Waktu
14.00 15.00
15.00 16.00
16.00 17.00
17.00 19.00
19.00 21.00
08.00 09.00
09.00 10.00
10.00 10.30
10.30 12.30
12.30 13.30
13.30 15.00
15.00 17.00
17.00 19.00
19.00 21.00
Kemampuan akhir
Strategi
yang diharapkan
HARI PERTAMA
Pembukaan
Mencairkan suasana
Ice Breaking dan
agar tercipta kondisi
Perkenalan
pelatihan yang
kondusif
Memahami pentingnya Diskusi dan
soft skills dalam
penyajian
kesuksesan seseorang
ISHOMA
Memahami proses role Diskusi dan
model soft skills
Penyajian
HARI KEDUA
Mampu merefleksikan Diskusi dan
atribut sukses
presentasi
kelompok
Mampu
Refleksi
mengidentifikasi faktor pengalaman
sukses dan gagal
Negara lain dan
program soft skills
diskusi
Coffee Break
Mampu
Refleksi
mengidentifikasi
pengalaman
proses pengembangan Indonesia
soft skills yang sukses
ISHOMA
Mampu
Latihan dan
mengidentifikasi dan
presentasi
mendeskripsikan
softskills
Mampu memahami
Penyajian dan
prinsip pembelajaran
Diskusi
SCL untuk
mengembangkan soft
skills
ISHOMA
Mampu merancang
Latihan
pembelajaran soft
skills
Materi
Slide ..
08.00 09.30
09.30 11.00
11.00 12.00
12.00 12.30
HARI KETIGA
Mampu merancang
Latihan membuat
pengembangan soft
Action Plan
skills di PTnya
Sharing aktivitas yang Presentasi action
akan dilakukan di PT
plan
Penguatan hasil
Wrap Up
pelatihan
Penutupan
MAKNA SOFTSKILLS
PENGERTIAN
Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana makna soft skills. Hal ini perlu dilakukan
karena beberapa alasan, yaitu: (a) softskills masih memiliki berbagai makna; (b) masih
banyak yang belum memaknai softskills secara tepat; dan (3) softskills melibatkan tujuan
pembelajaran yang intangible, sehingga ditemui banyak kendala dalam menerapkan
maupun mengukur hasil belajarnya. Oleh karenanya, pada bagian satu ini perlu
penjelasan tentang makna softskills itu sendiri.
TUJUAN
Memahami definisi dan makna softskills secara mendalam untuk usaha membelajarkan
dan mengembangkan softskills di perguruan tinggi. Sementara itu tujuan spesifik dari
bagian ini adalah agar peserta:
(1) Mampu menjelaskan definisi softskills
(2) Mampu membedakan softskills dengan hardskills
(3) Mampu menerangkan manfaat softskills dalam kesuksesan seseorang
(4) Mampu memahami softskills sebagai suatu tujuan pembelajaran
(5) Mampu mengembangkan softskills berdasarkan pembelajaran afeksi
(6) Mampu mengidentifikasi berbagai atribut softskills
ISI TOPIK
Definisi soft skills
Illah Sailah dalam naskah bukunya yang berjudul Pengembangan Soft Skills di
Perguruan Tinggi 2007, mengutip definisi soft skill sebagai:
Keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (inter-personal
skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intra-personal skills) yang
mampu mengembangkan secara maksimal unjukkerja (performans) seseorang1
Selanjutnya diberikan contoh2 yang termasuk dalam keterampilan mengatur dirinya
sendiri antara lain (a) transforming character, (b) transforming beliefs, (c) change
management, (d) stress management, (e) time management, (f) creative thinking
processes, (h) goal setting and life purpose, (i) acelerated learning techniques, dan
lain-lain.
Sedangkan contoh keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain di
antaranya adalah (a) communication skill, (b) relationship building, (c) motivation
skills, (d) leadership skills, (e) self-marketing skills, (f) negotiatian skills, (g)
presentation skills, (h) public speaking skills, dan lain lain
1
2
Personal and interpersonal behaviours that develop and maximize human performance (dikutip dari Brethal) hlm 8
Dinyatakan sebagai pendapat Aribowo, hlm 9
Dengan menggunakan definisi di atas, tampak bahwa soft skill merupakan bagian
penting dari kompetensi seseorang untuk dapat berhasil dalam hidupnya. Illah (2008)
memberikan ilustrasi, lulusan perguruan tinggi yang soft skill nya kurang di antaranya
ditandai dengan perilaku tidak tangguh, cepat bosan, bertabiat seperti kutu loncat, tidak
dapat bekerja sama, kurang jujur, tidak memiliki integritas dan bahkan tidak memiliki
rasa humor. Tentu saja sarjana dengan perilaku seperti itu, peluang keberhasilnya di
pasar kerja terbatas.
Lulusan perguruan tinggi tidak sedikit yang soft skillnya terbatas, sehingga seringkali
dikeluhkan oleh para penggunanya. Bahkan, kata Illah, mereka sering dianggap sarjana
yang payah. Salah satu penyebab rendahnya soft skill lulusan di antaranya disinyalir
karena di perguruan tinggi proses pembelajaran belum memberikan perhatian yang
serius pada soft skill dibandingkan dengan pembelajaran hard skill. Seorang pemain bola
yang kompeten harus mahir tidak saja dalam kemampuan teknis seperti berlari,
menendang, dan bertahan (inilah yang disebutnya sebagai hard skill), tetapi juga harus
mampu dalam bekerjasama dalam tim, gigih, mengambil inisiatif, berani mengambil
keputusan, dan lain-lain (kemampuan ini yang disebutnya sebagai softskill).
Selanjutnya dinyatakan bahwa lulusan perguruan tinggi harus mempunyai kompetensi
dalam penguasaan dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi (hard skill), tetapi
mereka harus mampu berkomunikasi, bekerja dalam tim, bekerja mandiri dan berpikir
analitis (soft skill).
Hard skill, yaitu penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan teknis yang
berhubungan dengan bidang ilmunya (insinyur mesin tentunya harus kompeten dalam
pengetahuan permesinan, dokter harus mumpuni dalam ilmu kedokteran, demikian pula
profesi yang lainnya). Bila setiap profesi dituntut mempunyai hard skill yang berbedabeda, tidak demikian dengan soft skill, karena keterampilan ini merupakan kompetensi
(keterampilan,skills) yang seharusnya dipunyai oleh semua orang, apapun profesinya.
Perhatikan daftar kemampuan soft skills berikut:
Kejujuran
Tanggung jawab
Berlaku adil
Kemampuan bekerja sama
Kemampuan beradaptasi
Kemampuan berkomunikasi
Toleran
Hormat terhadap sesama
Kemampuan mengambil keputusan
Kemampuan memecahkan masalah, dsb
Hubungan Soft skills and Hard skills
Melihat pada macam soft skill di atas, sangatlah jelas sukses seseorang tergantung dari
kualitas soft skill yang dipunyainya. Sehebat apapun bidang keilmuan yang dikuasainya,
bila ia tidak jujur, tidak bertangungjawab, tidak mampu bekerjasama, dan sebagainya,
tentu keberhasilan akan jauh darinya. Wajar bila Illah menyatakan3 urunan hard skill
terhadap sukses lulusan perguruan tinggi hanya sekitar 20%.
