Anda di halaman 1dari 25

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tebu (Saccharum officinarum) merupakan salah satu komoditi perkebunan
yang ada di Indonesia. Tebu dapat tumbuh baik di daerah beriklim tropis, namun
masih dapat berkembang baik di daerah beriklim subutropis. Tanaman tebu ini
banyak ditemukan di pulau Jawa dan Sumatera. Tanaman tebu banyak ditanam
oleh petani kecil yang memiliki usaha sendiri atau bekerja sama dengan pabrik
gula. Tebu ini merupakan bahan baku dalam pembuatan gula kristal putih, gula
kristal mentah, gula rafinasi dan gula merah tebu.
Dalam proses pembuatan gula, bahan yang diambil dari tebu untuk
dijadikan bahan baku adalah sukrosa. Sukrosa diambil dengan cara ekstraksi tebu
dengan menggunakan mesin press dan akan menghasilkan nira. Kondisi nira
berbeda-beda tergantung pada jenis tebu, umur tebu saat dipanen dan proses
pengolahan tebu. Kulit tebu berpengaruh terhadap nira yang dihasilkan. Biasanya
tebu yang digiling bersama kulitnya cenderung lebih banyak mengandung kotoran
karena kandungan lilin, pati, pektin yang ada pada kulit ikut larut, atau bahkan
daunan kering dan debu juga ikut digiling bersama debu. Sehingga menyebabkan
nilai brix atau jumlah padatan terlarutnya tinggi. Setelah ekstraksi, diperlukan
adanya pemurnian yang salah satunya defekasi dengan menggunakan kapur untuk
menghilangkan kotoran. Oleh karena itu perlu dilakukan praktikum ini untuk
mengetahui perlakuan yang benar ketika proses pembuatan gula demi
menghasilkan gula kristal putih yang memenuhi standar mutu berdasarkan SNI.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dilakukan praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh kondisi tebu terhadap derajat Brix nira
2. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan defekasi terhadap derajat Brix nira
3. Untuk mengamati warna (kecerahan) gula kristal putih
4. Untuk menentukan besar jenis butir gula kristal putih
5. Untuk menentukan residu belerang oksida pada gula kristal putih
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tebu
Tebu (Saccharum officinsrum L.) merupakan salah satu tanaman yang
dapat tumbuh dan berkembang di daerah iklim tropis dan subtropis. Di Indonesia,
tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatera. Tebu dikenal sejak
beberapa abad lalu oleh bangsa Persia, Cina India dan Eropa yang memanfaatkan
tebu sebagai bahan pangan yang benilai tinggi yang bahkan dianggap sebagai
emas putih karena kedudukannya sebagai pemanis alami. Sekitar tahun 400-an
telah ditemukan pertumbuhan tebu di daerah pulau Jawa dan Sumatera, namun
sejak abad XV tebu diusahakan secara komersial oleh sebagian imigran dari Cina
(Fitriyani,2012).
Tebu merupakan bahan baku pembuatan gula, baik gula krisrtal atau gula
merah tebu. Ampas tebu atau bagasse adalah residu dari proses ekstraksi cairan
tebu yang terdapat pada batang tebu. Dari satu pabrik biasanya dihasilkan sekitar
35-40% ampas tebu dari berat keseluruhan tebu yang digiling (Zultiniar dkk.,
2011). Adapun klasifikasi tanaman tebu sebagai berikut (Tarigan dan Sinulingga,
2006) :
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Sub Kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (berkeping satu /monokotil)
Sub Kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Famili : Graminae atau Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus : Saccharum
Spesies : Saccharum officinarum Linn
Setiap bagian dari tebu memiliki manfaat tersendiri. Di dalam ampas tebu
terkandung senyawa selulosa, lignin dan hemiselulosa. Senyawa selulosa ini dapat
diolah menjadi produk lain, seperti asam oksalat. Senyawa asam oksalat yang
dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan peledak, pembuatan zat warna, rayon,
yang banyak dimanfaatkan untuk keperluan analisa laboratorium (Narimo, 2009).
Pada industri logam, asam oksalat dipakai sebagai bahan pelapis yang melindungi
logam dari korosif dan pembersih untuk radiator otomotif, metal dan peralatan
(Panjaitan, 2008). Dari proses pembuatan tebu akan dihasilkan gula 5%, ampas
tebu 90%, dan sisanya berupa tetes (molase) serta air. Karena sari tebu tidak bisa
diolah menjadi gula semuanya. Selain itu, daun tebu ini bisa digunakan sebagai
bahan bakar untuk memasak. Karena sifat daun tebu yang kering cepat panas,
sehingga pembakarannya setara dengan minyak tanah.
Tanaman tebu biasanya tumbuh baik pada daerah beriklim panas dengan
kelembaban > 70%. Suhu udara berkisar antara 28C 34C. Tanah yang baik
untuk pertumbuhan tebu adalah tanah yang subur dan cukup air tetapi tidak
tergenang. Fase pertumbuhan tanaman tebu jatuh pada umur 3 sampai 8 bulan dan
fase pemasakan pada umur 9 sampai 12 bulan yang ditandai dengan tebu
mengeras dan berubah warna menjadi kuning pucat. Pengolahan tanah untuk
