PENGERTIAN
Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana makna soft skills. Hal ini perlu dilakukan
karena beberapa alasan, yaitu: (a) softskills masih memiliki berbagai makna; (b) masih
banyak yang belum memaknai softskills secara tepat; dan (3) softskills melibatkan tujuan
pembelajaran yang intangible, sehingga ditemui banyak kendala dalam menerapkan
maupun mengukur hasil belajarnya. Oleh karenanya, pada bagian satu ini perlu
penjelasan tentang makna softskills itu sendiri.
TUJUAN
Memahami definisi dan makna softskills secara mendalam untuk usaha membelajarkan
dan mengembangkan softskills di perguruan tinggi. Sementara itu tujuan spesifik dari
bagian ini adalah agar peserta:
(1) Mampu menjelaskan definisi softskills
(2) Mampu membedakan softskills dengan hardskills
(3) Mampu menerangkan manfaat softskills dalam kesuksesan seseorang
(4) Mampu memahami softskills sebagai suatu tujuan pembelajaran
(5) Mampu mengembangkan softskills berdasarkan pembelajaran afeksi
(6) Mampu mengidentifikasi berbagai atribut softskills
ISI TOPIK
Definisi soft skills
Illah Sailah dalam naskah bukunya yang berjudul Pengembangan Soft Skills di
Perguruan Tinggi 2007, mengutip definisi soft skill sebagai:
Keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (inter-personal
skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intra-personal skills) yang
mampu mengembangkan secara maksimal unjukkerja (performans) seseorang1
Selanjutnya diberikan contoh2 yang termasuk dalam keterampilan mengatur dirinya
sendiri antara lain (a) transforming character, (b) transforming beliefs, (c) change
management, (d) stress management, (e) time management, (f) creative thinking
processes, (h) goal setting and life purpose, (i) acelerated learning techniques, dan
lain-lain.
Sedangkan contoh keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain di
antaranya adalah (a) communication skill, (b) relationship building, (c) motivation
skills, (d) leadership skills, (e) self-marketing skills, (f) negotiatian skills, (g)
presentation skills, (h) public speaking skills, dan lain lain
1
Personal and interpersonal behaviours that develop and maximize human performance (dikutip dari Brethal) hlm 8
2
Dinyatakan sebagai pendapat Aribowo, hlm 9
Dengan menggunakan definisi di atas, tampak bahwa soft skill merupakan bagian
penting dari kompetensi seseorang untuk dapat berhasil dalam hidupnya. Illah (2008)
memberikan ilustrasi, lulusan perguruan tinggi yang soft skill nya kurang di antaranya
ditandai dengan perilaku tidak tangguh, cepat bosan, bertabiat seperti kutu loncat, tidak
dapat bekerja sama, kurang jujur, tidak memiliki integritas dan bahkan tidak memiliki
rasa humor. Tentu saja sarjana dengan perilaku seperti itu, peluang keberhasilnya di
pasar kerja terbatas.
Lulusan perguruan tinggi tidak sedikit yang soft skillnya terbatas, sehingga seringkali
dikeluhkan oleh para penggunanya. Bahkan, kata Illah, mereka sering dianggap sarjana
yang payah. Salah satu penyebab rendahnya soft skill lulusan di antaranya disinyalir
karena di perguruan tinggi proses pembelajaran belum memberikan perhatian yang
serius pada soft skill dibandingkan dengan pembelajaran hard skill. Seorang pemain bola
yang kompeten harus mahir tidak saja dalam kemampuan teknis seperti berlari,
menendang, dan bertahan (inilah yang disebutnya sebagai hard skill), tetapi juga harus
mampu dalam bekerjasama dalam tim, gigih, mengambil inisiatif, berani mengambil
keputusan, dan lain-lain (kemampuan ini yang disebutnya sebagai softskill).
Selanjutnya dinyatakan bahwa lulusan perguruan tinggi harus mempunyai kompetensi
dalam penguasaan dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi (hard skill), tetapi
mereka harus mampu berkomunikasi, bekerja dalam tim, bekerja mandiri dan berpikir
analitis (soft skill).
Hard skill, yaitu penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan teknis yang
berhubungan dengan bidang ilmunya (insinyur mesin tentunya harus kompeten dalam
pengetahuan permesinan, dokter harus mumpuni dalam ilmu kedokteran, demikian pula
profesi yang lainnya). Bila setiap profesi dituntut mempunyai hard skill yang berbeda-
beda, tidak demikian dengan soft skill, karena keterampilan ini merupakan kompetensi
(keterampilan,skills) yang seharusnya dipunyai oleh semua orang, apapun profesinya.
Perhatikan daftar kemampuan soft skills berikut:
Kejujuran
Tanggung jawab
Berlaku adil
Kemampuan bekerja sama
Kemampuan beradaptasi
Kemampuan berkomunikasi
Toleran
Hormat terhadap sesama
Kemampuan mengambil keputusan
Kemampuan memecahkan masalah, dsb
Hal senada dinyatakan oleh Presiden Direktur WOM Finance, Benny Wenas.
Menurutnya, tidak ada sukses yang instan. Ia menyebutkan, selama ini, orang (mahasiswa
dan sarjana) diajari hard skill, tapi soft skill kurang. Mereka pintar, nilai akademiknya
tinggi, tapi kemampuan membina human relations, misalnya, sangat rendah. ''Padahal,
orang tidak hanya harus pintar sekolah dan pintar kerja, tapi juga harus pintar hidup.
Tidak hanya harus punya hard skill, tapi juga soft skill. Hanya orang-orang yang
mempunyai hard skill dan soft skill sekaligus, yang akan bisa merengkuh sukses yang
berkelanjutan,'' tegasnya.
Meskipun demikian, harus pula dimengerti bahwa peran keterampilan (termasuk soft
skill) terhadap kesuksesan juga tergantung pada macam tugas dan tingkat kepemimpinan
seseorang. Sukses bagi mereka yang masih berada pada tingkat kepemimpinan rendah
(tukang, mekanik, juru) lebih banyak ditentukan oleh keterampilan fungsional dan
keterampilan teknik yang mereka kuasai untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Hal itu
tentunya sangat berbeda bagi mereka yang bertangung jawab dalam tingkat
kepemimpinan yang tinggi (sebagaimana dicontohkan oleh 50 CEO ternama di
Amerika4). Bagi para CEO itu, sangat jelas bahwa kesuksesan mereka ditentukan oleh
kompetensi kepribadiannya. Bagi mereka soft skill benar-benar merupakan modal sukses
yang menentukan.