Hal senada dinyatakan oleh Presiden Direktur WOM Finance, Benny Wenas.
Menurutnya, tidak ada sukses yang instan. Ia menyebutkan, selama ini, orang (mahasiswa
dan sarjana) diajari hard skill, tapi soft skill kurang. Mereka pintar, nilai akademiknya
tinggi, tapi kemampuan membina human relations, misalnya, sangat rendah. ''Padahal,
orang tidak hanya harus pintar sekolah dan pintar kerja, tapi juga harus pintar hidup.
Tidak hanya harus punya hard skill, tapi juga soft skill. Hanya orang-orang yang
mempunyai hard skill dan soft skill sekaligus, yang akan bisa merengkuh sukses yang
berkelanjutan,'' tegasnya.
Meskipun demikian, harus pula dimengerti bahwa peran keterampilan (termasuk soft
skill) terhadap kesuksesan juga tergantung pada macam tugas dan tingkat kepemimpinan
seseorang. Sukses bagi mereka yang masih berada pada tingkat kepemimpinan rendah
(tukang, mekanik, juru) lebih banyak ditentukan oleh keterampilan fungsional dan
keterampilan teknik yang mereka kuasai untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Hal itu
tentunya sangat berbeda bagi mereka yang bertangung jawab dalam tingkat
kepemimpinan yang tinggi (sebagaimana dicontohkan oleh 50 CEO ternama di
Amerika4). Bagi para CEO itu, sangat jelas bahwa kesuksesan mereka ditentukan oleh
kompetensi kepribadiannya. Bagi mereka soft skill benar-benar merupakan modal sukses
yang menentukan.
Kem am puan
pim pinan
Technical
Problemskill
tinggi
solving
skill
Human
skill
Conceptual
skill
visi,
visi,misi
misi
Tingkat
kepemimpinan
memotivasi
memotivasi
memberdayakan
memberdayakan
Functional
skill
rendah
rendah
Jumlah keterampilan
tinggi
Illah hlm 4
Lesson from the Top, Illah, hlm 1.
Tanya jawab seputar unit pengembangan materi dan proses pembelajaran di PT, Direktorat Pembinaan Akademik dan
Kemahasiswaan Dirjen Dikti, 2005, hlm 1-2.
6
7
Suciati (1977) Taksonomi Tujuan Instruksional, Mengajar di Perguruan Tinggi, PAU untuk P3AI Dirjen Dikti.
Dalam Suciati, hlm 46-50.
Keduanya berada pada kawasan kompetesi kepribadian. Keduanya lebih erat berkait
dengan EQ, SQ, hati, to live together dan to be daripada dengan IQ, hand, head, to do,
atau to know. Dengan demikian, tampaknya makna soft skill tidak jauh berbeda dengan
kemampuan afektif.
Namun, tentunya ada perbedaannya, karena bila tidak mengapa harus diberi nama baru.
Soft skill tampaknya dimaksudkan memberikan gambaran kemampuan kepribadian
yang jauh lebih luas daripada kompetensi afektif. Hal ini terlihat dari begitu banyak dan
luasnya lingkup atribut soft skills.
PROSEDUR/STRATEGI PEMBELAJARAN
1. Perkenalan: 120 menit
Fasilitator memperkenalkan diri dengan menyebut nama, institusi dan hobi (5
menit)
Fasilitator meminta seluruh peserta menyebut nama, institusi dan hobi (30 menit)
Fasilitator memperkenalkan program dan tujuan program yang akan dilakukan
selama pelatihan (15 menit)
Fasilitator mengajak peserta mendiskusikan pentingnya soft skills dalam dunia
kerja: Lembar Kerja 1.1 Fasilitator merangkum hasil diskusi dan menjelaskan
mengenai pentingnya soft skills: Slide . (pak endro) (60 menit)
2. Pemilihan Role Model orang sukses: 120 menit
a. Fasilitator mengajak peserta memilih 3 orang yang diidolakan (5 menit)
b. Fasilitator meminta peserta mengupas sifat, kepribadian dan kemampuan (atribut
sukses) 3 orang yang diidolakan tersebut: Lembar Kerja 1.2 (15 menit)
c. Fasilitator membagi menjadi 4 kelompok dan masing-masing kelompok diminta
untuk menginventarisasikan sifat, kepribadian dan kemampuan (atribut) sukses
seseorang: Lembar Kerja 1.3. (30 menit)
d. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi atribut orang sukses
(40 menit)
e. Fasilitator merangkum atribut orang sukses dan menjelaskan contoh atribut orang
sukses: Slide.. (pak Endro) (30 menit)
3. Refleksi Atribut sukses: 60 menit
1. Dengan menggunakan atribut sukses hasil diskusi dan atribut sukses yang berasal
dari slide. (pak Endro), fasilitator mengajak peserta membedakan orang yang
menggunakan atribut tersebut dengan yang tidak menggunakannya, dalam kaitan
penyelesaian tugas pekerjaan. (20 menit)
2. Fasilitator meminta peserta merangkum definisi soft skills: Lembar Kerja 1.4 (10
menit)
3. Fasilitator merangkum definisi dan menekankan pentingnya soft skills dalam
dunia kerja: slide.. (pak Endro) (30 menit)
PERTANYAAN REFLEKTIF
1.
2.
3.
4.
BAHAN LATIHAN
WAKTU
300 menit (5 jam)
.........................................................................................................................................................
IDOLA KU..
NAMA IDOLA
ATRIBUT POSITIF
ATRIBUT NEGATIF
PENGERTIAN
Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana hakekat soft skills, bagaimana makna soft
skills dalam kehidupan, siapa saja yang perlu mengembangkan soft skills dan bagaimana
pengalaman Negara lain, termasuk Indonesia dalam mengembangkan soft skills.
TUJUAN
Memahami hakekat softskills secara mendalam untuk mendapatkan model
pengembangan soft skills berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan . Sementara itu
tujuan spesifik dari bagian ini adalah agar peserta:
(1) Mampu memahami manfaat softskills
(2) Mampu mengidentifikasi fungsi softskills
(3) Mampu mengidentifikasi pengalaman Negara lain mengembangkan lain
(4) Mampu merefleksikan proses pembelajaran soft skills yang telah dikembangkan di
Indonesia
ISI TOPIK
Arti Soft Skills
Bernthal, et.al (2003) menyebutkan soft skills sebagai perilaku personal dan interpersonal
yang mengembangkan dan memaksimalkan kinerja seseorang. Soft skills adalah semua
ketrampilan pengembangan diri yang tidak bersifat teknis, seperti kemampuan
pengelolaan keuangan, kualitas hidup, ketrampilan berpikir kritis dan lain-lain.