penanaman tebu di lahan kering pada umumnya dilakukan pada musim kemarau
sampai akhir musim hujan, sedangkan penanaman dilakukan di awal musim
kemarau sampai menjelang musim hujan. Adapun kandungan yang terdapat pada
batang tebu (Risvan, 2008) adalah sebagai berikut :
1. Air (75 85 %)
Air merupakan komponen yang paling besar di dalam tebu sehingga
untuk mendapatkan gula, komponen air harus dihilangkan sebanyak-
banyaknya pada proses penguapan dan kristalisasi.
2. Sukrosa (10 12 %)
Sukrosa terdapat pada semua tanaman tebu. Kandungan sukrosa yang
terbanyak terdapat pada bagian batang. Sifatnya stabil dalam suasana
alkalis.
3. Gula Reduksi (0,5 2 %)
Gula reduksi yaitu glukosa dan fruktosa dalam perbandingan yang
berlebihan satu sama lain. Semakin masak tebu, semakin sedikit gula
reduksinya. Proses pemecahan dalam gula reduksi akan menimbulkan
kerugian pada industri gula. Suhu tinggi dan pH tinggi akan
mempercepat perpecahan gula reduksi, sehingga itu perlu dihindarkan.
4. Senyawa Organik (0,5 1 %)
Senyawa organik dalam tanaman tebu sebagian besar dalam bentuk
Asam Laktat, Asam Suksinat, serta Asam Glukonat. Jika tebu busuk,
asam akan teroksidasi menjadi asam laktat. Asam laktat dalam jumlah
yang cukup banyak akan mempercepat proses inverse. Inverse dapat
dicegah dengan cara 5 mempertahankan pH > 7 dengan temperatur
proses pemurnian tidak terlalu tinggi.
5. Senyawa Anorganik (0,2 0,6 %)
Senyawa anorganik yang terdapat di dalam tebu antara lain Fe2O3,
Al2O3, MgO, CaO, K2O, SO3, dan H2SO4. Senyawa-senyawa tersebut
berasal dari tanah dan dari pupuk yang dapat dipisahkan pada proses
pemurnian.
6. Senyawa Phosphate
Senyawa ini adalah senyawa yang penting dalam proses pemurnian
karena senyawa ini dapat menarik dan mengendapkan kotoran.
7. Serabut
Serabut merupakan rangka tanaman tebu yang tersusun dari selulosa
atau hemiselulosa. Ciri umumnya adalah keras karena adanya lignin
dan pektin. Serabut merupakan semua bagian tebu tanpa nira. Jika
dipanaskan atau dikeringkan maka 50 % dari serabut adalah selulosa.
2.2 Nira Tebu
Nira merupakan cairan yang dihasilkan dari proses ekstraksi atau
penggilingan tebu. Nira inilah yang akan diproses selanjutnya pada pembuatan
gula. Di dalam nira tebu terkandung gula dan senyawa non-gula. Gula yang akan
diambil adalah gula sukrosa. Di dalam batang tebu, kandungan gula sukrosa
berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya cara
pemeliharaan, jenis tebu, iklim dan umur tebu (Widyastuti, 1999).
Nira tebu mengandung senyawa-senyawa kimia, baik terlarut secara
homogen atau yang membentuk koloid. Komposisi senyawa yang terdapat di
dalam nira tebu berbeda-beda tergantung dari jenis tebu, lokasi penanamannya
dan umur tebu saat dipanen (Purnomo, 2003). Dalam persyaratan SII (Standar
Industri Indonesia) minuman ringan tidak dinyatakan batas nilai pH, hal ini
disebabkan minuman ringan yang diproduksi selama ini bervariasi nilai pH-nya,
tergantung dari jenis bahan baku dan rasanya. Biasanya pH produk minuman
ringan dari nira yang diperoleh selama delapan minggu tidak berubah, maka
masih layak untuk dikonsumsi. Berikut merupakan kandungan nira batang tebu
yang disajiikan pada tabel 1 :
Tabel 1. Kandungan Nira Batang Tebu
Komponen Bahan Padat Terlarut (%)
Gula 75 92
Sukrosa 70 88
Glukosa 2,0 4,0
Fruktosa 2,0 4,0
Garam 3,0 4,5
Anorganik 1,5 4,5
Organik 1,0 3,0
Asam Organik 1,5 5,5
Asam Karboksilat 1,1 3,0
Asam Amino 0,5 2,5
Komponen Organik Non Gula
Protein 0,5 0,6
Pati 0,001 0,1
Gum 1,3 1,6
Lilin, Lemak, Fosfatida 0,005 0,15
Komponen Lainnya 3,0 5,0
(Sumber: Chen & Choui, 1993).
2.3 Gula Kristal Putih dan SNI GKP
Persyaratan
No Parameter Uji Satuan
GKP 1 GKP 2
1. Warna
1.1 Warna kristal CT 4,0-7,5 7,6-10,0
1.2 Warna larutan (ICUMSA) IU 81-200 201-300
2. Besar jenis butir Mm 0,8-1,2 0,8-1,2
3. Susut pengeringan (b/b) % maks 0,1 maks 0,1
4. Polarisasi (Z, 20C) Z min 99,6 min 99,5
5. Abu konduktiviti (b/b) % maks 0,10 maks 0,15
6. Bahan tambahan pangan
6.1 Belerang dioksida mg/kg maks 30 maks 30
7. Cemaran logam
7.1 Timbal (Pb) mg/kg maks 2 maks 2
7.2 Tembaga (Cu) mg/kg maks 2 maks 2
7.3 Arsen (As) mg/kg maks 1 maks 1
Sumber : (SNI, 2010)
2.4 Derajat Brix
Derajat Brix merupakan jumlah zat padat kering yang larut (dalam gram)
setiap 100 gram larutan yang dihitung sebagai sukrosa. Zat yang terlarut seperti
gula (sukrosa, glukosa, fruktosa, dan lain-lain), atau garam-garam klorida atau
sulfat dari kalium, natrium, kalsium, dan lain-lain merespon dirinya sebagai brix
dan dihitung setara dengan sukrosa. Satuan brix merupakan satuan yang
digunakan untuk menunjukkan kadar gula yang terlarut dalam suatu larutan.
Semakin tinggi derajat brixnya maka semakin manis larutan tersebut. Sebagai
