Anda di halaman 1dari 220

1

ADIL MASTJIK

DAHSYATNYA
AKSI BELA
ISLAM

SEBUAH EPISODE PERJUANGAN BELA QURAN

JIHAD MELAWAN
KETIDAKADILAN

***
Aksi Bela Islam tidak melakukan makar.
Itu cuma hoax!
Jangan takut, karena Indonesia tidak bisa ditakut-takuti, karena kita adalah
kumpulan manusia yang berjiwa ksatria dan patriot.
2

*Panglima TNI, Jendral Gatot Nurmantyo

PERSEMBAHAN

Buku monumental ini dipersembahkan


kepada peserta Aksi Bela Islam
dan seluruh umat Islam Indonesia
dengan selalu mengingat bahwa:
Islam itu agama Rahmatan LilAlamin
3

PENGANTAR PENULIS

Bissmillahirrahmanirrahim

AKSI BELA ISLAM. Inilah sebuah episode perjuangan monumental umat Islam

Indonesia yang dahsyatyang tak boleh dilupakanketika mereka harus membela

Alquran dan ulamanya, yang dinista dan dihina mentah-mentah oleh seorang Gubernur.

Ia dikenal sebagai Ahok alias Basuki Tjahaya Purnama, Gubernur Jakarta. Tak kurang

dari sekitar 90 persen umat Islam Indonesia di negeri yang berpenduduk 250 juta ini,

spontan menjadi tersakiti dan marah ketika membaca, mendengar dan melihat langsung

video yang beredar luas di berbagai media, bagaimana Ahok dengan pakaian dinas

Gubernurnya di Pulau Seribu, Jakarta Utara, mengucapkan ujaran kebencian sekaligus

dengan kalimat penghinaannya terhadap Alquran dan para ulama. Jadi jangan percaya

sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu nggak bisa pilih saya ya,

kan? Dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu,

ya. Jadi kalau Bapak-Ibu perasaan enggak bisa kepilih nih, karena saya takut

masuk neraka karena dibodohin gitu ya, nggak apa-apa (news.detik.com, 9 Mei

2017). Itulah kalimat yang membuat hati umat Islam terdzalimi. Dengan kata-kata:

dibohongin dan dibodohin, begitu menohoknya kalimat Ahok itu menghina Alquran dan

para ulama. Sulit untuk bisa diterima akal sehat betapa bisa seorang Gubernur, pemimpin

dan penyelenggara negara, di sebuah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,


4

dengan gampangnya menista keyakinan mereka umat Islam dengan kalimat yang tak

bermoral seperti itu.

Jutaan umat Islam lalu bangkit menuntut keadilan. Ahok harus ditangkap, diadili

dan dipenjara sama seperti para penista agama Islam lainnya yang sudah dihukum dengan

hukuman maksimal. Sayangnya, negara dan pemerintahan Jokowi beserta jajaran

penegak hukumnya amat lamban merespon tuntutan umat Islam. Bahkan dengan nuansa

kental malah menunjukkan aksi-aksi pemerintah dan jajaran ekskutifnya berupaya

memagari dan menjaga Ahok dengan segala cara. Sangat tidak adil. Apalagi, bukan

kabar hoax, di belakang Ahok ada kekuatan besar pemodal Cina: para taipan, yang

mendukungnya. Kenyataan itu begitu terang benderang di mata umat Muslim dan seluruh

masyarakat.

Lihat proyek reklamasi laut di pantai utara Jakarta yang kontroversi,

menyengsarakan nelayan, dan didanai para taipan dimana mereka tidak mau Ahok

diganggu, apalagi harus ditangkap dan dipenjara. Mirisnya, suara santer, konon Ahok

diproyeksikan akan dijadikan Presiden oleh kelompok taipan itu. Kita perlu waspada!

Sejak awal, November 2016 sampai 5 Mei 2017, dengan semangat bela Alquran

dan bela ulama, jutaan umat Islam yang terinspirasi oleh ajaran agamanya lalu melakukan

demonstrasi dan unjukrasa superdamai: AKSI BELA ISLAM, yang langsung dipimpin

oleh Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Ustadz Habib Rizieq Shihab bersama

Ustadz Bahtiar Nasir. Lewat Gerakan Nasional Pembela Fatwa - Majelis Ulama

Indonesia (GNPF-MUI) ada beberapa kali Aksi dilakukan. Di antaranya, Aksi Bela Islam

411, 212, 112, 313, dan ditutup dengan Aksi 55. Semua aksi berlangsung aman, damai,

tertib dan bersih. Pujian pun berdatangan dari segenap lapisan masyarakat, terutama
5

mereka kelompok yang bisa berpikir positif dan obyektif, bahwa, ternyata umat Islam

meski disakiti, justru malah menunjukkan kualitasnya dengan melakukan semua aksinya

itu dengan penuh kesopanan dan kesantunan tinggi. Terutama Aksi 212 yang diikuti

sekitar 7 juta orang berlangsung supertertib!

Kalangan pers dunia terutama dari Barat mengakui, Aksi Bela Islam itu

menunjukkan demokrasi di Indonesia mampu membuktikan kematangannya. Itulah bukti,

dan itulah fakta sejarah monumental bagi umat Islam, juga terutama bagi negara dan

pemerintah Indonesia. Betapa tidak. Setiap kali melakukan Aksi, meski diikuti jutaan

manusia selalu berakhir dengan tertib, aman, damai dan tidak ada sedikitpun sarana dan

prasarana negara, seperti taman-taman yang rusak. Tidak ada. Bahkan sang Kapolri

sendiri, Tito Karnavian terpaksa mengakui: Satu tangkai daunpun tak ada yang patah!

Yang mengharukan, banyak pula kesaksian atau testimoni khusus dari para

peserta aksi damai 212 yang merasakan adanya banyak keajaiban, rasa takjub yang

mengharu-biru dan terlindungi dengan nyaman justru di tengah lautan manusia itu.

Ada pengakuan menarik seorang Reporter perempuan non-Muslim (Kristen) yang

meliput peristiwa Aksi Damai 212. Tegas ia mengatakan dalam laporannya:

Mengharukan, Sejuk, Damai dan Tenang Hati ini Mendengarnya ....! Ia pun bersaksi:

Melihat lautan massa yang bersalawat dan menyerukan takbir, bulu kudukku merinding

melihat kemegahan persatuan saudara-saudaraku umat Islam. Rasa takutku pun hilang,

karena mereka yang mengagung-agungkan kebesaran Tuhannya pasti tidak akan sanggup

menyakiti manusia lain. Kemudian saya mendengar ceramah Shalat Jumat yang

menyejukkan. Penceramah itu mengatakan, "Hai orang Kristen, kalian saudara kami, hai

orang Hindu, kalian juga saudara kami. Begitu juga dengan orang Katolik, Budha dan
6

Konghucu, kalian adalah saudara kami. Kita adalah sama, yang berbeda hanya agama

kita. Dan kita tetap bersatu dalam NKRI." Begitu sejuk, damai dan tenang hati ini

mendengarnya, kata reporter itu.

Itulah pengakuan jujurnya sang Reporter. Anda tahu, siapa penceramah yang

dikatakan sejuk itu? Dia Ustadz Habib Rizieq Shihab, Imam Besar Front Pembela Islam

(FPI). Orang yang selama ini dikesankan dalam dirinya melekat kekerasan dan intoleran.

Itulah karenanya, setelah Aksi 212, Habib Rizieq memperoleh penghargaan sebagai Man

of The Year oleh dua ormas Tionghoasubhanallah!yaitu dari organisasi Muslim

Tionghoa Indonesia (MusTi) dan Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTAK). Bahkan

sebelumnya Habib Rizieq juga meraih Penghargaan Tokoh Bela Negara bersama Kapolri

dan Panglima TNI dari LSM Lumbung Informasi Rakyat (LIRA). Penghargaan ini

diberikan tepat saat Hari Bela Negara, Senin 19 Desember 2016.

Yang pasti banyak pengamat mengatakan, khusus untuk Aksi 212 diakui adalah

aksi super indah dalam sejarah Indonesia. Itulah sebuah Pesan Damai Islam Indonesia

kepada dunia. Itulah sebuah momentum kebangkitan Islam yang juga hakekatnya

kebangkitan Indonesia. Begitu banyak pujian dan penghargaan kepada umat Islam

dengan aksi 212-nya itu. Mereka terdzalimi, ternista dan tercederai hatinya, tetapi malah

mampu memberikan sikap kesejukan bagi negeri tercintanya.

Dan itulah hakekat ajaran Islam. Sesungguhnya, jika Islam itu ditegakkan,

jangankan manusia, hewan dan tanaman pun akan mendapat rahmatnya. Jadi terbukti

bahwa, orang Islam itu santun, sangat menghormati sesama apapun agama dan rasnya.

Tak ada niat sedikitpun membuat kacau kondisi Indonesia bahkan tak ada niat dengan

Aksi Bela Islam itu mau makar dan mengkudeta Presiden Jokowi lewat Ahok. Apalagi
7

menggagalkan dan mengacau Pilkada DKI Jakarta 2017. Tak ada hubungannya Aksi Bela

Islam dengan Pilkada tersebut. Hal yang berbeda.

Itu semua adalah tuduhan hoax dan fakenews yang diplintir dan dilempar oleh

mereka yang tidak mencintai Indonesia. Ditambah tuduhan, umat Islam memecah belah

masyarakat, bersikap intoleran, mau menghancurkan Negara Kesatuan Republik

Indonesia - NKRI. Itu tuduhan keji amat menyakitkan!

Padahal, kalau mau jujur, hakekatnya, Aksi Bela Islam terjadi karena awalnya

dipicu mulut liarnya Ahok, dan murni menuntut keadilan terhadap Ahok yang hari-hari

setelah menista Alquran ia malah selalu bersikap arogan tak mau mengakui kesalahannya,

itu karena pongah dan ujub merasa didukung para taipan dan dilindungi pemerintah.

Padahal tuntutan umat Islam hanyalah ingin segera diterapkannya keadilan terhadap

Ahok. Ia harus diadili dan dipenjara. Itu saja! Bukan makar!

Masyarakat harus memegang dan mempercayai pernyataan tegasnya Panglima

TNI Jendral Gatot Nurmantyo di Kompas TV (5 Mei 2017). Dinyatakan, Tidak mungkin

umat Islam melakukan makar! Hal itu ditegaskan Jenderal Gatot Nurmantyo kepada

Rosi Silalahi presenter yang mewawancarainya.

Sebelumnya, panglima TNI Gatot Nurmantyo bahkan menegaskan, ia sama sekali

tidak melihat Aksi Bela Islam termasuk Aksi Simpatik 55 (aksi terakhir, Pen.)

didomplengi kelompok tertentu untuk melakukan makar alias kudeta terhadap Presiden

Jokowi. Malah Aksi Simpatik 55 yang dimotori Gerakan Nasional Pembela Fatwa

Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) hari Jumat, 5/5/2017, bertujuan untuk

mendukung independensi Hakim dalam kasus dugaan penodaan agama oleh Ahok.
8

"Tidak didomplengi," tegas Panglima TNI dalam acara #PanglimaDiRosi di

Kompas TV itu. Dengan muka dingin dan sedikit senyum, Panglima TNI justru mengaku

tersingggung dengan pertanyaan presenter Rosiana Silalahi. "Kudeta Presiden Jokowi?

Saya agak tersinggung dikatakan seperti itu, karena saya sebagai umat Islam juga," kata

Panglima TNI.

Dijelaskan Panglima TNI, para kiai dan ulama adalah motor perjuangan merebut

kemerdekaan. Mereka bergerak bersama santri dan masyarakat, gotong royong. "Kenapa,

karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim," ungkapnya.

"Jadi yang memerdekakan bangsa ini adalah mayoritas umat Islam, bersama umat

Katolik, umat Hindu, umat Buddha, dari berbagai macam suku yang tinggal di sini,"

tegas Panglima TNI menambahkan. Dengan asumsi, mayoritas umat Islam yang telah

mati-matian merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan, maka tidak

mungkin menghancurkannya. "Masa mayoritas Islam yang memerdekakan bangsa ini

melakukan kudeta atau makar?" ujar Panglima TNI.

"Itu tidak mungkin, buktinya Aksi 411 dan Aksi 212 damai, aman, dan tertib. Ini

kan berita hoax saja yang menyampaikan seperti itu (kudeta/makar). Sehingga menakut-

nakuti kita semuanya. Jangan takut, karena Indonesia tidak bisa ditakut-takuti, karena kita

adalah kumpulan manusia yang berjiwa satria dan patriot," tukas Panglima TNI tegas.

Yang pasti, masyarakat Indonesia yang 90% muslim, sudah ratusan tahun

memiliki modal dan kelenturan sosial hidup damai dalam keragaman yang begitu kokoh.

Sebuah aset berharga yang perlu terus dirawat bersama. Dan, umat Islam akan semakin

mendapatkan pengokohan jika terus dalam setiap gerakannya selalu bergerak atas nama

konstitusi, dan sama sekali bukan representasi kelompok tertentu.


9

Sekali lagi, lewat Aksi Bela Islam itu, Indonesia telah menunjukkan benar-benar

sebagai negara demokrasi yang begitu matang. Sekaligus umat Islamnya yang terbesar di

dunia ini, menjadi umat Islam yang menyatu tanpa ada lagi sekat-sekatnya. Semoga saja,

semangat ukhuwah islamiyah ini bisa terjaga seterusnya! Insya Allah!

Buku ini: DAHSYATNYA AKSI BELA ISLAM. Sebuah Episode Perjuangan

Bela Quran, Jihad Melawan Ketidakadilan dihadirkan untuk memberi testimoni-

kesaksian kepada umat Islam seluruh Indonesia yang telah setia mengikuti dan

berpartisipasi aktif dalam setiap Aksi Bela Islam sampai tujuh kali, sebagai sebuah

episode perjuangan bela Quran yang dahsyat dan berhasil menciptakan atmosfer

keadilan dengan dijatuhkannya vonis 2 tahun kepada si penoda agama, Ahok. Meski

berharap bisa dihukum maksimal 5 tahun, tetapi itu sudah memberi air kesejukan bagi

dada umat Islam yang selama ini sesak karena terpinggirkan oleh ketidakadilan.

Dengan dihukumnya Ahok sekaligus kalahnya ia di Pilgub DKI Jakarta melawan

Anies Baswedan-Sandiaga Uno, yang ini berarti Akhirnya, Jakarta Tanpa Ahok, maka

umat Islam dengan Aksi Bela Islam-nya wajib bersyukur kepada Allah swt meski

perjuangan untuk menegakkan keadilan adalah perjuangan sepanjang masa.

Memang kita takjub dengan kedahsyatan Aksi Bela Islam itu karena, Aksi itu

mampu merajut kembali ukhuwwah Islamiyah yang menyatu tanpa adanya sekat, dengan

tampilan Islam yang santun, damai, bersih, dan sangat menjunjung nilai-nilai demokrasi.

Karena itu, buku ini adalah sebuah buku yang Insya Allah memiliki nilai

monumental bagi kalangan umat Islam. Selebihnya, buku ini juga menegaskan kepada

dunia, bahwa Aksi Bela Islam (sekali lagi, utamanya Aksi 212 yang dihadiri tujuh juta

lebih umat muslim yang didukung pula oleh berbagai etnis dan kalangan non-muslim)
10

telah memberi nilai plus bagi negara dan pemerintah Indonesia dalam perjalanan

berdemokrasinya. Dimana umat Islam berhasil melakukan demonstrasinya membela al-

Quran mencintai NKRI, menuntut keadilan dengan superdamai tanpa berdarah-darah.

Jadi, pertanyaan pentingnya di sini adalah: lantas di mana letak faktor

kebenarannya tuduhan-tuduhan keji dan menakutkan yang mengatakan, umat Islam

dengan Aksi Bela Islam-nya itu memecah belah bangsa, merusak kebhinekaan,

menghancurkan NKRI, Pancasila dan UUD 1945, mau makar, mau kudeta dan berbagai

tuduhan-tuduhan absurd lainnya. Yang pasti, itu fakenews semua! Itu hoax semua!

Karenanya, menghadapi itu, kita berkaca pada pesan Panglima TNI Gatot

Nurmantyo, Jangan takut, karena Indonesia tidak bisa ditakut-takuti, karena kita adalah

kumpulan manusia yang berjiwa ksatria dan patriot.

Kini, sebuah episode perjuangan telah umat Islam lalui dengan amat sangat sukses

dan berhasil mengantarkan Ahok, si penista agama, ke penjara dengan vonis 2 tahun

langsung ditahan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, 9 Mei 2017.

Dengan ucapan syukur ke haribaan Allah Subhanahu wa taala, ke depan,

keberhasilan itu tentunya harus pula dibarengi dengan kesediaan membenahi wajah dan

tampilan umat Islam untuk menjadi lebih baik, penuh kesantunan tanpa sama sekali

adanya kekerasan dalam merawat keindonesiaan dan kebhinekaan kita sebagai bangsa.

Untuk niat mulia itu, pertama, umat Islam harus tetap menjunjung konstitusi di

setiap langkah dan gerakannya dalam merawat Negara Indonesia sebagai warisan para

ulamanya sendiri. Dan karenanya menjadi penting untuk terus menjaga Pancasila,

menjaga NKRI dan kebhinekaan sebagai asset berharga bangsa. Kedua, umat Islam harus

menjadi umat Islam yang lebih menyatu dan lebih solid tanpa ada lagi sekat-sekat.
11

Dengan melaksanakan dua langkah strategis itu, maka setiap gerakan Islam tak

bisa lagi dilabeli sebagai pemecahbelah bangsa oleh mereka yang selama ini selalu

mencela dan menyudut-nyudutkan umat Islam.

Karenanya kita harus memberi pengertian mereka yang selalu nyinyir mencela

dan memfitnah Islam itu dengan akal sehat, cerdas dan santun. Kita harus lawan para

pemfitnah itu dengan sikap ksatria! Seperti saran Panglima TNI, Jangan takut! ***

Surabaya, Ramadhan 1438 H/ Mei 2017.

Adil Mastjik
081 2302 1895 (sms)
12

DAFTAR ISI

PERSEMBAHAN

PENGANTAR PENULIS

DAFTAR ISI

BAB I HEBATNYA AKSI BELA ISLAM

BAB II ULAMA MEMBELA DEMOKRASI

BAB III BABAK BARU : JAKARTA TANPA AHOK

BAB IV MERAJUT KEMBALI NEGERI MUKJIZAT

BAB V AKSI BELA ISLAM DAN KESADARAN UMAT

BAB VI MEMBANGUN EKONOMI UMAT

Sumber Tulisan

Tentang Penulis
13

BAB I
HEBATNYA AKSI BELA ISLAM

SEBUAH kebangkitan Indonesia yang kini dimotori umat Islam sebagai

mayoritas yang sudah amat lama mendamba keadilan di seluruh sisi kehidupannya, telah

muncul dalam kebersamaan kita berbangsa dan bernegara. Utamanya di bidang sosial,

politik dan ekonomi umat. Kebangkitan yang sedang dan akan terus bergulir dalam

berbagai bentuk dan gerakan massa Islam ini, sesungguhnya merupakan cerminan awal

dahsyatnya ledakan energi yang memperoleh momentumnya pada Aksi 212 bertajuk Aksi

Bela Islam III, 2 Desember 2016 di Monas, Jakarta yang dihadiri sekitar 7 juta umat

Islam. Bahkan sampai beberapa kali Aksi Bela Islam itu dilakukan.

Yang pasti, ke depan, momentum itu akan terus bergerak dan menggelinding

menjadi kekuatan besar dan terus membesar ibarat snowballing effect. Tak ada yang bisa

menghentikan dan menghalangi, meski banyak kelompok yang tak suka Islam lalu terus

mencela, menghujat dan memutar balikkan fakta. Inilah juga kolaborasi indah yang
14

sempat terjadi antara seluruh rakyatyang 90 persen lebih adalah umat Islam

bergandengan tangan dengan ulama dan pemimpin elitnya di negeri ini. Tentu hal ini

amat menggembirakan dimana kalau para elit penguasa dan semua penyelenggara

negaranya sudah ikut ambil bagian, maka sudah pasti perubahan besar bagi kemajuan

bangsa menjadi sebuah keniscayaan. Penelitian akurat menunjukkan, bahwa di seluruh

negara maju yang mengalami perubahan dan kemajuan signifikan, itu karena digerakkan

kaum elitnya. Kini kaum elit bangsa Indonesia yang menjadi motor perubahan adalah

kaum mayoritasnya, yaitu umat Islam Indonesia yang terpelajar dan secara ekonomi telah

mapan serta teruji dan mampu bertahan dalam kerasnya kehidupan akibat ketidakadilan

yang terjadi di negeri yang kaya raya sumber daya alamnya ini.

Agaknya, inilah saatnya, umat Islam Indonesia perlu mengkonsolidasi potensi dan

kekuatannya di seluruh negeri. Bangsa ini, siapapun dia, harus bersyukur dan cerdas

mengapresiasi kebangkitan kesadaran umat Islam Indonesia saat ini, yang dilakukan

dengan kesadaran akan realitas, bahwa bangsa dan negaranya ini memang dibangun dari

semangat keberagaman dan kebersamaan. Sebuah negeri yang didirikan oleh para ulama.

Kebangkitan umat Islam Indonesia sekarang iniharus dicanangkan tegas

adalah kebangkitan yang akan menghargai dan menghormati pluralitas dan

kebhinnekaan. Umat Islam Indonesia telah menemukan jati dirinya, bahwa sebagai

bangsa, memiliki ciri dan karakter yang berbeda dengan umat Islam di belahan dunia

lainnya. Yaitu, ciri dan karakter umat Islam Indonesia yang cinta damai dengan semangat

rahmatan lilalamin. Semuanya itu karena kewajiban untuk mencontoh perikehidupan

Nabi Muhammad SAW. Dimana beliau telah dengan sempurna memberikan teladannya

tentang arti pluralisme dalam aqidah dan iman Islam. Beliau melalui kesepakatan mulia
15

melindungi berbagai suku dan agama yang ada saat itu, di kota kesayangan beliau,

melalui Piagam Madinah. Juga adanya sebuah ketentuan tegas yang menjadi dasar

perlindungan keberagaman dan pluralisme bagi kita umat Islam di Indonesia, jelas

dinyatakan dalam kitab suci Al-Qur'an, agar kita selalu berpedoman pada Surat Al-

Kafirun, lakum dinukum waliyadin (untukmu agamamu, untukku agamaku).

Kini, sekali lagi, kebangkitan dan kesadaran umat Islam Indonesia dan sekaligus

bangsa Indonesia, memperoleh titik kuat kulminasinya pada gerakan kebangsaan dalam

beberapa kali Aksi Bela Islam itu. Yang paling spektakuler dan diakui dunia, adalah Aksi

Super Damai 212 bertajuk Aksi Bela Islam III pada tanggal bersejarah 2 Desember 2016.

Aksi yang diinisiasi dan digerakkan para ulama yang tergabung dalam GNPF-MUI

(Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia) dengan tokoh-tokohnya:

Habib Rizieq, AA Gym, Bahtiar Nasir, Tengku Zulkarnain dan masih banyak lagi ulama

lainnya, yang diikuti lebih dari 7 juta umat Islam seluruh Indonesia berpusat di Taman

Monas Jakarta. Sebuah demo superdamai yang berlangsung aman, tertib, bersih dan

indah serta amat menyejukkan. Mereka khusus melakukan doa bersama bagi keselamatan

negerinya dan menuntut keadilan terhadap Ahok, Gubernur Jakarta yang menodai Islam.

Kemudian aksi itu diakhiri dengan shalat Jumat berjamaah yang sempat dihadiri

Presiden Jokowi di tengah guyuran hujan deras. Benar-benar sebuah peristiwa

mengharukan yang amat fenomenal bagi perjalanan berdemokrasi bangsa Indonesia.

Karena itu, semangat dari peristiwa fenomenal ini harus dijaga bersama oleh umat Islam

sekaligus pula oleh seluruh elemen bangsa ini bagi kemaslahatan negeri tercinta.

Johan O Silalahi, pendiri Perhimpunan Negarawan Indonesia, dalam sebuah

opininya di laman rmol.co, Selasa 13 Desember 2016: Kebangkitan Indonesia Baru


16

mengatakan, dirinya merasa beruntung diberi Allah SWT kesempatan untuk bisa

bersama-sama dengan umat Islam Indonesia berada di tengah-tengah jutaan demonstran.

Ia terlibat dalam berbagai Aksi Bela Islam, hingga hadir di acara Gerakan Subuh

Berjamaah di Bandung dengan penggeraknya pimpinan Pesantren Darut Tauhid, Ustad

Abdullah Gymnastiar yang akrab disebut AA Gym. Gerakan Subuh Berjamaah itu

pertama kalinya berlangsung di Mesjid Pusdai Bandung pada tanggal 12 Desember 2016

(1212) bertepatan dengan hari Maulid Nabi Muhammad SAW.

Semangat Gerakan Subuh Berjamaah itu diniatkan akan terus digulirkan ke

seluruh penjuru negeri dan tercatat sebagai sejarah baru sholat Subuh berjamaah terbesar

di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. (http://politik.rmol.co/read/2016/12/13/272325-

/Kebangkitan-Indonesia-Baru-).

Kata Johan O. Silalahi, sejak jam 3 dinihari, gerimis semakin menambah dingin

udara kota Bandung. Tapi umat Islam dari seluruh penjuru berbondong-bondong datang

dengan penuh semangat untuk melaksanakan sholat Subuh berjamaah dengan saudara-

saudaranya sesama umat Muslim. Perasaan haru bergelora di hati Johan Silalahi, melihat

begitu tertib dan sabarnya mereka, membentuk antrian, melangkah perlahan, mencari

ruang dan celah yang masih ada untuk bisa melaksanakan sholat Subuh berjamaah itu.

Perasaan haru menjadi semakin dalam, ketika mendengar kalimat-kalimat sejuk dari para

Ulama seusai sholat, yang mengingatkan bahwa umat Islam di Indonesia sangat cinta

damai. Tidak ada niat sedikitpun untuk memusuhi sesama saudara sebangsa dan setanah

air, yang berasal dari etnis ataupun agama yang berbeda.

Umat Islam di Indonesia memohon kepada para pemimpin di seluruh negeri, agar

jangan lagi pernah sekalipun mengomentari apalagi sampai menistakan agama, iman,
17

aqidah, ajaran agama orang lain. Kita semuanya ingin NKRI selalu tertib, aman dan

damai. Tidak boleh ada siapapun juga di antara kita yang mengomentari apalagi

menistakan iman, ajaran dan kitab suci agama lain.

Melalui peristiwa bersejarah ini: yaitu Aksi Bela Islam III di Monas Jakarta (212)

dan Gerakan Subuh Berjamaah di Bandung (1212), umat Islam Indonesia akhirnya

menemukan kembali jati dirinya. Bahwa, mereka harus menjadi pelaku sejarah, bukan

lagi menjadi boneka sejarah. Tidak ada kaum yang bisa menyelamatkan dirinya dari

keterpurukan, kecuali jika kaum itu sendiri yang menyelamatkan dirinya. Tidak ada

bangsa yang bisa maju, jika bukan karena bangsa itu sendiri yang mau membangun,

memajukan dan mensejahterakan bangsa dan negaranya. Kini kebangkitan umat Islam di

Indonesia saat ini sedang berada dalam fase konsolidasinya.

Umat Islam Indonesia merasa wajib harus merangkul seluruh saudara-saudaranya

sesama anak bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai latar belakang etnis, suku dan

agama lain dengan penuh persahabatan. Juga mengajak bergerak bersama dalam

frekuensi yang sama, membangun dan menyelamatkan masa depan NKRI.

Menurut Johan O. Silalahi, fase integrasi ini akan menandai dimulainya era

Kebangkitan Indonesia Baru. Era dimana ketidakadilan dan kedzaliman harus diberantas

dari seluruh wilayah Indonesia. Mulai sekarang, semua Pemimpin di seluruh wilayah

Indonesia, harus segera bertobat dan kembali kepada jalan yang lurus dan benar. Karena

era kebangkitan bangsa Indonesia sudah tiba. Semuanya harus berbondong-bondong

berbuat kebaikan, jika tidak mau digilas oleh zaman. Siapa saja, apakah ia seorang

Pemimpin yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Buddha atau agama apapun.
18

Menutup opininya, Johan Silalahi mengingatkan tegas, bahwa mayoritas rakyat

Indonesia sudah letih dan lelah menunggu datangnya keadilan dan kesejahteraan yang

selama ini selalu diimpikan. Momentum perubahan kini sudah tiba. Mau tidak mau, suka

atau tidak suka, kita semua harus berubah, kata Johan. Jangan pernah berani melawan,

karena zaman Kebangkitan Indonesia Baru telah tiba. Siapapun yang berani melawan,

maka akan digilas oleh zaman. (Ibid.)

Apa yang disampaikan oleh Johan O. Silalahi itu adalah bukti dan testimony,

kesaksian salah seorang dari ratusan juta anak bangsa yang merasa terharu dan sekaligus

mendambakan kebangkitan Indonesia baru yang juga sebagai kebangkitan umat Islam ini,

akan berlanjut seterusnya. Dimana umat Islam berkewajiban sebagai panggilan jiwa yang

terinspirasi oleh ajaran agamanya, untuk bisa merawat dan mengelolanya dengan amat

baik bagi keselamatan bangsa sebagai rahmat Allah,

Memang siapapun di antara kita tidak ada yang bisa menyangkal bahwa bangsa

dan negara kita Indonesia bisa terbentuk seperti sekarang, itu karena rahmat dan karunia

Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Allah SWT. Indonesia kita ini tidak mungkin

bisa berdiri tegak, hanya karena ikhtiar dan upaya kita semata.

Bagaimana mungkin bisa jika hanya mengandalkan kemampuan sebagai manusia

biasa, sampai mampu merajut kesatuan dan persatuan Indonesia yang terdiri dari 17.000

pulau, lebih dari 500 suku bangsa, dengan 741 bahasa dan budaya, serta menganut lebih

dari 6 agama dan keyakinan. Kecuali atas berkat rahmat Allah SWT.

Bahkan semuanya, sampai saat ini, tetap terhimpun dalam sebuah keluarga besar

bernama Indonesia yang rukun dan damai, bersatu dalam tali kekeluargaan yang sangat

erat. Dan kita juga tidak mungkin bisa melupakan sejarah, bahwa dahulu nenek moyang
19

kita sama sekali belum mengenal agama samawi. Agama samawi yang kita anut saat ini

adalah agama yang percaya pada Ke-Tauhid-an, percaya akan adanya kekuatan tunggal

yang abadi, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa Allah Subhanahu wataala, yang telah

menciptakan dan mengatur seluruh alam semesta ini. Sejarah mencatat bahwa kita

seluruh bangsa Indonesia ini asalnya adalah dari satu nenek moyang yang sama,

kemudian bercampur dengan bangsa-bangsa pendatang.

Karena realitas akar sejarah itulah menjadi kewajiban kita bersama pula untuk

selalu menjaga persatuan dan kesatuan di seluruh wilayah Indonesia. Sungguh amat

beruntung kita seluruh bangsa Indonesia, ditinggali warisan oleh nenek moyang dan para

founding fathers kita, keberagaman aneka suku bangsa, yang diikat dalam ideologi

Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Tentu saja lantas menjadi aneh dan

tidak masuk akal, jika ada di antara kita masih berpikir dan bertindak primordialisme

dalam fanatisme yang sempit. Mengatakan, umat Islam memecah belah persatuan bangsa.

Sama dengan Johan O. Silalahi di atas, Dr. Iswandi Syahputra, Dosen IAIN Sunan

Kalijaga, Yogyakarta juga memberikan catatan kesaksiannya atas peristiwa fenomenal

212 itu. Katanya: Demi Allah. baru kali ini saya melihat aksi demo hingga menangis.

Saya tidak kuat menahan rasa haru, bahagia, bangga, gembira, dan sedikit amarah semua

berbaur menjadi satu.

Sambil menangis tersedu melihat Aksi 212, ia sempat menelepon isteri untuk

mengabarkan situasi dan kondisinya. Luar biasa, kata Iswandi, persatuan, kesatuan,

kekompakan, persaudaraan, silaturrahmi umat Islam demikian nyata.

Pukul 07.00 WIB Iswandi bergerak dari Cikini menuju Monas, ojeg yang ia

tumpangi harus muter-muter mencari jalan tikus. Semua jalan dan lorong yang mengarah
20

ke Monas macet total. Perjalanannya terhenti di Kwitang, dari Kwitang ia jalan kaki

menuju Monas, hingga ke perempatan Sarinah. Saat sampai di Tugu Tani, dadanya mulai

bergetar tak karuan. Seperti orang takjub tidak terkira. Umat Islam yang hadir saling

mengingatkan untuk hati-hati, jangan injak tanaman di taman, buang sampah pada

tempatnya, kemudian segala jenis makanan sepanjang jalan bisa diperolehnya gratis. Tak

ada caci maki seperti terjadi di sosial media. Saat itu sudah mulai perasaan berkecamuk,

tapi masih bisa ia tahan.

Tepat di depan Kedubes AS, dada Iswandi Syahputra meledak menangis haru saat

seorang kakek renta menawarkan kepadanya buah Salak, gratis. Ia bertanya, Ini salak

dari mana Kek? Saya beli sendiri dari tabungan, jawabnya. Iswandi pun hanya bisa

terdiam dan terpaku menatap sang kakek.

Di sebelahnya, ada juga seorang Ibu tua, juga menawarkan makanan gratis yang

dibungkus. Sepertinya mie atau nasi uduk. Bayangkan, Ibu itu pasti bangun lebih pagi

untuk memasak makanan itu. Ia bertanya, Ini makanan Ibu masak sendiri? Iya, jawab

Ibu tua itu. Saya biasa jualan sarapan di Matraman, hari ini libur. Masakan saya ini saya

gratiskan untuk peserta aksi. Masya Allah mendengar itu, Iswandi langsung lemes,

mes, messss . Ia semakin lemes sebab obrolan mereka disertai suara sayup orang yang

berorasi dan gema suara takbir.

Dan, sepanjang jalan yang ia lalui, ia menemukan semua keajaiban Aksi Super

Damai 212. Ada Pijat gratis, obat gratis, klinik gratis, makan dan minum gratis. Perasaan

lain yang bikin ia merinding, tidak ada jarak dan batas antara umat Islam yang selama ini

kena stigma sosial buatan mereka para nyinyiers dan haters sebagai Islam Jenggot,

Islam Celana Komprang, Islam Kening Hitam, Islam Cadar, Islam Berjubah dan
21

stigma-stigma negatif lainnya. Semuanya bersatu dalam: Satu Islam, Satu Indonesia, dan

Satu Manusia!

Sepanjang perjalanan, ia pun mendengar antara peserta berbicara menggunakan

bahasa daerah Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Aceh, Minang bahkan ada juga yang

berbahasa Tionghoa. Mungkin mereka saudara kita dari kalangan non muslim. Melihat

itu semua, saya menyerah, lagi-lagi saya menyerah, kata Iswandi tertegun. Ia tidak

kuasa menahan gejolak rasa yang bergemuruh dalam dada. Ia putuskan menepi, mencari

kafe sekitar lokasi. Kebetulan ia ingat punya sahabat baik yang pengelola Sere Manis

Resto dan Cafe. Lokasinya strategis, pas di pojok Jl. Sabang dan Jl. Kebon Sirih. Tidak

jauh dari bunderan BI dan Monas. Dia putuskan menyendiri masuk cafe itu untuk

memesan secangkir kopi dan menyaksikan semua peristiwa dari layar TV dan Gadget

yang terkadang diacak timbul tenggelam kekuatan sinyalnya.

Tapi di Resto dan Cafe Sere Manis itu juga ia temui umat Islam berkumpul

ramai membludak. Rupanya mereka antri mau mengambil wudhu yang disiapkan

pengelola restoran. Tidak cuma itu, ia juga menemukan ketakjuban lain. Di dalam

resto/cafe itu ia bertemu teman baru, seorang Scooter yang tinggal di daerah Cinere. Dia

dan teman-temannya memilih berjalan kaki dari Cinere ke Monas (sekitar 40 KM) untuk

ikut merasakan kebahagiaan para santri yang berjalan kaki dari Ciamis ke Jakarta. Masya

Allah. Bagi Iswandi semakin sangat kecil rasanya dibanding mereka semua.

Itulah kisah dan kesaksian Iswandi sang Dosen, tentang Aksi Super Damai 212.

Mungkin ada ratusan atau ribuan atau jutaan orang seperti dirinya yang tidak terhitung

atau tidak masuk dalam gambar aksi yang beredar luas secara viral. Hati Iswandi
22

mengakui, kami orang yang lemah, tidak sekuat saudara kami yang berjalan kaki di

Ciamis atau Cinere.

Maka, katanya tegas, janganlah lagi menghina aksi ini. Apalagi jika hinaan itu

keluar dari kepala seorang muslim terdidik. Tidak menjadi mulia dan terhormat dengan

Anda menghina aksi ini. Terbuat dari apa otak dan hati Anda hingga sangat ringan

menghina aksi ini? Atau, apakah karena Anda mendapat beasiswa atau dana riset dari

pihak tertentu kemudian dengan mudah menghina aksi ini? Tanya Iswandi Syahputra.

Jika tidak setuju, katanya lagi, cukuplah diam, kritik yang baik, atau curhatlah ke

isteri Anda berdua. Jangan menyebar kebencian di ruang publik. Walau menyebar

kebencian, kita tahu kalian tidak mungkin dilaporkan umat Islam. Sebab umat Islam tahu

persis ke mana hukum berpihak saat ini. Ada ketidakadilan yang tidak berpihak umat.

Terlepas ada kebencian dari para nyinyiers, Iswandi bahagia bisa tidak sengaja

ikut aksi damai 212. Setidaknya ia bisa menularkan kisah dan semangat ini pada anak

cucunya sambil berkata: Nak, ketika kau bertanya ada di mana posisi Bapak saat aksi

damai 2 Desember 2016? Bapak cuma buih dalam gelombang lautan umat Islam saat itu.

Walau cuma buih, Bapak jelas ada pada posisi membela keimanan, keyakinan dan

kesucian agama Islam. Jangan ragu dan takut untuk berpihak pada kebenaran yang kau

yakini benar. Beriman itu harus dengan ilmu. Orang berilmu itu harus lebih berani. Dan

mereka yang hadir atau mendukung Aksi 212 adalah mereka yang beriman, berilmu dan

berani. Maka jadilah kau mukmin yang berilmu dan pemberani anakku.( http://www.-

jamilazzaini.com/catatan-dr-iswandi-syahputra/)
23

Itulah semua kesaksian yang menakjubkan dari DR Iswandi Syahputra. Dosen

IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ketika ia berada di tengah lautan umat Islam yang

melakukan Aksi Bela Islam III 212 di Monas Jakarta.

Tetapi yang juga lebih mengharukan lagi adalah berbagai kesaksian seperti yang

ditulis oleh republika.co.id, Selasa, 6 Desember 2016, judulnya: Ini Tujuh Kisah Manis

Kenangan Aksi 212. Inilah tulisan selengkapnya:

1). Warga Bandung Tumpah Ruah Menyambut Muslim Ciamis

Harus diakui salah satu momentum yang tak terlupakan adalah saat warga Ciamis

memilih berjalan kaki ke Jakarta untuk mengikuti aksi 212. Ini setelah banyak

perusahaan bus yang tak mau mengangkut perserta aksi setelah dilarang oleh polisi.

Gerakan itu memicu solidaritas dan semangat Muslim lain untuk bisa bergabung dengan

aksi tersebut. Sambutan bagi Muslim Ciamis yang mengikuti aksi pun cukup meriah.

Di sepanjang pinggiran Jalan Protokol Soekarno Hatta, Kota Bandung, menuju

Kota Cimahi, masyarakat Kota Bandung dan Cimahi tumpah ruah menyaksikan dan

melihat rombongan massa aksi 212 yang tengah berjalan kaki menuju Jakarta dari

Kabupaten Ciamis untuk mengikuti aksi superdamai 2 Desember. Semua kalangan

masyarakat begitu antusias melihat perjalanan rombongan massa aksi ini.

Dari pantauan Republika.co.id, banyak masyarakat yang dengan semangat

memberikan bekal makanan dan minuman untuk para massa. Tidak hanya itu, banyak di

antara mereka yang mengabadikan momen tersebut dengan merekam perjalanan massa

aksi. Gema takbir terlantun di sepanjang perjalanan para rombongan massa aksi jalan

kaki. Mereka tanpa lelah terus melantunkan takbir. Long march yang dilakukan pun

terlihat sangat rapi dan tertib. Meski long march sedikit mengakibatkan kemacetan. Ada
24

pula, orang-orang yang ditugaskan untuk menjaga kebersihan sepanjang perjalanan.

Mereka dengan cekatan memperhatikan sampah-sampah yang berserakan dan terus

membersihkan.

Wakil Koordinator Lapangan Massa Aksi 212 Ciamis, Johan mengatakan,

pihaknya terus berjalan kaki menuju Jakarta mengikuti aksi super damai 2 Desember.

"Tidak ada rencana apa pun, kami konsisten dari awal dari Ciamis menuju ke Jakarta

dengan berjalan kaki," ungkapnya, Kamis, 1 Desember 2016.

Sebelumnya, Ade Risman, Staf GA PT Hariff yang bergerak di bidang

telekomunikasi, mengaku terharu sekaligus bangga melihat rombongan massa aksi jalan

kaki yang berangkat dari Ciamis menuju Jakarta untuk ikut aksi superdamai 2 Desember.

Dirinya beserta staf dan pimpinan perusahaan sengaja memberikan ikhlas bantuan

makanan, minuman serta uang alakadarnya untuk rombongan yang saat itu melewati

Jalan Soekarno-Hatta, Bandung. Bahkan, Ade Risman, mengatakan, usai nanti bekerja,

beberapa staf perusahaan PT Hariff akan ikut aksi 212.

2). Ditolak Perusahaan Bus, Ribuan Muslim Lampung Naik Angkot

Seribuan umat Islam berada di kapal fery Pelabuhan Bakauheni (Lampung).

Massa bergerak ke Jakarta dari Lampung menyewa mobil angkutan kota (angkot) untuk

bergabung dalam Aksi Bela Islam III di Jakarta pada Jumat, 2 Desember 2016. Mereka

nekat menyewa angkot setelah perusahaan bus menolak untuk disewa busnya.

Sekarang sedang masuk kapal fery di Pelabuhan Bakauheni. Seribuan umat

menyewa angkot ke Jakarta karena bus menolak disewa, kata Fuad, salah seorang

aktivis masjid yang bergabung dengan massa umat Islam asal Lampung kepada
25

Republika.co.id, Kamis, 1 Desember 2016. Selain menyewa mobil angkot, massa umat

Islam juga membawa kendaraan pribadi dan beberapa bus milik pribadi umat. Massa

bergerak ke Pelabuhan Bakauheni setelah Subuh. Diperkirakan rombongan umat Islam

asal Lampung akan tiba di Jakarta pada petang atau malam hari.

Selama dalam perjalanan dua jam lebih dari Kota Bandar Lampung menuju

Pelabuhan Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan, tidak ada hambatan baik dari aparat

kepolisian maupun pihak lainnya. Lancar-lancar saja. Sekarang semua sudah di

Bakauheni, ujar Fuad.

3). Memborong Makanan untuk Peserta Aksi

Koordinator aksi damai 212 di Islamic Center Kota Bekasi memborong dagangan

para pedagang yang berjualan di seputaran Islamic Center untuk memenuhi kebutuhan

logistik peserta aksi. Beragam bentuk donasi pun terus mengalir dari masyarakat Kota

Bekasi.

Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kota Bekasi, Hans

Munthahar, mengatakan, kiriman makanan dari masyarakat melimpah ruah. Donasi

berupa uang tunai, air mineral, makanan, dan nasi bungkus terus berdatangan. Hampir

3.000 nasi bungkus dikirimkan oleh masyarakat se-Kota Bekasi untuk logistik peserta

aksi.

Ia mengungkapkan, pihaknya juga menggratiskan peserta aksi yang ingin

membeli makanan dan minuman di kompleks Islamic Center. Seluruh pedagang asongan

dan kaki lima sudah diborong. "Pedagang-pedagang sini sudah kami borong semuanya
26

supaya berdagang kopi teh untuk pagi-pagi tidak usah menarik bayaran. Gratis semua

buat peserta aksi," ujar Hans Munthahar, Jumat, 2 Desember 2016.

Hans mengungkapkan, puluhan pedagang dikumpulkan dan dipersilakan untuk

melayani logistik peserta aksi tanpa menarik uang bayaran. Koordinator aksi yang akan

membayarnya dengan donasi dari masyarakat. Seluruh peserta aksi tanpa kecuali bisa

memesan teh atau kopi gratis.

4). Kakek-Kakek Ikut Berjalan Kaki dari Bogor

Rombongan massa Aksi Superdamai 212 dari Bogor Raya terdiri atas berbagai

kelompok usia. Mulai dari anak-anak, remaja hingga yang berusia lanjut. Rombongan

akan menempuh jarak tak kurang dari 80 kilometer.

Di antara rombongan, ada sejumlah remaja yang berasal dari Sukabumi, Jawa

Barat. Mereka mengaku berangkat sejak Subuh menuju Kota Bogor. Fadil Muhammad

(15 tahun) mengaku tidak dipaksa atau diperintah pihak mana pun untuk mengikuti aksi.

Murid dari Ma'had Bhani Hasyim, Sukabumi itu mengaku, hanya ingin membela agama.

"Kemauan kami sendiri. Tidak ada yang suruh, baik itu guru atau siapa pun. Kami

tujuannya bela agama. Kami mah sudah biasa jalan jauh, Insya Allah kuat," ujarnya.

Sementara itu, Rahmat Ibnu Aulia (60 tahun), seorang pensiunan PNS, juga

mengaku optimistis kuat menempuh perjalanan. Gerakan ini, menurut pria yang membina

sebuah rumah tahfiz itu, juga sebagai bentuk kritik untuk penguasa. "Pedoman kita

diabaikan. Pedoman hidup kita dihinakan kaum kafirin munafikin. Itu alasan saya ikut,"

ujar kakek dengan lima cucu itu mantab.


27

Seorang kakek lainnya, Tatan Rahman (57 tahun) mengaku sanggup menempuh

perjalanan. Jarak ini, menurutnya, tidak ada apa-apanya dibandingkan perjuangan

Rasulullah SAW. Warga asal Paledang, Kota Bogor, itu mengaku hanya ingin menuntut

keadilan. Apabila hukum sulit bicara, dia mengatakan, maka warga Muslim akan terus

bergerak. "Agar Indonesia juga tenang. Hukum ditegakkan secara adil, mudah-mudahan

umat Islam bersatu membela Quran," katanya.

Adapun para peserta long march diminta tak khawatir pasokan makanan maupun

layanan kesehatan karena mobil pandu selalu siap siaga. Selain mendapat pengamanan

aparat kepolisian, sejumlah ormas juga mengerahkan laskar-laskar mereka mengawal.

5). Para Artis pun Ikut Membantu Peserta Aksi

Aksi Bela Islam III atau yang dikenal dengan sebutan Aksi Super Damai akan

digelar di Lapangan Monas Jakarta Jumat (2/12/2016). Aksi yang akan diadakan mulai

pukul 08.00 sampai 13.00 tersebut mengundang perhatian dari berbagai kelompok dan

profesi kaum Muslimin. Tak terkecuali para artis.

Mereka pun turut aktif mendukung aksi umat Islam untuk membela Alquran dari

sang penista. Baik dengan cara menyumbangkan makanan, pakaian dan logistik lainnya,

maupun dengan cara turut serta dalam aksi demo tersebut. Salah satu artis yang sangat

aktif mendukung Aksi Super Damai adalah Camelia Malik. Bersama penyanyi Evi

Tamala dan artis lainnya, Camelia menjadi relawan yang menyambut dan mengurus

berbagai keperluan para jamaah peserta aksi dari luar kota yang menginap di Masjid

Agung At-Tiin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Kamis-Jumat (1 - 2

Desember 2016).
28

Kami didukung oleh banyak pihak, termasuk artis-artis, yang merasa terpanggil

untuk turut serta membela Alquran yang merupakan Kitab Suci umat Islam, kalam Allah

Yang Mahasuci, kata Camelia Malik saat ditemui Republika.co.id di Masjid Agung At-

Tiin, Kamis (1/12/2016). Artis yang akrab dipanggil Mia itu hadir secara langsung di

Masjid Agung At-Tiin bersama dengan sejumlah artis lainnya, untuk menyambut dan

mengurus keperluan para para peserta aksi dari berbagai kota. Termasuk rombongan

Mujahidin dari Ciamis, Jawa Barat, yang sebelumnya menempuh perjalanan dengan

berjalan kaki lebih 150 km demi membela Alquran.

Kami menyediakan untuk mereka makan tiga kali pada hari Kamis, yakni makan

pagi, makan siang dan makan malam. Adapun pada hari Jumat, kami menyediakan

makan pagi untuk mereka, sebelum mereka berangkat ke Monas, papar aktris film dan

penyanyi berdarah Padang-Arab-Jawa itu. Selain makanan, kata artis kelahiran Jakarta,

22 April 1955 itu, banyak pula donatur yang memberikan sumbangan dalam bentuk

barang, seperti baju koko, sandal, dan obat-obatan. Hand phone saya hidup 24 jam.

Bahkan, tidur pun HP saya taruh di bantal saya. Banyak sekali para peserta aksi maupun

donatur yang menelepon saya terkait dengan pelayanan di Masjid Agung At-Tiin untuk

para peserta demo dari luar kota, tutur Camelia Malik penuh semangat.

6). Pertama Kali ke Jakarta, Langsung Ikut Aksi

Muhammad Amir (47 tahun) menanti bus yang akan membawanya ke Jakarta,

Kamis (1/12/2016). Di salah satu sudut teras Masjid Baitussalam, Serengan, Solo, Amir

menanti kedatangan bus sambil melantunkan sholawat. Amir adalah salah satu dari ribuan
29

warga se-Solo Raya yang akan berangkat untuk mengikuti aksi Super Damai, Bela Islam

III di Jakarta pada Jumat (2/12/2016).

Ini pertama kali dia datang ke Jakarta. Sekaligus pertama kali pula mengikuti aksi

damai terkait penistaan Alquran yang dilakukan Gubernur nonaktif DKI Jakarta alias

Ahok. Pada aksi damai 4 November lalu, Amir sebenarnya berniat untuk ikut bersama

teman-temannya yang bergabung dengan Laskar Umat Islam Solo (LUIS). Namun

terganjal lantaran anggota keluarganya sakit.

Alhamdulillah, sekarang saya bisa berangkat. Sebelumnya (pada aksi 4

November) saya hanya bisa sedekah alakadarnya untuk bekal teman-teman ke Jakarta,

sekarang saya ikut. Karena saya yakin, melihat yang kemarin pun aksinya damai, besok

juga kita hanya doa, untuk negeri ini dan tegaknya keadilan, tutur Amir kepada

Republika.co.id jelang keberangkatan massa dari Solo pada Kamis (1/12/2016) siang. Dia

pun menunjukkan sejumlah barang yang dibawanya dalam tas ransel. Di tas hitamnya itu,

terdapat perlengkapan shalat, sikat, dan pasta gigi. Selain itu ia juga membawa kantong

plastik. Kata dia, kantong plastik itu sengaja dipersiapkan istrinya agar dapat digunakan

sebagai tempat sampah makanan dan minuman peserta aksi super damai di Jakarta nanti.

Amir berkomitmen untuk menjaga kebersihan saat berlangsungnya aksi nanti.

Memang tidak ada instruksi dari panitia, ini inisiatif sendiri karena diingatkan

istri. Karena ini aksi superdamai harus menjaga kebersihan Jakarta juga, kita tidak boleh

mengotori lingkungan dengan sampah, nanti plastiknya saya kasih ke teman-teman juga,

tutur Amir.

Hal serupa juga dilakukan Ridwan (43 tahun), bahkan tak hanya perlengkapan

shalat dan plastik untuk tempat sampah, dia juga membawa tiga botol berisi air mentah.
30

Dia mengatakan, air mentah itu digunakan untuk berwudhu. Sebab dia khawatir saat

berlangsungnya aksi nanti, kesulitan mendapatkan air untuk wudhu. Karena waktu aksi

kemarin (4 November) susah dapat air wudhunya, lama mengantre kan. Supaya cepat

tidak ketinggalan kalau sholat jamaah, ya saya persiapkan saja dulu, tuturnya.