Sementara itu, Peter de Jager (2005), ahli provocative speaker, menyebutkan bahwa
untuk memahami soft skills akan lebih mudah jika kita memahami kata yang
merupakan lawan katanya, yaitu hard skills. Hard skills adalah ketrampilan yang dapat
langsung dilihat hasilnya dalam proses pembelajaran, segera setelah selesai proses
tersebut selesai. Hasil pembelajaran akan dengan mudah dapat didefinisikan, mudah
dilihat dan melibatkan penguasaan dari suatu objek yang tidak hidup. Sementara soft
skills merupakan kemampuan yang bersifat superfisial, hasil tidak langsung dilihat, serta
memiliki hubungan yang kuat dengan kemampuan personal dan interpersonal seseorang.
Pada dasarnya, soft skills merupakan kompetensi yang berhubungan erat dengan karakter,
kemampuan interpersonal, sikap dan nilai hidup anak didik.
Untuk memperjelas definisi soft skills dan hard skills, di dalam buku ini akan disitir suatu
contoh ilustrasi di dalam proses pembelajaran. Di dalam usaha untuk meningkatkan mutu
lulusan Program Studi Teknik Arsitektur, Universitas Terkemuka, menetapkan
kompetensi utama lulusan untuk dapat mengembangkan desain, juga melengkapi
lulusannya dengan ketrampilan untuk dapat berpikir kritis, mampu berkomunikasi secara
visual, lisan dan tertulis, bersikap etis, estetis dan apresiatif, serta dapat bekerja di dalam
kelompok. Kemampuan yang disebutkan di awal merupakan Hard Skills dari program
Teknik Arsitektur, yaitu kemampuan untuk mengembangkan desain bangunan.
Kemampuan ini dapat terlihat dengan cepat setelah pembelajaran selesai dilakukan.
Sementara itu, kemampuan yang disebutkan berikutnya, yaitu berpikir kritis, komunikasi
visual, lisan dan tertulis serta bekerja di dalam kelompok adalah Soft Skills yang
dikembangkan jurusan Teknik Arsitektur agar lulusannya dapat lebih berkualitas. Hard
skills jurusan arsitektur ini berada di dalam komponen Kompetensi Utama, yang
merupakan kompetensi penciri Program Studi tersebut. Sedangkan, soft skills jurusan
arsitektur dimasukkan di dalam komponen Kompetensi Lainnya, yang tidak gayut dengan
kompetensi utama program studi teknik arsitektur, namun dibutuhkan untuk dapat
meningkatkan kualitas lulusan dan merupakan penciri institusi Universitas Terkemuka.
Sementara itu ilustrasi yang kedua adalah Program Studi Psikologi Universitas Terkenal,
yang menetapkan kompetensi utama lulusannya untuk mampu mengenali dan mengelola
perilaku manusia (Hard skills), membantu menyelesaikan permasalahan yang dialami
manusia (Soft skills) serta mampu untuk memahami dan mengukur perilaku manusia
(Hard Skills). Kompetensi pendukung program studi Psikologi Universitas Terkenal
adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif (Soft skills) dengan orang lain dan
pemahaman lintas budaya (Hard Skills dan Soft Skills), serta mampu berbahasa Inggris
dengan lancar sebagai Kompetensi Lainnya. Dengan kompetensi utama, pendukung dan
lainnya yang telah ditetapkan tersebut, diharapkan lulusan program studi Psikologi
Universitas Terkenal tersebut akan lebih berkualitas.
Kedua ilustrasi diatas menunjukkan bahwa hard skills tidak selalu harus berupa
kompetensi utama, demikian juga sebaliknya soft skills pun tidak selalu merupakan
kompetensi pendukung dan atau kompetensi lainnya. Pada beberapa program studi yang
kompetensi lulusannya berhubungan erat dengan ketrampilan personal dan interpersonal,
seperti program studi kedokteran, psikologi, antropologi, kependidikan dan sebagainya
akan memiliki kandungan soft skills yang kental di dalam unsur kompetensi utamanya.
Berbeda dengan program studi yang memiliki kompetensi teknis yang kuat, seperti
program studi keteknikan, pengetahuan dasar, akuntansi dan lain sebagainya, akan
mengandung hard skills yang lebih kuat di dalam kompetensi utamanya. Soft skills pada
program studi keteknikan dan sejenisnya tersebut akan banyak terkandung di dalam
kompetensi lainnya.
Perusahaan saat ini tidak hanya memilih lulusan Perguruan Tinggi yang pandai dalam hal
ilmu, namun juga berkarakter dan berkepribadian baik. Berdasarkan pengalaman yang
yang saat ini dialami oleh perusahaan, sebagian besar merasakan bahwa karyawan yang
deskripsi karyawan bermasalah banyak dialami oleh lulusan yang memiliki kepandaian
yang tinggi namun kurang memiliki karakter yang baik, kurang disiplin, kurang
bertanggung jawab, dan lain sebagainya. Kelompok karyawan ini, sering gagal
menjalankan tugas, terutama yang berhubungan dengan tugas kelompok. Berdasarkan
pengalaman tersebut, Astra (Bowo Widodo, 2003), salah satu perusahaan terbesar di
Indonesia, mencari pekerja dengan mempertimbangkan karakter dan sikap kerja pada
seleksi karyawan awal. Mitshubisi Research Institute (2000) melakukan studi yang
hasilnya menyimpulkan bahwa aspek tertinggi yang menentukan kesuksesan lulusan
bukan kemampuan teknis, namun lebih pada kematangan emosi dan kemampuan sosial.
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa perguruan tinggi
tidak hanya mengembangkan pengetahuan, namun juga kemampuan lain yang dapat
mendukung kualitas lulusan. Kemampuan tersebut sering dikenal sebagai soft skills
yaitu kemampuan non teknis yang dibutuhkan untuk bekerja dan hidup dengan lebih baik
(Robert Half, Management Resources).
Di dalam praktek proses seleksi karyawan yang dilakukan oleh perusahaan pada
umumnya melakukan saringan berdasarkan pada aspek kemampuan berpikir logis dan
analisis di tahap awal. Kemudian dilanjutkan dengan seleksi karakter dan sikap kerja,
sementara pada proses seleksi akhir, baru dilakukan seleksi berdasarkan kemampuan
teknis dan akademis calon pegawai tersebut (Bowo Widodo, 2003). Terutama proses
seleksi wawancara, proses ini sangat sarat dengan soft skills, yaitu ketrampilan
berkomunikasi secara efektif, kemampuan berpikir kritis, ketrampilan menghargai orang
lain, sikap serta motivasi kerja. Oleh karenanya, institusi Pendidikan Tinggi perlu untuk
memikirkan bagaimana mengembangkan soft skills anak didiknya agar siap untuk
menghadapi seleksi kerja.