contoh kasus dalam pengolahan nira bahwa nilai brix adalah gambaran seberapa
banyak zat terlarut di dalam nira. Di dalam padatan terlarut tersebut terkandung
gula dan komponen non-gula. Sebagai gambaran, misal diperoleh nilai brix
sebesar 17% makan dalam setiap 100 bagian nira terdiri dari 17 bagian brix dan
83 bagian air. Untuk mengukur nilai brix ini, alat yang digunakan yaitu
refraktometer. Pengukurannya dilakukan dengan meneteskan nira pada kaca
sensor dan angka brix dapat segera dibaca (Hidayanto, Eko dkk., 2010).
Dalam industri gula dikenal istilah-istilah pol, brix, dan HK (hasil bagi
kemurnian). Istilah-istilah ini muncul dalam analisa gula, baik dari nira sampai
menjadi gula kristal. Nira tebu pada dasarnya terdiri dari dua zat yaitu zat padat
terlarut dan air. Zat padat yang terlarut ini terdiri dari dua zat lagi yaitu gula dan
bukan gula. Baik buruknya kualitas nira tergantung dari banyaknya jumlah gula
yang terdapat dalam nira. Brix adalah jumlah zat padat semu yang larut (dalam
gram) setiap 100 gram larutan. Jadi misalnya brix nira = 16, artinya bahwa dari
100 gram nira, 16 gram merupakan zat padat terlarut dan 84 gram adalah air.
Untuk mengetahui banyaknya zat padat yang terlarut dalam larutan (brix)
diperlukan suatu alat ukur yaitu piknometer, hydrometer dan index bias. Nira
untuk diolah menjadi gula harus memenuhi persyaratan pH dan brix, yaitu pH 6 -
7,5 dan kadar brix diatas 17%. Proses pengolahan gula pada umumnya masih
dilakukan secara tradisional. Mutu gula yang dihasilkan oleh petani masih rendah.
Pengolahan secara tradisional berdampak terhadap berkurangnya kandungan asam
amino esensial pada gula aren karena proses pemasakan yang lama (Ho et al.,
2008 ; Phaichamnan et al, 2010).
2.5 Defekasi atau Pemurnian
Defekasi merupakan cara pemurnian yang paling sederhana dengan
menggunakan kapur tohor. Kapur tohor ini digunakan untuk menetralkan asam-
asam yang terdapat di dalam nira. Nira yang dihasilkan memiliki PH sedikit
alkalis yaitu 7,2. Nira yang telah ditambah kapur kemudian dipanaskan hingga
mendidih hingga terjadi endapan dan dipisahkan (Wijayanti, 2008). Pemurnian
nira dengan cara defekasi dibagi menjadi :
a. Defekasi Dingin
Pada defekator ditambahkan susu kapur sehingga pH menjadi 7.2 7.4. Setelah
itu baru nira dipanaskan lalu menuju ke pengendapan. Pada defekasi dingin reaksi
antara CaO dengan Phospat lebih lambat, tetapi inversi dapat dikurangi. Karena
suhu dingin maka absorbsi bahan bukan gula oleh endapan yang terbentuk lebih
jelek dibandingkan defekasi panas.
b. Defekasi Panas.
Nira mentah dari gilingan dipanaskan terlebih dahulu, lalu direaksikan dengan
susu kapur.
c. Defekasi Bertingkat.
Susu kapur ditambahkan pada nira dalam keadaan dingin hingga pH 6.5,
kemudian nira dipanaskan dan ditambahkan susu kapur lagi hingga pH 7.2 7.4.
d. Defekasi sachharat
Sebagian nira ditambahkan susu kapur sedangkan sebagian yang lain dipanaskan,
kemudian dicampur.
2.6 Residu Belerang Oksida (SO2)
Sulfur dioksida merupakan gas tak terlihat yang berbau sangat tajam
dalam konsentrasi yang pekat, mempunyai sifat tidak mudah terbakar dan tidak
mudah meledak serta menyerang sistem pernafasan manusia. Konsentrasi gas SO2
di udara akan mulai terdeteksi oleh indera manusia (tercium baunya) manakala
konsentrasinya berkisar antara 0,3 1 ppm. Hanya sepertiga dari jumlah sulfur
yang terdapat di atmosfer merupakan hasil dari aktivitas manusia, dan kebanyakan
dalam bentuk SO2 . Sebanyak dua pertiga dari jumlah sulfur di atmosfer berasal
dari sumber-sumber alam seperti volcano, dan terdapat dalam bentuk H2S dan
oksida. Masalah yang ditimbulkan oleh polutan yang dibuat manusia adalah
dalam hal distribusinya yang tidak merata sehingga terkonsentrasi pada daerah
tertentu, bukan dari jumlah keseluruhannya, sedangkan polusi dari sumber alam
biasanya lebih tersebar merata. Transportasi bukan merupakan sumber utama
polutan SOx tetapi pembakaran bahan bakar pada sumbernya merupakan sumber
utama polutan SOx, misalnya pembakaran batu arang, minyak bakar, gas, kayu
dan sebagainya (Wardhana, 2001).
BAB 3 METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini antara lain :
1. Hand refractometer
2. Pipet tetes
3. Beaker glass
4. Alat pemanas
5. Spatula
6. Thermometer
7. PH meter
8. Colour reader
9. Ayakan (18,20,25,40, dan 50 mesh)
10. Neraca
11. Timbangan analitik
12. Erlenmeyer 300 mL
13. Buret mikro 10 mL
14. Gelas ukur
3.1.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Nira dari tebu beserta kulitnya dan yang dikupas kulitnya
2. Larutan kapur
3. Gula kristal putih 1 dan 2
4. Gula merah tebu
5. Aquades
6. Larutan HCl
7. Larutan Iodium
8. Indikator kanji
9. Plastik dan Tissue
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Derajat Brix Nira

