Anda di halaman 1dari 10

PERJALANAN MELINTASI WAKTU Suasana pinggir sungai ini memang sangat

damai. Aku masih duduk diatas batu pipih yang cukup besar sementara ayah masih
berdiri memandang sungai yang ada di depannya. Perlahan kulihat ayah membuka
bajunya hingga terlihatlah punggungnya. Aku terkejut. Punggung ayah, lengan kiri
ayah, terlihat cukup banyak bekas luka. Ayah kemudian meremas baju dengan cara
dilinding hingga menjadi seperti tongkat panjang. Ya, baju tersebut kini seperti sebuah
tongkat panjang. Kemudian ayah menancapkannya ke tanah didekat sungai.
Menancapkannya! Persis seperti tongkat yang ditancapkan ke tanah. Pandangan mataku
terbelalak tak percaya. Itu adalah baju yang ayah pakai, lalu ditekuk sedemikian rupa,
dilinting hingga seperti tongkat dan kemudian ditancapkan ke tanah dengan bentuk
yang tidak berubah. "Ayah! itu bajunya...", teriakku dengan sangat terkejut. Aku
melihat ayah membalikkan badan. Kini terlihatlah bagian dada ayah yang lagi-lagi
terdapat bekas luka dibeberapa tempat. Aku merinding. Entah sekeras apa latihan atau
perjalanan hidup yang ayah lakukan selama ini hingga menghasilkan banyak bekas luka
seperti itu. Ayah kemudian berjalan ke arahku. Ia naik keatas batu tempatku duduk, lalu
ikut duduk disampingku. "Aa kenapa tadi teriak?", tanya ayah sambil tersenyum. "Itu
yah, bekas luka-luka ayah banyak sekali. Aa merinding melihatnya...", jawabku
perlahan. "Oh ini. Bekas luka ini adalah kenang-kenangan dari perjalanan hidup ayah di
masa lalu...", ucap ayah sambil tersenyum. "Ketahuilah, bahwa setiap dari manusia akan
diberikan takdir perjalanan hidupnya masing-masing. Ada yang takdirnya berjalan di
jalan yang lembut, namun ada juga yang takdirnya berjalan di jalan yang keras. Hidup
adalah pilihan. Meski hidup adalah pilihan, ada yang bahkan memilih untuk tidak
memilih. Membiarkan berjalan apa adanya bagaimana takdir itu bekerja.", lanjut ayah.
"Maksudnya gimana yah?", tanyaku penasaran. "Misalnya begini. Apabila ada
seseorang yang menderita sakit maka umumnya orang itu ingin sembuh. Untuk
mencapai kesembuhannya, ia dihadapkan pada pilihan. Yakni ia berusaha sekuat tenaga
untuk mencari kesembuhan itu. Ia berobat kesana kemari. Ia berusaha mencari jalan
kesembuhan melalui tangan-tangan tenaga kesehatan profesional seperti dokter, atau
mungkin terapis tradisional, dan lain sebagainya. Ia habiskan waktu, biaya, dan tenaga
untuk mencari jalan kesembuhan tersebut. Namun ada juga orang-orang yang ketika
sakit maka ia berdiam diri saja. Memasrahkan kesembuhannya kepada Tuhan tanpa mau
berusaha. Ia merasa kalau sakit adalah takdirnya, maka kalau takdirnya menghendaki ia
sembuh maka ia akan disembuhkanNya. Namun kalau takdirNya menghendaki ia mati
maka ia akan dimatikanNya. Keduanya sama-sama berharap pada Tuhannya, melalui
jalan yang berbeda. Yang pertama berusaha menggapai kesembuhanNya melalui jalan
kesembuhan yang ada didepannya. Ia mencari jalan itu sebaik-baiknya sesuai dengan
kemampuan dan kapasitas ilmunya. Setelah itu ia memasrahkan hasilnya. Seandainya
ada tiga orang dokter dan ia memilih dokter yang pertama, maka keputusan memilih
dokter yang pertama itu mestilah didasarkan pada kemampuan dan kapasitas ilmunya.
Sementara yang kedua berusaha menggapai kesembuhanNya tanpa melakukan apa-apa.
Semata-mata menyerahkan segala urusan kepada takdirNya yang akan bekerja pada
dirinya. Kedua jalan ini baik, apabila diyakini sesuai dengan kapasitas keyakinannya.
