Anda di halaman 1dari 55

BAB 2

STUDI LITERATUR

Pada bab ini diuraikan seluruh konsep dan kriteria yang bersumber dari literature,
peraturan, pedoman, SNI dan standar-standar lainnya yang selanjutnya digunakan sebagai
acuan dalam kegiatan Evaluasi TPA Provinsi Riau.

Studi Literatur 2-1


Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

BAB II
STUDI LITERATUR

2.1 Peraturan dan Standar Bidang Persampahan


2.1.1 Peraturan Bidang Persampahan
Berbagai Undang-Undang Peraturan Pemerintah sampai dengan Standar Nasional
Indonesia sudah dikeluarkan dengan harapan pengelolaan sampah dapat dilakukan
secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir dan dapat memberikan manfaat
ekonomi, sehat bagi masyarakat serta aman bagi lingkungan. Aturan pemerintah yang
terkait dengan aspek teknis bidang persampahan diantaranya mencakup peraturan dan
perundangan berikut ini:
a. UU Nomor 28 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pasal 28 ayat (1) menjelaskan bahwa perencanaan prasarana, sarana dan utilitas
umum perumahan meliputi : rencana kelengkapan prasarana, sarana dan utilitas
umum perumahan.
b. UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Pasal 21 ayat (2), menyebutkan pengaturan prasarana dan sarana sanitasi
(air limbah dan persampahan) dalam upaya perlindungan dan pelestarian
sumber air.
Pasal 40 ayat (6), menyatakan bahwa pengaturan pengembangan sistem
air minum diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan
prasarana dan sarana sanitasi.
c. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 17 ayat (2), menyebutkan bahwa sistem jaringan prasarana
mencakup juga sistem persampahan dan sanitasi
Pasal 33 ayat (3), pembangunan bagi kepentingan umum yang
dilaksanakan pemerintah daerah meliputi juga saluran pembuangan air
dan sanitasi.
d. UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
e. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Pasal 4 menjelaskan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan
dan penegakan hukum.
f. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.

Studi Literatur 2-2


Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Pasal 163 ayat (3), menyebutkan lingkungan yang sehat bebas dari unsur-unsur
yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain adalah limbah cair, limbah
padat, limbah gas (sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan pemerintah, zat kimia berbahaya, air yang tercemar, udara yang
tercemar)
g. PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air
Pasal 42 menegaskan bahwa setiap orang dilarang membuang limbah padat dan
atau gas ke dalam air atau sumber air. Standard effluent pengolahan lindi sampah
wajib memenuhi baku mutu kualitas air sesuai dengan peruntukan badan air
dimana effluent akan dialirkan.
h. PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
(SPAM).
Pasal 19
- PS Persampahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2)
meliputi proses pewadahan, pengumpulan, pemindahan,
pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir yang dilakukan
secara terpadu
- Pelayanan minimal PS persampahan dilakukan melalui
pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan sampah rumah
tangga ke TPA secara berkala minimal 2 (dua) kali seminggu.
- Setiap orang atau kelompok masyarakat dilarang membuang
sampah ke sumber air baku.
Pasal 20
- Proses pewadahan, pengumpulan, pemindahan, dan pengangkutan
sampah dari sumber sampai ke TPA dilakukan sesuai dengan
pedoman yang berlaku dengan memperhatikan sistem pelayanan
persampahan yang sudah tersedia.
- Pengolahan sampah dilakukan dengan metode yang ramah
lingkungan, terpadu, dengan mempertimbangkan karakteristik
sampah, keselamatan kerja dan kondisi sosial masyarakat
setempat.
Pasal 21
Lokasi tempat pengumpulan dan pengolahan sampah serta TPA, wajib
memperhatikan:
- jarak dengan sumber air baku;
- hasil kajian analisa mengenai dampak lingkungan;

Studi Literatur 2-3


Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

- rencana tata ruang;


- daya dukung lingkungan dan kondisi hidrogeologi daerahnya;
- kondisi sosial budaya masyarakat.
Dalam rangka perlindungan air baku, TPA sebagimana dimaksud pada ayat
(1):
- wajib dilengkapi dengan zona penyangga
- menggunakan metode lahan urug terkendali untuk kota sedang dan
kecil
- menggunakan metode lahan urug saniter untuk kota besar dan
metropolitan.
Pemantauan kualitas hasil pengolahan leachate yang dibuang ke sumber
air baku dan/ atau tempat terbuka wajib dilakukan secara berkala oleh
instansi yang berwenang.
Pasal 22
Proses pengolahan air limbah dan sampah wajib dilakukan sesuai dengan
standar teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri dengan
memperhatikan saran dan pertimbangan dari menteri terkait
i. PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
Pasal 50 ayat (1) huruf d, menyebutkan pengaturan prasarana dan sarana
sanitasi sebagai bagian dari upaya perlindungan dan pelestarian sumber
air.
Pasal 54 secara lebih rinci menjelaskan lagi cara pengaturan prasarana
dan sarana sanitasi.
j. PP Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dab
Sampah Sejenis Rumah Tangga.
k. Permen PU Nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan.
l. KepmenLH Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Usaha atau Kegiatan yang wajib
dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
m. Kepmen LH Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.
Ketentuan ini berlaku bila effluent hasil pengolahan lindi akan dilepas langsung ke
badan air
n. KepmenLH Nomor 3 Tahun 1998 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan
Industri. Ketentuan ini berlaku bila effluent hasil pengolahan lindi tidak langsung
dibuang ke badan air.
o. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 14/PRT/M/2010 tentang Petunjuk
Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang

Studi Literatur 2-4


Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

p. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010 tentang Pedoman


Pengelolaan Sampah
q. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga.

2.1.2 SNI Bidang Persampah


SNI yang digunakan dalam bidang persampahan di Indonesia diantaranya dijelaskan dalam
tabel berikut.
Tabel 2. 1. Standar Bidang Persampahan
SNI Tentang Keterangan
SNI 19-2454-2002 Tata Cara Pengelolaan Teknik Tata cara ini digunakan untuk
Sampah Perkotaan memperoleh sistem
pengelolaan sampah di daerah
perkotaan
SNI 03-3241-1994 Tata Cara Pemilihan Lokasi Tata cara ini digunakan untuk
Tempat Pembuangan Akhir menentukan lokasi tempat
pembuangan akhir
SNI 03-3242-1994 Tata Cara Pengelolaan Sampah Tata cara ini digunakan untuk
Permukiman menentukan pengelolaan
sampah di daerah permukiman
SNI 19-3964-1994 Metode Pengambilan Dan Metode ini digunakan untuk
Pengukuran Contoh Timbulan mendapatkan besaran
Dan Komposisi Sampah timbulan sampah yang
Perkotaan digunakan untuk perencanaan
dan pengelolaan sampah
SNI 19-3983-1995 Spesifikasi Timbulan Sampah Spesifikasi ini bertujuan untuk
Untuk Kota Kecil dan Sedang di memberikan criteria
Indonesia perencanaan persampahan
untuk kota sedang dan kota
kecil di Indonesia
SNI 19-7030-2004 Spesifikasi Kompos Dari Spesifikasi ini memuat
Sampah Organik Domestik persyaratan kandungan kimia,
fisik dan bakteri yang harus
dicapai dari hasil olahan
sampah organik domestik
menjadi kompos

Studi Literatur 2-5


Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

SNI Tentang Keterangan


SNI 3234-2008 Pengelolaan Sampah SNI mengatur tentang
Permukiman kebutuhan sarana untuk
pengangkutan sampah yang
dipengaruhi oleh tipe rumah
dan tingkat pelayanan serta
jenis alat angkut
SNI 19-7029-2004 Persyaratan teknis mengenai Spesifikasi ini mencakup istilah
SKBSN No. 13/ bentuk,ukuran dan bahan dan definisi, persyaratan teknis
BSNSNI.04/ 05/ komposter rumah tangga mengenai bentuk,ukuran dan
2004,13 Mei 2004 individual, spesifikasi kompos bahan komposter rumah
dari sampah organik domestik. tangga individual untuk
Spesifikasi ini memuat melayani 1 keluarga antara 5
persyaratan kandungan kimia, sampai dengan 7 jiwa dan
fisik dan bakteri yang harus komunal untuk melayani 10 KK
dicapai dari hasil olahan atau antara 50 70 jiwa. (RSNI
sampah organik domestik S-01-2002)
menjadi kompos. (RSNI S-02-
2002)
Sumber : Diseminasi dan Sosialisasi Keteknikan, Bidang PLP Sektor Persampahan, 2013

2.2 Pengertian Sampah


Sampah terdiri dari semua buangan yang dihasilkan oleh manusia atau kegiatan hewan
yang biasanya berbentuk padat, terbuang, tidak bermanfaat dan tidak diinginkan lagi
(Tchobanoglous, 1993). Tanpa penanganan yang tepat, sampah akan mengakibatkan
terjadinya degradasi kualitas lingkungan hidup manusia. Oleh karena itu, sangat perlu
diterapkan konsep pengelolaan sampah yang berkelanjutan (sustainable waste
management). Pengelolaan sampah yang berkelanjutan diartikan sebagai suatu upaya
menggunakan sumberdaya materi secara efisien untuk mengurangi jumlah sampah yang
dihasilkan. Penanganan pada sumber sampah dihasilkan harus menggunakan
penanganan yang secara aktif mengkontribusi pada bidang ekonomi, sosial dan tujuan-
tujuan lingkungan pembangunan berkelanjutan (Davoudi, 2001: 193). Tempat-tempat yang
yang menjadi sumber sampah antara lain adalah :
Pasar, tempat-tempat komersial
Pabrik-pabrik atau industri
Rumah tinggal, kantor, sekolah, gedung-gedung umum, dan lain-lain serta
pekarangannya
Kandang hewan atau pemotongan hewan
Jalan, lapangan dan pertamanan

Studi Literatur 2-6


Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Proses pemanfaatan / pembuangan akhir sampah adalah :


1. Dapat dimanfaatkan lagi, misalnya untuk :
Dibuat pupuk kompos
Dipakai makanan ternak
Dipakai bahan industri lemak
Diolah lagi seperti fungsi semula
Keperluan-keperluan lain sesuai dengan konservasinya
2. Dapat dibakar atau dipakai sebagai bahan bakar, misalnya untuk briket atau biogas
3. Khusus untuk dibuang, mengingat pertimbangan teknis dan ekonomis.
4. Untuk perencanaan teknis dan manajemen persampahan di Kecamatan Belinyu
Kabupaten Bangka, maka konsultan akan menggunakan standar dari Departemen
Pekerjaan Umum yaitu SK SNI T131990F mengenai Tata Cara Pengelolaan
Sampah Perkotaan dan SNI 0332421994 mengenai Tata Cara Pengelolaan Sampah
di Permukiman.

2.3 Pengelolaan Sampah


Pengelolaan sampah di perkotaan merupakan suatu sistem yang memiliki komponen-
komponen yang saling berinteraksi membentuk kesatuan dan mempunyai tujuan (Dept. PU
& LPUI, 1989). Pengelolaan sampah suatu kota bertujuan untuk melayani penduduk
terhadap sampah domestik yang dihasilkannya, secara tidak langsung turut memelihara
kesehatan masyarakat serta menciptakan suatu lingkungan yang baik, bersih, dan sehat
(Dept. PU, 1995).

Pengelolaan sampah (limbah padat) dapat didefinisikan sebagai suatu disiplin yang
berkaitan dengan pengendalian atas timbulan, penyimpanan, pengumpulan, pemindahan
dan pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan sampah; sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan prinsip-prinsip dalam kesehatan masyarakat, ekonomi, keteknikan,
konservasi, estetika, dan pertimbangan-pertimbangan lingkungan lainnya termasuk
tanggap (responsive) terhadap sikap masyarakat umum (Tchobanoglous et al. 1993). Lebih
lanjut, Tchobanoglous et al. (1993), menjelaskan bahwa ruang lingkup pengelolaan
sampah mencakup semua aspek yang terlibat dalam keseluruhan spectrum kehidupan
masyarakat yang meliputi fungsi administratif, finansial, hukum, perencanaan, dan fungsi-
fungsi teknik yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sampah. Penyelesaian
masalah sampah juga dapat melibatkan hubungan-hubungan lintas disiplin yang kompleks
antar bidang-bidang ilmu politik, perencanaan kota dan regional, geografi, ekonomi,
kesehatan masyarakat, sosiologi, demografi, komunikasi, konservasi, serta teknik dan ilmu
bahan. Selain luasnya ruang lingkup aspek dan kompleksnya berbagai disiplin yang terlibat

Studi Literatur 2-7


Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

dalam pengelolaan sampah, sistem pengelolaan sampah perkotaan juga dipengaruhi


berbagai faktor, seperti yang tercantum dalam Standar Tata Cara Pengelolaan Teknik
Sampah Perkotaan (Departemen PU, 1990). Faktor-faktor tersebut adalah:
1. rencana penggunaan lahan,
2. kepadatan dan penyebaran penduduk,
3. karakteristik lingkungan fisik, biologi dan sosial ekonomi,
4. kebiasaan masyarakat,
5. karakteristik sampah,
6. peraturan-peraturan/aspek legal nasional dan daerah setempat,
7. sarana pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan,
8. lokasi pembuangan akhir,
9. biaya yang tersedia,
10. rencana tata ruang dan pengembangan kota,
11. iklim dan musim.

