamanya mudah karena banyak dan seringnya faktor-faktor tumpang
tindih yang memicu setiap kasus dermatitis.9 Pencegahan bahan-bahan
iritasi kulit adalah strategi terapi yang utama pada dermatitis kontak
iritan.6
II.2 Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respons terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen,
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema,
edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal.

9
Dermatitis Kontak Iritan adalah peradangan kulit yang disebabkan
terpaparnya kulit dengan bahan dari luar yang bersifat iritan yang
menimbulkan kelainan klinis efloresensi polimorfik berupa eritema,
vesikula, edema, papul, vesikel, dan keluhan gatal, perih serta panas.Tanda
polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan hanya beberapa saja. 1
Dermatitis Venenata adalah Dermatitis Kontak Iritan yang
disebabkan oleh pajanan kulit terhadap bahan aktif dari serangga dan
beberapa jenis tanaman seperti rumput, bunga, pohon mahoni, kopi,
mangga, serta sayuran seperti tomat, wortel dan bawang.
II.3 Epidemiologi
DKI adalah penyakit kulit akibat kerja yang paling sering
ditemukan, diperkirakan sekitar 70%-80% dari semua penyakit kulit akibat
kerja. DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagaigolongan umur,
ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup
banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat
kerja).Insiden dari penyakit kulitakibat kerja di beberapa negara adalah
sama, yaitu 50-70 kasus per 100.000 pekerja pertahun.Pekerjaan dengan
resiko besar untuk terpapar bahan iritan yaitu pemborong, pekerja
industrimebel, pekerja rumah sakit (perawat, cleaning services, tukang
masak), penata rambut, pekerjaindustri kimia, pekerja logam, penanam
bunga, pekerja di gedung.
Pada DKI akibat serangga khususnya yang disebabkan kumbang
Paederus kejadiannya meningkat pada musim penghujan, karena cuaca
yang lembab merupakan lingkungan yang sesuai bagi organisme penyebab
dermatitis venenata (misal: Genus Paederus). Paederus dermatitis terjadi di
seluruh bagian dunia, khususnya daerah beriklim tropis seperti Indonesia,
dan pernah dilaporkan kejadian yang merebak di Australia, Malaysia,
Srilanka, Nigeria, Kenya, Iran, Uganda, Okinawa, Sierra Leone,
Argentina, Brazil, Venezuela, Ecuador, India.

10
II.4 Etiologi
Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor
eksogen (iritan dan lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan
Faktor Eksogen
Selain dengan asam dan basa kuat, tidak mungkin untuk
memprediksi potensial iritan sebuah bahan kimia berdasarkan struktur
molekulnya. Potensial iritan bentuk senyawa mungkin lebih sulit untuk
diprediksi. Faktor-faktor yang dimaksudkan termasuk : (1) Sifat kimia
bahan iritan: pH, kondisi fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah,
polarisasi, ionisasi, bahan dasar, kelarutan ; (2) Sifat dari pajanan: jumlah,
konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis kontak, pajanan serentak dengan
bahan iritan lain dan jaraknya setelah pajanan sebelumnya ; (3) Faktor
lingkungan: lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, dan faktor mekanik
seperti tekanan, gesekan atau goresan. Kelembapan lingkungan yang
rendah dan suhu dingin menurunkan kadar air pada stratum korneum yang
menyebabkan kulit lebih rentan pada bahan iritan.1,2
Faktor Endogen
a. Faktor genetik
Ada hipotesis yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu
untuk mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzim
antioksidan, dan kemampuan untuk membentuk perlindungan heat shock
protein semuanya dibawah kontrol genetik. Faktor tersebut juga
menentukan keberagaman respon tubuh terhadap bahan-bahan iritan.
Selain itu, predisposisi genetik terhadap kerentanan bahan iritan berbeda
untuk setiap bahan iritan.2 Pada penelitian, diduga bahwa faktor genetik
mungkin mempengaruhi kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-
polimorfis telah dinyatakan sebagai marker untuk kerentanan terhadap
kontak iritan.2
b. Jenis Kelamin

