Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PENUGASAN BLOK 19

PENANGANAN GEJALA PASIEN PALIATIF

(Manajemen Luka Kanker, Xerostomia, Oral Mucositis, Gangguan kulit)

Disusun oleh kelompok 6

1. Puspita Ningrum ( 20140320006)


2. Lisa Listiana Dewi ( 20140320027)
3. Nia Ayu Lestari ( 20140320063)
4. Muhammad Ulin Nuha ( 20140320082)
5. Nihlatun Arifah ( 20140320087)
6. Dzikri Abdillah Sakti ( 20140320089)
7. Ensi Qoriati Ningrum ( 20140320097)
8. Aidatul Fitri ( 20140320100)
9. Tri Yulianti ( 20140320109)
10. Muhammad Danang Putra P. ( 20140320115)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. Kelompok telah
menyelesaikan tugas blok 19 dalam bentuk makalah.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak
lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan rekan-rekan kami, sehingga kendala-kendala
yang penulis hadapi teratasi. Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan
persyaratan untuk menyelesaikan tugas makalah Penanganan Gejala Paliativ Blok 19 di
PSIK FKIK UMY.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dalam penulisan makalah ini kelompok
menyampaikan ucapan terima kasih kepada rekan-rekan yang membantu dalam
menyelesaikan makalah ini.

Yogyakarta, 22 September 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................................................i


KATA PENGANTAR........................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang..................................................................... 1
1.2Tujuan Penulisan................................................................. 1
BAB II PENANGANAN GEJALA PASIEN PALIATIF
2.1 Luka Kanker................................................................ ......2
2.2 Gangguan Kulit ( Pruritus dan Luka Tekan ).......................6
2.3 Xerostomia........................................................................11
2.4 Oral Muxositis ...................................................................15
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Analisis Jurnal ... ............................................................... 17
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan......................................................................... 20
4.2 Saran................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 22

LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Adanya pergeseran pola penyakit dari penyakit menular menuju penyakit
tidakmenular menyebabkan jumlah pasien dengan penyakit kronis yang belum
dapatdisembuhkan dan mengancam jiwa meningkat. Berdasarkan data dari Riset
KesehatanDasar (2013), penyakit kronis merupakan sepuluh penyebab utama kematian
diIndonesia. WHO (2011) menyatakan bahwa lebih dari dua pertiga (70%) dari
populasiglobal diperkirakan akan meninggal akibat penyakit kanker, penyakit jantung,
stroke dan diabetes melitus. Untuk menangani masalah pasien dengan penyakit kronis
yang mengancam jiwa tersebut perlu pemberian pelayanan perawatan paliatif, disamping
kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (Kemenkes, 2007).
Perawataan Paliatif (palliativecare) adalah suatu terapi / pendekatan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga yang sedang mengalami masalah
penyakit terminal atau mengancam jiwa, melalui pencegahan dan pembebasan penderitaan
dengan identifikasi dini dan evaluasi yang baik, serta tata laksana nyeri, fisik, psikososial
dan spiritual.(WHO, 2016). Perawatan paliatif telah terbukti dapat meningkatkan
kesejahteraan pasien dan mengurangi gejala, sehingga meningkatkan kualitas hidup
mereka, sekitar 63% kematian yang terjadi akibat kanker, mendapat manfaat dari terapi
paliatif. (Setiati, 2016).Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi tatalaksana nyeri,
tatalaksana keluhan fisik lain, asuhan keperawatan, dukungan psikologis, sosial, kultural
dan spiritual serta dukungan persiapan dan selama masa duka cita.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui prevalensi munculnya gejala pada pasien paliatif ( Luka Kanker,


Xerostomia, Oral Mucositis, Gangguan kulit )
2. Mengetahui patofisiologi munculnya gejala pada pasien paliatif ( Luka Kanker,
Xerostomia, Oral Mucositis, Gangguan kulit )
3. Mengetahui penanganan gejala pasien paliatif ( Luka Kanker, Xerostomia,
Oral Mucositis, Gangguan kulit )
BAB II
PENANGANAN GEJALA PASIEN PALIATIF

2.1 Luka Kanker

1) Definisi dan Prevalensi

Luka kanker disebut juga dengan sebutan fungating malignant wound atau
malignant cutaneous wound. Luka kanker merupakan infiltrasi sel tumor yang
merusak lapisan epidermis dan dermis yang disebabkan oleh deposisi dan atau
proliferasi sel ganas dengan bentuk menonjol atau tidak beratura, biasanya
seringkali muncul berupa benjolan (nodul) yang keras, non mobile, bentuknya
menyerupai jamur (cauli flower), mudah terinfeksi, mudah berdarah, nyeri,
mengeluarkan cairan yang berbau tidak sedap dan sulit sembuh. Menurut World
Health Organization (WHO) Kanker payudara, kanker serviks, dan kanker prostat
merupakan jenis kanker dengan presentase tertinggi yang terjadi terutama di negara
berkembang. Lebih dari 70%, kematian oleh kanker terjadi di daerah Afrika, Asia,
dan Amerika. Tingginya kasus penyakit kanker ini disebabkan karena terbatasnya
akses screening, pengetahuan, dan pengobatan mengenai kanker.
Pasien yang mengalami metastase kanker akan mengalami luka kanker.
Luka kanker paling banyak ditemukan pada pasien yang menderita kanker bagian
payudara, leher, dan kepala. Luka kanker muncul disebabkan karena infiltrasi dari
sel-sel maligna yang menyebabkan kerusakan pada integritas jaringan.
Karakteristik luka kanker diantaranya terdapat eksudat berlebih, bau yang sangat
menyengat, nyeri kronis, dan sukar disembuhkan. Dampak dari luka kanker pada
pasien adalah pasien merasa malu dengan luka kanker yang dialaminya sehingga
pasien enggan untuk keluar rumah maupun berobat.

Luka kanker sering mengalami jaringan nekrosis yang merupakan media


untuk pertumbuhan bakteri, baik bakteri aerob ataupun anaerob tumbuh baik pada
jaringan nekrosis. Proporsi anaerob pada luka kanker relative tinggi, bakteri ini
berkolonisasi dan melepaskan sisa metaboliknya ( volatile fatty acid ) yang
bertanggung jawab akan malodor dan pembentukan eksudat pada luka kanker.
Ketika tumor terjadi penekanan pada bagian saraf atau pembuluh darah biasanya
akan menimbulkan kerusakan saraf yang menyebabkan nyeri dan apabila tumor
merusak pembuluh darah besar atau penurunan pada fungsi platelet, tumor akan
mengalami perdarahan luka.