Pengelolaan persampahan bukan hanya menyangkut permasalahan non teknis, justru


permasalahan non teknis dalam bidang persampahan seringkali lebih domninan.
Permasalahan persampahan memiliki keunikan tersendiri dan menyangkut banyak aspek.
Setiap kota memiliki kekhasan mengenai masalah sampah masing-masing sehingga
pengelolaannya memerlukan seni tersendiri. Pada dasarnya, sistem pengelolaan
persampahan dapat digambarkan seperti pada gambar sebagai berikut.

Peraturan/Hukum

Institusi

Pengelolaan Teknis Operasional


Sampah Perkotaan

Pembiayaan

PSM dan Swasta

Gambar 2. 1. Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan


(Sumber : Diseminasi dan Sosialisasi Keteknikan, Bidang PLP Sektor Persampahan, 2013)

Seperti dilihat pada gambar diatas salah satu aspek penting dalam pengelolaan sampah
perkotaan adalah aspek teknis operasional (Pewadahan, Pengumpulan, Pengangkutan,
Pengolahan dan Tempat Pemrosesan Akhir). Pada pekerjaan ini kita akan menitikberatkan
pada bagian Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).

Studi Literatur 2-8


Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

2.4 Sumber Sampah


Sumber sampah seperti telah dijelaskan dalam UU nomor 18 Tahun 2008 didefinisikan
sebagai asal timbulan sampah. Sampah yang akan dikelola dibedakan atas :
1. Sampah rumah tangga yaitu sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam
rumah tangga, tidak termasuk sampah spesifik
2. Sampah sejenis rumah tangga sebagaimana dimaksud berasal dari kawasan
komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umu,
dan/atau fasilitas lainnya
3. Sampah spesifik sebagaimana dimaksud meliputi :
Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun
Sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun
Sampah yang timbul akibat bencana
Bongkaran bangunan
Sampah yang secara teknologi belum dapat diolah
Sampah yang timbul secara tidak periodik

Sampah rumah tangga bersumber dari aktifitas rumah/dapur serta aktifitas rumah tangga
lainnya. Jenis atau tipe sampah yang dihasilkan terutama berupa sampah basah , sampah
kering dan debu. Sampah sejenis rumah tangga bersumber dari pasar, pertokoan,
restoran, perusahaan dan sebagainya. Kategori sampah spesifik dikelola secara terpisah
dengan jenis sampah lain karena mempunyai sifat spesifik yang harus ditangani secara
khusus.

2.5 Timbulan
Ukuran timbulan sampah dapat didasarkan kepada berat dan volume.
- Satuan berat : kilogram per orang per hari (Kg/o/h) atau kilogram per meter persegi bangunan
perhari (Kg/m2/h) atau kilogram per tempat tidur per hari (Kg/bed/h)
- Satuan Volume : liter/orang/hari (L/o/h), liter per meter persegi bangunan per hari (L/m2/h),
liter per tempat tidur per hari (L/bed/h)

Studi Literatur 2-9


Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Tabel 2. 2. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen Sumber Sampah

No Komponen Sumber Sampah Satuan Volume (liter)


1 Rumah permanen Per orang/hari 2.25 - 2.50
2 Rumah semi permanen Per orang/hari 2.00 2.25
3 Rumah non permanen Per orang/hari 1.75 2.00
4 Kantor Per pegawai/hari 0.50 0.75
5 Toko/Ruko Per petugas/hari 2.50 3.00
6 Sekolah Per murid/hari 0.10 0.15
7 Jalan arteri sekunder Per meter/hari 0.10 0.15
8 Jalan kolektor sekunder Per meter/hari 0.10 0.15
9 Jalan lokal Per meter/hari 0.05 0.10
10 Pasar Per meter2/hari 0.20 0.60
Sumber : Standar Spesifikasi Timbulan Sampah Untuk Kota Kecil dan Sedang di
Indonesia Dept.PU.LPMB Bandung,1993

Tabel 2. 3. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota

No Klasifikasi Kota Volume (L/orang/hari) Berat (Kg/orang/hari)


1 Kota Besar 2.75 3.25 0.70 0.80
(500.000 1.000.000 jiwa)
2 Kota Sedang 2.75 - 3.25 0.70 0.80
(100.000 500.000 jiwa)
3 Kota Kecil 2.50 -2.75 0.625 0.70
(20.000 100.000 jiwa)
Sumber : Standar Spesifikasi Timbulan Sampah Untuk Kota Kecil dan Sedang di
Indonesia Dept.PU.LPMB Bandung,1993

2.6 Komposisi Sampah


Komposisi sampah berbeda-beda berdasarkan sumber sampah, karakteristik perilaku
masyarakat serta kondisi ekonomi yang berbeda dan proses penanganan sampah di
sumber sampah. Pada tabel dibawah ini dapat dilihat komposisi sampah berdasaekan
sumber sampah dan komposisi sampah dari masing-masing sumbernya.

Tabel 2. 4. Sumber dan Komposisi Sampah

No Sumber Sampah Komposisi Sampah


1 Kantor Kertas,karton,plastic,catridge printer bekas, sampah
makanan
2 Rumah Sakit Kertas, kapas bekas, plastik (pembungkus spuit, spuit
bekas), kaca (botol obat, pecahan kaca), logam (jarum
spuit), perban bekas, potongan jaringan tubuh, sisa-
sisa obat, sampah makanan
3 Pasar Sampah organik mudah membusuk, plastic,
kertas/karton, kayu pengemas, karet, kain
4 Rumah Makan Sampah makanan, kertas pembungkus, plastic
pembungkus
5 Lapangan Olahraga Kertas, plastic, sampah makanan, potongan rumput
6 Lapangan Terbuka Ranting/daun kering, potongan rumput
7 Jalan dan Lapangan Parkir Kertas,plastic, daun kering

Studi Literatur 2 - 10
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

No Sumber Sampah Komposisi Sampah


8 Rumah Tangga Sampah makanan, kertas/karton,plastic, logam, kain,
daun, ranting
9 Pembangunan Gedung Pecahan bata, pecahan beton, pecahan genting, kayu,
kertas, plastik
Sumber : Diseminasi dan Sosialisasi Keteknikan, Bidang PLP Sektor Persampahan, 2013

2.7 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)
didefinisikan sebagai tempat pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian
sampah dan/atau residu hasil pengolahan sampah sebelumnya ke media lingkungan
secara aman. Ada beberapa ketentuan yang harus dilakukan dalam pembangunan sebuah
TPA antara lain.

a. Ketentuan Umum
1. Di lokasi pemrosesan akhir tidak hanya ada proses penimbunan sampah tetapi
juga wajib terdapat 4 (empat) aktifitas utama penanganan sampah yaitu :
- Pemilahan sampah
- Daur ulang sampah non hayati (non organik)
- Pengomposan sampah hayati (organik)
- Pengurugan/penimbunan sampah residu dari proses di atas di lokasi
pengurugan atau penimbunan (lahan urug)
2. TPA wajib dilengkapi dengan zona penyangga dan metode pemrosesan akhirnya
dilakukan secara lahan urug saniter (kota besar/metropolitan) dan lahan urug
terkendali (kota sedang/kecil)
3. Tata cara perencanaan TPA harus memenuhi ketentuan, antara lain :
- Tersedianya biaya pengoperasian dan pemeliharaan TPA
- Sampah yang dibuang ke TPA harus telah melalui kegiatan 3R
- Sampah yang masuk ke TPA hanya sampah perkotaan
- Kota yang sulit mendapatkan lahan TPA di wilayahnya perlu melaksanakan
model TPA regional serta perlu adanya institusi pengelola kebersihan yang
bertanggungjawab dalam pengelolaan TPA tersebut secara memadai
- Kegiatan peternakan yang mengambil pakan dari sampah di TPA dilarang

b. Ketentuan Teknis
1. Pemilihan lokasi TPA sampah perkotaan harus sesuai dengan ketentuan yang ada
(SNI 03-3241-1994 tentang tata cara pemilihan lokasi TPA).
2. Perencanaan TPA sampah perkotaan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

Studi Literatur 2 - 11
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

- Rencana pengembangan kota dan daerah, tata guna lahan serta rencana
pemanfaatan lahan bekas TPA
- Kemampuan ekonomi Pemerintah Daerah setempat dan masyarakat, untuk
menentukan teknologi sarana dan prasarana TPA yang layak secara
ekonomis, teknis dan lingkungan
- Kondisi fisik dan geologi seperti topografi, jenis tanah, kelulusan tanah,
kedalaman air tanah, kondisi badan air sekitarnya, pengaruh pasang surut,
angin, iklim, curah hujan, untuk menentukan metode pembuangan akhir
sampah
- Rencana pengembangan jaringan jalan yang ada, untuk menentukan
rencana jalan masuk TPA
- Rencana TPA di daerah lereng agar memperhitungkan masalah
kemungkinan terjadinya longsor.
3. Metoda pembuangan akhir sampah pada dasarnya harus memenuhi prinsip teknis
berwawasan lingkungan sebagai berikut :
- Di kota besar dan metropolitan harus direncanakan sesuai metode lahan
urug saniter (sanitary landfill) sedangkan kota kecil dan sedang minimal
harus direncanakan metode lahan urug terkendali (controlled landfill)
- Harus ada pengendalian lindi, yang terbentuk dari proses dekomposisi
sampah tidak mencemari tanah, air tanah maupun badan air yang ada
- Harus ada pengendalian gas dan bau hasil dekomposisi sampah, agar tidak
mencemari udara, menyebabkan kebakaran atau bahaya asap dan
menyebabkan efek rumah kaca
- Harus ada pengendalian vektor penyakit
4. Sarana dan Prasarana TPA harus terdiri dari :
- Fasilitas umum (jalan masuk, kantor/pos jaga, saluran drainase dan pagar).
- Fasilitas perlindungan lingkungan (lapisan kedap air, pengumpul lindi,
pengolahan lindi, ventilasi gas, daerah penyangga, tanah penutup)
- Fasilitas penunjang (jembatan timbang, fasilitas air bersih, listrik, bengkel
dan hanggar)
- Fasilitas operasional (alat besar dan truk pengangkut tanah).

Studi Literatur 2 - 12
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

2.7.1 Metoda Pembuangan Sampah


Dalam pelaksanaannya terdapat 2 (dua) metoda kegiatan pembuangan sampah, yaitu:
a) Controll Landfill
Metode ini merupakan peningkatan dari open dumping dimana secara periodik
sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk mengurangi potensi
gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Dalam operasionalnya juga dilakukan perataan
dan pemadatan sampah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan
kestabilan permukan TPA. Di Indonesia, metode controll landfill dianjurkan untuk
diterapkan di kota sedang dan kecil. Untuk dapat melaksanakan metode ini diperlukan
penyediaan beberapa fasilitas, diantaranya : Saluran drainase untuk mengendalikan
aliran air hujan; Saluran pengumpul leachate dan kolam penampungan; Pos
pengendalian operasional; Fasilitas pengendalian gas metan; Alat berat.
b) Sanitary Landfill
Metode ini merupakan metode standar yang dipakai secara internasional dimana
penutupan sampah dilakukan setiap hari sehingga potensi gangguan timbul dapat
diminimalkan. Namun diperlukan penyediaan prasarana dan sarana yang cukup mahal
bagi penerapan metode ini sehingga sampai saat ini baru dianjurkan untuk kota-kota
besar dan metropolitan.