11
Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling banyak pada tangan,
dan wanita dilaporkan paling banyak dari semua pasien.1 Dari hubungan
antara jenis kelamin dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak terpajan
oleh bahan iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan daripada laki-laki.
Tidak ada pembedaan jenis kelamin untuk dermatitis kontak iritan yang
ditetapkan berdasarkan penelitian.
c. Umur
Anak-anak dibawah 8 tahun lebih mudah menyerap reaksi-reaksi
bahan-bahan kimia dan bahan iritan lewat kulit. Banyak studi yang
menunjukkan bahwa tidak ada kecurigaan pada peningkatan pertahanan
kulit dengan meningkatnya umur. Data pengaruh umur pada percobaan
iritasi kulit sangat berlawanan. Iritasi kulit yang kelihatan (eritema)
menurun pada orang tua sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan
(kerusakan pertahanan) meningkat pada orang muda.3 Reaksi terhadap
beberapa bahan iritan berkurang pada usia lanjut. Terdapat penurunan
respon inflamasi dan TEWL, dimana menunjukkan penurunan potensial
penetrasi perkutaneus.
d. Suku
Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit
mempengaruhi berkembangnya dermatitis kontak iritan secara signifikan.
Karena eritema sulit diamati pada kulit gelap, penelitian terbaru
menggunakan eritema sebagai satu-satunya parameter untuk mengukur
iritasi yang mungkin sudah sampai pada kesalahan interpretasi bahwa kulit
hitam lebih resisten terhadap bahan iritan daripada kulit putih.1
e. Lokasi kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan,
sehingga kulit wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan
terhadap dermatitis kontak iritan. Telapak tangan dan kaki jika
dibandingkan lebih resisten.1,2

12
f. Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada
dermatitis iritan pada tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya
berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap dermatitis iritan
karena rendahnya ambang iritasi kulit, lemahnya fungsi pertahanan, dan
lambatnya proses penyembuhan.3 Pada pasien dengan dermatitis atopi
misalnya, menunjukkan peningkatan reaktivitas ketika terpajan oleh bahan
iritan
Untuk dermatitis venenata spesies serangga yang paling sering
menjadi penyebabadalah dari genus Paederus. Spesies dari genus ini
menyebabkan Paederus dermatitis. Paederus dermatitis sendiri di
Indonesia paling banyakdisebabkan oleh Paederus peregrines. Paederus
dewasa panjang tumbuhnya 7-10 mm dan lebar 0,5 mm seukuran dengan
nyamuk. Paederus berkepala hitam dengan abdomen di caudalnya dan juga
elitral ( struktur yang membungkus sayap dan sepertiga atas segmen
abdomen). Meskipun paederus dapat terbang, namun paederus lebih sering
berlari dan meloncat. Paederus memiliki karateristik mengangkat bagian
abdomennya ketika mereka lari ataupun merasa terganggu. Spesies yang
biasa menyebabkan paederus dermatitis adalah Paederus melampus di
India, Paederus brasiliensis di Amerika Latin, Paederus colombius di
Venezuela, Paederus fusipes di Taiwan dan tentunya Paederus peregrinus
di Indonesia.Kumbang ini tidak menggigit atau menyengat, namun
tepukan keras pada kumbang ini diatas kulit akan memicu pengeluaran
bahan aktifnya yang berupa paederin.

II.5 Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh
bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Ada 4 mekanisme yang
berhubungan dengan DKI.2
1. Hilangnya membran lemak (Lipid Membrane)
2. Kerusakan dari sel lemak

13
3. Denaturasi keratin epidermal
4. Efek sitotoksik secara langsung
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan
asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet activating factor
(PAF), dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan
leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan
permeabilitas vaskular sehingga mempermudah transudasi komplemen dan
kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoaktraktan kuat untuk
limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mast melepaskan histamin,
LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskular.3
DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan
sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte-
macrophage colony stimulating factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel
T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, yang
menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.3
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi
intrasel-1 (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga
melepaskan TNF, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel
T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan
pelepasan sitokin.3
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik
di tempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri,
bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit
setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum
oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi
sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan.