Namun, jalan keilmuan ayah adalah jalan yang pertama. Yakni jalan yang harus
diperjuangkan. Jalan yang harus dilewati dengan ikhtiar maksimal, ikhtiar terbaik. Jalan
yang harus dilewati dengan kecerdasan, latihan-latihan terbaik, dan ikhtiar yang juga
terbaik.", jawab ayah dengan serius. Aku mengangguk setuju. "Ayah tidak bisa
memaksakan mereka yang hanya duduk berdiam diri menunggu takdirNya. Sifat ilmu
yang ayah pelajari dan yang saat ini kamu pelajari tidak demikian adanya. Segala
sesuatu harus diperjuangkan. Jika pada contoh yang ayah katakan tadi ternyata
manakala disaat berjuang dengan ikhtiar terbaik lalu Allah memberikan takdir kematian
kepadanya maka ketahuilah bahwa orang-orang itu akan masuk kepada golongan orang-
orang yang sedang berhijrah menuju kebaikan. Ini adalah semata-mata pilihan yang
dijalani. Jika Aa perhatikan, bahwa dalam setiap keilmuan ini adalah sebuah latihan
yang harus selalu dijalani. Latihan ini bertujuan untuk menguji sejauh mana kekuatan
niatmu, keteguhan tekadmu, untuk berjalan menuju tujuan yang kamu inginkan dengan
ikhtiar maksimal.", lanjut ayah. Aku kembali mengangguk setuju. Aku melihat
pandangan ayah mengarah pada baju yang saat ini masih menancap di tanah dekat
tempat ayah berdiri tadi. Akupun tanpa sadar ikut menoleh kesana. "Ayah, bolehkah Aa
mendengar kisah perjalanan dibalik luka-luka di tubuh ayah yah?", tanyaku penasaran.
Aku memang ingin mendengar kisah-kisah perjalanan dibalik semua bekas luka di
tubuh ayahku. Sebab ayah selalu berkata bahwa hendaklah kita mendengar kisah-kisah
mengenai orang-orang yang memiliki keutamaan atau bisa juga orang-orang yang
memiliki hikmah. Sebab hal itu termasuk kemuliaan dan padanya terdapat kedudukan
dan kenikmatan bagi jiwa. Aku melihat ayah tersenyum mengangguk. "Baiklah. Ayah
akan mulai dari luka sobek didekat ibu jari kanan ayah ini", jawab ayah sambil
tangannya menunjuk ke arah bekas luka di dekat punggung tangan dekat ibu jari.
(bersambung)

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/masgunggung/tembang-tanpa-syair-
jagad-tangguh-bagian-5_578732eb07b0bde104c19bac

PEMUNAH PASIR BESI Kedai itu nampak lengang. Ada sepuluh meja dengan
masing-masing meja terdiri dari empat kursi. Lima meja di dalam kedai, dan lima meja
diluar. Aku sendiri mengambil posisi pada meja ketujuh di bagian luar. Suasana kedai
itu sangat sejuk dengan pepohonan di kanan dan kiri. Pelayan kedai nampaknya sedang
menyiapkan beberapa makanan untuk pengunjung yang sudah memesannya. Tidak jauh
dari meja tempatku duduk, ada seorang laki-laki paruh baya bersama dengan kawannya
yang lebih muda. Aku perkirakan usianya sekitar empat puluh tahunan. Kawannya
berperawakan agak gemuk dan berambut gondrong. Agak kurang kontras kulihat karena
umumnya laki-laki berperawakan gemuk itu berambut cepak. Aku jadi tersenyum-
senyum sendiri melihatnya. Sesaat setelah aku tersenyum, aku kemudian
mengerenyitkan dahi. Terjadi perubahan ekspresi wajah pada laki-laki paruh baya dan
kawannya itu. Kedua lelaki itu menatap tajam ke arahku. Nampaknya ada sesuatu yang
terjadi. Kulihat kawannya membisikkan sesuatu pada laki-laki paruh baya
disampingnya. Tidak berapa lama kemudian laki-laki paruh baya itu terlihat emosi dan
kemudian ia menggebrak meja didepannya. BRAKKK!!! Meja kayu yang cukup tebal
itu langsung terbelah beberapa bagian dan hancur. Mendengar suara meja yang hancur,
beberapa pengunjung kemudian bergegas meninggalkan kedai. Satu persatu semua
meninggalkan kedai. Kini hanya ada aku dan dua orang laki-laki yang menatap tajam ke
arahku. Laki-laki paruh baya itu kemudian menendang meja yang sudah hancur dan
berjalan melintasi meja tersebut tepat menuju ke arahku. Sambil berjalan ia kemudian
mengarahkan telunjuknya kepadaku. "Hei kamu! Iya kamu! Apa maksudmu dengan
tersenyum-senyum melihat kami berdua! Apa kamu bermaksud menertawakan kawanku