Tabel 2. 5. Perbedaan Controlled Landfill dan Sanitary Landfill

No Parameter Controlled landfill Sanitary landfill


A Proteksi terhadap lingkungan
Tanah setempat dipadatkan,
Tanah setempat dipadatkan,
Dasar landfill menuju liner dengan tanah permeabilitas
1 liner dasar dengan tanah
suatu titik tertentu rendah, bila diperlukan gunakan
permeabilitas rendah
geomembran
Tanah dengan permeabilitas Tanah dengan permeabilitas
rendah dipadatkan 2 x 30 cm, rendah dipadatkan 3 x 30 cm,
2 Liner dasar
bila perlu gunakan bila perlu gunakan geomembran
geomembran HDPE HDPE
Karpet kerikil
4 Dianjurkan Diharuskan
minimum 20 cm
Pasir pelindung
5 Dianjurkan Diharuskan
minimum 20 cm
Drainase / tanggul
6 Diharuskan Diharuskan
keliling
7 Drainase local Diharuskan Diharuskan
Sistem saluran dan pipa
8 Pengumpul lindi Minimal saluran kerikil
perforasi
Kolam penampung
9 Diharuskan Diharuskan
lindi
10 Resirkulasi lindi Dianjurkan Diharuskan
11 Pengolah lindi Kolam-kolam stabilisasi Pengolahan biologis, bila perlu

Studi Literatur 2 - 13
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

No Parameter Controlled landfill Sanitary landfill


ditambah pengolahan kimia, dan
landtreatment
Minimum 1 hulu, 2 hilir dan 1
Minimum 1 hulu dan 1 hilir
12 Sumur pantau unit di luar lokasi sesuai arah
sesuai arah aliran air tanah
aliran air tanah
Sistem vertikal dengan beronjog
Miminimum dengan kerikil kerikil dan pipa, karpet kerikil
13 Ventilasi gas
horizontal - vertikal setiap 5 m lapisan, dihubungkan
dengan perpipaan recovery gas
14 Sarana Lab Analisa Air - Dianjurkan
15 Jalur hijau penyangga Diharuskan Diharuskan
16 Tanah penutup rutin Minimum setiap 7 hari Setiap hari
Bila tidak digunakan lebih dari 1
Sistem penutup Bila tidak digunakan lebih dari
17 bulan, dan setiap mencapai
antara 1 bulan
ketinggian lapisan 5 m
Sistem terpadu dengan lapisan
kedap, sub-drainase air-
Minimum tanah kedap 20 cm,
permukaan, pelindung, karpet
18 Sistem penutup final ditambah sub-drainase air-
penangkap gas, bila perlu
permukaan, ditambah top-soil
dengan geosintetis, diakhiri
dengan top-soil minimum 60 cm
Pengendali vektor dan
19 Diharuskan Diharuskan
bau
B Pengoperasian landfill
Dozer dan loader, dianjurkan
1 Alat berat Dozer, loader dan excavator
dilengkapi excavator
2 Transportasi lokal Dianjurkan Diharuskan
Cadangan bahan
3 Diharuskan Diharuskan
baker
4 Cadangan insktisida Diharuskan Diharuskan
Pelataran unloading
5 Diharuskan Diharuskan
dan manuver
10 Jalan operasi utama Diharuskan Diharuskan
Jalan operasi dalam
11 Diharuskan Diharuskan
area
12 Jembatan timbang Diharuskan Diharuskan
13 Ruang registrasi Diharuskan, minimum manual Diharuskan, digital
C Prasarana-Sarana
1 Papan nama Diharuskan Diharuskan
2 Pintu gerbang pagar Diharuskan Diharuskan
Minimum digabung dengan pos
3 Kantor TPA Diharuskan
jaga
4 Garasi alat berat Diharuskan Diharuskan
5 Gudang Dianjurkan Diharuskan
Workshop dan
6 Dianjurkan Diharuskan
peralatan
7 Pemadam kebakaran Diharuskan Diharuskan
8 Fasilitas toilet MCK Kamar mandi dan WC terpisah
9 Cuci kendaraan Minimum ada faucet Diharuskan
10 Penyediaan air bersih Diharuskan Diharuskan

Studi Literatur 2 - 14
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

No Parameter Controlled landfill Sanitary landfill


11 Listrik Diharuskan Diharuskan
12 Alat komunikasi Diharuskan Diharuskan
13 Ruang jaga Diharuskan Diharuskan
Area khusus daur-
14 Diharuskan Diharuskan
ulang
Area transit limbah B3
15 Diharuskan Diharuskan
rumah tangga
16 P3K Diharuskan Diharuskan
17 Tempat ibadah Dianjurkan Diharuskan
D Petugas TPA
Diharuskan, pendidikan Diharuskan, pendidikan minimal
1 Kepala TPA minimal D3 teknik, atau yang D3 teknik, atau yang
berpengalaman berpengalaman
2 Petugas registrasi Dianjurkan Diharuskan
Diharuskan, minimal dirangkap
3 Pengawas operasi Diharuskan
Kepala TPA
4 Supir alat berat Diharuskan Diharuskan
5 Tehnisi Diharuskan Diharuskan
6 Satpam Diharuskan Diharuskan
Sumber : NSPM TPA, 2008

2.7.2 Metode Pengurugan


Metode pengurugan sampah berdasarkan kondisi topografi, sumber materi penutup dan
kedalaman air tanah dibedakan metode trench dan area. Untuk lebih lengkapnya dapat
dilihat pada penjelasan sebagai berikut.

2.7.3.1 Metode Trench atau Ditch


Metode ini diterapkan apabila air tanah cukup rendah sehingga zona non aerasi di bawah
landfill cukup tinggi ( 1.5 m). Metode ini diterapkan di tanah yang datar. Dilakukan
penggalian tanah secara berkala untuk membuat parit sedalam dua sampai 3 meter.
Tanah disimpan untuk dipakai sabagai bahan penutup. Sampah diletakan di di dalam parit,
disebarkan, dipadatkan dan ditutup dengan tanah. Keuntungan dari metode ini adalah
sebagai berikut :
Lahan TPA memiliki kapasitas lebih besar karena lahan dapat digali lebih dalam
untuk menampung sampah yang dibuang sehingga untuk luas lahan yang sama
akan dapat ditampung sampah dengan volume yang lebih banyak.
Tanah bekas galian dapat digunakan sebagai tanah penutup sehingga dapat
dihemat biaya pengadaannya yang cukup besar.

Studi Literatur 2 - 15
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Kelemahan yang dijumpai dalam penerapan metode ini adalah pada lokasi dengan muka
air tanah yang dangkal. Hal ini disebabkan persyaratan kedalaman minimal adalah 3 meter
dari dasar TPA. Pengabaian terhadap batasan muka air dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran air tanah oleh resapan lindi dari TPA yang dapat mengganggu lingkungan
sekitarnya. Karenanya metode trench umumnya hanya populer diterapkan di daerah
perbukitan.

Gambar 2. 2. Pengurugan Metode Trench atau Ditch


(Sumber : Diseminasi dan Sosialisasi Keteknikan, Bidang PLP Sektor Persampahan, 2013)

2.7.3.2 Metode Area


Untuk area yang datar dimana parit tidak bisa dibuat, sampah disimpan langsung diatas
tanah asli sampai ketinggian beberapa meter. Tanah penutup bisa diambil dari luar TPA
atau diambil dari bagian atas tanah.

Gambar 2. 3. Pengurugan Metode Area


(Sumber : Diseminasi dan Sosialisasi Keteknikan, Bidang PLP Sektor Persampahan, 2013)

Studi Literatur 2 - 16
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Sampah membentuk sel-sel sampah yang saling dibatasi oleh tanah penutup. Penyebaran
dan pemadatan sampah berlawanan dengan kemiringan. Metode ini terutama diterapkan
bila kondisi permukaan air tanah relatif dangkal sehingga dikhawatirkan dapat terjadi
pencemaran lingkungan bila dilakukan penggalian. Kota-kota dengan kondisi topografi
lahan TPA yang datar umumnya menerapkan metode ini.

2.7.3.3 Kombinasi
Karena kedua cara ini sama dalam pengurugannya, maka keduanya dapat dikombinasikan
agar pemanfaatan tanah dan bahan penutup yang baik serta meningkatkan kinerja
operasi.

Gambar 2. 4. Pengurugan Kombinasi


(Sumber : Diseminasi dan Sosialisasi Keteknikan, Bidang PLP Sektor Persampahan, 2013)

2.7.3 Pemilihan Lokasi TPA


2.7.3.1 Metoda SNI 03-3241-1994
Pemilihan lokasi TPA sampah perkotaan harus sesuai dengan ketentuan (SNI 03-3241-
1994 tentang tata cara pemilihan lokasi TPA). Pemilihan lokasi TPA mempertimbangkan
beberapa aspek sebagai berikut:
1. Tata ruang kota atau wilayah
2. Kondisi geologi (kondisi geologi formasi batu pasir, batu gamping atau dolomite
berongga tidak sesuai untuk lahan urug. Juga daerah potensi gempa, zona
vulkanik. Kondisi yang layak : sedimen berbutir sangat halus, misal : batu liat,
batuan beku, batuan malihan yang kedap (k<10-6 cm/dtk)
3. Kondisi geohidrologi (sistem aliran air tanah dischare lebih baik dari recharge.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup yang berlaku, jarak landfill

Studi Literatur 2 - 17
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

dengan lapisan akuifer paling dekat 4 m dan dengan badan air paling dekat 100 m.
apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut, diperlukan masukan teknologi.
4. Jarak dari lapangan terbang 1500 m (pesawat baling-baling) 3000 meter
(pesawat jet)
5. Kondisi curah hujan kecil, terutama daerah kering dengan kecepatan angin rendah
dan berarah dominan tidak menuju permukiman
6. Topografi, tidak boleh pada bukit lereng tidak stabil, daerah berair, lembah yang
rendah dan dekat dengan air permukaan dan lahan kemiringan alami > 20%
7. Tidak berada pada banjir 25 tahunan
8. Tidak merupakan daerah produktif
9. Tidak berada pada kawasan lindung/cagar alam
10. Kemudahan operasi
11. Aspek lingkungan lainnya
12. Penerimaan masyarakat

Pemilihan ini sudah ditetapkan dalam SNI 03-3241-1994 tentang Tata cara Pemilihan
Lokasi TPA sampah seperti tercantum dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 2. 6. Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA


NO PARAMETER BOBOT NILAI
I Umum
1 Batas Administrasi 5
a. Dalam batas administrasi 10
b. Di luar batas administrasi, tetapi dalam satu sistem 5
pengelolaan sampah terpadu
c. Di luar batas administrasi, dan diluar sistem pengelolaan 1
sampah terpadu
d. Di luar batas administrasi, tetapi dalam satu sistem 1
pengelolaan sampah terpadu
2 Pemilik Atas Tanah 3
a. Pemerintah Daerah/Pusat 10
b. Pribadi (satu) 7
c. Swasta atau perusahan (satu) 5
d. Lebih dari satu pemilik bak dan atau status kepemilikan 3
e. Organisasi sosial atau agama 1
3 Kapasitas Lahan 5
a. > 10 tahun 10
b. 5 tahun 10 tahun 8
c. 3 tahun 5 tahun 5
d. Kurang dari 3 tahun 1
4 Jumlah Pemilik Lahan 3
a. 1 (satu) KK 10
b. 2 3 KK 7
c. 4 - 5 KK 5
d. 6 10 KK 3
e. Lebih dari 10 KK 1
5 Partisipasi Masyarakat 3

Studi Literatur 2 - 18
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

NO PARAMETER BOBOT NILAI


a. Spontan 10
b. Digerakkan 5
c. Negosiasi 1

II LINGKUNGAN FISIK
1 Tanah (diatas muka air tanah) 5
a. Harga kelulusan < 10-9 cm/det 10
b. Harga kelulusan 10-9 cm/det 10-6 cm/det 7
c. Harga kelulusan 10-6 cm/det Tolak (kecuali ada teknologi)
2 Air Tanah 5
a. > 10 m dengan kelulusan < 10-6 cm/det 10
b. < 10 m dengan kelulusan < 10-6 cm/det 8
c. > 10 m dengan kelulusan < 10-6 cm/det - 10-4 cm/det 3
d. 10 m dengan kelulusan < 10-6 cm/det - 10-4 cm/det 1
3 Sistem Aliran Air Tanah 3
a. Discharge area/lokal 10
b. Recharge area dan discharge area lokal 5
c. Recharge area regional dan lokal 1
4 Kaitan Dengan Pemanfaatan Air Tanah 3
a. Kemungkinan pemanfaatan rendah dengan batas hidrolis 10
b. Diproyeksikan untuk dimanfaatkan dengan batas hidrolis 5
c. Diproyeksikan untuk dimanfaatkan tanpa batas hidrolis 1
5 Bahaya Banjir 2
a. Tidak ada bahaya banjir 10
b. Kemungkinan banjir > 25 tahunan 5
c. Kemungkinan banjir > 25 tahunan Tolak (kecuali ada
masukan teknologi)
6 Tanah Penutup 4
a. Tanah penutup cukup 10
b. Tanah penutup cukup sampai umur pakai 5
c. Tanah penutup tidak ada 1
7 Intensitas Hujan 3
a. Dibawah 500 mm per tahun 10
b. Antara 500 mm sampai 1000 mm per tahun 5
c. Diatas 1000 mm per tahun 1
8 Jalan Menuju Lokasi 5
a. Datar dengan kondisi baik 10
b. Datar dengan kondiai buruk 5
c. Naik/turun 1
9 Transport Sampah (satu jalan) 5
a. Kurang dari 15 menit dari centroid sampah 10
b. Antara 16 menit 30 menit dari centroid sampah 8
c. Antara 31 menit 60 menit dari centroid sampah 3
d. Lebih dari 60 menit dari centroid sampah 1
10 Jalan Masuk 4
a. Truk sampah tidak melalui daerah pemukiman 10
b. Truk sampah melalui daerah pemukiman berkepadatan 5
sedang (< 300 jiwa/ha)
c. Truk sampah melalui daerah pemukiman berkepadatan tinggi 1
( > 300 jiwa/ha)
11 Lalu Lintas 3
a. Terletak 500 m dari jalan umum 10
b. Terletak < 500 m pada lalu lintas rendah 8
c. Terletak < 500 m pada lalu lintas sedang 3
d. Terletak pada lalu lintas tinggi 1
12 Tata Guna Lahan 5
a. Mempunyai dampak sedikit terhadap tata guna tanah sekitar 10
b. Mempunyai dampak sedang terhadap tata guna tanah sekitar 5