14
II.6 Gejala Klinis
Gejala klinik yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat
iritan. Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala
kronis meskipun faktor individu dan lingkungan sangat berpengaruh.
Kelainan kulit bergantung pada stadium penyakit, pada stadium
akut kelainan kulit berupa eritema, edema, vesikel, atau bula, erosi dan
eksudasi, sehingga tampak basah. Stadium sub akut, eritema berkurang,
eksudat mengering menjadi krusta, sedang pada stadium kronis tampak
lesi kronis, skuama, hiperpigmentasi, likenifikasi, papul, mungkin juga
terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan.4 Stadium tersebut tidak
selalu berurutan, bisa saja sejak awal suatu dermatitis memberi gambaran
klinis berupa kelainan kulit stadium kronis demikian pula efloresensinya
tidak selalu harus polimorfik,mungkin hanya oligomorfik.4
Pada paederus dermatitis, lesi biasanya terjadi pada bagian tubuh
yang tidak tertutupi, misalnya tangan, kaki juga leher dan wajah,
khususnya area periorbital, yang merupakan bagian tubuh paling sering
menjadi predileksi paederus dermatitis.Tidak berbeda jauh dengan jenis
dermatitis kontak iritan lainnya, lesi yang biasa ditimbulkan oleh bahan
aktif paederin berupa patch eritem linear yang kemudian berlanjut menjadi
bula, terkadang bula dapat menjadi pustular. Pada pasien yang datang ke
tenaga medis, bula dapat intak ataupun sudah terjadi erosi dengan dasar
eritem. Lesi mulai muncul setelah 12-48 jam pasca paparan paederin dan
membaik dalam waktu seminggu.
II.7 Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis dari
DKI tergantung pada anamnesis mengenai pajanan yang mengenai pasien.
Anamnesis yang dapat mendukung penegakan diagnosis DKI (gejala
subyektif) adalah:
Pasien mengklaim adanya pajanan yang menyebabkan iritasi kutaneus

15
Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI
akut. DKI lambat dikarakteristikkan oleh kausa pajanannya, seperti
benzalkonium klorida (biasanya terdapat pada cairan disinfektan),
dimana reaksi inflamasinya terjadi 8-24 jam setelah pajanan.7
Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-minggu
ada DKI kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi akibat pajanan
berulang dari suatu bahan iritan yang merusak kulit.
Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak
nyaman akibat pruritus yang terjadi

Kriteria Diagnostik DKI


Mayor Minor
Subyektif
Onset dimulai dari beberapa Onset dimulai 2 minggu setelah
menit hingga beberapa jam paparan
kemudian dari paparan
Pada awalnya terdapat rasa Banyak orang mempunyai gejala
nyeri, rasa terbakar, perasaan sama pada lingkungan tersebut
tidak enak yang berlebih, gatal

Obyektif
Didominasi oleh makula Pada perubahan morfologi
eritem, hiperkeratosis, fissure menunjukkantingkat konsentrasi
Terdapat gambaran epidermis menghasilkan sedikit perbedaan
kering, seperti terbakar sedangkan waktu kontak
Proses penyembuhan dimulai menghasilkan perbedaan yang
dengan menghindari iritan banyak pada tingkat kerusakan
Patch tes negative kulit

16
Pada Dermatitis Venenata terdapa gejala klinis berupa :7
Tidak ada gejala prodormal
Lesi muncul tiba tiba pada pagi hari atau setelah berkebun dan
terasa gatal serta pedih.
Lesi berbentuk garis linear dan berwarna merah dengan batas yang
tegas serta terdapat jaringan nekrosis ditengahnya.
Adanya kissing phenomenon, yang berarti kulit yang tertempel atau
terkena lesi akan berubah menjadi lesi yang baru

Pemeriksaan Fisik
Menurut Rietschel dan Flowler, kriteria dignosis primer untuk DKI
sebagai berikut :6
Makula eritema, hiperkeratosis, atau fisura predominan setelah
terbentuk vesikel
Tampakan kulit berlapis, kering, atau melepuh
Bentuk sirkumskripta tajam pada kulit
Rasa tebal di kulit yang terkena pajanan

Pemeriksaan Penunjang
Uji Tempel
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya dipunggung. Untuk
melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar
buatan pabrik, misalnya finn chamber system kit dan T.R.U.E test.
Adakalanya test dilakukan dengan antigen yang bukan standar, dapat
berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang
berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada
sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit atau
walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik.Oleh
karena itu bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan
industri, harus berhati - hati sekali, jangan melakukan uji tempel dengan
bahan yang tidak diketahui.