Nira dengan kulit Nira tanpa kulit

Penetesan pada hand refractometer

Pengamatan ( 3x ulangan )

Pembandingan

Pada praktikum ini terdapat lima acara, acara pertama yang dilakukan
yaitu pengukuran derajat brix. Deajat brixmerupakan jumlah zat padat yang
terlarut. Alat yang digunakan pada acara derajat brix antara lain refractometer
dan pipet tetes. Adapun bahan yang digunakan yaitu nira tebu yang dikupas
kulitnya dan nira tebu yang tanpa pengupasan kulit. Langkah pertama yang
dilakukan yaitu membersihkan kaca prisma refractometer. Hal ini bertujuan untuk
membersihkan sisa padatan yang menempel pada alat sehingga skala pengukuran
akan nol dan pengukuran kadar sukrosa optimal. Langkah kedua, meneteskan
kedua jenis nira pada refractometer dan dibaca skala yang diperoleh. Pengamatan
derajat brix ini dilakukan tiga kali ulangan, hal ini untuk mandapatkan data yang
akurat dengan meminimalisir kesalahan. Langkah terakhir yaitu membandingkan
data yang dihasilkan dari kedua jenis nira.
3.2.2 Defekasi

Nira dengan kulit Nira tanpa kulit

Dimasukkan ke dalam beaker glass

Pemanasan hingga suhu 70C

Penambahan larutan kapur

Pemanasan dan pengadukan


selama 30

Pendinginan

Penetesan pada hand refractometer

Pengamatan ( 3x ulangan )

Pembandingan

Acara kedua yaitu defekasi. Defekasi merupakan salah satu proses


pemurnian nira tebu dengan menggunakan kapur. Alat yang digunakan pada
defekasi yaitu beaker glass, alat pemanas, spatula, PH meter dan hand
refractometer. Adapun bahan yang digunakan yaitu nira yang dikupas kulitnya
dan nira yang tidak dikupas kulitnya. Langkah pertama yang dilakukan yaitu
pengambilan 150 ml kedua jenis nira kemudian masing-masing dimasukkan ke
dalam beaker glass dan dipanaskan hinga suhu kurang lebih 70C. Kemudian
ditambahkan larutan kapur yang bertujuan untuk memurnikan nira. Setelah
penambahan kapur, larutan dipanaskan kembali sambil diaduk selama 30. Hal ini
bertujuan untuk menghomogenkan larutan dan mempercepat reaksi bahan.
setelah pemanasan selesai, larutan didinginkan hingga terbentuk endapan
kotoran. Kemudian pengambilan nira jernih dan penetesan pada refractometer
untuk mengetahui derajat brix kedua jenis nira setelah pemurnian. Selanjutnya
dilakukan perbandingan derajat brix antara nira sebelum dan sesudah defekasi.
3.2.3 Warna (Kecerahan) GulaKristal Putih