yang gemuk ini hah!!!", teriaknya dengan lantang. Kini ia sudah tepat berada hanya dua
meter di depanku. "Maaf paman, aku tidak bermaksud demikian. Saat melihat teman
paman, aku teringat temanku yang juga mirip dengan teman paman itu...", jawabku apa
adanya. Aku melihat pemilik kedai kemudian bergegas mendekati kami dan kemudian
berusaha melerai. Ia seorang yang sudah berumur. Aku perkirakan berusia sekitar lima
puluh tahunan. "Mohon maaf mas mas sekalian, jika ingin ribut silahkan diluar kedai
saya. Saya tidak ingin meja-meja ini hancur karenanya. Biarlah meja yang satu itu saya
relakan tidak usah di...", belum sempat pemilik kedai menyelesaikan kalimatnya tiba-
tiba ia terlempar dengan keras. "Aaakh!!!", teriak pemilik kedai. "Halah... berisik
kamu!", teriak pemuda paruh baya itu sambil mendorong keras sekali dada pemilik
kedai hingga terlempar keras dan menabrak salah satu meja lain didekatku hingga
terbalik. Pemilik kedai itu terlontar cukup keras. Dari sudut bibirnya terlihat ada darah
segar. Ia diam terbaring dengan napas tersengal-sengal. Aku langsung berdiri siaga dan
melompat menuju pemilik kedai yang terluka. Aku berjongkok memperhatikan tubuh
pemilik kedai. Bagian dada pemilik kedai nampak sedikit melesak dengan kain bajunya
yang seperti terkena semburan pasir. Gigiku bergemeletakan dengan perasaan marah.
"Pasir Wutah...!", gumamku perlahan. Aku mendadak menjadi sangat marah karena
tiba-tiba laki-laki paruh baya itu menghantam dada pemilik kedai dengan ilmu Pasir
Wutah. Pemuda paruh baya itu jahat sekali. Aku geram dibuatnya. Aku berdiri dengan
geram. Kusiagakan diriku dengan Krei Wojo dan Kidang Telangkat. Aku segera
membalikkan tubuh dan menatap tajam pada pemuda paruh baya didepanku.
"Semestinya paman tidak boleh kasar terhadap orang tua... apalagi melukainya", ucapku
dengan nada perlahan namun dengan penuh kemarahan. "Apa urusanmu! Kamu juga
ingin merasakan sama seperti kakek tua itu? Baiklah! Terima ini... heaaaahh!", teriak
pemuda paruh baya itu dengan sengit. Ia kemudian melepaskan kembali Pasir Wutah
miliknya kepadaku. Namun kali ini aku sudah bersiap-siap. Aku langsung melompat
cepat bagai kijang menghindari lontaran tenaga Pasir Wutah milik pemuda paruh baya
tersebut sekaligus kutepis dan kutangkis bagian luar lengannya. Bahkan aku serang
bagian kanan tubuhnya dengan pukulan lurus. PLAK!!! Pemuda itu terkejut bukan
kepalang. Nampaknya ia tidak menyangka serangan Pasir Wutah miliknya berhasil
dihindari dan bahkan ditangkis. Bahkan pukulanku bisa bersarang telak di bagian kanan
tubuhnya. Nampaknya ia mulai serius setelah sebelumnya tampak meremehkanku.
Tidak menunggu lama, ia kemudian segera melakukan beberapa gerakan pembuka
suatu ajian. Aku terkejut dan merinding. Nampaknya ia akan mengerahkan Guntur
Geni. Aku kenal betul dengan gerakan pembuka ajian ini. Salah satu jenis ajian yang
berbahaya karena bahkan angin kesiuran pukulannya dapat melukai. Tidak menunggu
lama, aku melakukan gerakan pembuka yang sama. Aku memutuskan akan mengadu
Guntur Geni milikku dengan Guntur Geni miliknya. Inilah pertama kali aku mencoba
mengerahkan keilmuan pamungkas yang kupelajari dari ayah. Kami berdua saling
melompat dan membuka serangan. Kuterima Guntur Geni miliknya dengan Guntur
Geni milikku. Kedua pukulan kami saling berbenturan. DHUAR! Laki-laki paruh baya
itu terjajar mundur. Nafasnya terengah-engah. "Siapa yang mengajarimu Guntur
Geni!!!", hardiknya. Ia tampaknya tak percaya, pukulan pamungkasnya sudah
dikalahkan dengan telak. Bahkan oleh seorang anak muda! Laki-laki paruh baya itu
sangat mengenali jenis energi yang dilontarkan oleh anak muda ini. Ia tahu persis,
karena ia juga mempelajarinya. Tapi tak disangka Guntur Geni milik pemuda ini lebih
hebat dibanding yang ia pernah pelajari. Mungkin dua atau tiga tingkat diatasnya.