Kem am puan
pim pinan
Technical
Problem- Human Conceptual
tinggi skill
solving skill skill
skill
visi,
visi,misi
misi
Tingkat memotivasi
memotivasi
kepemimpinan memberdayakan
memberdayakan
Functional
skill
rendah
rendah tinggi
Jumlah keterampilan
3
Illah hlm 4
4
Lesson from the Top, Illah, hlm 1.
manusia. Banyak buku membahas, mengapa seseorang mempunyai kepribadian (soft
skill) yang hebat, sementara yang lain tidak? Apakah karena bakat, bawaan sejak lahir?
Atau karena pendidikan? Bila soft skill dapat dibentuk, ditingkatkan mutunya melalui
pendidikan, bagaimana caranya? Siapa yang harus melaksanakannya? Dosen
matakuliah soft skill? Atau semua dosen apapun matakuliahnya?
Wawasan kependidikan dosen, juga sangatlah beragam. Ada yang selama bertahun-
tahun telah mempelajarinya melalui pendidikan formal, namun tidak sedikit dosen yang
mendapat pengetahuan kependidikan dengan beberapa kali mengikuti pelatihan singkat.
Banyak di antara mereka telah mengikuti program PEKERTI maupun Applied Aproach
(yang telah mulai lebih dari 20 tahun yang lalu sampai kini), yang sebelumnya tidak
terlalu mengenal bahkan belum pernah mendengar tentang soft skill. Umumnya sejawat
dosen mengenal tujuan pembelajaran (tujuan instruksional) yang terdiri dari
kemampuan kognitif (kemampuan berpikir), psikomotorik (ketrampilan fisik), dan afektif
(kemampuan yang berhubungan dengan sikap, perasaan, emosi, dan lain-lain).
Hanya untuk keperluan kajian teori, perubahan unjuk kerja sebagai hasil belajar
seseorang, dipilah-pilahkan. Dalam praktik, perubahan kemampuan seseorang akibat
proses pembelajaran, terjadi secara berbarengan atau simultan. Seseorang yang belajar
bermain bola misalnya, sekaligus ia akan memperoleh pengetahuan tentang sepak bola
dan keterampilan bermain bola (kognitif dan motorik, atau barangkali hard skill) dan
sekaligus juga keterampilan untuk bermain sebagai tim, semangat untuk menang, dan
sebagainya (afektif atau mungkin yang saat ini disebut sebagai soft skill). Membedakan
kemampuan seseorang menjadi hard skill dan soft skill kiranya juga hanya dalam upaya
mempermudah kajian teoritik.
Dalam buku tentang KBK di Perguruan Tinggi dituliskan .. kompetensi sebagai ciri
utama dari penguasaan learning to do dari suatu materi pelajaran tidak dapat
dipisahkan dengan elemen komptensi yang terkandung dal;am learning to know, learning
to live together, dan learning to be....... oleh karenanya pemisahan antara materi
pembelajaran atas hard skills dan soft skill dalam satu kurikulum tidak berlaku lagi. 5
Sejak lama, kompetensi seseorangan sebagai hasil belajar telah dipilah-pilahkan (ingat,
pembedaan ini hanya untuk tujuan teoritis). Dan untuk tujuan teori yang berbeda,
berbeda pula cara pemilahannya.
5
Tanya jawab seputar unit pengembangan materi dan proses pembelajaran di PT, Direktorat Pembinaan Akademik dan
Kemahasiswaan Dirjen Dikti, 2005, hlm 1-2.
Hubungan antara Soft Skills dengan Pembelajaran Afektif
Lebih lanjut Suciati menjelaskan, pada tingkat perubahan yang tinggi seperti
penghargaan terhadap nilai (valuing), pengorganisasian dan pengamalan
(characterization) perilaku-perilaku yang merupakan indikator tercapai tujuan terlihat
overlaping, dan tidak dapat dipisahkan dengan tegas.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara konseptual tingkat-tingkat tersebut dapat
dipisah-pisahkan, perumusan tujuan tidak dapat dengan jelas dibedakan. Hal ini pulalah
yang membuat tujuan afektif menjadi sulit dievaluasi apakah tercapai atau tidak. Di
samping Krathwohhl, dkk., tujuan pembelajaran afektif juga dibahas oleh Martin dan
Briggs7 yang menyatakan kompetensi afektif merupakan pengembangan pribadi dan
mempunyai cakupan yang luas.
Pengembangan pribadi lebih luas artinya daripada sistem nilai, moral, etika, motivasi
dan komptensi sosial (yang semuanya merupakan atribut kompetensi afektif). Bahkan
dinyatakan pengembangan pribadi (self development) merupakan puncak dari
kompetensi afektif.
Atribut kompetensi afektif menurut Martin dan Briggs meliputi: nilai, moral dan etika,
sikap, komptensi sosial, motivasi, minat, serta emosi dan perasaan. Banyak dosen telah
mengenal tujuan pembelajaran ranah afektif (sebagian besar di antara didapat melalui
pelatihan PEKERTI maupun Apllied Approach yang gencar dilakukan oleh Dirjen Dikti)
sehingga sangat besar ada pertanyaan, apakah konsep soft skill sama maknanya
dengan konsep afektif?
Baik soft skill maupun afektif keduanya tidak berada dalam ranah yang berkaitan
dengan keterampilan teknis, bidang keilmuan profesi, ataupun hal yang bersifat motorik.
6
Suciati (1977) Taksonomi Tujuan Instruksional, Mengajar di Perguruan Tinggi, PAU untuk P3AI Dirjen Dikti.
7
Dalam Suciati, hlm 46-50.
Keduanya berada pada kawasan kompetesi kepribadian. Keduanya lebih erat berkait
dengan EQ, SQ, hati, to live together dan to be daripada dengan IQ, hand, head, to do,
atau to know. Dengan demikian, tampaknya makna soft skill tidak jauh berbeda dengan
kemampuan afektif.
Namun, tentunya ada perbedaannya, karena bila tidak mengapa harus diberi nama baru.
Soft skill tampaknya dimaksudkan memberikan gambaran kemampuan kepribadian
yang jauh lebih luas daripada kompetensi afektif. Hal ini terlihat dari begitu banyak dan
luasnya lingkup atribut soft skills.