Sebanyak 2.700 warga se-Solo Raya berangkat ke Jakarta pada Kamis siang

(1/12/2016). Mereka berangkat dengan mengendarai 43 bus. Sebagian warga juga ada

yang berangkat menggunakan mobil pribadi. Terpisah, Kapolresta Solo, Achmad Luthfi,

mengatakan di hari yang sama dengan berlangsungnya aksi super damai di Jakarta, warga

Solo juga akan melakukan aksi berupa istigosah dan tablig akbar yang digelar oleh MUI

Solo. Kegiatan tersebut akan berlangsung di Masjid Agung Kraton Solo usai pelaksanaan

shalat Jumat.

7). Kisah Donat Gratis Ustadz Arifin Ilham

Saat aksi superdamai pada 2 Desember 2016 lalu, banyak masyarakat yang

berpartisipasi untuk menyedekahkan minuman dan makanan gratis untuk para peserta

aksi. Sedekah juga banyak dilakukan para penjual yang menggratiskan dagangannya.

Ustaz Arifin Ilham mengisahkan tentang penjual donat saat aksi 212 lalu di akun

Instagram pribadinya. Penjual donat tersebut tiba-tiba ada di depannya dan mengatakan

donat gratis untuk para peserta aksi. Dalam sekejap, donat ini habis terbagi kepada

jamaah aksi 212 yang melaluinya. "Setiap jamaah yang mendapat donat gratis nampak

kagum dengan keikhlasan sang penjual donat. Namun saya amati setiap kali menerima

donat, para jamaah melesakkan sesuatu ke saku celana sang penjual donat," kata Arifin

Ilham di akun Instagram pribadinya, Senin (5/12/2016). Ia pun mendekati penjual donat
31

tersebut yang merapikan kotak dagangannya sambil menghitung uang yang diterimanya

dari 'paksaan' jamaah yang diberikan donat secara cuma-cuma. Mata penjual donat

tersebut tampak berkaca-kaca menghitung lembaran uang yang rata-rata adalah pecahan

Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu. "Ya Allah, dua juta seratus ribu rupiah," kata penjual donat

seperti dikutip status Arifin Ilham.

Ustad pun tertegun melihat kejadian penjual donat tersebut yang ia sebut sebagai

pertunjukan Allah yang luar biasa. Menurutnya, satu orang pedagang donat keliling pasti

secara ekonomi bukan dalam kategori yang berkecukupan. Akan tetapi ia memiliki

keikhlasan yang luar biasa. "Allah mempertemukannya dengan orang-orang baik yang

mudah sekali bersedekah. Pedagang donat yang sehari-hari berdagang donat di Monas

dengan nilai dagangan tidak lebih dari dua ratus ribu mendapatkan uang lebih dari dua

juta hari ini. Berbagi tak harus menunggu lapang. Orang baik bertemu orang baik di 2

Desember 2016," ujar pimpinan Majelis Taklim Az Zikra ini.

Itulah ketujuh kenangan manis yang dilaporkan republika.co.id yang mewarnai

Aksi 212 menjadi lebih bernilai. Dan tentang kisah di seputar Aksi Bela Islam itu, laman

hidayatullah.com juga menampilkan banyak kisah-kisah mengharukan dan membuat air

mata menetes. Dari tulisannya, Allah Satukan Hati Kami di Monas dapat disimak

kisah-kisah selengkapnya seperti di bawah ini:

Haji Ahmad Djuwaeni menangis setelah menapaki perjalanan menembus lautan

manusia. Di atas kursi rodanya, kakek berusia 82 tahun ini masih tepekur seakan tak

percaya dengan apa yang dia lihat dengan mata berkaca-kaca. Beberapa kali dirinya

memekikkan takbir, walau tak segagah dahulu kala.


32

Ada sesuatu, entah apa itu yang membuat matanya sembab, yang mengalir bak air

di sungai melewati keriput di pipinya. Dengan tertatih-tatih, suara bergetar, ia membuka

mulutnya seraya setengah berbisik, saya nggak mau ketinggalan urusan begini, katanya

kepada Islamic News Agency (INA), 2 Desember 2016. Berempat, bersama sang anak dan

menantu, ia datang memenuhi panggilan jiwanya, walau tak lama pulang dari rawat inap.

Saya masuk ICU 4 hari, lalu 5 hari dirawat, sengaja baru bisa keluar langsung ke sini,

selama fisik memungkinkan, masih bisa bergerak, meski dipaksa menggunakan kursi

roda, lirihnya.

Firmansyah sang menantu sambil mendorong kursi roda mertuanya mengisahkan

bahwa justru anak-anaknya diminta untuk ikut aksi. Sempat ada rasa khawatir, tapi

tekad bapak mengalahkan rasa sakitnya, semangatnya bahkan melebihi kami, katanya.

Kini, tak kuasa menahan haru, Haji Ahmad Djuwaeni nampak mematung berdoa khusyuk

di punggung pelataran Monas. Ya Rabb, Engkau sendiri yang memutarkan sejarah ini,

kini umatMu bangkit untuk memenuhi seruanMu, Engkau perlihatkan doa yang terus

hamba panjatkan tiap malam, agar umat Islam Indonesia bangkit, lirihnya. Terlihat

ruhud din yang selama ini antara hidup dan mati mulai bangkit, ucapnya khusyuk.

Tak terasa air mata tertumpah, bagi siapa yang melihatnya menangis berdoa. Di

pengujung senjanya, ada rasa yang bercampur aduk: sedih, senang, haru, gembira: rasa

yang tak tergambarkan. Yang mengaduk-aduk rongga dada, naik perlahan ke atas, dengan

nafas yang tak beratur, berkumpul di sudut mata hingga gerimis itu tak hanya dari atas

langit, gerimis itu turun dari mata. Dan lihatlah, kini seorang kakek di pengujung usia

senjanya, datang walau tak bisa berjalan kaki.


33

Saya rela meninggal dalam keadaan berjihad, ya Allah, mudah-mudahan acara

ini membangiktkan untuk izzul islam dan muslimin, ya Allah kabulkanlah, terbata-bata

karena tak kuasa menahan tangis. Tak kuasa manusia mengumpulkan massa sebanyak

ini, kalau bukan karena panggilan iman, mereka tidak akan bersusah payah ke sini,

tutupnya sambil tersenyum simpul dengan bola mata yang berkaca-kaca kering sudah

tangisnya keluar.

Aksi Bela Islam selalu memberikan kesan tersendiri bagi siapa pun yang pernah

mengikutinya, meskipun mewujud dalam variasi yang kadang sulit diungkapkan dan

dijelaskan dengan kata-kata. Tak pernah terbayang memang, bagaimana ribuan orang rela

berpeluh, mengadu nyawa, berjalan kaki dari Ciamis hingga Jakarta. Sebagaimana

dilakukan Haji Nonof dari Ciamis bersama santrinya rela jalan kaki hingga tindakannya

memberi inspirasi banyak orang di seluruh Indonesia.

Pelarangan-pelarangan tidak akan menyurutkan langkah kami, ujar Ketua

Kafilah Ciamis, Haji Nonof Hanafi, saat tiba di Bandung setelah menyusuri jarak 120

KM melewati malam-malam panjang. Luar biasa. Perjalanannya menuju Jakarta telah

membuat ribuan orang di setiap perjalanan memberikan simpati dan applaus. Tak sedikit

tangisan warga tumpah ruah meluber sepanjang jalan menyambut bak pahlawan besar.

Pantauan INA (Islamic News Agency) dalam perjalanan, dari balik kaca jendela,

di sudut sekolah, selama jalan yang mereka lalui dalam perjalanan menuju Jakarta

disambut tangis haru seraya melambaikan tangan. Warga menyambutnya dengan tulus.

Ada yang membawakan setandan pisang, sekarung bonteng (timun), hingga keresek

berisi buah-buahan yang baru dipanen dari kebunnya.


34

Sambutan tumpah ruah, bak mengiringi pasukan perang. Hadiah bunga, air

mineral, sendal, dan lainnya, serta ada yang bangga menenteng karton coretan tangan

pesan sambutan mereka: Selamat Berjuang Para Pembela al Quran.

Berbondong masyarakat merindu. Tak usah tanya sebanyak apa makanan yang

menggunung hingga puluhan truk, kekuatan hati telah menggerakkan mereka. Mereka

adalah para pembela al Quran, apapun akan kita lakukan untuk mereka, kata seorang

warga Bandung sambil menangis yang wilayahnya dilewati kafilah.

Setiap kafilah melewati warga, selalu saja air mata tak bisa tertahan. Bak

pahlawandan memang pahlawansorak takbir mengiringi perjalanan menuju Cianjur

hingga akhirnya mereka bisa tiba di Jakarta tanggal 2 Desember 2016, sekira pukul

09.00. Lalu, kita melihat pemandangan yang begitu dramatis.

Detik-detik ketika mereka melewati Thamrin hingga menembus lautan manusia di

kolam Bundaran Bank Indonesia hingga masuk ke Monas, satu per satu wajah coklat

yang tersengat sinar mentari ini tiba. Wajah yang didominasi para belia. Menyipit

matanya, tiba-tiba saja air mata mereka tertumpah ruah. Tangis pecah bersedu-sedu.

Huuuu.uuuuu, suara massa menangis sesenggukan tak bisa berhenti.

Sebagian jurnalis, sambil menyorot mereka dengan kamera SLRnya tak kuasa pula

menahan air mata yang sudah mengucur deras melewati dagunya. Allahu Akbar..Allahu

Akbar..Allahu Akbar. Saudara kita dari Ciamis telah tiba, lalu menggemuruh.

Semua larut dalam haru. Semua tergugu. Kafilah Ciamis, hanyalah orang-orang

biasa dari sudut kampung nun jauh di sana. Tapi, apa yang dilakukannya bisa begitu

menggetarkan hati jutaan manusia dari penjuru negeri. Sambil terus berjalan, tangis haru

menemani mereka menembus lautan manusia.


35

Berdatangan massa, bersimpuh, segera memeluk saudara-saudara mereka: erat.

Lama mematung, tangis itu kian menggedor-gedor emosi. Seorang kakek peserta jalan

kaki dengan surban kumalnya menerima sekuntum bunga merah sambil mengusap sudut

matanya walau ia tahu itu tak kan membuatnya berhenti menangis.

Sungguh! Perjuangan kalian tidak sia-sia, histeris seorang penyambut sambil

memeluk erat-keras pemuda-pemuda Ciamis yang tak seorang pun dikenalinya. Pekik

takbir bercampur tangis terus berbaur mengiringi kafilah ini hingga ke panggung utama.

Akhirnya, wajah yang selama ini hanya beredar di medsos, kini berbaur di antara jutaan

massa aksi.

Ciamis mengubah segalanya, kata Riwa, seorang peserta aksi asal Riau yang

rela menghabiskan sebulan gajinya agar bisa datang ke Aksi Damai Bela Islam di Jakarta.

Kami benar-benar malu kepada mereka, katanya. Tak hanya Riwa sendiri, mungkin kita

semua merasakannya. Mengaguminya. Betapa dahsyatnya!

Bola Salju Ciamis

Aksi jalan kaki warga Ciamis telah dipilih Allah Subhanahu Wataala menjadi

wasilah umat Islam Indonesia, apakah benar nilai-nilai Islam ada dalam hati mereka.

Alhamdulillah, tekanan, penggembosan, intimidasi dan serangkaian fitnah agar gerakan

umat Islam tidak menyatu justru berbalik layaknya bola salju. Aksi nekad saudaraku

Muslim Ciamis berjalan kaki setelah aparat keamanan melakukan intimidasi agar mereka

tidak sampai Jakarta, justru menjadi viral di media sosial (medsos).

Aksi jalan kaki mereka, melahirkan solidaritas dan simpati banyak orang sehingga

mereka semakin ingin datang ke Jakarta. Ini adalah panggilan di sini (menunjuk dada),
36

kami tak kan pernah rela al Quran kami dinista, kata Irmansyah, yang datang jauh-jauh

dari Balikpapan bersama kawannya yang bahkan menjual HP satu-satunya untuk bisa

datang ke Jakarta.

Irmansyah dan ratusan temannya rela mencarter pesawat dan kucing-kucingan

dengan aparat saat masuk ke bandara. Kami dari Balikpapan ingin menyuarakan agar

Ahok segera ditangkap, kata Abu Syamil.

Kisah lain datang dari Surabaya. Hari itu, Pengurus Majelis Ulama Indonesia

(MUI) Jawa Timur, Ainul Yaqin, berangkat ke Jakarta dengan penerbangan pertama pagi

hari saat hari Jumat, 2 Desember 2016, tepat Aksi Super Damai berlangsung.

Yang saya kaget, saat kami turun di bandara, ratusan orang yang tadi di pesawat,

tiba-tiba semua berganti baju putih-putih ketika turun di bandara. Subhanallah, rupanya

tadi satu pesawat itu tujuannya sama, ujar Pengurus Wilayah MUI Jawa Timur ini

terharu menceritakan pengalamannya.

Ada pula Ibu Sri, seorang nenek berusia 72 tahun asal Surabaya pula, yang

mewajibkan kelima anaknya untuk ikut Aksi Bela Islam. Di usia ini, saya sendiri sudah

siap mati untuk membela agama, apalagi kalau al Quran kami dinista, katanya sambil

mengepalkan tangannya.

Yang tak kalah menakjubkan, adalah pemandangan seorang santri Mahadul

Quran wal Qiroat az-Zikra bernama Anugerah. Di tengah keterbatasan fisiknya, ia

bahkan merangkak dari rumahnya untuk datang ke Monas. Karena mengalami

keterbatasan fisik, (maaf) ia harus berjalan dengan kedua tangan dan kedua kakinya

menuju Monas. Tak ada rasa lelah atau meminta bantuan, Anugerah ikut merapatkan

barisan bersama sedikitnya lebih 5 juta umat Islam lainnya.


37

Karena saya penghafal Quran, dan insya Allah al-Quran sudah menyatu dengan

hidup dan diri saya. Jadi, jika saya enggak ikut Aksi Super Damai 212 kemarin, saya

merasa diri ini sangat terhina, ungkapnya penuh semangat saat berbincang dengan

Islamic News Agency (INA). Yang menjadi pertanyaan, jika bukan karena Allah, siapa

mampu menggerakkan semua ini?

Monas Rasa Makkah

Aksi Bela Islam III atau popular disebut Aksi 212 (mengabadikan peristiwa aksi

tanggal 2 Desember 2016) selain membangkitkan gerakan massa Islam di seluruh

Indonesia untuk datang ke Jakarta, juga melahirkan solidaritas ukhuwah antar elemen

Islam tanpa melihat status, latar-belakang dan menghilangkan sekat perbedaan yang

selama ini sering terjadi.

Hal itu dirasakan peneliti Ahmad Kholili Hasib, peneliti pada Institute for the

Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) yang menyaksikan langsung

selama aksi di Monas. Penulis muda asal Bangil Pasuran Jawa Timur itu sengaja datang

dari kampungnya. Datang dan menyaksikan langsung acara yang sebelumnya telah

banyak digembosi polisi, tokoh ormas, bahkan media massa dengan berbagai tuduhan

kurang nyaman.

Dari Menteng, usai shalat Subuh, ia bersama rombongannya berjalan menuju

lokasi. Tepat pukul 05.00, ia mendapati 20 orang anak muda, usianya 20 tahunan

berjalan dari Cikini meneriakkan Allahu Akbar berkali-kali. Saat bertemu dengan jamaah

lain mereka menunjukkan sikap hormat, bersalaman dan lempar senyum. Padahal mereka

tidak saling kenal.


38

Kholili makin kaget, satu jam berikutnya, rombongannya yang semula hanya

dengan puluhan orang, tiba-tiba membengkak saat melewati depan Gedung Proklamasi.

Ribuan orang keluar dari gang-gang, gedung-gedung, bergabung dengan gelombang

orang di depannya bergerak perlahan dari Jalan Diponegoro, Stasiun Gondangdia sampai

Cikini. Barisan kami bertambah panjang, ujarnya.

Yang menakjubkan, selama perjalanan menuju Monas, ia menyaksikan ratusan

orang yang tidak saling mengenal itu saling tebar senyum, saling sapa, saling berbagi,

saling beramal dan saling mengingatkan. Suasananya mirip umrah dan haji di Tanah Suci

Makkah al Mukarramah. Ini benar-benar seperti suasana haji, bahkan lebih, kata

seorang bapak sambil menenteng poster bertulisan : Tangkap dan Penjarakan Ahok!.

Jika di Makkah orang banyak berbagi khas makanan Arab, di sini, ratusan orang

(bahkan ribuan) tak henti-hentinya memberikan hidangan yang entah datang dari mana.

Pantauan INA, mendekati Monas, suasana semakin kentara. Dari balik kawat di

seberang tenda ada yang berbagi nasi ayam, minuman gratis, jus, roti, sampai pijat gratis.

Semuanya ada. Ayo siomay gratis, kata si ibu depan Mc. Donald Thamrin menyeru,

yang segera dikerubuti ratusan orang. Di ujung Pejambon, seorang polisi muda tak

nampak sungkan mengambil air minum dan makanan dari para peserta aksi damai. Di

depan Gambir, Ibu-ibu asal Bekasi membagikan gerompolan anggur merah yang masih

mengkilap.

Di antara silang Monas, seorang pedagang gerobak berurai air mata. Tiba-tiba

seseorang membeli semua dagangannya dan meminta membagikan secara gratis. Baru

sekarang ini saya mengalami kejadian seperti ini, katanya.


39

Penjaja asongan perintil kacang, hingga mangga plus garamnya, tak ketinggalan

banjir rezeki. Di sudut-sudutnya, seorang tentara lahap bersantap bersama para laskar.

Kalau kaya gini nggak bakal ada yang kelaparan kehausan, padahal massa ada jutaan,

kata Tukang Mie Ayam yang sudah diborong dagangannya.

Semilir angin lembut berkawan langit cerah benar-benar membuat suasana

semakin hangat. Zikir dan doa terlantun, menembus kaki langit, hingga hujan, yang

menurut sang Nabi adalah rahmat itu, turun mengguyur lembut setiap jengkal sekitar

Monas. Membuat suasana begitu syahdu. Tua, muda, artis, pejabat, karyawan, pengusaha,

dosen, dokter, mahasiswa, peneliti hingga beragam suku dan daerah, tumplek blek semua

dengan satu kesadaran: Membela al Quran yang dinista.

Sebagian dari kita tinggalkan sanak saudara dan keluarga rela jauh-jauh ke sini.

Kami hanya ingin keadilan, agar si penista segera ditahan hari ini juga, kata pria asal

Ambon, Irmansyah.

Jika di Makkah, orang berbondong-bondong menangis di kaki Kabah, kita

melihat mereka bersimpuh bermunajat di kaki langit. Inilah wisata ruhani yang

menggetarkan jiwa, begitu nikmat ketika harus bersujud, berjalan kaki tanpa beban dalam

tawaf hingga sai di Shafa dan Marwa. Hanya kedunguan yang tersisa bila ada yang

mengatakan mereka yang tulus memenuhi panggilan jiwa yang tak ternilai itu dibayar

dengan secuil materi. Ahok bilang, setiap peserta aksi dibayar Rp. 500 ribu. Ini fitnah!

Saya saja ongkos sekali jalan Rp.1,6 juta, itu uang pribadi saya, gimana dibayar,

saya yang malah keluar uang, kata Irmansyah. Ibu Sri, nenek asal Surabaya juga

mengatakan total lebih dari Rp.15 juta terpakai bersama anak-anaknya untuk berangkat.
40

Dengan ketulusan, setiap peserta yang berlelah-lelah, baik secara fisik maupun

materi, dapat melakukannya tanpa beban apapun. Menaiki pesawat, menaiki bus,

bersepeda motor bahkan berjalan kaki, menyambut para tamu, berbagi makanan, berdoa,

berdzikir, menangis, semua melaluinya dengan tulus tanpa bergantung pada siapapun

kecuali pada sang Maha Esa.

Aksi 212 memiliki energi luar biasa. Salah satunya yang nampak adalah energi

persaudaraan Muslim. Kaum Muslimin dari berbagai latar belakang organisasi, profesi,

pendidikan, jamaah, dan suku yang berbeda seperti saudara kandung, ujar Kholili.

Suasana ini, menurut Kholili, mengingatkannya pada pesan sebuah hadits dari

Rasululllah Shalallahu Alaihi Wassallam yang berbunyi, Ruh-ruh itu ibarat prajurit

yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal di antara mereka pasti akan saling

melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal di antara mereka pasti akan saling

berbeda dan berpisah.

Di mana kita akan melihat shalat Jumat terbesar sepanjang sejarah umat ini? Yang

sesaknya memenuhi jalanan protokol ibu kota mengular empat sisi Monas, Patung Kuda,

Budi Kemuliaan, Tanah Abang, Medan Merdeka Selatan, Istiqlal, Kwitang, Pasar Baru,

Senen, Tugu Tani, Haji Agus Salim, Menteng, hingga Thamrin dan massa yang terus

berdatangan dari Bundaran HI tak henti-henti.

Karena membludaknya massa, disulap sudah, perkantoran hingga Kafe Starbucks,

Coffee Sarinah seberang McD, hingga kantor-kantor menjadi shaf-shaf shalat yang rapat

sampai tangga-tangganya. Tak kuasa, air mata gerimis melihatnya. Ya Rabb, hingga di

kafe-kafe itu, semua menjadi tempat bersujud kepadaMu! Allahu Akbar!


41

Kapan lagi kita bisa bergabung bersama jutaan kaum muslimin di sini, kata

seorang karyawan berbaju batik yang sehari-harinya ngantor di sekitar Sarinah. Ia biarkan

dirinya dalam kuyup bersama air yang terus mengalir dari langit.

Tak terasa, jutaan tetesnya membasahi jutaan manusia di atas jalanan di bawah

naungan kumandang adzan Jumat dua kali menggantung di atas langit Ibu Kota. Syahdu.

Kalau nggak ada hujan, semua di jalan, nggak sampai di kantor-kantor dan kafe, bisa

sampai HI ini, kata seorang warga sambil tangannya menunjuk Hotel Grand Indonesia

yang nampak selemparan mata memandang dari Sarinah.

Suasana semakin syahdu ketika hujan semakin deras mengguyur, bersahutan

dengan khutbah Habib Rizieq utamanya tentang surat Al Maidah dan penistaan agama.

Pemandangan dramatis kembali berulang. Tak gentar sejengkal pun massa akan lebatnya

hujan. Semua bergeming, semakin banyak barisan terisi. Semua duduk beralas apa saja,

bahkan beralaskan aspal yang mengkilap mengalirkan air.

Di buntut shaf, selemparan batu dari Sarinah, tiga orang bocah kuyup badannya

dengan poni mengkilat berjejer rapi di jidatnya. Lipatan baju putihnya mengkerut bak

kerupuk disiram, sedangkan celana merahnya dibiarkan menampung guyuran air dari

langit. Sembab matanya, tapi bukan karena hujan. Kakinya menekuk, bersimpuh kepada

sang Maha. Ya Rabb, anak SD mana yang rela berbasah-basah beralas secompang kardus

basah selebar kening mereka? Dan kini, semua itu nyata!

Semua hanya bisa tergugu. Air mata tak terasa tumpah berkali-kali, menyaksikan

kekuasaan sang Maha, melihat umat yang begitu syahdu. Orang tua mana yang tak begitu

bangga melihat anak-anaknya ini bermunajat dengan khusyuk? Anak-anak berseragam


42

merah-putih ini mendengarkan ceramah dengan mata yang bukan lagi berkaca, tapi sudah

mendanau.

Momen yang tak mungkin dijangkau nalar. Ketika jutaan manusia bergeming,

bermunajat, membiarkan dirinya kuyup oleh limpahan rahmatNya. Tangannya tertangkup

berdoa, para anak yang dengan syahdu terisak, air mata dan hujan sudah tercampur baur.

Ketika semua menyemut syahdu, merintih dalam berdiri, rukuk dan sujud. Hujan

semakin lebat, selebat tangis yang pecah ketika imam membaca surat al Maidah hingga

Qunut nazilah yang begitu panjang. Sekarang kita membela al Quran, kelak al Quran

semoga menjadi pembela kita di hari Kiamat, ujar Ustad Arifin Ilham dari panggung

utama.

Meski hujan menunjukkan janjinya, namun lautan wajah dalam balutan baju

putih-putih itu tak sedikitpun menampakkan wajah mendung. Sebaliknya, guyuran

hujan justru disambut senyum dan kekhusukan jutaan massa. Semua tampak bergembira

kegirangan. Shalawat serta salam menggema mengisi ruang di antara belantara beton

penantang langit ibu kota.

Sayup-sayup terdengar senandung rindu menyesaki seluruh jalanan Ibu Kota dari

Thamrin hingga Sudirman di Bundaran Indonesia. al Quran imam kamial Quran

pedoman kamial Quran petunjuk kamial Quran satukan kami! Aksi Bela Islam,

Aksi Bela Islam, Aksi Bela Islam Allah Allahu Akbar. Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Allahu Akbar Allah Allahu Akbar!

Ini semacam hadiah umat Islam Indonesia bahwa mereka benar-benar mencintai

agamanya, mencintai negerinya, dan mereka berdoa untuk negeri, kata seseorang peserta

sambil mengusap air matanya.


43

Aksi simpatik ini berakhir usai shalat Jumat dengan imam dan khatib Imam Besar

FPI dan Ketua Dewan Pembina Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama

Indonesia (GNPF MUI) Habib Rizieq Shihab, dengan muadzin Kapolres Cirebon Kota,

AKBP Indra Jafar. Dalam khutbahnya, Rizieq menyampaikan datangnya jutaan umat

Islam dalam Aksi Bela Islam III sebagai karunia Allah. Mereka datang guna memuliakan

Al-Quran, bukan untuk menghancurkan NKRI. Sebab Al-Quran adalah jantung dari

agama Islam. Hari ini jutaan umat Islam datang ke Jakarta bukan untuk menghancurkan

NKRI, justru untuk membela NKRI, membela Al-Quran, membela kebhinekaan yang

terkoyak, ujar Rizieq penuh semangat.

Fenomena Baru Gerakan Islam Indonesia

Shalat Jumat berakhir pukul 12.00 lebih. Lautan manusia berbaju putih ini lalu

membubarkan diri tanpa ada keributan dengan aparat, sebagaimana layaknya pengerahan

massa. Bahkan seluruh taman dan jalan tetap terjaga rapi tanpa ada sampah berserakan.

Tim INA yang disebar di banyak titik menyaksikan langsung, gelombang umat

Islam datang dari berbagai propinsi ini bahkan banyak yang tidak mampu masuk ke

Senayan. Masih banyak massa yang tertahan di berbagai tempat, termasuk pula di Senen,

Cikini, Gondangdia, Bundaran HI.

Tidak ada aksi apapun yang pernah saya lihat sebesar ini. Tuh orang pade salah,

harusnya ke Monas jalan ke depan, eh dia malah kebalik ke belakang. Saya bilang,

Monas kesono no, ente kebalik, ujar Haji Obeng (65), warga Sabang, kawasan lebih

dekat dengan Monas. Inilah shalat Jumat terbesar di dunia. Sebagian mencatat, massa

diperkirakan mencapai lebih dari 7 juta orang.


44

Kemuning senja menyapa lembut Ibu Kota. Lembayungnya menaungi jutaan

umat yang mulai kembali pulang, membawa berjuta kisah dan seruang rindu. Kerinduan

yang seketika memenuhi rongga dada, membuncah. Kenangan yang berkelebat hebat,

seakan ingin kembali berulang.

Jutaan orang mulai beringsut meninggalkan Monas dan sekitarnya. Namun

bekasnya masih menyisakan kesan mendalam bagi banyak orang termasuk Kholili, sang

peneliti INSISTS. Setidaknya ada dua hal penting ia catat.

Pertama, Aksi 212 menunjukkan kualitas ukhuwah umat Islam. Sebab jika Islam

itu ditegakkan, jangankan manusia, hewan dan tanaman pun akan mendapat rahmatnya.

Akhlak itulah yang ditunjukkan dalam Aksi Bela Islam III (Aksi 212). Inilah kualitas

sebenarnya umat Islam, kualitas hati yang merupakan cermin iman, ujarnya.

Kedua, Aksi 212, melahirkan gerakan baru Islam Indonesia akibat getaran Surat

Al-Maidah. Setelah sekian lama umat Islam didzalimi, ulamanya dibully, agamanya

dicela, informasinya dikaburkan media, tetapi atas kehendak Allah, sebuah kelompok

yang kecilsangat tidak popular bahkan telah lama disematkan padanya panggilan-

panggilan dan cap buruk, ditunjukkan Allah mereka mampu menghimpun jutaan orang

dengan aksi sangat terpuji.

Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan

merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin,

yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang

tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela, ujar Kholili mengutip Surat Al-

Maidah: 54.
45

Inilah fenomena baru yang tidak pernah dibayangkan oleh teori akademis apapun.

Saya yakin, di tangan orang-orang yang sabar dan pecinta Al-Quran, yang tidak takut

celaan orang yang mencela inilah janji rakhmat Allah akan turun dan Indonesia akan

terjaga.(http://m.hidayatullah.com/feature/kisah-perjalanan/read/2016/12/07/107217/-

allah-satukan-hati-kami-di-monas-3.html)

Begitulah berbagai kisah-kisah keajaiban menguras air mata yang dilaporkan oleh

republika.co.id dan hidayatullah.com yang membuat kita semua takjub. Dan Anda, juga

kita semua, akan menjadi lebih takjub lagi ketika kita mengetahui bahwa Aksi 212 itu ada

kesesuaian dan kecocokannya dengan surah 212 di Al Quran. Tak perlu bertanya surah

apa, karena satu-satunya surah yang memiliki ayat 212 hanyalah surah Al Baqarah. Tidak

ada lagi surah lainnya dalam Al Quran yang memiliki ayat lebih dari 210 selain Al

Baqarah.

Bacalah, dimana dalam ayat tersebut kita akan menemukan peringatan Allah yang

luar biasa: Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan

mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa

itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-

orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. Al Baqarah: 212).

Sungguh dahsyat relevansinya bukan? Kita diingatkan oleh Allah bahwa orang

kafir akan melihat dunia ini sebagai sesuatu yang sangat indah dan berharga, meskipun

sebenarnya bagi Allah dunia ini bahkan tak lebih berharga dari sehelai sayap nyamuk.

Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk, niscaya Allah

tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir. (HR. Tirmidzi,

dan dia berkata: hadits hasan sahih). Kita juga diingatkan mengenai hinaan terhadap
46

keimanan oleh orang-orang kafir. Serta rezeki yang tak terbatas dari Allah untuk orang-

orang yang dikehendakiNya. Masya Allah.

Jika dihubungkan dengan aksi super damai 212 yang terjadi di Jakarta dan diikuti

oleh jutaan umat Muslim, maka kita bisa menemukan banyak kecocokan dan kesesuaian

dengan ayat tersebut. Betapa rezeki Allah amat tak terbatas, betapa hinaan terhadap

keimanan itu nyata adanya.

Namun, ada yang lebih menarik jika kita melihat ayat lainnya yang berhubungan

dengan angka 212, yakni surah 2 ayat 12, atau surah 21 ayat 2, keduanya mengisahkan

tentang orang-orang munafik.

Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan,

tetapi mereka tidak sadar. (QS. 2:12). Siapa yang Allah maksud mereka dalam ayat

tersebut? Mari kita telisik di ayat sebelumnya: Di antara manusia ada yang mengatakan:

Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian, pada hal mereka itu sesungguhnya

bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang

beriman, padahal sebenarnya mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak

sadar. Dalam hati mereka itu ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi

mereka itu siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada

mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka justru menjawab:

Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan. (QS. 2: 8-11).

Atau, mari kita lihat surah 21 ayat 2: Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al

Quran pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya,

sedang mereka bermain-main. (QS. 21:2). Tentang siapakah ayat ini mengisahkan? Mari

lihat ayat sebelumnya: Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan
47

mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). (QS. 21:1).

Yakni tentang orang-orang yang lalai dan tak menyadari seberapa dekatnya kita dengan

hari kiamat.

Begitulah, petunjuk Allah bertebaran di setiap ayat, peristiwa, momen, kejadian,

maka apakah kita tak mampu menangkap petunjuk tersebut? Semoga Allah swt memberi

hidayah ke dalam hati kita semua. (https://up-news.com/2016/12/05/sudahkah-baca-ayat-

212-anda-akan/6347.html).

Menuntut keadilan
Harus diakui, adanya gerakan Aksi Bela Islam dalam bentuk perjuangan bela

Quran perang melawan ketidakadilan, yang dilakukan oleh massa Islam ini, sebenarnya

bukan hanya terkait penodaan agama saja. Perlawanan mereka disebabkan oleh hilangnya

kepercayaan masyarakat terhadap hukum akibat praktik pilih kasihnya dalam

penegakan hukum oleh pemerintah. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Demikianlah stigma yang tertanam di benak masyarakat selama ini. Kuatnya intervensi

para pemilik modal/korporasi di pemerintahan Jokowi sekarang ini juga menjadi salah

satu alasan kuat bersatunya kelompok Islam dan kelompok Nasionalis dalam perlawanan

terhadap Ahok, Gubernur Jakarta. Dan ini tak ada sama sekali hubungannya dengan

Pilkada DKI, 19 April 2017.

Mereka curiga berat, Ahok adalah simbol representasi pemilik modal, korporasi,

dan cukong yang bersikap sangat arogan, bermulut kasar, kejam, menindas rakyat kecil.

Ahok dianggap berani seperti itu karena dilindungi kelompok korporasi yang mengatur

banyak kebijakan pemerintah dan berlaku sebagai dalang bergerak di belakang layar.
48

Kecurigaan masyarakat terhadap korporasi dari 9 taipan (pemilik modal besar

China) yang memiliki kekuatan tak terbatas di belakang Ahok itu, oleh kelompok Islam

dan Nasionalis dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan bangsa dan negara.

Kelompok korporasi dengan 9 taipannya dianggap sebagai penyebab tidak

berfungsinya dan tidak sehatnya lembaga-lembaga negara karena oknum-oknum yang

menduduki posisi penting di pemerintahan sudah banyak yang terbeli oleh mereka.

Sehingga kelompok korporasi ini bisa sesuka hati mengatur para oknum petinggi-

petinggi negara yang duduk di Eksekutif, Legislatif, maupun Yudikatif.

Diijinkannya tenaga kerja asing dan Warga Negara Asing (WNA) terutama dari

China masuk ke Indonesia dengan jumlah yang membludak dan dibolehkannya mereka

memiliki hunian di Indonesia, adalah beberapa contoh dari sekian banyak peraturan

perundang-undangan yang diubah, dimana para petinggi negara mengetok palu

memutuskannya dengan sengaja untuk menguntungkan kelompok korporasi itu.

Ketidakberdayaan rakyat terhadap kondisi yang terjadi ini, lalu disikapi oleh

masyarakat dengan menempuh lewat jalur-jalur hukum, seperti melaporkan orang-orang

yang diduga sebagai kaki tangan korporasi atau kaki tangan asing yang selama ini secara

sistematis meniadakan kemampuan eksekutif dalam memerintah, tetapi ternyata cuma

disikapi bagai angin lalu oleh pemerintah.

Menurut Bastian P Simanjuntak, Presiden Gerakan Pribumi Indonesia, dalam

pernyataannya di laman rmol.co pada 8 Desember 2016, dikatakan, bahwa orang-orang di

sekeliling presiden yang merupakan antek korporasi atau asing diduga selalu berupaya

mempengaruhi bahkan meniadakan peran presiden dalam pengambilan keputusannya.

Karena itu, Bastian mengajak kita semua untuk mengumpulkan bukti sebanyak-
49

banyaknya terkait keterlibatan para antek dan kakitangan tersebut, lalu melaporkan

mereka ke TNI/Polri, Kementerian Pertahanan, BIN dan pihak berwajib lainnya.

(https://up-news.com/2016/12/08/menguak-kelompok-dibalik-ahok/7477.html)

Ajakan yang disampaikan Bastian P. Simanjuntak itu adalah untuk menjaga dan

merawat Indonesia yang merupakan tugas suci seluruh warga negara, terutama para

pemimpin formal dan informal. Salah satu cara merawatnya dengan mengedepankan

perilaku saling menghormati dan konsisten menjalankan kesepakatan bersama.

Bagi kita, konsistensi menjalankan kesepakatan bersama itulah yang juga menjadi

ujian komitmen umat Islam. Dan bukti paling terakhir adalah, umat Islam telah berhasil

melaluinya saat menggelar Aksi Bela Islam III - Aksi 212. Gelar aksi superdamai 212

berupa gelar sajadah untuk salat Jumat, yang diawali dzikir dan istigosah. Sempat saat itu

menjadi kolaborasi indah antara ulama dan penegak hukum!

Secara terang benderang aksi 212 ini bisa disebut ibadah. Ibadah harus dijaga

kesuciannya. Di dalamnya pantang terkandung niat atau perbuatan yang bisa mengotori

kesuciannya, dan itu sudah terbukti. Aksi 212 jelas sebuah kelanjutan dari aksi-aksi

sebelumnya. Aksi sebelumnya meneriakkan tuntutan agar Ahok Gubernur nonaktif DKI

Jakarta diproses hukum cepat, karena terkesan diperlambat oleh pemerintah. Proses

hukum memang sudah berlangsung sampai lebih 15 kali sidang tetapi tetap Ahok si

penista agama tidak ditangkap. Di mata umat Islam, ini sangat tidak adil. Lalu merekapun

mencari keadilan lewat sebuah jalan terhormat yaitu melakukan aksi-aksi bela Islamnya.

Apakah dengan begitu umat Islam melakukan tekanan terhadap proses hukum Ahok yang

sedang berlangsung lewat demo jalanan? Tidak! Tidak bisa dinilai seperti itu. Karena

yang dituntut adalah berlakunya keadilan bagi 90 persen umat Muslim yang tercederai
50

keyakinannya atas penistaan agamanya yang dilakukan Ahok. Tidak ada kaitannya

dengan kenyataan bahwa Ahok keturunan Cina dan non-muslim yang sedang mengikuti

Pilkada DKI. Orang Islam tidak anti keturunan Cina dan anti non-muslim. Jadi tidak bisa

lalu dituduh anti SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Justru umat Islam sedang

menjalankan dan melindungi dirinya dari mereka yang anti SARA. Dan itu adalah hak

konstitusional umat Islam. Tentu bagi mereka yang masih memiliki akal sehat akan

memahami sepenuhnya masalah itu. Dan demo 212 adalah pilihan terbaik umat Islam

yang dijamin Undang-Undang. Sebagai mayoritas, mereka menyadari untuk selalu

menghindari kekerasan dan melakukan gerakan yang dijamin Undang-undang.

Karena itu adanya kesepakatan para pihak mengijinkan umat Islam menggelar

ibadah superdamai 212 sama sekali tidak meniadakan hakikat kemerdekaan menyatakan

pendapat di muka umum bagi siapapun, yang memang sepenuhnya dijamin konstitusi.

Justru adanya kebebasan di ruang publik itu harus dikelola secara dewasa dalam rangka

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dan umat

Islam amat menyadari hal ini.

Memang tidak mungkin membiarkan aksi yang substansinya ibadah berkembang

sekehendak hati. Demi kemerdekaan kolektif, kebebasan memang memerlukan rambu-

rambu. Rambu-rambunya tidak sebatas yang tertulis, tetapi juga hal-hal yang telah sama

disepakati. Dan ternyata, demo superdamai 212 yang dihadiri lebih 7 juta umat Islam di

Monas Jakarta itu sangat menghormati rambu-rambu itu, yang kemudian hasilnya seperti

disaksikan bersama: berlangsung tertib, aman, bersih dan superdamai serta menyejukkan.

Sangat bersejarah dan fenomenal, dan itulah sikap Islam yang paling otentik.
51

Bangsa ini sudah lama merindukan aksi demonstrasi yang memperlihatkan sisi-

sisi keadaban publik seperti itu. Ternyata bisa dibuktikan oleh umat Islamnya justru yang

selama ini diberi stempel negatif sebagai kelompok anarkis, intoleran dan gampang

marah. Sekali lagi, itulah sebuah aksi yang membanggakan karena berlangsung tertib,

bersih, dan terkendali meski dengan jumlah peserta jutaan umat. Apalagi, aksi itu

berbalut kegiatan keagamaan. Sungguh umat Islam Indonesia telah berlaku simpatik dan

mulia dalam mendudukkan agama pada tempat yang benar, sehingga memancarkan rasa

damai dan tenteram di seluruh Nusantara ini. Tidaklah berlebihan kalau ada yang

menyebut Aksi 212 itu sebagai demonstrasi yang bernilai Pancasila. Sebab, dalam aksi

itu, masyarakat menyuarakan pendapatnya dengan cara beribadah, saling menolong, dan

saling menghargai antara peserta dan aparat keamanan.

Padahal biasanya, rasa damai dan tenteram selalu terbang jauh saat unjuk rasa

dilakukan. Demonstrasi yang selalu menyebabkan jalanan macet di mana-mana yang

merenggut kemerdekaan orang lain. Unjuk rasa yang selalu menyebabkan perusakan

terhadap sarana umum dan juga melanggar hak orang lain untuk menikmati kenyamanan.

Selalu terjadi!

Namun di Aksi 212, itu semua tidak terjadi. Seperti kesaksiannya Johan O.

Silalahi dan Iswandi Syahputra di atas, adalah fakta tak terbantahkan. Tak ada yang

dirugikan dan tak ada yang direnggut haknya. Karena itu, apresiasi harus diberikan

kepada demonstran yang menuntut kasus penistaan agama Ahok diproses hukum secara

berkeadilan sesuai dengan apa yang telah difatwakan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Yaitu, Ahok telah menista Al Quran dan menghina para ulama.


52

Allah SWT kemudian mendengar rintihan dan keluhan umatNya yang terdzalimi.

Setelah melewati persidangan pengadilan lebih dari 15 kali itu, akhirnya Ahok, 9 Mei

2017, diputus bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan

hukuman penjara 2 tahun dan langsung ditahan. Spontan saat itu meledaklah tangis

histeris para Ahokers (pendukung dan penyokong Ahok), kemudian secara irasional

mereka menghujat Hakim tidak adil dan ganjil dengan putusannya itu. Ribuan mereka

para Ahokers itu lalu melakukan unjukrasa Aksi Solidaritas 3 hari tiga malam menuntut

Ahok dibebaskan sebelum akhirnya dibubarkan paksa oleh Polisi setelah terjadinya

bentrok antar mereka dengan penjaga keamanan. Mereka dalam orasinya sempat marah

kepada pemerintahan Jokowi yang telah berlaku tidak adil.

Bagi kita, melihat reaksi para Ahokers itu, kesannya lucu juga. Semua kecaman

berbalik kepada para Ahokers ini yang justru tampak tidak menghormati hukum dan telah

berlaku anarkis. Setelah sebelumnya selama ini mereka begitu gencar mencibir,

menghujat dan menimpakan tuduhan-tuduhan keji terhadap aksi-aksi Bela Islam yang

dilakukan umat Islam, kini justru pihaknya sendiri yang berlaku tidak santun tidak

menghormati hukum bak menjilat ludah sendiri.

Maka itu, sebaiknyalah, ke depan ini, jangan lagi umat Islam dituduh-tuduh

dengan berbagai macam tuduhan dan stigma buruk yang menyakitkan seperti yang terus

menerus dilakukan. Sehingga memantik berbagai tanggapan dan reaksi keras membuat

situasinya lantas menjadi menegang dan gaduh.

Ketua MPR-RI, Zulkifli Hasan, sempat juga menyayangkan jika umat Islam yang

menuntut terjadinya ketidakadilan yang kasat mata itu malah kemudian jadi korban
53

politisasi dengan menuduh mereka tidak Pancasilais. Terlebih, bila itu diungkapkan

dengan sedikit keras seperti menyebut Islam radikal atau dituduh bersikap intoleransi.

Sementara Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Ma'ruf Amin,

bahkan mengaku heran, ada saja yang tidak senang saat umat Islam tengah fokus

memperjuangkan kehidupan Islam. Bahkan, Muslim yang sedang berjuang untuk

internalnya sendiri sering mendapat fitnah merusak kebinekaan atau dituduh melakukan

islamisasi. "Padahal, masalah kebinekaan itu sudah selesai, tatkala disepakati Piagam

Jakarta menjadi lima poin yang tertuang di Pancasila," kata Ma'ruf Amin (13/12/2016).

Untuk itu, ia meminta siapapun elemen masyarakat yang tidak senang dengan

perjuangan umat Islam, jangan malah menebar fitnah dengan menuduhnya tidak NKRI

apalagi tidak Pancasilais. Ma'ruf menegaskan, budaya seperti itu yang justru harus bisa

dijauhi masyarakat Indonesia. Ia mengingatkan, penghapusan tujuh kata yang ada di

Piagam Jakarta adalah merupakan pengorbanan besar dari umat Islam. Hal itu dilakukan

demi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ma'ruf meminta perjuangan Muslim

akan kehidupan Islam jangan lagi dikesankan buruk, apalagi disangkutkan dengan

memecah NKRI. "Justru itu harus dimaknai sebagai bagian dari kebinekaan, bagian dari

kemerdekaan," ujar Ma'ruf.

Ma'ruf Amin menambahkan, aspirasi umat Islam yang 90 persen jumlahnya ini

malah harus bisa ditampung, diapresiasi, terlebih mengingat ulama-ulama para pendiri

bangsa telah merelakan prinsip-prinsip yang ada demi terwujudnya NKRI. Tentu saja

aspirasi itu harus disampaikan dengan cara-cara yang damai dan santun.

Apa yang disampaikan oleh Ketua MUI KH Maruf Amin sesungguhnya adalah

sebuah ketegasan sikap yang mewakili umat Islam Indonesia bahwa, itulah sebenarnya
54

bentuk dari pelaksanaan demokrasi yang benar. Dan umat Islam Indonesia konsekwen

untuk melakukan itu semua demi menjaga keutuhan dan persatuan Indonesia tanpa harus

dengan kekerasan dan berdarah-darah.

Untuk itulah, seiring dengan pernyataan tegasnya KH Maruf Amin itu, seorang

penulis, Salim Fillah, dalam tulisan singkatnya di laman jamilazzaini.com pada 2

Desember 2016 dengan judul: Menjaga Negara mengatakan, bahwa umat yang

berulangkali mengalah dan bertenggang rasa sejak penghapusan 7 kata dari Piagam

Jakarta, berharap berhimpunnya mereka hari ini, 2 Desember 2016 di Aksi 212, adalah

untuk mensyiarkan ibadah kepada Allah dan tuntutannya akan keadilan mengingatkan

para pemegang kuasa bahwa :

Menjaga agama adalah dasar terkokoh tegaknya negara. Maka tegaknya hukum

bagi penista risalah suci samawi apapun juga, tanpa membeda-bedakan perlakuan satu

dari lainnya, adalah mutlak kesegeraannya.

Menjaga jiwa kemanusiaan adalah dasar terindah hidup berbangsa, sehingga

tegaknya hikmah berkeadaban bagi yang serampangan dalam lisan dan perbuatan terlebih

dalam kedudukannya sebagai pemimpin hingga tak layak jadi teladan, adalah niscaya.

Menjaga persatuan dan harmoni sebagai sebuah keluarga adalah dasar

terkuat hidup setumpah darah. Maka tegaknya sanksi bagi yang tak peka menjaga

kebhinnekaan dengan pelecehan, fitnah, dan ketaksenonohan adalah semestinya.

Menjaga hikmat kebijaksanaan dan akal sehat dalam menyelenggarakan

pemerintahan maupun tugas kewargaan adalah dasar terhebat menuju kemajuan.

Maka tegaknya rasa keadilan masyarakat bagi yang tak sudi berfikir panjang sebelum

berucap dan berbuat adalah seharusnya.


55

Menjaga keadilan sosial adalah dasar terpenting dalam menuju masyarakat

yang makmur, setara, dan sejahtera. Maka mengusut tuntas berbagai pelanggaran oleh

yang punya kuasa dalam menzhalimi hak-hak masyarakat miskin dan lemah demi

keberpihakan pada para pemilik modal tertuntut selekasnya. (http://www.jamilazzaini-

.com/menjaga-negara/)

Tidak bisa dipungkiri bahwa, peristiwa Aksi SuperDamai 212 menjadi peristiwa

monumental bagi umat Islam Indonesia dan juga bangsa Indonesia. Aksi yang diakhiri

dengan shalat Jumat ini, meskipun masih ada pihak yang agak malu mengakui sebagai

aksi tanpa kekerasan, memberikan begitu banyak energi positif bagi umat Islam dan juga

umat agama lain yang bisa melihat dengan hati nuraninya yang terdalam.

Dalam sebuah laman www.pasbana.com, 25 Desember 2016 dengan judul:

Dimulainya Kebangkitan Umat Di Indonesia dikatakan bahwa, mereka yang datang ke

Monas dalam Aksi 212 adalah dari berbagai latar belakang aliran, mazhab, profesi, kelas,

dan lainnya. Mereka begitu menyatu. Acara pun diikuti dengan khidmat. Bantuan sebagai

wujud solidaritas datang dari berbagai penjuru.

Mereka yang ikut aksi ini pun mengeluarkan dana dari kantong pribadinya. Ada

yang menyewa bus, naik pesawat, jalan kaki, dan berbagai moda transportasi lainnya. Ini

menandakan sebagian umat Islam sudah mendapatkan tingkat kesejahteraan relatif baik.

Pasca aksi pun semangat untuk bersama-sama masih kuat. Gerakan Shalat Subuh

Berjamaah di beberapa kota salah satu buktinya. Demikian pula ada yang mengajak

mendirikan usaha semisal minimarket atau koperasi. Ada yang mengatakan ini tanda-

tanda kebangkitan ekonomi umat Islam. Benarkah?


56

Benar! Meski ada juga yang mengatakan masih prematur. Semangat yang ada

masih terlihat sporadis. Bukan berarti meremehkan, namun memang perlu usaha yang

sungguh-sungguh, terkoordinasi, terencana, penanggung jawab, dan profesionalitas untuk

mewujudkan hal seperti itu.

Adalah sebuah fakta bahwa kini semakin banyak umat Islam yang menjadi

kelompok kelas menengah. Namun sumberdaya yang ada pada mereka ini belum

terkoneksi dengan baik kepada rantai atau saluran pemberdayaan ekonomi umat. Namun

sudah banyak yang melakukan secara sporadis. Ini disebabkan karena belum ada tokoh

atau lembaga yang bisa dipercaya oleh mereka.

Selain itu komunikasi lintas kelas dalam tubuh umat Islam selama ini belum

berjalan baik. Namun sejak aksi super damai 212 semakin banyak saja umat Islam yang

membuka diri terhadap tokoh atau sosok yang seringkali dicitrakan sebagian media

sebagai tokoh antagonis, seperti Imam Besar FPI, Ustadz Habib Rizieq. Demikian pula

upaya membuka diri terhadap organisasi atau mungkin semacam aliran fiqih.

Dikatakan dalam laman tersebut, bahwa selama ini umat Islam terkotak karena

adanya masalah aliran fiqih, afiliasi kelembagaan, dan juga afiliasi lain seperti ketokohan

dan ideologi gerakan. Menyatunya perbedaan tersebut yang tampak sekali pada aksi

superdamai 212 membuat suasana cair dan persatuan (ukhuwah) lebih dikedepankan.

Maka tak heran begitu banyak hidangan (Al Maidah) melimpah saat aksi superdamai

tersebut. Mereka dengan ikhlas memberikan bantuannya kepada siapa saja tanpa melihat

dari aliran mana, dari organisasi mana, dan lainnya.

Aksi superdamai 212 semoga saja bisa menjadi pemicu meningkatnya kesadaran

umat Islam akan potensi besar yang mereka miliki. Selama ini mereka hanya menjadi
57

konsumen besar bagi para produsen dari seluruh dunia. Namun potensi ekonominya

belum diberdayakan dengan baik sehingga hal yang seharusnya bisa memberdayakan

kaum dhuafa masih belum terlaksana maksimal.

Untuk itu, satu hal penting yang harus dilaksanakan adalah: menjalin hubungan

atau komunikasi saling menghormati yang terus menerus lintas organisasi, aliran fiqih

dan lainnya. Kemudian selalu meningkatkan kesadaran akan pentingnya peran dan posisi

keluarga untuk menjadi dasar kuat kebangkitan ekonomi umat.