Terlihat dari sudut bibirnya menetes darah segar. Ia segera mengusapnya dengan
punggung telapak tangan kanannya. "Paman tidak perlu tahu darimana aku belajar
Guntur Geni. Aku hanya tidak suka paman berbuat semena-mena terhadap orang lain.
Mempergunakan ilmu yang tidak pada tempatnya!", jawabku singkat. "Heh bocah! Apa
urusanmu? Ini urusanku. Aku mau melakukan apa saja juga terserahku!", jawab laki-
laki paruh baya itu dengan kasar. Tapi tampaknya ia mulai waspada dan
memperhatikanku. Ia mulai tampak serius. Tidak seperti tadi. Justru ini yang aku
takutkan. Sebelumnya, aku berhasil menangkis Pasir Wutah yang dilontarkannya.
Semata-mata karena laki-laki paruh baya di depanku ini menganggapku remeh sehingga
berkuranglah daya pukulannya. Aku jadi punya celah untuk menghantam balik. Dan
benar saja, ia terhantam. Meski tidak telak. Tapi tampaknya tidak setelah ini. Entah,
apakah aku punya kesempatan kedua atau tidak. Laki-laki ini terlihat sangat waspada
setelah tahu aku bisa melepaskan Guntur Geni. Kewaspadaanku jadi semakin
meningkat. Perlahan, aku menghirup nafas halus. Diam-diam kukerahkan Krei Wojo.
Aliran energi dibawah pusar kupecah kekanan dan kekiri. Kemudian kugabungkan
kembali, hingga naik ke tengah dahi. Saat memecah tadi, sebagiannya keluar dari
pinggang kanan dan pinggang kiri, lalu kubentuk medan segitiga hingga ke tengah dahi.
Bertemu dengan aliran tenaga yang kuarahkan kesitu. Melebur, menjadi satu. Tubuhku
kini terselimuti oleh medan segitiga energi Krei Wojo. Benar saja. Tidak berapa lama,
laki-laki paruh baya didepanku langsung melompat cepat ke arahku. Tangannya
mengepal. Pukulannya diarahkan tepat ke dadaku. Cepat Sekali. Sebelum pukulan itu
sampai, anginnya saja sudah membuat dadaku terasa panas. Bahkan kesiuran angin
pukulan panas sebelumnya sudah melukai sedikit punggung tanganku tepat diatas
pangkal ibu jariku. Saat itu aku masih belum sempat melindungi dengan Krei Wojo.
Tapi sekarang aku percaya dengan perlindungan medan energi Krei Wojo. Sesaat
sebelum mengenai tubuhku, arah pukulannya berbelok akibat efek medan energi Kere
Wojo yang kukeluarkan. Kepalannya mengenai batang pohon besar disampingku. Ia
tampak sangat terkejut. BHEGGG! Batang pohon itu terhantam keras. Aku langsung
menggeser langkahku dengan cepat. Kupakai gerak langkah mundur Simpir dan
melangkah mundur hingga jarakku menjadi dua langkah terhadap laki-laki itu.
Kewaspadaanku kutingkatkan. Khawatir tiba-tiba ia berbalik dan langsung
menyerangku dengan serangan yang lebih berbahaya. Aku melihat bagian tengah pohon
itu agak melesak. Warnanya menjadi kehitaman. "Pasir Besi ... ", gumamku tanpa sadar.
Laki-laki paruh baya itu segera berbalik arah, lalu menatapku tajam. Kepalannya kini
sudah dibuka. Tampaknya ia masih ingin menghantamku dengan Pasir Besi, tapi
menggunakan telapak tangannya. "Nasibmu akan seperti batang pohon ini!", hardik
laki-laki itu. "Paman, aku terpaksa akan menghentikanmu ... ", jawabku tenang.