PROSEDUR/STRATEGI PEMBELAJARAN
1. Perkenalan: 120 menit
Fasilitator memperkenalkan diri dengan menyebut nama, institusi dan hobi (5
menit)
Fasilitator meminta seluruh peserta menyebut nama, institusi dan hobi (30 menit)
Fasilitator memperkenalkan program dan tujuan program yang akan dilakukan
selama pelatihan (15 menit)
Fasilitator mengajak peserta mendiskusikan pentingnya soft skills dalam dunia
kerja: Lembar Kerja 1.1 Fasilitator merangkum hasil diskusi dan menjelaskan
mengenai pentingnya soft skills: Slide . (pak endro) (60 menit)
BAHAN LATIHAN
Lembar kerja 1.1: Pentingnya Soft Skills di dalam Kehidupan
Lembar kerja 1.2: Identifikasi Soft Skills idola
Lembar kerja 1.3: Inventarisasi Atribut Soft skills
Lembar kerja 1.4: Definisi Soft Skills
Slide Pak Endro No:..
Flip Chart
WAKTU
300 menit (5 jam)
Lembar Kerja 1.1.
Menurut Bapak/Ibu apa saja manfaat jika lulusan kita menguasai soft skills?
.........................................................................................................................................................
Lembar Kerja 1.2.
IDOLA KU..
2 HAKEKAT SOFT SKILLS
PENGERTIAN
Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana hakekat soft skills, bagaimana makna soft
skills dalam kehidupan, siapa saja yang perlu mengembangkan soft skills dan bagaimana
pengalaman Negara lain, termasuk Indonesia dalam mengembangkan soft skills.
TUJUAN
Memahami hakekat softskills secara mendalam untuk mendapatkan model
pengembangan soft skills berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan . Sementara itu
tujuan spesifik dari bagian ini adalah agar peserta:
(1) Mampu memahami manfaat softskills
(2) Mampu mengidentifikasi fungsi softskills
(3) Mampu mengidentifikasi pengalaman Negara lain mengembangkan lain
(4) Mampu merefleksikan proses pembelajaran soft skills yang telah dikembangkan di
Indonesia
ISI TOPIK
Arti Soft Skills
Bernthal, et.al (2003) menyebutkan soft skills sebagai perilaku personal dan interpersonal
yang mengembangkan dan memaksimalkan kinerja seseorang. Soft skills adalah semua
ketrampilan pengembangan diri yang tidak bersifat teknis, seperti kemampuan
pengelolaan keuangan, kualitas hidup, ketrampilan berpikir kritis dan lain-lain.
Sementara itu, Peter de Jager (2005), ahli provocative speaker, menyebutkan bahwa
untuk memahami soft skills akan lebih mudah jika kita memahami kata yang
merupakan lawan katanya, yaitu hard skills. Hard skills adalah ketrampilan yang dapat
langsung dilihat hasilnya dalam proses pembelajaran, segera setelah selesai proses
tersebut selesai. Hasil pembelajaran akan dengan mudah dapat didefinisikan, mudah
dilihat dan melibatkan penguasaan dari suatu objek yang tidak hidup. Sementara soft
skills merupakan kemampuan yang bersifat superfisial, hasil tidak langsung dilihat, serta
memiliki hubungan yang kuat dengan kemampuan personal dan interpersonal seseorang.
Pada dasarnya, soft skills merupakan kompetensi yang berhubungan erat dengan karakter,
kemampuan interpersonal, sikap dan nilai hidup anak didik.
Untuk memperjelas definisi soft skills dan hard skills, di dalam buku ini akan disitir suatu
contoh ilustrasi di dalam proses pembelajaran. Di dalam usaha untuk meningkatkan mutu
lulusan Program Studi Teknik Arsitektur, Universitas Terkemuka, menetapkan
kompetensi utama lulusan untuk dapat mengembangkan desain, juga melengkapi
lulusannya dengan ketrampilan untuk dapat berpikir kritis, mampu berkomunikasi secara
visual, lisan dan tertulis, bersikap etis, estetis dan apresiatif, serta dapat bekerja di dalam
kelompok. Kemampuan yang disebutkan di awal merupakan Hard Skills dari program
Teknik Arsitektur, yaitu kemampuan untuk mengembangkan desain bangunan.
Kemampuan ini dapat terlihat dengan cepat setelah pembelajaran selesai dilakukan.
Sementara itu, kemampuan yang disebutkan berikutnya, yaitu berpikir kritis, komunikasi
visual, lisan dan tertulis serta bekerja di dalam kelompok adalah Soft Skills yang
dikembangkan jurusan Teknik Arsitektur agar lulusannya dapat lebih berkualitas. Hard
skills jurusan arsitektur ini berada di dalam komponen Kompetensi Utama, yang
merupakan kompetensi penciri Program Studi tersebut. Sedangkan, soft skills jurusan
arsitektur dimasukkan di dalam komponen Kompetensi Lainnya, yang tidak gayut dengan
kompetensi utama program studi teknik arsitektur, namun dibutuhkan untuk dapat
meningkatkan kualitas lulusan dan merupakan penciri institusi Universitas Terkemuka.
Sementara itu ilustrasi yang kedua adalah Program Studi Psikologi Universitas Terkenal,
yang menetapkan kompetensi utama lulusannya untuk mampu mengenali dan mengelola
perilaku manusia (Hard skills), membantu menyelesaikan permasalahan yang dialami
manusia (Soft skills) serta mampu untuk memahami dan mengukur perilaku manusia
(Hard Skills). Kompetensi pendukung program studi Psikologi Universitas Terkenal
adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif (Soft skills) dengan orang lain dan
pemahaman lintas budaya (Hard Skills dan Soft Skills), serta mampu berbahasa Inggris
dengan lancar sebagai Kompetensi Lainnya. Dengan kompetensi utama, pendukung dan
lainnya yang telah ditetapkan tersebut, diharapkan lulusan program studi Psikologi
Universitas Terkenal tersebut akan lebih berkualitas.
Kedua ilustrasi diatas menunjukkan bahwa hard skills tidak selalu harus berupa
kompetensi utama, demikian juga sebaliknya soft skills pun tidak selalu merupakan
kompetensi pendukung dan atau kompetensi lainnya. Pada beberapa program studi yang
kompetensi lulusannya berhubungan erat dengan ketrampilan personal dan interpersonal,
seperti program studi kedokteran, psikologi, antropologi, kependidikan dan sebagainya
akan memiliki kandungan soft skills yang kental di dalam unsur kompetensi utamanya.
Berbeda dengan program studi yang memiliki kompetensi teknis yang kuat, seperti
program studi keteknikan, pengetahuan dasar, akuntansi dan lain sebagainya, akan
mengandung hard skills yang lebih kuat di dalam kompetensi utamanya. Soft skills pada
program studi keteknikan dan sejenisnya tersebut akan banyak terkandung di dalam
kompetensi lainnya.