Praptiwi (2017) menjelaskan bahwasannya pasien yang terdiagnosis kanker


dengan terdapat luka kanker lebih memilih perawatan tradisional dan terapi
alternatif. Hal ini disebabkan karena di Indonesia sendiri akses mendapatkan
perawatan luka kanker masih kurang, biaya yang tinggi, dan pelayanan medis yang
kurang memadai yang menyebabkan ketidakpercayaan terhadap tenaga medis atas
perawatan luka yang diberikan dan kompetensi khusus perawat dalam melakukan
perawatan luka kanker. Berbeda dengan negara lain seperti Amerika, dan Malaysia
yang memiliki kompetensi khusus dalam bidang perawatan luka kanker, dan
terdapat pembiayaan bagi pasien yang kurang mampu dalam berobat kanker.

Luka kanker disebabkan oleh :


Gen Abnormal
Gen abnormal ini menyebabkan terjadinya kerusakan gen yang mengatur
pertumbuhan dan diferensiasi sel
Kerusakan Gen
Kerusakan gen dapat terjadi berupa kerusakan kongenital serta karsinogen /
lingkungan
Transformasi Keganasan
Kecepatan sel dalam membelah dan membentuk sel baru tidak seimbang
dengan kematian sel, sehingga terjadi pembelahan sel yang lebih cepat.

Faktor resiko terjadinya kanker yaitu :

- Wanita, usia > 50 tahun


- Riwayat keluarga dan genetik (Pembawa mutasi gen BRCA1, BRCA2,
ATM atau TP53 (p53))
- Riwayat penyakit payudara sebelumnya (DCIS pada payudara yang sama,
LCIS, densitas tinggi pada mamografi)
- Riwayat menstruasi dini (< 12 tahun) atau menarche lambat (>55 tahun)
- Riwayat reproduksi (tidak memiliki anak dan tidak menyusui)
- Hormonal
- Obesitas
- Konsumsi alkohol
- Riwayat radiasi dinding dada,
- Faktor lingkungan.

Luka kanker termasuk dalam luka kronis dimana untuk penanganannya


membutuhkan metode yang tepat salah satunya dengan menggunakan teknik
modern dressing dengan menggunakan madu yang mempunyai fungsi sebagai anti-
bakteri dan anti-inflamasi. Dalam perawatan mnggunakan madu sudah banyak
literatur yang mengungkapkan banyak keuntungan untuk perawatan luka kronis.
Madu merupakan cairan yang mengandung anti-inflamasi sebagai proses
penyembuhan luka seperti aktivitas antiinflamasi, aktivitas antibakterial, aktivitas
antioksidan, kemampuan menstimulasi proses pengangkatan jaringan mati/
debridement, mengurangi bau pada luka, serta mempertahankan kelembapan luka
yang pada akhirnya dapat membantu mempercepat penyembuhan luka.

Madu adalah produk alami yang menunjukkan efek potensial untuk


menghambat atau menekan perkembangan dan perkembangan tumor dan kanker.
Efek antiproliferatif, antitumor, antimetrik dan antikankernya dimediasi melalui
beragam mekanisme, termasuk penangkapan siklus sel, aktivasi jalur mitokondria,
induksi permeabilisasi membran luar mitokondria, induksi apoptosis, modulasi
stres oksidatif, perbaikan inflamasi, modulasi sinyal insulin, dan penghambatan
angiogenesis pada sel kanker. Madu sangat dan selektif sitotoksik melawan tumor
atau sel kanker sementara itu tidak bersifat sitotoksik terhadap sel normal. Ini bisa
menghambat kankerogenesis dengan memodulasi atau mengganggu dengan proses
molekuler atau kejadian tahap inisiasi, promosi, dan kemajuan. Oleh karena itu,
dapat dianggap sebagai agen antikanker potensial dan menjanjikan yang menjamin
penelitian lebih lanjut - baik di Indonesia percobaan dan studi klinis.

Dalam dunia kesehatan madu sudah banyak dibuktikan untuk penyembuhan


luka. Madu terbukti memiliki spektrum potensi antibakterial sangat luas yaitu
mampu menghambat pertumbuhan kuman gram positif ataupun negatif, serta
kuman aerob ataupun anaerob. Selain itu, madu juga memiliki keunggulan lain
dibandingkan antibiotik, yakni tidak ada penurunan kepekaan/ sensitivitas bakteri
terhadap madu setelah penggunaan jangka panjang dan berdasarkan penelitan
terbukti tidak dijumpai adanya mutasi yang mengarah pada resistensi terhadap
madu.

Terbukti, sebagian besar publikasi di laboratorium menunjukkan bahwa


madu memiliki sejumlah khasiat (fisik dan bioaktif) yang bermanfaat dalam
mengelola berbagai luka, diantaranya: Asam (pH berkisar antara 3,2 sampai 4,5,
dapat menghambat pertumbuhan bakteri), tinggi Kandungan gula (efek osmotik,
bisa menarik eksudat), mengandung enzim(glukosa-oksidase, merangsang
pelepasan hidrogen peroksida agar berfungsi sebagai agen antibakteri), merangsang
pelepasan sitokin dan interleukin untuk meningkatkan perbaikan jaringan dan
beberapa jenis madu (terutama Leptospermum / madu Manuka) memiliki
komponen fitokimia yang mempertahankan aktivitas antibakteri. Percobaan klinis
memiliki Juga menunjukkan bahwa madu merupakan alternatif yang baik untuk
debridemen bedah mungkin karena kemampuannya untuk meningkatkan aktivitas
plasmin, sebuah enzim itu khususnya mencerna fibrin (fibrin menempel ke
permukaan luka) tetapi tidak mencerna matriks kolagen yang dibutuhkan untuk
perbaikan jaringan. Apalagi sebuah penelitian melaporkan bahwa penggunaan
madu sebagai pengobatan tunggal memiliki tindakan pembersihan dan penghilang
bau yang cepat dalam waktu 24 jam, khususnya pada luka fungasi (ganas). Hal ini
juga mengurangi peradangan dan tingkat eksudat. Meski begitu, potensi madu
dalam mengobati rasa sakit dan perdarahan pada luka ganas tidak dibahas secara
luas di artikel yang telah diulas.