Perlahan kujulurkan tangan kananku ke depan. Telapak tanganku mengarah kebagian
batang pohon bekas dihantam oleh Pasir Besi laki-laki paruh baya itu. Kupancangkan
niatku dengan kuat, lalu secepatnya kudeteksi getaran energi Pasir Besi yang masih
menempel di batang pohon itu. Setelah kudapatkan frekwensinya, secepatnya kutarik
dengan kedua tanganku lalu kusalurkan pada kedua ujung jari tanganku yakni telunjuk
dan jari tengah. Aku langsung membungkuk dengan menekuk kaki kanan hingga
lututku menyentuh tanah. Setelah itu segera kuhunjamkan kedua ujung jariku ke dalam
tanah. Ujung jariku masuk satu ruas ke dalam bumi. Laki-laki paruh baya tiba-tiba itu
menjerit. "Aaaakkh!!!", jeritnya menyayat. Tubuhnya kemudian limbung dan terhempas
keras menghantam Tanah. Ia mencoba bergerak dan bangkit. Tapi tidak bias. Sekeras
apapun usahanya, tetap saja gagal. Kutancapkan lebih dalam lagi hunjaman jari-jari
tanganku hingga masuk sepenuhnya tiga ruas. Laki-laki itu kembali menjerit. Lalu
terdiam. Diam. Tidak bangun lagi. Kedua jari-jari tanganku masih masuk kedalam tanah
seluruhnya. Lalu kulepaskan semua serapan getaran energi Pasir Besi miliknya ke
dalam bumi. "Maafkan aku paman... Aku sebenarnya tidak ingin mengerahkan pemunah
Pasir Besi. Tapi paman memaksaku...", ucapku lirih. Aku sama sekali tidak bahagia,
malah aku merasa sedih. Karena ilmu pemunah Pasir Besi ini dampaknya sangat
berbahaya. Meski demikian, aku hanya mengerahkan tujuh bagian tenaga saja sehingga
aku yakin laki-laki paruh baya itu tetap masih bernyawa. Lembaran pengobatan dan
lembaran penyembuhan belum tuntas aku kuasai sebagai pemunah dari dampak buruk
keilmuan pamungkas. Aku masih ingat ajaran ayahku, bahwa kalau bisa merusak maka
harus bisa mengobati. Belajar menghancurkan juga disertai kemampuan belajar
membangun. (bersambung)
Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/masgunggung/tembang-tanpa-syair-
jagad-tangguh-bagian-6_578742783e23bd0c06ec61c6

BENTURAN PAMUNGKAS Blaaaar!!! Keduanya terpental keras akibat beradunya


dua pukulan pamungkas yang keluar dari tangan mereka. Aku bersalto satu kali lalu
memanfaatkan putarannya untuk menyeimbangkan tubuh. Kedua kakiku menyentuh
tanah terlebih dahulu dengan tubuh masih terdorong ke belakang. Kedua telapak kakiku
membentuk jalur panjang kurang lebih empat lima meteran pada pasir pantai.
Sementara didepanku terlihat pemuda paruh baya yang usianya aku perkirakan berada
jauh diatasku juga terdorong jauh. Aku tidak tahu apakah ia sempat bersalto atau tidak.
Namun jejak kakinya juga terdorong membentuk jalur yang sama jauhnya dengan yang
terjadi padaku. Pemuda paruh baya itu terdiam. Dari jauh kulihat keningnya berkerut.
Nampaknya ia sangat terkejut ketika tahu pukulan pamungkasnya dimentahkan oleh
laki-laki yang lebih muda umurnya. "Bagaimana kamu bisa mengatasi Bayu Seto yang
kulepaskan dengan sepenuh tenaga?", ucap pemuda paruh baya itu lantang.
Pandangannya tampak menyelidik. Suara deburan ombak dipantai seolah mendadak
hening sehingga ucapannya dapat jelas kudengar. "Tenagamu mirip dengan tenaga
Bayu Seto milikku. Hmm... Tidak !! Ini sangat berbeda. Ilmu apa yang kau gunakan?",
lanjut pemuda itu. Ia perlahan melangkah maju. Berjalan dengan sangat waspada. Aku
masih berdiri terdiam. Meski demikian, kutingkatkan juga kewaspadaanku. "Paman,
aku akan jujur padamu. Ilmu ini diciptakan mendiang guruku khusus untuk menandingi
Bayu Seto.", ucapku dengan mantap. Pemuda paruh baya itu nampak sangat terkejut.
"Tidak mungkin!!!", jawabnya keras. "Belum ada yang bisa menandingi Bayu Seto saat
dilepaskan dengan tenaga penuh!", lanjut pemuda paruh baya itu. "Tapi nyatanya bisa
kutahan, bukan?", timpalku berusaha menurunkan semangatnya. "Benar! Tenagamu
mirip dengan yang kulatih. Tapi berbeda rasanya. Kamu tidak bohong. Apa nama ilmu
yang kamu gunakan untuk menahan Bayu Seto milikku!", tanya pemuda itu. Jaraknya
kini hanya dua atau tiga meter didepanku. "Namanya... Buka Ombak!", jawabku dengan
tegas. Begitu mendengar jawabanku, pemuda paruh baya itu bertingkah aneh. Ia tiba-
tiba tertawa. "Hahahaha...!!!", namun sesaat langsung terhenti dan wajahnya terlihat
marah. Ia hadap kiri dan menatap ke laut. "Kakek tua!!! Rupanya ucapanmu dulu bukan
main-main! Didepanku sekarang ada penerusmu yang lain! Dengan ilmu yang kau
ciptakan sendiri!!!", teriak pemuda itu lantang. Aku sama sekali tidak mengerti apa
yang dikatakannya. Tiba-tiba ia menatapku tajam. "Apalagi yang kau warisi dari kakek
tua itu! Katakan! Kalau kulepaskan pukulan Pasir Besi dengan tenaga penuh... Apa kau
bisa menahannya?", tanya pemuda paruh baya itu. Nampaknya ia mulai penasaran.