Jika umat Islam sadar akan peran pentingnya keluarga, maka insya Allah urusan

ekonomi bisa diselesaikan perlahan-lahan sehingga muncul keberhasilan dengan ditandai

meningkatnya kesejahteraan dan meningkatnya pemahaman akan peran penting keluarga

dalam interaksinya dengan nilai-nilai Islam.

Keluarga sebagai pondasi ketahanan ekonomi umat perlu proses yang cukup

panjang dan juga butuh kesabaran. Jika makin banyak keluarga yang baik ketahanan

keluarganya, maka insya Allah kebangkitan ekonomi umat akan muncul dengan kokoh

dan kuat. Untuk itu, berbagai euforia yang selalu mengiringi sebuah peristiwa moumental

tidak bisa kemudian dijadikan tanda bangkitnya ekonomi umat. Hanya sebagai pemicu

atau pembuka kesadaran saja. (http://www.pasbana.com/2016/12/dimulainya-kebang-

kitan-umat-di-indonesia.html).

Yang pasti, ketegasan sikap MUI yang diwakili KH Maruf Amin serta beberapa

penulis lainnya, menjadikan sikap konsekwen umat Islam itulah yang diakui oleh pihak

pemerintah, terbukti dengan kehadiran Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla

shalat Jumat berjamaah di aksi 212 itu bersama jutaan umat di Monas Jakarta yang

berlangsung tertib dan damai. Dan inilah pula yang kemudian mengundang berbagai
58

decak kagum dari hampir seluruh dunia. Mereka menggarisbawahi, itulah sebuah wujud

demokrasi yang matang yang telah dilakukan umat Muslim Indonesia.

Atas keberhasilan Aksi superdamai 212 itu, Presiden Joko Widodo memberikan

apresiasinya kepada umat Islam di Indonesia. Hal ini karena, umat Islam telah sukses

menjaga persatuan dan kesatuan yang terus terjaga, termasuk unjuk rasa yang berjalan

damai. Pemerintah Indonesia, memberi apresiasi kepada umat Islam yang sudah

menyampaikan aspirasi dengan tetap menghormati orang lain. Selain itu, yang terpenting

dari berbagai unjuk rasa yang dilakukan umat Islam itu, juga ternyata tidak ada aksi

anarkistis satu pun. "Itu apresiasi kepada umat Islam, yang telah berunjuk rasa secara

damai, menghormati hak orang lain, serta tidak anarkistis," ujar menteri Agama Lukman

Hakim Syaifuddin.

Namun demikian, meskipun umat Islam sangat menyadari bahwa sebagai bangsa

ia harus menghormati semua ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negerinya

Indonesia, tetapi tak lepas dari kenyataan pihaknya balik dicurigai dan dituduh mau

melakukan pembangkangan sipil setelah melakukan pemboikotan terhadap beberapa

institusi antara lain, terhadap layanan jasa antar on line Grab, produk makanan Sari Roti,

dan media televisi Metro TV.

Penilaian secara obyektif terhadap umat Islam dilakukan oleh peneliti Soekarno

Institute For Leadership, Gde Siriana, dalam tulisannya di laman rmol.co pada Rabu, 7

Desember 2016 berjudul: Ketika Pintu Demokrasi Ditutup. Ia menilai, dalam kasus

penistaan agama oleh Ahok, yang sampai saat ini (baca: saat itu!) belum ditahan

meskipun sudah jadi tersangka, publik dalam hal ini mayoritas warga negara beragama

Islam, melihat dengan jelas dan gamblang bahwa banyak pihak yang melindungi dan
59

mendukung Ahok. Mulai dari aparat negara, pemimpin parpol, tokoh-tokoh ormas dan

LSM, dan pengusaha yang kebanyakan keturunan Tionghoa, bahkan media massa

nasional. Keyakinan publik bahwa mereka dianggap secara terbuka mendukung Ahok

ditunjukkan dalam caci-maki di media sosial dan banner-banner yang digunakan dalam

berbagai aksi massa. Maka ketika Ahok belum juga ditahan, kekecewaan mendalam umat

Islam diarahkan kepada pihak-pihak yang dianggap melindungi dan mendukung Ahok.

Kekecewaan yang tadinya dalam bentuk kata-kata kini menjadi kemarahan dalam

tindakan, yaitu boikot. Aksi boikot yang telah terjadi seperti terhadap layanan jasa antar

on line Grab, produk makanan Sari Roti, dan media televisi MetroTV.

Boikot umat Islam kepada pihak-pihak itu dalam sekejap menjadi viral di media

sosial. Seketika itu juga, kini disadari, baik oleh umat Islam sendiri maupun pihak-pihak

di luar gerakan boikot ini, bahwa ternyata aksi boikot umat Islam sangat cepat dan kuat

dalam menyatukan sikap masyarakat yang berdampak parah pada mereka yang diboikot.

Kata Gde Siriana, kesombongan dari kekuasaan yang bersetubuh dengan uang

para taipan Cina ternyata tak mampu melawan rasa keadilan sebagian besar masyarakat.

Kesombongan bersama teman-temannya yaitu keangkuhan dan kesewenang-wenangan,

lupa bahwa umat Islam tidak selamanya tidak berdaya melihat kedzaliman. Boleh jadi

90% ekonomi dikuasai oleh hanya 10% orang kaya, tetapi bukan berarti uang bisa

mengatur semua rencana busuk para taipan Cina itu.

Terbukti uang tidak lagi punya harganya, ketika lebih dari 7 juta umat Islam

berkumpul di aksi Bela Islam 212. Ini adalah keyakinan jihad, bahwa apapun yang

terjadi, bahkan setelah Aksi 212, semua dilakukan demi membela agama. Semua peserta
60

Aksi 212 merasakan kekuatan Ilahi hadir dalam dirinya yang mengantar mereka menuju

perjuangan suci.

Kekuatan bathin yang ilahiah inilah yang membuat aksi 212 dan Aksi Bela Islam

lainnya, berjalan dengan damai, tanpa kekerasan. Meskipun demikian, bukanlah berarti

damai dan tanpa kekerasan ini lemah dan tidak mampu melawan kekuatan besar yang

melindungi dan mendukung Ahok. Aksi boikot yang telah terjadi dan menjadi viral di

sosial media adalah buktinya.

Aksi boikot adalah suatu tindakan untuk tidak menggunakan jasa atau membeli

produk atau berurusan/berhubungan dengan pihak tertentu sebagai bentuk protes. Dalam

kasus penistaan agama oleh Ahok, aksi boikot bisa berkembang menjadi pembangkangan

sipil, jika negara berlarut-larut tidak menangkap Ahok. Apalagi membebaskan Ahok.

Tegas Gde, ketika semua pintu-pintu demokrasi rakyat ditutup sementara rakyat

tidak mempunyai kekuatan fisik, kelembagaan dan finansial untuk memperjuangkan

keadilan, dan di satu sisi rakyat juga belajar betapa sangat ditakutinya boikot umat Islam,

maka sangat mungkin boikot umat Islam akan berkembang menjadi pembangkangan

sipil. Dimana bentuk pembangkangan sipil yang sangat ditakuti penguasa adalah menolak

membayar pajak dan melakukan mogok kerja nasional.

Menurutnya, dalam kenyataan, pembangkangan sipil sudah banyak dilakukan. Di

Syria sepanjang 2011, AS bulan Agustus 2011, China tahun 2000-an, Myanmar 2007,

Thailand 2010 dan lain-lain. Apakah pembangkangan Sipil akan terjadi di Indonesia

dalam konteks kasus penistaan agama? Gde Siriana tidak memberikan jawabannya. Tapi

cuma memperingatkan Pemerintah, bahwa dalam beberapa peristiwa pembangkangan

sipil di beberapa negara, selalu diikuti dengan tumbangnya rezim penguasa. Apalagi jika
61

boikot dan pembangkangan sipil didasari dengan semangat membela agama. Karena

umat Islam percaya, hanya kehendak Allah yang menyatukan dan menggerakkan jutaan

hati hamba-Nya serta mengatur seluruh kebutuhannya. (http://politik.rmol.co/read/2016/-

12/07/271562/Ketika-Pintu-Demokrasi-Ditutup-)

Gde Siriana benar. Kalau umat Islam melakukan pembangkangan sipil atau civil

disobedience, maka tak ada yang bisa menghentikannya kecuali seperti pada biasanya

dalam suatu gerakan pembangkangan sipil yang selalu akan diikuti dengan tumbangnya

pemerintah. Kini semuanya bergantung di tangan pemerintah, merangkul umat Islam atau

justru masih tetap saja merangkul si penista agama, Ahok, yang didukung para taipan.

Meskipun si Ahok sudah diputus bersalah oleh Hakim dengan ganjaran hukuman 2 tahun.

Jokowi, junjunglah keadilan dengan merangkul dan membela umat Islam,

bersama umat-umat yang lain. Maka, semua persoalan di negeri ini menjadi beres! (*)
62

BAB II
ULAMA MEMBELA DEMOKRASI

ADA pertanyaan menarik yang perlu diajukan. Ini mengenai kalahnya Ahok di

Pilkada DKI 2017 yang berlangsung begitu menegangkan, melelahkan, menguras energi

dan menjadi perhatian masyarakat seluruh Indonesia.


63

Pertanyaannya, mengapa pasangan Anies-Sandi bisa menang dan berhasil dengan

selisih yang relatif jauh dan di luar dugaan dari pasangan Ahok-Djarot? Jawaban paling

sederhana adalah: ini tidak lepas dari kebangkitan politik Islam di tengah dinamika

politik Pilkada DKI. Kali ini mestinya pasangan Anies-Sandi berterima kasih pada Ahok.

Juga Buni Yani, dan tentu saja jangan dilupakan peran Ustad Habib Rizieq Shihab, Imam

Besar Front Pembela Islam (FPI). Harus diakui, ketiganya adalah tokoh yang turut

menandai setiap fase dalam kontestasi yang cukup melelahkan dan menguras energi ini.

Anna Luthfie, Ketua DPP Partai Perindo, menulis di KORAN SINDO, 05 Mei

2017: Ahok dan Bangkitnya Politik Islam mempertanyakan, mengapa kok perlu

berterima kasih ke Ahok? Ya, kata Anna Luthfie, kasus penodaan agama akibat

pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu itu adalah fase awal dan pembuka wacana Islam

masuk dalam konstelasi politik ini. Boleh jadi, ucapan Ahok yang mengutip sembarangan

Surah Al-Maidah merupakan ekspresi kejengkelannya terhadap pihak lawan yang selalu

menyerang dirinya dengan sentimen agama. Sayangnya, ekspresi itu diungkapkan Ahok

di depan publik dalam kapasitas dirinya menjalankan tugas sebagai gubernur. Meskipun

juga harus diakui tidak ada yang salah dengan ajakan para ulama untuk memilih

pemimpin muslim, sebab ajaran yang diyakini umat muslim memang seperti itu.

Kesalahan Ahok inilah yang menjadi blunder politik yang kemudian menjadi penolakan

terhadap sosok Ahok.

Lalu ada apa pula dengan Buni Yani? Menurut Anna Luthfie, sosok akademisi ini

menjadi penanda kedua karena menjadi martir atas viral konten terhadap pidato Ahok

di Kepulauan Seribu tersebut. Meskipun banyak yang melakukan sharing terhadap konten

video Ahok itu, share yang dilakukan Buni Yani justru terpilih atau dipilih oleh
64

pihak kuasa hukum Ahok yang mengadukannya ke polisi. Akibatnya, Buni Yani pun

harus menghadapi proses hukum. Tapi postingan Buni Yani yang sekaligus membagi

konten video tersebut, diakui atau tidak, menjadi penanda kuat tersebarnya konten pidato

Ahok yang kontroversial akibat menyinggung umat Islam tersebut.

Kemudian Habib Rizieq Shihab, Imam Besar Front Pembela Islam, inilah yang

mentransformasikan kegundahan, kemarahan, dan protes umat muslim atas pernyataan

Ahok terkait Al-Maidah di Kepulauan Seribu. Gerakan 411 yang kemudian disusul

dengan gerakan fenomenal 212 yang tercatat sebagai pengerahan massa terbesar dalam

sejarah, lebih besar dari arus gerakan mahasiswa 1998, tidak lepas dari peran Habib

Rizieq. Gerakan inilah yang kemudian memaksa rezim Jokowi tidak mampu menolak

untuk kemudian mendesak aparat hukum memproses hukum Ahok. (http://budisansblog.-

blogspot.co.id/2017/05/ahok-dan-bangkitnya-politik-islam_6.html)

Dikatakan oleh Anna Luthfie, Gerakan 411, 212, dan gerakan susulan lainnya

tidak bisa dimungkiri adalah peristiwa politik. Aksi Bela Islam tersebut merupakan

bentuk aspirasi namun bercampur unsur politik. Hal ini tidak lepas dari hal-hal berikut.

Gerakan ini bersinggungan dengan momentum Pilkada DKI. Sebelum terjerat

kasus penistaan agama, Ahok adalah calon gubernur dengan elektabilitas tertinggi.

Namun setelah ditetapkan sebagai tersangka, elektabilitasnya merosot. Tidak heran jika

kemudian dua pasangan calon yang menjadi penantang Ahok di pilkada, Agus-Sylvi dan

Anies-Sandi, relatif mendulang suara cukup signifikan di awal-awal dua pasangan ini

resmi dideklarasikan. Jadi jelas, momentum gerakan Islam, meskipun porsinya lebih

banyak digerakkan oleh panggilan akidah, hati, dan suara jiwa umat muslim, terbukti

dengan banyaknya umat yang tergabung dalam gerakan ini, termasuk yang fenomenal
65

umat muslim dari Ciamis yang berjalan kaki ke Jakartatidak lepas dari sebuah gerakan

politik untuk memengaruhi publik, terutama pemilih Islam agar tidak memilih Ahok.

Terbukti, gerakan ini efektif mempengaruhi persepsi publik, bahkan berpengaruh pada

pilihan politik. Hasil putaran pertama menyebutkan tidak ada pasangan calon pun yang

berhasil meraih 50% lebih suara yang artinya pilkada DKI harus dilakukan dengan dua

putaran.

Hal itu merupakan pukulan telak bagi pasangan Ahok-Djarot yang yakin akan

menang dengan satu putaran. Masuk di putaran kedua adalah ancaman serius bagi Ahok.

Terbukti, di putaran final ini pasangan petahana keok dan harus mengakui keunggulan

pasangan Anies-Sandi.

Sentimen agamalah yang menyatukan pemilih Agus-Sylvi, yang gagal melaju di

putaran kedua, dengan pemilih Anies-Sandi. Sejumlah hasil survei menyatakan profil

pemilih Agus-Sylvi dan Anies-Sandi relatif sama. Mulai latar belakang ekonomi yang

cenderung menengah ke bawah, sampai pada soal preferensi memilih. Sebagian besar

dari pemilih kedua pasangan calon ini menyebut alasan agama menjadi pertimbangan

mereka tidak memilih Ahok. Hal ini semakin menguat ketika di putaran kedua,

berdasarkan hasil exitpoll sejumlah lembaga survei, mayoritas (90% lebih) pemilih Agus-

Sylvi beralih pilihannya ke pasangan Anies-Sandi.

Menurut Luthfie, menguatnya sentimen agama di Pilkada DKI itu semestinya

dipandang dari dua sisi. Sisi pertama adalah politik Islam selama ini ternyata masih ada

dengan gerakan besar dan mobilisasi yang masif di pilkada Ibu Kota ini. Sisi inilah yang

semestinya menjadikan gerakan politik Islam berterima kasih kepada Ahok. Jika tidak

ada kasus Al-Maidah di Kepulauan Seribu, bukan tidak mungkin Ahok akan menang di
66

putaran pertama. Isu pemimpin nonmuslim rasanya tidak terlalu kencang dan akan

memengaruhi pilihan orang tanpa ada kasus penodaan agama yang menjerat Ahok. Sisi

lainnya, Pilkada DKI juga membuat peta politik Islam bergeser, dari sebelumnya

termanifestasikan pada eksistensi partai politik Islam, beralih ke sebuah gerakan massa.

Tentu publik masih ingat bagaimana dua partai politik berbasis massa Islam

seperti Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa malah mendukung

Ahok di putaran kedua. Ahok yang dinilai menista agama Islam didukung partai politik

Islam. Opini ini yang mempengaruhi persepsi banyak pihak memandang politik Islam

yang cenderung pragmatis.

Tak pelak, keberadaan partai politik berbasis massa Islam, seperti PPP dan PKB di

atas, tidak menjadi simbol dari kekuatan politik Islam itu sendiri, termasuk juga Partai

Keadilan Sejahtera yang menjadi pendukung Anies-Sandi sejak awal.

Kata Luthfie, simbol itu bergeser pada gerakan-gerakan umat di grassroot dan

lapangan. Gerakan massa menjadi berkuasa. Itulah potret politik Islam saat ini yang

kemudian melahirkan sentimen-sentimen antitesisnya dengan mengatakan tudingan

intoleransi, antikebinekaan, dan radikal.

Tentu saja tuduhan-tuduhan ini menjadi pekerjaan rumah bagi kekuatan Islam

untuk membuktikan bahwa politik Islam tidaklah semata-mata urusan politik kekuasaan.

Politik Islam era baru ini adalah juga gerakan politik moral, perlawanan kekuatan

kebenaran untuk menghancurkan kebatilan. Politik Islam juga harus menguatkan

persatuan dan persaudaraan di tengah kehidupan kebangsaan yang plural sebagai suatu

fitrah kehidupan.
67

Dengan demikian, Pilkada DKI, mau tidak mau, harus diterima sebagai titik balik

bangkitnya politik Islam. Kebangkitan ini harus ditandai sebagai lahirnya kekuatan moral

dan nilai Islam yang universal. (Ibid.)

Benar apa yang dikatakan Anna Luthfie dalam opininya di atas. Bahwa saat ini,

akibat imbas pilkada DKI, telah terjadi kebangkitan politik Islam. Terlebih lagi

kebangkitannya itu kemudian dipicu pula oleh hujatan para netizen di internet yang terus

mempersoalkan dampak kemenangan Anis-Sandi. Dikatakan kemenangan mereka akan

menjadikan Jakarta hijau royo-royo. Jakarta juga berpotensi menerapkan hukum syariah

Islam untuk memenuhi kelompok Islam militan yang selama ini bahu-membahu

mendukung pasangan Anies-Sandi. Bahkan oleh para Ahokerssebutan bagi pendukung

pasangan Ahok-Djarotmenuding kemenangan Anies disebabkan kampanye berbasis

SARA yang seharusnya dihindari. Mereka menuduh kampanye berbasis SARA telah

dipraktikkan para pendukung Anies-Sandi untuk memenangkan pilkada.

Lalu terjadi, ribuan karangan bunga ucapan kesedihan dan belasungkawa atas

ditahannya Ahok berderet memenuhi Balai Kota DKI, yang kemudian dilanjutkan dengan

ribuan balon. Karangan bunga itu datang dari para Ahokers yang tetap mendukung Ahok

(meski kalah dalam pilkada) karena menurut mereka, pilkada itu tidak fair.

Bagi kaum Ahokers, kekalahan pasangan calon Ahok-Djarot ini kekalahan kaum

moderat, pluralis, dan pejuang keragaman (kebinekaan) di Indonesia. Pilkada DKI, bagi

mereka, adalah cermin dari pilpres sehingga kekalahan Ahok sama dengan kekalahan

para pejuang NKRI yang menghendaki keberagaman, kemoderatan, dan kemodernan.

Di pihak lain, kemenangan Anies-Sandi oleh kaum Ahokers dianggap sebagai

kemenangan para pengusung negara Islam, kelompok simpatisan (Negara Islam Irak dan
68

Suriah-ISIS), kelompok radikal Front Pembela Islam, Forum Umat Islam, dan kaum

penyeru khilafah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dus, kemenangan Anies dianggap

sebagai awal dari bencana perpecahan NKRI. Mengerikan sekali, kata mereka.

Bagi sebagian netizen pro-Ahok, kemenangan Anies merupakan keberhasilan

penggalangan kampanye penyalahgunaan agama untuk politik. Demo besar-besaran yang

menghendaki Ahok dipenjara dengan tuduhan penistaan Alquran sebetulnya, kata mereka

para Ahokers itu, tidak lebih dari sebuah trik politik belaka. Karena itu, kemenangan

Anies-Sandi akan menjadi preseden buruk pada masa depan. Calon-calon eksekutif dan

legislatif pada masa datang niscaya akan menggunakan trik-trik pemanfaatan ayat suci

untuk kampanye. Bahkan bila perlu, mendorong terjadinya kerusuhan SARA demi

kemenangan jagoan-jagoan politiknya dalam pilkada. Ini jelas tuduhan memecah belah.

M. Bambang Pranowo, Guru Besar di UIN Ciputat; Rektor Universitas Mathlaul

Anwar, Banten dalam tulisannya di KORAN SINDO, 9 Mei 2017: Anies, Islam, dan

Keragaman mengatakan, bahwa banyak para netizen yang "tertipu" dengan

pemutarbalikan fakta-fakta yang disuguhkan kaum Ahokers di atas. Seakan-akan dalam

kampanye Pilkada DKI baru lalu ada pengutuban secara diametral antara Ahokers dan

Aniesers di masyarakat berdasarkan sentimen ras, suku, agama, & ideologi. (http://budi-

sansblog.blogspot.co.id/)

Kelompok Ahokers seakan-akan mewakili aliansi pejuang demokrasi, HAM,

kesetaraan gender, dan antisyariah. Sedangkan kelompok Aniesers mewakili kelompok

ekstrem, anarkis, dan Islamis kanan. Dengan kemenangan Anies-Sandi, itu berarti

kelompok Islam yang anarkistis dan ekstremis akan menguasai panggung kekuasaan di

Jakarta, yang dampaknya akan mendominasi perpolitikan nasional.


69

Tapi kata Bambang Pranowo, pandangan itu sangat simplistis. Justru menganggap

warga DKI Jakarta dangkal intelektualnya, buta politik nasional, dan kontra-Pancasila.

Sementara Dr Denny JA, konsultan kampanye pilkada, dalam artikelnya yang

berjudul "Pasca Pilkada Jakarta, Apakah Kebinekaan Kita Terancam" menyatakan bahwa

tuduhan pihak-pihak tertentu yang menyatakan kekalahan Ahok-Djarot sebagai tragedi

nasional (karena hilangnya keberagaman, kesetaraan, dan menguatnya anarki) adalah

isapan jempol belaka.

Menurut Denny JA, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang didirikannya telah

melakukan 11 survei tentang dinamika politik Pilkada Jakarta sejak Maret 2016 sampai

April 2017. Hasilnya, kekalahan Ahok-Djarot dalam Pilkada Jakarta bukan karena

hilangnya semangat keberagaman pada warga Jakarta seperti yang dituduhkan para

Ahokers, melainkan karena pengaruh melting pot, kumpulan aneka kepentingan. Mereka

punya tujuan sama: Ahok harus kalah!

Mereka yang punya tujuan sama: "Ahok harus kalah", terdiri atas berbagai

kelompok kepentingan. Mulai dari warga yang tersakiti akibat penggusuran rumah tanpa

musyawarah, lalu pegawai negeri sipil (PNS) DKI yang dipecat Ahok dengan semena-

mena, kemudian para pengusaha yang dipalak Ahok berlebihan, dan ibu-ibu rumah

tangga yang melihat kemarahan brutal Ahok terhadap bawahannya sehingga merusak

pendidikan akhlak anak-anaknya.

Menurut Denny JA, mereka inilah yang terdiri atas berbagai komponen suku

bangsa, agama, etnis, ilmuwan, dan kelompok ekonomi bekerja sama mengalahkan Ahok.

Seorang pengusaha yang beretnis China dan nonmuslim, sebut saja namanya Exway,
70

bahkan rela menggunakan "properti" miliknya untuk memenangkan Anies dengan niat

menjaga keragaman.

Menurut Denny JA, justru Ahoklah yang merusak keragaman. Lalu, apa arti

semua itu? Sosok Ahok dalam Pilkada DKI ternyata tidak merupakan representasi dari

keragaman etnis, agama, dan budaya di Indonesia.

Menurut data LSI, para pemilih Anies juga bukan orang-orang yang anti-NKRI

dan Pancasila. Berdasarkan survei LSI, para pemilih Anies pun komposisinya tak jauh

berbeda dengan komposisi masyarakat Jakarta yang 70% menginginkan Pancasila

sebagai dasar negara dan menolak Indonesia jadi negara Islam.

Itulah sebabnya, menurut Denny JA, para pemilih Anies sebetulnya terdiri atas

pihak-pihak yang sebetulnya satu sama lain bertentangan visinya. Di sana ada

Muhammadiyah dan NU yang tetap menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, tapi

ada juga kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).

Data-data yang dilakukan LSI Denny tersebut sulit dibantah karena ia melakukan

riset yang menggunakan kaidah ilmiah (statistik). Dan, kata Bambang Pranowo, dirinya

sebagai orang yang bergelut dengan riset Islam Jawa (disertasinya di Monash University,

Australia berjudul: Islamic Tradition in Rural Java) merasakan betapa perilaku Anies dan

Sandi dalam kampanye maupun blusukannya menyenangkan orang Jawa dengan

keramahan dan keunggah-ungguhannya. Tegas Bambang Pranowo.

Dalam kampanye terakhir putaran kedua misalnya, Anies sempat menunjukkan

"sikap kejawaannya" yang ramah pada Ahok meski yang terakhir ini suka melecehkan

argumentasi Anies. Ihwal kecil inilah tampaknya yang membuat orang Jawa di Jakarta

lebih memilih Anies ketimbang Ahok. Padahal, jumlah orang Jawa di Jakarta mencapai
71

38% populasi. Cukup signifikan untuk memengaruhi kemenangan dalam kontestasi

Pilkada Jakarta.

Kata Bambang, setelah mengetahui (berdasarkan data) bahwa moderasi

keislaman, keragaman, dan Pancasila tetap kokoh sebelum dan sesudah Pilkada DKI, kita

warga Jakarta tidak perlu cemas berlebihan terhadap penyebaran isu-isu provokatif yang

muncul setelah kekalahan Ahok. Mungkin ada sedikit friksi antarkelompok pendukung

pasangan calon gubernur DKI Jakarta sewaktu kampanye lagi seru-serunya. Tapi, friksi-

friksi tersebut hendaknya sudah selesai setelah pilkada usai. Bahkan mestinya sudah

selesai di minggu tenang.

Dengan demikian, sebagai bangsa yang bineka dan plural, kita harus bersama-

sama menjaga kesatuan dan persatuan NKRI yang kita cintai ini. Last but not least,

setelah Pilkada DKI usai dan kita sudah melihat hasilnya, yang harus kita lakukan adalah

menjahit kembali "kain-kain persatuan" yang sempat koyak. Dan, itu kewajiban kita

sebagai warga negara Indonesia yang ingin hidup aman dan damai di Bumi Ibu Pertiwi

Indonesia. (Ibid.)

Pernyataan ketiga tokoh di atas, Anna Luthfie, Bambang Pranowo dan Denny JA,

dalam penelitian mereka sampai pada kesimpulan bahwa memang faktor Ahok sendirilah

yang membuat dirinya harus terjungkal di Pilkada DKI dan harus divonis 2 tahun penjara.

Tidak benar tuduhan-tuduhan yang mengatakan berbagai gerakan massa Islam itu

menunjukkan hilangnya semangat keberagaman pada warga Jakarta. Juga hilangnya

kesetaraan, dan menguatnya anarki, semua itu adalah isapan jempol belaka.

Yang menarik dan harus dicermati adalah pernyataan Anna Luthfie bahwa saat ini
72

terjadi kebangkitan politik Islam dalam bentuk gerakan massa dengan tidak lagi

menjadikan partai-partai Islam sebagai simbol dari kekuatan politik Islam itu sendiri.

Simbol itu bergeser pada gerakan-gerakan umat di grassroot dan lapangan. Kini gerakan

massa menjadi berkuasa. Itulah potret politik Islam saat ini yang kemudian melahirkan

sentimen-sentimen antitesisnya dengan mengatakan tudingan intoleransi, antikebinekaan,

dan radikal.

Inilah sesungguhnya tantangan yang dihadapi gerakan massa Islam. Harus

menghadapi tuduhan-tuduhan yang sebenarnya cuma trik saja dari pihak pendukung

Ahok, yang sayangnya hal ini memperoleh dukungan jajaran pemerintah. Bagi mereka

kebangkitan gerakan massa Islam itu identik dengan kekhawatiran bangkitnya

radikalisme dan politik identitas yang membuat ketidaknyamanan bagi keamanan negara.

Apa yang mereka saksikan adanya gerakan massa Islam pada Aksi Bela Islam

yang menurut mereka berjilid-jilid itu, adalah sebuah pintu masuk paham radikalisme

melalui momentum Pilkada DKI 2017. Itu menjadi bukti bahwa gerakan massa Islam itu

ingin mereaktualisasi paham radikalisme. Bahkan, gerakan massa yang dilabelisasi

dengan 411, 212, 313, dan semacamnya itu menjadi sebuah rejuvenasi radikalisme yang

memanfaatkan pergerakan massa yang disulut dengan semangat populisme. Lalu dengan

melibatkan kalangan politisi, agamawan, pengusaha, dan tokoh masyarakat lainnya,

paham radikalisme kian ditasbihkan sebagai satu-satunya cara untuk melakukan

perubahan Indonesia yang lebih baik. Berbagai adagium agama diserukan untuk memicu

emosi publik-terutama sekelompok orang yang berafiliasi dengan pergerakan ini.

Dalam setiap pergerakannya maka gerakan massa Islam itu selalu menyelipkan

agenda politik kekuasaan tertentu. Dan ini rawan untuk dimanfaatkan pihak-pihak lain,
73

terutama kelompok ekstrem yang keberadaannya masih kecil, tetapi suaranya sangat

dominan. Dan itu sengaja dibuat sebagai jebakan untuk membuat kegaduhan yang bisa

memicu konflik horizontal.

Bagi pemerintah, berbagai aksi yang berjilid-jilid seperti Aksi Bela Islam itu tentu

diduga kuat akan menyelipkan semangat kekerasanbaik secara simbolik maupun fisik

untuk menekan dan mengintimidasi siapa pun yang dianggap berseberangan. Dan tidak

mustahil pula paham radikalisme akan dijadikan sebagai mekanisme sosial untuk

menggerakkan politik identitas atas nama agama secara frontal. Pokoknya, bagi rezim

pemerintah dan jajarannya, politik identitas yang menggunakan paham radikalisme

sebagai modus kapitalisasi isu-isu agama yang juga dilakukan di berbagai daerah itu akan

menggoyahkan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Itulah berbagai tuduhan keji yang dialamatkan kepada gerakan massa Islam yang

sesungguhnya dalam semangat perjuangannya adalah murni hanya ingin menuntut

keadilan yang harus diberikan kepada Ahok yang telah menista Islam. Itu saja dan tidak

melebar ke mana-mana. Tak ada kemudian yang berkembang menjadi gerakan massa

Islam dan politik identitas dengan mengatasnamakan agama yang dianggap

membahayakan bagi kelangsungan hidup negara kita. Terlalu berlebihan tuduhan itu.

Justru menjadi pertanyaan mendasar, mengapa pemerintahan rezim Jokowi sekarang ini

begitu menaruh kecurigaan tinggi ketika umat Islam harus bergerak karena agamanya

dinista. Kalau saja sejak awal pemerintah cepat meresponsnya, dan kemudian bisa

berlaku adil, dengan tidak semena-mena berbalik mengkriminalisasi ulama-ulamanya,

maka semuanya akan tenang-tenang saja dan tak ada kegaduhan yang harus terjadi.
74

Bahkan bisa dipastikan Ahok akan memenangi Pilkada DKI sekaligus tidak perlu harus

dihukum 2 tahun. Itu bisa dipastikan.

Tetapi sekarang semuanya sudah terjadi, dan berbagai tuduhan-tuduhan keji

ditimpakan kepada umat Islam dari kalangan Ahokers dengan kalimat-kalimat

menyakitkan seperti: umat Islam tidak nasionalis, intoleran, memecahbelah persatuan,

anti Pancasila, anti UUD 1945, anti demokrasi, anti NKRI, anti kebhinekaan dan berbagai

pelecehan yang semuanya tak berdasar nalar sehat. Betapa tidak sehatnya akal mereka

yang tiba-tiba dengan entengnya menuduh umat Islam mau menghancurkan NKRI.

Bagaimana mungkin bisa seperti itu, dimana fakta sejarah yang tak bisa dihapus

menyatakan NKRI ini didirikan dan diperjuangkan eksistensinya sebagai negara merdeka

oleh para ulama. Lalu ahli waris utamanya (umat Islam) kini akan menghancurkannya?

Benar-benar tuduhan melawan akal sehat.

Bagi umat Islam, apapun golongannya, sangat menyakitkan tuduhan itu. Sangat

sulit untuk dimaafkan kecuali kalau mereka para Ahokers itu meminta maaf. Coba lihat,

bangsa ini tak akan bisa melupakan bagaimana kurangajarnya si Ahok melecehkan

Ketua MUI DR. KH Maruf Amin yang sudah sepuh dan begitu dihormati saat menjadi

saksi di persidangan PN Jakarta Utara. Jelas sekali dengan cara membabi buta dan panik

mereka menuduh umat Islam seperti itu bukan hanya karena kekhawatiran akan bisa

terdesak di panggung politik, tetapi lebih karena ada perasaan kebencian yang sudah

tertanam lama di hati mereka. Ini kan berarti justru merekalah yang menjadi elemen

bangsa yang sangat berbahaya bagi kelangsungan negara bangsa ini. Merekalah yang

telah merobek-robek dan mengoyak kebhinekaan kita, kebangsaan kita, berlaku intoleran,

melanggar UUD 1945, melecehkan Pancasila dan NKRI.


75

Coba lihat, siapa yang mengirim ribuan bunga berharga mahal, juga ribuan balon-

balon di Balai Kota itu pasca vonis Ahok? Siapa pula yang irasional ketika mereka juga

melakukan Aksi Solidaritas 3 hari 3 malam di tempatnya Ahok di penjara yang minta

Ahok dibebaskan sampai kemudian menimbulkan bentrok dengan Polisi? Apakah itu bisa

dikatakan sebuah sikap yang sangat menghormati hukum dan lembaga negara dengan

menghujat para Hakim? Atau bahkan mereka berani secara vulgar melecehkan Presiden

Jokowi, marah-marah karena Ahok dihukum dengan tidak adil. Jadi, janganlah bersikap

arogan dengan membalik-balik fakta di lapangan lalu menuduh seenaknya kepada umat

Islam justru yang telah bersikap sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Kalau

gampang menuduh, maka kita perlu bertanya, apakah para Ahokers itu bisa menginisiasi

sebuah demo yang dihadiri lebih dari tujuh juta orang di satu lokasi dengan suasana hati

marah kepada si penista agama, tetapi justru bisa berlangsung tertib, aman dan tidak

meninggalkan sampah di mana-mana, terlebih lagi tak sampai berdarah-darah karena

tidak timbul bentrok dan kekerasan. Ini fakta, dan pers dunia terutama dari Barat

mengakui tertibnya demo Aksi 212 itu yang menunjukkan Indonesia telah matang

berdemokrasinya. Sebuah pujian yang diterima bangsa dan negara ini dengan penuh

kehormatan. Lalu, di mananya umat Islam dituduh telah melakukan aksi memecah belah

bangsa dan menghancurkan NKRI??

Prestasi terhormat yang sudah dilakukan itu sesungguhnya adalah prestasinya

para ulama yang menginisiasi gerakan massa umat Islam dengan beberapa kali Aksi Bela

Islam-nya yang superdamai itu. Semua dilakukan para ulama semata dalam upaya

membela demokrasi agar tidak dirusak secara terang-terangan oleh tangan-tangan kotor

yang memiliki pikiran-pikiran kotor dengan tujuan yang kotor pula oleh mereka yang
76

tidak memiliki akal sehat. Karena para ulama yang secara individu masing-masing

mereka adalah anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat miris melihat negeri

warisan para ulama ini cepat atau lambatkalau dibiarkan terus seperti sekarang ini

akan terjerumus dikuasai oleh pemodal asing dan aseng. Menkeu Sri Mulyani telah

memberikan lampu kuningnya, bahwa ternyata setiap orang Indonesia mempunyai hutang

Rp. 13 juta, karena hutangnya negara sudah sebesar Rp. 4 ribu trilyun. Apa tidak ngeri

itu? Apa tidak sangat ironis ketika kita semua juga tahu bahwa saat ini Indonesia negeri

tercinta ini adalah negeri terkaya seluruh dunia? Wallahu alam bisshowab.

Yang pasti, gerakan umat Islam yang dimotori para ulama sesungguhnya bukan

hanya perjuangan melawan ketidakadilan akibat kasusnya Ahok saja, tetapi juga

ketidakadilan yang dialami rakyat, juga korupsi yang menggurita, krisis ekonomi-politik,

dan tajamnya kesenjangan kaya-miskin. Selain itu, juga harus menyelesaikan PR

(pekerjaan rumah) bangsa ini seperti lemahnya penegakan hukum, pemerataan ekonomi,

peningkatan kualitas pendidikan, serta pengurangan pengangguran, yang tentu harus

segera diselesaikan secara serius.

Seiring dengan tujuan itu, gerakan massa Islam tegas memperjuangkan

diterapkannya prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila agar menjadi lebih kuat dan kokoh

pelaksanaannya di negeri ini, sekaligus juga meneguhkan Pancasila sebagai satu-satunya

dasar negara yang sudah kita sepakati bersama. Juga menentang ideologi selain Pancasila

seperti yang biasa dituduhkan kepada gerakan massa Islam yang katanya mau merubah

Pancasila dengan mengajukan syariah sebagai dasar negara. Itu tuduhan tidak benar! Bagi

umat Islam, NKRI, UUD 1945 dan Pancasila adalah harga mati. Karena ketiga pilar itu

sangat sesuai dengan nilai dan ajaran Islam, sehingga dengan begitu menjadi wajib bagi
77

pemeluk Islam sebagai warga negara Indonesia untuk secara konsekwen menjaga dan

menjalankan Pancasila dan demokrasi.

Justru menjadi aneh dan absurd ketika masih ada yang meragukan apakah orang

Islam bisa menerima demokrasi atau tidak. Tentu saja harus dijawab tegas: Kenapa tidak?

Karena alasan utamanya sudah jelas. Indonesia adalah negara dengan mayoritas absolut

penduduknya memeluk Islam. Menurut data, jumlah penduduk Indonesia per 30 Juni

2016 adalah 257.912.349 jiwa. (http://jateng.tribunnews.com/2016/09/01).

Sementara saat ini jumlah kaum Muslimin sekitar 85 persen. Karena faktor

demografi ini, kaum Muslimin menjadi faktor utama dari: apakah demokrasi bisa

diterima atau tidak. Justru tanpa penerimaan mereka, demokrasi sulit bertumbuh; atau

tanpa dukungan mereka, transisi dan konsolidasi demokrasi sulit berjalan baik.

Jelas, kaum Muslimin Indonesia semuanya menerima demokrasi. Mereka

memandang bahwa demokrasi kompatibel dengan Islam; pada dasarnya tidak ada

masalah di antara Islam dan demokrasi. Dengan penerimaan dan penerapan demokrasi,

Indonesia bukan hanya merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia,

sekaligus juga negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat.

Membincang masalah gerakan massa Islam yang mulai bangkit sekarang ini,

boleh dikatakan adalah semacam blessing indisguise. Dengan kebangkitan ini orang

mengkhawatirkan akan menguatnya politik identitas yang selalu menyelipkan agenda

politik kekuasaan tertentu. Politik identitas Islam yang mulai menguat ini haruslah juga

dipandang dari sisi positif. Paling tidak, ada yang patut disyukuri di sini. Yaitu,

bangkitnya kesadaran orang-orang Islam akan identitas dan harga dirinya. Bahkan, Islam

KTP-pun nampak langsung bereaksi ikut aktif menyambut kebangkitan itu. Peningkatan
78

kesadaran akan identitas Islam cenderung terjadi pada kehidupan masyarakat perkotaan

saja, meski tidak menafikan bahwa di banyak daerah ikut terimbas pula oleh bangkitnya

gerakan massa Islam dan menguatnya politik identitas Islam yang ada di Jakarta, baik

sebelum dan sesudah kontestasi Pilkada.

Yang menjadi masalah yaitu ketika kontestasi Pilkada sudah selesai, tensi

gesekannya justru lebih memanas. Yang terjadi di Jakarta, setelah Pilkada dan pasca

divonisnya Ahok 2 tahun, tensinya lebih menegang karena dipicu oleh ketidakpuasan

pihak Ahokers. Terjadi di masyarakat, adanya Pro dan Kontra di sana-sini, antar para

pendukung saling caci, saling tuding, saling klaim bahwa pihaknyalah yang benar.

Bagi kalangan ulama yang menginisiasi gerakan massa umat Islam tentu

berkewajiban untuk meminimalisir adanya politik identitas itu. Meski tidak ada yang

salah dengan gerakan massa umat Islam dan bangkitnya politik identitas. Tetapi memang

perlu difahami kalau gesekan itu tak segera diminimalisir maka akan menimbulkan gejala

terbelahnya masyarakat. Kita tidak ingin masyarakat terpolarisasi. Maka yang bijak

adalah, kalangan ulama lebih dulu memulai untuk melakukan pencerahannya kepada

masyarakat dengan sikap persuasif.

Ulama yang semula dengan mengorganisir gerakan massa umat Islam itu semata

hanya ingin membela demokrasidan itu sudah berhasil dengan Aksi 212-nya yang

memperoleh pujian pers dunia dan menjadikan demokrasi di Indonesia ini lebih matang

maka akan menjadi lebih sempurna lagi kalau kalangan ulama mengelola dengan lebih

baik lagi politik identitasnya yang berfungsi sebagai sumber daya politik ini, agar tidak

dituduh menjadi penghambat dalam proses konsolidasi demokrasi Indonesia. Sebab,


79

kalau berbalik, maka hal ini bisa berpotensi mengancam keberagamaan dan keberagaman

di Indonesia.

Dengan mengelola politik identitasnya yang baik, maka otomatis akan

menenggelamkan tuduhan-tuduhan kotor dan menyakitkan itu. Malah bisa membalikkan

persepsi salah yang mengatakan bahwa politik identitas keagamaan itu tidak lebih dari

upaya untuk mendegradasi nilai-nilai sakral keagamaan dan menjadikannya sebagai

semangat keagamaan yang gampang emosi. Semangat keagamaan emosi yang memiliki

daya perusak terhadap kebhinekaan dan kemanusiaan, amat rentan menimbulkan sifat

kecemburuan sehingga muncul garis perbatasan antara kita dan mereka.

Karena itu, bagi kita umat muslim sebaiknya menghindari penggunaan istilah

kafir, istilah mayoritas dan minoritas atau pribumi dan nonpribumi, dan antara muslim

dan nonmuslim yang kini terus menerus digaungkan oleh pihak mereka. Semua istilah itu

harus disingkirkan dari bumi Indonesia.

Kita jangan terperangkap oleh dikotomi Islam vs Kafir, minoritas dan mayoritas,

pribumi dan nonpribumi, karena, itu istilah yang begitu fasis, yang mencekam dan

cenderung mematikan akal sehat selama kontestasi Pilkada DKI Jakarta lalu. Kita

berharap benar-benar tidak menjalar ke mana-mana. Pun tidak menjadi polarisasi baru

menjelang Pemilu Presiden 2019. Karena kalau itu benar-benar terjadi bakal hancur

Indonesia.

Oleh sebab itulah, sekecil apa pun syiar kebencian yang muncul di ruang publik

harus kita lawan. Apalagi kebencian itu dikemas dengan isu dan tuduhan mempolitisasi

agama. Semoga Tuhan memberi hidayahNya bagi setiap hati manusia Indonesia!
80

Lalu, sudahkah manusia Indonesia itu menemukan Tuhannya? Ya, selama mereka

itu bisa merayakan kemanusiaannya senafas dengan rasa keberagamaankeislaman

otomatis mereka telah menemukan dan merasakan hadirnya Tuhan. Benih-benih

kebencian dan kekerasan benar-benar mereka kikis. Yang tersisa di benaknya hanyalah

satu hal: kedamaian sejati, sebagai refleksi dari sifat-sifat Tuhan yang rahman dan rahim.

Begitulah Islam semestinya kita hayati dan maknai. Islam yang berbasis hanif dan cinta.

Islam yang ramah.

Lalu, benarkah Tuhan ada di hati manusia? Tuhan itu sesungguhnya sangat dekat,

sedekat urat nadi. Dia selalu bersemai dalam setiap jiwa manusia. Ke mana pun kita

bergerak, Tuhan selalu hadir. Tuhan tak pernah tidur. Tuhan ada di mana-mana: di warung

kopi, di balik meja editor, di balik kursi sakral sutradara, di darat, di laut, di udara,

bahkan di ujung spektrum. Dialah al-muhith, melingkupi segala dimensi kehidupan kita;

melampaui ruang, waktu, batas. Karena Dia sungguh tak terbatas.

Dan karena itulah sebagai manusia Indonesia yang bertuhan, kita harus menyadari

bahwa memang masyarakat kita masyarakat majemuk, dan itu adalah fitrah yang otentik.

Jelasnya, sebagai sebuah kemajemukan, maka kemajemukan di Indonesia ini merupakan

anugerah Tuhan yang patut untuk disyukuri dan dijadikan modal guna mencapai

kemajuan bersama. Jangan dibalik, kemajemukan dijadikan ancaman dengan cara politik

identitas itu yang terus digaung-gaungkan seperti yang terjadi ketika Ahok divonis 2

tahun. Sehingga hal itu membelah dan menghancurkan integritas kehidupan berbangsa,

bernegara dan menenggelamkan kebiasaan saling menghormati yang telah lama kita

pertahankan. Padahal mereka Ahokers itu harus tahu, bahwa dalam situasi bagaimanapun

juga, persatuan dan kesatuan bangsa harus dijaga dan dipertahankan.


81

Untuk membela demokrasi sekaligus menjaganya agar demokrasi di Indonesia

ini terus meningkat kualitasnya, para ulama mesti merujuk pada kualitas karakter yang

dimiliki bangsa Indonesia. Jadi, bangsa Indonesia harus mempunyai karakter yang kuat

dan tangguh. Dengan kepribadian itu, bangsa Indonesia akan bisa berpikir visioner dan

tidak gampang tergoda. Untuk itu bangsa ini harus dibangun dengan pribadi-pribadi

berkarakter mulia. Yaitu, mereka yang mampu memegang prinsip kebenaran, berbuat

untuk kebaikan, dan berkomitmen untuk kehidupan sesama dan lingkungannya. Dengan

karakter dan kepribadian kuat seperti itu, maka berbagai masalah bangsa yang ada akan

bisa diselesaikan dengan cepat dan strategis. Misalnya, terkait menguatnya kembali

politik identitas, setelah Pilkada Jakarta dan vonis 2 tahun Ahok itu, kiranya perlu

disikapi dengan komprehensif dan strategis.

Seperti yang kita lihat reaksi Ahokers yang menyikapi kasus vonis itu, kental

dengan nuansa ketidakpuasan sekaligus menunjukkan identitas politiknya yang buruk.

Aksi-aksi itu tentu bisa dipahami sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Namun,

apabila mereka menganggap kelompoknyalah yang paling benar dan paling memiliki

negeri ini, paling NKRI, maka keadaan menjadi lebih tidak kondusif.

Apabila suasana dan keadaan itu terus berlanjut, tentu akan memberi dampak

yang serius pada masa depan bangsa. Mereka mengklaim sebagai yang paling baik,

paling benar, dan paling tepat, ditambah lagi disertai dengan kekerasan verbal (terjadinya

bentrok dengan Polisi) atau non verbal, sangatlah tidak baik bagi proses pendidikan

politik bangsa ini.

Oleh karenanya, semua pihak seyogianya mau dan mampu mengaktualkan

kembali budaya-budaya unggulannya yang sangat berguna untuk menopang munculnya


82

pribadi-pribadi berkarakter mulia yang amat dibutuhkan negara ini. Budaya-budaya yang

mulai terlupakan itu antara lain: budaya untuk saling bekerjasama, budaya gotong-

royong, budaya saling membantu, budaya mudah memaafkan, serta budaya pertemanan

yang hangat. Budaya-budaya itu hari-hari ini sering terkalahkan oleh massifnya informasi

di media sosial yang belum tentu mengandung kebenaran. Bahkan seringkali banyak

mengandung fitnah dan menyebarkan kebencian.

Karena itu, ulama memandang perlu untuk semua pihak mau melakukan tabayyun

dan meninggalkan budaya saling menyalahkan. Kalau ada yang sengaja tidak mau

melakukan tabayyun tentu sangat disayangkan karena akan bisa menghalangi semangat

memajukan bangsa dan negara ini bersama-sama.

Disamping itu, ulama sebaiknya juga terus memfokuskan pada agenda yang juga

dipandang amat penting, yaitu penegakan "civil Islam". Islam memberi basis bagi

penegakan hak-hak sipil masyarakat dalam konteks berbangsa dan bernegara, dan oleh

sebab itu agaknya perlu terus diperjuangkan oleh ulama Indonesia. Hak-hak sipil itu

merentang ke berbagai dimensi, dari soal pendidikan, ekonomi, politik, kesehatan, rasa

takut, hingga keadilan di muka hukum. Lingkupnya luas, dan mungkin kurang begitu

populer, dibanding, misalnya, bila hanya berkutat pada soal politik-kekuasaan.

Sudah saatnya ulama berdaya dan mampu merespons secara konstruktif berbagai

macam isu yang muncul di arena sosial dan politik, tentunya lewat pendekatan kultural.

Kesan selama ini, ulama hanya berkutat pada isu-isu yang terkait pada soal ideologis dan

formalisasi hukum Islam (syariat) ke dalam hukum negara, dan melupakan isu strategis

lain. Padahal, ulama juga perlu memberi masukan (respons), dari mulai kebijakan

kenaikan harga BBM dan kebijakan-kebijakan praktis lain, utang luar negeri, HAM,
83

hingga persoalan lingkungan hidup. Toh, isu-isu itu, terutama yang berkaitan dengan

kebaikan publik juga merupakan "isu agama" dalam konteks muamalah.

Juga perlu dikembangkan modul-modul yang berkaitan dengan penguatan "civil

Islam", yang dalam hal ini paralel dengan proses demokratisasi. Ia terkait dengan

pencerdasan politik, kemandirian ekonomi, hingga independensi budaya. Wilayah

muamalah agaknya bisa dikembangkan lebih lanjut, sebab ia tak sekaku isu-isu ideologis.

Ini semua demi kebaikan bersama. Meski diakui, mengerjakannya tak semudah yang

dibayangkan, tapi harus tetap diupayakan. Penegakan "civil Islam" memang bukan tugas

ringan. Tetapi itu amat penting!

Sementara itu, tentang Civil Islam, menurut Pengajar Departemen Politik FISIP

Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, di laman http://geotimes.co.id, Rabu,

20 Januari 2016 dengan judul: 15 Tahun Civil Islam dikatakan bahwa, karya Hefner

menjadi salah satu produk akademik prestisius yang menolak analisis-analisis gegabah

ala Samuel P Huntington lewat The Clash of Civilization yang melihat Islam dan kaum

muslim sebagai entitas koheren yang secara kultural dituntun oleh doktrin tertutup yang

bertentangan dengan demokrasi. (http://geotimes.co.id/15-tahun-civil-islam/)

Dalam riset panjangnya, Hefner, kata Airlangga Pribadi, yang secara elegan

menggabungkan berbagai pendekatan disiplin ilmu (antropologi, politik, dan sejarah),

telah berhasil menampilkan bahwa tradisi Islam yang mampu berdialog secara mendalam

dan terbuka dengan nilai-nilai modernitas, demokrasi, pluralisme dan HAM sebenarnya

tumbuh subur dalam perjalanan kelembagaan sosial, hubungan-hubungan modal sosial,

serta ditempa melalui pertarungan politik dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
84

Menurut Airlangga, setelah 15 tahun Hefner mempublikasikan bukunya itu, kita

menyaksikan harapan akan kemunculan agensi muslim berkeadaban yang menyinari

realitas kebudayaan dan tatanan politik demokrasi Indonesia yang tengah redup. Suara-

suara muslim demokratik memang tidak hilang, namun tidak pula tumbuh menyebar di

lahan basah dinamika hidup masyarakat Indonesia.

Semoga harapan Airlangga Pribadi terwujud akan munculnya agensi muslim

berkeadaban yang bisa menyinari realitas kebudayaan dan tatanan politik demokrasi

Indonesia ke depan. Juga benar bahwa suara-suara yang menyebarkan gagasan muslim

keadaban maupun ide-ide inklusif itu tumbuh di tingkat masyarakat sipil dan kekuatan

politik.