Namun terlebih dari itu, selain dibutuhkan pada saat seleksi kerja, soft skills akan sangat
berperan pada saat lulusan bekerja di perusahaan. Pada saat lulusan mengemban tugas di
dalam lingkungan kerja, baik sebagai pegawai negeri, pegawai swasta maupun
wirausaha, soft skills merupakan syarat utama bagi kesuksesannya. Bekerja sebagai
pegawai negeri maupun pegawai swasta, mensyaratkan seseorang memiliki karakter yang
kuat, seperti integritas yang tinggi, jujur, bertanggung jawab akan tugas yang
diembannya, serta semangat juang yang tinggi. Selain itu, juga membutuhkan
ketrampilan untuk berhubungan sosial dengan orang lain, seperti bekerja di dalam tim,
serta mempresentasikan dan mengekspresikan ide yang dimilikinya. Pekerja dengan soft
skills yang tinggi akan memiliki daya juang dan tanggung jawab untuk selalu
menyelesaikan pekerjaannya. Sementara itu, jika lulusan menetapkan untuk menjadi
wirausaha, soft skill akan menjadi sangat penting untuk dapat selalu menelorkan ide-ide
yang kreatif dan inovatif, sehingga dapat mendukungnya untuk menemukan celah dan
berjuang di menjual ide yang dimilikinya kepada orang lain. Seorang wirausaha memiliki
ciri kuat di dalam menemukan ide secara aktif dan kreatif untuk dapat selalu berjuang di
dalam mengembangkan usahanya.
Indonesia, namun juga dialami oleh sebagian besar pendidikan baik di Eropa, Amerika
maupun Asia dan Afrika.
masalah yang serius, yaitu adanya stress akademik yang tinggi serta iklim kompetisi dan
individualisasi yang tinggi. Permasalahan kedua yang dirasakan adalah adanya penurunan
moral lulusan pendidikan di Taiwan. Oleh karenanya pada tahun 2003 tersebut Taiwan
memulai proses pendidikan moral yang sarat dengan muatan soft skills. Ada 3
pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Taiwan di dalam usaha mengembangkan soft
skills siswa didiknya, yaitu (1) melalui pengembangan Committee of Discipline and
Morality (CDM) di bawah Menteri Pendidikan, untuk mengembangkan pendidikan
ideologis dan menstabilkan iklim sekolah; (2) Mengembangkan kurikulum moral dan
etika yang diimplementasikan secara terkait di dalam proses pembelajaran; dan (3)
mengimplementasikan aturan dan aktivitas sekolah sebagai ajang latihan pengembangan
moral dan karakter siswa. Soft skills yang dikembangkan di dalam pola pendidikan moral
di Taiwan adalah: kemampuan berpikir kritis, civic values, kerjasama dan social values.
Sementara itu, di Korea pada tahun 2000 dikembangkan sistem pendidikan baru yang
bertujuan untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia Korea secara utuh.
Strategi yang dikembangkan adalah: (1) Menciptakan model karakter yang ingin
dikembangkan (guru, cerita pahlawan, pimpinan masyarakat, dll); (2) Guru harus
membantu anak dalam mengadopsi kemampuan untuk memahami dan menguasai soft
skills; (3) Guru harus mampu mendorong suasana yang dapat mengembangkan soft
skills; dan (4) Guru harus menyediakan berbagai macam aktivitas yang bersumber pada
nilai hidup dan atuan yang akan dipelajarai di dalam kurikulum formal dan kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah. Scribner (2007) melakukan penelitian pada pendidikan di
Jepang yang sarat akan soft skills. Di Jepang, semenjak tahun 1992-1993, pendidikan di
Jepang telah menekankan pada aspek dasar citizenship characters. Setiap sekolah di
Jepang harus mengajarkan soft skills di dalam pendidikannya. Proses pengembangan soft
skills di Jepang, menurut Scribner (2007) lebih banyak difokuskan pada kegiatan cocurricular activities.
Selain contoh di atas, soft skills juga banyak dikembangkan di benua Eropa. Salah satu
negara yang memiliki pendidikan soft skills adalah di Hungaria. Proses reformasi yang
terjadi di Hungaria tahun 1989 1990 tidak hanya berdampak pada dimensi ekonomi dan
politik saja, namun juga berpengaruh pada dimensi moral. Penurunan moral di Hungaria
muncul dalam wujud hilangnya norma dan kontrol di dalam tatanan kehidupan
masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah membangun satu institusi
pendidikan yang bertanggung jawab untuk mengembangkan soft skills siswa didiknya.
Institusi ini berhasil mengembangkan satu Kurikulum Nasional yang memungkinkan
memberikan 3 buah alternatif pilihan, yaitu: (1) Jawaban yang berasal dari kelompok
liberal,
dimana
sekolah
harus
dapat
merefleksikan
kebebasan
untuk
dapat
mengembangkan soft skill tanpa ada campur tangan dari negara; (2) Jawaban dari
kelompok nasionalis, dimana sekolah harus mengembangkan soft skills yang ditetapkan
oleh negara; dan (3) Jawaban dari kelompok religius, yang menyatakan bahwa soft skills
adalah persetujuan dari norma masyarakat yang berlaku saat itu. Lembaga Kurikulum
Nasional Hungaria membuka diskusi dan debat panjang mengenai ketiga alternatif
tersebut. Selama kurang lebih 15 tahun lembaga ini mencoba untuk menyusun soft skills
seperti apa yang dibutuhkan siswanya. Akhirnya, setelah 15 tahun proses pengembangan
soft skills tersebut, lembaga Kurikulum Nasional akhirnya menyediakan framework
program soft skills tanpa membatasi isi yang akan dikembangkan. Ide yang paling
penting adalah bahwa setiap sekolah wajib mengembangkan soft skills siswa didiknya,
namun demikian, dapat secara bebas menetapkan soft skills apa yang akan
dikembangkan. Di dalam program pengembangan soft skills Kurikulum Nasional
Hungaria selama 15 tahun, dapat disimpulkan bahwa soft skills tidak dapat diajarkan
secara formal melalui kurikulum tertulis, namun dapat diajarkan melalui Hidden
curriculum, yaitu kurikulum yang merupakan dampak dari interaksi antara guru/dosen
dengan siswa didiknya.
Dari berbagai contoh pengembangan kurikulum di berbagai negara dapat kita ambil
beberapa kesimpulan bahwa:
Hampir setiap negara di berbagai benua meyakini bahwa sekolah tidak hanya
cukup mengajarkan pengetahuan atau hard skills saja namun juga perlu
mengembangkan karakter siswa didiknya melalui pengembangan soft skills.
Soft skills tidak dapat dikembangkan melalui kurikulum tertulis dan formal,
namun secara terstruktur dilakukan melalui hidden curriculum, aktivitas
ekstrakurikuler dan atmosfer akademik yang dikembangkan.
skills positif dan memecahkan permasalahan yang memiliki kandungan moral dan soft
skills yang cukup tinggi. Pada saat anak berusaha belajar untuk memiliki soft skills
menghormati orang lain, anak perlu untuk dapat memiliki model yang secara jelas
menunjukkan perilaku menghormati orang lain. Kemudian juga diikuti dengan melatih
soft skills tersebut di dalam aktivitas nyata. Dan terakhir, anak memiliki kesempatan
untuk mendikusikannya dengan orang yang memiliki soft skills tersebut, secara lebih
intensif.