Perusahaan saat ini tidak hanya memilih lulusan Perguruan Tinggi yang pandai dalam hal
ilmu, namun juga berkarakter dan berkepribadian baik. Berdasarkan pengalaman yang
yang saat ini dialami oleh perusahaan, sebagian besar merasakan bahwa karyawan yang
deskripsi karyawan bermasalah banyak dialami oleh lulusan yang memiliki kepandaian
yang tinggi namun kurang memiliki karakter yang baik, kurang disiplin, kurang
bertanggung jawab, dan lain sebagainya. Kelompok karyawan ini, sering gagal
menjalankan tugas, terutama yang berhubungan dengan tugas kelompok. Berdasarkan
pengalaman tersebut, Astra (Bowo Widodo, 2003), salah satu perusahaan terbesar di
Indonesia, mencari pekerja dengan mempertimbangkan karakter dan sikap kerja pada
seleksi karyawan awal. Mitshubisi Research Institute (2000) melakukan studi yang
hasilnya menyimpulkan bahwa aspek tertinggi yang menentukan kesuksesan lulusan
bukan kemampuan teknis, namun lebih pada kematangan emosi dan kemampuan sosial.
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa perguruan tinggi
tidak hanya mengembangkan pengetahuan, namun juga kemampuan lain yang dapat
mendukung kualitas lulusan. Kemampuan tersebut sering dikenal sebagai soft skills
yaitu kemampuan non teknis yang dibutuhkan untuk bekerja dan hidup dengan lebih baik
(Robert Half, Management Resources).
Di dalam praktek proses seleksi karyawan yang dilakukan oleh perusahaan pada
umumnya melakukan saringan berdasarkan pada aspek kemampuan berpikir logis dan
analisis di tahap awal. Kemudian dilanjutkan dengan seleksi karakter dan sikap kerja,
sementara pada proses seleksi akhir, baru dilakukan seleksi berdasarkan kemampuan
teknis dan akademis calon pegawai tersebut (Bowo Widodo, 2003). Terutama proses
seleksi wawancara, proses ini sangat sarat dengan soft skills, yaitu ketrampilan
berkomunikasi secara efektif, kemampuan berpikir kritis, ketrampilan menghargai orang
lain, sikap serta motivasi kerja. Oleh karenanya, institusi Pendidikan Tinggi perlu untuk
memikirkan bagaimana mengembangkan soft skills anak didiknya agar siap untuk
menghadapi seleksi kerja.
Namun terlebih dari itu, selain dibutuhkan pada saat seleksi kerja, soft skills akan sangat
berperan pada saat lulusan bekerja di perusahaan. Pada saat lulusan mengemban tugas di
dalam lingkungan kerja, baik sebagai pegawai negeri, pegawai swasta maupun
wirausaha, soft skills merupakan syarat utama bagi kesuksesannya. Bekerja sebagai
pegawai negeri maupun pegawai swasta, mensyaratkan seseorang memiliki karakter yang
kuat, seperti integritas yang tinggi, jujur, bertanggung jawab akan tugas yang
diembannya, serta semangat juang yang tinggi. Selain itu, juga membutuhkan
ketrampilan untuk berhubungan sosial dengan orang lain, seperti bekerja di dalam tim,
serta mempresentasikan dan mengekspresikan ide yang dimilikinya. Pekerja dengan soft
skills yang tinggi akan memiliki daya juang dan tanggung jawab untuk selalu
menyelesaikan pekerjaannya. Sementara itu, jika lulusan menetapkan untuk menjadi
wirausaha, soft skill akan menjadi sangat penting untuk dapat selalu menelorkan ide-ide
yang kreatif dan inovatif, sehingga dapat mendukungnya untuk menemukan celah dan
berjuang di menjual ide yang dimilikinya kepada orang lain. Seorang wirausaha memiliki
ciri kuat di dalam menemukan ide secara aktif dan kreatif untuk dapat selalu berjuang di
dalam mengembangkan usahanya.
Sementara itu, di Korea pada tahun 2000 dikembangkan sistem pendidikan baru yang
bertujuan untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia Korea secara utuh.
Strategi yang dikembangkan adalah: (1) Menciptakan model karakter yang ingin
dikembangkan (guru, cerita pahlawan, pimpinan masyarakat, dll); (2) Guru harus
membantu anak dalam mengadopsi kemampuan untuk memahami dan menguasai soft
skills; (3) Guru harus mampu mendorong suasana yang dapat mengembangkan soft
skills; dan (4) Guru harus menyediakan berbagai macam aktivitas yang bersumber pada
nilai hidup dan atuan yang akan dipelajarai di dalam kurikulum formal dan kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah. Scribner (2007) melakukan penelitian pada pendidikan di
Jepang yang sarat akan soft skills. Di Jepang, semenjak tahun 1992-1993, pendidikan di
Jepang telah menekankan pada aspek dasar citizenship characters. Setiap sekolah di
Jepang harus mengajarkan soft skills di dalam pendidikannya. Proses pengembangan soft
skills di Jepang, menurut Scribner (2007) lebih banyak difokuskan pada kegiatan co-
curricular activities.
Selain contoh di atas, soft skills juga banyak dikembangkan di benua Eropa. Salah satu
negara yang memiliki pendidikan soft skills adalah di Hungaria. Proses reformasi yang
terjadi di Hungaria tahun 1989 1990 tidak hanya berdampak pada dimensi ekonomi dan
politik saja, namun juga berpengaruh pada dimensi moral. Penurunan moral di Hungaria
muncul dalam wujud hilangnya norma dan kontrol di dalam tatanan kehidupan
masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah membangun satu institusi
pendidikan yang bertanggung jawab untuk mengembangkan soft skills siswa didiknya.
Institusi ini berhasil mengembangkan satu Kurikulum Nasional yang memungkinkan
memberikan 3 buah alternatif pilihan, yaitu: (1) Jawaban yang berasal dari kelompok
liberal, dimana sekolah harus dapat merefleksikan kebebasan untuk dapat
mengembangkan soft skill tanpa ada campur tangan dari negara; (2) Jawaban dari
kelompok nasionalis, dimana sekolah harus mengembangkan soft skills yang ditetapkan
oleh negara; dan (3) Jawaban dari kelompok religius, yang menyatakan bahwa soft skills
adalah persetujuan dari norma masyarakat yang berlaku saat itu. Lembaga Kurikulum
Nasional Hungaria membuka diskusi dan debat panjang mengenai ketiga alternatif
tersebut. Selama kurang lebih 15 tahun lembaga ini mencoba untuk menyusun soft skills
seperti apa yang dibutuhkan siswanya. Akhirnya, setelah 15 tahun proses pengembangan
soft skills tersebut, lembaga Kurikulum Nasional akhirnya menyediakan framework
program soft skills tanpa membatasi isi yang akan dikembangkan. Ide yang paling
penting adalah bahwa setiap sekolah wajib mengembangkan soft skills siswa didiknya,
namun demikian, dapat secara bebas menetapkan soft skills apa yang akan
dikembangkan. Di dalam program pengembangan soft skills Kurikulum Nasional
Hungaria selama 15 tahun, dapat disimpulkan bahwa soft skills tidak dapat diajarkan
secara formal melalui kurikulum tertulis, namun dapat diajarkan melalui Hidden
curriculum, yaitu kurikulum yang merupakan dampak dari interaksi antara guru/dosen
dengan siswa didiknya.
