Anda di halaman 1dari 13

MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Spirit Islam telah menggelora di bumi Ibu Pertiwi sejak dahulu. Kala nusantara belum
disatukan dalam nama “Indonesia”, beberapa kerajaan telah menjadikan Islam sebagai dasar
pemerintahannya. Hingga pada masa perjuangan merebut kemerdekaan pun, ajaran Islam
turut memberikan pengaruh yang besar. Nilai Islam yang antidiskriminasi, menjiwai para
pahlawan dalam menumpas penjajah yang zalim.

Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, juga tak lepas dari nuansa keislaman.
Pembacaan teks Proklamasi yang bertepatan dengan hari Jumat, 9 Ramadan 1364 H,
dilakukan Bung Karno setelah mengunjungi sejumlah ulama, antara lain, KH Syekh Musa,
KH Abdul Mukti, dan KH Hasyim Asyari. Dengan dukungan ulama, Bung Karno pun
merasa mantap dan tak takut atas ancaman dan serbuan tentara sekutu pasca Proklamasi.

Tidak berhenti pada perjuangan menggapai kemerdekaan, kontribusi pendiri bangsa yang
berkeyakinan dan berpandangan Islam, juga tampak dalam penyusunan dasar negara.
Taruhlah misalnya KH Wahid Hasyim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimejo, Drs
Mohammad Hatta, dan Mohammad Teuku Hasan. Merekalah yang turut merumuskan
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Uraian singkat di atas membuktikan bahwa sejak dahulu, Islam telah menjadi spirit
perjuangan bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai Islam telah mengobarkan semangat para
pahlawan dalam mewujudkan kemerdekaan. Sampai akhirnya, Islam sebagai agama
rahmatan lil ‘alamin, juga mengilhami para pendiri bangsa dalam merancang tata negara
yang mengayomi semua anak bangsa yang plural.

A. MEMBUMIKAN ISLAM NUSANTARA

Banyak yang mengira jika Islam Nusantara itu Menusantarakan Islam. Adalagi yang
curiga dengan mengatakan “Islam Nusantara itu produk JIL (Jaringan Islam Liberal). Ada
juga yang suudhon (berprasaka buruk) “Islam Nusantara Itu Syiah”. Lebih buruk lagi, ada
yang mengatakan “Islam Nusantara itu Sesat”.
Beragama tuduhan, cibiran, bahkan menyesatkan itu sudah biasa dalam demokrasi.

Yang tidak biasa adalah, jika yang menyesatkan ada orang berpendapat bahwa
“Islam

Nusantara” sesat, tetapi tidak tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu kepada orang atau
pihak yang mengagas Islam Nusantara. Padahal, Al-Quran itu jelas-jelas mengatakan “wahai
orang-orang yang ber-iman, jika datang kepada kalian orang-orang fasik dengam membawa
sebuah berita besar (penting), maka tabayunlan (klarfikasilah)” (QS Al-Hujurah (49:6).

B. MENYONGSONG KEJAYAAN

Ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang “ber-iman”. Artinya, jika orang yang
benar-benar percaya kepada Allah SWT dari hati yang paling dalam, diucapkan dengan lisan
dan dibuktikan dengan perbuatan sehari-hari, tatkala mendengar atau membaca “ISLAM
NUSANTARA” kemudian tidak “tabayyun” terlebih dahulu, bahkan kemudian dengan
lantang dan sombong menjustifikasi “tersesat” maka ia termasuk orang yang tidak
mengamalakan QS Al-Hujurat 49:6.

Dan yang lebih mengerikan lagi, yang dijadikan sumber rujukan adalah “Jonru”, twitter,
FB bukan dari sumber aslinya. QS Al-Hujurat itu mewanti-wanti, jika datang kepada kalian
“orang fasik” atau pembohong maka tabayunlah. Dalam ini, berita dari internet, seperti; FB,
Twiter, bukanlan rujukan utama yang disarankan oleh Al-Quran dan Rosulullah SAW.
Cukup banyak orang-orang pembohong (fasik), juga para pengadu domba, juga memelintir
sebuah informasi agar umat islam terpecah belah, atau karena benci terhadap NU. Atau
karena masalah pasca politik pemilihan presiden Jokowi VS Prabowo yang masih terasa
meyesakkan dada orang-orang yang kalah.