Studi Literatur 2 - 19
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

NO PARAMETER BOBOT NILAI


c. Mempunyai dampak besar terhadap tata guna tanah sekitar 1
13 Pertanian 3
a. Berlokasi di lahan tidak produktif 10
b. Tidak ada dampak terhadap pertanian sekitar 5
c. Terdapat pengaruh negatif terhadap pertanian sekitar 1
d. Berlokasi di tanah pertanian produktif 1
14 Daerah Lindung/Cagar Alam 2
1. Tidak ada daerah lindung/cagar alam disekitarnya 10
2. Terdapat daerah lindung/cagar alam disekitarnya yang tidak 1
terkena dampak negatif
3. Terdapat daerah lindung/cagar alam disekitarnya terkena 1
dampak negatif
15 Biologis 3
a. Nilai habitat yang rendah 10
b. Nilai habitat yang tinggi 5
c. Habitat kritis 1
16 Kebisingan dan Bau 2
a. Terdapat zona penyangga 10
b. Terdapat zona penyangga yang terbatas 5
c. Tidak terdapat penyangga 1
17 Estetika 3
a. Operasi penimbunan tidak terlihat dari luar 10
b. Operasi penimbunan sedikit terlihat dari luar 5
c. Operasi penimbunan terlihat dari luar 1
Sumber : SNI 03-3241-1994

2.7.3.2 Metoda Le Grand


Penilaian lokasi berdasarkan metode Le Grand dilakukan dengan melalui beberapa
tahapan kegiatan yaitu :
1. Pengumpulan data sekunder meliputi :
Peta Topografi : Merupakan peta dasar yang berisi informasi administrasi, jalan,
sungai dan garis kontur elevasi, akan digunakan sebagai peta dasar untuk survei
dan analisa. Skala peta 1 : 25.000.
Peta Geologi : Merupakan peta dasar yang berisi penyebaran litologi dan struktur
geologi, akan digunakan sebagai peta dasar untuk survei kondisi litologi dan struktur
geologi yang ada di wilayah penelitian. Skala peta 1 : 250.000.
Peta Hidrogeologi : Merupakan peta dasar yang berisi sifat kelulusan air, sistem
akuifer, produktivitas akuifer, beberapa lokasi, mata air, danau, sumur bor. Peta
akan digunakan untuk membantu survei dan analisa hidrogeologi. Skala peta 1 :
250.000.
Data Iklim : Data curah hujan dan data angin diperlukan untuk membantu analisa
intensitas curah hujan dan arah angin.
Data Jenis tanah dan penyebarannya : berisi informasi tentang jenis tanah,
ketebalan serta sifat -sifat fisik kimiawi tanah.

Studi Literatur 2 - 20
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Data Geoteknik : berisi informasi daerah bahaya gerakan tanah, banjir, gempa serta
bahaya gunung api.
Data pustaka yang terkait dengan penelitian.
2. Tahap Survei Lapangan :
Survei Litologi : dilakukan pengamatan jenis litologi dan penyebaran litologi.
Survei Struktur Geologi : dilakukan pengamatan struktur geologi yang berkembang.
Survei jenis tanah, penyebaran tanah, ketebalan tanah serta peruntukan tanah.
Survei air tanah meliputi kedalaman muka air tanah dangkal, pengamatan mata air,
sungai, sistem penurapan air tanah, pemanfaatan airtanah sifat fisik air tanah di
lapangan.
Survei umum kondisi wilayah terkait bahaya gerakan tanah dan bahaya banjir.
3. Tahap Analisa
Analisa hasil data litologi dan struktur geologi akan dilakukan untuk mengetahui
jenis dan sifat batuan dasar serta penyebarannya yang diwujudkan dalam peta
geologi.
Analisa kemiringan lereng dilakukan untuk mengetahui derajat kemiringan lahan dan
diwujudkan dalam peta kemiringan lereng.
Analisa jenis, klasifikasi, sifat fisik kimiawi, ketebalan, permeabilitas, serta
penyebaran tanah.
Analisa penyebaran muka air tanah dangkal, arah aliran, landaian hidrolika dan
lokasi-lokasi sumber mata air. e. Analisa wilayah discharge dan recharge.
Analisa wilayah rawan gerakan tanah dan banjir dilakukan dengan berdasarkan data
sekunder dan pengamatan kondisi lahan di lapangan.
Analisa intensitas hujan dengan metode Poligon Thiesen dan arah angin.
Analisa kondisi lahan dengan metode Le Grand.

Metode "numerical rating" menurut Le Grand yang telah dimodifikasi oleh Knight, telah
digunakan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, guna evaluasi pendahuluan dari lokasi
pembuangan limbah di Indonesia. Parameter utama yang digunakan dalam analisis ini
adalah:
Jarak antara lokasi (sumber pencemaran) dengan sumber air minum
Kedalaman muka air tanah terhadap dasar lahan-urug
Kemiringan hidrolis air tanah dan arah alirannya dalam hubungan dengan pusat sumber
air minum atau aliran air sungai
Permeabilitas tanah dan batuan
Sifat-sifat tanah dan batuan dalam meredam pencemaran

Studi Literatur 2 - 21
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Jenis limbah yang akan diurug di sarana tersebut

Metode Le Grand ini terdiri dari 4 tahap, yaitu:


Tahap 1: Deskripsi hidrogeologis lokasi (Langkah ke 1 sampai ke 7),
Tahap 2: Derajat keseriusan masalah (Langkah ke 8),
Tahap 3: Gabungan tahap 1 dan tahap 2 (Langkah ke 9),
Tahap 4: Penilaian setelah perbaikan (Langkah ke 10).

Langkah 1 Jarak sumber pencemar ke titik pemanfaatan sumber air

Langkah 2 Kedalaman muka air tanah dari dasar sumber pencemar

Langkah 3 Gradien muka air tanah dari sumber pencemaran

Langkah 4 Kemampuan sorpsi dan permeabilitas

Langkah 5 Tingkat keakuratan/ketelitian data


Kepercayaan terhadap nilai parameter:
A = Akurat

Studi Literatur 2 - 22
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

B = Cukup
C = Tidak Akurat

Langkah 6
Parameter 6.1: Sumber air sekitar lokasi
W = jika yang akan tercemar adalah sumur (well)
S = jika yang akan tercemar adalah mata air (spring) atau sungai (stream)
B = jika yang akan tercemar adalah daerah lain (boundary)
Parameter 6.2: Informasi tambahan tentang calon lokasi
C : memerlukan kondisi khusus yang memerlukan komentar
D : terdapat kerucut depresi pemompaan
E : pengukuran jarak titik tercemar dilakukan dari pinggir calon lokasi
F : lokasi berada pada daerah banjir
K : batuan dasar calon lokasi adalah karst
M : terdapat tampungan air di bawah timbunan sampah
P : lokasi mempunyai angka perkolasi yang tinggi
Q : akuifer dibawah calon lokasi adalah penting dan sensitif
R : pola aliaran air tanah radial sampai sub radial
T : muka air tanah berada pada celah/retakan/rongga batuan dasar
Y : terdapat satu atau lebih akuifer tertekan

Langkah 7 Rekapitulasi deskriptif hidrogeologi


Langkah ini merupakan rekapitulasi nilai deskriptif hidrogeologi dari sebelumnya. Nilai yang
dijumlahkan adalah nilai-nilai pada langkah 1-5, sedangkan merupakan keterangan
tambahan. Setelah nilai diperoleh, nilai tersebut kemudian dengan standar kondisi
hidrogeologi seperti tercantum dalam sebagai berikut.

Tabel 2. 7. Rekapitulasi Nilai Deskriptif Hidrogeologi

Studi Literatur 2 - 23
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Langkah 8 Derajat kepekaan akuifer dan jenis limbah

Gambar 2. 5. Derajat Kepekaan Akuifer Dan Jenis Limbah

Tahap ini menggambarkan derajat keseriusan yang disajikan dalam bentuk matrik yang
menggabungkan kepekaan akuifer dengan tingkat bahaya limbah yang akan
diurug/ditimbun. Jenis akuifer dipilih pada ordinat sumbu-Y, yaitu mulai dari liat berpasir
yang dianggap tidak sensitif sampai batu kapur yang dianggap sangat sensitif. Sedangkan
tingkat keseriusan pencemar, yang dipilih pada absis sumbu-X, akan tergantung pada jenis
limbah yang masuk, mulai dari limbah inert yang tidak berbahaya sampai limbah B3.

Titik pertemuan garis yang ditarik dari sumbu-X dan sumbu-Y tersebut menggambarkan
derajat keseriusan pencemaran, mulai dari relatif rendah (A) sampai sangat tinggi (I).
Derajat keseriusan tersebut terbagi ke dalam 9 katagori.

Langkah 9
Tahap ini merupakan penggabungan langkah 1 sampai 4 dengan langkah 8. Posisi grafis
langkah 9 yang dapat dilihat digunakan kembali. Dari posisi lokasi tersebut dapat diketahui
peringkat situasi standar yang dibutuhkan agar akuifer tidak tercemar. Peringkat ini
dinyatakan dalam PAR (Protection of Aquifer Rating). Hasil pengurangan PAR dari deskripsi
numerik lokasi, digunakan untuk menentukan tingkat kemungkinan pencemaran yang
akan terjadi. Nilai-nilai PAR dalam zona-zona isometrik diperoleh berdasarkan pengalaman
empiris yang menyatakan nilai permeabilitas serta sorpsi yang tidak boleh terlampaui agar
akuifer tidak tercemar.

Studi Literatur 2 - 24
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Tabel 2. 8. Situasi Peringkat Penilaian

Untuk memberikan gambaran terkait langkah 9 ini, berikut adalah contohnya:


Batas lokasi landfill secara horizontal akan berjarak 20 m dari sumur penduduk
Kedalaman muka air tanah dari data bor adalah 14 m
Gradien kemiringan 1.5% searah aliran air yang menuju sumur
Dari analisa ayakan, campuran lempung dan pasir = 40% dan merupakan tanah
impermeable dengan ketebalan 10-12 m
Tingkat keakuratan data baik

Dari data diatas, bila dilihat dari prosedur langkah 1 sampai 4, maka akan diperoleh nilai
berturut-turut 7-3-3-2, sedangkan dari langkah 9 diperoleh PAR = 14-4. Dari nilai-nilai
tersebut, maka penggabungannya adalah :

Dari penggabungan diatas, diperoleh nilai -1. Berdasarkan tabel situasi peringkat penilaian,
diperoleh kesimpulan bahwa untuk contoh kasus diatas, peringkat nilai yang diperoleh
adalah C (kemungkinan pencemaran sulit dikategorikan).

Langkah 10
Langkah ini digunakan bila pada lokasi tersebut dilakukan masukan teknologi untuk
mengurangi dampak pencemaran yang mungkin terjadi, sehingga diharapkan terjadi
pergeseran nilai PAR. Perubahan dilakukan dengan memperbaiki kondisi pada langkah 8,
sehingga PAR di langkah 9 juga akan berubah. Masukan teknologi yang mungkin
diterapkan pada lokasi ini untuk mengurangi potensi bahaya pencemaran antara lain :
- Mendesain saluran drainase di sekitar lokasi dengan baik dimana air hujan yang akan
- masuk ke area landfill dapat terminimalisasi.
- Pembuatan lapisan dasar (liner) yang dapat dilakukan dengan beberapa lapisan
pelindung
- seperti geomembran dengan tujuan agar lindi yang timbul tidak merembes ke dalam
ailiran air tanah

Studi Literatur 2 - 25
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

- Mendesain pipa lindi yang memungkinkan air lindi dapat terkumpul, serta adanya
instalasi pengolahan air lindi sebelum dibuang ke badan air penerima.