Pertanyaannya adalah, apakah mereka telah terkonsolidasi menjadi kekuatan yang

solid dan kuat dalam kerangka sosial-politik? Ataukah dalam perjalanannya sampai saat

ini mereka terbelah satu sama lain dan tidak menjadi kekuatan yang solid dan koheren

ketika berhadapan dengan ancaman kehidupan hidup bersama?

Lagi-lagi kekuatan sosial yang membela keberagaman dan hidup bersama yang

inklusif tidak hadir sebagai sebuah kekuatan sosial yang membela keindonesiaan dan

kekitaan. Dan ini menjadi tantangan ulama!

Kemudian dalam kaitannya dengan usaha merajut kembali persaudaraan antar

elemen bangsa justru setelah vonis Ahok, tentu akan menjadi langkah amat terhormat di

mata seluruh bangsa ini, apabila ulama mampu menampilkan peran strategisnya tanpa

harus terjebak oleh kompetisi politik identitas sesaat seperti yang terjadi belakangan ini.

Di sini dituntut sikap tegasnya ulama agar tidak sampai tergoda mengikuti arus yang
85

berkembang dengan alasan khawatir tak dianggap memiliki sensitifitas tinggi oleh

anggotanya.

Karena itu, ulama harus bisa menempatkan posisinya ibarat bangunan besar yang

bisa menyejukkan bagi semua komponen bangsa dan mengajak mereka untuk tidak terus

larut dalam perselisihan dan unjuk kekuatan yang massif. Ulama harus mengajak seluruh

bangsa ini untuk lebih memikirkan agenda-agenda strategis bangsa ke depan. Rumusan

itu, antara lain, menyoal tentang pentingnya keberagamaan yang moderat di tengah

kecenderungan mengkafirkan pihak lain (takfiri) yang marak terjadi. Dan sesuai dengan

rumusan itu, ulama harus mengajak bangsa Indonesia untuk bersikap kritis dan

membendung perkembangan kelompok yang gemar mengkafir-kafirkan itu. Ulama

seyogyanya mengajak bangsa ini mengembangkan sikap moderat untuk bersama

membenahi nasib bangsa menuju negara demokrasi yang berkeadilan dan sejahtera.

Mari kita rajut kembali persaudaraan kita, karena: kita Indonesia! ***
86

BAB III
BABAK BARU : JAKARTA TANPA AHOK

BERITA tentang keputusan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta

Utara, 9 Mei 2017, yang memutus Ahok sebagai tervonis dua tahun penjara untuk kasus

penodaan agama, telah menjadi trending topic dunia, sebagaimana dilansir Twitter. Kasus

yang telah menyita perhatian publik selama hampir enam bulan tersebut telah menemui
87

ujung pertama, yaitu dengan putusan pidana terhadap Ahok yang terbukti secara sah dan

meyakinkan telah menodai agama Islam sebagaimana juga terdapat dalam dakwaan

alternatif Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Keputusan Majelis Hakim yang berbeda dengan tuntutan JPU ditegaskan dalam

pertimbangan majelis bahwa Majelis Hakim tidak sependapat dengan tuntutan JPU dan

pembelaan Penasihat Hukum yang menyatakan dakwaan penodaan agama tidak terbukti.

Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa penodaan agama sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 156a KUHP secara sah dan meyakinkan terbukti.

Munculnya perdebatan yang berkepanjangan pasca vonis Ahok 2 tahun,

sesungguhnyalah tidak terlalu penting. Justru yang penting adalah, vonis 2 tahun itu telah

menjadi pelengkap terjungkalnya Ahok dari kursi Gubernur DKI Jakarta yang dikalahkan

oleh Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan selisih perolehan suara telak dalam Pilkada

DKI.

Tentu 2 peristiwa kekalahan (baca: kejatuhan) itu sangat menyakitkan bagi sikap

kearogansian seorang Ahok yang sudah semena-mena menista Alquran dan ulama.

Sayangnya masih tetap saja tidak merasa bersalah. Padahal Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Jakarta Utara jelas-jelas menyatakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bersalah.

Dalam putusannya, Ahok dihukum dua tahun penjara dan dinyatakan terbukti bersalah

melakukan penodaan agama karena pernyataannya soal Surat Al-Maidah 51 saat

berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

Masalah penodaan agama atau penghinaan terhadap agama (blasphemy or

defamation of religion) ini seperti yang sudah dilakukan Ahok, adalah masalah yang juga

dialami berbagai negara di dunia, yang kerap juga menimbulkan reaksi sangat kuat atas
88

tindakan tersebut. Masalah penodaan terhadap agama ini juga jadi perhatian global yang

ditandai dengan diterbitkannya Resolusi PBB Nomor 66/167 tentang Perang terhadap

Intoleransi, Stereotipe Negatif, Stigmatisasi, Diskriminasi, Hasutan yang Mengakibatkan

Kekerasan dan Kekerasan Terhadap Orang atas Dasar Agama/Kepercayaan. Dalam

resolusi tersebut, negara-negara mengecam praktik-praktik intoleransi atas dasar agama

termasuk ujaran kebencian yang menimbulkan kemarahan publik ataupun kekerasan.

Secara tegas juga dinyatakan dalam International Covenant on Civil and Political

Right (ICCPR), khususnya Pasal 18 ayat (3), Kebebasan untuk menjalankan dan

menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan

berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, atau

moral masyarakat atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009, bahwa standar

internasional yang terdapat dalam ICCPR pada khususnya Pasal 18 ayat (3) tersebut

justru memberikan legalitas atas pembatasan oleh negara peserta dalam hal ekspresi

keagamaan (forum externum). Dalam hal mana pembatasan tersebut diperlukan untuk

pencegahan terhadap penodaan agama.

Resolusi PBB Nomor 66/167 itu meminta setiap negara anggota yang dalam hal

ini tentu harus dipegang teguh oleh setiap aparatur negara, agar mempromosikan secara

penuh terhadap budaya toleransi dan kedamaian di semua tingkat kehidupan. Di mana

promosi toleransi ini dilandasi dengan pemikiran bahwa hal ini dilakukan dalam rangka

penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keberagaman agama serta kepercayaan.

Bukan malah melakukan tindakan yang berpotensi pada kemarahan publik yang
89

menganut agama tertentu dengan ucapan yang menista atau menodai perasaan beragama

mereka.

Pengaturan pemidanaan terkait penodaan agama di Indonesia lebih ditujukan

untuk menjaga atau memelihara ketenteraman beragama. Ketenteraman beragama ini

juga lebih ditujukan pada suatu perbuatan yang dapat menimbulkan rasa ketersinggungan

umat beragama akan adanya sikap kelompok aliran yang mengusik ketenteraman umat

beragama, dalam hal ini peran pimpinan kelompok agama menjadi sangat penting dalam

pelaksanaan undang-undang. Untuk itu, penilaian dari pimpinan kelompok agama seperti

MUI bagi umat Islam, atau PGI dan KWI bagi umat Kristen dan Katolik, menjadi sangat

penting sebagai bukti dalam melakukan penilaian penistaan terhadap agama tersebut.

Atas vonis itu, puas atau tidak puas pastinya sangat relatif, utamanya bagi umat

Islam yang terdzalimi oleh ujaran kebenciannya Ahok. Tetapi yang pasti adalah, di sini

tangan-tangan Tuhan telah menunjukkan kekuasaannya dan juga sifat keadilannya

dengan terang benderang. Memang vonis itu sangat menyakitkan bagi Ahok dan para

Ahokersnya, ibarat sudah jatuh malah tertimpa tangga. Kalau kemudian peluang banding

yang diberikan oleh hukum kemudian tidak digunakan Ahok, itu adalah memang haknya

Ahok yang harus kita hormati. Berarti ia menerima vonis 2 tahun itu. Dan bagi bangsa

ini, terutama umat Islam tak ada pengaruhnya sama sekali. Tetapi langkah itu baik dan

kita hormati.

Bagi umat Islam, yang dalam kasusnya Ahok ini, bahwa Allah SWT telah

menurunkan keadilanNya: Ahok divonis 2 tahun, tentu tidak boleh jumawa. Justru wajib

mengucap syukur dengan sepenuh hati dan berharap umat Islam serta seluruh bangsa
90

Indonesia kedepannya terus diberikan hidayahNya dan selalu berada dalam naungan dan

lindunganNya.

Tapi, sebagaimana kita tahu, multiplier effect yang telah ditimbulkan oleh

perbuatan Ahok selama ini memang tidak sedikit. Masyarakat seakan terpecah, ada yang

pro dan kontra Ahok. Terjadi rusaknya rasa kesatuan dan persatuan sesama anak bangsa.

Semakin menipisnya rasa nasionalisme masyarakat yang selama ini dikenal sangat

patriotik dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tanpa pamrih, tercabiknya rasa

kerukunan dan sopan santun dalam bertutur kata di masyarakat.

Maka siapa yang meniup angin maka pantaslah dia menerima badai. Tangan

mencincang bahu memikul. Dengan berpikir positif, kita berharap vonis yang telah

dijatuhkan ini bisa merekatkan kembali keretakan atau menjahit lagi perpecahan yang

terlanjuir tercabik-cabik.

Bagi sahabat-sahabat pendukung Ahok yang selama ini mengidolakan jagoannya

agar terbebas dari jerat hukum, bisa dipahami jika kecewa. Kalau vonis dirasa kurang

adil, masih banyak upaya hukum untuk diperjuangkan. Banding atau kasasi salah satu di

antaranya, selain peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa. Vonis yang

menghukum Ahok bukan berarti esok hari Jakarta akan kiamat, melainkan hanya the

show must go on. Untuk sementara, satu permasalahan hukum sudah selesai. Mari

berkemas untuk menapak masa depan Jakarta yang lebih baik pasca Ahok, bersama

pemimpin yang bisa diterima mayoritas masyarakat Jakarta.

Sebagai umat beragama, semestinya kita berpikir bahwa tidak ada suatu

peristiwa terjadi secara kebetulan melainkan hal itu terjadi atas kehendak dari Tuhan
91

Yang Mahakuasa. Sebutir debu pun tidak akan berpindah tempat jika tidak diterbangkan

angin dan begitulah selanjutnya.

Bagi kaum muslimin, tidak ada hal yang perlu dirayakan untuk vonis tersebut,

kecuali harus bisa mengambil hikmah daripadanya. Karena suatu sikap arogansi dalam

kepemimpinan serta memaksakan kehendak demi mencapai tujuan dengan menghalalkan

segala cara, termasuk mencoba mengadu domba umat Islam dengan menghinakan kitab

suci Alquran sehingga menimbulkan pro-kontra di antara mereka, bukanlah suatu

perbuatan yang baik. Itu melawan akal sehat!

Dalam menyikapi gerakan Ahok selama ini, umat Islam sudah di posisi yang tepat

tanpa harus terpancing emosional dan berujung perang saudara. Aksi damai berkali-kali

dengan menyuarakan kebenaran tanpa merusak lingkungan sekitar, dirasa cukup tepat.

Karena Allah SWT memerintahkan agar berusaha mengatasi masalah sesuai tingkat

keimanan kita masing-masing dan setelah itu berserah diri kepada Allah SWT.

Begitulah, kini, akhirnya hangar bingar Ahok sudah selesai. Sebuah babak baru

dimulai: Jakarta Tanpa Ahok. Atau, bisa jadi, Indonesia Tanpa Ahok. Lha, mengapa

dikatakan bisa jadi? Karena bukan tidak mungkin rezim Jokowi yang selama ini

memberikan pembelaan dan perlindungannya sehingga membuat kasus Ahok yang

sebenarnya sangat sederhana lalu berubah menjadi sangat sensitif dan berlarut-larut

penyelesaian hukumnya itu, tiba-tiba kini dengan hak prerogatifnya sebagai Presiden lalu

mengangkat Ahok (ketika Ahok sudah tidak ditahan lagi) untuk menjadi pejabat lebih

tinggi, atau pembantu utamanya atau juga menterinya. Wallahualam .. !


92

Tetapi semoga saja tidak. Kita berharap Jokowi dengan nuraninya bisa

mempertimbangkan suasana kebatinan umat dan masyarakat Indonesia dalam kasus Ahok

ini.

Tetapi, okelah, semua kemungkinan bisa saja terjadi. Karena kasus hukum Ahok

ini masih terus berproses dan vonis itu sendiri belum inkrah (belum berkekuatan hukum

tetap) sampai buku ini diterbitkan. Namun yang penting di sini, semua pihak bisa

mengedepankan akal sehatnya dan menghormati hukum yang memang masih berproses.

Meski Ahok mencabut pengajuan bandingnya. Yang kemudian bagaimana sikap yang

akan diambil Jaksa. Kita tunggu saja. Apapun keputusannya, semua pihak, sekali lagi,

harus menghormati.

Seperti sikap yang disampaikan Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) dimana ada

tiga poin yang menjadi catatan ACTA terhadap putusan vonis 2 tahun itu. Yaitu:

Pertama, hukuman 2 tahun penjara terhadap Ahok dinilai ringan dibanding kasus

penodaan agama yang lain. Padahal kontroversi yang ditimbulkan akibat perbuatan Ahok

dapat dikatakan jauh lebih besar daripada kasus-kasus penodaan agama lainnya.

Kedua, perintah penahanan Ahok dinilai bukanlah hal yang luar biasa. Hal

tersebut karena majelis sudah berpendapat Ahok bersalah, sehingga opsi yang bisa dipilih

untuk menghindari putusan batal demi hukum adalah memerintahkan agar Ahok ditahan.

"Dalam Pasal 197 ayat 1 KUHAP disebutkan bahwa putusan harus memuat perintah

supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Jika tidak ada

perintah tersebut, maka putusan batal demi hukum," kata seorang fungsionaris ACTA.

Ketiga, ACTA menilai tidak ada dissenting opinion karena putusan terhadap Ahok

diambil secara bulat oleh 5 anggota majelis hakim. Menurut ACTA, tidak adanya
93

dissenting opinion membuktikan bahwa majelis hakim benar-benar independen. "Hal ini

menepis tudingan bahwa ada tekanan dalam bentuk aksi massa kepada majelis hakim

dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut," tuturnya.

ACTA juga mengimbau masyarakat untuk bersama-sama mengawal terus kasus

Ahok agar diselesaikan dengan adil dan tanpa intervensi. Pihak ACTA ingin penyelesaian

kasus Ahok mengacu pada hukum dan perundang-undangan yang berlaku. "Kita harus

sama-sama kawal kasus ini agar pemeriksaan tingkat banding dan kasasi bisa berjalan

dengan adil, tanpa intervensi serta senantiasa tetap mengacu hukum dan perundang-

undangan yang berlaku," harap Ketua Dewan Penasihat ACTA Hisar Tambunan di

kantornya, Jalan Imam Bonjol Nomor 44, Jakarta Pusat. ((detikNews.com, 10 May 2017).

Sementara itu, Anggota DPD RI dan juga Gurubesar Perguruan Tinggi Ilmu

Kepolisian (PTIK), Farouk Muhammad, meminta masyarakat menghormati keputusan

Majelis Hakim terkait kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok ini. "Mari kita

hormati dan menjadikan kasus ini pelajaran berharga".

Ia juga mengatakan, dalam sejarah kasus terkait penistaan agama di Indonesia

hampir seluruhnya dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Pun demikian dengan apa yang

menimpa Ahok, pengadilan telah melakukan hal yang sama. Maka sudah sepantasnya

kasus ini menjadi pelajaran bagi setiap orang atau komponen untuk dapat menghargai

ajaran agama yang ada di Indonesia dengan baik. "Proses pengadilan kasus Ahok ini telah

membuktikan bahwa bangsa Indonesia taat hukum dan sangat menghormati proses

konstitusi yang ada dalam menyelesaikan konflik. Kita berharap pasca pengambilan

keputusan situasinya berjalan dengan kondusif," ujar Farouk Muhammad.


94

Ditambahkan oleh Senator asal Nusa Tenggara Barat ini, dengan adanya

keputusan pengadilan ini setiap pihak yang pro maupun kontra menghargai keputusan

hakim. Secara khusus dirinya berpesan kepada para tokoh dan elit politik untuk

menciptakan suasana yang sejuk dan menentramkan. "Jika masih ada pihak yang tidak

sepenuhnya menerima putusan pengadilan tentu dapat memanfaatkan mekanisme hukum

yang tersedia," tukas Farouk.

Begitulah, Ahok mau tidak mau harus menjalani hukuman yang dijatuhkan

Hakim. Sebagai warga Negara Indonesia ia harus menghormati hukum yang berlaku. Dan

diharapkan jangan lagi para pendukungnya masih bertindak di luar jalur hukum. Atau

masih terus mengatakan Ahok adalah korban dari tekanan massa yang dilakukan oleh

kelompok Islam yang melakukan Aksi Bela Islam sampai berjilid-jilid. Ini adalah

tuduhan yang tidak ilmiah namun penuh muatan kebencian kepada Islam. Bagaimana

bisa, Hakim yang memiliki keindependensian begitu kuat bisa ditekan-tekan oleh massa

jalanan? Tuduhan yang irasional jauh dari nalar sehat. Toh yang dilakukan Aksi Bela

Islam itu cuma meminta keadilan, dan mereka melakukannya di jalur yang sama sekali

tidak melanggar undang-undang bahkan dijamin undang-undang. Terlebih lagi berjilid-

jilidmeminjam istilahnya para AhokersAksi Bela Islam dilakukan selalu berlangsung

supertertib dan tak terjadi pengrusakan fasilitas umum, damai, rapi dan bersih. Justru

menjadi contoh bagus bagi siapa saja yang berdemo.

Sama dengan tertib dan bersihnya Aksi Bela Islam itu, umat Islam juga tidak

melakukan sama sekali fitnah-fitnah kotor yang dikatakan begitu sistematis lewat media

sosial. Justru umat Islam terpaksa menjadi kenyang dengan fitnah-fitnahnya para

Ahokers dengan dimunculkannya berita-berita hoax atau fakenews yang ribuan


95

bertebaran. Telah terjadi pemutarbalikan fakta di lapangan yang mengatakan umat Islam

mau menghancurkan NKRI, anti kebinekaan dan kebangsaan, intoleransi, anti UUD 1945

dan anti Pancasila, dan masih banyak lagi anti-anti lainnya. Untuk kasus Ahok, umat

Islam yang terdzalimi ini benar-benar menjadi kewalahan dengan begitu banyaknya

fitnah dan tuduhan yang menyasar ke pihaknya.

Padahal kalau mau jujur dan memang cinta Indonesia, tentu demo superdamai

Aksi 212 yang spektakuler dengan peserta aksi lebih dari tujuh juta kaum muslim dan

diikuti pula oleh berbagai suku, etnis dari kalangan agama lain yang bersimpati, telah

berlangsung tanpa adanya kekerasan. Maka sesungguhnya itulah bukti kasat mata, bahwa

umat Islam jauh dari tuduhan-tuduhan keji: menghancurkan NKRI, anti kebhinekaan dan

anti-anti lainnya.

Lalu dari keputusan Hakin 2 tahun untuk Ahok itu, pelajaran apa yang bisa

dipetik? Setidaknya ada dua pelajaran:

Pertama, jelas menunjukkan independensinya Hakim yang bebas dari intervensi

siapapun di persidangan Ahok. Negara berhasil memberikan dukungan penuh kepada

hakim untuk tetap bersikap independen. Tak ada tekanan massa dengan dalih agama. Tak

ada intimidasi yang dilakukan kepada Hakim. Sehingga kasus Ahok ini menjadi pelajaran

bagi siapa saja terutama para penyelenggara negara untuk berhati-hati menjaga sikapnya

dan menghargai ajaran agama orang lain sesama bangsa, seperti yang dikatakan Guru

Besar PTIK, Farouk Muhammad. Apa yang sudah diputuskan Hakim itu akan menjadi

cara ampuh untuk memperkuat nalar keadilan yang harus dipegang negara dan aparatur

hukumnya selama ini.


96

Kedua, menunjukkan ketegasannya kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) yang

secara obyektif terus mengkritisi fakta bahwa Ahok sebagai Gubernur sering menggusur

kelompok-kelompok miskin secara massif dalam rentang pemerintahannya setelah

ditinggal Jokowi jadi Presiden.

Maka dengan dua alasan itu, menjadi tidak benar sama sekali kalau dikatakan

telah terjadi tekanan massa atas nama agama (baca: Islam) yang katanya bisa

menghukum siapa saja yang dianggap berbeda, baik karena pilihan politik, identitas,

ekonomi, ataupun agama. Tuduhan semacam ini sangat tidak beralasan karena, sekali

lagi, dipenuhi dengan aroma kebencian terhadap Islam. Dan bahkan secara berbahaya

mereka malah mengajak orang untuk melawan tekanan massa atas dalih agama itu di

ruang publik. Dan itu katanya menjadi prasyarat utama yang harus diambil.

Elemen-elemen yang gampang menuduh seperti itulah yang sebenarnya amat

berbahaya bagi persatuan dan kesatuan kita karena secara sengaja telah menumbuhkan

sikap kecurigaan antar sesama bangsa. Bahkan mereka para Ahokers mengatakan,

perlawanan kepada kelompok tirani atas nama agama itu adalah merupakan jihad yang

perlu diteruskan secara pikiran maupun fisik. Lha ngeri bukan??

Bangsa ini perlu mewaspadai pikiran-pikiran berbahaya seperti itu, karena kalau

dipercaya lalu diikuti, pasti akan menjadikan Indonesia jadi kacau balau. Padahal yang

namanya kelompok tirani yang melakukan tekanan massa atas nama agama itu, sama

sekali tidak ada. Itu cuma rekaan mereka sendiri yang pro Ahok dan didorong karena

begitu memuncaknya kebenciannya terhadap Islam.


97

Apalagi sampai-sampai ada yang mengatakan, kekalahan Ahok di Pilkada DKI

adalah kekalahan kemajemukan. Sangat menyesatkan. Mereka para pro Ahok itu

tampaknya begitu cerdas melakukan pembalikan fakta.

Tetapi, tentang pernyataan, bahwa kekalahan Ahok itu kekalahan kemajemukan,

digambarkan dengan sangat menarik oleh Geger Riyanto, Esais, peneliti sosiologi dan

bergiat di Koperasi Riset Purusha, dalam sebuah artikelnya, bahwa pernyataan itu tidak

benar. Geger Riyanto menyimpulkan, bahwa pernyataan itu adalah pernyataan sangat

menyesatkan dan itu sesungguhnya adalah bentuk penistaan mereka, para Ahokers,

terhadap keadilan sosial. Terhadap sila kelima yang kita sepakati menjadikan kita

Indonesia.

Di artikelnya yang berjudul: Kekalahan Ahok Bukan Kekalahan Kemajemukan

di laman geotimes.co.id, Kamis, 4 Mei 2017, Geger Riyanto mengawali tulisannya

dengan menampilkan banyak peristiwa yang hampir sama terjadi di banyak tempat sesaat

setelah selesainya perhitungan hasil suara Pilkada DKI, April 2017.

Kata Geger, pada Rabu, 19 April 2017, berselang beberapa jam selepas pemilihan,

warga sebuah kampung di Jakarta Utara berangkulan. Mereka riang bukan kepalang

mendapati hasil hitung cepat Pilkada Jakarta di televisi. Anies Baswedan memimpin

mutlak. Ahok tak mungkin menyusul lagi.

Orang-orang kampung tersebut mendukung pasangan calon nomor tiga. Ini betul.

Tetapi mereka gembira, tepatnya, karena hari-hari Ahok sebagai gubernur akhirnya bisa

dihitung. Siapa pun penggusurnya, sang gubernur tukang gusur yang menyengsarakan

mereka akhirnya akan lengser dari jabatannya.


98

Satu potret yang diperoleh oleh Ian Wilson, peneliti dari Murdoch University, kata

Geger Riyanto, tak akan banyak Anda temukan hari-hari ini. Imajinasi yang kini

berkembang ihwal drama Pilkada Jakarta adalah, ia menggambarkan luruhnya benteng

terakhir kemajemukan dan akal sehat. Masyarakat kita telah ditelan fanatisme picik.

Ahok kalah telak bukan sebagai gubernur, melainkan sebagai seorang kafir yang didakwa

secara tidak adil tak layak memimpin (Dan menjadi korban konspirasi tingkat tinggi

politik nasional, kalau Anda mau percaya beberapa teori yang kini berkembang), kata

Riyanto lagi. (http://geotimes.co.id/kekalahan-ahok-bukan-kekalahan-kemajemukan/)

Dan, memang, data yang ditemukan nampaknya menjadi pembenaran gamblang

atas narasi ini. Temuan exit poll yang dilansir oleh Indikator Politik Indonesia, yang

menyebar dengan cepat dari gawai ke gawai, menemukan, 58 persen pemilih memilih

Anies-Sandiaga karena agamanya yang sama dengan mereka.

Demikian juga dengan temuan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).

Dua puluh enam persen pemilih Anies-Sandi memilih mereka karena memiliki agama

yang sama, 16,8 persennya karena pasangan ini dianggap memperjuangkan agama.

Namun, menurut Geger Riyanto, mari hadapkan itu dengan apa yang terjadi di

Kampung Akuarium. Pada Pilkada Jakarta 2012 lalu, 95 persen warganya memilih

Jokowi-Ahok. Mereka tak peduli calon wakil gubernur yang mereka pilih adalah kandidat

dengan etnis Tionghoa maupun beragama non-Muslim. Pendirian ini berubah selepas

Ahok naik menggantikan Jokowi. Bagi mereka, Ahok bukan hanya melanggar janji

Jokowi memberikan sertifikat tanah kepada yang telah bermukim lebih dari 20 tahun. Ia

menggusur mereka.
99

Ketika Sydney Morning Herald mewawancara warga Kampung Akuarium siapa

yang akan mereka pilih dalam Pilkada Jakarta, jawaban mereka tegas. Mereka tidak akan

memilih gubernur Ahok yang memaki mereka pendatang ilegal dan menularkan TBC.

Karena Ahok memang pernah memaki seperti itu. Meninggalkan luka di hati.

Hal serupa akan kita temukan pada kampung-kampung yang diteliti Ian Wilson.

Pada awal penelitiannya di 2014, sentimen keagamaan serta keaslian (pribumi-

nonpribumi) tidak mengemuka dalam wawancara-wawancara dengan warga. Warga

bahkan mempunyai optimisme dengan pendekatan Jokowi yang humanisblusukan ke

berbagai tempat, berdialog dengan warga, mendengarkan keluh-kesah mereka.

Ekspresi-ekspresi keagamaan dan keaslian (pribumi-nonpribumi) baru menyeruak

belakangan. Sama halnya dengan di Kampung Akuarium, Jakarta, ia bangkit ketika warga

sakit hati dan merasa terancam dengan Ahok. Ia menjadi legitimasi terdekat mereka

untuk menegaskan kemanusiaan mereka. Menukil kata-kata Romo Sandyawanpembela

warga Bukit Duri yang dituding Gubernur Ahok sebagai penghasut wargaini adalah

persoalan harga diri.

Apakah ini hanya refleksi apa yang terjadi di segelintir kampung saja? Boleh jadi.

Tetapi, saya kira, kata Geger Riyanto, bukan sebuah kebetulan data yang diperoleh exit

poll berbagai lembaga survei menunjukkan suara kelas menengah bawah terhambur ke

pasangan Anies-Sandi. Korban penggusuran Ahok dalam catatan Lembaga Bantuan

Hukum Jakarta mencapai 25.533 jiwa. Jumlah yang luar biasa ini, tentu saja, tak seberapa

bila dibandingkan total jumlah pemilih Pilkada Jakarta.

Namun, tambah Geger Riyanto, bila kelas menengah atas bisa memupuk,

menyebarkandan memaksakancitra positif Ahok lewat jejaring sosialnya, bukankah


100

kelas menengah bawah juga bisa menyebarluaskan citra negatif Ahok lewat medium

sama? Lebih-lebih, mereka tentu tak buta dengan keserupaan dan kesepenanggungan

mereka dengan warga yang menjadi korban langsung kebijakan Ahok.

Dan kalau kelas menengah atas bisa mengimajinasikan Ahok memiliki kinerja

baik, tegas, berpendirian semata karena menjumpai kemurkaan-kemurkaannya di media,

mengapa kelas menengah bawah tak diperkenankan untuk menafsirkan ia kejam dari

gelagat yang sama dan bahkan jelas-jelas mengecam kelompok mereka?

Kalaupun sentimen identitas lantas disambut banyak orang dan melengserkan

Ahok, saya percaya, itu terjadi karena tidak ada cara lain bagi orang-orang ini untuk

menumpahruahkan kepenatan terhadap peminggiran riil dan simbolik yang dialaminya,

kata Riyanto. Tidak ada cara untuk berbicara kepada gubernur yang penglihatannya

digelapkan dengan gemerlap perhatian media massa dan media sosial selain dengan

politik identitas yang, betapapun banal, ampuh menegaskan bahwa orang-orang tersingkir

ini adalah warga yang juga berhak untuk ruang hidupnya.

Klaim agama dan keaslian mungkin menjadi wajah dari kemarahan mereka.

Tetapi, di balik itu, kita perlu insaf, ada trauma orang-orang yang rumahnya

diluluhlantakkan dengan paksa. Ada ketidakberdayaan mereka yang kehilangan

pencahariannya dan tak bisa melakukan apa-apa. Ada ketakutan mereka yang menjumpai

bayangan dirinya pada warga yang telah tergusur. Dan, ada dinding tinggi dari kelas

menengah atas yang tak bisa mereka tembus dan membelenggu gubernur mereka dalam

kaca mata kuda kebanggaan terhadap kebijakan-kebijakannya yang diskriminatif kelas.

Berbahaya sekali menafsirkan kekalahan Ahok sebagai kekalahan kemajemukan

atau kemenangan agama. Tuduhan itu adalah menghindarkan sang pejabat dari tanggung
101

jawab politik yang nyata. Dan ujungnya, tak lain, adalah penistaan. Penistaan terhadap

keadilan sosial. Terhadap sila kelima yang kita sepakati menjadikan kita Indonesia.

(Ibid.)

Yang menarik, gaung peristiwa kekalahan Ahok ini ternyata sampai ke luar

negeri. Hal itu seperti disampaikan oleh Imam Subkhan, Mahasiswa doktoral University

of Washington, Amerika Serikat bidang Antropologi Politik, Penerima Beasiswa Presiden

Republik Indonesia (BPRI) LPDP dalam opininya berjudul: Kekalahan Ahok, Islam

Politik, dan Narasi Demokrasi di Indonesia di detik.News,com, 27 April 2017.

Dikatakan oleh Imam Subkhan, bak paduan suara, semua pemberitaan media

Barat khususnya di Amerika Serikat tentang kekalahan Ahok dalam Pilkada Jakarta 2017,

di-frame dalam sebuah alunan nada yang sama. Bunyi redaksinya bisa dikemas berbeda-

beda, namun narasinya tunggal. Sebagai contoh, The Wall Street Journal (19/4)

mengangkat judul: Islamist-Backed Candidate Ousts Jakarta's Christian Governor

(Kandidat yang didukung kelompok Islamis menjungkalkan Gubernur Kristen Jakarta).

The New York Times (19/4): Jakarta Governor Concedes Defeat in Religiously Tinged

Election (Gubernur Jakarta mengakui kekalahan dalam Pemilu yang diwarnai isu

agama) , sementara USA Today (19/4): Muslim voters oust Jakarta's Christian governor

(Pemilih Muslim menjungkalkan Gubernur Kristen Jakarta).

Setidaknya ada tiga narasi yang dikembangkan terkait dengan kekalahan Ahok-

Djarot dalam Pilkada DKI Jakarta:

Pertama, kemenangan Anies-Sandi dianggap merepresentasikan kemenangan

Islam politik dalam panggung politik Indonesia. Islam politik yang dimaksud di sini

adalah praktik politik praktis dengan menggunakan sentimen, ideologi dan identitas Islam
102

sebagai instrumen untuk meraih kemenangan. Sentimen ini menjadi semakin kokoh dan

mendapatkan legitimasi moral karena Ahok beragama Kristen yang minoritas dan tengah

diadili karena kasus tuduhan penodaan agama.

Kedua, implikasi dari menguatnya wajah Islam politik di Jakarta adalah

memberikan angin segar bagi kelompok Islamis untuk mengartikulasikan ideologi

mereka di ruang publik. Kelompok Islamis yang selama ini bergerak di wilayah pinggiran

negara beringsut masuk dalam struktur negara, bahkan bisa menjadikan negara sebagai

instrumen untuk mewujudkan cita-cita mereka.

Ketiga, hal yang kemudian banyak dikhawatirkan oleh para pengamat Indonesia

akibat dominasi kaum Islamis dalam ruang publik adalah meningkatnya kecenderungan

intoleransi dalam kehidupan berbangsa. Dan, indikasi itu dianggap sudah nampak dan

dipraktikkan sepanjang musim kampanye Pilkada Jakarta lalu. (https://news.detik.com-

/kolom/d-3485150/kekalahan-ahok-islam-politik-dan-narasi-demokrasi-di-indonesia)

Kata Imam Subkhan, kekhawatiran dan representasi media Barat soal masa depan

demokrasi Indonesia tentu saja tidak dapat dilepaskan dari konteks global, terutama

bangkitnya politik konservatisme di Amerika dan Eropa. Strategi yang dikembangkan

oleh lawan Ahok-Djarot dipandang menduplikasi apa yang dilakukan oleh Trump di

Amerika dengan membangkitkan sentimen dan politik identitas terutama ras dan agama

untuk meraih kemenangan yang terbukti efektif.

Dalam pandangan mereka, bangkitnya politik identitas di negara mayoritas

muslim seperti di Indonesia bisa mengancam demokrasi. Demokrasi semestinya lebih

bertumpu pada kebebasan dan kemerdekaan menjatuhkan pilihan secara rasional dalam

memilih pemimpin politik yang akan mengelola urusan publik. Penghargaan dan
103

hukuman terhadap pejabat publik yang diwujudkan dalam keterpilihan atau

ketidakterpilihan elektoral semestinya didasarkan pada kinerja, bukan pada identitas

agama. Dengan cara ini maka demokrasi akan menghasilkan kebermanfaatan maksimum

bagi kepentingan publik.

Kata Imam Subkhan, Indonesia selama ini sering dipromosikan dan diusung

sebagai bukti dan contoh par excellence bahwa Islam dan demokrasi bisa bertemu dan

tidak saling bertentangan sebagaimana dikhawatirkan sebagian orang di Barat. Praktik

demokrasi di Indonesia yang bisa sejalan, dengan Islam menurut Hefner (2000) dapat

terjadi karena ditopang oleh adanya kekuatan civil Islam. Kekuatan civil Islam inilah

yang menghalau mitologi negara Islam dengan terus mempromosikan toleransi, dan

Pancasila sebagai ideologi negara. Oleh karena itu, kata mereka, kebangkitan Islam

politik yang didukung kelompok Islamis bukan saja berpotensi mengancam Islam toleran

di Indonesia, namun juga pada gilirannya mengancam demokrasi Indonesia.

Tapi, demokrasi Indonesia, sebagaimana disampaikan Giora Eliraz, Indonesianis

dari The Hebrew University of Jerusalem dalam diskusi soal kasus Ahok dua minggu lalu

di University of Washington, penglihatan politik Indonesia dari dekat dan sesaat seolah-

olah akan menampilkan gambaran demokrasi yang bergerak mundur. Namun, jika

mencandranya dari atas dan dari horison sejarah yang lebih luas maka justru

menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia terus bergerak maju dan mantap.

Di sinilah, kekhawatiran, atas representasi dan narasi yang disuguhkan media

Barat soal masa depan demokrasi Indonesia kurang mendapatkan relevansinya. Memang

benar bahwa kecenderungan sikap intoleransi menguat belakangan, namun itu lebih

merupakan reaksi sesaat dalam dinamika politik Pilkada Jakarta.


104

Warga Jakarta dan Indonesia sudah ratusan tahun memiliki modal dan kelenturan

sosial hidup damai dalam keragaman yang terus dirawat. Dan, ini akan semakin

mendapatkan pengokohan jika Anies-Sandi selalu sebagai Gubernur dan wakil Gubernur

Jakarta, bergerak atas nama konstitusi, dan bukan representasi kelompok tertentu dalam

kebijakan pemerintahannya nanti. Bagi Imam, sikap optimisme inilah yang harus terus

disuarakan guna memastikan civil Islam dan kerja peradaban tak tenggelam oleh

dinamika politik yang dangkal. (Ibid.)

Kini lewat proses hukum yang sah, Ahok sudah divonis 2 tahun dan langsung

ditahan. Ia harus merasakan dinginnya kamar tahanan bersama nara pidana lain. Maka

bisa dikatakan, akhirnya mulai sekarang babak barunya adalah: Jakarta Tanpa Ahok!

Ada sebuah opini yang mengkritisi tajam kinerja Ahok. Kalau umumnya orang

banyak memuji kinerja Ahok, tapi seorang ahli lingkungan hidup mengatakan tidak

seperti itu.

Dengan judul opininya di KORAN SINDO, 13 Mei 2017: Babak Baru Jakarta,

oleh Suparto Wijoyo; Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum, dan Koordinator

Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga,

dikatakan olehnya, bahwa 5 Mei 2017 lalu KPU DKI Jakarta telah menetapkan

Gubernur-Wakil Gubernur Terpilih Periode 2017- 2022: Anies Rasyid Baswedan-

Sandiaga Salahuddin Uno. Orasi kemenangan di Museum Bank Indonesia pun dihelat

penuh makna. Retorika yang dipilih sangat memukau di ajang acara Pesan Persatuan

Jakarta Menuju Satu Jakarta. Ungkapan ...kami akan hadir mewujudkan keadilan sosial

bagi warga sangatlah dirindukan. Dinyatakan pula bahwa Kota Jakarta bukan hanya

kumpulan real estate, gedung, rumah, sungai, dan jalan raya, tetapi kumpulan manusia
105

berjiwa. Jakarta bukan sekadar barang tak berjiwa. Sebuah peneguhan ke mana pendulum

kebijakan hendak ditambatkan oleh pemimpin baru Jakarta ini.

Janji kampanye yang terus terngiang, kata Suparto, adalah Anies-Sandi bertekad

menata kota tanpa penggusuran dan penataan kota yang mengutamakan dialog. Esensi

pidato yang simpatik tersebut menandakan lahirnya babak penting perkembangan Jakarta.

Tim Sinkronisasi yang dibentuk untuk melakukan langkah-langkah formulatif guna

mengimplementasikan program yang telah dikampanyekan harus bertindak sigap di

hadapan rezim transisi sekarang ini. Masa transisi sampai agenda pelantikan 4 Oktober

2017 sudah sepatutnya dikawal, terutama oleh publik Jakarta.

Pemimpin hasil Pilkada DKI Jakarta 9 April 2017 diberi amanat warga untuk

mampu memberikan solusi yang mendera Ibu Kota selama ini, bukan untuk menyandera

dengan ingar-bingar yang melelahkan. Pemerintahan transisi sekarang ini secara etik-

birokratik semestinya tidak membuat kebijakan yang mendendamkan problematika ke

depan. Permasalahan banjir, ketimpangan sosial, kemacetan, dan peminggiran warga

miskin telah memberikan referensi yang cukup untuk membenahi Jakarta. Fenomena Ibu

Kota kebanjiran saja adalah sebuah realitas yang menuliskan pesan betapa banyak

pekerjaan yang harus diemban gubernur terpilih. (http://budisansblog.blogspot.co.id-

/2017/05/babak-baru-jakarta.html).

Wajah Jakarta sejatinya menorehkan kelamnya derita ekologis kota di balik

gemerlapnya jalanan. Kejadian banjir yang melanda Jakarta selama ini telah melukiskan

adanya kerapuhan planologi Jakarta yang lebih menonjolkan sebagai ladang bisnis

daripada Ibu Kota yang administratif.


106

Jakarta dicatat tidak berkata jujur dan bertindak semestinya sebagai Ibu Kota.

Pembangunannya tidak dibarengi perubahan paradigma layaknya seorang ibu. Ibu Kota

tidak tampil feminis, melainkan berkarakter maskulin, karena hanya mempertontonkan

kekekarannya. Maslangitnya menepikan warga, menggersangkan jiwa, dan mengusir

kampungkampung nelayan tua. Ibu Kota tidak membopong anak kandungnya, tetapi

tampil menyusui investor yang mendegradasi imunitasnya sendiri.

Kata Suparto Wijoyo, reklamasi yang dibarengi bangunan gedung apartemen dan

pergudangan adalah simbol nyata kerakusan yang menyeruak di Jakarta. Ibu Kota kurang

dikonstruksi dengan infrastruktur penampung air seperti telaga, embung, kolam, sumur

resapan, sebagai bak penampung sebelum semuanya mengalir ke pantai Jakarta. Jakarta

memiliki 13 sungai dan didekap dua kali besar, di timur ada Citarum, di barat ada

Cisadane. Bahkan, Kali Ciliwung eksis membelah dan menghidupi Ibu Kota meski

luapannya sering dikriminalisasi sebagai penyebab banjir. Atas nama keindahan aliran

belasan sungai itulah, Jakarta pada era kolonial dikenal sebagai Venesia dari Timur, kota

yang dikelilingi sungai-sungai eksotik laksana Venesia (Italia).

Selanjutnya dikatakan Suparto, sungai-sungai di Ibu Kota dapat difungsikan

sebagai moda transportasi air yang hebat. Adalah kenaifan apabila pantai Jakarta yang

secara ekologis menjadi basis tangkapan air, justru digiring menjadi daerah permukiman

dengan direklamasi. Tabiat reklamasi dengan mozaik beton jadi arena pertandingan

memutar uang yang menggelisahkan dari dimensi kajian lingkungan. Reklamasi yang

brutal akan memorak-porandakan pesisir pantai. Hal ini membawa perubahan signifikan

hilangnya biota air dan daya dukung teluk sebagai daerah penampung air.
107

Suparto memuji Aktivis lingkungan Jakarta yang secara cerdas telah menerka:

dengan reklamasi, Jakarta niscaya tergenang dan tenggelam. Pejuang lingkungan Jakarta

sudah mafhum, sebelum dilakukan reklamasi saja, Jakarta kerap kebanjiran, apalagi

dengan agenda membuat 17 pulau, frekuensi banjir akan meningkat. Dengan proyek

reklamasi yang ada, bencana banjir di Jakarta tidak terelakkan menjadi ritual musiman.

Ia mengingatkan, sadarlah bahwa di pantura itu bermuara aliran ke-13 sungai.

Kalau pantainya diuruk, logika sederhananya terdapat pendangkalan pantura. Bayangan

yang sudah terlihat adalah kerusakan habitat nelayan Jakarta dengan pesta air bah.

Modernisme membawa serta mahalnya warga Ibu Kota menikmati keindahan

pantai. Di Ibu Kota, banjir memberi literasi perlunya rekonstruksi pembangunan agar

Jakarta berperilaku keibuan. Setiap reklamasi pantai yang semula ideal untuk

kenyamanan perkotaan, pada praktiknya menyorong penghuni yang renta ekonomi ke

tepian. Kalau reklamasi terus dipaksakan, sebelum semuanya mengerti hendak ke mana

kota ini diperjalankan, saya khawatir pantura menjadi ajang ontranontran dalam dimensi

sosio-ekosistemiknya.

Pemegang kuasa harus memahami bahwa kehidupan tanpa lingkungan hanyalah

abstraksi belaka. Tata Kota Jakarta jangan mengulang cerita lama kepiluan kota dengan

ungkapan-ungkapan vulgar yang sinis sebagaimana ditulis Kunstter: tragic sprawl scope

of cartoon architecture, junked cities and ravaged country side.

Ia berharap, Bung Anies-Sandi adalah penggenggam waktu untuk membangun

Jakarta berspirit feminis. Penataan Jakarta membutuhkan penguatan orientasi wawasan

dari visi membangun kota raya yang maskulin ke arah kesadaran lingkungan yang
108

feminis, setarikan napas sebutan Ibu Kota. Kita tidak ingin menyaksikan Jakarta

tergelincir menjadi kota yang congkak secara ekologis (junk city).

Telah terbangun persepsi umum bahwa kepentingan ekonomi di Jakarta mampu

menggeser kepatutan ekologisnya. Harus diresapi, bahwa Jakarta tidak cukup hanya

ditopang uang dengan mengabaikan kepentingan lingkungan. Metropolitan yang terlalu

kekar dapat dengan mudah terpelanting menjadi nekropolitan, yaitu kota yang

menyesakkan bagi warganya.

Mewujudkan Jakarta sebagai ibu kota yang menyediakan telaga bagi anak-

anaknya adalah pilihan primer. Bangunan yang menjulang tanpa telaga penampungan air

sudah sering kali mengalami kelumpuhan melawan banjir bandang. Kearifan tradisional

mengajarkan tata kampung dari abad yang telah lampau. Setiap kampung menyediakan

satu embung (telaga) sebagai sentrum kehidupan yang menjadi tandon air terpenting.

Embung memberi dan menerima bukan saja air hujan, juga air dari waduk sebagai induk

pengairan lintas kawasan.

Embung adalah lambang feminisme kehayatan desa maupun kota. Dari sinilah

setiap hujan air disimpan dan pada musim kemarau air dialirkan ke warga. Embung pada

kenyataannya adalah mangkuk air yang pada saatnya didistribusi kepada warga untuk

keperluan sehari-hari maupun pertanian urban. Telaga-telaga kecil di setiap titik simpul

Jakarta mutlak diadakan dalam jejaring ekosistem (spesialized ecosystem) dengan

sumur-sumur yang tersedia di setiap rumah tangga.

Tata kelola lingkungan model telaga kampung ini merupakan kekayaan tradisi

yang bermuatan referensi kecanggihan teknologi tertib air. Kota menjadi bebas banjir.

Embung menyediakan water resource demi kelangsungan hidup warga.


109

Harapan Suparto kepada pemimpin baru Jakarta, Jadikanlah Jakarta bertradisi

ramah lingkungan dan membahagiakan semua warganya. (Ibid,)

Sebenarnya inti dari opini Suparto Wijoyo di atas adalah, ia ingin mengatakan

bahwa penataan Jakarta membutuhkan penguatan orientasi wawasan dari visi

membangun kota raya yang maskulin ke arah kesadaran lingkungan yang feminis. Kita

tidak ingin lagi menyaksikan Jakarta menjadi kota yang congkak secara ekologis. Adalah

kenaifan apabila pantai Jakarta yang secara ekologis menjadi basis tangkapan air, justru

digiring menjadi daerah permukiman dengan direklamasi. Jadi Ibu Kota tidak lagi tampil

feminis, melainkan berkarakter maskulin, karena hanya mempertontonkan kekekarannya.

Nah, di sinilah barangkali letak ketidakadilan yang telah berlangsung lama di

tangan Ahok. Dan itu salah satu faktor yang menjungkalkannya di Pilgub DKI. Jadi, sama

sekali bukan karena tekanan massa yang dilakukan umat Islam dengan Aksi Bela Islam

yang digulirkan sampai berjilid-jilid.

Untuk lebih jelasnya bahwa Ahok terjungkal di Pilgub Jakarta itu bukan karena

tekanan dari gerakan massa Islam, dan bahwa itu sepenuihnya karena kinerja Ahok

sendiri yang ternyata sangat negatif, dijelaskan secara data oleh .

Untuk itu ada pertanyaan penting di sebuah opini media massa. Apakah setelah

Ahok dipenjara gerakan massa Islam akan berhenti? Atau justru akan terus bergulir?

Setidaknya itu untuk mengawal proses hukumnya Ahok sampai ada keputusan hukum

yang tetap. Meski Aksi Bela Islam 55 sudah dinyatakan sebagai aksi terakhir. Tidak ada

lagi aksi! Pertanyaan apakah gerakan massa Islam akan berhenti, bisa dijawab ya, tapi

bisa juga tidak.


110

Namun ketika melihat di lapangan, pergerakan kubu Ahokers yang masih terus

melakukan aksi negatifnya bahkan dengan nama Aksi Solidaritas melakukan tuntutan

pembebasan Ahok dengan cara-cara preman, karena menganggap putusan hakim tidak

fair, tentulah gampang diduga gerakan massa Islam tidak benar-benar berhenti. Ibarat

pertempuran yang belum selesai, tingkat kewaspadaan untuk sewaktu-waktu turun ke

jalan lagi harus dipersiapkan. Cara ini sah-sah saja dan tidak melanggar undang-undang.

Mengawal proses hukum Ahok sampai ia memperoleh keputusan hukum yang

tetap itu, kita berharap tidak akan memunculkan huru-hara politik dan ketegangan baru

seperti sebelumnya. Dan para aktivis dari golongan manapun sebisa mungkin bersabar

dan mau meredam aksi-aksinya.

Saat sebelum divonisnya Ahok, menjelang pilkada DKI, memang ada gerakan

massa yang tujuannya untuk segera memenjarakan Ahok. Setidaknya saat itu ada aksi

yang digerakkan oleh dua kepentingan yang berlainan tetapi punya tujuan sama, atau dua

ideologi yang berbeda tapi memiliki tujuan yang sama. Mereka adalah, pertama, kalangan

gerakan massa Islam yang merasa tersinggung dengan ucapan Ahok di Pulau Seribu.

Dan, kedua, lawan-lawan politik Ahok yang tengah berkompetisi dalam Pilkada DKI

Jakarta.

Untuk yang pertama, mereka adalah benar-benar kelompok yang merasa

tersinggung karena ada orang yang dianggap menista al-Quran surat al-Maidah ayat 51.

Untuk yang kedua, mereka bergerak cuma untuk menerima keuntungan jika

Ahok berada dalam penjara.

Sekarang, dalam tahapan mengawal proses hukum dengan adanya upaya hukum

banding dan kemungkinan kasasi dari kubu Ahok dan JPU, bukan tidak mungkin tensi
111

ketegangan politik masih akan bisa memanas. Tetapi tetap kita berharap bisa dilalui

dengan aman-aman saja dan tenang. Apalagi, Pilkada sudah lewat, dengan demikian

kalau ada gerakan massa, maka itu hanya akan dilakukan gerakan massa Islam dengan

tujuan murni mengawal proses hukum selanjutnya sampai keputusan inkrah.

Kita mencoba berasumsi, para pendukung Ahok telah legowo idolanya ditetapkan

sebagai narapidana 2 tahun. Dalam garis lurus, semestinya para penentang Ahok juga

lapang hati dan memberikan kesempatan bagi pengadilan menjalankan tugas dan

kewenangannya. Lapang hati adalah syarat yang diperlukan agar dapat melihat proses

hukum banding dan kasasi ini dengan seksama.

Tapi itu cuma sekedar asumsi yang membayangkan kubu Ahok legowo kembali

tenang, dan para penentang Ahok juga mau berlapang hati. Meski sekedar asumsi, akan

sangat bernilai tinggi kalau saja benar-benar bisa terwujud. Maka yang terjadi

selanjutnya, negeri ini akan kembali pada kondisi seperti semula sebelum Ahok menista

Alquran. Alangkah indahnya kalau itu benar terwujud.

Karena itu, sambil mengawal proses hukum, kepada kedua pihak, Penulis buku ini

mengajak untuk kembali ke konsensus yang telah disepakati bersama. Negara ini adalah

negara hukum. Dan kita semua menyepakatinya. Setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum, begitu bunyi konsensus kita dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Kita,

gerakan massa Islam telah menuntut negara supaya menghormati hak hukum kita, dan

sekarang kita juga harus menghormati hak negara untuk menjalankan hukum yang

disepakati melalui alat negaranya.


112

Kita yakin, semua pihak mencintai negeri ini. Biarlah bentuk kecintaan itu

mengalir melalui penghormatan kita bersama atas proses hukum yang berlangsung. Lagi

pula, khusus kepada kelompok gerakan umat Islam, bukankah hubbul wathon minal

iman, mencintai Negara Indonesia adalah sebagian dari iman? Dan sekarang umat Islam

akan membuktikan lagi bahwa dirinya sangatlah menghormati hukum dan konsekwen

pada hubbul wathon minal iman itu. Jadi, sebagai sebuah gerakan massa Islam akan

selalu bersikap sesuai dengan koridor hukum, sangat menghormati tujuan hukum dan

menjaga bagaimana seharusnya hukum bekerja untuk memberi kepastian, menggapai

keadilan, dan menciptakan kemaslahatan.

Setelah Ahok ditetapkan sebagai terpidana, ada tiga hal yang mesti dilakukan oleh

pendukung dan penentang Ahok agar tujuan hukum tercapai. Itu harapan kita semua.

