Anda di halaman 1dari 3

“Andai tak ada takbir, saya tidak tahu dengan cara apa membakar semangat para

pemuda untuk melawan penjajah.” (Bung Tomo).


Bung Tomo pembawa obor semangat pertempuran Surabaya. Beliau arek
Suroboyo asli, lahir pada 1920 di Surabaya dan meninggal pada 1981 di Padang Arafah,
Arab Saudi, sewaktu menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke
tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di
Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.
Beliau adalah sosok pemuda yang bersemangat dan berai-api dalam mengemukakan
pendapat. Karakter yang demikian itu memang, meminjam analisis sosiolog Nur Syam
(2007), adalah karakter khas masyarakat pesisiran yang terbuka, egaliter, dan
cenderung ekstrover. Dan Sutomo muda adalah kristalisasi karakter masyarakat khas
pesisiran yang menjunjung tinggi kesetaraan dan antipenjajahan.

Sutomo muda prihatin terhadap kondisi bangsa indonesia. Kala itu Indonesia baru
merdeka tetapi Belanda menyerang kembali. Beliau sangat bersedih melihat banyak
ketidakadilan terjadi di depan matanya. Beliau bukan saja menangis, ia bertekad dalam
hati bahwa suatu saat ia akan berbuat demi terbebasnya bangsa dari penjajahan secara
utuh.

Tekad Bung Tomo itulah yang kelak kemudian hari membawanya pada sebuah sejarah
besar di mana ia menjadi salah satu aktor utamanya. Peristiwa itu adalah pertempuran
dahsyat arek-arek Suroboyo dengan NICA.
Sejarah pertempuran Surabaya yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945 itu
menurut Agus Sunyoto (2015) adalah sejarah pertempuran dahsyat yang pernah
terjadi di nusantara. Banyak masyarakat sipil yang terlibat di dalamnya.

Semangat cinta Tanah Air dengan tujuan agar bangsa terbebas dari segala macam
bentuk penjajahan yang sangat menyakitkan. Inilah yang mereka pegang dalam
memperthankan dan merebut kedaulatan Indonesia yang sesungguhnya.

Bung Tomo Itu Santri!      


Meletusnya peristiwa 10 November di Surabaya bukanlah perang yang tanpa sebab
musabab. Perang ini merupakan aksi lanjutan fatwa Resolusi Jihad. Ada banyak latar
dan alasan yang menjadi pemantik semangat pertempuran dan perlawanan itu. Dan
tentu saja pemantik utama perlawanan itu adalah fatwa Resolusi Jihad yang dimotori
oleh KH M Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama NU. Fatwa Resolusi Jihad adalah landasan
historis-filosofis yang menjadi bahan bakar serta energi perlawanan arek-arek
Suroboyo sehingga mereka bertindak tanpa ragu sama sekali. Inilah fatwa yang
terdokumentasi  mampu mengerakkan masyarakat Se-Jawa-Madura dalam melawan
NICA di Surabaya.
Resolusi N.U. Tentang Djihad fi Sabilillah
BISMILLAHIRRACMANIR ROCHIM
Resolusi :
Rapat besar Wakil-Wakil Daerah (Konsul 2) Perhimpunan NAHDLATOEL OELAMA
seluruh  Djawa- Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di SURABAJA.
Mendengar :
Bahwa di tiap-tiap Daerah di seluruh Djawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat
ummat Islam dan Alim Oelama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan
dan menegakkan Agama, Kedaulatan Negara Republik Indonesia Merdeka.
Menimbang :
a. Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia
menurut hukum Agama Islam, termasuk sebagai satu kewadjiban bagi tiap 2 orang
Islam.
1. Bahwa di Indonesia ini warga Negaranya adalah sebagian besar terdiri dari Ummat
Islam.
Mengingat :
a. Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang yang datang dan berada disini telah
banyak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang mengganggu ketenteraman
umum.
1. Bahwa semua jang dilakukan oleh mereka itu dengan maksud melanggar kedaulatan
Negara Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah disini maka
dibeberapa tempat telah terdjadi pertempuran jang mengorbankan beberapa banyak
djiwa manusia.
2. Bahwa pertempuran 2 itu sebagian besar telah dilakukan oleh Ummat Islam jang
merasa wadjib menurut hukum Agamanya untuk mempertahankan Kemerdekaan
Negara dan Agamanya.
3. Bahwa didalam menghadapi sekalian kedjadian 2 itu perlu mendapat perintah dan
tuntunan jang njata dari Pemerintah Republik Indonesia jang sesuai dengan
kedjadian-kedjadian tersebut.
Memutuskan
1. memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaja menentukan
suatu sikap dan tindakan jang njata serta sebadan terhadap usaha-usaha jang akan
membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap
fihak Belanda dan kaki-tangannya.
2. Supaja memerintahkan melandjutkan perdjuangan bersifat “sabilillah” untuk
tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam
                                        Surabaja, 22 – 10 -1945