2.7.4 Rencana Tapak


Untuk lahan urug saniter dan lahan urug terkendali, harus diperhatikan beberapa hal :
a. Pemanfaatan lahan dibuat seoptimal mungkin sehingga tidak ada sisa lahan yang
tidak dimanfaatkan.
b. Lokasi TPA harus terlindung dari jalan umum yang melintas TPA.
c. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan pagar hidup di sekeliling TPA,
sekaligus dapat berfungsi sebagai zona penyangga.
d. Penempatan kolam pengolahan lindi dibuat sedemikian rupa sehingga lindi
sedapat mungkin mengalir secara gravitasi.
e. Penempatan jalan operasi harus disesuaikan dengan sel/blok penimbunan,
sehingga semua tumpukan sampah dapat dijangkau dengan mudah oleh truk dan
alat besar.

2.7.5 Prasarana dan Sarana


Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 03 Tahun 2013 tentang
penyelenggaraan prasarana dan sarana persampahan dalam penanganan sampah rumah
tangga dan sampah sejenis rumah tangga, terdiri dari:
a. Fasilitas umum (jalan akses, jalan operasi, bangunan penunjang, drainase, pagar
dan papan nama)
b. Fasilitas perlindungan lingkungan (lapisan dasar TPA, Pengumpulan dan
Pengolahan Lindi, Penanganan Gas, Penutupan Tanah, zona penyangga dan sumur
uji)
c. Fasilitas penunjang (jembatan timbang dan fasilitas air bersih)
d. Fasilitas operasional (alat berat)

Kriteria Desain Prasarana dan Sarana


A. Fasilitas Umum
Jalan masuk TPA harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
(1) Dapat dilalui kendaraan truk sampah dari 2 arah
(2) Lebar jalan minimal 8 m, kemiringan permukaan jalan 2-3% kea rah saluran
drainase, mampu menahan beban perlintasan dengan tekanan gandar 10
ton dan kecepatan kendaraan 30 Km/jam (sesuai dengan ketentuan Ditjen
Bina Marga)
Jalan Operasi

Studi Literatur 2 - 26
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Jalan operasi yang dibutuhkan dalam pengoperasian TPA terdiri dari 2 jenis,
yaitu:
(1) Jalan operasi penimbunan sampah, jenis jalan bersifat temporer, setiap
saat dapat ditimbun dengan sampah
(2) Jalan operasi mengelilingi TPA, jenis jalan bersifat permanen dapat
berupa jalan beton, aspal atau perkerasan jalan sesuai dengan beban
dana kondisi tanah.
(3) Jalan penghubung antar fasilitas, yaitu kantor/pos jaga, bengkel, tempat
parkir, tempat cuci kendaraan. Jenis jalan bersifat permanen.
Bangunan Penunjang
Bangunan penunjang ini adalah sebagai pusat pengendalian kegiatan di TPA
baik teknis maupun administrasi dengan ketentuan sebagai berikut :
Luas bangunan kantor tergantung pada lahan yang tersedia dengan
mempertimbangkan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain
administrasi operasional TPA, tampilan rencana tapak, tempat cuci kendaraan,
kamar madi/wc, gudang, bengkel dan lat pemadam kebakaran.
Drainase
Drainase TPA berfungsi untuk mengurangi volume air hujan yang jatuh pada
area timbunan sampah. Ketentuan teknis drainase TPA sebagai berikut:
(1) Jenis drainase dapat berupa drainase permanen (disisi jalan utama,
disekeliling timbunan, daerah sekitar kantor, gudang, bengkel, tempat
cuci) dan drainase sementara (dibuat secara lokal pada zona yang akan
dioperasikan)
(2) Kapasitas saluran dihitung dengan persamaan Manning

Studi Literatur 2 - 27
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Pagar
Pagar berfungsi untuk menjaga keamanan TPA, dapat berupa pagar tanaman
sehingga sekaligus dapat juga berfungsi sebagai daerah penyangga minimal
setebal 5 m dan dapat pula dilengkapi dengan pagar kawat atau lainnya.
Papan Nama
Papan nama berisi nama TPA, pengelola, jenis sampah dan waktu kerja di
depan pintu masuk TPA.

B. Fasilitas Perlindungan Lingkungan


1. Pembentukan dasar TPA
Lapisan dasar TPA harus kedap air sehingga lindi terhambat meresap kedalam tanah
dan tidak mencemari air tanah. Koefisien permeabilitas lapisan dasar TPA harus lebih
kecil dari 10-6 cm/dtk.

Pelapisan dasar kedap air dapat dilakukan dengan cara melapisi dasar TPA dengan
tanah lempung yang dipadatkan (30 cm x 2) atau geomembranen setebal 1.5-2 mm
tergantung pada kondisi tanah. Dasar TPA harus dilengkapi dengan saluran pipa
pengumpul lindi dengan kemiringan minimal 2% kearah saluran pengumpul maupun
penampung lindi.

Pembentukan dasar TPA harus dilakukan bertahap sesuai dengan urutan zona/blok
dengan urutan pertama sedekat mungkin dengan kolam pengolahan lindi. Gambaran
lapisan dasar TPA dapat dilihat pada gambar berikut di bawah ini.

Gambar 2. 6. Pelapis Dasar (Liner) TPA Dengan Geosintetis dan Tanah Lempung

Studi Literatur 2 - 28
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Gambar 2. 7. Pelapis Dasar TPA Dengan Geosintetis

Gambar 2. 8. Sistem Lapisan Dasar Sel

2. Pengumpul dan Pengolahan Lindi


Penyaluran Lindi
Saluran pengumpul lindi terdiri dari saluran pengumpul sekunder dan primer.
a. Kriteria saluran pengumpul sekunder
Dipasang memanjang ditengah blok/zona penimbunan
Saluran pengumpul tersebut menerima aliran dari dasar lahan dengan
kemiringan minimal 2%
Saluran pengumpul terdiri rangkain pipa HDPE
Dasar saluran dapat dilapisi dengan liner (lapisan kedap air)
b. Kriteria saluran pengumpul primer
Menggunankan pipa HDPE berlubang (untuk pipa bak pengumpul lindi tidak
berlubang), saluran primer dapat dihubungkan dengan hilir saluran sekunder oleh
bak control yang berfungsi sebagai ventilasi yang dikombinasikan dengan
pengumpul gas vertikal.

Studi Literatur 2 - 29
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

c. Syarat pengaliran Lindi


Gravitasi
Kecepatan pengaliran 0.6-3 m/dtk
Kedalaman air di dalam saluran/pipa (d/D) maksimal 80% dimana tinggi air dan
D = diameter pipa minimum 30 cm.

Gambar 2. 9. Alternatif Pola Pipa Pengumpul Lindi

Perhitungan desain debit lindi adalah menggunakan model atau dengan perhitungan yang
didasarkan pada asumsi sebagai berikut :
Hujan terpusat pada 4 jam sebanyak 90% (Van Breen) sehingga factor puncak =
5.4. Maksimum hujan yang jatuh 20-30% diantaranya menjadi lindi
Dalam 1 bulan maksimum terjadi 20 hari hujan
Data presipitasi diambil berdasarkan data harian atau tahunan maksimum dalam 5
tahun terakhir
3. Pengolahan Lindi
Beberapa pilihan alternatif teknologi yang dapat diterapkan di Indonesia sesuai
dengan Peraturan Menteri PU Nomor 03 Tahun 2013 adalah :
Kolam Anaerobik, Fakultatif, Maturasi dan Biofilter (alternatif 1)
Kolam Anaerobik, Fakultatif, Maturasi dan Land Treatmen/Wetland (alternatif
2)
ABR dengan Aerated Lagoon (alternatif 3)
Koagulasi-Flokulasi, Sedimentasi, Kolam Anaerobik atau ABR (alternatif 4)
Koagulasi-Flokulasi, Sedimentasi I, Aerated Lagoon, Sedimentasi II (alternatif
5)

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Studi Literatur 2 - 30
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Alternatif 1

Sumber : Permen PU No 03 Tahun 2013

Alternatif 2

Sumber : Permen PU No 03 Tahun 2013

Studi Literatur 2 - 31
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Alternatif 3

Sumber : Permen PU No 03 Tahun 2013

Alternatif 4

Sumber : Permen PU No 03 Tahun 2013

Studi Literatur 2 - 32
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Alternatif 5

Sumber : Permen PU No 03 Tahun 2013

Gambar 2. 10. Desain pemasangan pipa drainase lindi dan gas vertikal

Konstruksi sistem
Pipa drainase lindi
pengumpulan lindi

Studi Literatur 2 - 33
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Sistem pengumpul lindi Pengolahan lindi


Gambar 2. 11. Konstruksi underdrain pengumpul lindi

4. Penanganan Gas
Gas yang ditimbulkan dari proses degradasi di TPA harus dikontrol di tempat agar
tidak mengganggu kesehatan pegawai, orang yang menggunakan fasilitas TPA,
serta penduduk sekitarnya.
Gas hasil biodegradasi tersebut dicegah mengalir secara literal dari lokasi
pengurugan menuju daerah sekitarnya.
Setiap 1 tahun sekali dilakukan pengambilan sampel gas-bio pada 2 titik yang
berbeda, dan dianalisa terhadap kandungan CO2 dabn CH4.
Pada sistem sanitary landfill, gasbio harus dialirkan ke udara terbuka melalui
ventilasi sistem penangkap gas, sedemikian sehingga tidak berakumulasi yang
dapat menimbulkan ledakan atau bahaya toksik lainnya.
Pemasangan penangkap gas sebaiknya dimulai dari saat lahan-urug tersebut
dioperasikan, dengan demikian metode penangkapannya dapat disesuaikan
antara dua cara tersebut.
Metode untuk membatasi dan menangkap pergerakan gas adalah :
- Menempatkan materi impermeabel pada atau di luar perbatasan landfill
untuk menghalangi aliran gas
- Menempatkan materi granular pada atau di luar perbatasan landfill
(perimeter) untuk penyaluran dan atau pengumpulan gas
- Pembuatan sistem ventilasi penagkap gas di dalam lokasi ex-TPA.
Sistem penangkap gas dapat berupa :
- Ventilasi horizontal :yang bertujuan untuk menangkap aliran gas dalam dari
satu sel atau lapisan sampah
- Vantilasi vertikal :merupakan ventilasi yang mengarahkan dan mengalirkan
gas yang terbentuk ke atas
- Ventilasi akhir :merupakan ventilasi yang dibangun pada saat timbunan
akhir sudah terbentuk, yang dapat dihubungkan pada pembakar gas (gas-

Studi Literatur 2 - 34
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

flare) atau dihubungkan dengan sarana pengumpul gas untuk


dimanfaatkan lebih lanjut. Perlu difahami bahwa potensi gas pada ex-TPA
ini sudah mengecil sehingga mungkin tidak mampu untuk digunakan dalam
operasi rutin.
Timbulan gas harus dimonitor dan dikontrol sesuai dengan perkiraan umurnya.
Beberapa kriteria desain perpipaan vertikal pipa biogas :
- Pipa gas dengan casing PVC atau PE : 100 - 150 mm
- Lubang bor berisi kerikil : 50 - 100 cm
- Perforasi : 8 - 12 mm
- Kedalaman : 80 %
- Jarak atara ventilasi vertikal : 25 50 m.