"Bisa!!! Aku mewarisi penangkalnya.", jawabku tenang. "Tidak mungkin!", ucap
pemuda paruh baya itu tidak Percaya. "Pukulan Pasir Besi tidak bisa ditangkal!!!",
jawabnya keras. Aku menarik kaki kananku kebelakang. Sementara kedua telapak
tanganku terbuka dan kusiapkan disamping pinggang. Perlahan aku geser kaki kiriku
hingga membentuk posisi kuda-kuda sejajar. Seluruh urat-urat di tubuhku mengendur
namun getaran tubuhku siaga penuh. "Coba saja!", jawabku mantap. Perlahan hawa
dibawah pusarku kembali menghangat. Lalu naik pada posisi diantara pusar dan ulu
hati. "Cukup!!! Lain kali kita akan bertemu lagi anak muda!!!", teriak pemuda paruh
baya itu. Mendadak ia melompat jauh ke belakang dan berlari kencang. Tidak berapa
lama punggungnya terlihat jauh dan mengecil. Tingkahnya sangat aneh. Perlahan aku
menenangkan diri, dan hawa hangat dibawah pusar aku simpan kembali. Aku terduduk
di pinggir pantai. Beberapa deburan ombak mengenai tubuhku. Rasanya agak lunglai.
"Aih, ternyata makin banyak sekali orang-orang yang mempelajari ilmu-ilmu
pamungkas ini tanpa mempelajari filosofinya. Sudah beberapa kali aku berbenturan
dengan pemuda-pemuda paruh baya yang menguasai Pasir Wutah, Guntur Geni, Pasir
Besi, dan kini Bayu Seto. Entah nanti apalagi yang kutemukan didepan...", gumamku
dalam hati. Aku jadi teringat ucapan ayahku, bahwa ilmu-ilmu seperti ini bagaikan
pisau bermata dua. Ia bisa melindungimu, namun juga bisa mencederaimu. Apabila ia
hanya sekedar mencederaimu maka kerugian ada pada dirimu sendiri, namun seringkali
ia dapat mencederai orang-orang disekitarmu, orang-orang yang kau sayangi. Jika itu
sampai terjadi, dan tidak ada rasa menyesal di hatimu, maka sesungguhnya hatimu telah
membatu. Ayah dulu menjelaskan, bahwa khasanah keilmuan tanah Jawa terbagi
menjadi dua bagian besar yakni ilmu kanuragan dan ilmu kasepuhan. Tujuan akhirnya
adalah memahami asal mula darimana kita dan kemana kita akan kembali. Dalam
perjalanannya seseorang akan dilatih sedemikian rupa dengan suatu latihan-latihan yang
khas. Latihan-latihan yang akan meningkatkan kemampuan diri lahir dan batin. Namun
seringkali, banyak yang terjebak pada hanya sekedar ragawi saja. Hal ini dikarenakan
jenis kemampuan yang dikenal dengan kemampuan kanuragan sangatlah melenakan.
Seseorang akan sering dipuji karena kehebatannya. Kehebatan mudah terlihat, bisa
didemonstrasikan. Tidak demikian dengan kesalehan pribadi. Manakala seseorang
berhenti pada tataran olah kanuragan, maka sesungguhnya disana terdapat potensi untuk
kerasnya hati. Oleh karena itu para sesepuh dan guru tanah Jawa yang memahami
filosofi akan menasehati untuk terus meningkatkan diri hingga pada ilmu kasepuhan.