Pada saat program P4 dijalankan, konsep pengembangan soft skills ini kurang diterapkan
dengan utuh. Oleh karenanya implementasi di dalam kehidupan nyata kurang selaras
dengan tujuan luhur program P4 tersebut. Konsep pengembangan role model serta latihan
secara berkelanjutan di dalam praktek nyata tidak terwadahi di dalam program P4.
Walhasil, program tersebut memang membuat sebagian masyarakat hafal akan Pancasila
dan maknanya, namun tidak mampu menuangkan di dalam proses kehidupan nyata.
Permasalahan inilah yang menyebabkan program P4 dievaluasi dan direvisi agar lebih
baik.
Usaha pemerintah Indonesia di dalam di dalam mengembangkan soft skills bangsa yang
penuh rasa hormat dan menghormati, tidak berakhir hanya dengan pengembangan
program P4 saja. Di Indonesia dikembangkan mata pelajaran budi pekerti, yang diajarkan
di semua tingkatan pendidikan. Namun sekali lagi, permasalahan yang muncul tetap pada
desain pembelajaran yang cenderung mengarah pada satu ranah kognitif saja. Bahkan
sejalan dengan syaratnya muatan teknologi dan ilmu yang dipelajari, pendidikan budi
pekerti ini telah mulai banyak ditinggalkan oleh sekolah.
Pada tataran pendidikan tinggi, menangkap pesan yang disampaikan oleh UNESCO di
dalam konvensi tahun 1999, tentang pendidikan sepanjang hayat yang tertuang di dalam
konsep 4 education pillars (learning to know, learning to do, learning to be and learning
to live together) maka ditetapkanlah SK Mendiknas No. 232/U/Mendiknas/2000,
mengenai pengembangan kurikulum pendidikan tinggi. Di dalam pasal 10 menyebutkan
bahwa Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) wajib diberikan di
dalam kurikulum setiap program studi. Bentuk kelompok MPK ini di dalam kurikulum
inti adalah pada mata kuliah Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan
Kewarganegaraan. Sementara di dalam kurikulum institusional dapat berupa mata kuliah
bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Ilmu Budaya Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Alamiah
Dasar, Filsafat Ilmu dan sebagainya. Namun SK Mendiknas inipun memiliki kelemahan
yang sama dengan program P4, yaitu hanya mengembangkan sisi kognitif saja dan
kurang sustainable.
PROSEDUR/STRATEGI PEMBELAJARAN:
1. Refleksi Pembelajaran Soft skills di beberapa Negara: 120 menit
Fasilitator memberikan beberapa journal yang memuat pengalaman Korea,
Jerman dan Hungaria (Handout 2.1) kepada peserta dan minta untuk
merefleksikan pengalaman yang ada pada lembar kerja 2.1 (15 menit)
Fasilitator membagi peserta menjadi 4 kelompok (5 menit)
Fasilitator meminta peserta bekerja di dalam kelompok untuk mereview journal
dalam hal aspek: (1) Latar belakang pengembangan soft skills; (2) metode yang
dipilih dalam pengembangan soft skills; dan (3) hasil yang dicapai: Lembar Kerja
2.1 (30 menit)
Wakil kelompok mempresentasikan hasil kerja di depan kelas (40 menit)
Fasilitator merangkum dan menjelaskan hasil kerja dikaitkan dengan slide.
(Pak Endro) (30 menit)
2. Refleksi Pembelajaran soft skills di Indonesia: 120 menit
Fasilitator menyampaikan sejarah pengembangan soft skills melalui pembelajaran
di sekolah. Kemudian menginventarisasi beberapa model pembelajaran soft skills
di sekolah yang ada di Indonesia, mulai dari penataran P4, pembelajaran budi
pekerti, pelajaran agama, dll (10 menit)
Peserta tetap dibagi menjadi 4 kelompok, dan masing-masing kelompok diminta
untuk membuat review proses pembelajaran soft skills dan karakter di Indonesia
dalam Lembar Kerja 2.2 (30 menit)
Peserta mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas (40 menit)
Fasilitator merangkum dan menjelaskan prinsip pembelajaran soft skills yang
tapat dengan slide. (pak Endro) dilanjutkan dengan diskusi (40 menit)
3. Rangkuman Proses pembelajaran softskills yang tepat dan penyajian contoh
baik: 60 menit
Fasilitator menjelaskan prinsip pengembangan dan pembelajaran soft skills di
sekolah. (30 menit) dengan slide .. (pak endro)
Diskusi tentang pelaksanaan pengembangan dan pembelajaran softskills di
sekolah dengan memberikan best practice dari beberapa institusi pendidikan
tinggi di Indonesia ataupun Negara lain (30menit)
PERTANYAAN REFLEKTIF
1.
2.
3.
4.
MATERIAL
WAKTU
300 menit (5 jam)
..
2. Faktor Penghambat yang memperlambat pengembangan soft skills dalam
dunia pendidikan
..
..
..
..
5. RANGKUMAN
2. Mengapa Pelajaran PMP atau PPKN atau PSPB belum dapat membangun
jiwa kebangsaan dan cinta tanah air?
4. Apa yang perlu dibenahi dari kesemua proses pembelajaran karakter di atas
PEMBELAJARAN SOFTSKILLS
PENGERTIAN
Fokus bagian ini adalah proses pembelajaran soft skills yang ada di kelas. Mulai dari
mengidentifikasikan, mendefinisikan dan merancang proses pembelajaran serta penilaian
belajarnya.
TUJUAN
(1) Mampu mengidentifikasi softskills yang diperlukan
(2) Mampu definisikan softskills yang akan dikembangkan dalam proses pembelajaran
(3) Mampu merancang pembelajaran yang mengandung softskills
(4) Mampu menilai soft skills sebagai konsekuensi dari proses pembelajaran yang telah
dilakukan(Evaluasi soft skills)
ISI TOPIK
Proses pembelajaran Softskills?
Pemilahan tujuan pembelajaran dalam tiga domain, kognitif, motorik dan afektif, tidak
berarti bahwa tujuan pada satu domain tidak ada kaitanya dengan tujuan di domain yang
lain. Hasil pembelajaran selalu terjadi pada ketiga domain dengan proporsi yang
berbeda-beda. Demikian pula dalam pembedaan kompetensi lulusan menjadi kompetensi
hardskills dan softskills. Tidak ada proses pembelajaran yang hanya menghasilkan
perubahan dalam domain hardskills tanpa berpengaruh kepada softskilnya.
Karenanya pernyataan ....oleh karenanya pemisahan antara materi pembelajaran atas
hard skills dan soft skill dalam satu kurikulum tidak berlaku lagi. 8
Dengan tidak mempersoalkan apakah memang pernah terjadi pemisahan antara hardskills
dan softskills dalam kurikulum, memang benar bahwa pembelajaran softskills terjadi pula
pada saat proses pembelajaran dilakukan oleh dosen, apapun materi yang diajarkannya.