Penangkap gas pada lahan urug Pipa gas pada lahan urug

Gas flare pada lahan urug Pembangkit listrik gasbio


Gambar 2. 12. Sistem Penanganan Gas

5. Penutupan Tanah
a). Periode penutupan tanah harus disesuaikan dengan metode pembuangannya,
untuk lahan urug saniter penutupan tanah dilakukan setiap hari
b). Tahapan penutupan tanah terdiri dari penutup tanah harian (15-20 cm),
penutup antara (30-40 cm) dan penutup tanah akhir (50-100 cm)
c). Kemiringan tanah penutup harian harus cukup untuk dapat mengalirkan air
hujan keluar dari lapisan penutup
d). Kemiringan tanah penutup akhir hendaknya mempunyai grading dengan
kemiringan tidak lebih dari 30 derajat untuk menghindari terjadinya erosi

Studi Literatur 2 - 35
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Gambar 2. 13. Sistem Penutup Tanah Pada Controlled Landfill dan Sanitary Landfill

Gambar 2. 14. Penutupan Tanah

6. Daerah Penyangga
Daerah penyangga dapat berfungsi untuk mengurangi dampak negative yang
ditimbulkan oleh kegiatan TPA terhadap lingkungan sekitarnya. Daerah penyangga ini
dapat berupa jalur hijau atau pagar tanaman disekeliling TPA, dengan ketentuan
sebagai berikut:
Jenis tanaman adalah tanaman tinggi dikombinasi dengan tanaman perdu yang
mudah tumbuh dan rimbun
Kerapatan pohon adalah 2-5 m untuk tanaman keras
Lebar jalur hijau minimal

7. Sumur Uji
Sumur uji ini berfungsi untuk memantau kemungkinan terjadinya pencemaran lindi
terhadap air tanah di sekitar TPA dengan ketentuan sebagai berikut :
Lokasi sumur uji terletak pada beberapa tempat, yaitu sebelum lokasi penimbunan
sampah, dilokasi sekitar penimbunan dan pada lokasi penimbunan
Penempatan lokasi tidak harus pada daerah yang akan tertimbun sampah dank e
arah hilir aliran air tanah
Kedalaman sumur 20-25 m dengan luas 1 m2

Studi Literatur 2 - 36
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

C. Fasilitas Penunjang
Fasilitas penunjang yang dibutuhkan TPA adalah sebagai berikut:
a. Jembatan Timbang berfungsi untuk menghitung berat sampah yang masuk ke TPA
dengan ketentuan sebagai berikut :
Jembatan timbang diwajibkan untuk kota atau kabupaten dengan timbulan sampah
minimal 5 ton/hari
Lokasi jembatan timbang harus dekat dengan kantor/pos jaga dan terletak pada
jalan masuk TPA
Jembatan timbang harus dapat menahan beban minimal 5 ton
b. Fasilitas air bersih digunakan terutama untuk kebutuhan kantor, pencucian kendaraan
atau alat berat yang rusak maupun fasilitas TPA lainnya. Penyedian air bersih dapat
dilakukan dengan sumur bor atau pompa
c. Bengkel atau Hanggar berfungsi untuk menyimpan dan atau memperbaiki alat berat
yang rusak. Luas bangunan yang direncanakan harus dapat menampung minimal 3
kendaraan

D. Fasilitas Operasional
Alat berat yang digunakan di tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah sangat berhubungan
dengan pola pengelolaan sampah yang diterapkan di suatu wilayah. Review terhadap
spesifikasi alat berat pada pemrosesan akhir (TPA) sampah dilakukan untuk mengetahui
jenis-jenis alat berat, spesifikasi termasuk efektivitas pemanfaatannya serta umur pakai
masing-masing alat. Kebutuhan alat berat untuk sebuah TPA akan bervariasi sesuai
dengan perhitungan desain dari sarana landfill, alat berat yang digunakan untuk operasi
pengurugan sampah hendaknya selalu siap untuk dioperasikan setiap hari. Katalog dan
tata-cara pemeliharaan harus tersedia di lapangan dan diketahui secara baik oleh petugas
yang diberi tugas. Alat-Alat berat yang harus tersedia di TPA antara lain
Loader atau bulldozer (120300 HP) atau landfill compactor (200400 HP)
berfungsi untuk mendorong, menyebarkan, menggilas/memadatkan lapisan
sampah. Gunakan blade sesuai spesifikasi pabrik guna memenuhi kebutuhan
kapasitas aktivitas
Excavator untuk penggalian dan peletakan tanah penutup ataupun memindahkan
sampah dengan spesifikasi yang disyaratkan dengan bucket 0,5 - 1,5 m3.
Dump truck untuk mengangkut tanah penutup (bila diperlukan) dengan volume 8
12 m3.

Studi Literatur 2 - 37
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Faktor - Faktor dalam Pemilihan Alat Berat


Pemilihan jenis dan jumlah alat berat yang akan dipergunakan di TPA harus
memperhatikan faktor-faktor berikut ini:
1. Besarnya volume dan type dari sampah yang akan ditangani per hari
2. Besarnya volume dan type dari tanah urugan yang akan ditangani
3. Jarak tempuh untuk pengambilan atau pengangkutan tanah urugan
4. Kondisi cuaca
5. Ukuran pemadatan sampah yang diinginkan
6. Metode tempat Pengelolaan Pemadatan sampah yang digunakan
7. Pekerjaanpekerjaan tambahan yang akan dilakukan (bila ada)
8. Pembiayaan
9. Rencana pengembangan selanjutnya dari proyek pengelolaan persampahan ini.

Gambar 2. 15. Contoh Alat Berat di TPA

2.8 Konsep Pengurangan Sampah (3R)


Bagian ini menjelaskan konsep pengurangan sampah yang bertumpu pada pengurangan
(minimasi) sejak sebelum sampah itu terbentuk. Menurut UU Nomor 18 Tahun 2008
tentang pengelolaan sampah, terdapat 2 (dua) kelompok utama pengelolaan sampah
yaitu:
a. Pengurangan sampah (waste minimization), yang terdiri dari pembatasan terjadinya
sampah R1), guna-ulang (R2) dan daur-ulang (R3)
b. Penanganan sampah (waste handling), yang terdiri dari:

Studi Literatur 2 - 38
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

- Pemilahan, dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan


jenis, jumlah,dan/atau sifat sampah
- Pengumpulan, dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber
sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah
terpadu
- Pengangkutan, dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari
tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah
terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir
- Pengolahan, dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah
- Pemrosesan akhir sampah, dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu
hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman

UU Nomor 18 Tahun 2008 ini menekankan bahwa prioritas utama yang harus dilakukan
oleh semua fihak adalah bagaimana agar mengurangi sampah semaksimal mungkin.
Bagian sampah atau residu dari kegiatan pengurangan sampah yang masih tersisa
selanjutnya dilakukan pengolahan (treatment) maupun pengurugan (landfilling).
Pengurangan sampah melalui 3R menurut UU-18/2008 meliputi:
a. Pembatasan (reduce): mengupayakan agar limbah yang dihasilkan sesedikit
mungkin
b. Guna-ulang (reuse): bila limbah akhirnya terbentuk, maka upayakan
memanfaatkan limbah tersebut secara langsung
c. Daur-ulang (recycle): residu atau limbah yang tersisa atau tidak dapat
dimanfaatkan secara langsung, kemudian diproses atau diolah untuk dapat
dimanfaatkan, baik sebagai bahan baku maupun sebagai sumber enersi

Ketiga pendekatan tersebut merupakan dasar utama dalam pengelolaan sampah, yang
mempunyai sasaran utama minimasi limbah yang harus dikelola dengan berbagai upaya
agar limbah yang akan dilepas ke lingkungan, baik melaui tahapan pengolahan maupun
melalui tahan pengurugan terlebih dahulu, akan menjadi sesedikit mungkin dan dengan
tingkat bahaya sesedikit mungkin. Gagasan yang lebih radikal adalah melalui konsep
kegiatan tanpa limbah (zero waste). Secara teoritis, gagasan ini dapat dilakukan, tetapi
secara praktis sampai saat ini belum pernah dapat direalisir. Oleh karenanya, gagasan ini
lebih ditonjolkan sebagi semangat dalam pengendalian pencemaran limbah, yaitu agar
semua kegiatan manusia handaknya berupaya untuk meminimalkan terbentuknya limbah
atau meminimalkan tingkat bahaya dari limbah, bahkan kalau muingkin meniadakan.

Studi Literatur 2 - 39
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Konsep pembatasan (reduce) jumlah sampah yang akan terbentuk dapat dilakukan antara
lain melalui:
- Efisiensi penggunaan sumber daya alam
- Rancangan produk yang mengarah pada penggunaan bahan atau proses yang lebih
sedikit menghasilkan sampah, dan sampahnya mudah untuk diguna-ulang dan didaur-
ulang
- Menggunakan bahan yang berasal dari hasil daur-ulang limbah
- Mengurangi penggunaan bahan berbahaya
- Menggunakan eco-labeling

Konsep guna-ulang (reuse) mengandung pengertian bukan saja mengupayakan


penggunaan residu atau sampah terbentuk secara langsung, tetapi juga upaya yang
sebetulnya biasa diterapkan sehari-hari di Indonesia, yaitu memperbaiki barang ynag rusak
agar dapat dimanfaatkan kembali. Bagi prosdusen, memproduksi produk yang mempunyai
masa-layan panjang sangat diharapkan. Konsep daur-ulang (recycle) mengandung
pengertian pemanfaatan semaksimal mungkin residu melalui proses, baik sebagai bahan
baku untuk produk sejenis seperti asalnya, atau sebagai bahan baku untuk produk yang
berbeda, atau memanfaatkan enersi yang dihasilkan dari proses recycling tersebut.
Beberapa hal yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 terkait dengan upaya minimasi
(pembatasan) timbulan sampah adalah :
a. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan kegiatan
- menetapkan target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu
tertentu
- memfasilitasi penerapan teknologi yang ramah lingkungan
- memfasilitasi penerapan label produk yang ramah lingkungan
- memfasilitasi kegiatan mengguna ulang dan mendaur ulang
- memfasilitasi pemasaran produk-produk daur ulang.
b. Pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan menggunakan bahan produksi yang
menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang,
dan/atau mudah diurai oleh proses alam.
c. Masyarakat dalam melakukan kegiatan pengurangan sampah menggunakan bahan
yang dapat diguna ulang, didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam
d. Pemerintah memberikan:
insentif kepada setiap orang yang melakukan pengurangan sampah
disinsentif kepada setiap orang yang tidak melakukan pengurangan sampah

Studi Literatur 2 - 40
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Ketentuan tersebut di atas masih perlu diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan
Pemerintah agar dapat dilaksanakan secara baik dan tepat sasaran. Stakeholders utama
dalam pengelolaan sampah yang berbasis 3R dibagi dalam 5 kelompok, yang masing-
masing mempunyai peran utama dalam membatasi sampah yang akan dihasilkan, yaitu:
a. Masyarakat penghasil sampah
- Memahami dampak akibat sampah yang dihasilkan
- Mempertimbangkan ulang pola hidupnya
- Memilih barang dan pelayanan yang berwawasan lingkungan
- Berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sampah, misalnya pemilahan sampah
- Berpartsipasi dalam pengembangan pengelolaan sampah berbasis 3R
b. LSM
Mempromosikan kegiatan-kegiatan positif 3R dalam level masyarakat
Mempromosikan peningkatan kesadaran
Menyiapkan-melakukan training dan sosialisasi
Memantau upaya-upaya yang dilakukan oleh kegiatan bisnis dan pemerintah
Memberikan masukan kebijakan yang sesuai
c. Pihak Swasta
Menyiapkan barang dan jasa yang berwawasan lingkungan
Melaksanakan kegiatan take-back, guna-ulang dan daur-ulang terhadap produk
bekas-nya
Mengelola limbah secara berwawasan lingkungan
Mengembangkan sistem pengelolaan lingkungan
Memberi informasi yang jujur kepada konsumen melalui label dan laporan
d. Pemerintah Daerah
Memastikan diterapkannya peraturan dan panduan
Menyiapkan rencana tindak
Mendorong green purchasing, dan peningkatan pemahaman masyarakat
Menjamin masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
Bertindak sebagai fasilitator dalam kegiatan 3R dan pihak bisnis
Bertindak sebagai koordinator lokal dalam pengembangan masyarakat
berwawasan daur-bahan
Menyedian ruang dan kesempatan untuk saling bertukar barang-bekas dan
informasi antar stakeholders
Promosi kerjasama internasional
e. Pemerintah Pusat
Mengembangkan sistem, termasuk aspek legal yang dibutuhkan

Studi Literatur 2 - 41
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Memberikan subsidi dan pengaturan pajak untuk fasilitas, penelitian dan


pengembangan untuk membangun masyarakat yang berwawasan daur-bahan
Memberikan dorongan dan infoirmasi bagi warga dan LSM yang akan
melaksanakan kegiatan secara sukarela
Menyiapakan dasar yang dibutuhkan bagi kegiatan seluruh stakeholders
Mempromosikan kerjasama dan dialog internasional terkait dengan kegiatan 3R

2.9 Teknologi Pengolahan Sampah


Terdapat beberapa teknologi pengolahan yang dapat diterapkan. Berdasarkan SNI 19-
2454-2002 tentang Tata cara teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan, teknik
pengolahan sampah, terdapat beberapa teknik pengolahan sampah, antara lain:
1. Pengomposan
a. Berdasarkan kapasitas (individual, komunal, skala lingkungan)
b. Berdasarkan proses (alami, biologis dengan cacing, biologis dengan mikro
organism tambahan)
2. Insinerasi yang berwawasan lingkungan
3. Daur ulang
a. Sampah anorganik disesuaikan dengan jenis sampah
b. Menggunakan kembali sampah organik sebagai makanan ternak
4. Pengurangan volume sampah dengan pencacahan atau pemadatan
5. Biogasifikasi (pemanfataan energi hasil pengolahan sampah)
Damanhuri & Tri Padmi (2010) menyebutkan kelebihan dan kelemahan beberapa
tekonologi pengolahan sampah, seperti yang tertera pada tabel sebagai berikut.