Terlepas dari kontroversi istilah “ISLAM NUSANTARA”, sesungguhnya Islam


Nusantara itu tidak merubah akidah, syariahnya. Secara teology, tetap mengikuti Ahlussunah
Waljamaah yang di rumuskan oleh Abu Hasan Al-Asy’ary dan tetap mengikuti Madhabul
Arbaah (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ibn Hambal). Dan, sebagian besar masyarakat
Indonesia sejak ber-abad abad adalah mermadhab Syafii dan berteology Abu Hasan Al-
Asyaary.

Semua tahu, semua ulama rujukan Nahdiyin adalah Ahlussnnah Waljamaah, bukan Syiah
dan bukan Wahabiyah. Sedangkan rujukan utamanya adalah Al-Quran dan hadis Rosulullah
SAW, yang telah dijelaskan di dalam kitab-kitab tafsir, hadis, fikih, dan Tasawuf. Tidak ada
sedikitpun perubahan yang terjadi dalam Istilah Islam Nusantara.

Hanya saja, Islam Nusantara itu menjelaskan bagaimana praktik keislaman masyarakat
Nusantara ini tecermin dalam perilaku sosial budaya Muslim Indonesia yang moderat
(tawassuth), menjaga keseimbangan (tawazun), dan toleran (tasamuh). Dimana ketiganya ini
telah dijelaskan oleh KH Ahmad Sidiq Jember. Tiga sikap ini menjadi pijakan kalangan
pesantren untuk mencari dari jalan keluar berbagai problematika sosial akibat tidak
terbendungnya liberalisme, kapitalisme, sosialisme. Dan yang tidak kalah penting adalah
radikalisme agama-agama yang sangat menyedihkan.

Jadi, tidak ada alasan menolah dan mencaci Islam Islam Nusantara, apalagi menyesatkan
tanpa ada alasan atau argumentasi yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan. Apalagi
hanya sekedar ikit-ikutan.

Sekali lagi Islam Nusantara itu tidak Menusantarakan Islam yang sudah mapan baik dari
segi akidah maupaun syariah. Proses Islamisasi di Nusantara ini, bukan melalu pedang dan
perang, tetapi melalui pendekatan budaya (kulutural), seperti; Wayang Kulit, gamelan,
Maulidan yang dilakukan oleh para ulama dan keturunan Rosulullah SAW. Prof.Dr.H. Abdul
Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat”
No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 menjelaskan
bahwa pengajaran agama Islam di negeri kita diajarkan langsung oleh para ulama keturunan
cucu Rasulullah SAW, seperti; Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung
Jati.

Jadi, saat Jokowi memberikan sambutan di Masjid Istiqlal kemudian menyebutkan istilah
“Islam Nusantara”, menjadi kaget seperti disamba petir di siang bolong. Orang-orang yang
paling kenceng di dalam menyikapi istilah “Islam Nusantara” Hartono A. Jaiz. Bagi Hartono
Jaiz, spesialis menyesatkan orang lain. Dzikir berjamaah sepertil Arifin Alham, tawasul,
Sholawatan (Maulidan), Sholawat Nariyah, semua dikatkan bi’dah (tersesat). Jadi, wajar jika
kemudian Hartono Jaiz, baginya menyesatkan yang tidak sama dengannya itu Jaiz (boleh).