Penggunaan madu untuk penanganan luka keganasan bisa menjadi hal yang
menguntungkan dalam praktikkan mengenai masalah biaya perawatan kesehatan
dan sumber daya yang terbatas. Namun demikian, diperlukan penelitian yang
panjang Selidiki penggunaan madu untuk mengobati rasa sakit dan pendarahan
pada Luka keganasan sehingga nilai madu dalam kondisi khusus ini bisa jadi
diperkuat.
2.2 Gangguan Kulit ( Pruritus dan Luka Tekan )

A. Pruritus
1) Definisi dan Prevalensi

Pruritus merupakan penyakit gejala yang menyusahkan dari berbagai


penyakit kulit dan penyakit sistemik, pruritus disebut juga sebagai sensasi tidak
nyaman pada kulit yang menimbulkan keinginan untuk menggaruk daerah tertentu
untuk mendapatkan kelegaan. Pevalensi pruritus berkisar antara 8,4% sampai 13,9
% dari seluruh populasi. Pruritus generalisata tanpa penyakit kulit paling sering
diakibatkan karena penyakit sistemik pravalensinya berkisar antara 10% sampai 50
%. Pasien dengan uremia prevalensinya 10-70%, dan penyakit hati dengan
prevalensi 15-100%.

2) Klasifikasi pruritus :
a. Berdasarkan perubahan pada kulit dan mekanismenya
Pruritus pada penyakit kulit (kulit mengalami inflamasi)
Pruritus pada kulit yang normal (non inflamasi)
Pruritus dengan lesi sekunder akibat garukan kronis.
b. Berdasarkan lama keluhannya
Pruritus akut
Jika keluhan berlangsung kurang daru 6 minggu
Pruritus kronik
Jika keluhan berlangsung lebih dari 6 minggu dan biasanya berkaitan
dengan penyakit sistemik.
3) Jenis-jenis pruritus
a. Pruritus pada gravidarum
Di induksi oleh hormon estrogen terutama pada trimester III akhir gravidarum
dimulai dari abdomen atau badan kemudian generalisata, bisa disertai dengan
gejala anorexia, nausea atau muntah juga disertai ikterus kolestatik setelah
pruritus 2- 4 minggu karena garam empedu ada dalam kulit.
b. Pruritus pada hepatikum
Pruritus sebagai akspresi kolestatis tanda adanya obstruksi pada empedu
(obstruksi biliarry disease) yang berlokalisasi pada daerah hepatal, bisa juga
disebabkan efek samping obat-obatan yang memberi obstruksi intra hepatal
sehingga terjadi ekskresi garam asam billiar.

c. Pruritus pada Senilitas / Senilis


Kulit senile yang kering mudah menderita fisur (chapped skin) mudak menjadi
pruritik, terjadi dengan atau tanpa reaksi inflamatorik. Rasa gatal terjadi karena
stimulasi ringan / perubahan suhu. Daerah yang tersering ialah daerah genital
eksterna, perineal dan perianal.
d. Pruritus pada Sistem Endokrin (DM, Hiperparatiroid, Mixedema)
Pada DM terjadi hiperglikemia, sehingga terjadi iritabilitas ujung-ujung saraf
dan kelenjar metabolik di kulit terutama daerah anogenital atau submammae
pada wanita.Glikogen sel sel epitel kulit dan vagina meningkat sehingga terjadi
diabetes kulit oleh karena predisposisi berupa dermatitis, kandidiasis, dan
furunkulosis.Pada hiperparatiroid terjadi peningkatan hormon paratiroid dalam
plasma sehingga terjadi defisit kalsium dalam kulit khususnya kalsium fosfat.
e. Pruritus pada Generalisata / Gagal Ginjal
Terjadi pruritus generalisata, terutama pada GGK (gagal ginjal kronis) disertai
edema dan terjadi kekeringan kulit (Xerosis) oleh karena terjadi atrofi kelenjar
sebasea dan kelenjar sudorifera.Pada penyakit ginjal juga mengakibatkan
gangguan metabolisme pada fosfor dan kalsium, magnesium dalam serum
meningkat sehingga terjadi uremia yang menyebabkan terjadinya pruritus,
penyebabnya oleh bahan-bahan yang mengalami retensi, ginjal gagal
mensekresinya sehingga perlu dilakukan hemodialisis.
f. Pruritus pada neopalstik
Pruritus pada keganasan internal terutama berasal dari sistem limforetikuler
menyebabkan penyakit Hodgkin dengan insidens sampai berbulan-bulan,
sebelum penyakit gejala mendasari diketahui.
g. Pruritus pada Mikosis Fungoides
Merupakan limfoma maligna yang progresif. Pruritus timbul pad waktu lesi
kulit masih tidak khas dan belum terdapat infiltrasi maligna. Pruritus dapat
bersifat menetap dan intoleran.
h. Pruritus pada neurologic
Defisit saraf sentral / perifer sebagai pengatur sensasi perabaan dapat
menyebabkan pruritus.
i. Pruritus pada Psikologik
Respons garukan berbeda dengan pruritus karena penyebab lain. Pada gatal
karena penyakit organis terdapat korelasi antara sensasi gatal dengan beratnya
respons garuk. Pada gatal psikologik ternyata respons garukan lebih kecil
daripada derajat gatal subjektif, tampak lebih sedikit efek garukan dan lebih
sedikit efek garukan dan lebih banyak picking (cubitan), serta tidak dijumpai
gangguan tidur.
j.Pruritus pada Penyakit lain
a. Gout / rhematik.
b. Hipertensi, aterosklerotik menyebabkan pruritus di seluruh tubuh sebelum
timbulnya aplopexia.
c. Polisitemia vena disertai pruritus dan urtikaria.
d. Defisiensi Fe bukan anemia, karena gangguan pembentukan Fe,
sebelumnya anemia pruritus sudah hilang.
4) Tanda dan gejala pruritus
a. Kulit gatal di sekitar area kecil tertentu, misalnya pada lengan atau kaki,
atau seluruh tubuh terasa gatal
b. Kulit memerah
c. Bentol, bintik-bintik, atau kulit melepuh
d. Kulit kering dan pecah-pecah
e. Tekstur kulit kasar atau bersisik
5) Patofisiologi

Pruritogen menyebabkan ujung serabut saraf C pruritoseptif teraktivasi.


Serabut saraf C tersebut kemudian menghantarkan impuls sepanjang serabut saraf
sensoris. Terjadi input eksitasi di Lamina-1 kornu dorsalis susunan saraf tulang
belakang. Hasil dari impuls tersebut adalah akson refleks mengeluarkan transmiter
yang menghasilkan inflamasi neurogenik (substansi P, CGRP, NKA, dll). Setelah
impuls melalui pemrosesan di korteks serebri, maka akan timbul suatu perasaan
gatal dan tidak enak yang menyebabkan hasrat untuk menggaruk bagian tertentu
tubuh.

