NIM : 07.16.21.050
Prodi : Teknologi Hasil Pertanian
Matkul : TPHP II
A. PENDAHULUAN
Tebu adalah tanaman penghasil gula yang menjadi salah satu sumber
karbohidrat. Tanaman ini sangat dibutuhkan sehingga kebutuhannya terus meningkat
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Tebu merupakan sumber pemanis
utama di dunia, hampir 70 % sumber bahan pemanis berasal dari tebu sedangkan
sisanya berasal dari bit gula (M.Maulana Rasyid Lubis, 2015). Tebu (Saccharum
officinarum) adalah jenis tanaman penghasil gula dan hanya tumbuh di daerah yang
memiliki iklim tropis.
Keberadaan industri gula di Indonesia memegang peranan penting bagi
masyarakat Indonesia dan sektor industri lainnya karena gula merupakan salah satu
komponen penting yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia dan juga diperlukan
sebagai bahan baku bagi industri lain seperti industri tepung, makanan, serta industri
pengolahan dan pengawetan makanan.
Pada penggilingan batang tebu menjadi gula menghasilkan beberapa limbah
padat diantaranya bagas dan blotong. Bagas atau ampas tebu merupakan sisa
penggilingan dan pemerahan tebu berupa serpihan lembut serabut batang tebu yang
diperoleh dalam jumlah besar. Rendemen bagas mencapai sekitar 30-40% dari jumlah
bobot tebu yang masuk ke penggilingan. Sedangkan blotong dihasilkan dari proses
pemurnian nira dengan jumlah sekitar 3,8% dari bobot tebu. Hingga saat ini bagas
banyak digunakan untuk bahan bakar utama ketel uap saat musim giling, pembuatan
pupuk organik, pulp, papan partikel, bahan makanan ternak, dan kanvas rem.
Beberapa penelitian tentang pemanfaatan bagas antara lain sebagai bahan baku
produk amylase, asam sitrat, dan produksi selulosa asetat (Andes Ismayana, 2012).
Terdapat lima spesies tebu, yaitu Saccharum spontaneum (glagah), Saccharum
sinensis (tebu Cina), Saccharum barberry (tebu India), Saccharum robustum (tebu
Irian) dan Saccharum officinarum (tebu kunyah) (Sastrowijoyo, 1998). Sejak ditanam
sampai bisa dipanen, umur tanaman tebu mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia
tanaman tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatera (Ganjar Andaka,
2011). Tebu cocok pada daerah yang mempunyai ketinggian tanah 1 sampai 1300
meter diatas permukaan air laut. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen
mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau
Jawa dan Sumatra.
B. PEMBAHASAN
Secara morfologi, tanaman tebu dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu
batang, daun, akar dan bunga. Batang tebu memiliki sosok tinggi kurus, tidak
bercabang dan tumbuh tegak, terdiri dari banyak ruas yang setiap ruasnya dibatasi
oleh buku – buku sebagai tempat duduknya daun. Tinggi batang tanaman tebu pada
umumnya bisa mencapai 5 meter atau lebih. Kulit batang tebu keras, berwarna hijau,
kuning, ungu, merah tua atau kombinasi dari warna – warna tersebut. Batang tanaman
tebu memiliki ruas – ruas yang panjang masing - masingnya 10-30 cm. Bentuk daun
tebu berwujud helaian dengan pelepah. Panjang daun dapat mencapai 1-2 meter dan
lebar 4-8 centimeter, dengan permukaan kasar berbulu. Bunga tebu berupa bunga
majemuk yang berbentuk terurai di puncak sebuah poros gelagah. Sedangkan akarnya
berbentuk serabut (Anonim, 2002).