Ada juga orang yang tidak suka dengan istilah “Islam Nusantara”, yaitu Bachtiar
Nasir,memang lagi ngetren, di TV. Statemen yang pernah ditulis sangat kasar dan kurang
bijaksana, seperti; Jokowi emang hebat, di Solo mewariskan pemimpin KAFIR, di Jakarta
juga mewariskan pemimpin KAFIR. Selangkah lagi akan KAFIR kan Indonesia,” jelas
Ustadz Bachtiar dalam akun Twitternya @BachtiarNasir, Sabtu malam (15/03). Tokoh
selanjutny adalah Felix Y Siauw. Semua tahu siapa itu Felix Y Sia

Jonru Ginting (facebooker), pendudukun setia PKS (Partai Keadilan Sejahtera), juga
mengeluarkan statemen yang tidak elok terhadap Islam Nusantara. Begitu juga dengan
Kholili Hasib, MA (alumnus Gontor), seorang penulis tentang Syiah sangat tidak bersahabat
dengan status Islam Nusantara. Satu lagi orang yang tidak setuju dengan Islam Nusantara.
Dan masih banyak lagi orang yang keberatan dengan “Islam Nusantara”.

Yang menarik untuk dicermati dari para pengkritik Islam Nusantara, terlalu tergesa-gesa
menuduh sesat, Syiah, proyek liberalisasi, pesanan asing, Jawa sentris. Hampir setiap saat
bisa ditemukan dibeberapa medos, seperti; FB, Twitter, bahkan website yang nyata-nyata
memusuhi Nahdiyin, seperti; Nahi Mungkar yang tidak segan-segan menyesatkan orang
melakukan Maulidan Nabi Muhammad, Tawassul, dengan alasan tidak ada tuntunan dari
Rosulullah SAW.

Sekali lagi secara ideologis yang dimaksud dengan Islam Nusantara itu bukan
Menusantarakan Islam, tetapi tetap Islam Ahlussunah Waljamaah dengan fondasi Asy’ariyah
dalam teologi, Syafi’iyah dalam madhab fiqih, dan Imam Al-Ghazali dalam aspek tasawuf.
Sejak ber-abad-abad, Ahlussunah Waljamaah Yang ada dan berkembang adalah “Teologi
Asy’ary dan Madhab Al-Syafii”. Ini bisa dilihat dari berbagai literatur dalam buku : “Kiprah
Ulama Nusantara di Tanah Suci Makkah”, puluhan, bahkan ratusan ulama yang bermukim di
Makkah, khususnya dari Negeri Nusantara itu secara jelas dan tegas mengitui Teology
Asya’ry dan Syafii Madhabnya.

Unutuk menjadga eksitsenti Ashlussunah Waljamaah, para ulama mendidirikan pesantren


diberbagai wilayah Nusantara, seperti; Pesantren Lirboyo, Langitan, Sidogiri, Tebur Ireng,
yang usianya sudah ratusan tahun. Secara keseluruhan, teologi dan madhabnyanya sama
persis. Sanad ke-ilmuan juga nyambung (linier), bisa dipertanggung jawabkan. Bahasa yang
digunakan untuk menyampaikan materi juga mengunakan “Arab Aego”. Secara tulisan
menggunakan bahasa Arab, tetapi bunyinya bahasa Jawa (atau Melayu).

Beberapa kitab kuning yang pelajari oleh santri sejak ber-abad-abada menggunakan
istilah “makno gandul” dengan mennggunakan “Arab Pego”. Dan ini hanya ditemukan di
Nusantara. Tradisi puji-pujian setelah adzan menjadi tradisi yang harus dilestarikan.
Membumikan sholawat dan hadis Rosulullah SAW dengan cara di artikan dengan Syair
Jawa/ melayu kemudian di buat puji-pujian. Ini sangat menarik dan menesankan, dan hanya
bisa ditemukan di Negeri Nusantara.'

Bebagi makanan kepada tetangga dan kerabat pada sepuluh terahir bulan Ramadhan, itu
bagian dari cara ulama Nusantara mengartikan “banyak sedekah” pada bulan ramadhan.
Karena amal ibadah yang dilakukan pada bulan puasa itu pahalanya dilipat gandakan. Begitu
juga dengan ziarah kubur menjelang Ramahan dan saat hari raya. Itu bagian tradisi yang
memiliki landasan sunnah Rosulullah SAW, yaitu perintah Ziarah Kubur. Kemudian dalam
tradisi orang Jawa dikatakan dengan “Nyadran”.