6) Penatalaksanaan farmakologi
a. Aspirin: efektif pada pruritus yang disebabkan oleh mediator kinin atau
prostaglandin, tapi dapat memperburuk rasa gatal pada beberapa pasien.
b. Doxepin atau amitriptyline: antidepresan trisiklik dengan antipruritus yang
efektif. Antidepresan tetrasiklik dapat membantu rasa gatal yang lebih
parah.
c. Antihistamin: antihistamin yang tidak mengandung penenang memiliki
antipruritus. Antihistamin penenang dapat digunakan karena efek
penenangnya tersebut.
d. Thalidomide terbukti ampuh mengatasi prurigo nodular dan beberapa jenis
pruritus kronik.
e. Antagonis opioid terbukti efektif pada pasien yang menderita pruritus yang
berkepanjangan.

B. Luka Tekan
1) Definisi dan Prevalensi

Luka tekan adalah luka yang disebabkan karena adanya tekana yang terus-
menerus pada suatu area sehingga menyebabkan iskemia, kematian sel dan
nekrosis jaringan, dimana biasanya terjadi pada jaringan lunak di atas tulang yang
menonjol/body prominence (Durovic, 2008). Di Indonesia pernah dilakukan survey
di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta tahun 2001. Dilaporkan dari 40 pasien tirah
baring, 40% menderita luka dekubitus (Setyawan 2008 dalam Tarihoran 2010).
Setiajati (2001) melakukan survey di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta,
didapatkan 38,18% pasien mengalami luka tekan (Setyawan 2008 dalam tarihoran
2010). Secara keseluruhan Indonesia, kejadian luka tekan dirumah sakit 33%
(Suriadi et al 2007 dalam Tarihoran 2010).

Suriadi (2007) menyebutkan bahwa angka kejadian luka dekubitus di


Indonesia mencapai 33,3% dibandingkan dengan angka prevalensi ulkus dekubitus
di ASEAN yang hanya berkisar 2,1 31,3% (Seongsook et al., 2004 dalam Yusuf,
2010). Beberapa tahun terakhir ini, terdapat peningkatan prevalensi luka tekan pada
lansia oleh karena peningkatan angka harapan hidup (Jaul, 2010). Pada subpopulasi
geriatrik di USA, rata rata insiden luka tekan sebesar 24% dengan prevalensi
17,4% (Klipp et al., 2002 dalam Durovic, 2008).

2) Tanda dan gejala Luka Tekan


1. Stadium I
Perubahan pada kulit yang bisa diobservasi yaitu lebih dingin dan hangat , lebih
keras atau lunak, gatal atau nyeri.
2. Stadium II
Kulit mengalami abrasi, melempuh, atau membentuk luka yang dangkal
3. Stadium III
Kerusakan atau nekrosis dari jaringan subkutan tapi tidak sampai fascia. Luka
terlihat seperti lubang yang dalam
4. Stadium IV
Hilangnya lapisan kulit, nekrosis jaringan, kerusakan pada otot, tulang serta
tendon dan aanya luka yang dalam
3) Faktor resiko
1. Faktor tekanan
a. Mobilitas & aktivitas
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol
posisi tubuh, sedangkan aktifitas adalah kemampuan untuk berpindah.
Pasien dengan berbaring terus menerus di tempat tidur tanpa mampu untuk
merubah posisi beresiko tinggi untuk terkena luka tekan. Sedangkan
imobilitas pada lansia merupakan ketidakmampuan untuk merubah posisi
tubuh tanpa bantuan yang disebabkan oleh depresi CNS (Jaul, 2010).
b. Penurunan persepsi sensori
Pasien dengan penurunan sensori persepsi akan mengalami
penurunan untuk merasakan sensasi nyeri akibat tekanan di atas tulang yang
menonjol. Bila hal ini terjadi dalam durasi yang lama, pasien akan mudah
terkena luka tekan (Sari, 2012).
2. Faktor toleransi jaringan
a. Intrinsik
1) Kelembaban
Kelembaban yang disebabkan karena inkontinensia dapat
mengakibatkan terjadinya maserasi pada jaringan kulit. Jaringan
yang mengalami maserasi akan mudah mengalami erosi. Selain itu
kelembaban juga mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan
(friction) dan pergeseran (shear) (Sussman dan Jansen, 2001., Pan
Pacific Clinical Practice Guidelines, 2012).
2) Gesekan
Pergesekan terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan
arah yang berlawanan. Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan
merusak permukaan epidermis kulit. Pergesekan bisa terjadi pada
saat penggantian sprei pasien yang tidak berhati hati.
b. Ekstrinsik
1. Umur

Pasien yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk terkena
luka tekan karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan proses
penuaan. (Sussman & Jensen, 2001).

2. Tekanan arteriolar

Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit


terhadap tekanan, sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah sudah
mampu mengakibatkan jaringan menjadi iskemia (Sari, 2012).

3. Merokok

Merokok mungkin sebuah prediktor terbentuknya luka tekan.


Insiden luka tekan lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan yang
bukan perokok. Afinitas haemoglobin dengan nikotin dan meningkatnya
radikal bebas diduga sebagai penyebab risiko terbentuknya luka tekan pada
perokok.

4) Patofisiologi

luka tekan adalah nekrosis jaringan yang terjadi saat jaringan lunak tertekan
diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam waktu yang lama.
Tekanan yang terus menerus akan mempengaruhi metabolisme sel dengan
menurunkan atau menghambat aliran darah sehingga terjadi iskemi jaringan dan
selanjutnya mengakibatkan kematian jaringan. Tekanan eksternal yang terlalu lama
mengakibatkan jaringan menjadi hipoksia. Ketika tekanan ini tidak dihilangkan
dari tempat hipoksia maka terjadi kolap dan trombosis. Pembentukan luka
dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya gesek yang terjadi saat
menaikkan posisi klien diatas tempat tidur. Area sakral dan tumit merupakan area
yang sangat rawan terjadinya dekubitus.