Pertama, hormatilah proses hukum. Dalam sistem peradilan pidana, yang sama

kita ketahui, proses selanjutnya setelah penetapan seseorang sebagai terpidana, maka

akan ada pengajuan banding dan kasasi. Dan itu membutuhkan waktu. Semua harus

bersabar, biarkanlah pengadilan bekerja sesuai dengan koridor sistem hukum yang

berlaku, sembari tetap memberikan pengawasan terhadap kinerja aparatnya dalam porsi

yang semestinya.

Kedua, jagalah situasi dan kondisi agar tetap aman dan damai. Pada fase ini,

seyogianya semua pihak tetap tenang dan tidak memperkeruh suasana. Sepatutnya tak

boleh ada anasir provokatif yang dilontarkan ke masyarakat, baik secara offline maupun

online oleh siapa saja. Kita ini sedang bicara soal hukum, bukan menyoal suka atau tidak

suka, like or dislike, dengan Ahok. Dalam bahasa hukum progresif, hukum harus

memperhatikan dan bekerja bagi masyarakat. Pada ruang ini, saat ini, ada kepentingan
113

masyarakat yang pro Ahok dan anti Ahok. Ada interest penyokong Ahok dan oponen

Ahok. Ada opini tesis Ahok dan antitesis Ahok. Memang, idealnya, hukum harus

merangkul kedua kutub yang saling berlawanan tersebut. Akan tetapi, dalam ruang yang

semakin sempit karena dihimpit oleh dua kutub kepentingan, mengharapkan hukum

merangkul keduanya secara bersama sepertinya bakal menemukan jalan buntu. Oleh

karena itu, saat ini, hukumdalam arti teknis penegakan hukumharus berdiri pada

kakinya sendiri. Hukum, pada ruang ini, sekali lagi, khusus pada ruang ini, perlu

menggunakan kaca mata kuda. Sehingga, proses hukumnya berjalan sesuai dengan

sistem dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hakim harus tetap independen.

Ketiga, lapangkanlah hati dan menjauhlah dari kepentingan kekuasaan. Diakui

atau tidak, ada tangan-tangan kekuasaan yang tak tampak (invisible hand), yang berasal

dari gelombang barisan pro Ahok dan pendemo Ahok, yang ikut bermain. Memang,

wujud tangan kekuasaan ini susah jika ingin dibuktikan. Namun, percayalah, jika masih

ada yang terpengaruh kerja invisible hand itu, maka konsentrasi untuk mengawal kinerja

pengadilan akan berbalik membuat masyarakat berpotensi menjadi terbelah.

Dengan demikian, kalau ketiga langkah di atas dilakukan dengan legowo pula,

maka setidaknya akan membuat kondisi politik akan tenang dan mereda. Dan inilah yang

kita harapkan secara bersama sebagai anak bangsa. Suasana yang tenang seperti semula.

Namun ada sebuah pertanyaan yang terus menggelitik, apakah dengan adanya

perbedaan pandangan politik yang terjadi akibat kasus Ahok itu memang benar telah

merusak kehidupan keberagamaan dan keberagaman kita?

Memang kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok dengan cepatnya sempat

menimbulkan kontroversi. Penyebabnya adalah, di samping berbarengan dengan


114

momentum Pilkada Jakarta, perkembangan pesat teknologi digital juga telah mendorong

secara signifikan meluasnya pertentangan di tengah masyarakat. Berkat kemudahan akses

teknologi saat ini, penyebaran pesan kebencian dan rasis bahkan telah masuk dalam

percakapan digital antar-keluarga dan kerabat dekat, yang sebelumnya cuma dipenuhi

dengan obrolan menyangkut keluarga dan non-politis.

Namun, mencuatnya kasus Ahok telah membuat media komunikasi maya, seperti

Whatsapp, menjadi ajang penyebaran teologi kebencian yang paling massif. Pesan-pesan

yang tersebar secara digital ini mengakibatkan hubungan antar-kerabat retak karena

perbedaan pandangan keagamaan atau politik. Fakta yang terjadi di masyarakat memang

seperti itu. Namun semuanya masih dalam kondisi aman-aman saja. Meski diakui

kondisinya seperti api dalam sekam. Yang mudah tersulut dan terbakar sewaktu-waktu.

Penistaan agama oleh Ahok ini memang telah menyedot energi publik yang luar

biasa. Tidak hanya masyarakat Jakarta yang ikut hanyut dalam perdebatan kasus

penistaan agama, bahkan masyarakat di luar Jakarta dan di luar Indonesia tidak

melepaskan perhatiannya dari isu ini.

Sudah banyak juga yang menulis bahwa Ahok yang dikalahkan Anis-Sandiaga itu

karena kecerobohan ucapannya sendiri yang menista agama Islam yang dianut dan

diyakini kesuciannya oleh penduduk terbesar Indonesia. Karena itu memang betul Ahok

akhirnya dijatuhkan oleh legitimasinya sendiri yang merosot drastis.

Sebelum kasus penistaan agama muncul, kehidupan beragama dan berbangsa kita

tidak ada yang perlu dimasalahkan. Toleransi beragama berjalan aman meskipun ada

sedikit pelanggaran di sana-sini karena beberapa kesalahpahaman yang kemudian juga

bisa diselesaikan.
115

Kalau terjadi minoritas Tionghoa masih menjadi sasaran kebencian yang

diskriminatif, itu lebih karena faktor kesenjangan ekonomi yang terlalu tajam. Bukan

karena mereka berbeda agama dan etnis. Masalah itu sudah selesai. Etnis Tionghoa,

apalagi yang berbeda agama, sama dengan yang lainnya, di Indonesia ini memperoleh

keleluasaan untuk berkiprah di bidang politik dan pemerintahan secara adil. Tidak ada

lagi ketakutan di kalangan mereka. Karena itu, menjadi aneh kalau dalam kondisi

sekarang masih ada yang menulis dan mengatakan etnis Tionghoa merasa takut dan tidak

aman berada di Indonesia. Asumsi yang terlalu mengada-ada dan ada faktor niat ingin

membuat kekacauan agar tensi ketegangan terus memanas. Di situ lalu mereka bermain.

Kasus Ahok, sebenarnya tidak terlalu perlu disikapi secara provokatif. Bahkan

tidak akan menimbulkan ketegangan kalau saja sejak awal pidato Ahok di Pulau Seribu

itu cepat dinetralisir pemerintah. Tetapi yang terjadi tidak dikelola dengan baik malah

menunjukkan perkembangan yang terbalik, umat Islam justru dituduh-tuduh melakukan

politisasi kasus Ahok. Kemudian perkembangannya malah membuat perubahan yang luas

dalam kehidupan beragama dan berbangsa kita. Tuduhan politisasi kasus Ahok kepada

umat Islam itu telah merusak secara cepat tenun kebangsaan yang kuat dan sudah ada di

tengah masyarakat kita. Maka secara fakta di lapangan kasus Ahok itu telah merusak

kehidupan keber-agama-an dan keberagaman kita. Ternyata daya rusak dari ucapan Ahok

yang menodai agama Islam itu berkembang cukup parah.

Bahkan Aktivis Komite Indonesia Bangkit dan Gerakan Indonesia Bersih Adhie

M Massardi mengatakan, akibat Ahok, citra bangsa Indonesia di dunia internasional

menjadi negatif, seolah-olah bangsa Indonesia dikuasai fanatik agama. Citra miring ini

makin menguat setelah muncul pemberitaan kekalahan Ahok di Pilkada DKI dan
116

terbitnya vonis hakim kasus penistaan agama oleh Ahok dikait-kaitkan dengan aksi-aksi

menuntut penegakan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh umat Islam.

Kondisi saat ini muncul akibat kegagalan penegak hukum dalam menjalankan

tugasnya ketika menangani kasus perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Ahok.

Ada banyak indikasi pidana yang melibatkan Ahok tetapi didiamkan, baik oleh KPK,

Polri dan juga Kejaksaan Agung.

Lho, mengapa dengan KPK? Kata Adhie Massardi, memang KPK tidak mau

masuk ke ranah pidana untuk menggarap kasus-kasus korupsi di Balaikota yang diduga

melibatkan Ahok. Seperti kasus reklamasi, Transjakarta, Sumber waras, pembelian lahan

Cengkareng, dan trilunan rupiah dana nonbudgeter dari para pengembang. Hampir semua

kasus besar yang ditangani KPK di luar operasi tangkap tangan berasal dari hasil audit

BPK. Tapi giliran audit BPK melibatkan Ahok, kenapa KPK menolaknya?? Kalau saja

dari awal KPK masuk ke ranah ini dan tidak takut dengan a;asan dasar lebih

mementingkan kemaslahatan bangsa dan kelangsungan NKRI, pasti tidak akan muncul

penistaan agama dan kasus-kasus lainnya.

Lalu, apa yang membuat KPK enggan menindaklanjuti dugaan kasus-kasus

korupsi itu? Selama ini ada anggapan salah di benak KPK terhadap Ahok. Ahok dianggap

bersih hanya karena aparat penegak hukum tidak pernah menjeratnya. Ini anggapan salah.

Padahal kan bersih dari korupsi itu karena tidak melakukan, bukan karena tidak

ditangkap. Jadi, kata Adhie, KPK punya andil besar merusak citra bangsa di dunia

internasional. Sayangnya, hal yang sama juga dipertontonkan Polri. Kalau saja Polri

betul-betul menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum, mestinya mereka

memproses kasus Ahok tanpa harus menunggu aksi-aksi besar dari umat Islam. Tapi
117

ternyata kan yang terlihat tidak begitu. Muncul kesan kuat polisi malah membiarkan dan

melindungi Ahok. Begitu juga dengan Kejaksaan Agung. Korps Adhyaksa di bawah

kendali HM Prasetyo tidak berani menahan Ahok selama proses persidangan kasus

penistaan agama berlangsung, sebagaimana dilakukan terhadap terduga penista agama

lainnya. Belakangan, jaksa malah membuat kontroversi dengan membuat tuntutan ringan.

Inilah yang menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia. Perlu dicatat bahwa umat Islam

yang merespon persoalan Ahok adalah umat Islam yang biasa-biasa saja, rakyat Indonesia

yang mayoritas umat Islam. Mereka bersikap reaktif terhadap kasus Ahok karena dalam

banyak kasus dugaan tindak pidana oleh Ahok, selalu lolos, mulai dari pelanggaran

HAM, penggusuran dan lain-lainnya. (http://www.rmol.co/read/2017/05/17-

/291685/Adhie-M-Massardi:-Kondisi-Saat-Ini-Muncul-Akibat-Kegagalan-Penegak-

Hukum-Menangani-Kasus-Ahok-)

Masyarakat luas mengharapkan, hukuman 2 tahun Ahok itu menjadi peringatan

keras bagi siapa saja dan kelompok manapun, terutama penyelenggara negaranya, untuk

selalu berhati-hati dengan ucapannya. Cukup berhenti di Ahok saja.

Selain itu, yang tidak kalah mengkhawatirkannya bagi kerukunan kehidupan

keberagamaan kita adalah merebaknya penyebaran tuduhan kebencian terhadap Islam.

Semenjak kasus Ahok mencuat, semakin sering terdengar caci maki munculnya

kebangkitan gerakan massa Islam yang dipimpin kelompok Islam konservatif yang akan

menghancurkan NKRI. Yang harus difahami, Islam dan umat Islamnya adalah tetap umat

Islam yang satu yang selama ini dikenal ramah dan moderat. Justru karena menghadapi

Ahok, maka ukhuwwah islamiyah di antara umat Islam menjadi lebih erat tanpa adanya

sekat-sekat.
118

Tidak benar sama sekali di dalam gerakan massa Islam muncul sekelompok umat

Islam yang dilabeli sebagai Islam konservatif dengan Habib Rizieq-nya yang begitu

dicurigai sebagai Islam yang berhaluan keras dan menjalankan hukum-hukum Islam

dengan kaku. Tuduhan itu sangat mendegradasi kesatuan dan persatuan umat Islam, dan

memang tuduhan yang bermuatan politis untuk memecah belah.

Ada opini menarik menyangkut tuduhan-tuduhan yang mengada-ada seperti itu.

Seorang penulis, Rabitul Umam, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, menulis opini di rmol.co, 13 Mei 2017 berjudul: Ahok Tumbal Citra Istana

mengatakan, setelah Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan hukuman 2 tahun

penjara untuk Ahok, banyak pihak yang turut merasakan kekecewaan. Beberapa kalangan

yang tidak menerima putusan pengadilan mengatakan bahwa Ahok adalah korban dari

kriminalisasi, desakan gerakan anti keberagaman, dan intervensi politik. Sorotan

pendukung Ahok mayoritas ditujukan kepada kelompok Habib Rizieq yang dituduh

sebagai penyebab dihukumnya Ahok.

Bagi Rabitul Umam, tuduhan tersebut terlalu prematur dan mencederai nalar

logika sehat. Pasalnya, siapa sih Habib Rizieq itu? Dia seorang warga sipil biasa yang

tidak mempunyai kekuatan politik struktural. Dia bukan pemimpin sebuah partai politik,

bukan seorang pejabat kuat, bukan seorang politisi senior yang berpengaruh, bukan pula

seorang penguasa kaya raya yang dapat "membeli" hukum.

Adapun dalam hal ia berperan mempengaruhi opini publik bahwa Ahok telah

menista agama dan menuntut secara terbuka agar pengadilan menghukum terdakwa

Ahok, iya. Namun sekali lagi, siapalah seorang Habib Rizieq dalam kancah perpolitikan

struktural nasional? Dia hanyalah warga sipil biasa yang sedang memimpin gelombang
119

demonstrasi. Tak lebih. Dan sebesar apapun aksi demonstrasi tidak akan dapat

mempengaruhi proses hukum.

Dalam kasus terpidana Ahok ini, Rabitul Umam mempunyai empat analisa opini,

mengapa Ahok sampai dijatuhi hukuman 2 tahun penjara.

Pertama, Hakim dengan segala independensinya telah mengkaji secara matang

dan kemudian secara obyektif mengambil keputusan bahwa terdakwa Ahok bersalah.

Kedua, Hakim terpengaruh oleh desakan people power yang menuntut agar

terdakwa Ahok dihukum.

Ketiga, ada intervensi politik dari partai atau politisi kubu lawan Ahok agar hakim

menjatuhkan hukuman bersalah kepada terdakwa Ahok.

Dan keempat, faktor pertimbangan politis dari internal lingkaran Ahok sendiri. Di

mana pihak Istana dan PDIP sedang melakukan politik cuci tangan dengan

mengorbankan seorang Ahok.

Dari keempat analisa itu, Rabitul Umam memandang yang mendekati kebenaran

logika sehat adalah analisa yang pertama dan keempat. Sedangkan analisa kedua dan

ketiga dirasa jauh untuk diterima logika. Mari kita bersama mencoba membedah satu

persatu keempat analisa itu dengan akal sehat dan jernih.

Kita mulai dari membedah analisa kedua, hakim terpengaruh oleh tekanan people

power. Analisa ini dirasa nyaris tidak mungkin terjadi, pasalnya Hakim Dwiarso Budi

Setiarto yang memimpin selama jalannya sidang kasus Ahok adalah seorang hakim yang

mempunyai rekam jejak cukup baik dan terkenal integritasnya. Jadi, bila ada yang

mengatakan bahwa majelis hakim menjatuhkan hukuman tahanan 2 tahun penjara pada

Ahok karena ada tekanan publik, itu mustahil. Karena sangat tidak mungkin seorang
120

hakim yang selama bertahun-tahun membangun integritas pribadinya rela mengorbankan

integritasnya hanya untuk kasus Ahok yang sesaat. Di samping juga sebagaimana telah

dijelaskan di depan, pihak yang getol mendesak agar Ahok dijatuhi hukuman yaitu pihak

Habib Rizieq, dia bukanlah seorang yang mempunyai kekuatan politik struktural apapun.

Kemudian analisa yang ketiga, intervensi politik dari partai atau politisi kubu

lawan Ahok. Analisa ini juga tidak rasional. Mengingat partai politik yang berseberangan

dengan kubu Ahok sangat minoritas, hanya Gerindra, PKS, dan PAN, kekuatan dari tiga

parpol ini terlalu minor bila dibandingkan kekuatan parpol yang membackup Ahok.

Apalagi ketiga parpol yang berseberangan dengan Ahok itu saat ini berada di luar Istana

dan tidak memegang otoritas politik, baik di eksekutif, legislatif, apalagi yudikatif.

Menurut Rabitul Umam, itu sebuah analisa bagus. Yang cukup rasional dan dapat

diterima akal sehat adalah analisa pertama, yaitu vonis yang dijatuhkan hakim terhadap

terpidana Ahok adalah murni keputusan hakim secara obyektif dan profesional.

Sedangkan analisa yang mendekati kebenaran logis dan akal sehat adalah analisa

keempat, pihak Istana dan koalisi partai di bawah pimpinan PDIP telah merelakan Ahok

untuk dihukum. Hal ini dikarenakan Ahok telah dipandang sebagai kartu mati yang

kurang "berguna" secara politik.

Sebagaimana umum ketahui bahwa Ahok adalah calon gubernur DKI Jakarta

"utusan" Istana yang dianggap sebagai calon kuat untuk memenangkan pertarungan

Pilgub Jakarta. Namun pasca kasus penistaan Agama, elektabilitas Ahok berangsur

menurun bahkan juga berimbas menurunkan citra Jokowi dan PDIP. Puncaknya pasca

kekalahan telak Ahok di pertarungan Pilgub DKI Jakarta citra Jokowi dan PDIP semakin

merosot secara nasional.


121

Kekalahan Ahok di Pilgub DKI Jakarta sekaligus menjadi alarm bahaya bagi

Jokowi dan PDIP yang masih menginginkan kemenangan di Pilpres 2019. Maka untuk

menjaga agar elektabilitas tidak terus merosot turun dilakukanlah "politik cuci-tangan"

dengan membiarkan Ahok "sendirian" menghadapi "babak final" pengadilan.

Dengan dijatuhkannya vonis hukuman 2 tahun penjara kepada Ahok, maka secara

bersamaan Jokowi dan PDIP mendapat keuntungan citra atau klaim politik sebagai pihak

yang menegakkan hukum secara adil dan tidak memihak.

Padahal, bila seandainya Ahok menang dalam Pilgub DKI Jakarta dimungkinkan

akan ada intervensi Istana untuk membebaskan Ahok atau minimal hakim memutuskan

hukuman sesuai dengan tuntutan Jaksa, yaitu 2 tahun masa percobaan dan 1 tahun

kurungan. Karena seandainya Ahok menang, Ahok masih dipandang sebagai seorang

yang mempunyai power politik massa yang bisa dipakai PDIP dalam Pilpres 2019.

Namun saat Ahok kalah, kata Rabitul Umam, Ahok telah menjadi "benalu" politik

bagi Jokowi dan PDIP. Akhirnya sekalian saja dia dikorbankan sebagai tumbal politik

untuk menyelamatkan dan mengembalikan citra Istana dan Partainya. (http://rmol.co/-

read/2017/05/13/291228/Ahok-Tumbal-Citra-Istana-)

Itulah yang terjadi menurut analisa ilmiahnya Rabitul Umam. Dan yang ingin

dikatakannya adalah, semua itu adalah karena akibat kecerobohan mulut Ahok sendiri

dan akhirnya ia menjadi benalu politik Jokowi dan PDIP (baca: Megawati).

Tapi yang pasti, terjadinya kasus penodaan agama yang oleh hakim dinyatakan

ada unsur kesengajaannya, itulah yang merunyamkan suasana kehidupan kebangsaan kita

sehingga memunculkan dampak yang begitu dalam dan luas kepada publik. Maka

sesungguhnyalah, terjadinya segala hingar bingar yang menguras energi selama berbulan-
122

bulan belakangan ini, sepenuhnya disebabkan oleh kecerobohan ucapan Ahok. Dan itu

fakta yang tak terbantahkan. Karenanya jangan ada yang kemudian membalik-balik

masalah lalu menuduh umat Islam memecah belah kebangsaan, anti Pancasila, anti NKRI

dan sebagainya. Hentikan itu semua!

Kini yang terjadi di lapangan adalah, menangnya Anies-Sandi menjadi Gubernur

dan wakil Gubernur Jakarta dan divonisnya Ahok, telah mengubah drastis suasana yang

panas dan tegang selama di tangan Ahok, berbalik menjadi mereda, aman dan damai.

Baik di hati masyarakat Jakarta juga umat Islam seluruh Indonesia. Kehidupan

kebangsaan kita kembali damai tanpa ada ketegangan. Dan umat Islam bersama

komponen bangsa lainnya sesuai dengan porsi masing-masing akan memberi support

penuh kepada Anies-Sandi menjalankan agenda-agendanya bagi kepentingan semua

warga Jakarta tanpa kecuali. Sementara tenun kebangsaan yang telah dikoyak dan

dirobek Ahok akan dijahit rapi kembali.

Oleh karena itu menjadi salah kaprah ketika ada yang masih mengatakan ia kini

terpaksa terus meratapi hilangnya nilai-nilai Pancasila di dalam pemahaman, kesadaran,

dan praktik politik dalam kehidupan berbangsa masyarakat Indonesia. Tapi ternyata ia

bukan meratapi hilangnya nilai-nilai Pancasila, ia justru meratapi hilangnya Ahok di

pentas politik Indonesia. Mungkin maksudnya, di alam berpikirnya, kini sudah terjadi:

Indonesia Tanpa Ahok. Karena baginya, Ahok adalah tanda bagi hilangnya nilai-nilai

Pancasila itu. Dikatakan, kini rakyat Jakarta juga masyarakat Indonesia melihat Ahok

tidak lagi sebagai saudara sebangsa yang memiliki hak sama untuk menjadi pemimpin di

negeri ini. Ini terjadi karena rakyat Indonesia masih mendewakan politik identitas

berbasis agama. Malah mereka mengatakan, bagi siapa yang masih mendewakan politik
123

identitasnya itu sebaiknya keluar saja dari negara ini, dan dirikanlah negara agama

sendiri! Tentu saja pengusiran semacam ini menunjukkan identitasnya sendiri sebagai

orang Indonesia yang lupa akan sejarah bangsanya sendiri. Karena ternyata mereka tidak

tahu atau sengaja tidak mau tahu, bahwa yang menyusun dan menggali Pancasila adalah

tokoh Islam yang kebetulan menjadi anggota Muhammadiyah yang berwasiat kalau

meninggal nanti supaya dipayungi dengan bendera Muhammadiyah. Siapa dia? Dia

adalah Bung Karno. Ini sejarah dan tak bermaksud mendewakan orang Islam dan

Muhammadiyah. Hanya pernyataan pengusiran itu yang tidak nyambung sama sekali

kalau cuma dengan tuduhan karena membenci Ahok. Padahal sudah jelas berkali-kali

dikatakan, Ahok yang etnis Cina dan nonmuslim itu malah pernah dipilih oleh lebih dari

50% umat Islam di Jakarta ketika mendampingi Jokowi sebagai wakil Gubernur. Jadi,

mau dibuktikan dengan alasan apapun, umat telah menunjukkan sikapnya bahwa, tidak

ada masalah dengan etnis Cina dan nonmuslimnya Ahok. Umat Islam fine-fine saja. Tak

ada masalah. Sampai kemudian masalah ditimbulkan oleh Ahok sendiri ketika ia

menghina Alquran dan ulama. Ketika umat Islam bereaksi, Ahok malah menantang-

nantang bahwa ia tidak bersalah dalam ucapannya di pulau Seribu itu. Di mata

masyarakat umat Islam Ahok telah berubah menjadi sosok Gubernur yang arogan dan

emosional gampang marah tak terkendali, tak bisa menjaga sikapnya dan terlebih

mulutnya. Terutama ketika ia keras ia menghadapi rakyat kecil yang tidak berdaya lagi

akibat berbagai penggusuran yang ia lakukan tanpa lebih dulu mau bermusyawarah.

Andai saja Ahok cepat meminta maaf dan bersikap santun tidak malah arogan dan

menantang-nantang, maka semuanya sudah selesai saat itu. Karena umat Islam dan begitu

pula yang namanya watak orang Indonesia, sangatlah mudah untuk memberi maaf. Dan
124

itu sudah dicontohkan oleh KH Maruf Amin yang dengan mudahnya memberi maaf

kepada Ahok yang baru saja menghujat dan memarahi Kyai sepuh ini di persidangan.

Padahal saat itu, umat Islam tersakiti lagi oleh sikap kurangajarnya Ahok. Dimana itu

semua menunjukkan bahwa Ahok sebagai pemimpin tidak memahami psikologi perasaan

bangsanya sendiri yang 90% sangat menghormati kyainya apalagi sudah sesepuh Kyai

Maruf itu. Jadi jujur sajalah, siapa sebenarnya yang memantik api permasalahan

kemudian menjadi besar membakar rumah kebangsaan kita? Pertanyaannya, lantas siapa

sebenarnya yang sudah meninggalkan nilai-nilai luhur dari para pendiri negara, perumus

Pancasila dan UUD 1945? Ahok dan Ahokersnya, atau umat Islam? Lalu, siapa di sini

yang irasional dan rasional? Sekali lagi, Umat Islam dan juga bangsa ini sama sekali

tidak membenci Ahok. Cuma membenci arogansinya yang kebablasan dan sikap tidak

ramahnya kepada rakyat kecilyang di mata rakyat kecil seperti horrorjustru di saat

yang sama mereka kehilangan rumahnya, mata pencahariannya dan sekaligus harga

dirinya sebagai manusia yang memiliki hak hidup di negerinya sendiri. Di sinilah

keberpihakan Ahok pada rakyat kecil mendekati angka nol.

Karena itu, menjadi amat tidak relevan ketika kemudian permasalahannya

dibawa-bawa melebar ke isu-isu anti SARA. Dikatakan umat Islam membenci Ahok

karena ia Cina dan nonmuslim. Lalu menuduh umat Islam sebagai Islam konservatif yang

berhaluan keras, berbahaya bagi keindonesiaan kita sebagai bangsa yang Pancasilais. Itu

semua adalah tuduhan teramat vulgar dan merupakan bentuk pengingkaran terbesar

kepada peran umat Islam sebagai komponen utama dan terbesar bersama elemen

masyarakat lainnya yang telah mendirikan Indonesia ini. Tuduhan inilah yang justru
125

membuat tensi ketegangan sesama anak bangsa terus memanas dan tidak bermanfaat

sama sekali bagi upaya bersama memajukan Indonesia yang adil dan sejahtera.

Umat Islam kini bertanya dan seharusnya bisa dijawab dengan jernih dan jujur.

Bagaimana para pemuja dan penyokong Ahok menjawab dan menyikapi peristiwa yang

terjadi di Minahasa (16 Mei 2017) dimana para Ahokers Minahasa mendeklarasikan

Gerakan Minahasa Merdeka mau melepaskan diri dari Indonesia, seiring gelombang

dari pendukung Ahok menolak vonis 2 tahun penjara kepada Ahok di beberapa kota. Aksi

ini muncul bersamaan merebaknya aksi bakar lilin di sejumlah daerah. Alasan pembenar

apa yang mau diajukan di sini?? Atau mengatakan bahwa itu cuma hoax?

Maka kini terbukti dengan fakta terang benderang, terungkaplah sudah bahwa

ternyata sesungguhnya merekalah para pendukung dan penyokong Ahok yang justru

terang-terangan mendeklarasikan untuk memisahkan diri dari NKRI.

Sekretaris Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Fahmi Salim,

menyayangkan gerakan separatis ini. Ia menduga ada korelasi kuat antara aksi bakar lilin

para pendukung Ahok dengan gerakan separatis dan makar di sejumlah daerah di

Indonesia.

"Kita cukup menyayangkan aksi seperti itu. Kan semua sudah sepakat untuk

menghormati keputusan sidang, lalu sebagian mereka terang-terangan mendeklarasikan

untuk memisahkan diri dari NKRI, kan bahaya," kata Fahmi dalam keterangan

tertulisnya, Rabu (17/5/2017).

Fahmi juga menyebut bahwa aksi tersebut telah mematahkan tuduhan makar dan

anti kebhinnekaan yang selama ini disematkan pada Aksi Bela Islam. Sebab, kata dia,
126

ternyata para pendukung Ahok-lah yang justru terang-terangan mendeklarasikan untuk

memisahkan diri dari NKRI.

"Mereka layak disebut pengkhianat bangsa. Apalagi, mereka meminta bantuan

internasional untuk menganulir keputusan sidang Ahok," pungkasnya. (http://politik.-

rmol.co/read/2017/05/17/291702/MUI-Sayangkan-Aksi-Bela-Ahok-Berujung-

Separatisme-).

Salim pun berharap, semua pihak dapat kembali pada kiprahnya masing-masing,

yaitu fokus membangun bangsa Indonesia untuk lebih baik dan jangan pernah lagi

terjebak pada jargon-jargon yang menyebutjika tidak membela Ahok berarti tidak adil,

tidak Pancasila. "Karena jargon tersebut menyesatkan dan harus segera diluruskan,"

pungkasnya.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol, Tito Karnavian secara tegas menyebut

Gerakan Minahasa Merdeka ini sebagai ancaman kepada keutuhan NKRI. Tito secara

khusus mengimbau kepada masyarakat untuk tidak lagi mempertentangkan masalah

primordialisme kesukuan dan keagamaan. (Ibid.)

Nah jelaslah sudah sekarang ini bagi masyarakat, siapa sebenarnya yang

mengagungkan kesukuan, primordialisme, pemecahbelah kebangsaan, mernghancurkan

NKRI? Selama ini tuduhan seperti itu ditimpakan secara membabi buta kepada kalangan

umat Islam. Barangkali yang terbaik bagi para Ahokers dan pendukungnya harus

mencabut tuduhan keji itu dan meminta maaf. Percayalah umat Islam itu pemaaf, kok.

Dan kalau sekarang Jakarta harus berubah dan kenyataannya harus terjadi

Jakarta Tanpa Ahok, ya anggap sajalah bahwa itu sebagai sebuah seleksi alam yang
127

sudah terjadi. Tak usah terlalu disesali. Yang penting, marilah kita bergandengan tangan

dengan semangat baru membangun Jakarta yang humanis tanpa horror.

Yakinlah, bahwa bangsa ini, terutama umat Islamnya, amat menghargai dan

bahkan sangat hormat terhadap tokoh-tokoh semacam Yap Thiam Hien si pendekar

hukum, Kwik Kian Gie sang ekonom, dan masih banyak lagi nama-nama lainnya.

Mengapa? Karena mereka adalah orang-orang yang amat tulus dan keberpihakannya

kepada rakyat kecil begitu nyata. Ya. Mereka semua adalah kita!

Percayalah pula, tanpa Ahok, bangsa ini akan tetap selamanya sebagai bangsa

majemuk yang berbasis Bhinneka Tunggal Ika, berbentuk negara Pancasila dengan umat

Islamnya yang santun dan ramah. Islam yang Indonesia .., bukan yang lain! ***

BAB IV
MERAJUT KEMBALI NEGERI MUKJIZAT
(#saveIndonesia)

"Jangan saling menghujat karena kita bersaudara, jangan saling


jelekkan karena kita bersaudara, jangan saling fitnah karena kita
bersaudara, jangan saling menolak karena kita bersaudara, jangan
saling mendemo, habis energi kita untuk hal-hal seperti itu, karena
128

kita bersaudara," --Jokowi

MESKIPUN agak terlambat setelah semuanya berkembang membahayakan di

masyarakat, akhirnya Presiden Jokowi mengadakan pertemuan dengan delapan tokoh

lintas agama di Istana Merdeka, 16 Mei 2017 untuk meredam gejala perpecahan bangsa

berdasarkan agama. Jokowi pun memberi pernyataan agar tidak ada lagi saling menghujat

atau berbagai gesekan. "Jika dalam beberapa waktu terakhir ada gesekan, mulai saat ini

saya minta hal-hal tersebut segera dihentikan".

Jokowi dan para tokoh lintas agama tidak ingin ada perpecahan bangsa yang

berdasarkan agama. Dia berharap semua pihak sama-sama menjaga persatuan. Kata

Jokowi, "Jangan saling menghujat karena kita bersaudara, jangan saling jelekkan karena

kita bersaudara, jangan saling fitnah karena kita bersaudara, jangan saling menolak

karena kita bersaudara, jangan saling mendemo, habis energi kita untuk hal-hal seperti

itu, karena kita bersaudara". Ya, Kita adalah saudara sebangsa dan setanah air," ungkap

Jokowi dari hatinya yang tulus. (news.detik.com)

Jokowi telah menabuh genderang di depan tokoh lintas agama yang tegas-tegas

memperingatkan seluruh masyarakat bahwa kita berada dalam kondisi cukup berbahaya

yang bisa memecah persatuan kita sebagai bangsa. Ia minta semua gesekan dihentikan.

Masyarakat memang sudah lama menunggu sikap tanggapnya Jokowi sebagai

Presiden untuk meredam semua gesekan yang sudah terjadi begitu massif di masyarakat.

Yang harus diakui bahwa itu semua terjadi karena tidak sigapnya sejak awal para penegak

hukum untuk cepat mengatasinya. Seperti kata Adhie M. Massardi, Aktivis Komite

Indonesia Bangkit dan Gerakan Indonesia Bersih, Kalau saja Polri betul-betul
129

menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum, mestinya mereka memproses

kasus Ahok tanpa harus menunggu aksi-aksi besar dari umat Islam. Tapi ternyata kan

yang terlihat tidak begitu. Muncul kesan kuat polisi malah membiarkan dan melindungi

Ahok. Begitu juga dengan Kejaksaan Agung. Korps Adhyaksa di bawah kendali HM

Prasetyo tidak berani menahan Ahok selama proses persidangan kasus penistaan agama

berlangsung, sebagaimana dilakukan terhadap terduga penista agama lainnya.

Belakangan, jaksa malah membuat kontroversi dengan membuat tuntutan ringan. Inilah

yang menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia, kata Adhie Massardi.

Kita berharap, dengan seruan Presiden di atas, tak akan terjadi lagi model-model

penanganan penegak hukum kita seperti yang dikatakan Adhie Massardi. Tinggalkan

cara-cara seperti itu dan kembalilah bertindak dengan penuh keadilan tanpa pandang

bulu. Terlalu murah kalau negeri ini dipertaruhkan hanya untuk sosok sekelas Ahok.

Sangat tidak relevan bagi tujuan mulia mengagungkan NKRI.

Pahami, negara kita adalah Negeri Mukjizat, negeri dengan bangsanya yang besar

yang mampu menyatukan berbagai perbedaan (suku, ras, dan agama). Dan sebuah negara

yang begitu dipuji-puji serta dikagumi bangsa-bangsa di dunia. Mereka mengatakan

dengan melakukan perbandingan, di belahan bumi yang nun jauh di sana, di atas satu

hamparan tanah yang luas, hidup satu suku bangsa yang berjumlah ratusan juta jiwa,

bahkan mereka berbicara dalam bahasa yang sama dan penganut agama Samawi. Namun,

mereka sering terlibat konflik dan perang. Akibatnya apa? Mereka terpisah dan tercerai

berai menjadi puluhan negara. Itulah tanah Arab, yang sekarang terbelah menjadi banyak

negara dan terus bergolak. Hal ini berbeda dengan Indonesia, yang terdiri lebih ribuan

pulau, ratusan suku bangsa, dan bahasa dengan latar belakang adat dan budaya serta
130

agama yang berbeda. Tetapi mampu bersatu dalam semangat kebersatuan yang utuh.

Itulah Negeri Mukjizat (the miracle nation). Mengapa negeri mukjizat? Ya, karena di

sini perbedaan dan keberagaman yang bagi bangsa lain menjadi sumber perpecahan,

ternyata bagi bangsa kita adalah perekat persatuan.

Secara eksistensial dan natural, bangsa Indonesia adalah nation multikultural.

Perbedaan bukan sesuatu yang asing bagi rakyat Indonesia karena keragaman sudah

melekat erat dan dianggap sebagai kodrat keberadaan bangsa. Selama puluhan tahun

bangsa Indonesia merawat kodrat keragaman dengan mengembangkan harmoni,

toleransi, dan saling menghargai. Pluralitas bukan menjadi garis pembatas identitas,

melainkan justru menjadi khazanah mulia bangsa. Relasi itu makin cair karena garis

kesetiaan afiliasi primordial sudah silang-menyilang sehingga unit sosial terkecil,

keluarga, dapat terdiri atas berbagai unsur primordial yang tumpang tindih, garis agama,

suku, ras, dan lain-lain.

Kebinekatunggalikaan sudah dirasakan dalam keluarga. Maka, tidak begitu

mengherankan kalau dunia pun tidak hanya terpesona, tetapi juga ternganga dengan

praktik kebangsaan di Indonesia. Mereka juga sangat mengagumi dan menghargai sikap

moderat Islam di Indonesia sehingga selalu dijadikan contoh bagi negara-negara lain

yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.

Keharmonisan kehidupan bangsa tidak jatuh dari langit, tetapi merupakan hasil

perjuangan berdarah-darah dan kerja amat keras dan saling berkorban untuk mencari titik

temu dari para pendiri bangsa yang terdiri dari berbagai aliran, agama, suku, ras, dan ciri-

ciri identitas eksklusif lainnya. Mereka bahu-membahu melakukan gerakan melawan

penjajah dengan merajut semua perbedaan dan solidaritas primordial menjadi suatu
131

kekuatan dahsyat sehingga dapat melawan kebengisan kolonial. Proses rakyat Indonesia

mengembangkan kebangsaan dimulai dari dinamika dan dialektika pergerakan rakyat

membangun bangsa, membentuk negara berdasarkan nilai-nilai inklusif dalam Pancasila,

konstitusi yang menegaskan bentuk negara adalah republik serta kesetaraan semua warga

bangsa di depan hukum.

Penelusuran sejarah, antara lain dalam buku Menjadi Indonesia oleh Parakitri

Simbolon (Penerbit Buku Kompas dan Grasindo, 1995), bahwa rakyat Indonesia selama

ratusan tahun dijajah sampai Jepang menyerah tahun 1945, tidak berpeluang membangun

tradisi pemerintahan yang bertanggung jawab. Praktik pengelolaan kekuasaan sejak

kemerdekaan hingga sekarang ini selalu bersifat uji coba; narasi besarnya adalah

Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan kini Demokrasi Pascareformasi.

Pilkada DKI Jakarta yang keras dan kumuh karena polusi ujaran kedengkian

SARA, (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan saling hujat, telah usai, tetapi

tampaknya rasa berbeda bernuansa SARA antarwarga masih akan berlanjut. Putusan

penjara dua tahun atas Basuki Tjahaja Purnama oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan

langsung masuk tahanan dalam kasus dugaan penodaan agama dianggap oleh sebagian

masyarakat Indonesia dan dunia tidak adil.

Gerakan mengirim bunga dan menyalakan lilin sebagai manifestasi pengakuan

heroisme Ahok yang dianggap para Ahokersnya sudah berjuang habis-habisan

menyejahterakan warga Jakartameski faktanya terlalu banyak orang miskin yang

terlindas penggusuranberlanjut ucapan duka atas ketidakadilan. Bola salju pengiriman

bunga dan menyalakan lilin tampaknya tidak hanya berkenaan dengan nasib Ahok, tetapi
132

juga gerakan dan simbol menyelamatkan ke-Indonesia-an dari ancaman serius politik

sektarian seperti terjadi di Minahasa dengan Gerakan Minahasa Merdeka!

Memang bangsa kita punya pengalaman yang hampir menghancurkan NKRI

akibat ketidakadilan, ketimpangan antarwilayah, kesenjangan ekonomi yang melahirkan

gerakan reformasi 1998. Namun, kita patut bersyukur tidak sampai menggoyahkan sendi-

sendi dan pilar kehidupan bangsa dan negara. Mengapa tak sampai tergoyahkan? Selain

rahmat dan keadilan Tuhan Allah SWT yang diberikan kepada bangsa ini, juga adalah

karena kita memiliki ikatan kebangsaan yang kuat. Dengan segala keragamannya,

Indonesia memiliki modal spiritual, kultural, sosial, dan kesejarahan untuk bisa bersatu

seperti dilukiskan secara tepat dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Sejarah bangsa kita mengajarkan, keberagaman tidak mesti mengarah pada

perpecahan dan permusuhan, tapi sebaliknya, bisa melahirkan kekuatan persatuan dan

peradaban. Asalkan kita masih berpegang teguh pada semangat dasar dan karakter yang

menghidupi bangsa ini, yakni gotong-royong. Seperti dikemukakan oleh Bung Karno,

Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama,

perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat

semua buat kebahagiaan semua.

Dengan kata lain, gotongroyong memijarkan semangat kebersamaan, kerja sama,

dan silaturahmi, yang tidak mengenal sekat-sekat perbedaan pandangan politik, ideologi,

maupun agama, serta tidak pula dibatasi oleh keberagaman latar belakang suku, adat, dan

budaya maupun perbedaan generasi. Semangat gotongroyong juga berarti semangat

menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok, suku,

agama, maupun aliran politik.


133

Bagi Indonesia, menyandang sebutan sebagai Negeri Mukjizat, menuntut kita

semua sebagai anak bangsa terus menyiapkan diri untuk munculnya berbagai persoalan

yang tiba-tiba hadir di hadapan kita. Kita harus selalu siap menghadapinya karena kita

sudah punya cara-cara untuk mengatasinya. Karena kita bangsa tangguh.

Negara-bangsa bukan sekadar imajinasi, melainkan harus hadir dalam kenyataan

hidup setiap anak bangsa. Kita mengapresiasi, selama satu dekade setelah reformasi,

sudah cukup banyak kemajuan yang dicapai. Kendati demikian, kita tentu tidak boleh

menutup mata atas berbagai persoalan serius yang sedang dihadapi bangsa dewasa ini.

Yang paling menonjol adalah masioh adanya kesenjangan yang tajam antara yang kaya

dan miskin.

Dalam konteks itulah, untuk mengatasi kesenjangan, ke depan kita memerlukan

penguatan demokrasi agar demokrasi yang sekarang sedang kita bangun dan terus kita

matangkan bersama, tidak terjebak hanya pada aspek-aspek prosedural. Kita butuh

demokrasi yang substantif yang fokusnya adalah kesejahteraan, keadilan, dan penegakan

hukum tanpa pandang bulu. Melalui demokrasi yang substantif inilah, Nusantara yang

luas ini bisa kita rajut dalam bingkai kebersamaan. Inilah yang menjadi impian seluruh

anak bangsa ini agar Negeri Mukjizat-nya ini terus mengalami kemajuannya dan menjadi

sebuah negara yang kuat dan membahagiakan bagi seluruh warganya dengan nuansa

penuh keadilan.

Indonesia dengan jumlah penduduknya sekitar 250 juta lebih, adalah negeri yang

bukan berdasar agama tapi juga bukan negeri sekuler. Islam adalah agama yang terbesar

dianut oleh warganya, sekitar 80% lebih dengan demikian ia adalah muslim terbesar di

dunia. Sayangnya lebih dari separuh mereka masih berada di garis kemiskinan dengan
134

tingkat pendidikan yang rendah. Tentu saja ini menjadi tugas bersama bangsa ini untuk

meningkatkan kualitas hidupnya.

Ketika kita membaca pernyataan Lucretius kita bisa miris. Kata Lucretius :

Betapa hebatnya agama sampai bisa mendorong orang melakukan perbuatan jahat! Di

situ, ia ingin menyampaikan kritik kepada siapa saja para pemeluk agama yang ucapan,

sikap, dan perilakunya menyakiti orang lain atau suka berbuat jahat kepadanya, yang

perbuatannya ini bertameng agama.

Oleh Abdul Wahid, Wakil Direktur I Bidang Akademik Program Pascasarjana

Universitas Islam Malang; Pengurus AP-HTN/HAN dalam opininya, Kebinekaan yang

Terjagal di KOMPAS, 9 Mei 2017, dikatakan, Lucretius sejatinya menunjukkan bahwa

agama tidak akan mungkin memerintahkan pemeluknya berbuat jahat, menyakiti orang

lain, atau memproduksi perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan kepentingan

kemanusiaan. Kepentingan kemanusiaan itu sangat banyak dan beragam. Hidup

berdampingan dengan damai, saling melindungi, saling toleransi, saling membebaskan

kesulitan, dan tidak saling mengancam adalah beberapa di antara keragaman hajat

kemanusiaan. Keragaman hajat kemanusiaan itu disebut juga sebagai hak menjalani

hidup dalam kebinekaan (keragaman). Dalam hidup demikian ini, meminjam ruh

pemikiran Lucretius, idealitasnya sangat tidak perlu seseorang atau sekelompok orang

memaksakan kehendak, paham, atau iman yang diyakininya sebagai kebenaran.

Jika tetap memaksakan paham dan iman kepada orang lain, kata Abdul Wahid,

hajat eksklusif teologisnya ini jadi teror yang jahat untuk kebinekaan. Setiap orang

punya jalan atau thariqah-nya masing-masing dalam mengonstruksi dan mengembangkan

kebenaran paham dan imannya.


135

Sayangnya, sering kali kita dipertemukan dengan kondisi paradoksal. Seseorang

atau sekelompok orang memosisikan diri seolah-olah menjadi instrumen kebenaran,

yang sekaligus karena posisinya demikian, dirinya dijerumuskan menjadi predator yang

berhak mencampuri hingga menjagal hajat asasi kemanusiaan yang bernama kebinekaan.

Bagi Wahid, diakuinya belakangan ini makin marak kasus yang mengancam

kebinekaan atau keberagaman di negeri ini. Ada ikrar kekhilafahan, ada ikrar anti-

Pancasila, dan masih sering muncul berbagai aktivitas yang secara langsung atau tidak

menolak atau memusuhi keberadaan pemeluk agama atau etnis lain. Kasus-kasus itu jelas

mengindikasikan kebinekaan di negeri inisekarang atau masa mendatangbenar-benar

terancam terjagal apabila praktik semacam ini tidak mendapat perhatian serius dari

seluruh elemen masyarakat.

Menyerahkan semata kepada negara untuk melarangnya tidak akan mempan.

Pasalnya, negara sudah terjebak dalam politik peliberalisasian reformasi dan penggunaan

hak kebebasan bersuara, berekspresi, memilih, dan berorganisasi sesuai keyakinan atau

agama masing-masing. (http://budisansblog.blogspot.co.id/)

Pernyataan yang disampaikan Abdul Wahid benar, bahwa makin marak saja

kasus yang mengancam kebinekaan atau keberagaman di negeri ini. Dan untuk

mengatasinya tidak lagi bisa cuma diserahkan kepada negara.

Harus ditegaskan, Pancasila itu ideologi harga mati. Kita semua sepakat. Kalau

Pancasila sudah menjadi harga mati, maka konsekuensinya semua orang berkewajiban

menjaganya supaya ideologi lain tidak hidup dan berkembang dalam lingkungannya. Jadi

jangan sedikitpun untuk menoleransi atau meliberalisasikan doktrin yang berlawanan


136

dengan kebinekaan. Harus dipahamkan bahwa orang harus memberikan penghormatan

pada keberagaman atau kebinekaan itu.

Ada salah satu contoh penghormatan kebinekaan istimewa dilakukan Khalifah

Umar bin Khathab. Semasa memimpin, Umarmemberikan kepada penduduk Elia

(Jerusalem/Al-Quds) keamanan kepada komunitas Nasrani di Elia untuk jiwa mereka,

harta kekayaan mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib dan semua perangkat agama

mereka. Gereja-gereja mereka tidak boleh diduduki siapa pun, tidak boleh dirobohkan

atau dirusak, kekayaannya dan semua hak milik gereja mereka dilindungi, mereka tidak

boleh dipaksa dalam agama, dan tidak boleh ditekan.

Umar memberikan pelajaran berharga bahwa di tengah pluralitas atau kebinekaan,

setiap pemeluk agama yang berbeda berkewajiban menegakkan kebinekaan, dan tidak

diperbolehkan melakukan pemaksaan kehendak, apalagi sampai menyebar teror ideologis

ataupun fisik.

Kalau sekarang ini pemerintahan Jokowi membubarkan ormas yang mengusung

semangat anti-Pancasila dan berbagai bentuk kekerasan, memang kewajiban negara untuk

mewujudkannya. Akan tetapi, tidak kalah asasinya, juga menjadi kewajiban negara untuk

terus menjaga nyala dan nyawa kebinekaan di negeri ini. Dan banyak cara bisa

dilakukan, dan itu adalah kerja yang terus menerus tak boleh berhenti.

Seruan Jokowi untuk menghentikan gesekan-gesekan berdasar agama, sebuah

seruan yang sudah benar meskipun agak terlambat. Namun demikian, sebagai warga yang

baik, juga sebagai umat Islam yang mencintai negerinya, wajib mendukung seruan itu.

Justru umat Islam harus berada di garda terdepan untuk kepentingan menjaga dan
137

memperkuat NKRI. Jangan lagi sampai terjadi seperti peristiwa di Minahasa, 16 Mei

2017 lalu adanya deklarasi Gerakan Minahasa Merdeka. Sangat berbahaya!

Terjadinya gesekan-gesekan, apapun penyebabnya, sebisa mungkin harus diredam

sampai tuntas jangan sampai terjadi lagi. Paling banyak gesekan terjadi karena amarah.

Jadi amarah inilah yang harus ditekan atau dirawat agar tidak membludak keluar yangt

berujung kerugian banyak pihak.

Andaikata energi nyinyir dan benci-bencian di media sosial karena Pilkada DKI

Jakarta bisa ditampung, entah akan seberapa besarnya. Barangkali yang bisa menandingi

adalah energi orang-orang yang jenuh, yang kerap bertanya kapan media sosial kembali

damai dan tenteram seperti sedia kala, atau mungkinkah sindir-sindiran, cela-mencela,

ikut selesai setelah Pilkada Jakarta usai? Atau justru tambah meningkat?

Harapan medsos kembali damai dan tentram sesungguhnya sudah ada sejak

putaran pertama lalu. Bahkan jika menilik ke belakang, sejak Pilpres 2014 suara-suara itu

sudah muncul. Mereka rindu status-status yang tak jauh dari kangen-kangenan,

merayakan perkawanan, saling sapa dengan teman lama, dan lain-lain. Kalaupun ada

ribut-ribut, palingan kontroversi soal perayaan Valentine atau polemik tentang seberapa

besar jasa Kartini dibanding pahlawan perempuan lain, yang memang rutin tiap tahun ada

saja yang mempersoalkan. Namun, medsos yang damai nan tenteram hingga hari ini tak

kunjung terwujud. Begitulah artikel yang ditulis Gunawan Mashar, jurnalis dan penulis,

dengan kolomnya berjudul: Merawat Amarah Usai Pilkada Jakarta, di detikNews,

Kamis, 27 April 2017.

Kata Gunawan Mashar, rasanya memang mustahil serang-serangan yang kian tak

terkendali ini akan berakhir bahkan setelah semua acara sudah berakhir. Terlalu banyak
138

kebencian yang harus dipadamkan, berjuta kepala yang harus didinginkan, dan

mengembalikan akal sehat orang-orang yang terlalu fanatik itu tak mudah. Jadi, agaknya,

episodenya masih panjang, melebihi belasan drama India dan Turki.

Sesungguhnya Pilkada Jakarta menjadi arena pertempuran baru bagi kedua

pendukung yang memang sudah "musuhan" sejak Pilpres. Pilkada Jakarta hanyalah

bagian dari sumbu petasan yang sudah dibakar sebelumnya. Meski ada sedikit pergeseran

komposisi tim, namun secara garis besar masih sama.

Polarisasi pendukung pun kian jelas. Energi kebencian dua kubu juga makin

dahsyat dan menggumpal karena dibungkus dengan sentimen agama dan ras. Lini masa

dipenuhi ujaran dan seruan kebencian, yang merembet hingga ke dunia nyata.

Pemilihan pada 15 Februari lalu ternyata juga tak menyudahi Pilkada Jakarta karena tak

ada satu pun calon yang memperoleh 50 persen lebih suara. Pilkada Jakarta kemudian

memasuki putaran kedua. Caci-mencaci pun memasuki masa perpanjangan waktu.

Dengan sedikit bercanda, Gunawan mengajak kita untuk berandai-andai sekali

lagi, anggaplah setelah pemilihan putaran kedua, tiba-tiba muncul kesadaran kolektif di

medsos untuk menerima hasil siapapun yang menang, tanpa disertai protes dan

kegaduhan. Mungkin semacam upaya untuk berhenti saling menyakiti, sekalipun hanya

berupa status yang nyinyir.