Ketika meng-artikan dan mengamalkan Silaturahmi, para ulama Nusantara dengan


mudah dan gampag dengan mengemas dengan “tahlilan” yang dilakukan pada hari tertentu.
Tujuan utamanya ialah, berdoa bersama dengan membaca Yasin, kemudian antara tetangga
bisa slaling bertemu dan saling menyapa. Bukankan saling menyapa (Ifasau Al-Salam) itu
perintah Rosulullah SAW, begitu juga dengan silaturahmi dan berbagi makanan.

Ketika bulan Ramadah usai, umat Islam saling bermaaf-mafakan atas segala khilaf yang
pernah dilakukan. Kemudian, Ulama Nusantara mengadakan Silaturahmi Kolektif yang
disebut dengan istilah “Halal bi Halal”. Bukankah Halal Bihalal itu bagian dari semangat
silaturhami yang diajarkan oleh Rosulullah SAW. Halal bi Halal, tidak bisa ditemukan
kecuali di Negeri Indonesia (Nusantara).

Begitu juga dengan anak-anak yang berbondong-bondong Mudik dengan tujuan


“sungkeman”. Bukakah sungkeman itu bagian dari “Birrul Walidain” yang diperintahkan
di dalam Al-Quran dan Rosulullah SAW. Jadi, Islam Nusantara itu bukan merubah, tetapi
memperluas khazanah budaya yang selaras dengan ajaran Rosulullah SAW.

Dalam dunia inteletual, para ulama Nusantara menulis Tafir Al-Quran dengan
menggunakan bahasa Jawa, seperti; tafsir Al-Ibris, ada juga dengan bahsa Melayu, Madura,
dan bahasa lainya. Padahal itu tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah SAW. Tetapi, agar
supaya pesan-pesan Al-Quran dan pesan Rosulullah SAW itu samapi para masyarakat maka
digunakan bahasa Jawa/ Melayu. Inilah kecerdasan para Ulama Nusantara di dalam
membumikan pesan-pesan Al-Quran kepada masyarakat Awwam sesuai dengan kemampuan
inteletual mereka.

Islam Nusantara itu tidak anti Arab, juga tidak benci Arab. Justru pesan-pesan Rosulullah
SAW yang menggunakan bahasa Arab disederhanakan dengan bahasa lokal. Sekali lagi,
Islam Nusantara membumikan tradisi-tradisi yang sesuai dengan ajaran Islam, bukan
merubah Islam atau menusantarakan Islam.

C. Islam Indonesia Kini

Menurut data The Pew Forum on Religion & Public Life pada tahun 2010, Indonesia
adalah negara dengan populasi muslim tertinggi. Presentase muslim di Indonesia bahkan
mencapai 12,7% dari populasi dunia. Dari 205 juta penduduk Indonesia, sedikitnya 88,1%
beragama Islam. Namun, populasi itu belakangan mengalami penurunan menjadi 85%. Hal
itu dituturkan Ketua Yayasan Rumah Peneleh Aji Dedi Mulawarman dalam diskusi dengan
topik Refleksi Perjalanan Politik Kaum Muslimin di Indonesia, pada 9 Januari 2016, di
Jakarta.

Menurunnya populasi muslim Indonesia menunjukkan bahwa pasca kemerdekaan, spirit


Islam malah meredup. Modal besar berupa solidaritas keagamaan Islam, ternyata kesulitan
menemukan konteks penerapannya dewasa ini. Karena itu, nilai Islam pun menjadi gamang
dan tak difungsikan dengan baik untuk mamajukan bangsa dan negara. Jika dahulu, melawan
penjajahan menjadi alasan bahu-membahu, kini, umat Islam Indonesia seakan lupa menjaga
dan memanfaatkan modal sosialnya itu.
Bukti kendornya peran umat Islam Indonesia dalam pembangunan negara, terpampang
jelas di berbagai sektor kehidupan. Tiliklah misalnya pada sektor pendidikan, ekonomi,
hingga sosial-budaya. Bangsa Indonesia masih terkesan mengekor pada perkembangan
bangsa lain, kalau tidak mau disebut tertinggal. Jelas, ini adalah deviasi dari kenyataan
sejarah, sebab umat Islam pernah berjaya dan menjadi pionir dalam memajukan peradaban di
masa lalu.