GKP 1 GKP 2

Dimasukkan ke dalam
plastik

Pengukuran warna (kecerahan)


dengan colour reader

Perbandingan kedua jenis GKP

Acara praktikum keempat yaitu pengukuran warna gula kristal putih. Pada
acara ini sampel yang digunakan yaitu gula kristal putih dengan kualitas 1 dan
gula kristal putih dengan kualitas 2. Penggunaan kedua jenis GKP ini bertujuan
untuk membandingkan warna kristal keduanya. Alat yang digunakan untuk
mengukur warna kristal yaitu colour reader. Langkah pertama yang dilakukan
yaitu mengambil sampel (GKP 1dan GKP 2) kemudian dibungkus plastik.
Pembungkusan ini untuk memudahkan pembacaan warna dan melindungi detektor
colour reader agar tidak cepat rusak. Setelah dibungkus, warna (kecerahan) gula
diukur dengan colour reader pada tiga titik berbeda untuk mendapatkan data
yang akurat dan meminimalisir kesalahan. Langkah terakhir membandingkan
warna (kecerahan) kristal kedua jenis GKP.
3.2.4 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih

60 g GKP 1 60 g GKP 2

Pengayakan selama
10

Penimbangan gula pada setiap


fraksi ayakan

Acara praktikum kelima yaitu pengukuran jenis butir gula kristal putih.
Alat yang digunakan pada acara ini yaitu ayakan (18, 20, 25, 40, dan 50 mesh)
dan timbangan analitik. Adapun bahan yang digunakan yakni GKP 1 dan GKP 2.
Langkah yang dilakukan pertama kali yaitu menimbang 60 gram sampel (GKP 1
dan GKP 2). Kemudian ayakan disusun secara berurutan berdasarkan mesh dan
sampel dimasukkan ke dalam ayakan. Setelah dimasukkan, sampel diayak selama
10 menit. Langkah terakhir yaitu menimbang gula yang terdapat pada masing-
masing fraksi ayakan.
3.2.5 Residu Belerang Oksida (SO2)
a. Blanko

150 mL aquades

Penambahan 10 mL indikator
kanji dan 10 mL HCl

Titrasi dengan larutan iodium


Acara kelima pada praktikum ini yaitu tentang pengukuran residu belerang
oksida. Pada acara pengukuran residu sulfur oksida ini terdapat dua macam titrasi,
yiatu titrasi blanko dan titrasi sampel. Pada titrasi blanko bahan yang digunakan
antara lain aquades, indikator kanji, indikator HCl dan larutan yodium. Langkah
pertama yang dilakukan yaitu mengambil 150 ml aquades dan dimasukkan ke
dalam beaker glass. Kemudian dilakukan penambahan indikator kanji dan
indikator HCl masing-masing sebanyak 10 ml. Penambahan kedua indikator ini
bertujuan untuk mengetahui perubahan warna yanng terjadi ketika titrasi. Langkah
terakhir larutan dititrasi dengan menggunakan larutan yodium hingga berwarna
ungu sebagai acuan titik akhir titrasi atau titrasi telah selesai.
b. Residu belerang Oksida

50 gr GKP 1 dan GKP 2

Penambahan 150 mL aquades

Pengadukan hingga homogen

Penambahan 10 mL indikator
kanji dan 10 mL HCl

Titrasi dengan larutan iodium

Pada proses titrasi sampel hampir sama dengan titrasi blanko, hanya saja
pada titrasi sampel ini menggunakan sampel yaitu GKP 1 dan GKP 2. Bahan lain
yang digunakan yaitu aquades, HCl, indikator kanji dan larautan yodium.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu menimbang 50 gram sampel (GKP 1 dan
GKP 2). Kemudian penambahan 150 ml aquades untuk melarutkan sampel.
Setelah dilarutkan dengan aquades, dilakukan pengadukan hingga larutan
homogen. Penambahan 10 ml indikator kanji dan 10 ml HCl yang bertujuan untuk
mengetahui perubahan warna yang terjadi saat titrasi. Langkah terakhir yaitu
penitrasian larutan dengan menggunakan larutan yodium hingga larutan berubah
warna menjadi ungu, dimana warna ungu merupakan acuan titik akhir titrasi.
BAB 4 DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

4.1 Data Pengamatan


4.1.1 Residu Sulfur Oksida (SO2)
Gula Titran (ml) contoh Titran (ml) Blanko
1. 4,1 1. 1,2
Gula Kristal Putih A
2. 3,3 2. 1,2
1. 7,4 1. 1,2
Gula Kristal Putih B
2. 7,6 2. 1,2

4.1.2 Derajat Brix


Derajat Brix Sebelum Derajat Brix Setelah
Nira Ulangan
Defekasi Defekasi
Nira tebu 1 18,6 17
bersama 2 18,8 18,9
kulitnya 3 18,8 18,9
Nira tebu yang 1 15,4 22,6
dikupas 2 15,2 22,5
kulitnya 3 15,2 22,4

4.1.3 Defekasi
Derajat Brix Sebelum Derajat Brix Setelah
Nira Ulangan
Defekasi Defekasi
Nira tebu 1 18,6 17
bersama 2 18,8 18,9
kulitnya 3 18,8 18,9
Nira tebu yang 1 15,4 22,6
dikupas 2 15,2 22,5
kulitnya 3 15,2 22,4
4.1.4 Warna Gula Kristal Putih