Kandungan sukrosa di dalam tanaman tebu sebesar 8-15% dari bobot batang
tebu. Batang tebu mengandung serat dan kulit batang sebesar 12,5% dan nira sebesar
82,5%, yang terdiri dari gula, mineral, dan bahan-bahan non gula lainya, (Gountara &
Wijandi, 1985). Menurut Soerjadi (1979), komposisi batang tebu terdiri dari
monosakarida 0,5%-1,5%, sukrosa 11%-19%, zat organik abu 0,5%-1,5%, sabut
(selulosa, pentosan) 11%-19%, asam organik 0,15%, bahan lain lilin, zat warna,
ikatan N, air 65%-75%.
Kandungan nira tebu terbanyak terdapat pada batang tebu sebesar 82,5%.
Kandungan utama dari nira tebu adalah sukrosa, terdapat dalam nira tebu sebanyak 8
– 21 % dari jumlah nira tebu. Sukrosa atau gula merupakan disakarida dengan rumus
kimia C12H22O11. Sukrosa ditemukan dalam bentuk bebas (tidak berikatan dengan
senyawa lain) di dalam tanaman, umumnya terdapat pada tanaman tebu (Saccharum
officinarum) dan bit (Beta vulgaris), (Paryanto dkk, 1999).
Nira yang didapatkan dari batang tebu melalui proses ekstrasi (penggilingan)
mempunyai ciri khas warna tertentu dan mengandung kadar glukosa yang tinggi.
Menurut Puri (2005) menyatakan bahwa nira merupakan cairan hasil penggilingan
tebu yang berwarna coklat kehijauan. Nira tebu dalam keadaan segar terasa manis,
berwarna coklat kehijau-hijauan dengan pH 5,5-6,0. Santoso (1993) menyatakan
bahwa nira sangat mudah mengalami kerusakan sehingga nira menjadi asam, berbuih
putih, dan berlendir. Apabila nira telambat dimasak biasanya warna nira akan berubah
menjadi keruh kekuningan, rasanya asam serta baunya menyengat. Kondisi dan sifat-
sifat nira ini akan menentukan sifat dan mutu produk yang dihasilkan (Muchtadi dan
Sugiyono, 1992). Umumnya nira terdiri atas 73-76% air, 11-16% serat, dan 11-16%
padatan-padatan terlarut dan tersuspensi (James & Chen, 1985).
Kandungan nira pada setiap tebu berbeda-beda, hal ini di sebabkan salah
satunya karena kesuburan tanah dimana mempengaruhi pertumbuhan tanaman tebu
sehingga mempengaruhi kandungan sukrosa pada tebu. Reece (2003), menyatakan
bahwa komposisi nira tebu tidak akan selalu sama, bergantung pada jenis tebu,
kondisi geografis, tingkat kematangan serta cara penanganan selama penebangan dan
pengangkutan.
Dengan adanya susunan komposisi kandungan gula pada tanaman tebu seperti
pada gambar 1 maka diperlukan beberapa tahapan proses pemisahan gula dan bukan
gula seperti pada gambar 2 :
Gambar 2. Bagan proses pengolahan gula Kristal putih
Berdasarkan bagan diatas, Proses pertama dalam proses produksi gula kristal
putih adalah proses pemerahan tebu di stasiun gilingan. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengambil nira sebanyak-banyaknya dari batang tebu dengan menekan kehilangan
nira dalam ampas seminimal mungkin. Sebelum masuk ke stasiun gilingan tebu yang
sudah ditebang terlebih dahulu ditimbang dengan menggunakan alat crane sebagai
pengangkut. Setelah tebu ditimbang ditarik ke arah meja tebu yang selanjutnya diatur
masuk oleh cane carrier, tebu yang telah masuk dipotong-potong oleh pisau tebu dan
dipecah-pecah menggunakan hammer shradder selanjutnya di perah menggunakan rol
gilingan I berturut-turut sampai gilingan IV. Sebagai pengencer untuk mendapatkan
nira sebanyak-banyaknya digunakan air imbibisi sebagai campuran ampas yang
keluar dari gililingan III, sedangkan nira yang keluar dari gilingan IV digunakan
pengencer ampas yang keluar dari gilingan II. Nira yang keluar dari gilingan III
digunakan pengencer ampas yang keluar dari gilingan I. Nira yang keluar dari
gilingan dari I dan II ditampung sebagai nira mentah yang belum disaring,
penyaringan nira mentah dari gilingan I dan II menggunakan DSM screen dan
hasilnya ditampung di bak nira mentah yang akan di proses lebih lanjut. Sedangkan
ampas tebu masuk ke mesin ketel yang digunakan sebagai bahan bakar dari ketel uap.