Dari berbagai contoh pengembangan kurikulum di berbagai negara dapat kita ambil
beberapa kesimpulan bahwa:
Hampir setiap negara di berbagai benua meyakini bahwa sekolah tidak hanya
cukup mengajarkan pengetahuan atau hard skills saja namun juga perlu
mengembangkan karakter siswa didiknya melalui pengembangan soft skills.
Pada beberapa negara, pengembangan soft skills di insitusi pendidikan dimulai
dari penetapan kurikulum karakter yang bersifat nasional.
Soft skills tidak dapat dikembangkan melalui kurikulum tertulis dan formal,
namun secara terstruktur dilakukan melalui hidden curriculum, aktivitas
ekstrakurikuler dan atmosfer akademik yang dikembangkan.
Pada saat program P4 dijalankan, konsep pengembangan soft skills ini kurang diterapkan
dengan utuh. Oleh karenanya implementasi di dalam kehidupan nyata kurang selaras
dengan tujuan luhur program P4 tersebut. Konsep pengembangan role model serta latihan
secara berkelanjutan di dalam praktek nyata tidak terwadahi di dalam program P4.
Walhasil, program tersebut memang membuat sebagian masyarakat hafal akan Pancasila
dan maknanya, namun tidak mampu menuangkan di dalam proses kehidupan nyata.
Permasalahan inilah yang menyebabkan program P4 dievaluasi dan direvisi agar lebih
baik.
Usaha pemerintah Indonesia di dalam di dalam mengembangkan soft skills bangsa yang
penuh rasa hormat dan menghormati, tidak berakhir hanya dengan pengembangan
program P4 saja. Di Indonesia dikembangkan mata pelajaran budi pekerti, yang diajarkan
di semua tingkatan pendidikan. Namun sekali lagi, permasalahan yang muncul tetap pada
desain pembelajaran yang cenderung mengarah pada satu ranah kognitif saja. Bahkan
sejalan dengan syaratnya muatan teknologi dan ilmu yang dipelajari, pendidikan budi
pekerti ini telah mulai banyak ditinggalkan oleh sekolah.
Pada tataran pendidikan tinggi, menangkap pesan yang disampaikan oleh UNESCO di
dalam konvensi tahun 1999, tentang pendidikan sepanjang hayat yang tertuang di dalam
konsep 4 education pillars (learning to know, learning to do, learning to be and learning
to live together) maka ditetapkanlah SK Mendiknas No. 232/U/Mendiknas/2000,
mengenai pengembangan kurikulum pendidikan tinggi. Di dalam pasal 10 menyebutkan
bahwa Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) wajib diberikan di
dalam kurikulum setiap program studi. Bentuk kelompok MPK ini di dalam kurikulum
inti adalah pada mata kuliah Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan
Kewarganegaraan. Sementara di dalam kurikulum institusional dapat berupa mata kuliah
bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Ilmu Budaya Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Alamiah
Dasar, Filsafat Ilmu dan sebagainya. Namun SK Mendiknas inipun memiliki kelemahan
yang sama dengan program P4, yaitu hanya mengembangkan sisi kognitif saja dan
kurang sustainable.
PERTANYAAN REFLEKTIF
1. Apakah makna hakiki softskills?
2. Apa fungsi softskills dalam bekerja?
3. Bagaimana konsep mengembangkan secara benar?
4. Dapatkah soft skills diajarkan?
MATERIAL
Handout 2.1: pengalaman pembelajaran soft skills di beberapa Negara (selected
reading materials)
Lembar kerja 2.1: Review pengalaman pengembangan soft skills di beberapa
Negara
Lembar Kerja 2.2: Refleksi pembelajaran soft skills di Indonesia
WAKTU
300 menit (5 jam)
Lembar Kerja 2.1.
Dari pengalaman beberapa hal apakah yang dapat anda tarik sebagai satu
kesimpulan dalam hal:
5. RANGKUMAN
2. Mengapa Pelajaran PMP atau PPKN atau PSPB belum dapat membangun
jiwa kebangsaan dan cinta tanah air?
4. Apa yang perlu dibenahi dari kesemua proses pembelajaran karakter di atas
3 PEMBELAJARAN SOFTSKILLS
PENGERTIAN
Fokus bagian ini adalah proses pembelajaran soft skills yang ada di kelas. Mulai dari
mengidentifikasikan, mendefinisikan dan merancang proses pembelajaran serta penilaian
belajarnya.
TUJUAN
(1) Mampu mengidentifikasi softskills yang diperlukan
(2) Mampu definisikan softskills yang akan dikembangkan dalam proses pembelajaran
(3) Mampu merancang pembelajaran yang mengandung softskills
(4) Mampu menilai soft skills sebagai konsekuensi dari proses pembelajaran yang telah
dilakukan(Evaluasi soft skills)
ISI TOPIK
Proses pembelajaran Softskills?
Pemilahan tujuan pembelajaran dalam tiga domain, kognitif, motorik dan afektif, tidak
berarti bahwa tujuan pada satu domain tidak ada kaitanya dengan tujuan di domain yang
lain. Hasil pembelajaran selalu terjadi pada ketiga domain dengan proporsi yang
berbeda-beda. Demikian pula dalam pembedaan kompetensi lulusan menjadi kompetensi
hardskills dan softskills. Tidak ada proses pembelajaran yang hanya menghasilkan
perubahan dalam domain hardskills tanpa berpengaruh kepada softskilnya.
Dengan tidak mempersoalkan apakah memang pernah terjadi pemisahan antara hardskills
dan softskills dalam kurikulum, memang benar bahwa pembelajaran softskills terjadi pula
pada saat proses pembelajaran dilakukan oleh dosen, apapun materi yang diajarkannya.