Setiap pelajaran mengenai ilmu kanuragan selalu dibarengi dengan nilai-nilai dan
filosofi yang kuat. Dikawal ketat dengan itu. Aku memejamkan mata. Ingatanku
terbayang ketika berlatih ilmu-ilmu seperti itu. "Nak, kamu harus tahu, setiap kali
melatih ilmu kanuragan maka pada tubuhmu akan terjadi lonjakan-lonjakan energi yang
besar dan luar biasa dahsyat. Bahkan hanya dengan melatih tahap dasar dari sebuah
ilmu pernapasan saja akan membuat dirimu menjadi ksatria pilih tanding. Memiliki
tenaga yang sangat besar dan kemampuan merusak yang dahsyat. Hal ini dikarenakan
pada setiap latihannya sungguh akan menghasilkan lonjakan-lonjakan energi tinggi.",
ucap ayah. "Apabila lonjakan energi tinggi ini tidak kamu kawal ketat dengan nilai-nilai
dan filosofi, maka ia akan menjadi liar dan semakin liar. Sehingga sering kau jumpai
mereka yang digdaya namun lemah moralnya. Sering kau jumpai mereka yang perkasa
namun tiada perasa. Manakala ada orang yang belajar ilmu-ilmu kanuragan dan
memiliki keluarga yang harmonis, ayah yang bijaksana, ibu yang baik dan beradab,
lingkungan masyarakatnya yang baik, maka sungguh ilmu itu nantinya dapat
bermanfaat. Namun manakala ia belajar ilmu-ilmu kanuragan tanpa bimbingan filosofi
yang baik, maka sungguh kelak ilmunya akan melahap dirinya dan keluarganya seperti
halnya api membakar kayu kering.", lanjut ayah. Aku merinding mengingat kembali
ucapan ayah. "Maka menjadi tugas dari siapapun yang melatih ilmu-ilmu ini atau yang
mengajarkannya untuk memahami nilai-nilai dan filosofi yang terkandung di dalam
setiap ajaran. Akan lebih baik apabila mereka menjalani semua nilai dan filosofi ini
dalam kehidupannya sehari-hari secara nyata. Sebab sungguh Allah akan sangat
melaknat mereka-mereka yang mengatakan sesuatu yang mereka tidak menjalaninya.
Ajarkan sesuatu yang kamu sudah lakukan dan jalani dengan baik. Sebab darisanalah
nanti akan lahir keberkahan pada ilmu...", tutup ayah. (bersambung)

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/masgunggung/tembang-tanpa-syair-
jagad-tangguh-bagian-7_57876591527a61cb12a8c7df

LAMA TAPI BARU KriiingAlarm jam berbunyi nyaring. Aku bergegas bangun dan
melihat jam. Rupanya sudah menjelang subuh. Aku duduk sebentar didekat ranjang.
Kemudian berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk menunaikan sholat Subuh.
Selesai berdoa, aku langsung mengganti baju dan celana dengan baju olahraga
kesukaanku, yakni kaos dan celana silat warna hitam. Tak lupa kuselipkan handphone
pada saku celanaku. Kubuka jendela kamar. Udara pagi yang segar segera menyeruak
masuk. Kuhirup perlahan sambil bersyukur atas nikmat Allah yang kuterima pagi ini.
Perlahan aku berjalan keluar kamar dan membuka pintu depan. Sekitar dua puluh meter
didepan rumahku ada sebuah taman kota yang cukup besar. Aku berjalan perlahan
menuju kesana. Suasana taman itu ramai sekali. Ada banyak orang yang sedang
berolahraga disana. Padahal suasana masih pagi. Aku mengeluarkan handphone dari
saku kananku, kemudian melihat waktu yang ada disana. Baru jam 6 pagi rupanya.
Mataku memandang berkeliling, berbagai orang dengan jenis olahraga yang disukainya
masing-masing. Ada yang berlari kecil, ada yang sedang push up, ada yang sedang
senam, dan banyak lagi. Tanpa menunggu lama, aku menggerakkan tubuhku dan
melakukan senam pemanasan ringan. Lima menit kemudian tubuhku sudah
menghangat. Aku duduk dan memulai latihan olah nafas seperti yang aku pelajari dari
ayah yakni 30 set gerakan olah nafas dari mulai tangan, badan, kaki, dan kepala. Tanpa
terasa, satu jam sudah aku melakukan itu. Tubuhku kini sudah basah oleh keringat.
Terasa sangat segar. Masih dalam posisi duduk, tanpa sengaja aku menoleh ke sebelah
kanan. Aku melihat seorang kakek tua berusia kira-kira delapan puluh tahunan
memandangku. Pandangannya tajam namun hangat. Secara reflek aku langsung
tersenyum. Kakek itu membalas senyumanku. Ia berdiri dari tempat duduknya lalu
berjalan kearahku. Tanpa diminta, ia langsung duduk didepanku. "Nak, siapa yang
mengajarimu olah nafas tadi?", tanya kakek tua itu. "Maaf kek, olah nafas yang mana
ya?", jawabku. "Semuanya. Sejak mulai pembukaan hingga penutupan.", ucap kakek
itu. Keningku berkerut. "Maksud kakek?", tanyaku penasaran. "Meski yang kamu
lakukan sudah sangat baik, tapi ada bagian yang kurang lengkap nak.", ucap kakek
tanpa mempedulikan pertanyaanku. "Kurang lengkap?", tanyaku penasaran lagi. "Tapak
Geni yang kamu lakukan baru tapak geni tunggal. Masih ada Tapak Geni Sejajar dan
Tapak Geni Silang", lanjut kakek itu. Lagi-lagi tanpa menghiraukan pertanyaanku.