Lebih tegas Illah9menuliskan softskills tidak seharusnya (diajarkan) melalui satu mata
kuliah, melainkan diselipkan di setiap mata kuliah. Softskills tidak akan menjadi satu
8
Tanya jawab seputar unit pengembangan materi dan proses pembelajaran di PT, Direktorat Pembinaan
Akademik dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti, 2005, hlm 1-2.
9
Illah, hlm 11
mata kuliah tersendiri, melainkan menjadi hidden curriculum. Itu berarti, masing-masing
dosen bertanggung jawab dalam pembelajaran softskills apapun mata kuliah yang
diasuhnya. Masalahnya adalah bagaimana dosen dapat secara sadar dan sengaja
merancang dan melaksanakan tugas membelajarkan sofskills dalam praktek
pembelajarannya.
Bloom (1977) membagi tujuan instruksional menjadi tiga kawasan sesuai dengan jenis
kemampuannya. Tujuan yang mempunyai titik berat kemampuan berpikir disebut
kawasan kognitif.
Tujuan yang mempunyai fokus keterampilan melakukan gerak fisik disebut kawasan
psikomotorik (sering disingkat menjadi kawasan motorik).
Kemampuan meniru,
10
Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata instructional yang berrati kegiatan mengajar-belajar.
Apabila mengajar (teaching) cenderung pada kegiatan dosen, dan belajar (learning) pada kegiatan siswa,
maka pembelajaran merupakan kegiatan mengajar oleh dosen yang mampu pada saat yang sama-menimbulkan kegiatan kegiatan belajar dalam diri siswanya.
Tujuan yang lain, yang berintikan kemampuan bersikap disebut kawasan afektif.
Karthwohl, dkk. (1964) untuk keperluan analisis pembelajaran mengurai perubahan
afektif menjadi lima tingkatan yaitu :
1. pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
2. merespon (aktif berpartisipasi)
3. penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu)
4. pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya)
5. pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup).
Pembelajaran afektf merupakan kegiatan yang dilakukan dosen secara sengaja, sadar dan
terencana untuk mencapai perubahan-perubahan pada kawasan afektif.
Dengan demikian, tujuan pembelajaran yang berhubungan dengan
sikap positif,
pengamalan budi pekerti yang baik, bersemangat untuk maju, kemauan untuk belajar
terus menerus dan berbagai pengalaman nilai-nilai positif hari nurani, merupakan bagian
dari pembelajaran afektif.
Perlu diketahui, bahwa hasil belajar yang dipilahkan dalam kawasan kognitif, motorik
dan afektif, hanyalah untuk keperluan kajian teoritik. Dalam kenyataannya, perubahan
yang terjadi dalam diri mahasiswa merupakan gabungan dari ketiga kawasan itu. Hasil
belajar perkuliahan matematika, misalnya tidak saja akan merubah pengetahuan
(kognitif), setapi juga ketrampilan (motorik) dan sikap positif (afektif)
mahasiswa
terhadap matematika. Memang benar, ada pembelajaran tertentu yang memberikan bobot
perubahan yang lebih besar pada kasawan yang satu di bandingkan dengan kawasan yang
lain. Misalnya, kegiatan praktikum yang tentunya mempunyai tujuan keterampilan yang
lebih besar daripada perubahan di kawasan kognitif maupun afektif. Namun, tidak berarti
bahwa melalui praktikum tidak terjadi perubahan di kedua kawasan yang lain itu.
Perubahan yang diharapkan terjadi dari kegiatan praktikum dapat digambarkan sebagai
berikut:
dll
dll
Apabila dosen secara sadar, sengaja dan terencana melakukan pembelajaran afektif, yang
artinya memberikan perhatian pula pada perubahan-perubahan perilaku afektif, maka
dosen tersebut sebenarnya telah melakukan pendidikan afektif.
Secara rinci Ardhana (2000) dalam makalahnya pada Seminar Pembelajaran Afektif yang
dilaksanakan oleh LP3-Unibraw, menuliskan bakwa pendidikan afektif (seringkali
disebut pendidikan humanistik) adalah suatu pandangan atau falsafah dalam pendidikan
yang memusatkan perhatian pada sikap dan perasaan siswa, serta belajar secara bebas
(Slavin, 1994, hlm. 296).
Lebih jauh Ardhana (2000) menyatakan bahwa pendidikan afektif dilandasi suatu aliran
psikologi yang dikenal dengan nama psikologi humanistik. Aliran psikologi ini
dikembangkan oleh para tokohnya karena psikologi akademik (khususnya behavioristik)
dan psikologi terapan tidak membahas secara memadai kemampuan manusia untuk
berpikir, mengalami perasaan, membuat keputusan dan secara umum menentukan arah
hidupnya. Psikologi akademik terlalu menekankan pemakaian metode penelitian yang
ketat seperti eksperimen. Di samping itu, dalam upayanya mengungkapkan masalah
belajar, psikologi akademik lebih tertarik mempelajari tikus, merpati, dan kera ketimbang
mempelajari manusia dalam konteksnya yang alamiah.
Menurut Snelbecker (1974), ada beberapa ciri umum yang dominan dalam tradisi
psikologi humanistik, meskipun diantara tokoh-tokohnya terdapat perbedaan pendapat.
Pertama, mereka menekankan bahwa psikologi seharusnya mengkaji pribadi manusia
sebagai suatu kesatuan yang utuh, bukan mereduksinya menjadi sub-sub bagian secara
fragmentaris. Kedua, mereka juga lebih menekankan pada pemerian kegiatan-kegiatan
yang ditinjau dari sudut pandang pengamat luar. Ketiga, mereka terutama memberikan
perhatian kepada aktualisasi diri (self-actualiztion), pemenuhan diri (self-fulfillment), dan
perwujudan diri (sef-realization).
Irawan (1994) menuliskan bahwa menurut teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk
memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si belajar telah
berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Secara umum teori ini cenderung bersifat eklektik, dalam arti memanfaatkan teknik
belajar apapun asal tujuan belajar mahasiswa dapat tercapai.
Namun, lebih jauh dinyatakan berdasar teori humanistik, dalam praktiknya cenderung
mahasiswa untuk berpikir induktif (adri contoh ke konsep, dari kokrit ke abstrak, dari
khusus ke umum dan sebagainya). Di samping itui, teori humanistik amat mementingkan
faktor pengalaman (keterlibatan aktif) mahasiswa di dalam proses belajar. Sehingga
model pembelajaran yang mampu lebih mengaktfkan belajar mahasiswa merupakan
andalan pada pembelajaran afektif.
dari adanya
perubahan
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, tujuan afektif dimulai dari yang paling
sederhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai dengan yang kompleks yang
merupakan faktor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani. Berbedanya
fokus perubahan, membawa perubahan pada metode pembelajaran dan termasuk juga
sumber belajar yang diperlukan. Tentu saja hal itu untuk dapat mencapai proses
pembelajaran yang efisien, efektif dan menyenangkan.