1. NAHDLATOEL OELAMA
Dengan Fatwa Resolusi Jihad itulah sesungguhnya Bung Tomo mulai banyak
diperhitungkan. Beliau tercatat beberapa kali sowan kepada KH M Hasyim Asy’ari ke
Tebuireng. Mbah Hasyim sapaan karib KH M Hasyim Ays’ari adalah sosok sepuh yang
sangat mengerti potensi. Beliau tampaknya membaca bakat “pembakar semangat”
yang ada dan dimiliki oleh Bung Tomo kala itu.
Awal mula fatwa Resolusi Jihad itu atas saran Jendral Besar Soedirman, kepada Bung
Karno diminta mengirim utusan khusus kepada Rais Akbar Nahdatul Ulama (NU)
Hadratul Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari di pondok pesantren Tebu Ireng Jombang,
tujuannya untuk meminta fatwa Kiyai Hasyim tentang hukumnya berjihad membela
negara yang notabene bukan negara Islam seperti Indonesia.

Kiyai Hasyim lastas memanggil K.H. Hasan Abdulloh dari Tambak Beras Jombang, Kiyai
Wahab diminta untuk mengumpulkan para ketua ketua NU se-Jawa-Madura untuk
membahas persoalan ini, bukan hanya itu Kyai Hasyim juga meminta Kiyai-Kiyai utama
NU untuk melakukan sholat istiqoroh salah satunya adalah Kiyai Abbas dari Buntet,
Cirebon, Jawa Barat.

22 Oktober 1945 seluruh delegasi NU sejawa & madura telah berkumpul di kantor
pusat ansor di jalan pungutan Surabaya. Kiyai Hasyim langsung memimpin pertemuan
tersebut dan kemudian dilanjutkan oleh Kiyai Wahab, setelah berdiskusi yang cukup
panjang dan mendengarkan hasil istiqoroh para Kiyai utama NU, esok siangnya tanggal
22 oktober 1945 pertemuan menghasilkan 3 rumusan penting yang kemudian dikenal
dengan istilah Resolusi Jihad NU (Nahdatul Ulama).

Kedekatannya dengan Mbah Hasyim itulah yang menjadi bukti autentik bahwa
sesungguhnya Bung Tomo adalah sosok santri yang religius dan agamis. Tentu saja
tema santri yang saya maksud bukan santri yang merujuk pada definisi usang dan
keliru yang dibuat oleh Clifford Geertz itu.

Santri dalam pengertian saya, sebagaimana dikatakan KH A Mustofa Bisri (2015)


adalah siapa saja yang memiliki akhlak mulia dan memiliki kepatuhan terhadap agama.
Dua kualifikasi itu melekat pada sosok Bung Tomo sebagai pengiat Jihad Fi Sabilillah.

Mengingat Bung Tomo, juga mengingatkan pada apa yang pernah dikatakan oleh Soe
Hok Gie. Ia pada suatu ketika pernah mengatakan, “Dan seorang pahlawan adalah
seorang yang mengundurkan diri untuk dilupakan seperti kita melupakan yang mati
untuk revolusi.”

Anda mungkin juga menyukai