Pada proses kedua pengolahan gula kristal putih adalah proses pemunian pada
stasiun pemurnian yang bertujuan untuk memisahkan kotoran yang terdapat pada nira
mentah sehingga didapatkan nira encer dan blotong dengan tetap menjaga agar
sukrosa tidak mengalami kerusakan. Proses kimia pada stasiun pemurnian dinamakan
proses sulfitasi dimana prinsip dasar pemurnian adalah mengikat bahan selain gula
(pengotor) dengan cairan reagen tertentu sehingga didapatkan endapan, semakin
banyak endapan yang dibentuk maka semakin baik kinerja stasiun pemurnian. Pada
stasiun pemurnian menggunakan beberapa bahan pembantu yaitu susu kapur, gas
SO2, flokulan dan asam phosphat (H3PO4). Nira mentah dari stasiun gilingan dengan
pH 5,6-5,8 ditambahkan asam phosphat (H3PO4) dipanaskan sampai suhu 75°C,
kemudian ditambahkan susu kapur dan dialirkan ke defekator I-III hingga pH nira
9,5-10. Nira dari defekator III dialirkan ke sulfitator tower dengan ditambahkan gas
SO2 sehingga pH turun menjadi 7,2. Pada saat penetralan dengan gas SO2 ini kotoran
mulai mengendap. Nira dilewatkan di flash tank dan ditambahkan flokulan untuk
melepas gas sisa reaksi dan udara terlarut supaya tidak mengganggu proses
pengendapan, endapan tersebut untuk selanjutnya masuk ke dalam STC (Single Tray
Clarifier) untuk memisahkan nira jernih dengan endapan. Nira jernih kemudian
disaring dan siap untuk proses selanjutnya. Sedangkan endapan (nira kotor) masih
perlu ditambahkan ampas halus dan disaring. Hasil filtrasi nira kotor diproses kembali
bersama nira mentah sedangkan padatannya (blotong) digunakan sebagai pupuk
organik.
Tahap ketiga pada proses pengolahan produk gula kristal putih adalah
penguapan nira encer di stasiun penguapan, proses ini bertujuan menguapkan air yang
terdapat pada nira encer sampai didapatkan kekentalan tertentu disebabkan nira encer
pada proses pemurnian masih banyak mengandung air, agar proses pengkristalan
tidak terganggu maka air yang ada nira harus diuapkan. Hasil proses penguapan
adalah nira dengan kondisi kepekatan mendekati jenuh (brix 60%-70%).
Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok dan paling banyak dikonsumsi
oleh masyarakat. Gula digunakan sebagai produk makanan tentunyaharus memenuhi
standar mutu yang telah ditetapkan sehingga layak untuk dikonsumsi. Gula yang
dikonsumsi sehari- hari adalah gula kristal putih secara internasional disebut sebagai
plantation white sugar. Gula kristal putih dibuat dari tebu yang diolah melalui
berbagai tahapan proses, untuk Indonesia kebanyakan menggunakan proses sulfitasi
dalam proses pengolahan gula. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2010), standar
mutu gula yang berlaku di Indonesia (SNI) pada dasarnya mengacu pada SNI-
3140.3:2010. Kriteria standar kualitas gula kristal putihdapat dilihat pada tabel 4
sebagai berikut.
3.1 Bioetanol