17
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung di
gunakan apa adanya (as is). Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya misalnya sampoo, pasta gigi,
harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air
diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral, produk
yang diketahui bersifat iritan, misalnya detergen hanya boleh diuji bila
diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau sarung
tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan
dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam
yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air dan ditempelkan dikulit
dengan memakai finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam.
Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu
kontrol ( 5-10 orang ), untuk menyingkirkan kemungkinan karena
iritasi.

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji


tempel :
1. Dermatitis harus sudah tenang atau sembuh, bila masih dalam keadaan
akut atau berat dapat terjadi angry back atau excited skin, reaksi positif
palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya makin
memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang - kurangnya 1 minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan ( walaupun dikatakan bahwa uji
tempel dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang dari 20 mg
perhari atau dosis ekivalen kortikosteroid lain ), sebab dapat
menghasilkan reaksi negatif palsu. Pemberian kortikosteroid topikal di
punggung dihentikan sekurang - kurangnya 1 minggu sebelum tes
dilaksanakan. Luka bakar sinar matahari ( sunburn ) yang terjadi 1 - 2
minggu sebelum tes dilakukan juga dapat memberi hasil negatif palsu.

18
Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil tes kecuali
diduga karena urtikaria kontak.
3. Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemudian dibaca, pembacan kedua
dilakukan pada hari ketiga sampai ketujuh setelah aplikasi.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel
menjadi longgar ( tidak menempel dengan baik ) karena memberi hasil
negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam
48 jam dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji
tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.
5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakuka terhadap penderita
yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan atau immediate urtikaria
type karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi
anafilaksis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur
khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas.


Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek
tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat
sebagai berikut :
1 = reaksi lemah ( non vesikular ) : eritema, infiltrat, papul ( + )
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel ( ++ )
3 = reaksi sangat kuat ( ekstrim ) : bula atau ulkus ( +++ )
4 = meragukan : hanya makula eritematosa ( ? )
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura ( IR )
6 = reaksi negatif ( - )
7 = excited skin
8 = tidak di tes ( NT = not tested )
Reaksi excited skin atau angry back merupakan reaski positif palsu,
suatu fenomena regional disebabkan oleh 1 atau beberapa reaksi positif
kuat, yang dipicu oleh hipersensitivitas kulit, pinggir uji tempel yang lain

19
menjadi reaktif. Fenomena ini pertama dikemukakan oleh Bruno Bloch pada
abad ke 20, kemudin diteliti oleh Mitchell pada tahun 1975.
Pembacaan kedua perlu dilakukn sampai 1 minggu setelah aplikasi,
biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi.Pembacaan kedua ini penting untuk
membantu membedakan antara respon alergi atau iritasi, dan juga
mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif alergen. Hasil positif dapat
bertambah setelah 96 jam aplikasi, olek karena itu perlu dipesan kepada
pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai 1 minggu setelah aplikasi.
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah.Interpretasi
dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergi biasanya menjadi lebih
jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++
bahkan ke +++ ( reaksi tipe crescendo ), sedangkan respon iritan cenderung
menurun ( reaksi tipe descrecendo ). Bila ditemukan respon positif terhadap
suatu alergen, perlu ditemukan relevannya dengan keadaan klinik, riwayat
penyakit dan sumber antigen di lingkungan penderita. Mungkin respon
positif tersebut berhubungan dengan penyakit yang sekarang atau penyakit
masa lalu yang pernah dialami, atau mungkin tidak ada hubungannya ( tidak
diketahui ). Reaksi positif klasik terdiri atas eritem, edem, dan vesikel-
vesikel kecil yang letaknya berdekatan.
Reaksi positif palsu dapat terjadi antara lain apabila konsentrasi terlalu
tinggi, atau bahan tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup (
oklusi ), efek pinggir uji tempel, umumnya karena iritasi, bagian tepi
menunjukkan reaksi lebih kuat, sedang dibagian tengahnya reaksi ringan
atau sama sekali tidak ada. Ini disebabkan karena meningkatnya konsentrasi
iritasi cairan di bagian pinggir. Sebab lain karena efek tekan, terjadi bial
menggunakan bahan padat.
Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya konsetrasi terlalu rendah,
vehikulum tidak tepat, bahn uji tempel tidak melekat dengan baik atau
longgar akibat pergerakan, kurang cukup waktu penghentian pemakaian
kortikosteroid sistemik atau topikal poten yang lama dipakai pada uji tempel
dilakukan