Tabel 2. 9. Kelebihan dan Kelemahan Alternatif Sistem Pengolahan Sampah

Jenis Pengolahan Kelebihan Kelemahan Keterangan


Composting - Proses - Memerlukan - Harga kompos
(pengomposan) pengomposan peralatan lebih yang dihasilkan
High rate (modern) lebih cepat banyak dan lebih mahal
- Volume sampah kompleks daripada pupuk
yang terbuang - Biaya investasi kimia
kurang mahal - Biaya operasi lebih
Windrow Composting - Tidak memerlukan - Biaya perawatan tinggi dari harga
(sederhana) banyak peralatan yang baik dan jual
- Sesuai untuk kontinu
sampah yang - Proses
banyak pengomposan lebih
mengandung lama
unsure organik - Memerlukan
- Volume sampah tenaga lebih banya
yang terbuang

Studi Literatur 2 - 42
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Jenis Pengolahan Kelebihan Kelemahan Keterangan


kurang
- Biaya investasi
lebih murah
Pemadatan - Volume sampah - Biaya investasi, - Dianjurkan bila
yang terbuang operasi dan jarak pemrosesan
dapat dikurangi pemeliharaan ke akhir lebih dari
- Praktis/efisien relative mahal 25 Km
dalam
pengangkutan ke
TPA
Insinerasi - Untuk kapasitas - Biaya investasi dan Ada 2 (dua) tipe :
(pembakaran) besar hasil operasi mahal - Sistem
sampingan dari - Dapat pembakaran
pembakaran dapat menimbulkan berkesinambungan
dimanfaatkan polusi udara untuk kapasitas
antara lain untuk besar (>100
pembangkit ton/hari)
tenaga listrik - Sistem
- Volume sampah pembakaran
menjadi sangat terputus untuk
berkurang kapasitas kecil
- hygienis (<100 ton/hari)
Recycling (daur - Pemanfaatan - Tidak semua jenis - Dianjurkan
ulang) kembali bahan- sampah bisa pemisahan mulai
bahan (anorganik) didaur ulang dari sumber
yang sudah - Memerlukan sampahnya
terpakai peralatan yang
- Merupakan relative mahal bila
lapangan kerja dilaksanakan
bagi pemulung secara mekanis
sampah (informal) - Kurang sehat bagi
- Volume sampah pemulung sampah
yang terbuang (informal)
berkurang,
menghemat lahan
pembuangan akhir
Sumber : Damanhuri dan Tri Padmi, 2010

2.9.1 Pemilahan
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meminimalkan timbulan sampah di TPA
adalah pemilahan sampah sejak di sumber. Seiring perkembangan jaman, proses
pemilahan sampah tidak lagi dilakukan secara manual, tetapi menggunakan mesin atau
dilakukan secara mekanik. Pada perkembangannya, pemilahan sampah secara mekanis
dilakukan secara terintegrasi dalam suatu unit pemilahan mekanis. Tidak jarang,
pengolahan secara mekanis tersebut berlanjut dengan pengolahan biologis. Integrasi

Studi Literatur 2 - 43
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

pengolahan mekanis dan biologis ini dikenal dengan teknologi Mechanical Biological
Treatment (MBT).

Mechanical Biological Treatment (MBT)


MBT merupakan integrasi dari proses pengolahan biologis dan mekanis. Berikut disajikan
skema pengolahan mekanis, skema pengolahan biologis dan integrasi dari kedua
pengolahan tersebut.

Gambar 2. 16. Skema Pengolahan Mekanis Dengan MBT

Gambar 2. 17. Skema Pengolahan Biologis Dengan MBT

Studi Literatur 2 - 44
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Gambar 2. 18. Skema Integrasi Pengolahan Mekanis dan Biologis Dalam MBT

Prinsip kerja dari MBT adalah pemilahan material dengan beberapa tujuan, yaitu:
Memisahkan material untuk recovery energi
Memisahkan material untuk recovery material
Memisahkan material untuk mempermudah proses pengolahan biologis

Setelah mengalami pemisahan, material-material tersebut akan mengalami dua proses


dasar pengolahan yaitu stabilisasi dan pengeringan sampah untuk recovery energi dan
pengolahan sampah untuk mengurangi emisi yang akan ditimbulkan landfill. MBT
menerapkan system pengolahan yang berbeda untuk setiap tipe material sampah. Sampah
dengan kandungan air yang tinggi akan mengalami proses pengolahan biologis dengan
tahapan aerated windrow heap composting. Sedangkan pada tahap mekanik, tipe material
ini akan melalui proses shredder, sieving drum, magnetic separator, dan sorting. Material
dengan kandungan air yang rendah akan mengalami tahap mekanis terlebih dahulu
sebelum menjalani proses pengolahan secara biologis. Proses mekanis yang dilalui berupa
sieving drum, magnetic separator, sorting cabin. Sedangkan proses biologisnya tetap
menggunakan aerated windrow heap composting.

Studi Literatur 2 - 45
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Tahap Pengolahan Mekanis Dalam MBT Tahap Aerated Heaps Pada MBT

Sebagai teknologi pra-treatment sampah, MBT menawarkan beberapa keuntungan, antara


lain sebagai berikut.
1. Menurunkan besar timbulan sampah lebih dari 50%
2. Meningkatkan usia pakai landfill hingga 3-4 kali
3. Menurunkan aktivitas biolgis hingga lebih dari 90%
4. Mengurangi potensi emisi landfill hingga lebih dari 90% (gas dan lindi yang
dihasilkan oleh landfill menurun)
5. Mengurangi kandungan air
6. Mengurangi aktivitas pengendapan
7. Recovery material dan energi
8. Mengurangi biaya operasional dan post-operasional
9. Mempermudah operasional landfill
10. Memiliki proses operasional dan control yang sederhana
11. Meningkatkan kestabilan landfill

2.9.2 Anaerobic Digester


Proses anaerob adalah proses pengolahan secara biologi yang terjadi tanpa kehadiran
oksigen. Pengolahan secara anaerob dilakukan oleh mikroorganisme fakultatif dan obligat
anaerob, dimana tanpa kehadiran oksigen akan mengubah senyawa organic menjadi gas
sebagai hasil akhir semacam karbondioksida dan metana. Pada proses anaerob yang
menjadi akseptor electron adalah senyawa organic dari perubahan organic menjadi CH4.
Fermentasi anaerob membutuhkan organisme lain dalam mendegradasi senyawa organic
menjadi metan karena terbatasnya jumlah substratyang dikatabolisme oleh bakteri
metanogen (Sawatdeenarunat, 2006). Anaerobic digestion (AD) serupa dengan
pengomposan tetapi dalam kondisi tanpa oksigen.

Studi Literatur 2 - 46
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Terdapat berbagai variasi anaerobic digestion yang meliputi (Juniper, 2005):


Proses kering (penambahan air minimal) dan basah (suspense atau slurry)
Proses mesofilik (35o) dan termofilik (55oC)
Proses satu tahap dan dua tahap
Perkolasi, hidrolisis dan fermentasi dari fasa yang mengandung air
Proses interval (aerobic-anaerobik-aerobik)

Digestion dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kandungan airnya, yaitu fermentasi
kering dengan kadar padatan terlarut > 25% dan fermentasi basah dengan kadar padatan
terlarut <15%. Anaerobi digestion pada umumnya dikombinasikan dengan tahap dari
proses pengomposan karena tidak semua substansi organic dapat didegradasi dalam
kondisi anaerob.

Anaerobic digestion wet (basah) membutuhkan biaya operasional yang lebih tinggi
disbanding dengan anaerobic digestion dry (kering). Pada system basah, proses degradasi
menghasilkan lebih banyak residu berupa air sehingga operasional anaerobic digestion
juga harus dilengkapi dengan sarana pengolahan efluen tersebut. Keuntungan dari system
kering adalah permasalahan seperti settling, foaming, dan flotasi yang sering muncul pada
system basah dapat dihindari. Namun anaerobic digestion kering sangat ditentukan oleh
material input, sehingga proses ini sangat bergantung pada pengadukan eksternal dari
input sampah untuk homogenitas.

Untuk melakukan pengolahan sampah dengan metode anaerobic digestion, terdapat


beberapa faktor yang harus diperhatikan, antara lain ketersediaan oksigen, kadar air,
ukuran dan densitas, temperature, pH dan alkalinitas, rasion C/N, kelembaban, toksisitas,
dan logam berat.

1. Ketersediaan Oksigen
Bakteri metanogen adalah bakteri strict anaerob, makan kehadiran O2 akan
mengganggu proses dan merupakan inhibitor.

2. Kadar Air
Kadar air sangat berpengaruh dalam proses dekomposisi secara biologi. Selain itu
juga dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri dan proses metanogenesis. Kurva
yang terbentuk akan cenderung naik pada tahap hidrolisis kemudian menurun dan
stabil. Kadar air yang rendah akan menghambat proses degradasi karena

Studi Literatur 2 - 47
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

mikroorganisme yang ada di dalam reactor akan lebih banyak tertutup oleh air
dibandingkan udara sehingga akan menciptakan suasana anaerob.

3. Ukuran dan Densitas


Kecepatan dekomposisi tergantung dari rasio luas permukaan terhadap volume.
Semakin besar rasio, berarti ukuran semakin kecil, maka dekomposisi semakin
cepat. Jika dekomposisi berlangsung cepat, maka pembentukan gas CH4 akan
semakin cepat pula.

4. Temperatur
Temperatur merupakan parameter proses yang sangat penting. Bakteri anaerob
bertahan hidup dari temperature beku hingga 70C, tetapi berkembang dengan
baik pada kondisi mesofilik (25C 40C, optimum pada 35oC) atau dalam kondisi
termofilik (50C-65C, optimum pada < 55C). Bakteri metan tumbuh baik pada
temperature mesofilik (30C-40C) maupun termofilik (45C-55C). Kecepatan
reaksi mikroorganisme menurun pada range diantara kedua temperature optimum
tersebut. Sebagian besar digester anaerob dioperasikan pada temperature
mesofilik, tapi proses metanogenesis juga dapat terjadi pada temperature
terendah, 4C. Menjaga temperature agar konstan lebih penting daripada menjaga
temperature yang memberikan laju maksimum dalam proses metanogenesis
karena penyesuaian bakteri matanogen terhadap perubahan kondisi lebih lambat
dari pada bakteri asidogen.

Hal tersebut menyebabkan akumulasi produk asam-asam organic. Akibatnya akan


terjadi ketidakseimbangan yang dapat menjurus pada kegagalan proses.

5. pH dan Alkalinitas
pH merupakan variable utama yang harus diatur dan dijaga. pH digester yang
diperbolehkan sekitar 5,5-8,5. Namun, bakteri metanogen hanya dapat hidup pada
pH 6,7-7,4 (Buekens, 2005).

Komposisi maupun kecepatan produksi dipengaruhi oleh perubahan dalam pH


digester. Sebagian besar mikroorganisme tumbuh di bawah pH netral karena nilai
pH yang lain berakibat tidak baik pada metabolism dengan merubah
kesetimbangan kimia dari reaksi enzimatik atau dengan merusak enzim
mikroorganisme kelompok metanogen yang paling sensitive terhadap pH. Pada
dasarnya alkalinitas menyatakan jumlah total asam yang dapat dinetralkan oleh

Studi Literatur 2 - 48
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

basa yang ditambahkan ke dalam system. Jika konsentrasi asam volatile naik, pH
dibuffer oleh alkalinitas bikarbonat. Dengan demiian nilai alkalinitas yang rendah
dalam reactor anaerob bukan merupakan factor yang aman bila terjadi
peningkatan konsentrasi asam volatile. Untuk mengontrol alkalinitas dan pH
dilakukan penambahan bahan-bahan alkali seperti kapur, Na2CO3 atau NaOH ke
dalam reaktor.

6. Rasio C/N
Rasio C/N yang optimum untuk proses anaerob adalah 30. Range rasio C/N
optimum untuk pembentukan metan 20-35%, sedangkan rasio C/P ideal hanya
150 (Oktaviani, 2008). Jika kandungan substrat diukur sebagai COD, maka
seringkali dinyatakan bahwa rasio COD:N:P pada air limbah yang akan diolah harus
mendekati 250:5:1 untuk pengolahan anaerobic (Metcalf and Eddy, 1991).