Terpuruknya bangsa Indonesia, tak pelak, turut merusak citra Islam sebagai agama
mayoritas di negeri ini. Sulit disangkal, bahwa modal keislaman rupanya masih sekadar
simbolisasi, tanpa benar-benar menyentuh dan menyelesaikan masalah dalam realistas
kehidupan masyarakat. Yang terjadi, warga muslim nusantara sedikit demi sedikit, mulai
kehilangan roh keislamannya dalam konteks kehidupan bernegara.

Jika ditilik lebih dalam, setidaknya ada lima cara keberagamaan yang masih mewarnai
masyarakat Islam kontemporer, termasuk di Indonesia, yaitu: masih terjebak dalam
eksklusivisme dan fundamentalisme, lebih mengutamakan ritualitas dan kesalehan individu
ketimbang bakti sosial, penafsiran teks kitab suci Alquran yang dogmatis dan tak mampu
menjawab realitas sosial kekinian, politisasi islam, serta adanya sikap phobia terhadap
modernisasi dan peradaban lain. Pola pikir semacam inilah yang mambuat umat Islam
semakin tertinggal.

D. Islam dan Negara

Persaudaraan umat Islam, memang tak tersekat oleh batas territorial negara. Penganut
agama Islam di belahan dunia manapun, tetap dipersaudarakan oleh kesamaan akidah.
Namun demikian, fragmentasi umat Islam dalam batas-batas kenergaraan, adalah hal yang
tak bisa dihindari. Ini bukan berarti melencengkan agama dari nilai universalnya, tetapi lebih
pada kepentingan mewujudkan nilai-nilai islam secara kontektual.

Implementasi nilai-nilai keislaman, memang mau tak mau, harus memperhatikan


karekteristik sebuah negara. Negara bangsa yang lahir dari sejarah yang panjang, jelas
memiliki keunikan tersendiri. Karena keadaan ini pulalah, nilai-nilai Islam perlu
dikontekskan secara berbeda-beda. Ringkasnya, kepribadian negara dan spirit keislaman
adalah dua elemen yang harus dipadupadankan dengan baik.
Dalam kehidupan bernegara, bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, jelas perlu
mengawinkan antara jiwa keislaman dan jiwa keindonesiaan. Wujudnya adalah muslim-
nasionalis, yaitu perpaduan spirit keagamaan dan cinta negara dalam diri anak bangsa. Hanya
dengan cara itu, nilai-nilai Islam akan terwujud secara optimal dalam kehidupan bernegara,
tentu dengan menjaga ciri keindonesiaan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Prasyarat utama dalam mewujudkan harmoni antara Islam dan nagara Indonesia adalah
penerimaan terhadap Pancasila sebagai dasar bernegara. Setiap anak bangsa dengan latar
belakang yang berbeda-beda, harus memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara
konsekuen. Apalagi, Pancasila sebagai hasil musyawarah para pendiri bangsa, telah
mengandung nilai kemanusiaan-universal yang ampuh menjembatani ragam kepentingan.

Demi harmonisasi kepentingan agama dan negara, maka nilai-nilai Islam dan Pancasila,
sudah tak perlu dipertentangkan lagi dengan alasan bahwa Pancasila tak aspiratif terhadap
Islam. Jika masyarakat mengetahui dan memahami sejarah menjelang proklamasi, serta
pencoretan tujuh kata dari Piagam Jakarta, maka ketidakharmonisan antara negara yang
berdasar Pancasila dan agama Islam, seharusnya tidak perlu terjadi.