20
II.8 Diagnosis Banding
Perbedaan DKI DKA

Keluhan Gatal, nyeri, perih menyengat Nyeri, gatal

Lesi Batas tegas, terbatas pada daerah Lesi dapat melebihi


yang terpapar bahan iritan daerah yang terpapar
bahan alergen,
biasanya berupa
vesikel yang kecil
Bahan Bahan iritan, tergantung pada Bahan alergen, tidak
konsentrasi dan letak kulit yang tergantung
terpapar, semua orang bisa kena konsentrasi bahan,
hanya pada orang
yang mengalami
hipersensitivitas
Reaksi yang Akibat kerusakan jaringan Proses reaksi
muncul hipersensitivitas tipe
4

II.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari dermatitis kontak iritan dapat dilakukan
dengan memproteksi atau menghindarkan kulit dari bahan iritan. Selain
itu, prinsip pengobatan penyakit ini adalah dengan menghindari bahan
iritan, melakukan proteksi (seperti penggunaan sarung tangan), dan
melakukan substitusi dalam hal ini, mengganti bahan-bahan iritan dengan
bahan lain.9
Selain itu, beberapa strategi pengobatan yang dapat dilakukan pada
penderita dermatitis kontak iritan adalah sebagai berikut:
1. Glukokortikoid topikal
Efek topikal dari glukokortikoid pada penderita DKI akut masih
kontroversial karena efek yang ditimbulkan, pada penggunaan yang lama

21
dari kortikosteroid dapat menimbulkan kerusakan kulit pada stratum
korneum.8 Pada pengobatan untuk DKI akut yang berat, mungkin
dianjurkan pemberian prednison pada 2 minggu pertama, 60 mg dosis
inisial, dan di tappering off 10mg.8
2. Antibiotik dan antihistamin
Ketika pertahanan kulit rusak, hal tersebut berpotensial untuk
terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri. Perubahan pH kulit dan
mekanisme antimikroba yang telah dimiliki kulit, mungkin memiliki
peranan yang penting dalam evolusi, persisten, dan resolusi dari dermatitis
akibat iritan, tapi hal ini masih dipelajari. Secara klinis, infeksi diobati
dengan menggunakan antibiotik oral untuk mencegah perkembangan
selulit dan untuk mempercepat penyembuhan. Secara bersamaan,
glukokortikoid topikal, emolien, dan antiseptik juga digunakan.
Sedangkan antihistamin mungkin dapat mengurangi pruritus yang
disebabkan oleh dermatitis akibat iritan. Terdapat percobaan klinis secara
acak mengenai efisiensi antihistamin untuk dermatitis kontak iritan, dan
secara klinis antihistamin biasanya diresepkan untuk mengobati beberapa
gejala simptomatis.8
3. Anastesi dan Garam Srontium (Iritasi sensoris)
Lidokain, prokain, dan beberapa anastesi lokal yang lain berguna
untuk menurunkan sensasi terbakar dan rasa gatal pada kulit yang
dihubungkan dengan dermatitis iritan oleh karena penekanan nosiseptor,
dan mungkin dapat menjadi pengobatan yang potensial untuk dermatitis
kontak iritan.Garam strontium juga dilaporkan dapat menekan depolarisasi
neural pada hewan, dan setelah dilakukan studi, garam ini berpotensi
dalam mengurangi sensasi iritasi yang dihubungkan dengan DKI.9
4. Emolien
Pelembab yang digunakan 3-4 kali sehari adalah tatalaksana yang
sangat berguna. Menggunakan emolien ketika kulit masih lembab dapat
meningkatkan efek emolien. Emolien dengan perbandingan lipofilik :