Lebih tegas Illah9menuliskan softskills tidak seharusnya (diajarkan) melalui satu mata
kuliah, melainkan diselipkan di setiap mata kuliah. Softskills tidak akan menjadi satu
8
Tanya jawab seputar unit pengembangan materi dan proses pembelajaran di PT, Direktorat Pembinaan
Akademik dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti, 2005, hlm 1-2.
9
Illah, hlm 11
mata kuliah tersendiri, melainkan menjadi hidden curriculum. Itu berarti, masing-masing
dosen bertanggung jawab dalam pembelajaran softskills apapun mata kuliah yang
diasuhnya. Masalahnya adalah bagaimana dosen dapat secara sadar dan sengaja
merancang dan melaksanakan tugas membelajarkan sofskills dalam praktek
pembelajarannya.
Bloom (1977) membagi tujuan instruksional menjadi tiga kawasan sesuai dengan jenis
kemampuannya. Tujuan yang mempunyai titik berat kemampuan berpikir disebut
kawasan kognitif. Kemampuan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,
mensintesis dan mengevaluasi sesuatu merupakan jenjang kemampuan dalam kawasan
ini.
Tujuan yang mempunyai fokus keterampilan melakukan gerak fisik disebut kawasan
psikomotorik (sering disingkat menjadi kawasan motorik). Kemampuan meniru,
melakukan suatu gerak, memanipulasi gerak, merangkikan berbegai gerakan, melakukan
gerakan dengan tepat dan wajar adalah bagian dari kawasan motorik.
10
Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata instructional yang berrati kegiatan mengajar-belajar.
Apabila mengajar (teaching) cenderung pada kegiatan dosen, dan belajar (learning) pada kegiatan siswa,
maka pembelajaran merupakan kegiatan mengajar oleh dosen yang mampu pada saat yang sama--
menimbulkan kegiatan kegiatan belajar dalam diri siswanya.
Tujuan yang lain, yang berintikan kemampuan bersikap disebut kawasan afektif.
Karthwohl, dkk. (1964) untuk keperluan analisis pembelajaran mengurai perubahan
afektif menjadi lima tingkatan yaitu :
Pembelajaran afektf merupakan kegiatan yang dilakukan dosen secara sengaja, sadar dan
terencana untuk mencapai perubahan-perubahan pada kawasan afektif.
Perlu diketahui, bahwa hasil belajar yang dipilahkan dalam kawasan kognitif, motorik
dan afektif, hanyalah untuk keperluan kajian teoritik. Dalam kenyataannya, perubahan
yang terjadi dalam diri mahasiswa merupakan gabungan dari ketiga kawasan itu. Hasil
belajar perkuliahan matematika, misalnya tidak saja akan merubah pengetahuan
(kognitif), setapi juga ketrampilan (motorik) dan sikap positif (afektif) mahasiswa
terhadap matematika. Memang benar, ada pembelajaran tertentu yang memberikan bobot
perubahan yang lebih besar pada kasawan yang satu di bandingkan dengan kawasan yang
lain. Misalnya, kegiatan praktikum yang tentunya mempunyai tujuan keterampilan yang
lebih besar daripada perubahan di kawasan kognitif maupun afektif. Namun, tidak berarti
bahwa melalui praktikum tidak terjadi perubahan di kedua kawasan yang lain itu.
Perubahan yang diharapkan terjadi dari kegiatan praktikum dapat digambarkan sebagai
berikut:
Motorik : menumbuhkan / meningkatkan keterampilan dalam
mempersiapkan, merancang, menggunakan seperangkat
peralatan dan bahan secara tepat dan benar untuk
mencapai tujuan tertentu
dll
Umum dimengerti bahwa mendidik lebih luas artinya daripada mengajar. Ada pula yang
menyatakan bahwa mengajar hanya memfokus kepada perubahan kemampuan berpikir,
sedang mendidik memberikan perhatian lebih kepada pembentukan kepribadian (atau
nilai-nilai afektif).
Namun, bila dipahami bahwa hasil perubahan dari suatu proses pembelajaran tidak
mungkin hanya terdiri dari perubahan pikiran saja tanpa adanya perubahan sikap dan
perubahan keterampilan (meskipun dalam poporsi yang berbeda-beda), maka
pembelajaran afektif pada hakikatnya sama artinya dengan pendidikian afektif.
Apabila dosen secara sadar, sengaja dan terencana melakukan pembelajaran afektif, yang
artinya memberikan perhatian pula pada perubahan-perubahan perilaku afektif, maka
dosen tersebut sebenarnya telah melakukan pendidikan afektif.
Secara rinci Ardhana (2000) dalam makalahnya pada Seminar Pembelajaran Afektif yang
dilaksanakan oleh LP3-Unibraw, menuliskan bakwa pendidikan afektif (seringkali
disebut pendidikan humanistik) adalah suatu pandangan atau falsafah dalam pendidikan
yang memusatkan perhatian pada sikap dan perasaan siswa, serta belajar secara bebas
(Slavin, 1994, hlm. 296).
Lebih jauh Ardhana (2000) menyatakan bahwa pendidikan afektif dilandasi suatu aliran
psikologi yang dikenal dengan nama psikologi humanistik. Aliran psikologi ini
dikembangkan oleh para tokohnya karena psikologi akademik (khususnya behavioristik)
dan psikologi terapan tidak membahas secara memadai kemampuan manusia untuk
berpikir, mengalami perasaan, membuat keputusan dan secara umum menentukan arah
hidupnya. Psikologi akademik terlalu menekankan pemakaian metode penelitian yang
ketat seperti eksperimen. Di samping itu, dalam upayanya mengungkapkan masalah
belajar, psikologi akademik lebih tertarik mempelajari tikus, merpati, dan kera ketimbang
mempelajari manusia dalam konteksnya yang alamiah.
Menurut Snelbecker (1974), ada beberapa ciri umum yang dominan dalam tradisi
psikologi humanistik, meskipun diantara tokoh-tokohnya terdapat perbedaan pendapat.
Pertama, mereka menekankan bahwa psikologi seharusnya mengkaji pribadi manusia
sebagai suatu kesatuan yang utuh, bukan mereduksinya menjadi sub-sub bagian secara
fragmentaris. Kedua, mereka juga lebih menekankan pada pemerian kegiatan-kegiatan
yang ditinjau dari sudut pandang pengamat luar. Ketiga, mereka terutama memberikan
perhatian kepada aktualisasi diri (self-actualiztion), pemenuhan diri (self-fulfillment), dan
perwujudan diri (sef-realization).
Irawan (1994) menuliskan bahwa menurut teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk
memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si belajar telah
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, si belajar harus
berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Secara umum teori ini cenderung bersifat eklektik, dalam arti memanfaatkan teknik
belajar apapun asal tujuan belajar mahasiswa dapat tercapai.