Kini, mendudukkan agama dan negara pada posisi yang saling menguatkan, merupakan
jalan terbaik. Sejarah banyak mencatat bahwa agama dan negara adalah dua entitas yang
saling memberi legitimasi, utamanya pada pemerintahan kerajaan di nusantara dahulu.
Bahkan pasca kemerdekaan, sikap akomodatif semacam itu, ditunjukkan oleh Nahdatul
Ulama dalam musyawarah nasional alim ulama di Situbondo tahun 1983, yang memutuskan
untuk menjadikan Pancasila sebagai asas dan Islam sebagai akidah organisasi.

Kiranya, kita perlu kembali merenungi pesan dalam kitab suci Alquran Surah An-Nisa
ayat 59 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu…” Ayat ini
mengisyaratkan bahwa meskipun terdapat hirarki ketaatan bagi seorang muslim –
mendahulukan Allah dan Rasul-Nya, tapi selama kekuasaan negara tidak bertentangan
dengan nilai-nilai Islam, maka taat kepada pemimpin negara, juga merupakan sebuah
kewajiban.
E. Muslim Nasionalis

Dua identitas personal berupa penganut agama Islam dan bangsa Indonesia, perlu
dipadupadankan secara baik. Umat Islam Indonesia harus menjadi muslim nasionalis yang
proaktif dalam membangun negara dengan berlandaskan pada nilai-nilai keislaman.

Keyakinan agama yang berada di ranah kejiwaan yang metafisik, harus menjadi spirit
dalam membangun negara di ranah fisik-materi.

Persoalan pertama yang harus dituntaskan dalam upaya memadukan keimanan Islam dan
nasionalisme adalah pola pikir dikotomi yang masih mempertentangkan ranah keagamaan
dan kenegaraan. Dalam hal ini, paham sekularisme yang mendewakan aspek duniawi, harus
diberantas. Namun pada sisi lain, paradigma ekstrim keagamaan yang memandang
kehidupan dunia sebagai “kutukan” yang hina, juga mesti dihilangkan.

Pola pikir yang memandang kehidupan duniawi (hablumminannas) tak lebih penting
daripada menunaikan ritus keagamaan (hablumminallah), jelas berpengaruh terhadap
kontribusi umat Islam dalam membangun negara. Anggapan bahwa kehidupan negara yang
duniawi adalah ilusi-fana-hina, bisa membuat kaum muslim mengabaikan tanggung
jawabnya kepada negara. Ringkasnya, pola pikir semacam ini, sama halnya dengan pola pikir
sekularisme yang bersifat dikotomi, namun lebih mementingkan urusan ukhrawi.

Paradigma yang memisahkan iman agama dari cinta negara, jelas bertentangan dengan
kenyataan bahwa Islam senantiasa menuntut penganutnya untuk memberi sumbangsih positif
bagi kehidupan manusia. Dalam Islam, pengertian ibadah tidak hanya dalam bentuk lahiriah,
tetapi mencakup semua aktivitas kehidupan manusia yang memuat motovasi untuk selalu
mendekatkan diri kepada Tuhan. Ini berarti bahwa perilaku manusia, selama tidak
bertentangan dengan syariat Islam serta bertujuan untuk mendapat rida Allah SWT, terhitung
sebagai ibadah.

Akhirnya, peningkatan peran umat Islam Indonesia dalam pembangunan negara,


mempersyarakat pola pikir yang monolitik, yang menganggap bakti kepada negara juga
merupakan perintah keislaman. Umat Islam harus mendudukkan negara sebagai ladang untuk
mengais rida Allah SWT untuk bekal di hari kemudian, bukan malah menghindar dari
kenyataan duniawi tersebut.

Menyandingkan nilai-nilai keislaman dengan rasa cinta terhadap tanah air, sudah
merupakan keharusan bagi seorang muslim. Negara yang madani, akan berdampak positif
dalam penunaian ibadah kepada Allah SWT dalam arti yang seluas-luasnya, begitupun
sebaliknya. Selain itu, negara yang aman dan makmur, juga akan menghindarkan anak
bangsa dari kesyirikan akibat himpitan kehidupan dunia. Dalam Alquran Surah Ibrahim ayat
35, Allah SWT berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya Tuhan, jadikanlah
negeri ini (Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak
menyembah berhala’.”