5) Managemen luka tekan


1. Terapi ozon pada luka tekan
Ozon (O3) adalah gas yang secara alami terdapat di atmosfir bumi
memiliki bau yang spesifik dan kuat serta merupakan bentuk alatropik dari
oksigen. Ozon merupakan oksidan yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan
oksigen. Fungsi dasarnya adalah untuk melindungi manusia dari efek
berbahaya dari radiasi UV.Selain digunakan sebagai antiseptik, ozon juga
dinyatakan memiliki efek antivirus, antijamur dan antiprotozoa.Efek ozon
terhadap bakteri adalah dengan mengganggu integritas kapsul sel bakteri
melalui oksidasi fosfolipid dan lipoprotein, kemudian berpenetrasi ke dalam
membran sel.
Disamping itu ozon juga dapat memperbaiki distribusi oksigen dan
pelepasan growth factor yang bermanfaat dalam mempercepat penyembuhan
luka.Sebelum diaplikasikan pada luka, luka dibersihkan (dicuci) dengan
menggunakan normal salin, kemudian dikeringkan. Setelah itu luka ditutup
dengan menggunakan kantong plastik, rapatkan hingga kedap udara. Mesin
ozon dihidupkan, atur waktu selama 15 20 menit. Pada pasien dengan
kelainan vaskuler, konsentrasi ozon yang diberikan adalah 6 8 ml. Pemakaian
ozon dalam konsentrasi yang terlalu rendah hanya menghasilkan efek
terapeutik yang kecil, dan bila digunakan dalam konsentrasi yang terlalu tinggi
menimbulkan efek toksik. Kisaran therapeutic window adalah 20 80 ug/mg
ozon per gram darah.
2. Teknik massage dengan menggunakan oil
terapi pemijatan atau massage dibutuhkan lotion sebagai pelumas dan
pelembab kulit, tujuannya untuk menambah dan atau mempertahankan
kandungan air dalam lapisan korneum sehingga kulit akan terasa halus dan
lembut.Virgin coconut oil adalah produk olahan kelapa yang aman dikonsumsi
oleh masyarakat dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.VCO mengandung
asam laurat yang tinggi (sampai 51%), sebuah lemak jenuh dengan rantai
karbon sedang (jumlah karbonnya 12) yang biasa disebut Medium Chain Fatty
Acid (MCFA). Di dalam tubuh manusia asam laurat akan diubah menjadi
monolaurin, sebuah senyawa monogliserida yang bersifat antivirus, antibakteri,
dan antiprotozoa (Fife 2004).Adanya peningkatan metabolisme maka sel-sel
bekerja lebih efisien membentuk sel-sel baru serta mengganti sel-sel yang rusak
lebih cepat sehingga VCO (Virgin Coconut Oil) dapat digunakan untuk
penyembuhan luka dekubitus derajat II.

2.3 Xerostomia

1) Definisi dan Prevalensi

Xerostomia berasal dari bahasa Yunani yaitu xeros: kering dan stoma:
mulut. Mulut kering digambarkan sebagai penurunan kecepatan sekresi stimulasi
saliva. Xerostomia adalahkomplain subjektif dari mulut kering yang bisa
disebabkan leh penurunan produksi saliva. Xerostomia didefinisikan sebagai
kekeringan dari mulut yang dapat dihasilkan dari aliran air liur berkurang atau
tidak ada. Kira-kira 500 mL air liur diproduksi setiap hari yang sangat bervariasi
berdasarkan kebutuhan. Laju aliran air liur yang tidak distimulasi dan distimulasi
adalah 0,3 mL / menit, dan 4,0 sampai 5,0 mL / menit masing-masing. Kelenjar
saliva diklasifikasikan sebagai kelenjar liur mayor dan minor. Kelenjar liur utama
terdiri dari kelenjar liur parotid menghasilkan air liur serosa, dan kelenjar liur
submandibular menghasilkan air liur mukin. Selain itu, banyak kelenjar liur minor
di dalam mukosa oral penting untuk pelumasan yang diperlukan untuk berbicara
dan meningkatkan produksi immuno globulin A (IgA) saliva yang memiliki fungsi
kekebalan tubuh. Kelenjar liur minor menghasilkan sekitar 10% air liur namun
sekitar 25% IgA saliva.

Pravelensi xerostomia pada populasi umum masih belum jelas karena


terbatasnya jumlah studi. Pravelwnsi ang dilaporkn bervariasi mulai dari 0,9%
hingga 64,8%. Insiden xerostomia meningkat dari 6% pada usisa 50 tahun dan 15%
pada usia 65 tahun. Perawatan esehatan mulut adalah salah satu kebutuhan tertinggi
yang belum terpenuhi untuk pasien yang hidup dengan HIV-AIDS. Temuan ini
menenjadi perhatian karena diperkirakan 90% orang yang hidup dengan HIV-AIDS
setidaknya akan memiliki satu manifestasi oral sepanjang mereka hidup.
Xerostomia didefinisikan sebagai perasaan subjektif dari mulut kering yang
disebabkan oleh sekresi yang berkurang dari saliva. Mereka dengan hiv-aids lebih
mungkin mengalami xerostomi karena efek samping obat yang diresepkan yang
diambil untuk mengelola penyakit hiv. Pravelensi xerostomia pada penyakit hiv
telah mencapai setinggi 63%, mreka yang terkena xerostomia memiliki resiko lebih
tinggi karena kerusakan gigi, radang gusi, dan infeksi mulut. Xerostomia juga
dapat menyebabkan kesulitan menelan, sulit berbicara, dan ulserasi yang
menyakitkan.

2)Etiology

Xerostomia yang diinduksi obat dianggap tipe paling umum. Ada


sedikitnya 500 obat yang terkait dengan xerostomia yang mencakup antidepresan
trisiklik, antipsikotik, benzodiazepin, atropinik, beta bloker, antihistamin,
hidralazine, busulfan, kuinidin sulfat, dan thiabendazole. Xerostomia disebabkan
karena tindakan antikolinergik atau simpatomimetik; Xerostomia yang disebabkan
obat biasanya terjadi pada pasien lanjut usia yang memakai beberapa obat.
Pemberian radioterapi dalam pengelolaan kanker mulut dapat mempengaruhi laju
alir saliva selama periode awal dan laju alir pada akhirnya berhenti dan pemulihan
menjadi sulit. Kemoterapi meliputi paclitaxel, carboplatin, dan infus 5-fluoruracil
dengan radiasi bersamaan sering dapat menyebabkan xerostomia.
Gangguan pada kelenjar ludah meliputi sindrom Sjogren, kelainan yang dimediasi
oleh multisistem imun dimana di sana terjadi pembengkakan kelenjar eksokrin
adalah xerostomia, xerophthalmia, dan kelainan jaringan ikat yang terkait.
Penyebab lain dari xerostomia Sarcoidosis, penyakit HIV, infeksi HCV, sirosis
bilier primer, fibrosis kistik, dan diabetes melitus jarang menyebabkan xerostomia,
seperti halnya agenesis kelenjar liur, dengan atau tanpa displasia ektodermal;
sindrom triple-A; amyloidosis; dan hemochromatosis.