Ulangan Standart GKP 1 GKP 1 Standart GKP 2 GKP 2

L = 64,2 da+= 0,2 L = 64,2 da+= 1,1


1 a+ = 2,8 db+= 1,1 a+ = 2,8 db+= 1,9
b+ = 19,8 dL-= 4,1 b+ = 19,8 dL-= 16,2

L = 64,2 da+= 0,0 L = 64,2 da+= 1,1


2 a+ = 2,8 db+= 0,3 a+ = 2,8 db+= 1,9
b+ = 19,8 dL-= 6,9 b+ = 19,8 dL-= 14,8

L = 64,2 da+= 0,1 L = 64,2 da+= 1,2


3 a+ = 2,8 db+= 0,7 a+ = 2,8 db+= 2,6
b+ = 19,8 dL-= 3,3 b+ = 19,8 dL-= 15,6

4.1.5 Besar Jenis Butir


Gula kristal Berat (gram) Berat jenis Nilai Z
butir/fraksi
putih ulangan 1
(Gram)
A Fraksi I (18 mesh) : 14,09 201,12 1567,6
Fraksi II (20mesh) : 0 0
Fraksi III (25 mesh) : 9,27 187,58
Fraksi IV (40 mesh) : 29,52 845,2
Fraksi V (50 mesh) : 5,06 203,93
Fraksi VI (lolos) : 1,61 129,77
B Fraksi I (18 mesh) : 51,38 734,865 954,198
Fraksi II (20 mesh) : 0,04 0,673
Fraksi III (25 mesh) : 3,29 66,708
Fraksi IV (40 mesh) : 4,1 117,626
Fraksi V (50 mesh) : 0,39 15,75
Fraksi VI (lolos) : 0,23 18,58
4.2 Data Perhitungan
4.2.1 Residu Sulfur Belerang
Gula Kadar SO2 (ppm) Rata-rata (ppm)
9,936
Gula Kristal Putih A 8,100
6,804
20,088
Gula Kristal Putih B 20,412
20,736

4.2.2 Derajat Brix


Rata-rata Derajat Brix Rata-rata Derajat Brix
Nira
Sebelum Defekasi Setelah Defekasi
Nira tebu
bersama 18,73 18,27
kulitnya
Nira tebu yang
dikupas 15,27 22,5
kulitnya

4.2.3 Defekasi
Rata-rata Derajat Brix Rata-rata Derajat Brix
Nira
Sebelum Defekasi Setelah Defekasi
Nira tebu
bersama 18,73 18,27
kulitnya
Nira tebu yang
dikupas 15,27 22,5
kulitnya
4.2.4 Warna Gula Kistal Putih
W (derajat
Sampel Ulangan Nilai L Nilai a Nilai b
putih)
1. 90,25 -5,54 7,61 14,3504
A (Gulaku) 2. 87,45 -5,74 6,81 -48,5961
3. 91,05 -5,64 7,21 29,0514
Rata-rata 89,583 -5,64 7,21 -1,73
1. 78,15 4,74 8,41 - 377,4225
B (Gula
2. 79,55 4,64 8,41 308,5975
Curah)
3. 78,75 4,54 9,11 - 341,3839
Rata-rata 78,817 -4,64 8,6433 -342,4679