F. Modernitas Islam

Keterpurukan bangsa Indonesia di berbagai sektor kehidupan, tentu menjadi sebuah ironi.
Islam sebagai agama yang membuka diri terhadap modernitas, harusnya mampu mendorong
bangsa Indonesia untuk lebih maju. Nilai Islam yang abadi sepenjang zaman, mestinya jadi
modal besar dalam membangun negara. Terlebih, islam adalah ajaran agama yang
komprehensif, yang mengandung nilai-nilai sebagai pedoman untuk seluruh aspek kehidupan
manusia.

Tak bisa disangkal bahwa kitab suci Alquran sebagai pedoman umat islam, merupakan
lumbung ilmu yang tak ada habis-habisnya. Jawaban atas segala macam persoalan hidup,
baik untuk soal duniawi maupun ukhrawi, dapat ditemukan penduannya dalam Alquran.
Sebagaimana dibuktikan oleh hasil penelitian mutakhir, ajaran Islam yang berdasar pada
Alquran dan sunnah Rasulullah, tak pernah bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Hal ini
menegaskan bahwa Islam adalah agama yang modern.

Demi menjaga keberiringan Islam dengan modernitas, maka sudah saatnya Alquran dan
sunnah Rasulullah didudukkan pada posisinya yang azali, yaitu sebagai pedoman hidup
sepanjang waktu. Modernisasi yang seiring waktu, bukanlah kenyataan yang harus dihindari
dalam Islam, tetapi harus dihadapi dengan cara yang islami. Perubahan perihal fisik-materi
keduniaan, kesemuanya, harus berpedoman pada ajaran Islam dan diabdikan hanya pada
Allah SWT.
Modernitas nilai-nilai Islam dalam Alquran dan Hadis adalah mukjizat yang harus dijaga.
Karena itu, dibutuhkan sebuah kelapangan untuk senantiasa mendialogkan antara realitas
kehidupan dengan petunjuk-petunjuk keislaman. Kitabullah dan sunnah Rasululah, tak boleh
diperlakukan secara dogmatis. Tetapi sebaliknya, pedoman hidup tersebut harus diperlakukan
secara fleksibel, sebab dengan begitulah, Islam akan hidup sepanjang masa.

Paham Islam yang modernis adalah jalan keluar untuk mengatasi ketertinggalan umat
Islam akibat tafsir Alquran dan Hadis yang terlalu skriptualis dan dogmatis. Kebutuhan ini
sejalan dengan paradigma neo-modernisme dalam Islam. Paham ini tampil dengan
menonjolkan pentingnya ijtihad yang kontemporer, yang mampu berakselerasi dengan
perkembangan zaman. Sebuah ijtihad yang membuka ruang bagi rasionalitas, kebebasan, dan
kontekstualisasi.

Akhirnya, perlu dicatat bahwa menyinergikan Islam dengan modernitas, bukanlah sebuah
upaya untuk mendudukan agama di posisi subordinat dari kepentingan duniawi, melainkan
sebuah upaya untuk mengkaji dan menerapkan nilai-nilai Islam secara kontekstual.
Mewujudkan modernitas Islam, juga bukan berarti memelintir syariat Islam untuk
kepentingan duniawi semata, tetapi sebuah upaya untuk menghidupkan Islam, seiring dengan
perkembangan zaman. Maka cara membumikan Islam di Indonesia pun lewat pendidikan.
Beliau menyampaikan unek-unek umumnya ini saat ceramah di IPB minggu kemarin. Pun
masyarakat sekarang sangat tinggi tingkat pengorbanan dan kepercayaannya terhadap
pendidikan. Jika kita serius mengkonstruksi sistem pendidikan Indonesia, 25 tahun dari
sekarang akan lahir generasi Salahudin selanjutnya.