Banyak orang tua melaporkan dengan mulut kering karena berbagai alasan.
Penyakit sistemik dan perawatannya, banyak kondisi medis, obat-obatan,
radioterapi dan kemoterapi dapat menyebabkan penyakit kelenjar ludah.
Xerostomia yang disebabkan obat biasa terjadi pada orang tua karena mereka
cenderung minum obat daripada yang lain. Kualitas dan kuantitas sekresi saliva
dipengaruhi pada pasien yang berada di bawah obat yang menghambat
neurotransmitter agar tidak mengikat reseptor membran kelenjar ludah. Terapi
radiasi sinar eksternal menyebabkan kerusakan kelenjar ludah permanen yang
menyebabkan xerostomia. Agen kemoterapi menyebabkan xerostomia sementara
namun fungsi saliva kembali ke tingkat prechemotherapy setelah terapi selesai

3)Gambaran klinis

Manifestasi oral Mulut dan mulut kering umumnya terkait dengan rasa yang
berubah dan sulit ditelan. Mulut kering dapat menyebabkan peningkatan akumulasi
plak bakteri yang menyebabkan radang gusi, penyakit periodontal dan halitosis.
Ada peningkatan kerentanan terhadap kandidiasis orofaringeal. Mulut kering juga
menyebabkan kesulitan memakai gigi tiruan dan masalah pengunyahan.
Ketidaknyamanan mulut nokturnal umum terjadi karena aliran saliva berada pada
tingkat sirkadian terendah pada malam hari.
Reseptor Gustatory dirangsang oleh air liur sehingga tidak adanya air liur
mengubah sensasi rasa. Cairan dibutuhkan untuk mempermudah menelan makanan
kering. Halitosis, mulut terbakar serta lidah dan makanan pedas intoleransi telah
dilaporkan. Hipofungsi saliva membuat mukosa rentan terhadap kandidiasis dan
dapat menyebabkan karies gigi. Pembesaran kelenjar ludah sering terjadi pada SS
dan dapat dikaitkan dengan atau tanpa infeksi yang menyertainya.

4)Treatment

Penatalaksanaan non farmakologi


a. Sering minum air.
b. Bilas mulut dengan obat kumur, gel, semproan dan saliva buatan.
c. Memperbanyak mengunyah permen, tetapi harus bebas gula dan non asam.
Produk yang mengandug xylitol sebagai agen pemanis dapat disarankan.
d. Untuk bibir kering bisa menggunakan krim atau salep. Hydrating dapat
membantu meringankan gejala.
e. Penggunaan produk lidah buaya atau vitamin E.
f. Diet makanan yang kasnya kelembaban dan bukan makanan panas atau pedas.
Penatalaksanaan farmakologi

Pengelolaan xerostomia memerlukan pendekatan multidisiplin karena banyak


pasien mengalami masalah medis dan komplikasi farmasi. Pemeriksaan gigi sering
dijadwalkan untuk menilai komplikasi xerostomia.
Bergantung pada disfungsi saliva dan tingkat keparahan karies gigi, fluoride topikal
dan obat kumur antimikroba dapat disarankan. Hilangnya sekresi ludah normal dapat
menyebabkan demineralisasi enamel dan resep solusi remineralizing akan membantu
mengurangi efek pada struktur gigi. Kunjungan gigi yang sering dan penekanan pada
kebersihan mulut adalah wajib menjaga kesehatan gigi yang baik. Jika terjadi infeksi
mulut karena kandidiasis, terapi antijamur harus dipertimbangkan.
Simulans tiruan buatan bersama dengan pelembab dan pelembab dapat disarankan.
Pasien harus diinstruksikan untuk mengambil cairan yang cukup sambil makan untuk
membuat tertelan nyaman, juga pasien disarankan untuk menyesap air sering untuk
mempertahankan kelembaban di rongga mulut. Teknik stimulasi seperti permen karet
bebas gula, permen dan permen sangat membantu bagi pasien yang ditinggalkan
dengan jaringan kelenjar ludah yang layak. Mukosa kering lebih sensitif terhadap
iritasi sehingga pasien harus diinstruksikan untuk menghindari produk dengan alkohol,
gula, atau perasa kuat. Agen pelumas di berbagai dapat digunakan untuk meringankan
gejala xerostomia yang terkait dengan radiasi atau SS.

Pasien dengan xerostomia mengalami peningkatan risiko karies gigi sehingga


harus diingatkan untuk tidak mengkonsumsi pemanis gula. Beberapa teknik ada untuk
stimulasi aliran air liur yang meliputi permen karet atau permen bisa efektif dalam
mengurangi gejala. Stimulasi listrik lidah dan langit-langit telah dijelaskan dan efeknya
dianggap sederhana pada pasien xerostomia. Semprotan mucin bisa bermanfaat pada
pasien yang telah mengalami iradiasi. Hasil beberapa penelitian melaporkan bahwa
rejimen pengobatan akupunktur mingguan 3 sampai 4 yang diikuti oleh sesi bulanan
menunjukkan peningkatan laju aliran saliva yang berkelanjutan dengan peningkatan
simtomatik pada sindrom Sjogren. Suplementasi vitamin, minyak evening primrose
yang kaya akan asam lemak dapat menyebabkan peningkatan aliran air liur yang tidak
distimulasi dengan sindrom Sjogren. Xerostomia akibat obat menunjukkan manfaat
mengunyah kopi cappuccino, namun dilaporkan hanya perbaikan sementara. Ekstrak
biji rami Salinum dengan atau tanpa chlorhexidine dianggap menghasilkan efek positif
pada gejala pasien.

Sistemik secretogogues termasuk pilocarpine hydrochloride (HCl),


anetholetrithione, dan cevimeline HCl. Pilocarpine HCL menunjukkan untuk pasien
dengan kekeringan oral akibat radioterapi yang meningkatkan aliran saliva dengan
merangsang jaringan kelenjar ludah yang layak. Pilocarpine meningkatkan produksi
saliva dengan cepat mencapai maksimum dalam waktu 1 jam. Dosis obat yang
ditentukan adalah 5,0 sampai 7,5 mg, diberikan 3 atau 4 kali sehari dan
dikontraindikasikan pada penyakit kardiovaskular, penyakit pernafasan, glaukoma,
atau refluks uretra. Anetholetrithione telah terbukti dapat meningkatkan aliran saliva
pada pasien dengan hipofungsi kelenjar liur ringan dan efek samping dilaporkan
ringan. Cevimeline, 30 mg 3 kali sehari meningkatkan aliran saliva juga memperbaiki
gejala subjektif dan obyektif pasien xerostomia yang terkait dengan SS20. Cevimeline
harus digunakan secara hati-hati dengan pasien yang melaporkan penyakit
kardiovaskular, penyakit paru-paru, glaukoma atau penyakit kantung empedu dan juga
pada pasien dengan berbagai obatBethanechol, Carbacholine, Pyridostigmine
bermanfaat dalam pengobatan xerostomia, namun data konfirmasi yang dipublikasikan
baik tidak mencukupi22.