4.2.5 Besar Jenis Butir


Gula Besar Jenis
Kristal Berat (gram) Butir (BJB)
putih mm
Ulangan 1 Ulangan 1
A Berat Kertas : 1,36
Fraksi I (18 mesh) : 14,09
Fraksi II (20 mesh) : 0
Fraksi III (25 mesh) : 9,27 0,6379
Fraksi IV (40 mesh) : 29,52
Fraksi V (50 mesh) : 5,06
Fraksi VI (baki) : 1,61
B Berat Kertas : 1,33
Fraksi I (18 mesh) : 51,38
Fraksi II (20 mesh) : 0,04
Fraksi III (25 mesh) : 3,29 1,048
Fraksi IV (40 mesh) : 4,1
Fraksi V (50 mesh) : 0,39
Fraksi VI (baki) : 0,23
BAB 5 ANALISA DAN HASIL PEMBAHASAN
5.1 Residu Belerang Oksida (SO2)
Pada percobaan ini ada dua sampel yang digunakan, yaitu GKP 1 dan
GKP 2. Residu belerang oksida ini merupakan zat endapan sisa akibat proses
sulfitasi. Berdasarkan data percobaan, diperoleh kadar SO2 pada GKP 1 lebih
kecil dibandingkan GKP 2 yaitu sebesar 8,100 ppm dan 20,412 ppm. Hal ini
karena SO2 yang ditambahkan bereaksi sisa kapur berlebih yang kemudian
membentuk endapan. Pada GKP 1 warna cenderung lebih putih karena
penambahan kapur yang lebih banyak dibandingkan pada GKP 2, sehingga pada
GKP 1 jumlah gas SO2 yang digunakan lebih banyak untuk mengendapkan kapur
yang menyebabkan kadar SO2 lebih sedikit (Hana, 2013). Sedangkan pada GKP 2
penambahan kapur lebih sedikit sehingga SO2 yang diperlukan juga sedikit dan
meninggalkan sisa sulfur belerang yang cukup tinggi. Namun pada percobaan ini,
residu pada kedua sampel tidak melebihi batas maksimum yang terdapat pada
SNI. Kadar SO2 pada suatu produk makanan menjadi kendala untuk konsumsi,
karena industri menuntut makanan dan minuman yang mereka produksi bebas dari
kandungan SO2. Kadar SO2 yang diperkenankan di Indonesia maksimal 30 ppm.
5.2 Derajat Brix dan Defekasi
Derajat brix merupakan jumlah padatan terlarut pada 100 gram larutan
yang dihitung sebagai sukrosa. Zat terlarut meliputi larutan gula dan non-gula
yang merespon dirinya sebagai brix dan dihitung setara dengan glukosa (Risvan,
2009). Berdasarkan data percobaan, diperoleh rata-rata derajat brix nira bersama
kulitnya dan tanpa kulit sebelum defekasi berturut-turut 18,73 dan 15,27. Derajat
brix nira tebu bersama kulit lebih besar, hal ini sudah sesuai dengan literatur
dimana kulit tebu banyak mengandung komponen lain yang ikut terlarut seperti
daun kering, debu, pektin, pati, dan lain-lain (Wijayanti, 2008).
Berdasarkan data percobaan setelah defekasi menunjukkan adanya penurunan
rata-rata derajat brix pada nira tebu yang tanpa pengupasan, namun tidak terlalu
signifikan yaitu sebesar 18,27. Hal ini karena defekasi mengurangi kotoran yang
terdapat pada nira sehingga jumlah padatan terlarut berkurang. Namun berbeda
dengan nira tebu yang dikupas kulitnya, dari data percobaan diketahui jika proses
defekasi malah meningkatkan nilai derajat brix. Hal ini menyimpang dari literatur
dimana pemurnian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang terlarut pada
nira, sehingga seharusnya derajat brix berkurang. Nilai derajat brix nira yang
dikupas kulitnya sebelum dan sesudah defekasi berturut-turut 15,27 dan 22,5.
Peningkatan ini cukup signifikan. Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor,
homogenisasi larutan yang kurang optimal sehingga kapur tidak mampu
mengendapkan kotoran, adanya kotoran yang menempel pada refractometer yang
berakibat pada meningkatnya nilai derajat brix nira.
5.3 Warna Gula Kristal Putih
Pada analisis warna, sampel yang digunakan yaitu GKP 1 dan GKP 2.
Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan colour reader. Color reader
adalah alat pengukur warna yang didesain dengan tiga reseptor sehingga mampu
membedakan warna akurat antara terang dan gelap (Maryanto, dkk, 2004).
Berdasarkan data percobaan diketahui jika kecerahan GKP 1 lebih baik
dibandingkan GKP 2. Kecerahan GKP 1 pada ulangan 1 hingga 3 berturut-turut
adalah 90,25; 87,45; dan 91,05 dengan rata-rata sebesar 89,583. Sedangkan
kecerahan GKP 2 pada ulangan 1 hingga 3 berturut-turut yaitu 78,15; 79,55; dan
78,75 dengan rata-rata sebesar 78,817. Hal ini sesuai dengan literatur dimana
semakin cerah sampel yang diukur, nilai L semakin mendekati 100
(Hutching,1999). Namun nilai L keduanya tidak berbeda jauh. Perbedaan nilai L
ini terjadi karena bedanya proses pemurnian. Nilai L GKP 2 lebih rendah terlihat
pada warnanya yang lebih coklat. Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor
seperti terjadinya karamelisasi, pemurnian yang kurang optimal, dan adanya
molase yang terbawa oleh kristal gula.
5.4 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih
Pada analisis besar jenis butir ini ada dua sampel yang digunakan yaitu
GKP 1 dan GKP 2. Besar jenis butir merupakan ukuran rata-rata butir kristal gula
yang dinyatakan dalam satuan mm. Tingkat keseragaman kristal gula yang tinggi
mengindikasikan bahwa kualitas kristal gula semakin baik. Persyaratan yang