7. Kelembaban
Disamping merupakan kebutuhan mikroorganisme, kelembaban juga dibutuhkan
untuk mengencerkan cairan nutrisi dan mendistribusikan nutrisi dalam timbunan
sampah. Disamping itu, laju produksi gasbio akan bertambah dengan
bertambahnya kelembaban. Peningkatan laju produksi gasbio sangat berarti pada
kandungan kelembaban sekitar 60-70% dan cenderung menurun pada level yang
lebih tinggi.

8. Toksisitas
Proses digesti dihambat oeh tingkat toksik dari berbagai zat. Indikator paling
sensitif dari toksisitas adalah produksi metan, selain peningkatan asam volatil.
Senyawa yang dapat mengganggu berlangsungnya proses anaerob itu antara lain
adalah asam volatile, ammonia, hydrogen sulfide, logam berat, dan salinitas (Grady
& Lin, 1990).

9. Logam berat
Kehadiran logam, terutama logam berat dalam tanah dan air tanah patut
mendapatkan perhatian yang serius paling tidak karena hal-hal berikut.
- Sifat racun logam dan potensial karsinogeniknya
- Mobilitas dalam tanah bisa dengan cepat berubah, dari yang tadinya
immobile atau dalam bentuk logamnya menjadi bentuk terlarut dalam
spesies yang dengan mudah dapat berubah.

Studi Literatur 2 - 49
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

- Logam mempunyai sifat konservatif dan cenderung kumulatif dalam tubuh


manusia.

2.9.3 Pengomposan (composting)


Kompos didefinisikan sejenis pupuk organik, dimana kandungan unsur N, P dan K yang
tidak terlalu tinggi, hal ini membedakan kompos dengan pupuk buatan. Kompos sangat
banyak mengandung unsur hara mikro yang berfungsi membantu memperbaiki struktur
tanah dengan meningkatkan porositas tanah sehingga tanah menjadi gembur dan lebih
mampu menyimpan air (Tchobanoglous et al.,1993). Adapun manfaat dari kompos adalah:
Memperbaiki struktur tanah;
Sebagai bahan baku pupuk organik;
Sebagai media remediasi tanah yang tercemar (pemulih tanah akibat pencemaran
bahan kimia yang toxic terhadap mikroba tanah);
Meningkatkan oksigen dalam tanah;
Menjaga kesuburan tanah;
Mengurangi kebutuhan pupuk inorganik.

Cara atau metoda untuk membuat kompos adalah proses komposting. Proses komposting
ini merupakan proses dengan memanfaatkan proses biologis yaitu pengembangan massa
mikroba yang dapat tumbuh selama proses terjadi. Metoda ini adalah proses biologi yang
mendekomposisi sampah (terutama sampah organic yang basah) menjadi kompos karena
adanya interaksi kompleks dari organisme yang terdapat secara alami. Berdasarkan prinsip
proses biologis ini, maka karakteristik dari mikroba menjadi penting untuk diperhatikan.
Jenis mikroba yang dimaksud adalah jenis mikroba yang diklasifikasikan dari cara
hidupnya, yaitu:
- Mikroba anaerobik (yaitu mikroba yang hidup tanpa oksigen); jenis mikroba ini juga
dibagi dalam 2 jenis, yaitu: mesofilik (hidup pada temperature 20-40oC), dan
thermophilic (hidup pada temperature 45-70oC)
- Mikroba aerobic adalah mikroba yang hanya dapat hidup dengan adanya oksigen.
Sama dengan mikroba anaerobic berdasarkan fluktuasi kondisi suhu di dalam
tumpukan kompos dapat dibedakan menjadi mesophilic dan thermophilic.

Proses komposting merupakan suatu proses yang paling relatif mudah dan murah, serta
menimbulkan dampak lingkungan yang paling rendah. Proses ini hampir sama dengan
pembusukan secara lamiah, dimana berbagai jenis mikroorganisme berperan secara
serentak dalam habitatnya masing-masing. Makanan untuk mikorooganisme adalah
sampah, sedangkan suplai udara dan air diatur dalam proses komposting ini. Jenis

Studi Literatur 2 - 50
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

sampah sangat mempengaruhi proses composting ini. Sampah yang dapat dikomposkan
adalah sampah organik atau sering disebut sampah basah adalah jenis sampah yang
berasal dari jasad hidup sehingga mudah membusuk dan dapat hancur secara alami.
Contohnya adalah sayuran, daging, ikan, nasi, ampas perasan kelapa, dan potongan
rumput /daun/ranting dari kebun. Berdasarkan teknologi proses, pengolahan kompos
dapat dibedakan menjadi composting aerobik dan anaerobik.

Komposting Aerobic dan Anaerobic


Komposting aerobik, adalah komposting yang menggunakan oksigen dan memanfaatkan
respiratory metabolism, dimana mikroorganisme yang menghasilkan energi karena adanya
aktivitas enzim yang membantu transport elektron dari elektron donor menuju external
electron acceptor adalah oksigen. Ada beberapa metoda atau teknologi proses composting
secara aerobic dapat dilihat pada tabel 2. 11 dibawah. Sedangkan composting anaerobic
tanpa menggunakan oksigen. Bakteri yang berperan adalah bakteri obligate anaerobik.
Dalam proses ini terdapat potensi hasil sampingan yang cukup mempunyai arti secara
ekonomis yaitu gas bio, yang merupakan sumber energi alternatif yang sangat potensial.
Berdasarkan pendekatan waste to energy (WTE) diketahui bahwa 1 ton sampah organik
dapat menghasilkan 403 Kwh listrik.

Tabel 2. 10. Perbandingan Pengomposan Aerob dan Anaerob

No Karakteristik Aerob Anaerob


1 Reaksi Eksotermis, butuh enersi Endotermis, tidak butuh enersi
pembentukannya luar, luar, dihasilkan gas bio sumber
dihasilkan panas enersi
2 Produk akhir Humus CO2, H2O Lumpur, CO2, CH4
3 Reduksi volume Lebih dari 50% Lebih dari 50%
4 Waktu proses 20-30 hari 20-40 hari
5 Tujuan utama Reduksi volume Produksi enersi
6 Tujuan sampingan Produksi kompos Stabilisasi buangan
7 estetika Tidak menimbulkan bau Menimbulkan bau
Sumber : Damanhuri & Tri Padmi, 2010

Studi Literatur 2 - 51
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Tabel 2. 11. Metode Composting Aerobic dan Anaerobic


Metode Definisi Keuntungan Kerugian Gambar
Composting Windrow composting sistem - Biaya relatif murah untuk - Masih menimbulkan dampak negatif
Aerobic terbuka, pemberian oksigen windrow komposting berupa bau, lalat, cacing dan rodent,
secara - Proses lebih sederhana serta air
alamiah, dengan dan cepat (khususnya - leachate
pengadukan/pembalikan, yang menggunakan - Operasional kontrol temperatur dan
dibutuhkan penyiraman air untuk aerasi mekanis) kelembaban sulit, karena kontak
menjaga - Dapat dibuat dalam skala langsung dengan udara
kelembabannya. kecil dan mobile (in- - bebas, sering tidak mencapai kondisi
vessel composting) optimal
Sehingga dapat dibuat - Membutuhkan lahan yang luas untuk
- dalam bentuk modul- sistem windrow composting, karena
Aerated Static Pile
modul) proses
sistem composting dengan
- pengomposan sampai pematangan
menggunakan pipa berlubang
membutuhkan waktu minimal 60
yang berfungsi untuk
hari.
mengalirkan udara. Proses
composting
diatur melalui pengaliran
oksigen. Bila temperature terlalu
tinggi, aliran oksigen
dihentikan, sementara bila
temperature turun aliran oksigen
ditambah
Composting Proses komposting tanpa - Tidak membutuhkan - Untuk pemanfaatan biogas dibutuhkan
Anaerobic menggunakan oksigen. Bakteri energi, tetapi justru kapasitas yang besar karena factor
yang berperan adalah bakteri menghasilkan energi skala ekonomis
obligate anaerobik - Dalam tangki tertutup - sehingga kurang cocok diterapkan
sehingga tedak pada suatu kawasan kecil.
menimbulkan dampak - Biaya lebih mahal, karena harus dalam
negatif terhadap reaktor yang tertutup.
lingkungan

Studi Literatur 2 - 52
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Contents
2.1 Peraturan dan Standar Bidang Persampahan ............................................................... 2

2.1.1 Peraturan Bidang Persampahan ............................................................................. 2

2.1.2 SNI Bidang Persampah ............................................................................................ 5

2.2 Pengertian Sampah ......................................................................................................... 6

2.3 Pengelolaan Sampah ....................................................................................................... 7

2.4 Sumber Sampah .............................................................................................................. 9

2.5 Timbulan ........................................................................................................................... 9

2.6 Komposisi Sampah ........................................................................................................ 10

2.7 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) ................................................................................... 11

2.7.1 Metoda Pembuangan Sampah ............................................................................. 13

2.7.2 Metode Pengurugan............................................................................................... 15

2.7.3.1 Metode Trench atau Ditch ............................................................................. 15

2.7.3.2 Metode Area ................................................................................................... 16

2.7.3.3 Kombinasi ....................................................................................................... 17

2.7.3 Pemilihan Lokasi TPA ............................................................................................. 17

2.7.3.1 Metoda SNI 03-3241-1994........................................................................... 17

2.7.3.2 Metoda Le Grand ........................................................................................... 20

2.7.4 Rencana Tapak ...................................................................................................... 26

2.7.5 Prasarana dan Sarana ........................................................................................... 26

2.8 Konsep Pengurangan Sampah (3R) ............................................................................. 38

2.9 Teknologi Pengolahan Sampah..................................................................................... 42

2.9.1 Pemilahan ............................................................................................................... 43

2.9.2 Anaerobic Digester................................................................................................. 46

2.9.3 Pengomposan (composting) .................................................................................. 50

Studi Literatur 2 - 53
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Gambar 2. 1. Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan ............................................................. 8

Gambar 2. 2. Pengurugan Metode Trench atau Ditch ............................................................ 16

Gambar 2. 3. Pengurugan Metode Area ................................................................................... 16

Gambar 2. 4. Pengurugan Kombinasi ...................................................................................... 17

Gambar 2. 5. Derajat Kepekaan Akuifer Dan Jenis Limbah ................................................... 24

Gambar 2. 6. Pelapis Dasar (Liner) TPA Dengan Geosintetis dan Tanah Lempung .............. 28

Gambar 2. 7. Pelapis Dasar TPA Dengan Geosintetis ............................................................. 29

Gambar 2. 8. Sistem Lapisan Dasar Sel .................................................................................. 29

Gambar 2. 9. Alternatif Pola Pipa Pengumpul Lindi ................................................................ 30

Gambar 2. 10. Desain pemasangan pipa drainase lindi dan gas vertikal ............................. 33

Gambar 2. 11. Konstruksi underdrain pengumpul lindi.......................................................... 34

Gambar 2. 12. Sistem Penanganan Gas .................................................................................. 35

Gambar 2. 13. Sistem Penutup Tanah Pada Controlled Landfill dan Sanitary Landfill ........ 36

Gambar 2. 14. Penutupan Tanah ............................................................................................. 36

Gambar 2. 15. Contoh Alat Berat di TPA .................................................................................. 38

Gambar 2. 16. Skema Pengolahan Mekanis Dengan MBT..................................................... 44

Gambar 2. 17. Skema Pengolahan Biologis Dengan MBT ...................................................... 44

Gambar 2. 18. Skema Integrasi Pengolahan Mekanis dan Biologis Dalam MBT.................. 45

Tabel 2. 1. Standar Bidang Persampahan ................................................................................. 5

Tabel 2. 2. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen Sumber Sampah ............. 10

Tabel 2. 3. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota .................................. 10

Tabel 2. 4. Sumber dan Komposisi Sampah............................................................................ 10

Tabel 2. 5. Perbedaan Controlled Landfill dan Sanitary Landfill ............................................ 13

Tabel 2. 6. Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA............................................................................. 18

Tabel 2. 7. Rekapitulasi Nilai Deskriptif Hidrogeologi ............................................................. 23

Tabel 2. 8. Situasi Peringkat Penilaian ..................................................................................... 25

Tabel 2. 9. Kelebihan dan Kelemahan Alternatif Sistem Pengolahan Sampah .................... 42

Studi Literatur 2 - 54
Laporan Akhir
Evaluasi TPA Provinsi Riau | Tahun 2016

Tabel 2. 10. Perbandingan Pengomposan Aerob dan Anaerob .............................................. 51

Tabel 2. 11. Metode Composting Aerobic dan Anaerobic ....................................................... 52

Studi Literatur 2 - 55

Anda mungkin juga menyukai