Pemberian alfa interferon interferon secara intrakuskular (misal: 1 106 IU /


minggu) dan parenteral (3 106 tiga kali seminggu) dapat meningkatkan sekresi ludah
pasien dengan SS23 primer dan sekunder. Namun berbagai efek buruk dapat
membatasi penggunaan administrasi sistemik. Interzena interferon yang mengandung
alfa (150 IU interferon alfa 3 kali sehari) dapat mengurangi tingkat keparahan
xerostomia pada SS primer dan sekunder setelah 9 minggu terapi. Kortikosteroid
(prednisolon 30 mg pada hari alternatif) mungkin bermanfaat bagi penanganan tahap
awal penyakit24,25. Terapi Sistemik lainnya meliputi azathioprine, siklosporin,
siklofosfamid, Thalidomida, AZT, malokosa kristal hidrat, Ambroxol, infliximab
dimana uji klinis yang relevan tidak memadai.

2.4 Oral Muxositis

1) Definisi dan Prevalensi

Pemberian kemoterapi pada pasien kanker menimbulkan berbagai efek


samping gangguan fisik dan psikologis yang berpengaruh pada keberlangsungan
pengobatan dan perawatan pada pasien tersebut. Secara umum efek samping
fisiologis tergantung dari jenis dan besar dosis obat kemoterapi yang diterima
pasien. Efek toksik dapat menganggu sel sel normal pada sumsum tulang, epitelium
gastrointestinal, folikel rambut, organ organ eleminasi dan eksresi seperti ginjal,
paru-paru atau kelenjar keringat (Cawley.M., Benson L.M. 2005). Dan salah satu
efek yang paling sering terjadi adalah oral mukositis.

Oral mukositis adalah peradangan yang terjadi pada oral mukosa akibat
terpapar agen kemoterapi atau ion radiasi ( Haris.D et. al 2007). Secara umum
resiko terjadinya oral mukositis berbeda beda sesuai dengan diagnosa pasien, usia
pasien, kebersihan mulut, type serta dosis maupun frekwensi pemberian obat.
Menurut WHO, 2011 Peterson, Bensadoun & Roila, 2011 menyebutkan bahwa
kejadian oral mucositis grade 3-4 ditemukan pada sekitar 85% pasien kanker
kepala dan leher yang menerima kemoterapi. Oral mucositis Grade 3 atau 4 terjadi
pada 75% pasien yang menjalani sel induk hematopoietik transplantasi (HSCT),
50% pada limfoma non- Hodgkin, kanker payudara, paru-paru dan kanker
kolorektal.

2) Tanda dan Gejala :


a. Nyeri hebat
b. Kekurangan gizi
c. Lokal atau sistemik infeksi
3) Penatalaksanaan :
a. Mengontrol Nyeri :
- Cryotherapy Oral adalah aplikasi es chip atau air es dingin ke mulut.
Cryotherapy Oral untuk kemoterapi induksi, mengharuskan pasien
mengisap es chip sebelum, selama, dan setelah diberikan infus obat-obatan
kemoterapi. Teori yang mendasari mukotoksik cryotherapy oral adalah
bahwa es dapat membatasi pembuluh darah pada selaput rongga mulut,
sehingga mengurangi paparan dari mukosa mulut terhadap agents
kemoterapi. Cryotherapy merupakan metode pengurangan efek samping
yang paling mudah digunakan. Dianjurkan dilakukan selama 30 menit.
-
b. Gizi Dukungan :
- P e n t i n g b a h w a a s u p a n g i z i d a n berat dipantau oleh ahli gizi atau
kerja profesional lainnya bersama dengan pengasuh keluarga. Diet lembut
dan suplemen diet cair lebih mudah ditoleransi daripada diet normal
ketika mucositis hadir.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Analisis Jurnal

1. EFEKTIFITAS MODIFIKASI MODERN DRESSING DAN TERAPI


OZON TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA PADA PASIEN DENGAN
PRESSURE ULCER DI WOCARE CLINIC BOGOR
Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah quasi eksperiment
dengan pendekatan Non Equivalent control group design. Populasi pada
penelitian ini adalah semua pasien luka tekan yang melakukan perawatan luka
di Wocare Clinic Bogor, dimana besar sampelnya setelah dihitung dengan
menggunakan rumus Federer adalah 16 orang yang terbagi menjadi 8 orang
kelompok eksperimen dan 8 orang kelompok kontrol, sedangkan sampling
yang digunakan adalah Consecutive sampling. Penelitian ini menggunakan
instrumen Bates Jansen Wound Assesment Tools untuk mengidentifikasi
percepatan penyembuhan luka yang telah teruji validitas dan
reliabilitasnya.perawatan dilakukan setiap 3 (tiga) hari sekali selama 2 3
minggu.
Dari hasil penelitian tersebut didapatkan ada pengaruh Penggunaan
modifikasi modern dressing dan terapi ozon lebih efektif terhadap
penyembuhan luka dibandingkan dengan penggunaan modern dressing saja
pada pasien dengan pressure ulcer.
2. PEMANFAATAN VCO (VIRGIN COCONUT OIL) DENGAN TEKNIK
MASSAGE DALAM PENYEMBUHAN LUKA DEKUBITUS DERAJAT
II PADA LANSIA
Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif deskriptif dengan
strategi atau desain Case Study dengan menggunakan responden dua orang
lansia yang mengalami dekubitus derajat II sebagai objek analisisnya.Tindakan
perlakuan dengan pemberian VCO (Virgin Coconut Oil) dengan teknik
massage. Pemberian massage dengan VCO (Virgin Coconut Oil) untuk
mengatasi luka dekubitus derajat II dapat diterapkan apabila hasil patch test
negatif atau tidak terdapat alergi pada kulit lansia.
Hasil penelitian ini Massage yang diberikan kepada kedua pasien lansia
adalah massage effleurage yaitu massage dengan teknik mengusap atau
menggosok. Adanya massage effleurage dengan lembut dan pelan dapat
memberikan respon positif dan terapeutik kepada kedua pasien lansia yang
menerima terapi tersebut. Respon nyeri dirasakan pada minggu awal karena
adanya luka terbuka di dekat area massage.kondisi luka mengering, warna luka
menjadi kecoklatan, struktur luka menjadi lebih halus dan adanya perbaikan
jaringan.
3. Clinical application research on the use of the Photon Therapeutic
Apparatus combined with Hops extract compound ointment in treatment
for breast cancer patients

Dalam jurnal ini terdapat 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan


kelompok eksperimen. 31 pasien dimasukkan dalam kelompok eksperimen dan
30 orang masuk dalam kelompok kontrol. Kriteria pasien dalam penelitian ini
adalah pasien yang telah menjalani post operasi mastektomi radikal.