ditetapkan oleh SNI untuk besar jenis butir gula adalah 0,8 1,2 (SNI, 2010).
Berdasarkan data percobaan, diperoleh besar jenis butir GKP 1 sebesar 0,6379
mm, sedangkan besar jenis butir GKP 2 sebesar 1,048 mm. Data tersebut
menunjukkan jika ukuran butir GKP 1 lebih kecil daripada ukuran butir GKP 2.
Hal ini menunjukkan ukuran butir GKP 1 tidak memenuhi standar. Hal ini bisa
terjadi karena beberapa faktor, karena proses kristalisasi dipengaruhi oleh
komponen nira khususnya sukrosa yang merupakan bahan utama pembuatan gula
sehingga perlu diperhatikan sifat-sifatnya. Hal yang perlu dikuasai untuk
mengendalikan proses meliputi sifat kelarutan sukrosa, mekanisme kristalisasi dan
sifat komponen non-sukrosa dalam nira dihubungkan dengan proses kristalisasi
yang akan terjadi.
BAB 6 PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum ini, dapat ditarik kesimpulan jika :
1. Kondisi tebu berpengaruh terhadap derajat brix nira terkait padatan
terlarut, nira yang dihasilkan dari penggilingan tebu beserta kulitnya
memiliki derajat brix yang lebih tinggi dibandingkan yang dikupas terlebih
dahulu.
2. Defekasi merupakan salah satu proses pemurnian nira dengan
menggunakan kapur. Defekasi berpengaruh terhadap nilai derajat brix
dimana proses defekasi dapat menurunkan nilai derajat brix karena
berkurangnya padatan terlarut.
3. Warna atau kecerahan gula berbeda-beda tergantung proses pemurnian
yang dilalui yang kemudian digolongkan berdasarkan jenis atau mutunya.
Kecerahan GKP 1 lebih baik dibandingkan dengan GKP 2.
4. Besar jenis butir gula dapat diketahui dengan proses pengayakan yang
kemudian dihitung polarisasinya dan dihitunga pula besar jenis butir
(BJB), dimana BJB gula yang baik berkisar antara 0,8-1,2 mm.
5. Penentuan residu belerang oksida dilakukan dengan menggunakan metode
titrasi dengan menggunakan indikator kanji dan HCl yang kemudian
dititrasi dengan larutan yodium hingga berwarna ungu sebagai titik akhir
titrasi. Dalam praktikum ini nilai residu SO2 masih tergolong wajar karena
tidak melebihi batas max 30 ppm.
6.2 Saran
Adapun saran untuk praktikum ini antara lain :
1. Perlu adanya koordinasi yang baik antara asisten dan praktikan sehingga
praktikum dapat berjalan lancar.
2. Perlu kehati-hatian dan ketelitian agar kesalahan dapat diminimalkan dan
untuk mendapatkan data yang akurat.
3. Sebaiknya asisten maupun praktikum mampu memahami praktikum yang
akan dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional. 2010. SNI 3140.3 : 2010 tentang Gula Kristal Putih.
Jakarta : Badan Standar Nasional.
Chen, J & Chou, C. 1993. Cane sugar Handbook: A manual for cane sugar
manufacturers and their chemistry. Canada : John Willey & Sons Inc.
Fitriyani, Laras. 2012. Pengelolaan Tanaman Tebu. Bandar Lampung: Politeknik
Negeri Lampung.
Hana, 2013. Ketetapan SO2 pada bahan makanan dan minuman. Yogyakarta.
Penerbit Andi.
Hidayanto, Eko dkk. 2010. Aplikasi Portable Brix Meter dalam Pengukuran
Indeks Bias. Dalam Jurnal Berkala Fisika. Vol.13, No.4, Oktober 2010 hal
113-118.
Ho, C. W. Aida, W. M. Maskat M. Y. Osman, H. 2008. Effect of thermal
processing of palm sap on physico-Chemical composition of traditional palm
sugar. Pakistan Journal of Biological Sciences.
Hutching, J.B. 1999. Food colour and Appereance. Marylan: Aspen Publisher.Inc
Maryanto, dkk. 2004. Petunjuk PraktikumTeknologi Pertanian. Jember : FTP
UNEJ
Narimo. 2009. Pembuatan Asam Oksalat dari peleburan kertas koran bekas
dengan larutan NaOH. Jurnal Kimia dan Teknologi, 5(2), pp. 73-79.
Phaichamnan, M. Posri, W. dan Meenune, M. 2010. Quality profile of palm sugar
concentrate produced in Songkhla province, Thailand. International Food
Research Journal .
Panjaitan, RR. 2008. Pengembangan Pemanfaatan Sabut Pinang untuk
Pembuatan Asam Oksalat. Berita Litbang Industri Media Publikasi dan
Komunikasi Peneliti Industri Vol.39 No.1. Juli 2008.
Purnomo. 2003. Penentuan Rendemen Gula Tebu Secara Cepat. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.
Risvan. 2008. Proses Kristalisasi Gula. Dalam http://www.risvank.com/
2008/06/proses-kristalisasi-gula. Diakses 5 Januari 2013.
Tarigan, B. Y. dan J. N. Sinulingga, 2006. Laporan Praktek Kerja Lapangan di
Pabrik Gula Sei Semayang PTPN II Sumatera Utara. Medan : Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Wardhana, Wisnu Arya. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Widyastuti, C., 1999. Diktat Kuliah Teknologi Gula. Surabaya : UPN Veteran
Jawa Timur.
Wijayanti, W. A. 2008. Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum Officinarum L.)
di, Pabrik Gula Tjoekir Ptpn X, Jombang, Jawa Timur. (Skripsi). Bogor :
Institut Pertanian Bogor.
Zultiniar. 2011. Kinetika Proses Pembuatan Asam Oksalat dari Ampas Tebu,
Prosiding SNTK TOPI. Pekanbaru. pp. 29-32.

Anda mungkin juga menyukai