Hal ini untuk menggerus balik paham filsuf, paham sesat, Wahabi, ISIS, fanatisme
mahdzab, fanatisme kelompok, dll. Zaman dahulu orang Eropa bar-bar sangat percaya pada
doktrin Paus, “Membunuh monster-monster tidak bertuhan ini adalah tugas kita.
Menyingkirkan mereka dari tanah kita adalah kewajiban kita.” Umat muslim dibantai habis-
habisan, hingga tersisa genangan darah setinggi mata kaki. Buku-buku dibuang ke sungai dan
dijadikan jembatan. Sungguh biadab!

Pada zaman Rasulullah, beliau menyatukan kekuatan fisik dan pikiran. Orang Romawi
yang tersohor kekuatannya, dikalahkan dengan umat muslim yang jumlahnya tidak
sebanding. Rasulullah dahulu diperintahkan menyiapkan pasukan untuk berperang sesuai
ayat. Namun lihatlah hari ini, Indonesia dengan penduduknya berjuta-juta jiwa dikalahkan
oleh Singapura dalam Sea Games. Ada apakah negara kita?

Maka kembali lagi, membumikan Indonesia dimulai dari pendidikan. Paling kongkret
dari sistem pendidikan tinggi. Dakwah mulai menggeliat. Secara kultural. Mulai dari jilbab,
sistem syariah (jangan dilihat kontennya), gerakan membaca dan menghapal Al-Qur`an, dll.
Semoga terus meluas dan membumi. Kondisi bangsa sedang terus berbenah, meski masih
jauh dari Islam substansial. Kita sedang maju dua langkah. Syukuri. Kita harus meningkatkan
dakwah berbasis ilmu, dakwah based research agar dakwah tepat sasaran. Sebagai contoh,
madu itu baik. Namun ketika bangun tidur kita minum sebotol madu, itu tidak baik.
Begitupun dakwah. Harus berbasis ilmu.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa membumikan islam di indonesia


sejak dahulu islam telah menjadi spirit perjuangan bagi bangsa indonesia. nilai-nilai islam
telah mengobarkan semangat para pahlawan dalam mewujudkan kemerdekaan.sampai
akhirnya, islam sebagai agama rahmatanlilalamin,juga mengilhami para pendiri bangsa
dalam merancang tata negara yang mengayomi semua anak bangsa yang plural.agenda utama
yang harus dilakukan dalam mewujudkan kejayaan umat islam indonesia adalah mengubah
paradigma anak bangsa dalam memandang hubungan islam nasionalisme dan modernitas.
Agenda pencerahan tersebut meliput: pertama memahamkan bahwa perdebatan soal dasar
bernegara berupa pancasila dan UUD Tahun 1945 telah usai melalui jalan musyawarah para
pendahulu bangsa telah mendudukkan indonesia sebagai negara berketuhanan tanpa ada
sebuah negara: kedua memahamkan bahwa cinta tanah air sejalan dengan nilai-nilai islam:
ketiga memahamkan bahwa islam merupakan agama yang modern dalam artian nilai-nilainya
dapat menjadi pedoman hidup sepanjang waktu seiring dengan perkembangan zaman
akhirnya spirit agama nasionalisme dan modernitas adalah tiga elemen yang tak terpisahkan.
Keyakinan agama adalah ikatan spiritual nasionalisme adalah ikatan kenegaraan-kebangsaan
sedangkan modernitas adalah ikatan zaman ketiganya niscaya menjadi bagian dan pribadi
umat islam indonesia.oleh karena itu bangsa indonesia yang mayoritas muslim,sudah
sepatutnya memadu padakan ketiganya dalam upaya membangun bangsa dan negara.
Daftar Pustaka

Rumah Kita http://sarubanglahaping.blogspot.co.id/2017/05/membumikan-islam-di-


indonesia.html (diakses 9 Mei 2007) Oleh Ramil Taka Wanakoro

Inspirasi ramadan https://yulianemonic.wordpress.com/2015/06/18/inspirasi-ramadan-1-


membumikan-islam-di-indonesia/ (diakses 18 juni2015) Oleh : Dr. Adian Husaini, M.A.
(Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)

Anda mungkin juga menyukai