Misalnya, pembelajaran Budi Pekerti, yang tentunya lebih mengupayakan tercapainya
perubahan karakter daripada sekedar penambahan pengetahuan. Sehingga fokus
perhatian lebih difokuskan kepada perubahan pada ranah afektif daripada perubahan
ranah kognitif maupun motorik.
Diketahui bahwa karakter atau watak seseorang dipengaruhi oleh banyak hal. Di
antaranya, oleh lingkungan dan pengalaman hidupnya. Salah satu pengalaman yang
berpengaruh pada pembentukan watak adalah pengalaman pembelajaran di sekolah, di
mana keberhasilannya sangat tergantung pada proses belajar dan mengajar yang terjadi,
yang bertumpu pada peran guru dalam merancang, menyajikan dan mengevaluasi.
Dengan demikian kegiatan tersebut merupakan bagian dari pembelajaran afektif yang
menurut Ardhana (2000), belakangan ini berkembang dengan memiliki tiga ciri pokok
yaitu :
memberikan penekanan yang jauh lebih besar pada peran guru dalam membimbing
siswa kearah penemuan dan penggunaan teknik belajar secara kooperatif serta
mendorong terjadinya diskusi di antara siswa
Sejalan dengan pandangan di atas, Degeng (2000) menyatakan adanya arah baru strategi
pembelajaran, yang di antaranya untuk menunjang pendidikan afektif, yaitu perubahan
dari teori behavioristik ke kognitif / konstruktivistik.
Dalam mendorong ketercapai Kurikulum Berbasis Kompetensi, Dikti11 memngarahkan
proses pembelajaran di perguruan tinggi menggunakan pendakatan pembelajaran yang
berpusat pada mahasiswa (Student Centered Learning, SCL) sebagai pengganti
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada dosen.
Menggunakan model pembelajaran SCL tersebut, mahasiswa didorong untuk lebih aktif
membelajarkan diri mereka. Mahasiswa diharapkan berkemampuan dalam learn how to
learn, mengembangkan potensi diri, dan ketrampilan mereka untuk hidup (live skills,
personal skills, atau softskills)
keilmuannya.
Berbagai metode pembelajaran yang disarankan oleh Dikti yang cocok untuk CTL antara
lain (a) Small group discussion, (b) Role-play and simulation, (c) Case study, (d)
Discovery Learning, (e) Self-Directed Learning, (f) Cooperative Learning, (g)
Collaborative Learning, (h) Contextual Learning, (i) Project Based Learning, dan (j)
Problem Based Learning and Inquiry.
Bruce Joyce dan Marsha Weil (1986) mengkaji dan menyajikan berbagai model mengajar
-sebenarnya
juga berarti
yang telah
11
Tanya jawab seputar unit pengembangan materi dan proses pembelajaran di PT, Direktorat Pembinaan
Akademik dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti, 2005, hlm 22-47
No
Kelompok
Orientasi
Model Utama pokok
Model
Pengolahan
Pemahaman
Informasi
Pencapaian konsep
pada cara
(concept attainment)
dunia
memperkuat
(Information
dorongan internal
(inductive thinking)
Processing)
masalah
manusia untuk
memahami dunia
training)
melalui menggali
dan
organizer)
mengorganisasikan
data, merasakan
(memorization)
mengupayakan jalan
(developing intellect)
pemecahannya, serta
mengungkapkannya.
(scientific inquiry)
Beranjak dari
Pemecahan
Berfikir
induktif
Karakteristik
Berpikir induktif
Memorisasi
Pengembangan Intelek
Penelitian Ilmiah
Model Personal
(Personal)
individu
pandangan kedirian
Keunikan
Kemandirian
individu.
model)
Pembinaan
Mengusahakan untuk
(awareness training)
memikul tanggung
(classroom meeting)
Kesadaran
kepribadian
jawab untuk
pendidikan, dan
lebih kreatif untuk
mencapai kualitas
hidup yang lebih
baik.
Sinektiks (synectics
Latihan kesadaran
Pertemuan kelas
Model Sosial
Dengan kerjasama
(Social)
kelompok
manusia dapat
(group investigation)
Kebersamaan
membangkitkan dan
playing)
Individu
(energy) secara
sebagai aktor
bersama yang
(jurispridential inquiry)
sosial
kemudian disebut
synergy.
(laboratory training)
Kelompok model
sosial dirancang
Semangat
Investigasi kelompok
Penelitian yurispridensial
Latihan laboratoris
untuk memanfaatkan
fenomena
kerjasama.
4
Model Sistem
Memusatkan
Perilaku
Learning
perhatian pada
learning)
(Behavioral
Koreksi diri
perilaku yang
System)
Terapi
terobservasi dan
(direct instruction)
perilaku
yang diberikan
dalam rangka
Social
Respon
terhadap tugas
Pembelajaran langsung
Simulasi (simulation)
mengomunikasikan
keberhasilan.
model mengajar
yang dapat
Sebagai contoh, berikut disajikan 4 (empat) buah model yang masing-masing mewakili
setiap kelompok (guna mempelajari lebih lanjut tentang hal ini sangat disarankan untuk
membaca tulisan Saripuddin, Udin (1997) yang berjudul Model-model Pembelajaran
dalam Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran Buku 1 B Bahan Ajar Program
Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI) Untuk Dosen
Muda. Jakarta : PAU-P3AI.)
No
1
Nama
model
Latihan
Penelitian
(inquiry
training)
Kelompok
model
Pengolahan
Informasi
Karakteristik
model
Membantu untuk
melakukan
penelitian
mandiri dengan
berdisiplin.
Langkah kegiatan
Sinektiks
(synectics
model)
Personal
Mengembangkan
kreativitas dan
pemecahan
masalah secara
kreatif
Menghadapkan
masalah.
Mencari dan
mengkaji data
Eksperimentasi
dan menguji
hipotesis
Penarikan
kesimpulan dan
rekomendasi
Deskrisi kondisi
saat ini
Proses analogi
langsung
Proses analogi
personal
Analisis konflik
Analogi langsung
lanjut
Kajian tugas
Hasil
pembelajaran
Strategi
untuk
penelitian
kreatif (L)
Keterampilan
proses
keilmuan (I)
Semangat
kreatif (I)
Kemandirian
(I)
Toleransi (I)
Kapasitas
Kreatif Umum
(L)
Kapasitas
Kreatif Bidang
Studi (L)
Pencapaian
belajar bidang
studi (I)
Produktivitas
kelompok (I)
Investigasi
kelompok
(group
investigation)
Sosial
Mengembangkan
keterampilan
untuk ikut serta
dalam proses
sosial
Simulasi
(simulation)
Sistem
Perilaku
Mengembangka
n keterampilan
dalam
pengambilan
keputusan
Situasi
bermasalah
Eksplorasi
Perumusan
Tugas Belajar
Kegiatan Belajar
Analisis
Kemajuan
Orientasi
Latihan Peran
Proses simulasi
Pemantapan
Keterangan :
(L)
(I)
Proses dan
keteraturan
kelompok yang
efektif (L)
Penelitian yang
berdisiplin (L)
Mengormati
perbedaan (I)
Kehangatan
dan keterikatan
antar manusia (I)
Komitmen
terhadap
penelitian sosial
(I)
Konsep dan
keterampilan (L)
Berpikir kritis
dan membuat
keputusan (I)
Menghadapi
konsekuensi (I)
Kesadaran
tentang
efektivitas (I)
Empati (I)
upaya
ini praktik
pembelajaran di perguruan tinggi, lebih banyak upaya dilakukan untuk mencapai tujuan
yang bersifat kognitif atau motorik dibandingkan dengan tujuan yang bersifat afektif.
Berbeda dengan tujuan kognitif yang berorientasi kepada kemampuan berpikir, tujuan
afektif lebih berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai dan sikap.
Akibatnya, proses belajar-mengajar di perguruan tinggi kita masih merasa berat sebelah,
karena selalu menekankan kegiatan-kegiatan belajar yang bersifat kognitif. Di mata
kebanyakan mahasiswa, kuliah-kuliah terlalu membosankan, dan tugas-tugas yang
diberikan kepada mahasiswa dirasakan terlalu berat dan tidakl menyenangkan. Memang
ada pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan yang ketat dan berat akan memberikan
hasil belajar yang tinggi.
Pendidikan afektif sebenarnya tidak anti pada pendidikan yang bersifat kognitif. Hanya
saja, pendidikan afektif ingin menyeimbangkan antara pendidikan yang bersifat afektif
dan pendidikan yang bersifat kognitif dan psikomotorik.
Hasil pendidikan yang kurang memuaskan ini sebagian mungkin terjadi karena
terbatasnya sarana-sarana serta dana yang kita miliki untuk dapat menyelenggarakan
pendidikan yang memenuhi persyaratan, sebagian lagi mungkin telah terjadi karena
kekeliruan cara pandang kita terhadap konsepsi maupun proses pendidikan. Dalam
Penilaian yang diacu di dalam pembelajaran SCL untuk mengembangkan soft skills
dilakukan dengan mengacu pada proses pengambilan keputusan pada hasil belajar dan
penugasan terhadap suatu kriteria kualitas kompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Langkah-langkah skema penilaian pembelajaran SCL untuk mengembangkan soft skills
adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan kompetensi soft skills akhir yang akan dicapai melalui proses
pembelajaran tersebut.
2. Menjabarkan kompetensi soft skills dalam definisi operasional yang dapat
menggambarkan secara untuk kualitas kompetensi tersebut.
3. Menetapkan kriteria penilaian yang dapat merepresentasikan kompetensi yang
dimaksud pada no.2. Misalnya, kompetensi menjelaskan secara menarik
materi/teori yang dipelajari, maka kriteria penilaiannya adalah: (1) ketepatan
menjelaskan dan (2) daya tarik penjelasan. Perlu diingat bahwa pada setiap
kompetensi dapat terdiri dari 2 atau lebih kriteria penilaian. Hal ini sangat
tergantung dari kecermatan doses dalam menjabarkan definisi kompetensi yang
dimaksud.
4. Menetapkan jumlah level of criteria (tingkat kriteria) dalam penilaian, sebagai
contoh, jika di sebuah PT tingkatan kriteria nilai ada A, B, C, D dan E, maka
ditetapkan 5 tingkat kriteria.
5. Pada setiap tingkat kriteria diidentifikasi definisi kinerja/pencapaian kompetensi
yang dapat mewakili tingkatan kriteria tersebut.
6. Akhirnya, penilaian dilakukan dengan membandingkan antara kualitas pencapaian
kompetensi siswa dengan kualitas kompetensi yang telah ditetapkan.
Model penilaian kompetensi sebagaimana di atas, tidak mensyaratkan alat ukur, sehingga
dosen tidak mengalami kesulitan di dalam pengembangan penilaian soft skills. Model di
atas hanya mensyaratkan definisi operasional dan kualitas kompetensi yang
dimaksudkan. Selain itu, model penilaian ini, juga akan meningkatkan objektivitas dosen
dalam memberikan penilaian.
(perkuliahan) yang cocok guna dapat mengubah sesuatu dalam diri mahasiswa yang
berhubungan dengan perasaannya, emosinya, sistem nilai dan sikap diri
mahasiswanya.
3. Tidak mudah untuk menilai ketercapaian afektif. Menilai pencapaian tujuan afektif
yang melibatkan pemilikan dan pengamalan sistem nilai (value system) tidaklah
mudah.
characterization)
tercapainya tujuan-tujuan
tersebut terlihat overlaping dan tidak dapat dipisahkan dengan tegas. Hal itulah yang
membuat tujuan afektif menjadi sulit dievaluasi apakah tercapai atau tidak.
Di samping itu pencapaian tujuan afektif memerlukan waktu lama. Memang, untuk
tingkat afektif yang sederhana seperti mengenal atau memberi respon, pencapai tujuan
mungkin tidak memerlukan waktu yang lama dan dapat diketahui apakah tercapai atau
tidak. Namun, keadaan tersebut menjadi sulit pada tingkat afektif yang lebih tinggi.
PROSEDUR/STRATEGI PEMBELAJARAN
1. Mengidentifikasi dan mendefinisikan soft skills (90 menit)
Fasilitator mengajak peserta mengidentifikasi soft skills yang penting pada
lulusannya dengan membagi peserta menjadi 4 kelompok. (10 menit)
Peserta mengisi lembar kerja 3.1. Identifikasi soft skills dalam kelompok kecil
(20 menit)
Peserta kemudian mendefinisikan masing-masing soft skills secara operasional
dengan mengisi lembar kerja 3.2. identifikasi soft skills (30 menit)
Peserta mempresentasikan hasil kerja pada kelas besar dan saling memberikan
masukan (30 menit)
2. Merancang soft skills (180 menit)
Fasilitator menyampaikan prinsip pembelajaran dan penilaian soft skills melalui
pembelajaran SCL dan Grading Scheme dengan menggunakan slide . (pak
endro) (50 menit)
PERTANYAAN REFLEKTIF
1. soft skills apa yang dibutuhkan lulusan untuk sukses?
2. bagaimana mengembangkan pembelajaran yang juga bermuatan soft skills?
3. bagaimana menengarai bahwa mahasiswa sudah menguasai soft skills?
MATERIAL
lembar kerja 3.1. Identifikasi soft skills dan Definisi soft skills
lembar kerja 3.2. Rancangan Pembelajaran soft skills
lembar kerja 3.3. Format Rancangan Tugas
WAKTU
240 menit (4 jam)
Definisi Operasional
Bahan/materi kajian
Strategi/metode
pembelajaran
Kriteria/indikator
penilaian
Bobot
2. Uraian Tugas
a. Obyek Garapan:
..
b. Batasan yang harus dilakukan:
..
c. Metode/Cara mengerjakan:
..
d. Deskripsi hasil/luaran:
..
3. Kriteria Penilaian
..
GRADING SCHEME
KRITERIA PENILAIAN:
GRADE
SKOR
DEFINISI OPERASIONAL