Kelompok eksperimen sendiri akan dilakukan perawtan konvensional


ditambah dengan Carnation-87C foton alat terapi dengan menggabungkan
senyawa hop ekstrak salep. Sedangkan kelompok kontrol hanya dilakukan
perawtan konvensional seperti perawatan luka biasa. Perawatan ini dilakukan
selama 4 minggu.

Perawatan pada kelompok ekserimen sendiri dilakukan seperti biasa yaitu


dengan melakukan irigasi dan melakukan perawatan tepi luka dan dilanjutkan
irigasi dan selanjutnya mengeringkan luka. Setelah itu elakukan irigasi lagi dan
dilanjutkan dengan debridement untuk jaringan nekrotik dan selanjutnya
ditambah dengan menggunakan Carnaton-87C foton (menyinari luka selama 15
menit dengan jarak 10-12 cm dari luka) setelah itu ditambah dengan
penggunaan salep hop ekstrak yang selanjut dilakukan dressing seperti biasa.
Untuk perawatan konvensional sendiri dilakukan seperti perawtan luka seperti
biasa tanpa penambahan carnaton-87C foton dan salep hop ekstrak.

Dari perawatan luka yang dilakukan selama 4 minggu tersebut, 27 pasien


pada kelompok eksperimen mengalami penyembuhan (87%) sedangkan pada
kelompok kontrol 20 pasien mengalami penyembuhan (67%).

Penyinaran dengan Carnation 87C foton memiliki efek yang sangat baik
untuk mempercepat penyembuhan luka. Sinar yang dipancarkan ini ketika
terpapar ke luka maka energi foton yang diserap oleh mitokondria sel,
merangsang pengeluaran enzim dalam mitokondria, meningkatkan fungsi
respirasi sel dan sirkulasinya sehingga meningkatkan jumlah sel endotel dan
fibroblast yang merupakan faktor utama dalam penyembuhan luka.
Salepnya memiliki fungsi utama sebagai antipruritik, analgesik dan
memperbaiki sel endotel. Selain itu salep ini mudah diserap kulit dan langsung
terlibat dengan sintesis RNA dalam sel kulit sehingga sel endotel dapat
diperbaiki dan dilindungi.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Luka Kanker
Penatalaksanaan:
Penanganan dapat dilakukan dengan menggunakan madu, untuk mengontrol bau,
membuat pasien nyaman
penyinaran dengan Carnation 87C foton, untuk mempercepat penyembuhan luka.
Sinar yang dipancarkan ini ketika terpapar ke luka maka energi foton yang diserap
oleh mitokondria sel, merangsang pengeluaran enzim dalam mitokondria,
meningkatkan fungsi respirasi sel dan sirkulasinya sehingga meningkatkan jumlah
sel endotel dan fibroblast yang merupakan faktor utama dalam penyembuhan luka
2. Gangguan Kulit
a. Pruritus , penatalaksanaan dengan:
Aspirin: efektif pada pruritus yang disebabkan oleh mediator kinin atau
prostaglandin, tapi dapat memperburuk rasa gatal pada beberapa pasien.
Doxepin atau amitriptyline: antidepresan trisiklik dengan antipruritus yang
efektif. Antidepresan tetrasiklik dapat membantu rasa gatal yang lebih
parah.
Antihistamin: antihistamin yang tidak mengandung penenang memiliki
antipruritus. Antihistamin penenang dapat digunakan karena efek
penenangnya tersebut.
Thalidomide terbukti ampuh mengatasi prurigo nodular dan beberapa jenis
pruritus kronik.
Antagonis opioid terbukti efektif pada pasien yang menderita pruritus yang
berkepanjangan.
b.Luka Tekan, penatalaksanaan dengan:
Terapi ozon pada luka tekan
Teknik massage dengan menggunakan oil

3.Xerostomia
Penatalaksanaan :
Sering minum air.
Bilas mulut dengan obat kumur, gel, semproan dan saliva buatan.
Memperbanyak mengunyah permen, tetapi harus bebas gula dan non asam.
Produk yang mengandug xylitol sebagai agen pemanis dapat disarankan.
Untuk bibir kering bisa menggunakan krim atau salep. Hydrating dapat
membantu meringankan gejala.
Penggunaan produk lidah buaya atau vitamin E.
Diet makanan yang kasnya kelembaban dan bukan makanan panas atau pedas.

4.Oral Muxositis
Penatalaksanaan:
Mengontrol nyeri dengan cryotherapy oral atau aplikasi es chip ke mulut
selama 30 menit
Gizi dukungan dengan diet makanan lembut, suplemen, dan diet cair

4.2 Saran

1. Hendaknya tim kesehatan bekerja sama dalam menangani keluhan yang


dialami oleh pasien
2. Hendaknya perawat dan tim kesehatan memperhatikan apakah ada efek
samping atas tindakan yang akan diberikan kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Roswati, E. (2013). Pruritus pada pasien hemodialisa.

Elhuda, Yenny SW. (2015). Pruritus generolisata tanpa penyakit kulit.

Kardiyudiana. (2013). Gambaran faktor faktor yang mempengaruhi


perawatan oral mucositis pada pasien yang mendapatkan kemoterapi.

Haisfield E.Marry. Malignant Cutaneous Wound. Ostomy Wound Management Journal;


43 : 1997. 56-66

Praptiwi, Atlastieka . The Potentials Of Honey In Managing Breast Cancer Wounds: A


Literature Review. 2016. Asian Journal Of Pharmaceutical And Clinical Research

Chen Y, Qun L, Sun G. Clinical application research on the use of the photon therapeutic
apparatus combined with hops extract compound ointment in treatment for breast cancer
patients. BIO Web of Conferences. 2017;8.

Mardiah, Wiwi, Melda Iskawati, Titin Sutini. 2016. Tingkat Odor Pasien Kanker Serviks
Menurut Petugas Kesehatan Di Rshs Bandung.

Nugraha, Tete Wayan. 2015. Pemberian Minyak Jinten Hitam (Nigella Sativa) dalam
Perawatan Luka terhadap Penurunan Malodor, Jumlah Eksudat, Skala Nyeri, Perdarahan
pada Luka Kanker di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Anda mungkin juga menyukai