Kita akur lagi. Tak ada lagi yang merasa benar sendiri, tak ada lagi tautan-tautan

yang sarat provokasi yang di-share ke mana-mana, meme-meme yang memancing

kemarahan, tudingan yang tidak didasari bukti, dienyahkan jauh-jauh. Kawan dekat yang

di-unfriend, diundang kembali dan disapa. Bahkan bukan terkait Pilkada Jakarta saja,

termasuk tema-tema sensitif yang sering memunculkan kegaduhan di medsos kita sudahi
139

semua. Tapi, beneran kita bisa tahan tak mengumpat dan nyinyir-nyinyiran? Tak tergoda

untuk ikutan menyebar foto editan dan fitnah yang menyudutkan lawan kita?

Pelukis Amerika, Norman Rockwell menggambarkan nikmatnya nyinyir-

nyinyiran dan bergunjing dalam salah satu ilustrasi terbaiknya, The Gossips. Dari sumber

pertama merambat ke orang kedua, lalu menjalar ke tak terhingga. Sampai akhirnya

hinggap ke telinga si objek derita. Ekspresi para si 'pembawa kisah' bahagia tiada tara

seolah berbagi kabar dari surga. Yang mendengarnya terbuai bumbu cerita: tertawa-tawa

sambil mengisap cangklong dan cerutu.

Rockwell yang senang melukis kegiatan sepele yang dijumpainya

membuatnya di tahun 1946! Era ketika belum ada internet dan media sosial, yang bisa

mengirim berjuta prasangka hanya dengan sehela napas...eh, sekali bikin status,

maksudnya. Di dunia maya, gunjingan bukan lagi merambah ke mana-mana, tapi juga

melebar ke hal-hal tak terduga. Persaingan politik dan pilihan yang berbeda cukup jadi

alasan untuk menyerang privasi lawannya.

Gunawan juga sempat memberi nasihatnya, kalau menulis status membenci

jangan terlalu, begitu pula memuja. Sedang-sedang sajalah. Memeram amarah juga

jangan terlalu. Menghilangkan amarah sama sekali juga jangan. Perlu ada amarah yang

disisakan.

Begitulah. Seusai Pilkada Jakarta, amarah dan kebencian yang bisa meretakkan

pondasi kebhinekaan dan persatuan bangsa harus dipadamkan. Sementara, pada

ketidakadilan yang sistemik, korupsi yang menjarah uang negara, diskriminasi yang

masih ada di mana-mana, kemarahan harus tetap dirawat. (https://news.detik.com/kolom-

/d-3485540/merawat-amarah-usai-pilkada-jakarta)
140

Mengelola atau merawat amarah ternyata memang perlu untuk mengurang adanya

gesekan-gesekan di masyarakat. Memang semuanya dikarenakan faktor kemarahan.

Dengan kemampuan merawat kemarahan maka itu juga berarti kita memperkuat toleransi

termasuk pula toleransi beragama.

Barangkali untuk kepentingan itu, perlu semacam gerakan memperkuat toleransi

beragama, sehingga tidak terjadi gesekan-gesekan berdasar agama seperti yang

dikeluhkan Presiden. Selain bentuk Gerakan Minahasa Merdeka itu, kitapun pernah

mengalami kejadian kerusuhan Tanjung Balai dan juga kerusuhan Tolikara tahun lalu

yang telah mengentakkan kesadaran kita bahwa gambar kerukunan dan toleransi

beragama di negeri ini tidaklah seindah warna aslinya.

Lata Masdar Hilmy, Guru Besar Ilmu-ilmu Sosial dan Wakil Direktur

Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya di Kompas.com, 12 September 2016 dalam

opininya: Memperkuat Toleransi Beragama, ia mengatakan, ternyata masih banyak hal

yang harus dibenahi. Kondisi semacam ini ibarat memandang gunung: indah ketika

dilihat dari jauh, tetapi penuh jurang dan bebatuan mengerikan jika didekati. Lebih

berbahaya lagi, sebuah gunung berapi menyimpan magma panas yang sewaktu-waktu

dapat meletus dan menghancurkan kehidupan alam sekitar.

Terlepas dari berbagai pujian dunia terhadap tradisi toleransi beragama di negeri

ini, kerukunan dan toleransi beragama kita harus diakui berdiri di atas fondasi yang masih

rapuh. Hanya karena hasutan kecil melalui pesan berantai di media sosial, harmoni

sosial umat beragama mendadak terkoyak. Masyarakat kita seolah kehilangan kecerdasan

publik untuk memfilter dan menangkis segala isu provokatif.


141

Di tengah banjirnya informasi di media sosial, rasanya tiada pilihan lain bagi

masyarakat kita kecuali perlu memperkuat kecerdasan publik dalam rangka

merasionalisasi segala bentuk provokasi agar konflik kerusuhan bernuansa suku, agama,

ras, dan antar-golongan (SARA) tidak mudah terjadi. Barangkali inilah tantangan terberat

masyarakat kita di tengah era digital seperti sekarang ini. (http://nasional.kompas.com-

/read/2016/09/12/07062571/memperkuat.toleransi.beragama?)

Menurut Masdar Hilmy, sebuah masyarakat dapat dikatakan dewasa dalam hal

kerukunan dan toleransi beragama manakala mereka memiliki tingkat kekenyalan

sosiologis yang tinggi dalam mengelola, memfilter, dan selanjutnya menangkal berbagai

bentuk isu provokatif di seluruh tingkatan: kecil, sedang, dan berat. Berbagai konflik dan

kerusuhan sosial bernuansa SARA terjadi akibat minimnya (bahkan absennya)

kekenyalan sosiologis dimaksud.

Sementara itu, roh dari kekenyalan sosiologis adalah rasionalitas publik yang

bekerja untuk menimbang kentungan dan kerugian dari sebuah tindakan kolektif. Ketika

rasionalitas publik bekerja secara maksimal, maka sebuah masyarakat niscaya tidak akan

memilih tindakan yang dapat membahayakan dan merugikan orang lain. Memang

tindakan membakar rumah ibadah agama lain bisa saja dikonstruksi oleh pihak-pihak

yang tidak bertanggung jawab sebagai upaya pembelaan diri atas penghinaan terhadap

agamanya. Namun, kata Masdar, jika mereka sadar sesadar-sadarnya (religiously literate),

tindakan tersebut pasti cenderung dihindari karena tidak dibenarkan oleh ajaran agama

apa pun di dunia ini. Dalam keadaan perang pun, Islam tidak membenarkan

penghancuran rumah-rumah ibadah umat agama lain! Pertanyaannya, sudah sedemikian

parahkah masyarakat kita? Mengapa mereka lebih memilih cara perusakan dan
142

penghancuran ketimbang dialog? Seberapa jauh masyarakat kita kenyal secara

sosiologis ketika ada tangan-tangan jahil mencoba mengail di air keruh? Jangan-jangan

Tanjung Balai adalah fenomena gunung es di negeri ini: masyarakat kita secara umum

belum teruji untuk menghadapi hantaman provokasi dari yang ringan hingga yang berat.

Artinya, masyarakat kita berdiri di atas fondasi toleransi yang rapuh (fragile tolerance)

yang sewaktu-waktu dapat meledak jika diprovokasi.

Selanjutnya Masdar Hilmy mengatakan, sebenarnya aksi kekerasan di kalangan

umat beragama dapat dicegah jika kelompok masyarakat sipil (civil society) kita dapat

memerankan diri sebagai benteng terakhir kerukunan dan toleransi beragama.

Meminjam istilah Bryan S Turner (2016: 266), penciptaan toleransi beragama dapat

dilakukan melalui pilarisasi masyarakat sipil dengan cara melakukan berbagai bentuk

penguatan toleransi di tiap-tiap kluster masyarakat sipil, baik secara teologis maupun

sosiologis.

Tentu saja proses penguatan tersebut harus dilakukan secara top-down, bukan

bottom-up. Artinya, para elite agamawan sebagai bagian dari masyarakat sipil harus sigap

dan bertanggung jawab mengendalikan emosi massa agar kekerasan dan kerusuhan sosial

bisa dicegah. Sayangnya, tidak semua elite agamawan memiliki kesadaran atau kapasitas

demikian. Dalam banyak kasus, beberapa aksi kekerasan bernuansa SARA di negeri ini

justru direstui oleh para elite agamawan. Yang lebih menyedihkan, beberapa aksi

kekerasan terjadi akibat pembiaran oleh para aktor negara yang semestinya berdiri di

garda depan dalam melindungi setiap warga negara.

Dalam konstruk teoretik Simon Chambers dan Jeffery Kopstein (2001), kelompok

masyarakat sipil yang tidak mampu mencerdaskan dan menyejahterakan para anggotanya
143

disebut sebagai masyarakat sipil yang buruk (bad civil society). Oleh karena itu, ada

baiknya masyarakat sipil kita melakukan berbagai penguatan dan advokasi massa agar

masyarakat kita mampu mendayagunakan rasionalitas publiknya secara maksimal.

Bekerjanya mekanisme rasionalitas publik tersebut dengan sendirinya akan menciptakan

kekenyalan sosiologis di kalangan masyarakat dalam menghadapi berbagai macam

provokasi yang pada gilirannya akan menciptakan kedewasaan di kalangan mereka.

Salah satu indikator kedewasaan masyarakat kita adalah dipilihnya cara-cara beradab

(baca: non-kekerasan) sebagai mekanisme resolusi konflik yang baik bagi berbagai

masalah sosial kemasyarakatan. Ada banyak isu provokatif yang berseliweran di ruang

publik yang dapat mengancam bangunan toleransi beragama kita. Seberat apa pun tingkat

provokasinya, tidak semestinya kita memilih cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan

masalah-masalah keagamaan. (Ibid.)

Semoga kerukunan dan toleransi beragama kita semakin kokoh, kenyal, dan

dewasa sehingga kemajemukan beragama akan membawa berkah ketimbang bencana.

Sementara menurut Muhammadiyah, di antara masalah kebangsaan yang patut

diperhatikan Muhammadiyah adalah gejala menguatnya ekstremitas keislaman baik

disebabkan karena pengaruh politik global maupun nasional. Pengaruh politik global,

misalnya, dengan menguatnya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang terus berupaya

merekrut anak-anak muda Islam di seluruh dunia untuk dijadikan tentara jihadis,

termasuk dari Indonesia.

Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia dianggap

potensial dijadikan lumbung generasi baru ISIS. Dan potensi ini belakangan semakin

tampak dengan banyaknya dukungan diam-diam dari kalangan anak-anak muda.


144

Sejumlah survei di kalangan siswa-siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) menunjukkan

gejala itu. Juga di kalangan mahasiswa, bahkan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta

yang selama ini menjadi salah satu sumber utama ulama dan cendekiawan Muslim

berhaluan moderat, pernah kecolongan dengan adanya deklarasi dukungan terhadap

ISIS. Jika gejala-gejala ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin Indonesia akan

menjadi lahan persemaian utama Islam radikal melihat dukungan secara objektif sudah

mulai bisa dirasakan dengan menggeliatnya organisasi-organisasi Islam berhaluan kanan

seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), dan lain-lain yang sangat

agresif merespons setiap peristiwa politik yang dianggap bersentuhan langsung dengan

kepentingan umat Islam.

Menurut Muhammadiyah, unculnya kasus Ahok yang dituduh menistakan Al-

Quran saat menjelang Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) Jakarta menjadi semacam

blessing in disguise. Umat Islam yang biasanya terpecah menjadi bersatu dalam satu

gerakan Bela Islam yang berjilid-jilid. Yang menarik, dua organisasi Islam berbasis

massa besar dan berpengaruh, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, secara

organisatoris tidak ikut serta dalam gerakan ini, meski secara individual tidak sedikit

anggotanya yang terlibat.

Ketidakterlibatan NU dan Muhammadiyah menunjukkan pesan bahwa gerakan

Bela Islam bukan merupakan tradisi Islam moderat yang selama ini dilekatkan dengan

tradisi yang dikembangkan NU maupun Muhammadiyah.

Abd. Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina dan Peneliti Senior

The Indonesian Institute, Jakarta, di laman geotimes.co.id., 24 February 2017 menulis

artikel: Muhammadiyah dan Tantangan Islam Moderat mengatakan, bahwa maraknya


145

gerakan Islam kanan menjadi tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah. Mengapa

demikian?

Karena organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912 ini dalam

gerakannya sedikit berbeda dengan NU. Jika NU mendiseminasikan Islam Nusantara

yang berupaya mengintegrasikan Islam dengan budaya lokal, Muhammadiyah lebih

memilih Islam Berkemajuan yang dalam praktiknya cenderung meninggalkan aspek

budaya lokal, terutama yang dianggap menjadi hambatan kemajuan. Sebaliknya

Muhammadiyah lebih membuka diri terhadap unsur budaya asing yang dianggap modern

dan berkemajuan. Praktik semacam ini sudah dikembangkan KH Ahmad Dahlan, bahkan

sebelum mendirikan Muhammadiyah, dengan memperkenalkan tatacara belajar-mengajar

dengan sistem yang biasa ditempuh orang Barat yang kala itu merepresentasikan kaum

penjajah. Maka, tidak begitu mengherankan jika KH Ahmad Dahlan kerap dituduh kafir

oleh masyarakat Muslim yang hidup pada masa itu.( http://geotimes.co.id/muhammad-

iyah-dan-tantangan-islam-moderat/)

Tapi, KH Ahmad Dahlan tidak surut, walau dianggap kafir. Ia tetap pada

pendiriannya, bahwa Islam harus terbuka dan membuka diri terhadap kemajuan, termasuk

budaya yang dibawa orang asing. Tradisi membuka diri inilah yang saat ini

menghadirkan tantangan baru bagi Muhammadiyah, yakni kemungkinan merasuknya

tradisi Islam radikal yang berkembang di Timur Tengah sehingga Muhammadiyah, meski

tersamar, sering dituduh sebagai organisasi tempat berseminya faham Wahabi. Apalagi,

sejauh ini, Muhammadiyah merupakan satu-satunya organisasi Islam moderat yang tidak

melibatkan diri secara aktif dalam gerakan deradikalisasi Islam yang menjadi program

utama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).


146

Merespons tuduhan Wahabi dan keengganan melibatkan diri dalam proyek

deradikalisasi Islam, Muhammadiyah tidak terjebak dalam perdebatan wacana, apalagi

dengan mengerahkan buzzer seperti yang dilakukan para tokoh politik dan pengikut-

pengikutnya setiap menanggapi tuduhan negatif.

Muhammadiyah merespons dengan gerakan-gerakan riil seperti mengembangkan

pendidikan inklusif dan melakukan pertolongan pada semua pihak yang membutuhkan

tanpa melihat suku, agama, atau mazhab dan golongannya..

Di wilayah atau daerah yang mayoritas penduduknya non-Muslim,

Muhammadiyah tidak lantas bersikap defensif seperti umumnya watak minoritas.

Muhammadiyah tetap membuka diri sehingga jangan heran jika sekolah dan perguruan

tinggi Muhammadiyah di wilayah itu diisi oleh mayoritas siswa atau mahasiswa non-

Muslim. Begitu juga dengan guru atau dosen dan para pengelolanya.

Jadi, pada saat orang lain masih berteriak lantang memperjuangkan pentingnya

kemajemukan, Muhammadiyah sudah melakukannya. Lembaga-lembaga pendidikan,

rumah sakit, dan panti-panti sosial yang dikelola Muhammadiyah membuka diri terhadap

semua etnis, agama, dan golongan. Karenanya, meskipun ada di antara anggota

Muhammadiyah yang tertarik dengan gerakan-gerakan Islam yang berisik di ruang

publik, cenderung radikal dalam menyuarakan syariat Islam, dan menolak keras

kepemimpinan non-Muslim, secara kelembagaan Muhammadiyah tetap menampilkan

wajah yang elegan, tidak larut dalam irama gendang yang meraka suarakan.

Konsistensi Muhammadiyah dalam mengembangkan pemikiran dan gerakan

Islam moderat seperti ini sudah teruji, sejak era KH Ahmad Dahlan hingga saat ini.
147

Pilihan Muhammadiyah untuk terus mengembangkan pemikiran dan gerakan

Islam moderat sebenarnya telah banyak memberikan dukungan riil kepada usaha-usaha

pemerintah untuk mengurangi gesekan-gesekan berdasar agama dan itu menjadi sinkron

seperti yang diharapkan oleh Presiden Jokowi dengan seruannya, bahwa kita bersaudara!

Untuk mengurai ketegangan anak bangsa bagi ketentraman bangsa sesama

saudara ini, menurut Hasanudin Abdurakhman, cendekiawan, penulis dan seorang

profesional, dalam opininya di https://news.detik.com, Senin 15 Mei 2017, diperlukan

forum dialog, tempat kita bisa bebas mengatakan apa yang kita rasakan tentang pihak

lain. Termasuk soal hal-hal yang tak ingin mereka dengar sekalipun. Sebaliknya, pihak

sana juga boleh bicara dengan cara yang sama tentang kita. Kita perlu melihat sosok kita

masing-masing, dalam pandangan orang-orang di pihak lain.

Kata Hasanudin, sepanjang sejarah, kita ini sudah sering konflik. Konflik antar

anak bangsa karena perbedaan suku, agama, atau karena hal lain. Kerusakan yang

ditimbulkannya tidak kecil. Kerusakan fisik dalam skala triliunan rupiah. Tapi, yang lebih

menyedihkan adalah korban jiwa manusia. Korban berbagai konflik itu sudah begitu

banyak, terlalu banyak. Karena itu konflik harus dicegah, jangan sampai terulang. (https:-

//news.detik.com/kolom/d-3501314/mengurai-ketegangan-anak-bangsa)

Dari begitu banyak konflik, sayangnya, kita tidak mendapat informasi yang tegas

soal apa latar belakangnya. Juga jarang ada tindakan hukum yang memadai terhadap

pelaku kejahatan selama konflik berlangsung. Yang ada biasanya analisis pada level

gosip, mencoba menjelaskan situasinya secara teoretik. Sesekali ada tim pencari fakta.

Tapi, hasil kerjanya tak pernah jelas. Kalaupun ada, tidak ada tindak lanjut yang jelas.
148

Menurut Hasanudin, konflik itu ada miripnya dengan kecelakaan; sebab-sebabnya

bisa kita pelajari. Kita sebenarnya bahkan bisa merasakan dan melihat. Hanya saja, dalam

hal konflik, ada faktor-faktor yang tak terlihat, sehingga sering kita melihatnya sebagai

potongan mozaik-mozaik. Yang menghubungkannya sering kali adalah gosip-gosip tadi.

Sering kita dengar penjelasan, atau analisis tentang konflik. "Ini bukan soal agama, ini

semata soal kesenjangan." Tapi, apakah kita bisa percaya kesenjangan saja bisa

menimbulkan konflik? Sesederhana sejumlah orang miskin menyerang orang kaya?

Tentu, tidak! Penjelasan tadi terasa seperti sebuah simplifikasi, bahkan terkesan ingin

menutupi fakta tertentu. Tentu saja faktor kesenjangan ada. Tapi, apakah itu satu-satunya

faktor?

Benarkah tidak ada faktor agama yang bermain dalam konflik? Atau, sebenarnya

faktor itu yang dominan? Kalau ada, bagaimana detailnya? Hal-hal seperti ini tidak

pernah dibahas secara terbuka. Orang cenderung fokus pada usaha memadamkan konflik

belaka. Setelah itu, mereka mencoba melupakannya. Atau, berpura-pura, seolah konflik

itu kejadian insidental saja. Padahal faktanya konflik itu berulang.

Kenapa tak mau membahasnya? Saya khawatir, kata Hasanudin lagi, itu tanda

adanya persoalan yang lebih besar. Sedikit orang yang mau mengakui perasaan mereka

soal agama lain. Banyak orang yang tampil seperti orang yang menghargai keragaman,

tapi jadi berbeda saat berada dalam komunitas tertutup. Bahkan, katanya, tidak sedikit

pula yang bergaul baik dengan orang berbeda iman, tapi punya pikiran yang sebenarnya

radikal soal orang yang tak seagama dengannya. Demikian pula soal etnis. Ada orang

yang begitu rapat bergaul, berbisnis dengan orang-orang dari etnis tertentu, tapi

sebenarnya ia menyimpan stereotip negatif tentang etnis tersebut.


149

Usaha-usaha dialog antaragama, atau antaretnis baginya lebih sering merupakan

seremoni belaka. Jarang ada dialog yang benar-benar jujur soal apa yang kita rasakan,

dan bagaimana kita memandang kelompok lain. Padahal ini penting. Sering kali kita tidak

sadar soal apa efek tindakan kita terhadap pihak lain. Tanpa umpan balik dari mereka,

kita seperti tak punya cermin untuk melihat diri kita sendiri.

Itulah seperti yang dikatakannya di muka, penting bagi kita untuk punya forum

dialog. Tempat kita bisa bebas mengatakan apa yang kita rasakan tentang pihak lain.

Termasuk soal hal-hal yang tak ingin mereka dengar sekalipun. Sebaliknya, pihak sana

juga boleh bicara dengan cara yang sama tentang kita. Kita perlu melihat sosok kita

masing-masing, dalam pandangan orang-orang di pihak lain. Kongkretnya bagaimana?

Saya pernah berdialog melalui mailing list lintas agama, kata Hasanudin. Ketika

itu ada kejadian gereja dibakar. Tentu saja itu menjadi keprihatinan teman-teman Kristen.

Saya sampaikan bahwa dalam ajaran Islam, merusak rumah ibadah orang adalah

perbuatan terlarang. Bahkan dalam suasana perang pun hal itu terlarang. Lalu, kenapa

orang sampai jadi begitu? Ia jelaskan dalam dialog itu, soal psikologi umat Islam dalam

memandang agama Kristen. Dikatakannya bahwa ada orang-orang Kristen yang begitu

agresif melakukan penginjilan, dengan target menambah jumlah pengikut. Itu sungguh

meresahkan bagi umat Islam. Bagi mereka, agama Kristen adalah ancaman. Tak sedikit

teman-teman Kristen-nya yang terkejut dengan pernyataan itu.

Mereka tak menolak adanya kelompok seperti itu di tubuh umat Kristen, tapi

memberi catatan bahwa kelompok seperti itu hanya minoritas di kalangan mereka. Tapi,

peringatan Hasanudin itu membuat mereka menjadi lebih mawas diri. Seperti itulah.
150

Yang menarik apa yang diungkapkan Hasanudin atau yang biasa dipanggil Kang

Hasan ini, tak ada yang perlu ditakutkan dengan dialog yang jujur dan berterus terang.

Syaratnya, kita ingin cari solusi, bukan mencari pihak lain untuk disalahkan. Baginya, ini

adalah langkah penting untuk mengurai ketegangan antarkelompok, yang menjadi bahan

bakar konflik. (Ibid,)

Begitulah Presiden sudah memberikan seruannya. Yang menarik adalah

penegasan Presiden bahwa kita bersaudara. Seruan Presiden semacam ini sungguh

membuat kita semua trenyuh meski hal itu sebenarnya biasa saja karena sudah menjadi

pengetahuan umum. Tapi karena Presiden yang mengatakan, maka nuansanya menjadi

lain dan tampak sangat bernilai. Jadi harus menjadi perhatian seluruh masyarakat untuk

serius membangun semangat bersaudara itu. Dengan terciptanya semangat bersaudara itu,

otomatis itu berarti kita merajut kembali negeri tercinta ini, sebuah Negeri Mukjizat!

Sementara untuk masalah membangun semangat bersaudara itu, kita perlu juga

mencermati dinamika dan dialektika politik dewasa ini, karena kalau tidak ditangani

dengan bijak, pertaruhannya adalah nasib ke-Indonesia-an yang inklusif. Langkah

mendesak adalah dialog rasional para tokoh masyarakat untuk mendinginkan politik yang

hampir mencapai titik didih yang membahayakan eksistensi dan survivalitas negara.

Berikutnya, negara atau persisnya presiden harus mengonsolidasikan pemerintahan dan

bertindak tegas terhadap mereka yang mengancam konstitusi dan Pancasila, serta

berkompromi secara terukur dengan lawan-lawan politiknya. Semua itu dilakukan demi

masa depan bangsa Indonesia yang lebih kuat dan sejahtera. ***
151

BAB V
AKSI BELA ISLAM DAN KESADARAN UMAT

LIMA kali lebih Aksi Bela Islam yang menggetarkan hati seluruh bangsa

terutama umat Islamnya, telah berlangsung sukses. Terutama Aksi Bela Islam-III pada 2

Desember 2016 kemudian dikenal sebagai Aksi 212 di Monas Jakarta yang dihadiri

sekitar tujuh juta umat Muslim datang dari seluruh penjuru tanah air. Aksi ini
152

memperoleh pujian dunia karena berlangsung superdamai sekaligus superindah.

Meruntuhkan prediksi ilmiah mereka dimana berkumpulnya 7 juta orang di satu lokasi

dipastikan akan berubah menjadi huru hara dahsyat, ricuh dan berdarah-darah. Tetapi

dengan kesantunan Islam dan etikanya yang tinggi, berlangsung aman dan damai.

Itulah sebuah era baru kebangkitan Islam, sebuah kekuatan baru gerakan massa

Islam yang pernah dilakukan dengan begitu dahsyat dan mengagumkan. Sebuah episode

perjuangan bela Alquran Perang Melawan Ketidakadilan dalam upayanya menuntut

tegaknya keadilan yang benar-benar adil. Lahirlah sebuah gerakan massa Islam sebagai

kekuatan Islam baru yang pernah dilakukan sejak bangsa ini diproklamirkan 17 Agustus

1945.

Perang melawan ketidakadilan ini telah menciptakan sebuah fakta baru di negeri

tercinta ini, yaitu bangkitnya gerakan massa Islamyang tak lagi bisa menggantungkan

perjuangannya kepada partai-partai Islambukan saja karena dipicu oleh terjadinya

penodaan agama oleh Ahok, Gubernur Jakarta (kini sudah lengser), tetapi lebih dari itu

adalah karena kenyataan selama ini umat Islam sebagai komponen terbesar bangsa,

merasa di negerinya sendiri perannya selalu dipinggir-pinggirkan, dileceh-lecehkan,

ulamanya dibully, dan berbagai tekanan dan tuduhan menyakitkan yang kemudian sampai

muncul kesimpulan dari mereka: umat Islam dengan jumlahnya yang besar menjadi

kekuatan berbahaya bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dua poin itulah yang membuat umat Islam merasa resah, sangat terdzalimi dan

hal ini tak boleh dibiarkan terus menerus. Tidak bisa lagi umat Islam cuma jadi obyek.

Umat Islam harus berubah menjadi subyek dan pelaku yang akan membawa Indonesia
153

sebagai negara demokrasi, sejahtera yang berkeadilan, dan membahagiakan bagi setiap

warganya tanpa diskriminasi.

Aksi 212 itu, sesungguhnyalah bentuk keresahan komunal yang dimotori

penggerak barunya sebagai pemimpin baru informal umat Islam di Indonesia: Habib

Riziq Shihab, ikon perubahan di negeri ini. Fenomena Habib Riziq itu seperti

pengulangan sejarah dimulai kembali setelah 100 tahun lalu HOS Tjokroaminoto 1916

menjadi pemimpin baru ummat Islam, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota, yang

menggegerkan Nusantara waktu itu.

Dr. A. Dedi Mulawarman, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Brawijaya, bertanya, mengapa teriakan membela Al Quran atas kasus penistaan agama

yang dilakukan Ahok menjadi pintu masuk yang dapat menggerakkan kesadaran di negeri

ini? Kesadaran bahwa negeri yang mayoritas muslim ini kemudian bergerak melakukan

penolakan masif atas desain dan praktik kebudayaan, penjarahan politik dan ekonomi

oleh para pemilik modal besar, yang tampil di media mainstream maupun di dunia nyata.

Hal ini terlihat dari gegap gempitanya umat ketika misalnya mendengarkan orasi Sang

Habib. Dedi Mulawarman lalu mencoba mentranslasi salah satu orasi Habib Riziq

berkenaan Aksi Bela Islam setelah 411 dan persiapan menuju Aksi 212 berikut ini:

Bahkan yang agamis ame yang nasionalis kumpul semua. Betul? Itu sampai

ada orang kafir ikut juga saudara. Dan dahsyatnya aksi bela Islam 411 atas izin Allah

jutaan umat Islam turun tidak ada seorang kafirpun yang didzalimi saudara. Betul?

Bahkan ada sepasang pengantin beragama Katholik ingin ke gereja Katedral ada jutaan

manusia dia bingung bagaimana nembusnya saudara? Dia sudah putus asa, tetapi tiba-tiba

para santri mendekati mau ke mana ibu bapak penganten? o, kami mau menikah di
154

gereja katedral O, mari turun kita bantu jalannya. Dibuka jalan oleh para peserta aksi,

bahkan oleh peserta aksi dibersihkan sampah yang di jalan supaya gaun pengantennya

tidak kotor saudara. Dahsyat tidak? Indah tidak? Berarti artinya Islam toleran tidak?

Anugrah siapa? Karunia siapa? Pertolongan siapa? Siapa yang Maha Besar? Siapa Maha

Agung? Siapa Maha Suci? Takbir! Percaya dengan pertolongan Allah? Betul? Siap

datang di aksi 212? Siap datang Jumat 2 Desember? Percaya Allah akan menolong kita?

Takbir! Yang sekolah yang kerja, libur semua saudara untuk perjuangan Islam, Islam gak

boleh Islam kita dihina. Betul? Siap hadir? Siap datang? Sebagai penutup saya mau

sampaikan saudara. Tadi saya dari reskrim mabes polri lanjutan pemeriksaan soal kasus

Ahok, dari sana saya langsung kemari dan besok akan ada pemeriksaan di Polda saudara,

maka saya hanya ingin menyampaikan di sini. Apapun yang terjadi dengan saya ke depan

mau saya dipenjara, mau saya dibunuh, umat Islam gak boleh berhenti untuk berjuang

tegakkan Islam di Indonesia. Takbir, Takbir, Takbir! Siap bela Allah? Siap bela Rasul?

Siap bela Nabi? Siap bela Quran? Siap bela Islam? Siap bela negara? Siap bela NKRI?

Takbir! Catat baik-baik saudara, demi Allah hari ini seorang habib di bunuh karena bela

Islam, besok masih ada ribuan habaib lainnya yang akan bangkit lanjutkan perjuangan.

Takbir! Dan catat baik-baik saudara, hari ini ada seorang kyai seorang ulama seorang

ustad seorang dai yang dibunuh karena membela Islam, besok akan muncul ribuan kiai,

ustad dan dai melanjutkan perjuangan. Takbir! Hari ini ada 1000 pemuda dibunuh untuk

bela Islam besok jutaan pemuda Islam Indonesia akan bangkit kembali saudara. Siap

berjuang, angkat tangan semua takbir, takbir, takbir. Shallu alan Nabi

Setelah Habib Rizieq berbicara dengan mengingatkan kembali untuk hadir di Aksi

212, ditutup dengan Mars Aksi Bela Islam:


155

Al Quran iman kami

Al Quran pedoman kami

Al Quran petunjuk kami

Al Quran satukan kami

Aksi bela Islam

Aksi bela Islam

Allahu allahu Akbar

Begitulah yang kita saksikan, Aksi 212 akhirnya menjadi gelombang jutaan

ummat Islam yang tak dapat dihindari, tak dapat dihentikan dan tak dapat dibendung,

bahkan karena ada niat pembendungan di berbagai daerah, lalu Ciamis kemudian

memelopori aksi ribuan umat Islam jalan kaki ratusan kilometer dari Ciamis menuju

Jakarta. Kita lihat di hari H, jutaan masa Islam menyanyikan Indonesia Raya bersama,

tidak pernah ada dalam sejarah negeri ini lagu kebangsaan dinyanyikan jutaan massa. Ya,

jutaan Ummat Islam memenuhi Monas hingga luber ke mana-mana, melaksanakan shalat

Jumat berjamaah terbesar di dunia. Setelah itu tidak ada yang namanya kerusuhan,

bahkan yang ada adalah kesantunan dan kebersihan kota kembali seperti semula setelah

umat secara tertib pulang. (http://www.rumahpeneleh.or.id/212-pintu-masuk-hijrah-

untuk-negeri/)

Kata Mulawarman sang Dosen Universitas Brawijaya ini, di aksi 212 juga terjadi

keikhlasan maha dahsyat. Katanya: Mereka ikhlas, benar-benar ikhlas, merasakan

solidaritas saling berbagi apapun. Ya, suasana batin dan denyut umat di tengah represi

aparat dan kepongahan pemimpin negeri ini hanya karena pertarungan segelintir elit

saling berebut kuasa demi mengamankan posisi dan transaksi yang terlanjur tergadai. Di
156

setiap titik kita cari makan dan minum segala tersedia dari gelontoran sumbangan umat.

Di saat kita ingin membeli air mineral, teh, kopi, susu, di saat itu pula harga menjadi nol

rupiah karena gemericik air kebaikan yang mengalir seperti tangan-tangan malaikat

berperan di dunia nyata.

Kita, lanjut Mulawarman, telah melihat jelas sekali, Aksi 212 adalah simbol mata

batin umat yang lebih dahsyat dari kecerdasan akal gerombolan. Aksi 212 telah membalik

seluruh logika dan asumsi bahwa kita tidak mampu melakukan perubahan yang drastis.

Siapa mengira situasi negeri ini menjadi terbalik 180 derajat? Hanya karena kita mau dan

kita sanggup, hanya karena Allah saja semua dapat berubah. Ya, memang 212 itu angka,

tapi angka itu penuh makna, bukan hanya material. Demikian pula, 100 tahun itu adalah

representasi angka dan Rasul mengatakan akan ada pembaharuan setiap 100 tahun.

Dimana 100 tahun sebagai angka tidak hanya bersifat material pula, karena angka 100

bagi Rasul adalah refleksi melangit.

Maka dari itu saya percaya dan dengan itu maka saya beriman pada Rasul. Sama

pula ketika misalnya pertumbuhan ekonomi yang direpresentasikan dengan angka dan

kemudian dijadikan dasar negeri ini dari tahun ke tahun itu untuk memproyeksikan masa

depan kesejahteraan negeri, maka ketika ternyata tidak merefleksikan realitas serta

kesejahteraan rakyat kecuali para cukong, sehingga menyebabkan keresahan dan

memuncak di 212. Maka sebenarnya angka pertumbuhan ekonomi bagi saya adalah

dukun yang menyajikan data palsu bak candu bagi para pembuat, penyaji dan

pemakainya.

Dikatakan selanjutnya oleh Mulawarman, orientasi 212 bila mau ditarik sebagai

awal perubahan dan hijrah untuk negeri, maka tidaklah tepat bila ekonomi dijadikan
157

dasar perubahan. Sebagaimana sejarah menunjukkan kehancuran negara ini karena

pilihan dan orientasi negara mengarahkan ekonomi sebagai panglima Orde Baru.

Demikian pula dengan pilihan politik sebagai panglima sebagaimana juga sejarah

menunjukkan kehancuran Orde Lama. Kini, Orde Reformasi menggabungkan desain

politik dan ekonomi sebagai panglimanya. Jadi sebenarnya di sinilah letak kesalahan

mendasar dari paradigma pembangunan negeri. Apakah perlu melihat dengan cara

pandang baru? Misalnya dengan melakukan resetting pikiran dalam bingkai konstruksi

kebudayaan, sebagai panglima?

Kalau alumni 212 melakukan aksi hanya bersifat material antisipatif melalui

gerakan ekonomi syariah, sepertinya nanti akan mengulangi kesalahan sejarah lagi.

Artinya, boleh dan wajib konstruksi politik ekonomi itu dilakukan, tetapi keduanya harus

dalam bingkai besar redesain atas positioning kebudayaan sebagai payungnya.

Yang dimaksud Mulawarman, dengan desain itu adalah kebudayaan bermarwah

masjid. Bukannya sedang melawan pragmatisme jaman, dan, karenanya juga, dan tetap

yakin, Tauhid tak bisa bercanda dengan jamannya, Tauhid selalu tegas menegasikan ilah-

ilah, berhala-berhala dunia, sekaligus menegaskan Ilah Yang Esa.

Apalagi bila kita melihat bahwa gagasan negara berkemakmuran dan

berkesejahteraan yang dilakukan oleh Eropa Barat dan Amerika, dan sekarang juga

dilakukan oleh Cina bahkan negeri ini menirunya habis-habisan. Semua refleksinya

diorientasikan pada materialisasi berbentuk angka-angka dan statistik apa itu yang

disebut Indonesia makmur dan sejahtera, pertumbuhan ekonomi, termasuk outlook

ekonomi tahunan yang gencar digelontorkan seperti menjelang akhir tahun atau bahkan

kalau ada itu outlook sosial masyarakat, dan lain sebagainya. Semua, ya semuanya
158

memang takluk pada logika gagasan Evolusi Institusi Inklusif, potret kesejahteraan

Neoliberalisme berbasis Materialisme Individual. Saya merasa kurang pas dengan cara

pandang kemakmuran dan kesejahteraan karena diukur berdasarkan kemapanan materi,

kecukupan sandang-papan, kesehatan diri dan keluarga, serta kreativitas aktivitas bisnis

yang menjamin kebebasan mengakses ladang-ladang ekonomi masyarakat dan juga

lingkungan alamnya. Bahkan lebih jauh kebebasan mengakses kebahagiaan tanpa dibatasi

moralitas serta kaidah-kaidah kebaikan, apalagi agama.

Mengapa begitu? Tanya Mulawarman. Cara pandang seperti itu dapat dilacak dari

dasar berpikir metodologis dari mana sumber ilmu termasuk ekonomi dikembangkan.

Yaitu Positivisme yang mengedepankan model to explain and to predict. Semuanya

merupakan gerakan materialisme empiricism baik yang kapitalistik liberal maupun

sosialistik komunal (termasuk di dalamnya komunisme) untuk melegitimasi sifat dasar

kemanusiaan Barat dan para followernya, yaitu Self Social Interest yang anti agama, anti

Tuhan. Ya, semuanya memang anti Tuhan. Kalaupun diakui mereka Tuhan ada pasti

digeser menjadi marginal dan bahkan Deus Absconditus, Tuhan disembunyikan saja.

Apakah kita perlu melakukan perubahan sesuai logika seperti di atas? Yang jelas

kita tidak mengikuti kaidah seperti itu, makanya negeri ini tidak pernah makmur dan

sejahtera dalam koridor Ilahiyyah, karena ambigu dan melawan kepercayaannya sendiri,

agama dan Tuhannya.

Allah pasti memberikan Cahaya Maha Cahaya-Nya pada setiap abdi-Nya, selama

tetap mengikhlaskan diri sebagai umat Muhammad yang istiqomah dan terdepan, bak

ombak yang menggulung lautan, bukannya buih di lautan.


159

Keberpihakan pada keyakinan dan keadilan itu mutlak, tidak bisa dinegosiasikan

apalagi jadi abu-abu. Positioning Mutlak seperti itu dengan demikian menjadi penting.

Bukan pula menjadi argumentasi politicking bahkan keangkuhan atas nama interes

individu bahkan kelompok parsial dari komunitas. Bila eksistensi tidak abu-abu yang

pernah dijadikan simbol perjuangan tidak penting lagi dan bila pula pragmatisme politik

menjadi dasar karep, maka lebih baik siapapun perlu berpikir ulang menggunakan

ketegasan Positioning Mutlak. Ya berpikir ulang sekaligus menggeser dasar paradigmatik

pada penegasan pentingnya the uniqueness of symbol yang jadi pijakan kejuangan

historis.

Kita benar-benar tidak ingin melakukan pengulangan kecerobohan historis apalagi

menderivasikan egoisme secara sosiologis yang menghancurkan sendi-sendi dan

kerekatan bangsa kita. Bila kita memang menyatakan diri sebagai anak kandung bangsa

ini sekaligus bagian genetis umat, ruh umat, maka kita akan jaga keutuhan semua entitas

bangsa sekaligus tidak akan menjual negeri ini sejengkalpun. Kita tidak sedang menuruti

hasrat pragmatisme, tetapi menegaskan posisi umat yang tidak bisa dijual murah.

Kebudayaan bermarwah masjid menjadi ruh atas perubahan sistem dan pikiran

individu sekaligus masyarakatnya. Kebudaayaan melalui bangunan pendidikan yang

menekankan religiositas dan bukan basa-basi di seluruh level, mulai dari tingkat dasar

hingga pendidikan tinggi menjadi pintu masuk utama, sebagai ruh moralitas langit yang

menjadi ruh atas desain dan konstruksi lanjutan atas ketatanegaraan, politik, ekonomi dan

pembangunan negeri.

Artinya, tidak serta merta konsep dan teori Barat yang telah menghancurkan

negeri ini lewat rembesan pendidikan dibuang, pensucian atas kurikulum dan sistem
160

pendidikan melalui reorientasi konsep ekonomi, sosial, budaya, politik, tata negara, dan

semuanya harus menjadi prioritas. Pekerjaan berat seluruh buku daras, buku teks, riset-

riset, artikel ilmiah, harus diarahkan bukan hanya diterjemahkan saja, apalagi kalau

negeri ini disuruh membaca buku berbahasa asing. Lebih penting adalah melakukan

redesain, rekonstruksi, bahkan menciptakan buku daras baru, buku teks baru, riset baru,

artikel ilmiah, harus diarahkan pada sistem nilai dan religiositas kita serta nilai-nilai lokal

yang sangat religius menjadi penting bagi perubahan mindset masyarakat negeri ini.

Ditegaskan Mulawarman, jangan pernah takut dengan perubahan, toh konsep dan

teori asing belum tentu statis, mereka juga dinamis dan bahkan selalu berubah, dan kita

hanya menjadi follower mereka? Absurd sekali kalau begini jadinya.

Kita, kata Mulawarman, insya Allah punya gagasan sains teknologi cadas yang

berpihak pada negeri ini. Kita punya para guru besar, doktor, sarjana dan praktisi cerdas

yang mampu membangun negeri ini dan telah melakukannya hingga saat ini, berbasis

nilai tradisi religius dan kebangsaan kita. Selain itu, semua desain dan sistem

pembangunan negeri wajib dibangun dan diredesain dari sistem nilai religius dan

lokalitas kita sendiri. Tidak perlu seperti saran pemimpin negeri ini memanggil para

manusia karton yang hidup di luar negeri hanya karena tidak sabar dan malahan menjadi

antek-antek asing aseng asong, kecuali mereka memang masih memiliki semangat

religiusitas dan kebangsaan yang tinggi untuk membangun negeri ini.

Insya Allah, sebenarnya sistem nilai, desain, konstruksi pendidikan, riset dan aksi

kebudayaan telah dilakukan, tetapi semuanya saat ini hanya menjadi lembaran yang

memenuhi rak-rak perpustakaan, laboratorium dan hard disk komputer dan laptop.

Bahkan sistem ekonomi rakyat yang sangat reiligius dan bersifat kebersamaan telah
161

terjadi di negeri ini, sayangnya selalu saja negara melihat dan memenjara mereka dalam

koridor ekonomi usaha kecil yang tidak boleh menjadi dominan. Orientasi pembangunan

yang terlalu mercusuar dan cenderung meninggalkan rakyatnya demi yang katanya

kemajuan telah menggadaikan kemandirian dan selalu dibincang dalam bentuk investasi

maupun hutang triliunan rupiah. Mengapa misalnya kita tidak mendorong serta

mengonstruksi dengan serius ratusan hingga ribuan cluster ekonomi rakyat berbasis

Koperasi yang benar-benar dimodali, didesain, didampingi serta diorientasikan menjadi

Koperasi Multinasional yang mampu berhadapan di kancah internasional. Bukannya

negara hanya memberi award ketika mereka telah besar karena usaha mereka sendiri.

Inilah kemalasan negara dan mentalitas birokrasi yang sangat korup karena mereka hanya

mementingkan percepatan masuknya pajak hanya untuk kepentingan pembangunan

infrastruktur dan bayar hutang ribuan triliunan rupiah. Bahkan mental malas itu juga

terbangun lewat tax amnesty misalnya. Wong jelas-jelas itu mereka pra pengusaha korup

yang mayoritas adalah non pribumi pengemplang pajak tidak mau bayar pajak kok

dibela. Saatnya kini, tegas Dedi Mulawarman, kita membuka semua konstruksi genuine

anak negeri dan mempraktikkan secara simultan.

Siap tidak siap, harus siap, kita harus hijrah, tegas Dedi lagi. (Ibid.)

Namun yang pasti, sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, banyak yang

berharap umat Islam bangkit dan memiliki kesadaran tinggi untuk bisa memainkan peran

yang signifikan. Mereka berharap agar kesadaran umat Islam ini mampu memberikan

kontribusinya yang positif dalam proses memajukan kebangsaan dan kenegaraan kita.

Kontribusi itu bisa dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, budaya, atau

pendidikan. Harapan itu muncul kembali, terutama ada perasaan menyatu di Aksi Bela
162

Islam 212 yang mampu menghadirkan Islam tanpa sekat. Diharapkan, umat Islam ke

depan akan semakin maju dan berkiprah dalam peta kebangsaan di Indonesia. Keinginan

agar Islam dan umat Islam bisa memberikan peran positif dan kontributif ini, tentu tidak

hanya dilandasi kalkulasi politik dan ekonomi. Namun, ini muncul dengan melihat fakta

politis, sosiologis, historis, dan kultural yang selama ini mereka alami. Untuk itulah

menjadi penting dan menarik tulisan Imam Nawawi yang menulis tentang pentingnya

bersatu untuk kemenangan Islam.

Ia menulis artikel di hidayatullah.com, Senin, 22 Mei 2017, dengan judul:

Bersatu dan Saling Menguatkan untuk Kemenangan Islam, dan menyatakan bahwa,

sejak kehadirannya, Islam telah datang membawa banyak perobahan kepada manusia.

Sebagian dari mereka yang tidak mendapat hidayah, hanya mampu kagum dan heran,

bagaimana Islam yang dari lahir sampai dalam putaran sejarah selalu menghadirkan

pesona-pesona yang akal dan nurani manusia dibuat kagum dan tak pernah mampu

melupakannya.

Kata Nawawi, Hugh Kennedy menguraikan dalam pengantar bukunya The Great

Arab Conquest How The Spread of Islam Changed the World We Live In, bahwa pada

680-an, seorang pendeta bernama John Bar Penkaye sedang mengerjakan ringkasan

tentang sejarah dunia di biaranya yang jauh terpencil di tepi Sungai Tigris yang mengalir

deras, di pegunungan yang kini disebut Turki Tenggara.

Ketika sampai pada titik untuk menulis sejarah zamannya sendiri, ia tertunduk

merenung ihhwal penaklukan bangsa Arab di Timur Tengah, yang masih tersimpan dalam

ingatan. Kala merenungkan peristiwa dramatis ini, perasaannya dipenuhi teka-teki,

Bagaimana bisa, ia bertanya, orang-orang tanpa senjata, berkuda tanpa baju baja atau
163

perisai, berhasil memenangkan pertempuran dan meruntuhkan semangat kebanggaan

diri orang-orang Persia?

Ia semakin terhenyak, hanya dalam periode yang singkat seluruh dunia diambil

alih orang-orang Arab. Mereka menguasai seluruh kota yang dikelilingi benteng,

mengambil alih pengawasan dari laut ke laut, dan dari timur ke barat Mesir, dari Crete

ke Cappadcia, dari Yaman ke Gerbang Alan (di Pegunungan Caucasus), bangsa Armenia,

Suriah, Persia, Byzantium dan Mesir serta seluruh wilayah di sekitarnya: tangan mereka

ada di mana-mana. (https://www.hidayatullah.com/artikel/mimbar/read/2017/05/22-

/117170/bersatu-dan-saling-menguatkan-untuk-kemenangan-islam.html)

Kata Nawawi, masih ada, bahkan mungkin banyak kekaguman-kekaguman serupa

atas sejarah Islam. Akan tetapi, semua itu belum menjelma di masa kini, dimana kita

sama-sama memiliki kesempatan sama untuk mengembalikan kemuliaan Islam di masa

hidup atau di zaman kita ini.

Satu sisi, sebagai muslim kita boleh bangga, dan boleh sesekali melihat untuk

menguatkan semangat perjuangan sebagai seorang Muslim. Namun satu sisi kita juga

dituntut mampu menarik semangat ajaran Islam itu dalam ragam laku dan sisi kehidupan,

sebab Islam bukan sebatas objek kajian, tetapi sesungguhnya, Islam adalah ruh dari

kehidupan itu sendiri.

Dr Zakir Naik pernah menjelaskan bahwa dari sisi effort pemuka-pemuka agama

di luar Islam telah melakukan persiapan rapi dan baik dengan sedemikian rupa, bahkan

jumlah ahli yang mereka siapkan untuk terjun ke gelanggang mencapai angka 1 juta jiwa.

Sedangkan Islam, belum sedemikian kuatnya. Zakir Naik menegaskan, akan sangat

mudah bagi Allah mematikan kita dan menggantikan kita dengan 1 juta ahli Islam. Akan
164

tetapi, Allah tidak lakukan hal itu, karena memberi kesempatan kepada kita untuk

menunjukkan kiprah dan kontribusi terbaiknya bagi Islam.

Itulah tantangan generasi Muslim saat ini, bagaimana menata kembali kehidupan

kolektif untuk sampai pada apa yang dahulu pernah membuat dunia tercengang akan

keindahan dan pesona ajaran Islam.

Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Pra-Kenabian hingga Islam di

Nusantara menegaskan bahwa Islam adalah agama yang mampu melahirkan perubahan

besar dan cepat, karena yang pertama kali diubah adalah manusianya dengan revolusi

jiwa, sehingga terjadilah revolusi peradaban.

Semua bermula dari penanaman tauhid yang kuat di dalam setiap jiwa kaum

Muslimin. Kita tidak boleh melupakan fase paling awal dalam sejarah lahir dan

berkembangnya Islam di Makkah ini. Umat Islam dianiaya, diusir bahkan ada yang

dibunuh, tetapi mereka tidak berputus asa dan tetap yakin bahwa Allah akan

memenangkan Islam dengan sempurna.

Fase tersebut adalah fase yang sangat sulit, berat, tetapi ini adalah awal untuk

Islam bisa take off dengan baik dan sempurna. Dan, dari fase yang penuh heroisme itulah

tauhid menjelma dalam kehidupan dengan lahirnya persatuan kata, kesatuan tujuan,

kesatuan hati dan kesatuan tenaga yang sangat sulit dipecahkan oleh kekuatan kaum kafir.

Dengan kata lain, apabila kita ingin mengulang kejayaan Islam, hal pertama dan

utama, yang harus dibangun adalah perasaan sebagai saudara yang saling menjaga,

melindungi dan menguatkan, sehingga tidak ada kekuatan apapun yang mampu

menembus kekuatan barisan kaum Muslimin. Dan, untuk sampai pada tahap tersebut,
165

pemurnian tauhid, pengesampingan egosentris harus benar-benar tuntas dilakukan oleh

setiap kaum Muslimin di negeri ini.

Modal untuk hal tersebut sudah ada, Aksi Bela Islam adalah puncak tahap

pertama yang sangat mengagumkan, dimana kesadaran umat Islam sebagai sama-sama

hamba Allah dan harus bersatu membela Islam telah diwujudkan. Hanya saja, itu adalah

modal yang harus dikelola untuk dikembangkan menjadikan Islam superior dalam kancah

kehidupan modern. Dan, beruntung, beberapa pihak menyalurkan modal tersebut melalui

jalur ekonomi, dan terbukti ampuh ketika disalurkan pula ke ranah politik. Kemenangan

Anies Sandi adalah kemenangan kesadaran umat Islam akan pentingnya politik dalam

Islam sebagai wujud dari komitmen sebagai Muslim.

Namun, kata Imam Nawawi, sekali lagi itu semua adalah modal dan baru tahap

permulaan. Dibutuhkan effort lebih keras (mujahadah) untuk menjadikan diri kita lebih

siap bergerak, bekerja dan berkarya untuk kejayaan Islam, bukan lagi atas nama Ilam

yang hakikatnya untuk membangun diri dan kelompok sendiri.