Namun, lebih jauh dinyatakan berdasar teori humanistik, dalam praktiknya cenderung
mahasiswa untuk berpikir induktif (adri contoh ke konsep, dari kokrit ke abstrak, dari
khusus ke umum dan sebagainya). Di samping itui, teori humanistik amat mementingkan
faktor pengalaman (keterlibatan aktif) mahasiswa di dalam proses belajar. Sehingga
model pembelajaran yang mampu lebih mengaktfkan belajar mahasiswa merupakan
andalan pada pembelajaran afektif.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berbeda, dibutuhkan metode mengajar dan
cara evaluasi keberhasilan yang tidak sama. Dengan demikian, sangat penting untuk
mengetahui terlebih dahulu apa tujuan utama dari perkuliahan. Apakah menitikberatkan
kepada diperolehnya pengetahuan, atau terbentuknya sikap. Memang benar, perubahan
yang terjadi dalam diri seseorang merupakan gabungan dari adanya perubahan
kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), motorik (ketrampilan).
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, tujuan afektif dimulai dari yang paling
sederhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai dengan yang kompleks yang
merupakan faktor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani. Berbedanya
fokus perubahan, membawa perubahan pada metode pembelajaran dan termasuk juga
sumber belajar yang diperlukan. Tentu saja hal itu untuk dapat mencapai proses
pembelajaran yang efisien, efektif dan menyenangkan.
Diketahui bahwa karakter atau watak seseorang dipengaruhi oleh banyak hal. Di
antaranya, oleh lingkungan dan pengalaman hidupnya. Salah satu pengalaman yang
berpengaruh pada pembentukan watak adalah pengalaman pembelajaran di sekolah, di
mana keberhasilannya sangat tergantung pada proses belajar dan mengajar yang terjadi,
yang bertumpu pada peran guru dalam merancang, menyajikan dan mengevaluasi.
Dengan demikian kegiatan tersebut merupakan bagian dari pembelajaran afektif yang
menurut Ardhana (2000), belakangan ini berkembang dengan memiliki tiga ciri pokok
yaitu :
memberikan penekanan yang jauh lebih besar pada peran guru dalam membimbing
siswa kearah penemuan dan penggunaan teknik belajar secara kooperatif serta
mendorong terjadinya diskusi di antara siswa
Menggunakan model pembelajaran SCL tersebut, mahasiswa didorong untuk lebih aktif
membelajarkan diri mereka. Mahasiswa diharapkan berkemampuan dalam learn how to
learn, mengembangkan potensi diri, dan ketrampilan mereka untuk hidup (live skills,
personal skills, atau softskills) di samping belajar ketrampilan teknis bidang
keilmuannya.
Berbagai metode pembelajaran yang disarankan oleh Dikti yang cocok untuk CTL antara
lain (a) Small group discussion, (b) Role-play and simulation, (c) Case study, (d)
Discovery Learning, (e) Self-Directed Learning, (f) Cooperative Learning, (g)
Collaborative Learning, (h) Contextual Learning, (i) Project Based Learning, dan (j)
Problem Based Learning and Inquiry.
Bruce Joyce dan Marsha Weil (1986) mengkaji dan menyajikan berbagai model mengajar
-sebenarnya juga berarti model pembelajaran- (model of teaching) yang telah
dikembangkan dan dites keberlakukannya oleh para pakar kependidikan.
11
Tanya jawab seputar unit pengembangan materi dan proses pembelajaran di PT, Direktorat Pembinaan
Akademik dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti, 2005, hlm 22-47
No Kelompok Orientasi Karakteristik Macam model mengajar
Model Utama pokok yang termasuk pada
kelompok model utama
1 Model Proses kognitif Menitikberatkan Pencapaian konsep
Pengolahan Pemahaman pada cara (concept attainment)
Informasi dunia memperkuat Berpikir induktif
(Information Pemecahan dorongan internal (inductive thinking)
Processing) masalah manusia untuk Latihan Penelitian (inquiry
Berfikir memahami dunia training)
induktif melalui menggali Pemandu Awal (advanced
dan organizer)
mengorganisasikan Memorisasi
data, merasakan (memorization)
adanya masalah dan Pengembangan Intelek
mengupayakan jalan (developing intellect)
pemecahannya, serta Penelitian Ilmiah
mengungkapkannya. (scientific inquiry)
2 Model Personal Kesadaran Beranjak dari Pengajaran tanpa arahan
(Personal) individu pandangan kedirian (non directive teaching)
Keunikan atau selfhood dari Sinektiks (synectics
Kemandirian individu. model)
Pembinaan Mengusahakan untuk Latihan kesadaran
kepribadian dapat memahami diri (awareness training)
sendiri dengan baik, Pertemuan kelas
memikul tanggung (classroom meeting)
jawab untuk
pendidikan, dan
lebih kreatif untuk
mencapai kualitas
hidup yang lebih
baik.
3 Model Sosial Semangat Dengan kerjasama Investigasi kelompok
(Social) kelompok manusia dapat (group investigation)
Kebersamaan membangkitkan dan Bermain peran (role
Interaksi sosial menghimpun tenaga playing)
Individu (energy) secara Penelitian yurispridensial
sebagai aktor bersama yang (jurispridential inquiry)
sosial kemudian disebut Latihan laboratoris
synergy. (laboratory training)
Kelompok model Penelitian ilmu sosial
sosial dirancang (social science inquiry)
untuk memanfaatkan
fenomena
kerjasama.
4 Model Sistem Social Memusatkan Belajar tuntas (mastery
Perilaku Learning perhatian pada learning)
(Behavioral Koreksi diri perilaku yang Pembelajaran langsung
System) Terapi terobservasi dan (direct instruction)
perilaku metode dan tugas Belajar kontrol diri
Respon yang diberikan (learning self control)
terhadap tugas dalam rangka Simulasi (simulation)
mengomunikasikan
keberhasilan.
Dari tabel di atas tampak terdapat banyak sekali model mengajar yang dapat
dipergunakan dosen dalam praktik pembelajaran. Dan banyak di antara model-model
tersebut secara khusus dirancang untuk memberikan hasil belajar yang berupa perubahan
afektif.
Sebagai contoh, berikut disajikan 4 (empat) buah model yang masing-masing mewakili
setiap kelompok (guna mempelajari lebih lanjut tentang hal ini sangat disarankan untuk
membaca tulisan Saripuddin, Udin (1997) yang berjudul Model-model Pembelajaran
dalam Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran Buku 1 B Bahan Ajar Program
Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI) Untuk Dosen
Muda. Jakarta : PAU-P3AI.)