22
hidrofilik yang tinggi diduga paling efektif karena dapat menghidrasi kulit
lebih baik.8
5. Imunosupresi Oral
Pada penatalaksanaan iritasi akut yang berat, glukokortikoid kerja
singkat seperti prednisolon, dapat membantu mengurangi respon inflamasi
jika dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal dan emolien. Tetapi,
tidak boleh digunakan untuk waktu yang lama karena efek sampingnya.
Oleh karena itu, pada penyakit kronik, imunosupresan yang lain mungkin
lebih berguna. Obat yang sering digunakan adalah siklosporin oral dan
azadtrioprim.8
6. Fototerapi dan Radioterapi Superfisial
Fototerapi telah berhasil digunakan untuk tatalaksana dermatitis
kontak iritan, khususnya pada tangan. Modalitas yang tersedia adalah
fototerapi photochemotherapy ultravioletA (PUVA) dan ultraviolet B,
dimana penyinaran dilakukan bersamaan dengan penggunaan
fotosensitizer (soralen oral atau topikal). Sedangkan radioterapi superfisial
dengan sinar Grentz juga dapat digunakan untuk menangani dermatitis
pada tangan yang kronis. Penalataksanaan ini jarang digunakan pada
praktek terbaru, hal ini mungkin disebabkan oleh ketakutan terhadap
kanker karena radioterapi.8
II.10 Prognosis
Prognosisnya baik bila pasien menjauhi pajanan terhadap bahan
iritan dan patuh dalam menjalani pengobatan untuk menanggulangi
keluhan. Prognosis menjadi kurang baik jika bahan iritan penyebab
dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna. Keadaan ini
sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multifaktor, juga pada
penderita atopi.8

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah S. (2007) Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

ed. 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 129-138.

2. Anonim. (2009) Contact Dermatitis. Diunduh dari : URL:

http://nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article /000869..htm pada Jumat, 29

September 2017 pukul 20.00 WIB.

3. Hogan, D. (2011) Contact Dermatitis Irritant. Diunduh dari : URL:

http://emedicine.medscape/ article/1049352-overview.htm pada Sabtu, 30

September 2017 pukul 17.45 WIB.

4. Wolff, K., Lowel, A., Stephen, K., Barbara, G., Amy P. (2008) Fitzpatricks

Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw Hill. 396-

401.

5. Wolff, C., Richard, J., Dick, S. (2005) Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis

Of Clinical Dermatology. 5th ed. New York: McGraw Hill. 20-25

6. Grand, S. (2008) Allergic Contact Dermatitis Versus Irritant Contact

Dermatitis. Diunduh dari : URL: http://wsiat.on.ca/english/mlo/allergic.htm

pada Sabtu, 30 September 2017 pukul 17.00 WIB.

7. Ngan, V. (2010) Irritant Contact Dermatitis. Diunduh dari : URL:

http://darmnetnz.org/dermatitis/contact-irritant.htm pada Sabtu, 30

September 2017 pukul 18.00 WIB.

24
8. Bourke, J., Coulson. I., English, J. (2008) British Journal of Dermatology.

Guidelines For The Management Of Contact Dermatitis: London. pp.946-

954.

9. Gould, D. (2003) Occupational Irritant Dermatitis in Healthcare Workers

Meeting the Challenge of Prevention. Diunduh dari : URL:http://ssl-

international.com pada Jumat, 29 September 2017 pukul 19.00 WIB.

25
26
27

Anda mungkin juga menyukai