Sejauh hal ini menjadi sistem kesadaran umat Islam, niscaya cepat atau lambat,

Islam akan menjadi gelombang baru, gelombang yang akan mendatangkan perubahan,

yang untuk Indonesia, memang sudah saatnya umat Islam tampil dengan identitas Islam

yang sesungguhnya, yang sejuk, tegas, penuh kasih sayang dan terdepan dalam

menegakkan kebenaran dan keadilan. Setidaknya kita harus malu dengan apa yang telah

dipersembahkan oleh leluhur kita di negeri ini, mereka telah memberikan hasil

perjuangannya berupa Negara Kesatuan Republik IndonesiaNKRI ini dengan utuh dan

tugas kitalah menjadikan NKRI maju dan berpengaruh di tataran global, terlebih dunia

secara umum juga dilanda krisis peradaban yang sangat luar biasa.
166

Jika Islam pernah begitu mempesona dalam tataran sejarah, mengubah banyak

bangsa dengan sedemikian mengagumkan, dari Timur Tengah (Arab) hingga Barat

(Andalusia dan Turki) juga sudah menorehkan tinta emasnya, apakah mustahil, jika

zaman ini dan ke depan, umat Islam Indonesia mendapat kepercayaan memegang pucuk

kendali kemuliaan dunia di bawah bendera Islam?

Tentu bukan hal yang mustahil sekalipun tidak bisa dipastikan. Tetapi, seperti apa

yang ditegaskan oleh KH Abdullah Said, pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah, bahwa

jika perangkat untuk kita mendapat pertolongan Allah telah benar-benar disiapkan, adalah

tidak mungkin Allah tidak memberikan pertolongannya kepada kita.

Dalam menutup opininya, Imam Nawawi mengajak kaum Muslimin bersatu, agar

berkibar panji Islam di seluruh penjuru negeri, menerangi seluruh kehidupan umat

manusia kembali, seperti dahulu pernah terjadi dan memberi bukti. Jika ingin mengulang

kejayaan Islam, kita harus memulai saling menguatkan dan bersatu. (Ibid.)

Namun harus disadari pula, meskipun umat Islam di Indonesia mayoritas, peran-

perannya dalam berbagai bidang kebangsaan masih belum meyakinkan. Umat Islam

sangat diperhitungkan hanya ketika berbicara tentang dukungan politik dan pengerahan

massa, namun sering diabaikan ketika berbicara tentang pembagian peran politik dan

penempatan berdasarkan profesionalitas. Umat Islam sering hanya berhenti unggul dalam

bidang kuantitas, namun untuk kualitas masih perlu kerja keras. Salah satu bidang garap

umat Islam yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah soal pendidikan.

Pendidikan ini sangat penting sebagai investasi masa depan. Dengan pendidikan

yang baik pula, bangsa ini akan bisa maju dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa

lain. Banyaknya institusi pendidikan Islam di negeri ini sepatutnya dilihat sebagai upaya
167

umat Islam dalam memajukan dunia pendidikan. Lantas banyaknya fakultas umum

didirikan di perguruan tinggi Islam adalah sebagai upaya konkrit umat Islam untuk ikut

menjadi aktor pembangunan bagi bangsa. Dengan demikian akan tumbuh kesadaran umat

untuk bisa lebih memahami peta kebangsaan secara komprehensif untuk kemudian

menyumbangkan banyak hal bagi pembangunan bangsa. Umat Islam juga akan memiliki

pemahaman yang bersifat teoretis terhadap berbagai persoalan kebangsaan yang mereka

kaji di perguruan tinggi Islam, guna kemudian melahirkan rumusan-rumusan kebijakan

yang berguna bagi masa depan bangsa ini.

Yang kadang menjadi kendala terhadap sumbangan umat Islam pada persoalan

kebangsaan adalah masih adanya anggapan dikotomi ilmu di sebagian besar masyarakat

dan pejabat kita. Di satu sisi, banyak dari kalangan umat Islam yang menganggap bahwa

mempelajari ilmu-ilmu umum tidaklah tepat, karena, itu hanya urusan dunia. Umat Islam

harus berorientasi mempelajari ilmu-ilmu agama yang berujung pada pengabdian diri

pada Tuhan. Dengan pandangan umum yang berkembang seperti itu, tidak heran jika

banyak kalangan orangtua santri yang enggan menyekolahkan anaknya ke lembaga

pendidikan umum. Menurut mereka, ilmu umum itu hanya akan menjadikan mereka

berorientasi pada dunia dan mengesampingkan urusan akhirat. Bahkan, ada asumsi

bahwa ilmu umum adalah ilmunya nonmuslim yang menjadikan umat Islam mundur.

Pernah terjadi, misalnya ketika KH Ahmad Dahlan dan KH Wahid Hasyim dulu

menganjurkan santrinya mempelajari ilmu umum seperti Ilmu Bumi dan Bahasa Belanda,

banyak dikafirkan oleh kiai-kiai dan pemuka agama lainnya. Ditambah lagi, kalangan

nonsantri juga masih banyak yang beranggapan bahwa para santri lebih tepat belajar di

sekolah agama dan mendalami ilmu agama. Banyak juga sinisme bahwa para santri itu
168

hanya bisa berdoa dan memimpin pengajian saja. Mereka tidak punya kemampuan

memimpin negara atau menjadi ilmuwan di bidang umum seperti ilmu politik, hubungan

internasional, biologi, kedokteran, teknologi, dan pendidikan.

Padahal, jika kita perhatikan secara saksama, banyak kalangan santri yang

menonjol dan sukses sebagai pemimpin bangsa ini. Hal itu tampak pada figur-figur

seperti Muhammad Natsir, Ir. Djuanda, KH Wahid Hasyim, KH Abdurrahman Wahid.

Dan hari ini pun, kita banyak menyaksikan para pengamat ilmuwan politik (political

scientist) kelas internasional yang lahir dari rahim santri, seperti Azyumardi Azra, Bahtiar

Effendy, dan Saiful Mujani.

Menurut Mulyadhi Kartanegara, para ulama zaman keemasan sudah

membuktikan bahwa integrasi keilmuan bukanlah mitos belaka. Integrasi ilmu saat itu

banyak muncul dalam bidang metafisika, fisika, matematika, dan ilmu umum lainnya

(Integrasi Ilmu: Sebuah Rekontruksi Holistik, 2005). Jadi, pada era integrasi ilmulah,

Islam bisa menjadi pelopor peradaban di muka bumi ini. Hal ini sudah seyogianya

menjadi bahan renungan bagi kita semua.

Sebagai negara muslim terbesar di dunia dan sebagai negara demokratis ketiga di

dunia setelah Amerika dan India, Indonesia punya peluang dan kesempatan untuk

menjadi negara muslim terbesar yang berkontribusi besar pada peradaban dunia. Dengan

mendorong semua warga negara bisa mengakses pendidikan dan anggaran pendidikan

yang 20% itu, lembaga pendidikan tinggi Islam akan berkembang baik dan akan mampu

memberikan sumbangan signifikan bagi kemajuan bangsa ini. Dan ini perlu dilakukan,

karena sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia perlu mendorong lahirnya para
169

pemimpin Islam yang bersikap terbuka, berwawasan luas, dan beristiqomah pada

kemajuan bangsa, serta siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

Lahirnya pemimpin muslim yang bersikap terbuka dan berwawasan luas dalam

dunia pendidikan kita jumlahnya harus dimaksimalkan. Harus lebih banyak lagi

pemimpin dengan kualitas seperti itu. Pemimpin Islam yang memiliki wawasan terbuka

dan semangat kebangsaan. Kondisi ini akan memberi sumbangan penting bagi masa

depan Indonesia. Dimana semangat kebangsaan itu akan menjadi modal penting perekat

keutuhan negara ini. Dimana Islam dan semangat kebangsaan akan terus memperkuat

keutuhan Indonesia. Meskipun dalam dinamika perjalanannya tidak selalu mulus. Sejarah

mencatat, karena keikhlasan umat Islam menerima bentuk republik bagi negara yang

menaungi seluruh penduduk dengan berbagai latar belakang agama, suku, dan golongan

di Nusantara yang membuat Indonesia kokoh berdiri hingga saat ini.

NKRI menjadi harga mati dan Pancasila tetap langgeng sebagai ideologi bersama.

Umat Islam Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar. Salah satunya adalah perang

melawan terorisme global dan kesenjangan ekonomi. Kesenjangan ekonomi di Indonesia,

misalnya, dapat menjadi sumbu konflik ketika bagian terbesar dari warga negara, yakni

umat Islam, merasa diperlakukan tidak adil. Terorisme yang muncul di Indonesia pun

dianggap sebagian kalangan timbul antara lain karena persoalan ekonomi. Meski ide

radikalisme juga muncul di kalangan kelas menengah muslim. Pertanyaannya, mengapa

sebagian kelas menengah Indonesia justru terpapar radikalisme? Demokrasi Indonesia

memiliki dua sayap yang tergambar melalui dua sila dalam Pancasila, yakni sayap

persatuan dan keadilan. Jika dua sayap ini bermasalah, keindonesiaan terancam. Ini

menjelaskan bahwa mengapa saat Indonesia memiliki bonus demografi dengan jumlah
170

kelas menengah yang lebih besar dari keseluruhan penduduk, ide radikalisme juga

tumbuh di kalangan ini.

Kelas menengah muslim yang terpapar radikalisme ini merupakan akibat dari

transformasi demokrasi yang belum berhasil di Indonesia. Indonesia baru berhasil

melakukan transisi demokrasi. Indonesia menyadari bahwa kemajemukan adalah

keniscayaan, tetapi konsep kemajemukan masih belum selesai bagi sejumlah kalangan.

Haluan negara tentang bagaimana mengelola kemajemukan ini sangat bergantung pada

siapa penguasanya. Akhirnya demokrasi menjadi ajang untuk unjuk identitas diri. Ruang

publik menjadi ajang pertarungan identitas, sementara hukum yang seharusnya menjadi

haluan tak kunjung mewujud. Ketiadaan nilai yang seharusnya bisa menjadi acuan

bersama terkait kemajemukan bangsa ini membuat demokrasi menjadi pertunjukan

identitas kelompok. Situasi ini menjadi ajang kemunculan orang-orang yang bicara

agama di ruang publik, tetapi tak jarang justru menjadi ancaman bagi demokrasi dan

kemajemukan Indonesia.

Media yang seharusnya menjadi pilar demokrasi malah ikut mempromosikan

ancaman terhadap demokrasi. Indonesia sejak awal pendiriannya sebenarnya lahir antara

lain karena semangat kebangsaan umat Islam. Jauh sebelum BPUPKI merumuskan dasar

negara, Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936 misalnya, merumuskan format ideal

bagi Indonesia di masa depan sebagai darussalam, sebuah negara bangsa. NKRI dianggap

sebagai bentuk final bagi negara yang menaungi semua warga negara, apa pun latar

belakangnya. Sayangnya, saat fondasi demokrasi terancam, negara baru berpaling pada

ormas Islam yang sejak awal mengusung semangat kebangsaan ini. NU dan juga

Muhammadiyah selalu menjadi pemadam kebakaran. Negara malah abai terhadap kiai-
171

kiai yang selama ini mempromosikan Islam yang ramah, toleran, dan menghargai

keberagaman. Mereka selama ini tak pernah dipanggungkan oleh negara. Negara juga

belum memberlakukan kebijakan afirmatif yang berpihak kepada mereka yang menjaga

NKRI tetap utuh berdiri ini. Jika ini terus dibiarkan, semangat kebangsaan umat Islam

yang tersemai sejak negara ini belum berdiri dikhawatirkan pupus, dan Indonesia, negara

bangsa yang menjadi tempat bernaung warga dengan berbagai latar belakang ini, hanya

menjadi cerita belaka di masa depan.

Umat sebagai simpul komunitas yang memiliki kesadaran terhadap hak dan

kawajiban, bergerak bersama-sama mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan.

Umat berkewajiban memberikan kepastian keberagamaan yang damai. Dalam tubuh umat

inheren di dalamnya sebuah sikap politik untuk merawat pengalaman kemajemukan,

menjunjung tinggi multikulturalisme, bersikap transparan dan akuntabel. Umat seperti

inilah yang hari ini disebut sebagai modal kultural untuk mewujudkan pemerintahan yang

baik dan bersih.

Dalam diksi umat, "identitas" (politik, agama, etnik dan hal lainnya) dimaknai

bukan sebagai alasan untuk menafikan liyan, melainkan justru liyan dianggap sebagai

pancaran ilahiah dan realitas sosial yang keberadaannya mustahil ditampik.

"Orang lain" jadi modus eksistensial kehadiran kita. Dalam umat, etos sosial yang

dibangun bukan "keakuan-egoistik", tetapi semangat kekitaan, semangat kebangsaan.

Sayangnya, saat ini ada gejala konflik antara keindonesiaan dan keislaman. Gejala

itu terjadi dalam kaitan pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Dan itu

terus terjadi meski Pilkada sudah usai. Itulah mungkin Presiden Jokowi pada 16 Mei
172

2017 lalu mengajak semua komponen bangsa untuk menghentikan saling hujat karena

kita bersaudara.

Yang pasti, konflik keindonesiaan dan keislaman itu karena ada kelompok yang

menganggap bahwa merekalah yang "paling Islam" dan sebaliknya juga ada kelompok

yang menganggap bahwa merekalah yang "paling Indonesia". Yang memilih Ahok-Djarot

dianggap anti-Islam dan munafik, sedangkan yang memilih Anies-Sandi dianggap anti-

Indonesia, intoleran, dan anti-kebinekaan.

Kedua anggapan itu keliru. Kalau kita pelajari kembali proses penyusunan UUD

pada 1945, ada keinginan tokoh-tokoh Islam supaya presiden RI adalah orang Indonesia

asli dan beragama Islam. Setelah melalui musyawarah, tokoh-tokoh Islam yang

menyusun UUD menyetujui bahwa syarat "harus beragama Islam" itu dibatalkan.

Kesediaan tokoh dan umat Islam menghapus syarat harus beragama Islam bagi presiden

sebenarnya sudah menunjukkan toleransi mereka. Akan tetapi, mereka yang tidak

memilih non-Muslim karena alasan keagamaan tidak bisa dianggap sebagai orang yang

tidak toleran atau melanggar UUD atau merusak kebinekaan. Itu didasarkan pada Pasal

29 Ayat 2 UUD 1945. Yang perlu dijaga ialah cara menyampaikan pendapat itu, jangan

sampai memakai bahasa yang kasar dan menyinggung atau mengandung nada kebencian.

Juga perlu diperhatikan tempat dan waktu dalam menyampaikan pendapat tersebut.

Sebenarnya konflik dalam kaitan pemilihan gubernur DKI Jakarta bukanlah antara umat

Islam dan umat non-Islam. Akan tetapi, justru terjadi antara kelompok dalam umat Islam:

antara yang menyetujui calon non-Muslim dan yang menolak calon non-Muslim.

Perbedaan pandangan itu terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap Surat Al-Maidah

Ayat 51 dan sejumlah surat lain. Di dalam kalangan Islam sejak abad pertama Hijriah
173

sudah terdapat dua aliran besar dalam menafsirkan ayat-ayat suci. Aliran pertama

berpendapat bahwa syariat Islam bersifat dogmatis dengan berpegang pada teks nash

murni tanpa menggunakan potensi akal. Tokoh utama aliran ini adalah Abdullah bin

Umar, Ibnu Abbas, Amr bin Ash. Aliran kedua berpendapat bahwa syariat itu bersifat

rasional, maka dalam menafsirkan teks suci, kita perlu mengoptimalkan penggunaan

potensi akal. Tokoh-tokohnya ialah Abdullah bin Mas'ud, Umar bin Khattab, dan Ali bin

Abi Thalib. Menyikapi adanya dua kelompok seperti di atas, kedua pihak harus saling

menghormati pilihan masing-masing. Tidak perlu saling menyalahkan, saling menyerang,

atau saling mengejek.

Konflik keindonesiaan dan keislaman itu mungkin meluas pada Pilkada 2018.

Kalau pada Pilpres 2019 konflik semacam itu masih terjadi, hal itu berpotensi

mengancam persatuan Indonesia. Perlu ada upaya untuk meredamnya. Perlu dilakukan

dialog antarkelompok di dalam Islam maupun dengan kalangan agama lain untuk

meredamnya. Dalam dialog itu perlu dibahas dengan rinci apa yang dimaksud dengan

"politisasi agama", dan apa yang dimaksud dengan "isu SARA" (suku, agama, ras, dan

antargolongan). Dialog itu harus dilakukan dengan hati dan kepala dingin supaya dapat

menghasilkan kesepakatan yang bisa diikuti dalam praksis sehari-hari. Memang perlu

waktu yang cukup untuk bisa mendinginkan suasana. Yang penting ada kesadaran umat

Islam untuk melakukan dialog, dan segera dilaksanakan.

Tapi memang perlu adanya kesadaran umat untuk tidak membiarkan masa depan

bangsa ini dalam karut-marut karena persoalan keagamaan. Intoleransi dan kekerasan

atas nama agama harus dicegah. Salah satu umat yang diharapkan adalah umat Islam.

Penganut Islam Indonesia yang mencapai 88,7 persen merupakan potensi yang sangat
174

besar dalam peran yang dapat dilakukan, khususnya dalam perdamaian dan penyebaran

Islam yang berkultur Indonesia, sebuah gagasan tentang Islam yang ramah, toleran, dan

tak gampang marah sebagai Islam pascanegara-bangsa. Itu sebabnya, Islam seperti kita

pahami sudah seharusnya dihadirkan untuk umat manusia, bukan agama untuk Tuhan.

Islam harus dihadirkan untuk menjawab problem kemanusiaan yang riil.

Problem kemanusiaan adalah musuh utama misi agama-agama. Islam harus

dihadirkan dengan santun, ramah, dan penuh kasih sayang sebab Islam memang memiliki

makna keselamatan dan keramahan, bukan konflik kekerasan. Tatkala berhadapan dengan

rezim yang zalim, otoriter, dan tak adil, para nabi menyebarkan ajaran tentang kesalehan

sosial sekaligus kesalehan struktural. Nabi melawan kemungkaran dengan segala metode

agar ketidakadilan lenyap di muka bumi. Otoritarianisme dilawan dengan toleransi dan

tabayun (islah) mencari kebaikan dengan konsultasi, bukan menang sendiri. Dalam kisah,

para nabi selalu bertentangan dengan penguasa yang zalim, otoriter, dan tidak adil.

Di situlah peran Islam Indonesia saat ini diharapkan dengan sangat nyata.

Kehadiran Islam dengan misi profetik harus dihadirkan sebagai bagian dari perlawanan

atas perilaku tidak manusiawi. Kita berharap bahwa keislaman dapat menyapa mereka

yang mustadafin, secara ekonomi, politik, kultur, dan ilmu pengetahuan sehingga

keislaman kita sekurang-kurangnya akan menuju pada keislaman yang Rahmatan lil

Alamin.

Kita harus yakin akan janji Tuhan bahwa yang akan menjadi pertimbangan umat

beragama (termasuk umat Islam) adalah amal saleh yang kita kerjakan, sebagai amal

yang akan menyelamatkan, termasuk amal jariah kita. Segala kejahatan akan menuntun

kita sebagai umat beragama pada jurang kenistaan. Apakah kita akan masuk surga dengan
175

amal soleh yang kita kerjakan, itu adalah otoritas Tuhan atas pengadilan yang nanti

dilakukan saat Hari Kebangkitan. Karena itu, doktrin fastabiqul khairat sejatinya

mengajarkan kepada umat Islam hanya untuk berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan

dalam kejahatan. Berlomba-lomba dalam kebajikan tentu saja dengan cara yang bajik

pula, santun, ramah dan tidak melakukan pengadilan atas pihak lain. Perilaku kebajikan

akan terdistorsi ketika dikerjakan dengan cara-cara menyimpang. ***


176

BAB VI
MEMBANGUN EKONOMI UMAT

Membangun Ekonomi Qurani yang besar, kuat, professional dan


terpercaya sebagai salah satu penopang pilar ibadah, syariah
dan dakwah menuju kebahagiaan dunia
dan keselamatan akhirat.

ADA pernyataan menarik: Kebangkitan ekonomi umat adalah tonggak

kebangkitan Indonesia. Pernyataan ini ada di laman republika.co.id. ketika membahas

ekonomi berbagi dari sisi syariah.

Pendiri Majelis Taklim Wirausaha (MTW) Valentino Dinsi, kepada Republika

mengapresiasi sebuah program dari Sinergi Foundation (SF) yang berkomitmen


177

membangun ekonomi umat. Program seperti beasiswa kepemimpinan dan kewirausahaan

yang digelar SF sebagai terobosan yang bagus.''Kita tahu pemimpin-pemimpin dunia

sekarang ini kebanyakan pengusaha,'' kata Ketua 1 Koperasi Syariah 212 ini.

Valentino juga mengatakan tentang kebangkitan suatu negara yang berawal dari

kebangkitan ekonomi umat seperti di Turki. Ia menekankan pentingnya konsep ekonomi

berbagi (sharing economy) yang sebenarnya sudah diterapkan dari zaman Rasulullah.

''Prinsipnya saling bersinergi dan juga berbagi hasil,'' kata Valentino.

Umat Islam harus bahu membahu membangkitkan ekonomi umat dengan prinsip

saling menolong (taawun) atau berjamaah. Ekonomi yang kuat akan membentengi akidah

umat Islam. Contoh sederhana, kita belanja di toko milik umat Muslim dengan niat

membantu kegiatan perekonomiannya. Insha Allah dengan belanja di toko milik umat

Muslim, kita akan mendapatkan pahala. Karena niat kita membantu perekonomian dia

lancar dan memberi berkah untuk kita.

Gerakan ekonomi umat di Indonesia kini tengah bangkit dengan menyalurkan

energi Aksi 212 ke bidang ekonomi, yaitu dengan dibentuknya Koperasi Syariah 212.

Dan Koperasi ini adalah momentum yang paling baik untuk umat Islam bangkit dalam

bidang ekonomi. Satu-satunya badan yang bisa dibentuk adalah koperasi syariah.

Kemudian dalam pengembangan Koperasi Syariah 212 ini sepatutnya didirikan mini

mart-mini mart syariah. Namun prinsip pengembangan mini mart itu harus sesuai prinsip

syariah tidak boleh melenceng dari ajaran Islam. Mini mart-mini mart syariah ini untuk

menggantikan fungsi Indomart dan Alfamart serta macam-macam mart lainnya yang

milik aseng dan asing. Kalau umat Muslim belanja di mini mart milik aseng dan asing,

maka keuntungan dibawa lari bukan untuk kepentingan umat. Beda halnya kalau kita
178

belanja di mini mart syariah besutan umat yang dikelola atau didirikan secara berjamaah,

maka keuntungan pun akan kembali kepada umat.

Untuk membangkitkan ekonomi umat itu, harus berjamaah atau taawaun. Jadi

kalau selama ini ekonomi umat Indonesia lemah, ini dikarenakan sejak penjajahan

Belanda si aseng dan si asing diberikan fasilitas oleh penguasa.

Sekarang, umat Muslim harus sadar dan bergerak kembali ke awal dengan

berjamaah membangkitkan ekonomi umat. Jadi kalau kuat ekonominya maka ini akan

bisa mendukung kekuatan politik Islam di segala bidang.

Terpenting lagi, terbangunnya kekuatan agregasi ekonomi Islam itu bisa

diimplementasikan justru bukan berasal dari faktor-faktor produski yang sudah tidak

mungkin diambil alih umat dari kalangan kapitalis. Yakni melainkan dengan

memberdayakaan kekuatan jumlah mayoritas umat Muslim untuk bersatu atau berjamaah.

Yakni, kekuatan dan persatuan membangun komitmen, keyakinan, dan keimanan yang

justru akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT yang Maha pemberi kesejahteraan

dan kemakmuran bagi umat Muslim.

Koperasi Syariah 212 ini adalah momentum berjamaah umat Muslim dalam

kebangkitan ekonomi umat. Ini harus didukung. Dari sini kemudian kita membuka

harapan bak fajar yang terang untuk memajukan secara bersama dan merata

kesejahteraan umat Muslim, termasuk menolong masyarakat Muslim yang masih di

bawah garis kemiskinan.

Sementara itu, menurut Ustadz Bachtiar Nasir, kalau umat Islam bangkit secara

revousioner, negara akan aman! Ia mengingatkan, bahwa potensi besar bangsa ini adalah

umat Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah infrastruktur revolusi. Infrastruktur
179

untuk revolusi yang harus dibangun adalah sumber daya insani dan ekonomi umat,

ujarnya. Selain itu, ekonomi umat juga menjadi potensi penting yang harus diperhatikan.

Kita masih ingat ada sejumlah rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kongers

Ekonomi Umat Islam di Jakarta, 22-24 April 2017. Isu utama: ekonomi lebih berkeadilan,

atasi ketimpangan, dan kedaulatan ekonomi umat. Jika ditilik, isu yang diangkat pada

kongres ini mewakili keresahan kita selama ini. Apa yang menjadi harapan peserta

kongres juga menjadi keinginan kita semua. Sistem ekonomi yang adil, merata, dan

mandiri adalah cita-cita bangsa, yang sampai kini belum bisa kita wujudkan sepenuhnya.

Ketimpangan dan konsentrasi penguasaan aset sudah lama menjadi keprihatinan. Adalah

wajar, ada kelompok yang lebih mampu memetik benefit dan memanfaatkan peluang

pembangunan dibandingkan dengan kelompok lain di masyarakat. Yang salah adalah

ketika negara tak berbuat apa-apa sehingga disparitas itu kian menganga. Kita juga

menyadari bahaya jika kesenjangan dibiarkan.

Berbagai fenomena sosial politik serta maraknya radikalisme dan terorisme

belakangan ini sering dikaitkan dengan fenomena ketidakadilan dan ketimpangan di

masyarakat. Kita melihat rekomendasi yang muncul pada Kongres Ekonomi Umat Islam

di Jakarta, 22-24 April 2017 lalu, sebagai bentuk sumbangsih dan kepedulian terhadap

upaya perbaikan ekonomi nasional. Selain sistem ekonomi yang adil, merata, dan

mandiri, rekomendasi lain adalah percepatan redistribusi aset dan optimalisasi SDA,

menggerakkan koperasi dan UMKM menjadi pelaku usaha utama ekonomi nasional.

Menjadikan koperasi/UMKM sebagai mitra sejajar usaha besar menjadi penting di sini

mengingat sebagai salah satu soko guru penting ekonomi, koperasi dewasa ini ibarat
180

hidup enggan mati tak mau, sementara UMKM masih banyak terkendala dalam akses

pembiayaan, pemasaran, teknologi, dan lain-lain.

Padahal, di koperasi/UMKM-lah ekonomi mayoritas masyarakat, khususnya

bawah, bertumpu. Kita melihat, sudah banyak yang dilakukan pemerintah, lewat berbagai

inisiatif menyasar langsung masyarakat terbawah, baik dimensi daya beli, kesehatan,

pendidikan, maupun sosial ekonomi lainnya. Namun, meski mengalami perbaikan, secara

signifikan angka kemiskinan dan ketimpangan relatif bergeming beberapa tahun terakhir.

Di sini pentingnya terus mencari terobosan lewat kebijakan keberpihakan dan

afirmatif. Penguatan kelembagaan, membangun ekonomi syariah, memperkuat SDM,

memasukkan kewirausahaan berbasis industri dalam kurikulum sekolah diusulkan. Untuk

mewujudkan kedaulatan ekonomi rakyat lewat kewirausahaan, mengatasi kendala

memulai usaha harus jadi fokus dan prioritas pemerintah.

Itu semua bukan hanya butuh komitmen politik, melainkan juga komitmen

anggaran terfokus. Target lebih definitif dan agresif juga diperlukan. Prinsipnya,

pemerataan tak bisa lagi hanya jadi sasaran ikutan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan

ekonomi harus bisa dinikmati langsung oleh masyarakat terbawah. Kebijakan yang

langsung menyerang jantung persoalan jadi kunci, tetapi kolaborasi pemerintah, swasta,

dan komponen masyarakat lain juga penting. (Kompas, Rabu, 26 April 2017, "Penguatan

Ekonomi Rakyat.)

Dalam sebuah tulisannya, Sri-Edi Swasono, Guru Besar Universitas Indonesia,

menegaskan bahwa, Presiden Jokowi menyatakan tegas bahwa koperasi sangat penting.

Di sini Jokowi sealiran dengan gerakan koperasi yang sempat hampir berputus asa

menghadapi UU Koperasi, UU No 17/2012, yang kapitalistik dan borjuistik, yang


181

membunuh gerakan koperasi. Kita mensyukuri uji materi diterima Mahkamah Konstitusi

(MK), UU Koperasi ini dibatalkan MK.

Penegasan Jokowi tentang posisi penting koperasi tentu merupakan komitmen

konstitusionalnya yang terkait Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar demokrasi ekonomi

Indonesia. Koperasi adalah wadah ekonomi rakyat. Berpaham kerakyatan dan membela

ekonomi rakyat bukan monopoli orang-orang komunis, melainkan merupakan kewajiban

konstitusional. Dengan demikian, diharapkan ekonomi Indonesia dapat diluruskan

kembali sesuai Pasal 33 UUD 1945, dengan menegaskan hakikat demokrasi ekonominya:

bahwa "kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran orang-seorang, bahwa

cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang

banyak dikuasai oleh negara, dan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat". Penegasan konstitusional ini seiring dengan tugas pemerintahan

negara untuk melaksanakan cita-cita nasionalnya: "melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia".

Cita- cita nasional yang strukturalistik ini hanya bisa dilaksanakan dengan

menggelar suatu perencanaan pembangunan nasional, yang tak bisa menyandarkan pada

kehendak dan selera pasar bebas. Apalagi kita wajib ikut melaksanakan ketertiban dunia,

berarti kita wajib ikut mendesain wujud dan mekanisme globalisasi, tak sekadar jadi

bangsa antisipatif/obyek kekuatan global.

Adikarya Pasal 33 adalah local wisdom Indonesia, suatu masterpiece (Bintoro

Tjokroamidjojo, Bappenas, 1973). Dengan Pasal 33 inilah kita menegaskan demokrasi


182

ekonomi bikinan sendiri Indonesia, artinya kita mengakhiri pola pikir ayun bandul dari

"kiri" ke "kanan" atau sebaliknya, kita menolak westernisme yang terperangkap pola

pikir komunisme versus kapitalisme itu-itu saja.

Pasal 33 bukan jalan kiri, bukan jalan kanan, bahkan bukanlah jalan tengah, tetapi

adalah jalan lain, suatu jalan lurus, yang para pendiri Republik menyebutnya sebagai

jalan Pancasila. Sri Edi-Swasono mengungkapkan, Jakob Oetama, Pemimpin Umum

Harian Kompas, pernah menegur dirinya ( ditulis di Kompas, 16/8/2005) tentang

keheranannya mengapa banyak ekonom mengagumi jalan ketiga Anthony Giddens.

Dikatakan Jakob, The Third Way-nya Giddens tertinggal (55 tahun) dari Pasal 33

Hatta. Berpikir dalam konteks (ayun bandul) adalah obsolit. Bahwa Francis Fukuyama

menulis tentang the end of history (1992) dan menyatakan bahwa "demokrasi liberal

Barat merupakan bentuk final dari pemerintahan manusia", telah terbantahkan oleh fakta

dan juga disanggah Samuel Huntington (1996) yang mengemukakan pandangan tentang

dominannya benturan peradaban.

Saat ini kita ditantang berpikir dalam konteks pergeseran paradigma dari manusia

yang digambarkan sebagai homo-economicus ke manusia sebagai homo-humanus, homo-

socius, homo-religious, dan homo-magnificus. Humanisme menjadi titik sentralnya. Dari

sinilah kita harus mengangkat pentingnya daya kerja sama, bukan hanya daya saing.

Setelah Tembok Berlin runtuh (1989), umat manusia paradigmatik bicara lagi tentang alle

Menschen werden Brudermenuntut the brotherhood of men. APEC, ASEAN-AEC, dan

seterusnya adalah forum kerja sama, bukan forum persaingan bantai-membantai. Di sini

Kepentingan nasional harus diutamakan. Jelas Sri Edi-Swasono.


183

Sementara menurut Ustadz Bachtiar Nasir, kita semua tahu, bahwa pada 5 Januari

2017, Dewan Ekonomi Syariah 212 GNPF-MUI telah meresmikan Koperasi Syariah 212

(Investment Holding). Ustadz Bachtiar Nasir sebagai ketuanya mengungkapkan bahwa

Koperasi Syariah 212 ini, merupakan salah satu kekuatan penting dalam perjuangan umat

yang harus dijaga terus kesatuan umat, karena dalam ekonomi syariah ini bisa jadi pisau

bermata dua.

Alhamdulillah dalam gerakan 212 kemarin yang menyatukan jutaan umat Islam,

bisa dilanjutkan dengan hadirnya usulan koperasi Syariah 212 untuk terus digaungkan

perjuangan umat ini, jelasnya. Ia pun mengatakan, dalam gerakan Koperasi Syariah 212

ini, Pemimpin GNPF-MUI turut menyarankan kepada umat dalam pembuatan sistem

koperasi serta membuat formula yang baik.

Koperasi Syariah ini menunjukkan semangat persatuan umat saat ini, karenanya

diharapkan setelah diluncurkan Koperasi Syariah ini bisa terus digunakan oleh umat

Muslim.

Diharapkan umat menyadari bahwa pimpinan GNPF-MUI ingin koperasi ini

sebagai bagian perjuangan inti dari aksi umat ini. Umat harus jadi pelanggan setia dalam

produk-produk ekonomi syariah ini.

Berbicara tentang ekonomi Islam, tidak terlepas dari minimnya edukasi,

minimnya seminar, workshop yang berkaitan dengan hal tersebut. Bisa kita lihat,

pengenalan ekonomi Islam hampir tidak ada dari tingkatan SD sampai dengan SLTA,

walaupun itu di sekolah yang berbasis Sekolah Islam Terpadu maupun sekolah yang

milik ormas-ormas Islam. Mereka hanya diajarkan tentang ekonomi liberalis dan sosialis.

Tapi ekonomi Islam yang sudah teruji di saat krisis malah tidak pernah diajarkan di
184

sekolah-sekolah. Sehingga untuk mengenalkan Ekonomi Islam harus dimulai juga dengan

menambah dan memasukkan ke dalam kurikulum.

Alhamdulillah, kata Amin Hadiono, pengusaha jamur, diakui saat ini sudah mulai

bermunculan program perbankan syariah di tingkatan SMK. Semoga angin segar ini bisa

diimplementasikan dalam dunia kerja (sehingga kualitas lulusan terjaga dan bisa diserap

di pasar kerja).

Ada 3 aspek untuk membangkitkan ekonomi umat Islam, yaitu aspek kultural,

aspek struktural dan aspek teknis. Aspek kultural berkaitan dengan budaya, norma, nilai,

pandangan hidup dan kebiasaan telah lama mentradisi dalam masyarakat muslim. Dalam

aspek ini bagaimana kita harus bisa membangkitkan etos bisnis umat sesuai dengan nilai-

nilai Islam. Dalam aspek ini peran ulama sangat penting untuk memberikan tauziah

tentang pentingnya duniawi untuk mendukung akherat, pentingnya berbagi sesama dalam

kesejahteraan umat. Ulama juga bisa berperan sebagai pencerah umat dalam merubah

pandangan hidup tentang arti duniawi dalam mendukung akherat.

Aspek Struktural adalah kebijakan pemerintah yang berimplikasi pada kehidupan

umat Islam. Dalam aspek ini diharapkan ormas-ormas Islam bisa mendorong pemerintah

untuk membuat kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam berbisnis terutama berkaitan

dengan akses informasi dan permodalan. Dalam aspek ini diharapkan juga peran serta

Ormas, LSM, Lembaga zakat untuk menyadarkan masyarakat bagaimana indahnya

berbagi (zakat, infak dan shodaqoh) sebagai sarana untuk mengurangi kesenjangan

ekonomi. Bagaimana menumbuhkan orang yang dulunya menerima zakat (mustahiq)

yang ke depan didorong secara ekonomi untuk menjadi musaqi (pembayar zakat).
185

Mendorong manusia dari tidak ada (miskin) menjadi ada (cukup secara ekonomi untuk

berzakat).

Aspek teknis adalah aspek yang berkaitan dengan konsistensi, keseriusan dan

kompetensi umat Islam dalam pengelolaan bisnis. Dalam aspek ini faktor kompetensi,

kecakapan dalam berwirausaha perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius. Bisa kita

lihat di lingkungan kita, pada saat tetangga kita, ustad kita, baru keluar dari pondok

pesantren, mereka dengan semangat yang tinggi berusaha menularkan, menyampaikan

ilmu akherat kepada jamaah. Seiring waktu karena mereka jarang dibekali dengan

kompetensi dunia, begitu berkeluarga mereka sibuk mencari dunia sehingga lambat laun,

idealisme untuk selalu berbagi ilmu kalah oleh kebutuhan duniawi. Sehingga realita di

lapang banyak ustad kita yang kehidupannya rata-rata dari pengobatan islami dan herbal.

Dari ketiga aspek ini, mari kita sama-sama berpikir bagaimana meningkatkan

kuantitas dan kualitas pengusaha muslim, dengan berbagai cara. Misal seminar,

workshop, sampai dengan diskusi-diskusi di lingkungan kampus, kita ciptakan kegiatan

yang menarik untuk anak muda seperti young and shariah enterpreneur champ yaitu

sejenis acara kemah yang pesertanya adalah anak muda usia 18 s/d 30 tahun yang berisi

materi tentang bagaimana memandang enterpreneur dari sisi syariah yang tujuannya

diharapkan semakin banyak lahir pengusaha muda muslim yang berkualitas. Amin

Hadiono berharap, semoga sinergi dari akademisi, ulama, praktisi bisa menghasilkan

kualitas enterpreneur muslim yang berkualitas.

Dalam opininya : Membangun Ekonomi Umat, 17 Mei 2017, Suhardi El-

Behrouzy, Pemerhati Politik, Alumnus Pascasarjana Universitas Kebangsaan Malaysia

(UKM) di laman selasar.com, mengatakan bahwa, ekonomi menjadi pilar penting dalam
186

agama Islam. Bahkan dalam beberapa ungkapan Allah dalam Al-Quran, perintah salat

selalu disandingkan dengan zakat yang terkait dengan tingkat ekonomi umat. Sebab

hanya umat yang memiliki ekonomi yang cukuplah (nisab dan haul) yang dibebani zakat.

Itu artinya, umat harus memiliki ekonomi yang kuat.

Begitu pentingnya ekonomi dalam Islam, nabi dan para sahabat telah memberikan

teladan bagaimana umat harus memiliki ekonomi yang kuat. Sejarah telah mencatat

bagaimana nabi menjadi pengusaha sukses terpercaya dan memiliki ekonomi yang kuat

ketika muda. (https://www.selasar.com/jurnal/35707/Membangun-Ekonomi-Umat#_=_-

Opini)

Muhammad muda telah terbiasa dengan transaksi dan membaca peluang ekonomi

dengan menjadi rekan bisnis pengusaha kelas kakap Mekah, yakni Siti Khadijah. Saking

kayanya, Muhammad muda memberikan maskawin 20 ekor unta terbaik dan sejumlah

emas ketika menikah dengan rekan bisnisnya itu yang sekaligus juga bosnya. Penguasaan

ekonomi memang menjadi perhatian serius nabi dan para sahabat. Pengalaman umat

Islam ketika diembargo ekonominya oleh kaum kafir Quraisy selama tiga tahun menjadi

pelajaran yang amat berharga. Sehingga ketika hijrah ke Madinah, nabi dan para sahabat

membangun sarana yang akan menggerakkan peluang ekonomi umat yakni, pasar.

Kata Suhardi, lokasi pasarpun dibangun tidak terlalu jauh dari masjid. Pasar yang

luasnya lebih kurang lima hektare itu menjadi pusat ekonomi umat dan akhirnya mampu

mengalahkan dominasi ekonomi kaum Yahudi yang selama ini menguasai Madinah.

Pentingnya penguasaan ekonomi dalam Islam dan bagaimana nabi dan sahabat

berjaya dalam mengembangkan ekonomi umat sehingga bisa mengalahkan dominasi

ekonomi Yahudi di Madinah, seharusnya menyadarkan umat Islam di Indonesia untuk


187

segera bangkit dari ketertinggalan ekonomi. Apalagi di Indonesia umat Islam adalah umat

yang terbesar di dunia. Populasinya mencapai lebih dari dua ratus juta jiwa.

Banyaknya jumlah muslim di Indonesia sejatinya menjadi potensi ekonomi yang

sangat besar. Selama ini, peluang besar ini hanya dinikmati dan dikuasai oleh sekelompok

orang dan negara-negara lain di dunia. Umat Islam hanya menjadi objek atau konsumen

ekonomi saja, dan menyaksikan penguasaan ekonomi itu dikuasai oleh orang lain.

Potensi yang besar dan kesadaran akan pentingnya umat menguasai dan memiliki

ekonomi yang kuat inilah yang menyemangati Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk

menyadarkan umat dengan melakukan Kongres Ekonomi Umat pada 24-27 April 2017.

Ini adalah inisiasi besar MUI untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang selalu

menggelayuti pundak umat.

Alhamdulillah, lanjut Suhardi El-Behrouzy, Kongres Ekonomi Umat telah

berhasil melahirkan tujuh deklarasi. Yaitu:

Pertama, menegaskan sistem perekonomian nasional yang adil, merata, dan

mandiri dalam mengatasi kesenjangan ekonomi.

Kedua, mempercepat redistribusi dan optimalisasi sumber daya alam secara arif

dan keberlanjutan.

Ketiga, memperkuat sumber daya manusia yang kompeten dan berdaya saing

tinggi berbasis keunggulan IPTEK, inovasi, dan kewirausahaan.

Keempat, menggerakkan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah menjadi

pelaku usaha utama perekonomian nasional.

Kelima, mewujudkan mitra sejajar usaha besar dengan koperasi, usaha mikro,

kecil, dan Menengah dalam sistem produksi dan pasar terintegrasi.


188

Keenam, pengarusutamaan ekonomi syariah dalam perekonomian nasional, tetap

dalam bingkai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

Ketujuh, membentuk Komite Nasional Ekonomi Umat untuk mengawal arus baru

perekonomian Indonesia.

Ketujuh deklarasi ini sesungguhnya dapat dilihat sebagai momentum besar dalam

membangkitkan ekonomi umat. Hanya saja, jangan sampai umat melihat deklarasi ini

hebat ranah tulisan dan ucapan, tapi haruslah membumi dan menjadi kenyataan. Sebab,

betapapun hebatnya sebuah deklarasi, tapi bila tidak dijalankan, hanyalah akan menjadi

bunga-bunga impian yang terlihat indah dalam tatapan.

Memang, kata Suhardi El-Behrouzy, selama ini persoalan pemerataan dan

keadilan ekonomi menjadi masalah serius yang sedang dihadapi bangsa ini. Kesenjangan

antara yang kaya dan miskin, jurangnya semakin melebar. Bahkan menurut laporan

Global Wealth Report ekonomi kita di posisi keempat paling timpang karena 1% orang

terkaya menguasai 49,3% kekayaan nasional. Itu artinya kekayaan nasional hanya

dikuasai oleh beberapa orang saja. Dan ironisnya, kekayaan itu didominasi oleh orang-

orang di luar Islam.

Kendati negara kita tidak melarang dan membeda-bedakan agama, etnis dalam

penguasaan ekonomi, tapi jurang yang terlalu lebar dan umat mayoritas hanya menjadi

penonton dalam bidang ekonomi, akan berpotensi menimbulkan kecemburuan dan

masalah sosial di masyarakat. Apalagi penguasaan ekonomi oleh kelompok-kelompok

tertentu semakin hari semakin besar dan pemerintah seakan tidak memiliki solusi dalam

memberikan keadilan dan pemerataan ekonomi.


189

Dominasi kelompok tertentu dalam penguasaan ekonomi sebuah negara dan

potensi masalah yang akan lahir bila kesenjangan ini tidak segera diatasi inilah yang

membuat pemerintah Malaysia era Mahathir Muhammad melahirkan konsep Dasar

Ekonomi Baru (DEB). Dalam dasar ekonomi ini pemerintah Malaysia melakukan

proteksi dan memberikan peluang kemudahan bagi etnis Melayu dan etnis yang tertinggal

untuk meningkatkan ekonominya. Artinya pemerintah Malaysia melihat kemajuan

ekonomi Bumiputera menjadi teras penting dalam mewujudkan harmonisasi dan

persatuan sebuah negara.

Pemerintah Indonesia seharusnya bisa belajar dari Malaysia, walaupun tidak

memberikan kemudahan atas nama etnis tertentu seperti halnya Malaysia, tapi

memberikan kemudahan ekonomi bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan

masyarakat ekonomi lemah untuk tumbuh berkembang maju dengan kebijakan yang jelas

dan terukur sangatlah dinantikan rakyat. Tegas Suhardi El-Behrouzy. Sudah saatnya

pemerintah kita bersuara lantang dan bertindak nyata untuk melakukan pemerataan

ekonomi bagi setiap anak bangsa.

Menurutnya, hasrat untuk meningkatkan ekonomi umat ini, bukan hanya tugas

pemerintah saja, tapi juga harus diikuti oleh kesadaran umat dan turut sertanya

pengusaha-pengusaha muslim untuk membantu agar ekonomi umat bangkit serta semakin

banyaknya pengusaha-pengusaha muslim yang lahir. Peran Assosiasi Pengusaha Muslim

Indonesia dan juga HIPMI untuk memajukan dan merangsang tumbuhnya ekonomi umat

dengan lahirnya usaha dan pengusaha baru muslim sangat dinantikan.


190

Ide dan konsep One Kecamatan One Centre of Entrepreneurship (OK-OCE )

yang ditawarkan pasangan Anies-Sandi di DKI Jakarta menarik juga untuk diterapkan di

setiap daerah di Nusantara. Apalagi bidang entreupreneurship belum jadi pilihan umat.

Buktinya, Indonesia yang memiliki penduduk yang banyak, persentase pengusahanya

masih kalah dibanding Malaysia, Singapura, Jepang. Jumlah pengusaha Malaysia sudah

mencapai 5%, Singapura 7% dan Jepang 11% dari jumlah penduduk. Sedangkan

Indonesia berdasarkan catatan Kementerian Koperasi dan UKM hanya mencapai 3,1%,

dan dari persentase itupun pengusaha muslim masih amat sedikit. Oleh karena itu,

kesadaran umat untuk terus bergerak di bidang ekonomi ini adalah sangat penting guna

mempersempit jurang ekonomi. Apalagi kesadaran beragama di Indonesia kini semakin

hari semakin besar.

Besarnya potensi ekonomi umat harus dimanfaatkan oleh umat itu sendiri. Jangan

sampai populasi umat yang besar ini hanya dijadikan oleh orang dan negara lain sebagai

obyek usaha ekonomi mereka. Alhasil, umat tidak bisa berbicara secara ekonomi dan

terus menerus dijadikan budak ekonomi oleh kekuatan kapitalis yang mempunyai

kepentingan besar terhadap bangsa dan umat ini.

Sudah saatnya umat Islam Indonesia terbangun dari tidur panjangnya. Umat Islam

harus sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa menjadi muslim yang memiliki ekonomi

kuat adalah bagian dari perintah agama. Sebagaimana yang telah dicontohkan nabi.

Bahkan nabi dalam sabdanya menyatakan, mukmin yang kuat lebih dicintai Allah

ketimbang mukmin yang lemah. Selama ini banyak umat yang tidak menerima secara

utuh tentang ajaran Islam. Malah beberapa ceramah dan referensi, Nabi Muhammad

digambarkan sosok yang miskin. Padahal Nabi Muhammad bukanlah miskin. Nabi
191

adalah orang kaya, hanya saja harta kekayaannya cepat ia keluarkan untuk kepentingan

umat.

Dalam buku Muhammad Syafii Antonio yang berjudul, Muhammad SAW: The

Super Leader, Super Manager digambarkan bagaimana nabi sukses sebagai seorang

pemimpin dan juga manajer yang kaya. Bahkan nabi bertambah kaya setelah menikah

dengan miliarder Mekah Siti Khadijah. Hal ini ditunjukkan Allah dalam Al-Quran surat

Ad-Dhuha ayat 8 Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan (miskin)

lalu Dia menjadikanmu kaya raya.

Menilik bahwa ekonomi menjadi pilar penting dalam Islam dan sebuah bangsa,

maka kesadaran untuk membangun ekonomi umat harus menyebar di dalam setiap diri

umat Islam. Dan negara sebagai tempat umat ini tinggal, berkewajiban dalam membantu

mewujudkan impian umat ini. Sebab kemajuan umat di bidang ekonomi sesungguhnya

juga adalah kemajuan bangsa. Apalagi umat Islam adalah mayoritas penduduk negeri ini.

Umat dan negeri ini tidak boleh lalai lagi dalam meningkatkan ekonominya. Sebab,

persaingan era globalisasi ini, bukan lagi persaingan antar anak negeri ini, tapi sudah

menjadi persaingan antar negara yang menghuni planet ini.

Lalai dan lemah dalam aspek ekonomi akan membawa umat ini akan terus

menerus tergerus harga dirinya karena selalu memiliki ketergantungan dengan umat lain

dan ujungnya akan mempengaruhi independensi Indonesia sebagai sebuah negara dalam

memandang dan menetapkan tujuan pembangunannya. Tentu semua kita tidak

menginginkan umat dan bangsa ini akan selalu dijajah dan di bawah kendali kekuatan

ekonomi kapitalis dan sekelompok kaum saja. Sebab, kalau ekonomi umat negeri ini
192

tidak semakin bangkit, maka artinya kita hanya merdeka dari dentuman meriam penjajah,

tapi terjajah dalam kungkungan dominasi ekonomi.

Suhardi El-Behrouzy, berharap, semoga Kongres Ekonomi Umat 2017, April lalu

mampu membumikan ketujuh deklarasinya dan benar-benar menyentakkan kesadaran

ekonomi umat untuk segera bangkit dari ketertinggalannya. (Ibid.)

Tentu saja apa yang diharapkan Suhardi El-Behrouzy dengan Kongres Ekonomi

Umat itu sama dengan yang kita harapkan bersama, agar ekonomi umat di negeri ini

segera bangkit. Semoga pula dengan hadirnya Koperasi Syariah 212 benar-benar menjadi

ikhtiar untuk mewujudkan cita-cita kebangkitan ekonomi umat Muslim Indonesia.

Ketua II Koperasi Syariah 212 Valentino Dinsi menegaskan, bahwa dengan

persatuan potensi ekonomi umat Islam Indonesia akan punya daya saing yang luar biasa.

Potensi ekonomi yang besar ini perlu terus dirawat dengan menegakkan tiang utama

agama Islam yakni shalat.

Kita harus mencontoh kebangkitan ekonomi di Turki yang diawali dengan

pembiasaan shalat subuh berjamaah secara massal, ujar Dinsi. Katanya, aksi massa

seperti Aksi Bela Islam yang terjadi di Indonesia memiliki kemiripan dengan yang terjadi

di Turki. Dinsi menyebut Indonesia akan menjadi saudara kembar Turki menuju

kebangkitan ekonomi umat.

Lebih lanjut Dinsi menyampaikan, bahwa gerakan kebangkitan ekonomi umat itu

dimulai dari masjid. Terbukti pasca Aksi Bela Islam (ABI), kegiatan shalat shubuh

berjamaah yang diinisasi di banyak masjid bisa menjadi pintu utama dan modal dasar

bagi kebangkitan perekonomian umat.


193

Valentino berharap masyarakat dapat terus memberikan dukungannya kepada

lembaga perekonomian umat ini, sebab potensi keekonomian umat Islam Indonesia ini

bisa menyaingi kemajuan Turki di bawah kepeminpinan Erdogan. Bukan mustahil, kita

bisa berdampingan dengan Turki menjadi lokomotif ekonomi dunia, tegas Dinsi.

Untuk mewujudkan itu, lanjut Dinsi, umat Muslim harus membangun ekonomi

umat berbasis masjid. Hal ini terbuktikan, Rasulullah Saw membangun umat Islam di

Madina dengan membangun masjid terlebih dahulu. Baru setelah itu mempersatukan

kaum Muslimin dan membangun pasar.

Selain itu, kata Valentino Dinsi, besarnya jumlah masjid dan mushola di Indonesia

yang diperkirakan sekitar 850 ribu dan jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas

Muslim terbesar di dunia, ini menjadi modal dasar bagi kebangkitan ekonomi umat

Muslim Indonesia.

Ditegaskannya, kita harus menyadari bahwa sisi ekonomi adalah bagian dari

kelemahan umat Islam. Sehingga titik lemah bidang ekonomi ini harus dibenahi dengan

membangun ekonomi umat berjamaah melalui Koperasi Syariah 212 menjadi garda

terdepan. Koperasi Syariah 212 ini fardhu kifayah, momentum yang harus kita ambil.

Kalau kita tidak bersatu membangkitkan ekonomi umat Muslim Indonesia, kita akan

dipecah belah dan dikuasai asing aseng, tegas Dinsi. (koperasisyariah212.co.id)

Tentang bagaimana peran masjid dalam membangun ekonomi umat itu, dijelaskan

Ahmad Syarnubih, Mahasiswa Perbankan Syariah Univ. Muhammadiyah Tangerang,

Ketua Kelompok Studi Ekonomi Islam SCiBe UMT 2015-2016, dalam tulisannya di

https://www.islampos.com/, 21 Maret 2017, dengan judul: Peran Masjid dalam

Membangun Ekonomi Umat. Dikatakan Syarnubih, Masjid adalah tempat ibadah kaum
194

muslimin yang memiliki peran strategis untuk kemajuan peradaban ummat Islam. Sejarah

telah membuktikan multi fungsi peranan masjid tersebut. Masjid bukan saja tempat

shalat, tetapi juga sebagai pusat pendidikan, pengajian keagamaan, militer dan fungsi-

fungsi sosial-ekonomi lainnya.

Kebijakan Rasulullah yang pertama ialah membangun Masjid sebagai tempat

ibadah, menguatkan rasa persaudaraan, mendalami ajaran Islam baik dalam segi Ibadah

maupun Muamalah. Rasulullah SAW pun telah mencontohkan multifungsi Masjid dalam

membina dan mengurusi seluruh kepentingan umat, baik di bidang ekonomi, politik,

sosial, pendidikan, militer, dan lain sebagainya.

Sejarah juga mencatat, bahwa masjid Nabawi oleh Rasulullah SAW difungsikan

sebagai (1) pusat ibadah, (2) pusat pendidikan dan pengajaran, (3) pusat penyelesaian

problematika umat dalam aspek hukum (peradilan) (4). pusat pemberdayaan ekonomi

umat melalui Baitul Mal (ZISWAF). (5) pusat informasi Islam, (6) Bahkan pernah

sebagai pusat pelatihan militer dan urusan-urusan pemerintahan Rasulullah. Masih

banyak fungsi masjid yang lain. Singkatnya, pada zaman Rasulullah, masjid dijadikan

sebagai pusat peradaban Islam. (https://www.islampos.com/peran-masjid-dalam-

membangun-ekonomi-umat-14215/)

Masjid menjadi salah satu tempat kebajikan dan kemaslahatan umat, baik dalam

ukhrawi maupun duniawi dalam segala macam aspek manajemen masjid. Namun pada

masa kini, fungsi masjid terlalu berdimensi duniawi sehingga peran-peran masjid pada

masa kini jauh berbeda dengan masa kebijakan Rasulullah SAW pada masa itu. Banyak

masjid berdiri megah nan mewah, namun masih banyak jamaah masjid itu sendiri yang

ekonominya jauh dari cukup. Lalu dimana fungsi masjid yang Rasulullah SAW terapkan?
195

Ibnu Khaldun pernah berkata Ekonomi adalah tiang dan pilar paling penting

untuk membangun peradaban Islam (Imarah). Tanpa kemapanan ekonomi, kejayaan

Islam sulit dicapai bahkan tak mungkin diwujudkan. Ekonomi penting untuk membangun

negara dan menciptakan kesejahteraan umat.

Lalu pertanyaannya, bagaimana peran Masjid dalam membangun Ekonomi Umat?

Apa Ekonomi Umat itu? Dikatakan oleh Ahmad Syarnubih, salah satu peran atau fungsi

masjid pada masa Rasulullah SAW adalah sebagai pusat pemberdayaan Ekonomi Umat

melalui Baitu Mal (ZISWAF). Pada masa sekarang, peran Nazir masjid atau pengurus

masjid atau DKM masjid sangat penting dalam hal ini. Masalah Nazir Masjid banyak

mengalami problem mismanajemen dalam memakmurkan masjid yang terjadi saat ini.

Salah satu penyebab terjadinya mismanajemen tersebut adalah pengurus masjid (nazir

mesjid) yag kurang memiliki kapabilitas dan kurang berwawasan dalam beragama.

Padahal nazir masjid, khususnya yang membidangi dakwah, sangat menentukan untuk

kebangkitan kembali peradaban Islam seperti masa lampau.

Bagi Syarnubih, nazir masjid sangat menentukan maju-mundurnya umat Islam.

Nazir masjid yang kurang berwawasan yang memandang agama Islam sebatas ibadah dan

aqidah hanya tertarik dengan kajian spiritual belaka, sehingga mereka mengundang para

ustadz yang ahli fiqih ibadah dan ahli teologi/sufistik saja. Nazir masjid sangat jarang

memilih materi ekonomi Islam yang ruang lingkupnya sangat luas. Padahal mengkaji

ekonomi syariah hukumnya wajib.

Selama ini materi ceramah dalam pengajian rutin berkisar di seputar tauhid,

tasawuf, fiqh, keluarga sakinah, akhlak dan ada pula yang secara khusus mengkaji tafsir

atau hadits. Namun sangat jarang membahas kajian muamalah (ekonomi Islam). Padahal
196

ekonomi Islam adalah bagian penting dari ajaran Islam. Masalah ekonomi adalah masalah

paling urgen (dharury). Para ulama masa lampau tak pernah mengabaikan kajian ekonomi

Islam. Hal itu bisa dibuktikan dalam kitab-kitab hasil karya mereka.

Ekonomi Islam bukan saja menjadi pilar dan rukun kemajuan Islam, tetapi juga

merupakan fardhu ain untuk diketahui setiap muslim. Nazir masjid yang cerdas dan

ingin akan kebangkitan Islam, akan menjadikan materi ekonomi Islam sebagai salah satu

materi kajian dalam pengajian agama di masjid, baik dalam pengajian rutin atau tabligh

keagamaan maupun dalam khutbah Jumat.

Jika Nazir masjid sudah diisi orang-orang yang paham ibadah dan muamalah,

paham system ekonomi Islam, bukan tidak mungkin mereka akan membangun sebuah

Baitul Mal untuk pemberdayaan Ekonomi Ummat. Peran Baitul Mal untuk masjid sangat

penting bagi umat atau jamaah. Baitul Mal yang berfungsi sebagai penghimpun dana dan

penyalur dana baik itu untuk Zakat, infak, Shodaqoh dan wakaf maupun menyimpan

uang, akan sangat membantu pereknomian umat atau jamaah setempat.

Contoh, umat yang sedang membutuhkan uang, ia tidak harus susah payah pinjam

ke renternir ataupun Bank, yang pada umumnya memakai sistem bunga pinjaman, dan

kita tahu bahwa itu adalah riba, dan riba jelas-jelas dilarang Allah SWT. Dengan adanya

baitul Mal, umat dapat meminjam dana dari Baitul Mal dengan tidak memakai bunga.

Kalau pinjam 1 juta, maka ia harus mengembalikannya 1 juta pula, tidak ada embel-

embel lainnya. Dan tidak hanya masalah pinjam uang, contoh lain yakni jika ada keluarga

jamaah yang meninggal dengan kondisi ekonomi kebawah, peran masjid melalui Baitul

Mal ini sangat penting. Karena melalui Baitul Mal, Nazir masjid dapat memberikan

bantuan berupa perlengkapan yang dibutuhkan, misalnya kain kafan, sabun, wewangian
197

maupun dana. Bahkan dari sisi ekonomi, kita bisa menjadikan mustahiq sebagai

pengusaha / pedagang. Dengan cara memberikan modal usaha kepada para mustahiq

untuk berdagang, dengan kesepakatan nisbah / bagi hasil keuntungan atau kerugian.

Misalnya, nisbah yang disepakati adalah 40:60, 40% untuk masjid dan 60% untuk

Mustahiq. Jadi, jika mendapat keuntungan Rp. 500.000,- si mustahiq wajib memberikan

40% dari Rp. 500.000 itu kepada masjid. Namun jika mengalami kerugian, maka akan

ditanggung oleh keduanya, agar tidak saling memojokkan satu sama lain. Dan masih

banyak fungsi Baitul Mal yang dapat memakmurkan dan mensejahterakan perekonomian

ummat. Tidak hanya Baitul Mal, mungkin saja untuk ke depannya Ummat/Jamaah akan

banyak mengerti dengan sistem ekonomi Islam. Mulai dari akad-akad dalam muamalah

seperti Syirkah, Ijarah, Rahn, Salam, Istishna, Hawalah, Wakalah, Wadiah, Mudharabah

dan lainnya, juga mengetahui transaksi yang dilarang oleh Islam, seperti Riba, Gharar,

Maysir, manipulasi, dan sebagainya.

Berbagai materi itu secara mendasar harus dipahami oleh Umat Islam agar tidak

terperosok ke dalam transaksi yang Batil. Ulama Abdul Sattar, mengatakan, mengetahui

hukum ekonomi Islam adalah dharuriyah (kemestian primer/utama) yang tak bisa

ditawar. Jika tidak diketahui, maka dikhawatirkan sekali umat Islam akan terperosok

kepada praktek kebatilan.

Menurut Ahmad Syarnubih, jika semua dapat dibangun dan diterapkan, maka

Insya Allah peran masjid dalam Membangun Ekonomi Umat akan terus berkembang.

Pembagian zakat akan merata, kemiskinan akan berkurang, jumlah mustahiq akan

berkurang, serta kesenjangan perekonomian Umat akan sejahtera. (Ibid.)


198

Anif Punti Utomo, Direktur Indostrategic Economic Inteligence, menulis di

Koran HALUAN, 5 November 2014 dengan judul: Momentum Ekonomi Syariah,

menilai susunan kabinetnya Jokowi dipandang dari perspektif ekonomi syariah, ada satu

sosok yang menarik, yakni terpilihnya Bambang Brodjonegoro menjadi menteri

keuangan. Bambang menyisihkan kandidat kuat lain, salah satu yang pernah disebut

sebagai pesaing adalah seniornya, Sri Mulyani. Tapi kini ia digeser menjadi Menteri

Bappenas.

Mengapa menarik? Tanya Anif Punti Utomo. Itu karena, Bambang Brodjonegoro

adalah ketua umum Ikatan Ahli Ekonomi Syariah Indonesia (IAEI). Jika hanya melihat

Bambang Brodjo sebagai menteri keuangan sekaligus ketua umum IAEI, mungkin juga

biasa saja. Namun, ketika dikaitkan dengan kolega dia yang sama-sama menjadi

komandan dalam otoritas keuangan sekaligus menjadi ketua organisasi ekonomi syariah,

di situ daya tariknya. Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad, dalam

organisasi ekonomi syariah, dia menjadi ketua umum Masyarakat Ekonomi Syariah

(MES). Berikutnya, Halim Alamsyah, selain sebagai deputi gubernur BI, dia juga sebagai

ketua umum Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES).

Integritas Bambang Brodjo, Muliaman, dan Halim Alamsyah tentunya tidak

diragukan terhadap perkembangan ekonomi syariah. Tinggal bagaimana menyinergikan

keotoritasan trio tersebut untuk mendukung perkembangan ekonomi syariah agar

Indonesia segera menjadi salah satu pusat ekonomi syariah global.

Jika kita menengok ke belakang, tonggak sejarah ekonomi syariah dimulai dengan

lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 November 1991. Berdirinya bank
199

tersebut merupakah inisiatif masyarakat Islam di Indonesia untuk mengembangkan

ekonomi syariah. Sejak itu industri keuangan dan bisnis syariah berkembang fantastis.

Dari sisi kinerja, dalam lima tahun terakhir bank syariah tumbuh 35-40 persen,

tetapi jika dilihat dari pangsa pasar masih sangat rendah, posisinya di sekitar 4,6 persen.

Begitu pula industri keuangan lain, seperti asuransi, pembiayaan, juga transaksi di bursa

saham masih belum tembus lima persen. (http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label-

/Ekonomi%20Syariah%20-%20Momentum)

Pencapaian pangsa pasar itu jauh di bawah perbankan syariah di Malaysia yang

sudah 23 persen. Betul bahwa Malaysia sudah mengembangkan bank syariah satu dekade

sebelum kita. Namun, mereka tidak perlu 20 tahun untuk mencapai pangsa pasar itu,

sementara Indonesia sudah hampir seperempat abad masih di bawah lima persen.

Untuk mencapai pangsa pasar itu, Malaysia tidak hanya mengandalkan

pertumbuhan organik. Pemerintah sangat concern pada perkembangan bank syariah

sehingga banyak kebijakan keuangan yang menguntungkan sekaligus mendorong bank

syariah. Karena itu perlu langkah-langkah radikal untuk mengembangkan ekonomi

syariah yang idealnya dimulai dari perbankan. Jika bank syariah tumbuh pesat, industri

keuangan lainnya akan mengikuti, berikutnya gerbong sektor riil syariah juga akan

terangkut.

Masalahnya, dari mana memulainya? Berdirinya BMI merupakan langkah

revolusioner yang diinisiatori oleh masyarakat atau lebih dikenal dengan istilah society

driven. Kini untuk menjadikan perbankan syariah memiliki pangsa pasar 20 persen,

dibutuhkan langkah revolusioner kedua. Dan, revolusi babak kedua ini harus dilakukan

pemerintah (government driven).


200

Menurut Anif Punti Utomo, ada dua strategi pendekatan pengembangan anorganik

yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, memiliki bank negara yang beraset besar

sampai ratusan triliun rupiah. Bank ini nantinya akan menjadi simbol bagi ekonomi

syariah di Indonesia. Negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini sudah

seharusnya memiliki bank syariah raksasa. Alternatif yang bisa dipilih adalah

memergerkan bank syariah yang dimiliki oleh bank negara, yakni Bank Syariah Mandiri,

BNI Syariah, BRI Syariah, dan BTN Syariah. Jika keempat bank itu dimergerkan, akan

memiliki aset sekitar Rp 115 triliun. Tidak cukup besar untuk menjadi bank syariah yang

besar. Cara ini juga tidak akan meningkatkan pangsa pasar. Alternatif lain adalah,

mendirikan bank syariah baru yang tentu harus bermodal besar, minimal Rp 20 triliun

sehingga bisa beraset di atas Rp 200 triliun. Langkah ini tidak seribet memergerkan bank,

tetapi membutuhkan dana tunai dari pemerintah. Jika dilakukan, akan menaikkan pangsa

pasar bank syariah. Alternatif berikutnya yang ekstrem adalah, mengonversi bank BUMN

menjadi bank syariah. Beberapa tahun lalu sempat ada wacana Bank BTN mau

dikonversi, tetapi urung dilaksanakan. Wacana itu perlu dibangkitkan lagi. Bahkan bukan

BTN yang dikonversi, melainkan BRI yang asetnya per September 2014 mencapai Rp

486 triliun.

Menurut kajian Anna Marina dkk (2013), ada kesamaan antara BRI dan bank

syariah, misalnya, customer base yang mirip, yaitu ritel, UKM, pertanian, dan

perekonomian rural. BRI juga menggarap pasar bidang infrastruktur, produksi, dan

perdagangan produk halal, seperti makanan, minuman, dan obat-obatan. Jika BRI

dikonversi, apalagi dilanjutkan dengan mengakuisisi bank syariah yang dimiliki bank

BUMN, dengan perhitungan neraca Juni, aset bank syariah itu mencapai Rp 591 triliun.
201

Pangsa pasar pun masih sekitar 13 persen. Namun, setidaknya sudah mengalahkan aset

Bank Islam Malaysia yang Rp 195 triliun dan menjadi salah satu bank syariah terbesar

dunia.

Langkah kedua untuk mengembangkan bank syariah sekaligus menunjukkan

komitmen, pemerintah membuat kebijakan menempatkan sebagian dana APBN atau dana

yang berhubungan dengan pemerintah dan BUMN di bank syariah. Langkah ini yang

dilakukan Malaysia sehingga pangsa pasar bank syariah signifikan.

Ketika Anggito Abimanyu menjadi Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, dia

mewajibkan setoran dana dari calon haji lewat bank syariah. Dari sini perbankan syariah

memperoleh tambahan dana Rp 16 triliun. Terobosan seperti ini seharusnya

menginspirasi otoritas keuangan untuk lebih berperan.

Barangkali kelak tidak akan terulang lagi tiga tokoh ketua umum organisasi

ekonomi syariah sekaligus menduduki posisi di puncak otoritas moneter berbeda. Karena

itu, sekaranglah saatnya posisi mereka dioptimalkan untuk kebaikan umat. Jadikan

kesempatan ini menjadi momentum kebangkitan kedua ekonomi syariah.

Selama ini society driven sudah melakukan langkah revolusioner. Kini, giliran

pemerintah dengan government driven melakukan langkah revolusioner untuk

menggenjot pangsa pasar bank syariah sebesar negara jiran. Kita tunggu kiprah ketiga

tokoh itu untuk menyinergikan kekuatan masyarakat dan pemerintah agar Indonesia

menjadi pusat ekonomi syariah dunia. (Ibid.)

Pernyataan Anif Punti Utomo di atas, bahwa harus ada langkah revolusioner dari

pemerintah menjadi sangat penting bagi perkembangan kemajuan ekonomi syariah dan

ekonomi umat ini. Hal itu pun diperkuat dengan penjelasan Presiden IIBF (Indonesia
202

Islamic Business Forum (IIBF) Ir. H. Heppy Trenggono di laman http://iibf-

indonesia.com 29 April 2017.

Dikatakan oleh Heppy Trenggono, meski Kongres Ekonomi Umat oleh Majelis

Ulama Indonesia (MUI) telah selesai digelar, namun tujuan utamanya baru saja dimulai.

Arus Baru Ekonomi Indonesia bukan hanya sebuah jargon semata, oleh karenanya harus

dikawal agar segera terwujud. Yaitu, mengembalikan sistem ekonomi Indonesia sesuai

cita-cita kemerdekaan sebagaimana termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945, demikian

pandangan kongres ekonomi umat itu.

Karena kenyataan yang dihadapi hari ini adalah pertumbuhan ekonomi yang

diklaim nomer tiga didunia, yaitu 5,02 persen, hanya kalah dari India dan China, namun

jurang kesenjangan kian melebar. Kekayaan 4 orang taipan setara dengan kekayaan 100

juta penduduk Indonesia. Dengan mayoritas penduduk muslim maka ini menunjukkan

ketertinggalan umat Islam dalam perekonomian.

Ia menyambut baik rencana pembentukan Komite Nasional Ekonomi Umat

(Komas Ekomat) sebagai salah satu hasil dalam kongres yang digelar MUI tersebut. Hal

itu sangat diperlukan untuk mengawal arus baru perekonomian Indonesia. Selama ini

urusan ekonomi keumatan tidak ada yang ngurusi, Presiden tidak, apalagi menteri-

menterinya. Maka semakin lama umat semakin marjinal dan tergusur. Sehingga

diperlukan sebuah organisasi yang didirikan dengan tujuan memantau, memajukan,

melindungi, dan memperjuangkan kepentingan pembangunan ekonomi umat termasuk

melakukan gerakan agar tercipta perundang-undangan yang berpihak kepada umat di

tengah pembangunan ekonomi nasional jelas Heppy.


203

Heppy mengakui memang yang mendorong adanya Komnas yang mengurusi

ekonomi umat pada Kongres Ekonomi Umat MUI adalah gagasan dan perjuangan IIBF

sejak awal. Menurutnya, desain politik ekonomi akan menentukan bagaimana wajah

perekonomian sebuah bangsa. Sebut saja teori Trickle Down Effect (efek rambatan) dalam

upaya pemerataan pembangunan yang sempat mewarani perjalanan pembangunan

ekonomi nasional. Sebuah teori yang merupakan konsep utama dari kapitalisme.

Membesarkan segelintir pengusaha, lalu darinya diharapkan ekonomi akan menetes ke

bawah. Karena konsep tersebut akhirnya pemerintah lebih menggenjot pertumbuhan

ekonomi namun mengabaikan pemerataan. Bisnis mereka membesar dan menggurita

menghasilkan konglomerasi seperti yang kita lihat saat ini. Sayangnya, sebagian besar

masyarakat Indonesia justru terpuruk dalam kemiskinan. Ketimpangan ekonomi menjadi

pemandangan umum di banyak negara di dunia yang menerapkan teori ini.

Sehingga dengan spirit arus baru ekonomi Indonesia, Heppy Trenggono Peraih

Anugerah Tokoh Perubahan Indonesia dari Republika tahun 2011 itu, berharap desain

politik ekonomi yang menciptakan jurang kesenjangan tak boleh dilanjutkan. Terjadinya

pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan terwujudnya kehidupan umat (masyarakat)

yang semakin sejahtera itulah arus baru ekonomi Indonesia ke depan, terang Heppy.

Membangun ekonomi adalah sebuah rekayasa politik, tanpa politicall will tidak

terbangun ekonomi umat. Jumlah umat Islam yang sangat besar tidak berperan dalam

perekonomian karena tidak dirancang untuk memegang, demikian tandas Heppy. (Ibid.)

Sementara itu, Luqyan Tamanni, PhD kandidat bidang Keuangan Mikro Islam di

University of Glasgow menyatakan kepada insancendekia.org bahwa untuk menerapkan

ekonomi Islam ada beberapa paradigma yang harus ditinjau ulang, misalnya tentang
204

obsesi terhadap pertumbuhan dan deficit financing yang sekarang diterapkan. Alhasil,

untuk memastikan pertumbuhan ekonomi tumbuh dengan baik, langkah yang diambil

banyak negara adalah menggenjot tingkat konsumsi rumah tangga untuk juga harus naik.

Selain itu, growth focus juga menjadikan defisit sebagai keniscayaan dan ketika

pendapatan negara tidak mencukupi maka hutang menjadi solusi. (http://www.insan-

cendekia.org/grak/319-membangun-bangsa-dengan-ekonomi-islam)

Persoalannya bukan hanya mengenai pembayaran hutang dan bunga setiap

tahun, tetapi juga tentang pemenuhan syarat (conditionality) yang harus dilakukan untuk

menjadikan Indonesia negara tidak mandiri, ujar Luqyan, Dengan adanya syarat hutang

dengan Jepang misalnya, Indonesia tidak kuasa menolak mobil produksi negara debitur

untuk masuk ke Indonesia. Jadi tidak heran kalau kemacetan bertambah terus walau

jalanan makin banyak dibuat, tambah Luqyan.

Kesimpulannya, Indonesia mempunyai banyak alasan untuk mempertimbangkan

konsepsi yang dibangun dalam diskursus ekonomi Islam. Kemandirian dan kemakmuran

bangsa adalah amanat konstitusi, yang semangatnya sudah ada dalam ekonomi Islam.

Di sini Pemerintah dan pengambil kebijakan juga perlu merubah mindset secara

perlahan, terutama hasrat berhutang. Lebih baik menggunakan resources yang ada untuk

memacu pertumbuhan dan kestabilan ekonomi nasional. Ekonomi Islam memberikan

banyak instrumen untuk mencapai tujuan tersebut.

Murniati Mukhlisin, Dosen Akuntansi Islam STEI Tazkia yang bertugas di Inggris

menjelaskan pentingnya peranan keluarga Indonesia untuk memastikan kontribusi

ekonomi Islam bagi pembangunan bangsa. Keluarga Indonesia harus banyak belajar

tentang apa saja yang menjadi larangan dalam bertransaksi keuangan, baik jenis dari
205

transaksi keuangan syariah, masalah zakat maupun persoalan hutang. Hal ini penting

supaya para keluarga dapat mempraktikkan ekonomi secara Islami di lingkungan sendiri,

ekonomi berbasis masyarakat, berwirausaha dengan menggunakan akad Islami. Selain itu

menjadikan lembaga keuangan syariah yang ada sebagai mitra. Terhadap persoalan bank

syariah yang belum sepenuhnya syariah harusnya diberi solusinya oleh keluarga ini

dengan cara membesarkannya bersama-sama.

Murniati mengatakan walau hutang diperbolehkan dalam Islam, namun hutang

yang berlebihan itu dilarang Rasulullah SAW. Sehingga ada doa untuk dapat jauh dari

hutang. Di dalam Kitab Al-Muwatta Imam Malik, Umar bin Khattab menyebutkan

hutang itu dimulai dengan ketakutan dan diakhiri dengan perseteruan, dan kalau kita

pikir-pikir sama persis apa yang juga banyak dialami oleh banyak keluarga-keluarga di

Indonesia, ujar Murniati. (Ibid.)

Herman, mahasiswa FAI-UMJ, anggota Lembaga Pengkajian dan Perbankan

Syariah (LKPES) UMJ, mengajak tegas kita kembali saja ke ekonomi Islam. Karena

terbukti sistem ekonomi yang ada tidak mampu memberikan kesejahteraan malah hanya

melahirkan ketimpangan ekonomi dan tidak memiliki kekuatan dalam menghadang

berbagai krisis keuangan.

Dalam opininya di Suara Karya, 10 Februari 2012, judul : Neoliberalisme dan

Ekonomi Islam dikatakan bahwa setiap sistem ekonomi memiliki filosofi yang berbeda

antara yang satu dengan yang lainnya. Seperti sistem ekonomi kapitalis, filosofi

ekonominya tercermin dalam dua ungkapan yaitu laissez faire dan invisible hand yang

merupakan konsep Adam Smith. Dengan filosofi ini setiap pelaku ekonomi diberikan

kebebasan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.


206

Adam Smith menyatakan bahwa jika setiap individu diberikan kebebasan untuk

mengembangkan modal yang dimilikinya, maka kesejahteraan akan dapat terealisasi. Hal

tersebut merupakan inti dari teori invisible hand yang digagasnya. Akan tetapi, dalam

kenyataannya sistem ini tidak mampu memberikan kesejahteraan malah hanya

melahirkan ketimpangan ekonomi dan tidak memiliki kekuatan dalam menghadang

berbagai krisis keuangan.


Krisis keuangan yang melanda dunia saat ini tidak hanya berdampak di Amerika

Serikat sebagai episentrum krisis keuangan. Tapi, juga berdampak pada negara-negara

maju lainnya, seperti di kawasan Eropa dan Asia. Krisis yang terjadi saat ini adalah

bagian dari siklus ekonomi kapitalisme.


Dalam catatan sejarah ekonomi krisis keuangan dan ekonomi terjadi di negara-

negara kapitalis. Roy Davies dan Glyn Davies (1996) dalam buku, The History of Money

From Ancient time to Present Day, menguraikan bahwa sepanjang abad 20 telah terjadi

lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa

rata-rata setiap lima tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan

bagi ratusan juta umat manusia.


Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menjadi bukti matinya sistem

pasar bebas. Sungguh ironis, negara yang selama ini diklaim sebagai negara adidaya,

tidak berdaya menghadapi krisis. Banyak yang mengatakan bahwa krisis ini adalah bukti

kematian neoliberalisme. Sehingga, dunia perlu menata kembali peran negara, pasar dan

rakyat dalam menciptakan kesejahteraan sosial yang berkeadilan.


Kegagalan neoliberalisme menjadi begitu nyata ketika ketimpangan yang terjadi

di negara berkembang, justru menyerang pencetusnya, Amerika Serikat. Perekonomian

mereka collaps pasca jatuhnya Lehman Brothers. Orientasi pembangunan yang bertumpu
207

pada pertumbuhan ekonomi seperti dalam dogma kapitalisme, terbukti tidak mampu

menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dunia.


Hal ini karena sistem kapitalisme berdasarkan fondasi monetary based economy bukan

real based economy, sehingga rente ekonomi yang diperoleh bukan berdasarkan hasil

investasi produktif, namun dari investasi spekulatif. Kenyataan bahwa uang yang beredar

melalui transaksi di Wall Street adalah 3 triliun dolar AS per hari, dimana 90 persen

kegiatannya spekulatif tanpa memberikan kontribusi yang berarti bagi rakyat kecil. Hal

ini memperjelas bahwa ekonomi kapitalis yang diterapkan selama ini salah. (http://budi-

sansblog.blogspot.co.id/search/label/Ekonomi%20Islam)
Jadi karena itu, kata Herman, faham neoliberalisme tidak bisa dipertahankan.

Ekonomi kapitalisme yang menganut laizes faire dan berbasis riba kembali tergugat.

Kesenjangan ekonomi semakin tajam, kemiskinan dan pengangguran menggurita, serta

fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat. Kursyid Ahmad (2001), secara tajam mengkritik

ekonomi kapitalisme dengan mengatakan bahwa paradigma ekonomi konvensional yang

muncul saat ini bercirikan pada paradigma yang berupaya melepaskan ilmu ekonomi dari

semua kaitan transendental dan kepedulian etika, agama dan nilai-nilai moral.
Begitulah, kata Herman, kapitalisme telah menunjukkan kegagalannya dalam

mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan. Maka, kita perlu sistem ekonomi yang bisa

menjadi solusi terbaik dari kegagalan kapitalisme. Data empiris menunjukkan bahwa

pemecahan masalah ekonomi dunia selama ini hanya bersifat sementara. Untuk

memperoleh solusi terbaik dan berkesinambungan, kita harus mampu merekonstruksi

ekonomi Islam sebagai solusi ekonomi yang berkeadilan. Ekonomi Islam harus mampu

mengubah ketimpangan-ketimpangan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalis agar

berbagai ketimpangan tersebut tidak semakin mengakar.


208

Hidayat (2009), mengatakan, ketika sistem ekonomi kapitalisme mengalami

kerapuhan, orang mulai berfikir tentang sistem ekonomi yang mampu menghadapi

turbulensi neoliberalisme dan lebih dapat menyejahterakan rakyat. Solusi yang layak

dikaji dan dipraktikkan adalah ekonomi Islam. Munculnya ekonomi Islam dalam

peradaban dunia merupakan perkembangan menarik bagi pengembangan sosial dan

ekonomi yang selama ini terhegemoni dengan kekuatan kapitalisme Barat.


Sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem yang selama ini dipahami

dan diamini banyak negara. Tujuan dari ekonomi Islam bukan semata-mata berorientasi

pada materi, tetapi lebih pada konsep kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, yang

memberikan nilai keadilan ekonomi yang seimbang antara kebutuhan materi dan rohani

yang berdasarkan Al Qur'an dan sunnah Nabi. Ekonomi Islam tidak bisa dipisahkan dari

tiga konsep Islam, yaitu aqidah, syari'ah dan akhlaq.


Jadi dalam praktiknya, ekonomi Islam harus memuat tiga konsep Islam tersebut

agar kemaslahatan dan kesejahteraan manusia benar-benar terwujud secara adil. Inilah

perbedaan fundamental antara ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme yang tidak

akan pernah bertemu. Dimana teori-teori ekonomi kapitalisme mengalami perubahan dari

masa ke masa. Hal ini berangkat dari pandangan tentang kebenaran yang mereka anut

bersifat relatif. (Ibid.)

Berbicara tentang ekonomi syariah spektrumnya sangat luas, yaitu segala upaya

untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik kebutuhan dasar/pokok (addharuriyat),

kebutuhan sekunder (al-hajiyat), maupun kebutuhan tersier (attahsiniyat) sesuai dengan

prinsip syariah. Pemenuhan kebutuhan hidup tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan

produksi, konsumsi, investasi, perdagangan, dan jasa.


209

Dalam praktiknya, ekonomi syariah mencakup industri keuangan syariah seperti

perbankan, asuransi, pasar modal, lembaga pembiayaan, dan sukuk; pariwisata syariah,

termasuk di dalamnya hotel syariah, salon dan spa syariah; halal food termasuk bahan

pangan, obat-obatan, kosmetik, dan produk olahan lainnya; pelayanan kesehatan seperti

rumah sakit dan laboratorium; life style seperti fashion serta lembaga/instrumen sosial,

seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf.

Rahmat Hidayat, bekerja di Kemenpera, Anggota Pleno Dewan Syariah Nasional

(DSN)-MUI, dalam opininya di Koran HALUAN, 22 Agustus 2014 : Pengarusutamaan

Ekonomi Syariah mengatakan bahwa ekonomi syariah itu dikembangkan dalam rangka

memenuhi (mengakomodasi) kebutuhan masyarakat, khususnya umat Islam yang ingin

bertransaksi, berinvestasi, dan memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan prinsip

syariah (sharia compliance). Dan seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran

masyarakat untuk bermuamalat sesuai syariah, kegiatan ekonomi syariah terutama dalam

20 tahun terakhir tumbuh secara signifikan, baik dari sisi kelembagaan, regulasi, maupun

bisnis. (http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label/Ekonomi%20Syariah%20-%20-

Pengarusutamaan)

Dari sisi kelembagaan banyak sekali berdiri lembaga keuangan syariah (LKS),

mulai dari perbankan, asuransi, reasuransi, lembaga pembiayaan, pasar modal, reksadana,

lembaga penjaminan, koperasi syariah, BMT, dan lembaga wakaf. Dan dari sisi

kelembagaan ini, Indonesia yang paling banyak dan variatif di dunia.

Kemudian dari sisi regulasi, lahir sejumlah peraturan perundang-undangan di

bidang ekonomi syariah, seperti UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah

Negara (SBSN), Peraturan Bank Indonesia (PBI), dan Surat Edaran BI yang terkait
210

dengan Perbankan Syariah, Peraturan Jasa Koperasi Keuangan Syariah, Peraturan

Menteri Keuangn (PMK) yang terkait dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS),

Peraturan OJK, dan juga berbagai fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.

Lalu dari sisi bisnis, perbankan syariah di Indonesia tumbuh sekitar 30-40 persen

yoy. Sementara perbankan konvesional berkisar 18-21 persen per tahun. Asuransi syariah

tumbuh sekitar 45 persen yoy dan pembiayaan syariah tumbuh 27,22 persen yoy. Nilai

kapitalisasi pasar saham syariah mencapai Rp 2.618,1 triliun atau 58,4 persen dari

kapitalisasai pasar BEI dan sampai Oktober 2013 mencapai Rp 4.485 triliun (OJK, 10

Desember 2013). Total penerbitan sukuk negara (SBSN) sampai Juli 2014 telah mencapai

Rp 233,1 triliun (Kemenkeu, 15 Juli 2014) dan menjadi salah satu sumber potensial

pembiayaan APBN untuk menutup defisit APBN.

Namun demikian, pangsa pasar (market share) ekonomi syariah di Indonesia

masih rendah. Untuk perbankan baru sekitar 4,9 persen dari industri perbankan nasional.

Demikian pula market share industri keuangan syariah non-bank masih berkisar 3,01

persen. Padahal, potensi ekonomi syariah di Indonesia sangat besar.

Selama ini perkembangan ekonomi syariah di Indonesia lebih banyak didorong

oleh masyarakat (bottom-up) dan peran pemerintah dirasakan masih kurang. Berdasarkan

pengalaman beberapa negara di mana ekonomi syariahnya tumbuh secara meyakinkan

dan pangsa pasarnya cukup besar, seperti Malaysia, Arab Saudi, Iran, dan UEA, peran

dan kebijakan pemerintahnya sangat nyata mendorong perkembangan ekonomi syariah di

beberapa negara tersebut.

Oleh karena itu, kata Rahmat Hidayat, agar ekonomi syariah tumbuh secara lebih

baik di Idonesia dan market share-nya meningkat secara signifikan, pemerintah harus
211

memberi dukungan lebih nyata melalui berbagai kebijakan pro syariah yaitu

pengarusutamaan ekonomi syariah (sharia mainstreaming).

Kebijakan tersebut dirumuskan dan dilakukan secara sistematis, komprehensif,

integratif, dan sinergis antarpemangku kepentingan, mencakup: (1) peningkatan

koordinasi, kerja sama dan sinergi berbagai pihak untuk mendukung pengembangan eko-

nomi syariah di Indonesia; (2) pemberian iklim yang kondusif (friendly) baik di tataran

makro maupun mikro, agar ekonomi syariah dapat berkembang secara lebih baik dan

cepat di Indonesia; (3) harmonisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan

termasuk kepastian hukum tentang pengenaan atau pembebasan pajak atas produk/jasa

industri keuangan syariah di Indonesia; (4) pengembangan/inovasi produk industri

keuangan syariah untuk mendukung pendanaan pembangunan infrastruktur; (5)

pengembangan sarana prasarana serta infrastruktur industri keuangan syariah untuk

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; (6) memastikan dana haji ditempatkan di

perbankan syariah; (7) mendorong berkembangnya lembaga-lembaga pengumpul dan

pengelola dana sosial keagamaan seperti BAZNAS dan BWI, serta memastikan lembaga-

lembaga tersebut bekerja secara lebih profesional, akuntabel, dan amanah; (8)

penempatan sebagian dana APBN dan BUMN di perbankan syariah, sehingga menjadi

dana murah bagi pengembangan perbankan syariah; (9) harus didorong berkembanganya

industri pariwisata syariah, halal food, dan fashion syariah; (10) peningkatan kualitas

SDM ekonomi syariah; dan (11) peningkatan kesadaran masyarakat untuk bermuamalat

sesuai dengan syariah.

Untuk itu, usul Rahmat Hidayat, sepatutnya ada kementerian yang dapat

melakukan peran sharia mainstreaming dengan melakukan koordinasi, sinkronisasi serta


212

hamonisasi kebijakan dan program, agar ekonomi syariah di Indonesia dapat berkembang

lebih baik, mampu bersaing baik di kancah regional ASEAN maupun global, menjadi

yang terbesar di dunia, serta memberikan maslahah kepada umat, bangsa, dan negara.

(Ibid.)

Junanto Herdiawan, Kepala Divisi Asesmen Ekonomi dan Keuangan Bank

Indonesia Wilayah IV Jawa Timur, di JAWA POS, 03 Desember 2014 menulis opini:

Pertemuan OKI dan Masa Depan Ekonomi Syariah, ia menegaskan bahwa terjadinya

krisis global kini di sisi lain memberikan peluang kepada tumbuh kembangnya ekonomi

syariah sebagai sistem alternatif.

Ekonomi syariah terbukti memiliki ketahanan terhadap krisis karena prinsip dasar

dari perekonomian tersebut adalah rahmatan lil alamin, yang lebih adil dan berhati-hati.

Menurut Yusuf al-Qardhawi, ekonomi syariah adalah ekonomi berasas ketuhanan,

berwawasan kemanusiaan, berakhlak, dan seimbang di antara dua kutub (kapitalisme dan

sosialisme).

Diperlukan keterlibatan bank sentral dalam pengembangan dan penguatan

ekonomi syariah di negara masing-masing. Tugas menjaga stabilitas keuangan dan

makroprudensial membutuhkan konektivitas dan kerja sama erat antarbank sentral negara

Islam. Kebijakan makroprudensial juga tidak akan berjalan sempurna apabila tidak

mengidentifikasi sektor-sektor yang dapat memengaruhi ekonomi, termasuk elemen

ekonomi syariah, baik di sisi produksi, distribusi, maupun di sisi instrumen keuangan

syariah, misalnya peranan wakaf dan zakat. (http://budisansblog.blogspot.co.id/search-

/label/Ekonomi%20Syariah%20-%20Masa%20Depan)
213

Agus Martowardojo, ketika menjadi Gubernur BI, komitmennya menjadi contoh

konkret kepada para gubernur bank sentral yang lain karena baginya untuk memajukan

ekonomi syariah tidak mungkin dilakukan tanpa mengintegrasikan antara sektor ekonomi

dan sektor keuangan.

Disadari potensi penting dari zakat sebagai kekuatan ekonomi dan penyeimbang

distribusi pendapatan. Potensi zakat secara global saat ini sekitar USD 600 miliar. Di

Indonesia, potensi zakat sangat besar, bervariasi berdasar hitungan Rp 70 triliun hingga

Rp 100 triliun. Namun, kita juga menyadari bahwa dana zakat yang bisa dimobilisasi

masih sekitar 1,31,4 persennya.

Di sektor keuangan, perkembangan keuangan syariah di Indonesia saat ini

menunjukkan tanda ke arah yang lebih baik dan produktif. Sebagai contoh di Jawa Timur,

pengembangan pembiayaan bank umum syariah tumbuh signifikan dalam empat tahun

terakhir; dari sekitar Rp 3 miliar menjadi Rp 18 miliar. Dilihat dari segi penggunaannya,

43 persen masih disalurkan ke sektor konsumsi. Namun, 41 persen dan 17 persen sudah

disalurkan untuk modal kerja dan investasi.

Tentunya, pengembangan ekonomi syariah di Indonesia masih akan menghadapi

tantangan yang berat ke depan. Karena pemahaman masyarakat akan berbagai instrumen

syariah masih perlu ditingkatkan. Komitmen berbagai pihak untuk menjadikan Indonesia

sebagai kiblat ekonomi syariah dunia patut diapresiasi. Setelah diluncurkan Gerakan

Ekonomi Syariah, adanya pertemuan dan komitmen internasional menjadi sebuah fase

baru dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia.

Langkah selanjutnya adalah bagaimana membumikan ekonomi syariah lebih

dirasakan dan dipahami masyarakat. Di sini, peran pemerintah menjadi penting. Bukan
214

hanya dari sisi legal dan formal, tetapi juga dalam keberpihakan yang riil kepada pelaku

ekonomi syariah, perbankan, dan lembaga keuangan syariah.

Tentu saja peranan berbagai stakeholders, misalnya ulama, pesantren, perguruan

tinggi, pengusaha, ormas Islam, dan masyarakat Islam pada umumnya, tidak kalah

penting. (Ibid.)

Untuk itu semua, bagi kemajuan ekonomi syariah di Indonesia ini, maka menurut

Bambang Brodjonegoro; salah seorang anggota kabinet Jokowi, dan Ketua Umum Ikatan

Ahli Ekonomi Islam, diperlukan adanya strategi. Ia menulis itu di REPUBLIKA, 30 April

2015 dengan judul: Strategi Ekonomi Syariah. Dikatakan Bambang Brodjo, penerapan

prinsip syariah dalam industri keuangan telah memperlihatkan daya tahannya dalam

menghadapi berbagai krisis keuangan. Prinsip keuangan Islam mengutamakan etika

dalam berusaha dan melarang spekulasi serta ketidakpastian. Prinsip keuangan Islam juga

mengutamakan risk sharing atau berbagi risiko, melarang transaksi money for money,

dan mengharuskan adanya riil aset yang mendasari suatu transaksi. Prinsip yang dianut

dalam sistem keuangan Islam ini mendorong terwujudnya keseimbangan dan memenuhi

rasa keadilan, yang pada gilirannya menciptakan stabilitas keuangan dan mewujudkan

pembangunan ekonomi berkelanjutan. (http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label/-

Ekonomi%20Syariah%20-%20Strategi)

Bambang Brodjo mengatakan, industri keuangan syariah di Indonesia sudah

memasuki dekade ketiga sejak bank syariah pertama di Indonesia didirikan pada 1991

dan beroperasi pada 1992. Telah banyak capaian yang dihasilkan selama perjalanan

tersebut. Kini industri keuangan syariah di Indonesia telah diakui dunia dan dianggap

memiliki potensi besar yang dapat membawa Indonesia pada tahap pengembangan
215

selanjutnya. Dalam mewujudkan pengembangan yang lebih besar, diperlukan integrasi

antarpelaku industri keuangan syariah nasional. Hal ini mengacu pada RPJPMN Tahun

2015-2019 yang disahkan Presiden Joko Widodo melalui PP No 2 Tahun 2015 dan

agenda program prioritas pemerintahan Kabinet Kerja yang bernama Nawa Cita.

Dalam program Nawa Cita ketujuh, yakni mewujudkan kemandirian ekonomi

dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik yang terdiri atas,

pertama, peningkatan daya saing sektor keuangan nasional ditopang oleh ketahanan dan

stabilitas sistem keuangan yang sehat, mantap, dan efisien. Kedua, peningkatan fungsi

intermediasi dan kedalaman sektor keuangan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan

pembangunan. Ketiga, peningkatan akses masyarakat dan usaha mikro kecil dan

menengah (UMKM) terhadap layanan jasa keuangan formal dalam kerangka

pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Sehingga, mengimplementasikan

program pemerintah di atas, perlu adanya kebijakan dan arahan strategis otoritas

keuangan dan kementerian terkait dalam mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah

guna lebih mengoptimalkan peran dan kontribusinya dalam pembangunan nasional.

Melalui program kerja sama melibatkan pemerintah, kelembagaan negara, serta

lembaga perguruan tinggi ini mampu mengoptimalkan potensi pengembangan kegiatan

ekonomi dan keuangan syariah untuk mengatasi masalah pembangunan, seperti access to

finance, optimalisasi potensi ekonomi daerah dan golongan menengah yang bertumbuh

pesat, serta melibatkan keuangan syariah untuk mobilisasi pendanaan bagi pembiayaan

sektor prioritas, seperti infrastruktur, sektor maritim, ketahanan energi, dan ketahanan

pangan, baik melalui potensi pendanaan domestik maupun internasional.


216

Beberapa langkah dilakukan pemerintah dalam mewujudkan stabilitas keuangan

dan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Di antaranya adalah, pertama, Kementerian

Keuangan secara reguler melakukan penerbitan Sukuk Negara sejak 2008. Bagi

pemerintah, Sukuk Negara merupakan instrumen pembiayaan APBN termasuk

pembiayaan proyek. Penerbitan Sukuk Negara ini diharapkan dapat mendorong

pengembangan industri keuangan syariah melalui penyediaan instrumen keuangan dan

investasi yang sesuai syariah. Kedua, Kementerian Keuangan juga berperan sebagai

pembuat kebijakan publik pada sektor keuangan syariah yang meliputi penentuan arah

pengembangan industri keuangan syariah. Kebijakan tersebut diperlukan untuk dapat

mendorong percepatan pengembangan dan pendalaman pasar keuangan syariah nasional,

termasuk pasar sukuk. Di sini Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) memiliki peran strategis

sebagai partner pemerintah dalam pelaksanaan penelitian kebijakan pengembangan

industri keuangan syariah. Ketiga, pemerintah berkomitmen untuk menciptakan equal

playing field antara syariah dan konvensional, dengan program pemetaan baru secara

lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan dan keuangan syariah yang secara umum

mengarahkan pelayanan jasa bank dan keuangan syariah sebagai layanan universal atau

bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-

masing bank dan keuangan syariah. Keempat, kebijakan fiskal pemerintah akan berusaha

diharmonisasi dengan jasa keuangan syariah untuk menciptakan suasana kondusif bagi

perekonomian dan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan dan kesinambungan fiskal.

Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh sumber daya manusia

(SDM) yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi

kebutuhan dan kepuasan nasabah. Selain itu, juga mampu mengomunikasikan produk dan
217

jasa keuangan syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi

prinsip syariah.

Tantangan terbesar untuk mengakselerasi pertumbuhan keuangan syariah adalah

masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang keuangan syariah. Sosialisasi dan

edukasi masyarakat, utamanya tentang universalitas nilai-nilai yang menjadi roh sistem

keuangan syariah, serta bentuk-bentuk aplikatif dari berbagai konsep ekonomi syariah,

menjadi sangat penting untuk dilakukan. Selain itu, proses tersebut perlu memerhatikan

konteks sosio-kultural bangsa Indonesia. Akulturasi nilai-nilai syariah dalam kearifan

lokal telah berlangsung jauh sebelum NKRI terbentuk.

Di sejumlah daerah kita telah lama mengenal konsep dan tradisi bagi hasil.

Misalnya konsep maparo (bagi separoh-separoh) atau mapat (seperempat) mengandung

kesamaan nilai dengan keuangan syariah. Istilah-istilah Arab seharusnya diindonesiakan

dengan bahasa yang gampang dipahami masyarakat. Hanya dengan cara demikian, upaya

pengembangan sistem ekonomi syariah akan lebih dapat diterima oleh berbagai kalangan.

Kita juga ingin menjadikan negeri kita sebagai pusat keuangan syariah dunia yang

terintegrasi dengan sistem internasional berbasis syariah, tegas Bambang Brodjonegoro.

Inilah salah satu esensi perwujudan Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Indonesia bisa menjadi pusat keuangan syariah dunia karena Indonesia negara

Muslim terbesar di dunia dan pada saat yang sama, semakin meningkatnya jumlah

masyarakat kelas menengah di Tanah Air. (Ibid.)

Kita semua sebagai umat Muslim memang mendambakan bahwa ekonomi di

Indonesia bisa memakai sstem ekonomi Islam atau ekonomi syariah. Dan kita percaya

dengan strategi seperti yang ditulis oleh Bambang Brodjo di atasdengan kenyataan
218

Indonesia berpenduduk muslim terbesar di duniatentulah dalam upaya kita

membangun ekonomi Islam atau ekonomi umat dan membangun Ekonomi Qurani yang

besar, kuat, dan professional akan terwujud.

Dan itu semua karena terinspirasi oleh kedahsyatan Aksi Bela Islam yang kita

lakukan, yaitu sebuah episode perjuangan bela Quran Jihad Melawan Ketidakadilan.

Semoga, ke depan, Allah selalu meridhai perjuangan kita bersama. ***

SUMBER TULISAN

KORAN:

KORAN SINDO
KOMPAS
Koran HALUAN
REPUBLIKA
MEDIA INDONESIA
Koran JAKARTA
219

dll

URL:

http://budisansblog.blogspot.co.id/2017/05/ahok-dan-bangkitnya-politik-islam_6.html
https://news.detik.com/kolom/d-3485150/kekalahan-ahok-islam-politik-dan-narasi-
demokrasi-di-indonesia
http://geotimes.co.id/kekalahan-ahok-bukan-kekalahan-kemajemukan/
http://politik.rmol.co/read/2017/05/17/291702/MUI-Sayangkan-Aksi-Bela-Ahok-
Berujung-Separatisme-
http://rmol.co/read/2017/05/13/291228/Ahok-Tumbal-Citra-Istana-
http://budisansblog.blogspot.co.id/2017/05/babak-baru-jakarta.html
https://news.detik.com/berita/3502650/jokowi-hentikan-saling-hujat-fitnah-demo-karena-
kita-bersaudara
http://nasional.kompas.com/read/2016/09/12/07062571/memperkuat.toleransi.beragama?
page=3
http://geotimes.co.id/muhammadiyah-dan-tantangan-islam-moderat/
https://news.detik.com/kolom/d-3501314/mengurai-ketegangan-anak-bangsa
http://www.rumahpeneleh.or.id/212-pintu-masuk-hijrah-untuk-negeri/
https://www.hidayatullah.com/artikel/mimbar/read/2017/05/22/117170/bersatu-dan-
saling-menguatkan-untuk-kemenangan-islam.html
https://www.islampos.com/peran-masjid-dalam-membangun-ekonomi-umat-14215/
http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label/Ekonomi%20Syariah%20-
%20Momentum
http://iibf-indonesia.com/tanpa-political-will-tidak-terbangun-ekonomi-umat/
http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label/Ekonomi%20Syariah%20-
%20Pengarusutamaan
http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label/Ekonomi%20Syariah%20-%20Masa
%20Depan
http://budisansblog.blogspot.co.id/search/label/Ekonomi%20Syariah%20-%20Strategi

TENTANG PENULIS:

Foto diri ( yg tersenyum)


220

ADIL MASTJIK, adalah aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) jawa Timur di tahun
delapan puluhan, yang sekarang masih aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi
swasta, pernah menulis di beberapa media.
Ia lahir di kota Surabaya sekitar 64 tahun lalu, mencoba menulis buku tentang Aksi Bela
Islam ini, dimana ia adalah salah satu pelaku yang terlibat aktif di dalamnya. Apa yang ia
saksikan ia tulis dengan didukung data-data dari berbagai sumber yang bisa dipercaya.
Sebagai sebuah episode perjuangan bela Quran Jihad Melawan Ketidakadilan, ia merasa
terpanggil untuk membukukannya menjadi semacam kesaksian apa sebenarnya yang
terjadi di balik dahsyatnya Aksi Bela Islam itu.
Semoga Allah meridhai semuanya.
Begitulah, sedikit demi sedikit, hari demi hari ia tulis di tengah kesibukannya mengajar
Ternyata usahanya tidak sia-sia, sebuah buku yang Insya Allah menjadi sebuah penanda
dan momentum penting berhasil ia selesaikan, yaitu tentang kebesaran umat Islam di
negeri ini yang bisa kembali menemukan moment kebangkitannya. Ia berharap moment
kebangkitan ini akan selalu dirawat dan dijaga bagi kemaslahatan Indonesia tercinta.
Ia juga berharap, semoga buku ini: DAHSYATNYA AKSI BELA ISLAM bisa
menambah semangat bagi perjuangan Islam ke depan dengan penuh optimis. Inilah
sebuah sejarah indah Perjuangan membela Quran dan menggapai keadilan bagi
kesejahteraan seluruh masyarakat bangsa ini. Amin!!! ***

Anda mungkin juga menyukai