Bila mengacu pada kebutuhan kualitas lulusan masa datang tampak bahwa upaya
melakukan perubahan afektif pada proses pembelajaran di perguruan tinggi, sudah
waktunya menuntut lebih banyak perhatian. Sayangnya, saat ini praktik
pembelajaran di perguruan tinggi, lebih banyak upaya dilakukan untuk mencapai tujuan
yang bersifat kognitif atau motorik dibandingkan dengan tujuan yang bersifat afektif.
Berbeda dengan tujuan kognitif yang berorientasi kepada kemampuan berpikir, tujuan
afektif lebih berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai dan sikap.
Akibatnya, proses belajar-mengajar di perguruan tinggi kita masih merasa berat sebelah,
karena selalu menekankan kegiatan-kegiatan belajar yang bersifat kognitif. Di mata
kebanyakan mahasiswa, kuliah-kuliah terlalu membosankan, dan tugas-tugas yang
diberikan kepada mahasiswa dirasakan terlalu berat dan tidakl menyenangkan. Memang
ada pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan yang ketat dan berat akan memberikan
hasil belajar yang tinggi.
Pendidikan afektif sebenarnya tidak anti pada pendidikan yang bersifat kognitif. Hanya
saja, pendidikan afektif ingin menyeimbangkan antara pendidikan yang bersifat afektif
dan pendidikan yang bersifat kognitif dan psikomotorik.
Hasil pendidikan yang kurang memuaskan ini sebagian mungkin terjadi karena
terbatasnya sarana-sarana serta dana yang kita miliki untuk dapat menyelenggarakan
pendidikan yang memenuhi persyaratan, sebagian lagi mungkin telah terjadi karena
kekeliruan cara pandang kita terhadap konsepsi maupun proses pendidikan. Dalam
pelaksanaannya, tujuan pendidikan telah mengalami reduksi dari upaya pengembangan
potensi kemanusiaan secara utuh menjadi sekedar penguasaan isi.
Di dalam pembelajaran yang berbasis pada paradigma Student Centered Learning (SCL),
konsep pembelajaran yang konstruktif mensyaratkan adanya keterpaduan antara
penugasan, penilaian dan pembelajaran. Syarat utama pembelajaran SCL adalah sebagai
berikut
2. Proses belajar, tidak terjadi secara pasif-reseptif, namun dilakukan secara aktif
mengkonstruksi dan mencari pengetahuan yang dipelajari.
3. Proses belajar tidak dilihat sebagai suatu proses yang hanya menjalankan
rangkaian instruksi, namun lebih jauh merupakan proses untuk menyediakan
berbagai strategi belajar konstruktif, serta partisipasi aktif antara dosen dan
mahasiswa di dalam proses tersebut.
Oleh karena ketiga syarat diatas, nampak bahwa di dalam pembelajaran yang berbasis
SCL, proses belajar terjadi bersama dengan penugasan dan penilaian. Pada pembelajaran
dengan paradigma seperti inilah, softskills dapat dikembangkan.
Penilaian yang diacu di dalam pembelajaran SCL untuk mengembangkan soft skills
dilakukan dengan mengacu pada proses pengambilan keputusan pada hasil belajar dan
penugasan terhadap suatu kriteria kualitas kompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Langkah-langkah skema penilaian pembelajaran SCL untuk mengembangkan soft skills
adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan kompetensi soft skills akhir yang akan dicapai melalui proses
pembelajaran tersebut.
Model penilaian kompetensi sebagaimana di atas, tidak mensyaratkan alat ukur, sehingga
dosen tidak mengalami kesulitan di dalam pengembangan penilaian soft skills. Model di
atas hanya mensyaratkan definisi operasional dan kualitas kompetensi yang
dimaksudkan. Selain itu, model penilaian ini, juga akan meningkatkan objektivitas dosen
dalam memberikan penilaian.
Mengapa perubahan afektif, tampaknya kurang terperhatikan dalam praktik pembelajaran
di perguruan tinggi? Ada beberapa kemungkinan jawaban.
3. Tidak mudah untuk menilai ketercapaian afektif. Menilai pencapaian tujuan afektif
yang melibatkan pemilikan dan pengamalan sistem nilai (value system) tidaklah
mudah. Pada tingkat-tingkat afektif yang tinggi (valuing, organization, dan
characterization) perilaku yang merupakan indikator tercapainya tujuan-tujuan
tersebut terlihat overlaping dan tidak dapat dipisahkan dengan tegas. Hal itulah yang
membuat tujuan afektif menjadi sulit dievaluasi apakah tercapai atau tidak.
Di samping itu pencapaian tujuan afektif memerlukan waktu lama. Memang, untuk
tingkat afektif yang sederhana seperti mengenal atau memberi respon, pencapai tujuan
mungkin tidak memerlukan waktu yang lama dan dapat diketahui apakah tercapai atau
tidak. Namun, keadaan tersebut menjadi sulit pada tingkat afektif yang lebih tinggi.
PROSEDUR/STRATEGI PEMBELAJARAN
1. Mengidentifikasi dan mendefinisikan soft skills (90 menit)
Fasilitator mengajak peserta mengidentifikasi soft skills yang penting pada
lulusannya dengan membagi peserta menjadi 4 kelompok. (10 menit)
Peserta mengisi lembar kerja 3.1. Identifikasi soft skills dalam kelompok kecil
(20 menit)
Peserta kemudian mendefinisikan masing-masing soft skills secara operasional
dengan mengisi lembar kerja 3.2. identifikasi soft skills (30 menit)
Peserta mempresentasikan hasil kerja pada kelas besar dan saling memberikan
masukan (30 menit)
PERTANYAAN REFLEKTIF
1. soft skills apa yang dibutuhkan lulusan untuk sukses?
2. bagaimana mengembangkan pembelajaran yang juga bermuatan soft skills?
3. bagaimana menengarai bahwa mahasiswa sudah menguasai soft skills?
MATERIAL
lembar kerja 3.1. Identifikasi soft skills dan Definisi soft skills
lembar kerja 3.2. Rancangan Pembelajaran soft skills
lembar kerja 3.3. Format Rancangan Tugas
WAKTU
240 menit (4 jam)
Lembar Kerja 3.1
1. Tujuan Tugas :
2. Uraian Tugas
a. Obyek Garapan:
..
b. Batasan yang harus dilakukan:
..
c. Metode/Cara mengerjakan:
..
d. Deskripsi hasil/luaran:
..
3. Kriteria Penilaian
..
GRADING SCHEME
KRITERIA PENILAIAN: