STUDI LITERATUR
Pada bab ini diuraikan seluruh konsep dan kriteria yang bersumber dari literature,
peraturan, pedoman, SNI dan standar-standar lainnya yang selanjutnya digunakan sebagai
acuan dalam kegiatan Evaluasi TPA Provinsi Riau.
BAB II
STUDI LITERATUR
Pasal 163 ayat (3), menyebutkan lingkungan yang sehat bebas dari unsur-unsur
yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain adalah limbah cair, limbah
padat, limbah gas (sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan pemerintah, zat kimia berbahaya, air yang tercemar, udara yang
tercemar)
g. PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air
Pasal 42 menegaskan bahwa setiap orang dilarang membuang limbah padat dan
atau gas ke dalam air atau sumber air. Standard effluent pengolahan lindi sampah
wajib memenuhi baku mutu kualitas air sesuai dengan peruntukan badan air
dimana effluent akan dialirkan.
h. PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
(SPAM).
Pasal 19
- PS Persampahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2)
meliputi proses pewadahan, pengumpulan, pemindahan,
pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir yang dilakukan
secara terpadu
- Pelayanan minimal PS persampahan dilakukan melalui
pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan sampah rumah
tangga ke TPA secara berkala minimal 2 (dua) kali seminggu.
- Setiap orang atau kelompok masyarakat dilarang membuang
sampah ke sumber air baku.
Pasal 20
- Proses pewadahan, pengumpulan, pemindahan, dan pengangkutan
sampah dari sumber sampai ke TPA dilakukan sesuai dengan
pedoman yang berlaku dengan memperhatikan sistem pelayanan
persampahan yang sudah tersedia.
- Pengolahan sampah dilakukan dengan metode yang ramah
lingkungan, terpadu, dengan mempertimbangkan karakteristik
sampah, keselamatan kerja dan kondisi sosial masyarakat
setempat.
Pasal 21
Lokasi tempat pengumpulan dan pengolahan sampah serta TPA, wajib
memperhatikan:
- jarak dengan sumber air baku;
- hasil kajian analisa mengenai dampak lingkungan;
Pengelolaan sampah (limbah padat) dapat didefinisikan sebagai suatu disiplin yang
berkaitan dengan pengendalian atas timbulan, penyimpanan, pengumpulan, pemindahan
dan pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan sampah; sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan prinsip-prinsip dalam kesehatan masyarakat, ekonomi, keteknikan,
konservasi, estetika, dan pertimbangan-pertimbangan lingkungan lainnya termasuk
tanggap (responsive) terhadap sikap masyarakat umum (Tchobanoglous et al. 1993). Lebih
lanjut, Tchobanoglous et al. (1993), menjelaskan bahwa ruang lingkup pengelolaan
sampah mencakup semua aspek yang terlibat dalam keseluruhan spectrum kehidupan
masyarakat yang meliputi fungsi administratif, finansial, hukum, perencanaan, dan fungsi-
fungsi teknik yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sampah. Penyelesaian
masalah sampah juga dapat melibatkan hubungan-hubungan lintas disiplin yang kompleks
antar bidang-bidang ilmu politik, perencanaan kota dan regional, geografi, ekonomi,
kesehatan masyarakat, sosiologi, demografi, komunikasi, konservasi, serta teknik dan ilmu
bahan. Selain luasnya ruang lingkup aspek dan kompleksnya berbagai disiplin yang terlibat
Peraturan/Hukum
Institusi
Pembiayaan
Seperti dilihat pada gambar diatas salah satu aspek penting dalam pengelolaan sampah
perkotaan adalah aspek teknis operasional (Pewadahan, Pengumpulan, Pengangkutan,
Pengolahan dan Tempat Pemrosesan Akhir). Pada pekerjaan ini kita akan menitikberatkan
pada bagian Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
Sampah rumah tangga bersumber dari aktifitas rumah/dapur serta aktifitas rumah tangga
lainnya. Jenis atau tipe sampah yang dihasilkan terutama berupa sampah basah , sampah
kering dan debu. Sampah sejenis rumah tangga bersumber dari pasar, pertokoan,
restoran, perusahaan dan sebagainya. Kategori sampah spesifik dikelola secara terpisah
dengan jenis sampah lain karena mempunyai sifat spesifik yang harus ditangani secara
khusus.
2.5 Timbulan
Ukuran timbulan sampah dapat didasarkan kepada berat dan volume.
- Satuan berat : kilogram per orang per hari (Kg/o/h) atau kilogram per meter persegi bangunan
perhari (Kg/m2/h) atau kilogram per tempat tidur per hari (Kg/bed/h)
- Satuan Volume : liter/orang/hari (L/o/h), liter per meter persegi bangunan per hari (L/m2/h),
liter per tempat tidur per hari (L/bed/h)
Studi Literatur 2 - 10
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
a. Ketentuan Umum
1. Di lokasi pemrosesan akhir tidak hanya ada proses penimbunan sampah tetapi
juga wajib terdapat 4 (empat) aktifitas utama penanganan sampah yaitu :
- Pemilahan sampah
- Daur ulang sampah non hayati (non organik)
- Pengomposan sampah hayati (organik)
- Pengurugan/penimbunan sampah residu dari proses di atas di lokasi
pengurugan atau penimbunan (lahan urug)
2. TPA wajib dilengkapi dengan zona penyangga dan metode pemrosesan akhirnya
dilakukan secara lahan urug saniter (kota besar/metropolitan) dan lahan urug
terkendali (kota sedang/kecil)
3. Tata cara perencanaan TPA harus memenuhi ketentuan, antara lain :
- Tersedianya biaya pengoperasian dan pemeliharaan TPA
- Sampah yang dibuang ke TPA harus telah melalui kegiatan 3R
- Sampah yang masuk ke TPA hanya sampah perkotaan
- Kota yang sulit mendapatkan lahan TPA di wilayahnya perlu melaksanakan
model TPA regional serta perlu adanya institusi pengelola kebersihan yang
bertanggungjawab dalam pengelolaan TPA tersebut secara memadai
- Kegiatan peternakan yang mengambil pakan dari sampah di TPA dilarang
b. Ketentuan Teknis
1. Pemilihan lokasi TPA sampah perkotaan harus sesuai dengan ketentuan yang ada
(SNI 03-3241-1994 tentang tata cara pemilihan lokasi TPA).
2. Perencanaan TPA sampah perkotaan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Studi Literatur 2 - 11
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
- Rencana pengembangan kota dan daerah, tata guna lahan serta rencana
pemanfaatan lahan bekas TPA
- Kemampuan ekonomi Pemerintah Daerah setempat dan masyarakat, untuk
menentukan teknologi sarana dan prasarana TPA yang layak secara
ekonomis, teknis dan lingkungan
- Kondisi fisik dan geologi seperti topografi, jenis tanah, kelulusan tanah,
kedalaman air tanah, kondisi badan air sekitarnya, pengaruh pasang surut,
angin, iklim, curah hujan, untuk menentukan metode pembuangan akhir
sampah
- Rencana pengembangan jaringan jalan yang ada, untuk menentukan
rencana jalan masuk TPA
- Rencana TPA di daerah lereng agar memperhitungkan masalah
kemungkinan terjadinya longsor.
3. Metoda pembuangan akhir sampah pada dasarnya harus memenuhi prinsip teknis
berwawasan lingkungan sebagai berikut :
- Di kota besar dan metropolitan harus direncanakan sesuai metode lahan
urug saniter (sanitary landfill) sedangkan kota kecil dan sedang minimal
harus direncanakan metode lahan urug terkendali (controlled landfill)
- Harus ada pengendalian lindi, yang terbentuk dari proses dekomposisi
sampah tidak mencemari tanah, air tanah maupun badan air yang ada
- Harus ada pengendalian gas dan bau hasil dekomposisi sampah, agar tidak
mencemari udara, menyebabkan kebakaran atau bahaya asap dan
menyebabkan efek rumah kaca
- Harus ada pengendalian vektor penyakit
4. Sarana dan Prasarana TPA harus terdiri dari :
- Fasilitas umum (jalan masuk, kantor/pos jaga, saluran drainase dan pagar).
- Fasilitas perlindungan lingkungan (lapisan kedap air, pengumpul lindi,
pengolahan lindi, ventilasi gas, daerah penyangga, tanah penutup)
- Fasilitas penunjang (jembatan timbang, fasilitas air bersih, listrik, bengkel
dan hanggar)
- Fasilitas operasional (alat besar dan truk pengangkut tanah).
Studi Literatur 2 - 12
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Studi Literatur 2 - 13
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Studi Literatur 2 - 14
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Studi Literatur 2 - 15
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Kelemahan yang dijumpai dalam penerapan metode ini adalah pada lokasi dengan muka
air tanah yang dangkal. Hal ini disebabkan persyaratan kedalaman minimal adalah 3 meter
dari dasar TPA. Pengabaian terhadap batasan muka air dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran air tanah oleh resapan lindi dari TPA yang dapat mengganggu lingkungan
sekitarnya. Karenanya metode trench umumnya hanya populer diterapkan di daerah
perbukitan.
Studi Literatur 2 - 16
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Sampah membentuk sel-sel sampah yang saling dibatasi oleh tanah penutup. Penyebaran
dan pemadatan sampah berlawanan dengan kemiringan. Metode ini terutama diterapkan
bila kondisi permukaan air tanah relatif dangkal sehingga dikhawatirkan dapat terjadi
pencemaran lingkungan bila dilakukan penggalian. Kota-kota dengan kondisi topografi
lahan TPA yang datar umumnya menerapkan metode ini.
2.7.3.3 Kombinasi
Karena kedua cara ini sama dalam pengurugannya, maka keduanya dapat dikombinasikan
agar pemanfaatan tanah dan bahan penutup yang baik serta meningkatkan kinerja
operasi.
Studi Literatur 2 - 17
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
dengan lapisan akuifer paling dekat 4 m dan dengan badan air paling dekat 100 m.
apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut, diperlukan masukan teknologi.
4. Jarak dari lapangan terbang 1500 m (pesawat baling-baling) 3000 meter
(pesawat jet)
5. Kondisi curah hujan kecil, terutama daerah kering dengan kecepatan angin rendah
dan berarah dominan tidak menuju permukiman
6. Topografi, tidak boleh pada bukit lereng tidak stabil, daerah berair, lembah yang
rendah dan dekat dengan air permukaan dan lahan kemiringan alami > 20%
7. Tidak berada pada banjir 25 tahunan
8. Tidak merupakan daerah produktif
9. Tidak berada pada kawasan lindung/cagar alam
10. Kemudahan operasi
11. Aspek lingkungan lainnya
12. Penerimaan masyarakat
Pemilihan ini sudah ditetapkan dalam SNI 03-3241-1994 tentang Tata cara Pemilihan
Lokasi TPA sampah seperti tercantum dalam tabel sebagai berikut.
Studi Literatur 2 - 18
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
II LINGKUNGAN FISIK
1 Tanah (diatas muka air tanah) 5
a. Harga kelulusan < 10-9 cm/det 10
b. Harga kelulusan 10-9 cm/det 10-6 cm/det 7
c. Harga kelulusan 10-6 cm/det Tolak (kecuali ada teknologi)
2 Air Tanah 5
a. > 10 m dengan kelulusan < 10-6 cm/det 10
b. < 10 m dengan kelulusan < 10-6 cm/det 8
c. > 10 m dengan kelulusan < 10-6 cm/det - 10-4 cm/det 3
d. 10 m dengan kelulusan < 10-6 cm/det - 10-4 cm/det 1
3 Sistem Aliran Air Tanah 3
a. Discharge area/lokal 10
b. Recharge area dan discharge area lokal 5
c. Recharge area regional dan lokal 1
4 Kaitan Dengan Pemanfaatan Air Tanah 3
a. Kemungkinan pemanfaatan rendah dengan batas hidrolis 10
b. Diproyeksikan untuk dimanfaatkan dengan batas hidrolis 5
c. Diproyeksikan untuk dimanfaatkan tanpa batas hidrolis 1
5 Bahaya Banjir 2
a. Tidak ada bahaya banjir 10
b. Kemungkinan banjir > 25 tahunan 5
c. Kemungkinan banjir > 25 tahunan Tolak (kecuali ada
masukan teknologi)
6 Tanah Penutup 4
a. Tanah penutup cukup 10
b. Tanah penutup cukup sampai umur pakai 5
c. Tanah penutup tidak ada 1
7 Intensitas Hujan 3
a. Dibawah 500 mm per tahun 10
b. Antara 500 mm sampai 1000 mm per tahun 5
c. Diatas 1000 mm per tahun 1
8 Jalan Menuju Lokasi 5
a. Datar dengan kondisi baik 10
b. Datar dengan kondiai buruk 5
c. Naik/turun 1
9 Transport Sampah (satu jalan) 5
a. Kurang dari 15 menit dari centroid sampah 10
b. Antara 16 menit 30 menit dari centroid sampah 8
c. Antara 31 menit 60 menit dari centroid sampah 3
d. Lebih dari 60 menit dari centroid sampah 1
10 Jalan Masuk 4
a. Truk sampah tidak melalui daerah pemukiman 10
b. Truk sampah melalui daerah pemukiman berkepadatan 5
sedang (< 300 jiwa/ha)
c. Truk sampah melalui daerah pemukiman berkepadatan tinggi 1
( > 300 jiwa/ha)
11 Lalu Lintas 3
a. Terletak 500 m dari jalan umum 10
b. Terletak < 500 m pada lalu lintas rendah 8
c. Terletak < 500 m pada lalu lintas sedang 3
d. Terletak pada lalu lintas tinggi 1
12 Tata Guna Lahan 5
a. Mempunyai dampak sedikit terhadap tata guna tanah sekitar 10
b. Mempunyai dampak sedang terhadap tata guna tanah sekitar 5
Studi Literatur 2 - 19
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Studi Literatur 2 - 20
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Data Geoteknik : berisi informasi daerah bahaya gerakan tanah, banjir, gempa serta
bahaya gunung api.
Data pustaka yang terkait dengan penelitian.
2. Tahap Survei Lapangan :
Survei Litologi : dilakukan pengamatan jenis litologi dan penyebaran litologi.
Survei Struktur Geologi : dilakukan pengamatan struktur geologi yang berkembang.
Survei jenis tanah, penyebaran tanah, ketebalan tanah serta peruntukan tanah.
Survei air tanah meliputi kedalaman muka air tanah dangkal, pengamatan mata air,
sungai, sistem penurapan air tanah, pemanfaatan airtanah sifat fisik air tanah di
lapangan.
Survei umum kondisi wilayah terkait bahaya gerakan tanah dan bahaya banjir.
3. Tahap Analisa
Analisa hasil data litologi dan struktur geologi akan dilakukan untuk mengetahui
jenis dan sifat batuan dasar serta penyebarannya yang diwujudkan dalam peta
geologi.
Analisa kemiringan lereng dilakukan untuk mengetahui derajat kemiringan lahan dan
diwujudkan dalam peta kemiringan lereng.
Analisa jenis, klasifikasi, sifat fisik kimiawi, ketebalan, permeabilitas, serta
penyebaran tanah.
Analisa penyebaran muka air tanah dangkal, arah aliran, landaian hidrolika dan
lokasi-lokasi sumber mata air. e. Analisa wilayah discharge dan recharge.
Analisa wilayah rawan gerakan tanah dan banjir dilakukan dengan berdasarkan data
sekunder dan pengamatan kondisi lahan di lapangan.
Analisa intensitas hujan dengan metode Poligon Thiesen dan arah angin.
Analisa kondisi lahan dengan metode Le Grand.
Metode "numerical rating" menurut Le Grand yang telah dimodifikasi oleh Knight, telah
digunakan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, guna evaluasi pendahuluan dari lokasi
pembuangan limbah di Indonesia. Parameter utama yang digunakan dalam analisis ini
adalah:
Jarak antara lokasi (sumber pencemaran) dengan sumber air minum
Kedalaman muka air tanah terhadap dasar lahan-urug
Kemiringan hidrolis air tanah dan arah alirannya dalam hubungan dengan pusat sumber
air minum atau aliran air sungai
Permeabilitas tanah dan batuan
Sifat-sifat tanah dan batuan dalam meredam pencemaran
Studi Literatur 2 - 21
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Studi Literatur 2 - 22
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
B = Cukup
C = Tidak Akurat
Langkah 6
Parameter 6.1: Sumber air sekitar lokasi
W = jika yang akan tercemar adalah sumur (well)
S = jika yang akan tercemar adalah mata air (spring) atau sungai (stream)
B = jika yang akan tercemar adalah daerah lain (boundary)
Parameter 6.2: Informasi tambahan tentang calon lokasi
C : memerlukan kondisi khusus yang memerlukan komentar
D : terdapat kerucut depresi pemompaan
E : pengukuran jarak titik tercemar dilakukan dari pinggir calon lokasi
F : lokasi berada pada daerah banjir
K : batuan dasar calon lokasi adalah karst
M : terdapat tampungan air di bawah timbunan sampah
P : lokasi mempunyai angka perkolasi yang tinggi
Q : akuifer dibawah calon lokasi adalah penting dan sensitif
R : pola aliaran air tanah radial sampai sub radial
T : muka air tanah berada pada celah/retakan/rongga batuan dasar
Y : terdapat satu atau lebih akuifer tertekan
Studi Literatur 2 - 23
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Tahap ini menggambarkan derajat keseriusan yang disajikan dalam bentuk matrik yang
menggabungkan kepekaan akuifer dengan tingkat bahaya limbah yang akan
diurug/ditimbun. Jenis akuifer dipilih pada ordinat sumbu-Y, yaitu mulai dari liat berpasir
yang dianggap tidak sensitif sampai batu kapur yang dianggap sangat sensitif. Sedangkan
tingkat keseriusan pencemar, yang dipilih pada absis sumbu-X, akan tergantung pada jenis
limbah yang masuk, mulai dari limbah inert yang tidak berbahaya sampai limbah B3.
Titik pertemuan garis yang ditarik dari sumbu-X dan sumbu-Y tersebut menggambarkan
derajat keseriusan pencemaran, mulai dari relatif rendah (A) sampai sangat tinggi (I).
Derajat keseriusan tersebut terbagi ke dalam 9 katagori.
Langkah 9
Tahap ini merupakan penggabungan langkah 1 sampai 4 dengan langkah 8. Posisi grafis
langkah 9 yang dapat dilihat digunakan kembali. Dari posisi lokasi tersebut dapat diketahui
peringkat situasi standar yang dibutuhkan agar akuifer tidak tercemar. Peringkat ini
dinyatakan dalam PAR (Protection of Aquifer Rating). Hasil pengurangan PAR dari deskripsi
numerik lokasi, digunakan untuk menentukan tingkat kemungkinan pencemaran yang
akan terjadi. Nilai-nilai PAR dalam zona-zona isometrik diperoleh berdasarkan pengalaman
empiris yang menyatakan nilai permeabilitas serta sorpsi yang tidak boleh terlampaui agar
akuifer tidak tercemar.
Studi Literatur 2 - 24
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Dari data diatas, bila dilihat dari prosedur langkah 1 sampai 4, maka akan diperoleh nilai
berturut-turut 7-3-3-2, sedangkan dari langkah 9 diperoleh PAR = 14-4. Dari nilai-nilai
tersebut, maka penggabungannya adalah :
Dari penggabungan diatas, diperoleh nilai -1. Berdasarkan tabel situasi peringkat penilaian,
diperoleh kesimpulan bahwa untuk contoh kasus diatas, peringkat nilai yang diperoleh
adalah C (kemungkinan pencemaran sulit dikategorikan).
Langkah 10
Langkah ini digunakan bila pada lokasi tersebut dilakukan masukan teknologi untuk
mengurangi dampak pencemaran yang mungkin terjadi, sehingga diharapkan terjadi
pergeseran nilai PAR. Perubahan dilakukan dengan memperbaiki kondisi pada langkah 8,
sehingga PAR di langkah 9 juga akan berubah. Masukan teknologi yang mungkin
diterapkan pada lokasi ini untuk mengurangi potensi bahaya pencemaran antara lain :
- Mendesain saluran drainase di sekitar lokasi dengan baik dimana air hujan yang akan
- masuk ke area landfill dapat terminimalisasi.
- Pembuatan lapisan dasar (liner) yang dapat dilakukan dengan beberapa lapisan
pelindung
- seperti geomembran dengan tujuan agar lindi yang timbul tidak merembes ke dalam
ailiran air tanah
Studi Literatur 2 - 25
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
- Mendesain pipa lindi yang memungkinkan air lindi dapat terkumpul, serta adanya
instalasi pengolahan air lindi sebelum dibuang ke badan air penerima.
Studi Literatur 2 - 26
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Jalan operasi yang dibutuhkan dalam pengoperasian TPA terdiri dari 2 jenis,
yaitu:
(1) Jalan operasi penimbunan sampah, jenis jalan bersifat temporer, setiap
saat dapat ditimbun dengan sampah
(2) Jalan operasi mengelilingi TPA, jenis jalan bersifat permanen dapat
berupa jalan beton, aspal atau perkerasan jalan sesuai dengan beban
dana kondisi tanah.
(3) Jalan penghubung antar fasilitas, yaitu kantor/pos jaga, bengkel, tempat
parkir, tempat cuci kendaraan. Jenis jalan bersifat permanen.
Bangunan Penunjang
Bangunan penunjang ini adalah sebagai pusat pengendalian kegiatan di TPA
baik teknis maupun administrasi dengan ketentuan sebagai berikut :
Luas bangunan kantor tergantung pada lahan yang tersedia dengan
mempertimbangkan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain
administrasi operasional TPA, tampilan rencana tapak, tempat cuci kendaraan,
kamar madi/wc, gudang, bengkel dan lat pemadam kebakaran.
Drainase
Drainase TPA berfungsi untuk mengurangi volume air hujan yang jatuh pada
area timbunan sampah. Ketentuan teknis drainase TPA sebagai berikut:
(1) Jenis drainase dapat berupa drainase permanen (disisi jalan utama,
disekeliling timbunan, daerah sekitar kantor, gudang, bengkel, tempat
cuci) dan drainase sementara (dibuat secara lokal pada zona yang akan
dioperasikan)
(2) Kapasitas saluran dihitung dengan persamaan Manning
Studi Literatur 2 - 27
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Pagar
Pagar berfungsi untuk menjaga keamanan TPA, dapat berupa pagar tanaman
sehingga sekaligus dapat juga berfungsi sebagai daerah penyangga minimal
setebal 5 m dan dapat pula dilengkapi dengan pagar kawat atau lainnya.
Papan Nama
Papan nama berisi nama TPA, pengelola, jenis sampah dan waktu kerja di
depan pintu masuk TPA.
Pelapisan dasar kedap air dapat dilakukan dengan cara melapisi dasar TPA dengan
tanah lempung yang dipadatkan (30 cm x 2) atau geomembranen setebal 1.5-2 mm
tergantung pada kondisi tanah. Dasar TPA harus dilengkapi dengan saluran pipa
pengumpul lindi dengan kemiringan minimal 2% kearah saluran pengumpul maupun
penampung lindi.
Pembentukan dasar TPA harus dilakukan bertahap sesuai dengan urutan zona/blok
dengan urutan pertama sedekat mungkin dengan kolam pengolahan lindi. Gambaran
lapisan dasar TPA dapat dilihat pada gambar berikut di bawah ini.
Gambar 2. 6. Pelapis Dasar (Liner) TPA Dengan Geosintetis dan Tanah Lempung
Studi Literatur 2 - 28
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Studi Literatur 2 - 29
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Perhitungan desain debit lindi adalah menggunakan model atau dengan perhitungan yang
didasarkan pada asumsi sebagai berikut :
Hujan terpusat pada 4 jam sebanyak 90% (Van Breen) sehingga factor puncak =
5.4. Maksimum hujan yang jatuh 20-30% diantaranya menjadi lindi
Dalam 1 bulan maksimum terjadi 20 hari hujan
Data presipitasi diambil berdasarkan data harian atau tahunan maksimum dalam 5
tahun terakhir
3. Pengolahan Lindi
Beberapa pilihan alternatif teknologi yang dapat diterapkan di Indonesia sesuai
dengan Peraturan Menteri PU Nomor 03 Tahun 2013 adalah :
Kolam Anaerobik, Fakultatif, Maturasi dan Biofilter (alternatif 1)
Kolam Anaerobik, Fakultatif, Maturasi dan Land Treatmen/Wetland (alternatif
2)
ABR dengan Aerated Lagoon (alternatif 3)
Koagulasi-Flokulasi, Sedimentasi, Kolam Anaerobik atau ABR (alternatif 4)
Koagulasi-Flokulasi, Sedimentasi I, Aerated Lagoon, Sedimentasi II (alternatif
5)
Studi Literatur 2 - 30
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Alternatif 1
Alternatif 2
Studi Literatur 2 - 31
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Alternatif 3
Alternatif 4
Studi Literatur 2 - 32
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Alternatif 5
Gambar 2. 10. Desain pemasangan pipa drainase lindi dan gas vertikal
Konstruksi sistem
Pipa drainase lindi
pengumpulan lindi
Studi Literatur 2 - 33
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
4. Penanganan Gas
Gas yang ditimbulkan dari proses degradasi di TPA harus dikontrol di tempat agar
tidak mengganggu kesehatan pegawai, orang yang menggunakan fasilitas TPA,
serta penduduk sekitarnya.
Gas hasil biodegradasi tersebut dicegah mengalir secara literal dari lokasi
pengurugan menuju daerah sekitarnya.
Setiap 1 tahun sekali dilakukan pengambilan sampel gas-bio pada 2 titik yang
berbeda, dan dianalisa terhadap kandungan CO2 dabn CH4.
Pada sistem sanitary landfill, gasbio harus dialirkan ke udara terbuka melalui
ventilasi sistem penangkap gas, sedemikian sehingga tidak berakumulasi yang
dapat menimbulkan ledakan atau bahaya toksik lainnya.
Pemasangan penangkap gas sebaiknya dimulai dari saat lahan-urug tersebut
dioperasikan, dengan demikian metode penangkapannya dapat disesuaikan
antara dua cara tersebut.
Metode untuk membatasi dan menangkap pergerakan gas adalah :
- Menempatkan materi impermeabel pada atau di luar perbatasan landfill
untuk menghalangi aliran gas
- Menempatkan materi granular pada atau di luar perbatasan landfill
(perimeter) untuk penyaluran dan atau pengumpulan gas
- Pembuatan sistem ventilasi penagkap gas di dalam lokasi ex-TPA.
Sistem penangkap gas dapat berupa :
- Ventilasi horizontal :yang bertujuan untuk menangkap aliran gas dalam dari
satu sel atau lapisan sampah
- Vantilasi vertikal :merupakan ventilasi yang mengarahkan dan mengalirkan
gas yang terbentuk ke atas
- Ventilasi akhir :merupakan ventilasi yang dibangun pada saat timbunan
akhir sudah terbentuk, yang dapat dihubungkan pada pembakar gas (gas-
Studi Literatur 2 - 34
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Penangkap gas pada lahan urug Pipa gas pada lahan urug
5. Penutupan Tanah
a). Periode penutupan tanah harus disesuaikan dengan metode pembuangannya,
untuk lahan urug saniter penutupan tanah dilakukan setiap hari
b). Tahapan penutupan tanah terdiri dari penutup tanah harian (15-20 cm),
penutup antara (30-40 cm) dan penutup tanah akhir (50-100 cm)
c). Kemiringan tanah penutup harian harus cukup untuk dapat mengalirkan air
hujan keluar dari lapisan penutup
d). Kemiringan tanah penutup akhir hendaknya mempunyai grading dengan
kemiringan tidak lebih dari 30 derajat untuk menghindari terjadinya erosi
Studi Literatur 2 - 35
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Gambar 2. 13. Sistem Penutup Tanah Pada Controlled Landfill dan Sanitary Landfill
6. Daerah Penyangga
Daerah penyangga dapat berfungsi untuk mengurangi dampak negative yang
ditimbulkan oleh kegiatan TPA terhadap lingkungan sekitarnya. Daerah penyangga ini
dapat berupa jalur hijau atau pagar tanaman disekeliling TPA, dengan ketentuan
sebagai berikut:
Jenis tanaman adalah tanaman tinggi dikombinasi dengan tanaman perdu yang
mudah tumbuh dan rimbun
Kerapatan pohon adalah 2-5 m untuk tanaman keras
Lebar jalur hijau minimal
7. Sumur Uji
Sumur uji ini berfungsi untuk memantau kemungkinan terjadinya pencemaran lindi
terhadap air tanah di sekitar TPA dengan ketentuan sebagai berikut :
Lokasi sumur uji terletak pada beberapa tempat, yaitu sebelum lokasi penimbunan
sampah, dilokasi sekitar penimbunan dan pada lokasi penimbunan
Penempatan lokasi tidak harus pada daerah yang akan tertimbun sampah dank e
arah hilir aliran air tanah
Kedalaman sumur 20-25 m dengan luas 1 m2
Studi Literatur 2 - 36
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
C. Fasilitas Penunjang
Fasilitas penunjang yang dibutuhkan TPA adalah sebagai berikut:
a. Jembatan Timbang berfungsi untuk menghitung berat sampah yang masuk ke TPA
dengan ketentuan sebagai berikut :
Jembatan timbang diwajibkan untuk kota atau kabupaten dengan timbulan sampah
minimal 5 ton/hari
Lokasi jembatan timbang harus dekat dengan kantor/pos jaga dan terletak pada
jalan masuk TPA
Jembatan timbang harus dapat menahan beban minimal 5 ton
b. Fasilitas air bersih digunakan terutama untuk kebutuhan kantor, pencucian kendaraan
atau alat berat yang rusak maupun fasilitas TPA lainnya. Penyedian air bersih dapat
dilakukan dengan sumur bor atau pompa
c. Bengkel atau Hanggar berfungsi untuk menyimpan dan atau memperbaiki alat berat
yang rusak. Luas bangunan yang direncanakan harus dapat menampung minimal 3
kendaraan
D. Fasilitas Operasional
Alat berat yang digunakan di tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah sangat berhubungan
dengan pola pengelolaan sampah yang diterapkan di suatu wilayah. Review terhadap
spesifikasi alat berat pada pemrosesan akhir (TPA) sampah dilakukan untuk mengetahui
jenis-jenis alat berat, spesifikasi termasuk efektivitas pemanfaatannya serta umur pakai
masing-masing alat. Kebutuhan alat berat untuk sebuah TPA akan bervariasi sesuai
dengan perhitungan desain dari sarana landfill, alat berat yang digunakan untuk operasi
pengurugan sampah hendaknya selalu siap untuk dioperasikan setiap hari. Katalog dan
tata-cara pemeliharaan harus tersedia di lapangan dan diketahui secara baik oleh petugas
yang diberi tugas. Alat-Alat berat yang harus tersedia di TPA antara lain
Loader atau bulldozer (120300 HP) atau landfill compactor (200400 HP)
berfungsi untuk mendorong, menyebarkan, menggilas/memadatkan lapisan
sampah. Gunakan blade sesuai spesifikasi pabrik guna memenuhi kebutuhan
kapasitas aktivitas
Excavator untuk penggalian dan peletakan tanah penutup ataupun memindahkan
sampah dengan spesifikasi yang disyaratkan dengan bucket 0,5 - 1,5 m3.
Dump truck untuk mengangkut tanah penutup (bila diperlukan) dengan volume 8
12 m3.
Studi Literatur 2 - 37
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Studi Literatur 2 - 38
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
UU Nomor 18 Tahun 2008 ini menekankan bahwa prioritas utama yang harus dilakukan
oleh semua fihak adalah bagaimana agar mengurangi sampah semaksimal mungkin.
Bagian sampah atau residu dari kegiatan pengurangan sampah yang masih tersisa
selanjutnya dilakukan pengolahan (treatment) maupun pengurugan (landfilling).
Pengurangan sampah melalui 3R menurut UU-18/2008 meliputi:
a. Pembatasan (reduce): mengupayakan agar limbah yang dihasilkan sesedikit
mungkin
b. Guna-ulang (reuse): bila limbah akhirnya terbentuk, maka upayakan
memanfaatkan limbah tersebut secara langsung
c. Daur-ulang (recycle): residu atau limbah yang tersisa atau tidak dapat
dimanfaatkan secara langsung, kemudian diproses atau diolah untuk dapat
dimanfaatkan, baik sebagai bahan baku maupun sebagai sumber enersi
Ketiga pendekatan tersebut merupakan dasar utama dalam pengelolaan sampah, yang
mempunyai sasaran utama minimasi limbah yang harus dikelola dengan berbagai upaya
agar limbah yang akan dilepas ke lingkungan, baik melaui tahapan pengolahan maupun
melalui tahan pengurugan terlebih dahulu, akan menjadi sesedikit mungkin dan dengan
tingkat bahaya sesedikit mungkin. Gagasan yang lebih radikal adalah melalui konsep
kegiatan tanpa limbah (zero waste). Secara teoritis, gagasan ini dapat dilakukan, tetapi
secara praktis sampai saat ini belum pernah dapat direalisir. Oleh karenanya, gagasan ini
lebih ditonjolkan sebagi semangat dalam pengendalian pencemaran limbah, yaitu agar
semua kegiatan manusia handaknya berupaya untuk meminimalkan terbentuknya limbah
atau meminimalkan tingkat bahaya dari limbah, bahkan kalau muingkin meniadakan.
Studi Literatur 2 - 39
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Konsep pembatasan (reduce) jumlah sampah yang akan terbentuk dapat dilakukan antara
lain melalui:
- Efisiensi penggunaan sumber daya alam
- Rancangan produk yang mengarah pada penggunaan bahan atau proses yang lebih
sedikit menghasilkan sampah, dan sampahnya mudah untuk diguna-ulang dan didaur-
ulang
- Menggunakan bahan yang berasal dari hasil daur-ulang limbah
- Mengurangi penggunaan bahan berbahaya
- Menggunakan eco-labeling
Studi Literatur 2 - 40
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Ketentuan tersebut di atas masih perlu diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan
Pemerintah agar dapat dilaksanakan secara baik dan tepat sasaran. Stakeholders utama
dalam pengelolaan sampah yang berbasis 3R dibagi dalam 5 kelompok, yang masing-
masing mempunyai peran utama dalam membatasi sampah yang akan dihasilkan, yaitu:
a. Masyarakat penghasil sampah
- Memahami dampak akibat sampah yang dihasilkan
- Mempertimbangkan ulang pola hidupnya
- Memilih barang dan pelayanan yang berwawasan lingkungan
- Berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sampah, misalnya pemilahan sampah
- Berpartsipasi dalam pengembangan pengelolaan sampah berbasis 3R
b. LSM
Mempromosikan kegiatan-kegiatan positif 3R dalam level masyarakat
Mempromosikan peningkatan kesadaran
Menyiapkan-melakukan training dan sosialisasi
Memantau upaya-upaya yang dilakukan oleh kegiatan bisnis dan pemerintah
Memberikan masukan kebijakan yang sesuai
c. Pihak Swasta
Menyiapkan barang dan jasa yang berwawasan lingkungan
Melaksanakan kegiatan take-back, guna-ulang dan daur-ulang terhadap produk
bekas-nya
Mengelola limbah secara berwawasan lingkungan
Mengembangkan sistem pengelolaan lingkungan
Memberi informasi yang jujur kepada konsumen melalui label dan laporan
d. Pemerintah Daerah
Memastikan diterapkannya peraturan dan panduan
Menyiapkan rencana tindak
Mendorong green purchasing, dan peningkatan pemahaman masyarakat
Menjamin masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
Bertindak sebagai fasilitator dalam kegiatan 3R dan pihak bisnis
Bertindak sebagai koordinator lokal dalam pengembangan masyarakat
berwawasan daur-bahan
Menyedian ruang dan kesempatan untuk saling bertukar barang-bekas dan
informasi antar stakeholders
Promosi kerjasama internasional
e. Pemerintah Pusat
Mengembangkan sistem, termasuk aspek legal yang dibutuhkan
Studi Literatur 2 - 41
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Studi Literatur 2 - 42
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
2.9.1 Pemilahan
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meminimalkan timbulan sampah di TPA
adalah pemilahan sampah sejak di sumber. Seiring perkembangan jaman, proses
pemilahan sampah tidak lagi dilakukan secara manual, tetapi menggunakan mesin atau
dilakukan secara mekanik. Pada perkembangannya, pemilahan sampah secara mekanis
dilakukan secara terintegrasi dalam suatu unit pemilahan mekanis. Tidak jarang,
pengolahan secara mekanis tersebut berlanjut dengan pengolahan biologis. Integrasi
Studi Literatur 2 - 43
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
pengolahan mekanis dan biologis ini dikenal dengan teknologi Mechanical Biological
Treatment (MBT).
Studi Literatur 2 - 44
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Gambar 2. 18. Skema Integrasi Pengolahan Mekanis dan Biologis Dalam MBT
Prinsip kerja dari MBT adalah pemilahan material dengan beberapa tujuan, yaitu:
Memisahkan material untuk recovery energi
Memisahkan material untuk recovery material
Memisahkan material untuk mempermudah proses pengolahan biologis
Studi Literatur 2 - 45
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Tahap Pengolahan Mekanis Dalam MBT Tahap Aerated Heaps Pada MBT
Studi Literatur 2 - 46
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Digestion dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kandungan airnya, yaitu fermentasi
kering dengan kadar padatan terlarut > 25% dan fermentasi basah dengan kadar padatan
terlarut <15%. Anaerobi digestion pada umumnya dikombinasikan dengan tahap dari
proses pengomposan karena tidak semua substansi organic dapat didegradasi dalam
kondisi anaerob.
Anaerobic digestion wet (basah) membutuhkan biaya operasional yang lebih tinggi
disbanding dengan anaerobic digestion dry (kering). Pada system basah, proses degradasi
menghasilkan lebih banyak residu berupa air sehingga operasional anaerobic digestion
juga harus dilengkapi dengan sarana pengolahan efluen tersebut. Keuntungan dari system
kering adalah permasalahan seperti settling, foaming, dan flotasi yang sering muncul pada
system basah dapat dihindari. Namun anaerobic digestion kering sangat ditentukan oleh
material input, sehingga proses ini sangat bergantung pada pengadukan eksternal dari
input sampah untuk homogenitas.
1. Ketersediaan Oksigen
Bakteri metanogen adalah bakteri strict anaerob, makan kehadiran O2 akan
mengganggu proses dan merupakan inhibitor.
2. Kadar Air
Kadar air sangat berpengaruh dalam proses dekomposisi secara biologi. Selain itu
juga dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri dan proses metanogenesis. Kurva
yang terbentuk akan cenderung naik pada tahap hidrolisis kemudian menurun dan
stabil. Kadar air yang rendah akan menghambat proses degradasi karena
Studi Literatur 2 - 47
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
mikroorganisme yang ada di dalam reactor akan lebih banyak tertutup oleh air
dibandingkan udara sehingga akan menciptakan suasana anaerob.
4. Temperatur
Temperatur merupakan parameter proses yang sangat penting. Bakteri anaerob
bertahan hidup dari temperature beku hingga 70C, tetapi berkembang dengan
baik pada kondisi mesofilik (25C 40C, optimum pada 35oC) atau dalam kondisi
termofilik (50C-65C, optimum pada < 55C). Bakteri metan tumbuh baik pada
temperature mesofilik (30C-40C) maupun termofilik (45C-55C). Kecepatan
reaksi mikroorganisme menurun pada range diantara kedua temperature optimum
tersebut. Sebagian besar digester anaerob dioperasikan pada temperature
mesofilik, tapi proses metanogenesis juga dapat terjadi pada temperature
terendah, 4C. Menjaga temperature agar konstan lebih penting daripada menjaga
temperature yang memberikan laju maksimum dalam proses metanogenesis
karena penyesuaian bakteri matanogen terhadap perubahan kondisi lebih lambat
dari pada bakteri asidogen.
5. pH dan Alkalinitas
pH merupakan variable utama yang harus diatur dan dijaga. pH digester yang
diperbolehkan sekitar 5,5-8,5. Namun, bakteri metanogen hanya dapat hidup pada
pH 6,7-7,4 (Buekens, 2005).
Studi Literatur 2 - 48
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
basa yang ditambahkan ke dalam system. Jika konsentrasi asam volatile naik, pH
dibuffer oleh alkalinitas bikarbonat. Dengan demiian nilai alkalinitas yang rendah
dalam reactor anaerob bukan merupakan factor yang aman bila terjadi
peningkatan konsentrasi asam volatile. Untuk mengontrol alkalinitas dan pH
dilakukan penambahan bahan-bahan alkali seperti kapur, Na2CO3 atau NaOH ke
dalam reaktor.
6. Rasio C/N
Rasio C/N yang optimum untuk proses anaerob adalah 30. Range rasio C/N
optimum untuk pembentukan metan 20-35%, sedangkan rasio C/P ideal hanya
150 (Oktaviani, 2008). Jika kandungan substrat diukur sebagai COD, maka
seringkali dinyatakan bahwa rasio COD:N:P pada air limbah yang akan diolah harus
mendekati 250:5:1 untuk pengolahan anaerobic (Metcalf and Eddy, 1991).
7. Kelembaban
Disamping merupakan kebutuhan mikroorganisme, kelembaban juga dibutuhkan
untuk mengencerkan cairan nutrisi dan mendistribusikan nutrisi dalam timbunan
sampah. Disamping itu, laju produksi gasbio akan bertambah dengan
bertambahnya kelembaban. Peningkatan laju produksi gasbio sangat berarti pada
kandungan kelembaban sekitar 60-70% dan cenderung menurun pada level yang
lebih tinggi.
8. Toksisitas
Proses digesti dihambat oeh tingkat toksik dari berbagai zat. Indikator paling
sensitif dari toksisitas adalah produksi metan, selain peningkatan asam volatil.
Senyawa yang dapat mengganggu berlangsungnya proses anaerob itu antara lain
adalah asam volatile, ammonia, hydrogen sulfide, logam berat, dan salinitas (Grady
& Lin, 1990).
9. Logam berat
Kehadiran logam, terutama logam berat dalam tanah dan air tanah patut
mendapatkan perhatian yang serius paling tidak karena hal-hal berikut.
- Sifat racun logam dan potensial karsinogeniknya
- Mobilitas dalam tanah bisa dengan cepat berubah, dari yang tadinya
immobile atau dalam bentuk logamnya menjadi bentuk terlarut dalam
spesies yang dengan mudah dapat berubah.
Studi Literatur 2 - 49
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Cara atau metoda untuk membuat kompos adalah proses komposting. Proses komposting
ini merupakan proses dengan memanfaatkan proses biologis yaitu pengembangan massa
mikroba yang dapat tumbuh selama proses terjadi. Metoda ini adalah proses biologi yang
mendekomposisi sampah (terutama sampah organic yang basah) menjadi kompos karena
adanya interaksi kompleks dari organisme yang terdapat secara alami. Berdasarkan prinsip
proses biologis ini, maka karakteristik dari mikroba menjadi penting untuk diperhatikan.
Jenis mikroba yang dimaksud adalah jenis mikroba yang diklasifikasikan dari cara
hidupnya, yaitu:
- Mikroba anaerobik (yaitu mikroba yang hidup tanpa oksigen); jenis mikroba ini juga
dibagi dalam 2 jenis, yaitu: mesofilik (hidup pada temperature 20-40oC), dan
thermophilic (hidup pada temperature 45-70oC)
- Mikroba aerobic adalah mikroba yang hanya dapat hidup dengan adanya oksigen.
Sama dengan mikroba anaerobic berdasarkan fluktuasi kondisi suhu di dalam
tumpukan kompos dapat dibedakan menjadi mesophilic dan thermophilic.
Proses komposting merupakan suatu proses yang paling relatif mudah dan murah, serta
menimbulkan dampak lingkungan yang paling rendah. Proses ini hampir sama dengan
pembusukan secara lamiah, dimana berbagai jenis mikroorganisme berperan secara
serentak dalam habitatnya masing-masing. Makanan untuk mikorooganisme adalah
sampah, sedangkan suplai udara dan air diatur dalam proses komposting ini. Jenis
Studi Literatur 2 - 50
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
sampah sangat mempengaruhi proses composting ini. Sampah yang dapat dikomposkan
adalah sampah organik atau sering disebut sampah basah adalah jenis sampah yang
berasal dari jasad hidup sehingga mudah membusuk dan dapat hancur secara alami.
Contohnya adalah sayuran, daging, ikan, nasi, ampas perasan kelapa, dan potongan
rumput /daun/ranting dari kebun. Berdasarkan teknologi proses, pengolahan kompos
dapat dibedakan menjadi composting aerobik dan anaerobik.
Studi Literatur 2 - 51
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Studi Literatur 2 - 52
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Contents
2.1 Peraturan dan Standar Bidang Persampahan ............................................................... 2
Studi Literatur 2 - 53
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Gambar 2. 6. Pelapis Dasar (Liner) TPA Dengan Geosintetis dan Tanah Lempung .............. 28
Gambar 2. 10. Desain pemasangan pipa drainase lindi dan gas vertikal ............................. 33
Gambar 2. 13. Sistem Penutup Tanah Pada Controlled Landfill dan Sanitary Landfill ........ 36
Gambar 2. 18. Skema Integrasi Pengolahan Mekanis dan Biologis Dalam MBT.................. 45
Studi Literatur 2 - 54
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016
Studi Literatur 2 - 55