Tiba-tiba ia langsung berdiri. Mengambil posisi kuda-kuda rendah dan melakukan
gerakan sedemikian rupa. "Ini adalah Tapak Geni Sejajar", ucap kakek itu. Ia kemudian
mengganti gerakannya, menarik tangannya kesamping pinggang kemudian melakukan
sebuah gerakan yang khas. "Ini namanya Tapak Geni Silang", lanjut kakek. Aku sangat
terkejut. "Kakek, darimana kakek tahu gerakanku tadi jurus pembuka ajian Tapak
Geni?", tanyaku semakin penasaran. "Berdirilah!", pinta kakek itu tanpa menjawab
pertanyaanku. Bagai dihipnotis, aku menurut. Aku langsung berdiri. "Ambil posisi
kuda-kuda rendah. Badanmu harus tegak. Lalu saat memutar ke kiri, putaran
pinggangmu harus sempurna dan seluruh telapak tangan menyentuh bumi. Lakukan!",
ucap kakek itu. Aku menurut, dan melakukan apa yang diminta oleh kakek itu. Aku
melakukan rangkaian gerak pembuka ajian Tapak Geni. "Bagus! Langsung dilanjut
dengan Tapak Geni Sejajar!", ucap kakek itu. Aku lagi-lagi menurut. Setelah
menyelesaikan rangkaian gerak pembuka ajian Tapak Geni, dilanjutkan dengan
melakukan rangkaian gerakan sedemikian rupa yang kakek itu sebut dengan Tapak
Geni Sejajar. Tubuhku mulai berasa panas. "Bagus! Jangan berhenti! Lanjutkan dengan
Tapak Geni Silang!", pinta kakek itu. Aneh, rangkaian gerak yang kakek itu lakukan
langsung bisa aku ingat dengan sempurna di kepalaku. Padahal rangkaian geraknya
lebih dari dua gerakan. Aku mengganti posisi tanganku lalu mulai melakukan gerak
lanjutan Tapak Geni Silang. Sesaat setelah selesai, dari mulai ujung jari tangan hingga
pangkal siku berasa sangat panas. "Bagus sekali!!! Lepaskan ke bumi... Sekarang!",
ucap kakek itu dengan keras. Naluri tiba-tiba menuntunku untuk memutar kedua
pergelangan tanganku didepan pinggang, menekuk pinggang dan merendahkan kuda-
kuda sambil menghentak telapakku ke tanah. BRESSS!!! Telapakku menembus tanah
yang dilapisi beton cor hingga sebatas setengah ruas jari. Lalu mendadak panasnya
mengalir habis menembus melewati telapak tanganku bagai uap yang deras. Aku sangat
terkejut. Hasilnya benar-benar diluar dugaanku. "Simpan baik-baik pengetahuan ini.
Sebab tidak semua orang tahu yang seperti ini. Kelak, ajarkanlah pada yang kau anggap
layak.", ucap kakek tua itu. "Kakek ini siapa?", tanyaku penasaran. "Siapa aku tidaklah
penting. Jika kamu tetap ingin tahu siapa aku, maka datanglah nanti malam kesini jam
sebelas.", jawab kakek tua itu. "Sampai bertemu lagi anak muda!", lanjut kakek tua itu.
Aku tidak bisa membantah. Kakek tua itu tahu mengenai Tapak Geni. Bahkan ia bisa
merincinya menjadi Tapak Geni Tunggal dan Tapak Geni Sejajar. Padahal ayah pernah
mengatakan kalau tidak semua orang tahu jenis-jenis ilmu ini. Apalagi melatihnya.
Dulu ayah pernah sekilas mengatakan kalau ada guru ayah yang mendapatkan limpahan
keilmuan dari kakek guru secara langsung dan ayah beruntung pernah jadi muridnya
dan diwariskan lebih dari lima puluh jenis olah napas yang langka. Setelah itu guru
ayah menghilang tidak ketahuan rimbanya. Guru ayah saat itu usianya tujuh puluh
tahunan namun masih sangat kuat. Masih bisa melakukan push up dengan dua jari. Dan
masih memiliki kesehatan yang prima. Aku heran kenapa ada kakek tua yang juga
mengetahui ilmu lama ini. "Kakek... engkau ini siapa sebenarnya?", gumamku dalam
hati. Aku memantapkan hati untuk nanti malam menemui kakek itu ditempat ini.
(bersambung)

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/masgunggung/tembang-tanpa-syair-
jagad-tangguh-bagian-8_5787b8b507b0bddd09c19b96

Anda mungkin juga menyukai