Anda di halaman 1dari 28

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) dimanfaatkan sebagai bahan
baku utama dalam industri gula karena memiliki kandungan sukrosa yang tinggi
dan seratnya yang relatif rendah (Wijayanti, 2008). Batang tebu merupakan bagian
yang penting karena bagian inilah yang akan dipanen hasilnya. Pada bagian ini
banyak terdapat nira yang mengandung gula dengan kadar mencapai 20%.
Kandungan gula pada batang tebu optimal terjadi setelah fase pertumbuhan
vegetatif dan menurun sebelum fase kematian (Sutardjo, 1994).
Nira tebu merupakan cairan hasil perasan yang diperoleh dari penggilingan
tebu yang memiliki warna coklat kehijauan (Widyastuti, 1999 dalam Irawan et al.,
2015). Nira memiliki sifat yang tidak tahan lama disimpan, setelah 4 jam akan
terjadi penurunan pH, hal ini disebabkan terjadinya proses fermentasi oleh khamir.
Untuk menjaga agar supaya tidak terjadi proses fermentasi selama penyimpanan,
maka perlu dicari cara terbaik untuk mempertahankan mutu nira tersebut
(Laksamahardja, 1993). Nira tebu melalui beberapa tahap pengolahan menjadi
gula.
Hasil pertanian tebu mampu menghasilkan banyak jenis gula yaitu gula
kristal mentah, gula rafinasi dan gula kristal putih. Pada setiap jenis gula kristal
yang paling umum dikenal oleh masyarakat kebanyakan adalah gula kristal putih
atau gula pasir. Produksi gula Kristal putih di Indonesia merupakan komoditas
utama yang sangat penting bagi kebutuhan industri khususnya di bidang pangan.
Gula kristal putih yang beredar di masyarakat tidak seluruhnya bermutu baik
karena selama proses pengolahan mengalami perlakuan yang berbeda sehingga
gula kristal yang dihasilkan pun memiliki mutu yang berbeda. Sedangkan menurut
Badan Standarisasi Nasional (2010) gula kristal putih adalah gula yang dibuat dari
tebu atau bit melalui proses sulfitasi atau karbonatasi atau fosfatasi atau proses
lainnya sehingga langsung dapat dikonsumsi. Sehingga gula kristal putih yang ada
di pasaran seharusnya terbebas dari residu yang berbahaya jika dikonsumsi dalam
jangka panjang.
Berdasarkan perbedaan mutu beberapa gula kristal putih yang berada
dipasaran, maka diperlukan adanya pengamatan untuk mengetahui perbedaan
derajat brix dalam nira maupun untuk mengetahui mutu yang baik dan tidak pada
gula kristal serta residu yang terkandung dalam gula kristal yang beredar
dipasaran.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1.2.1 Mengetahui pengaruh kondisi tebu terhadap derajat Brix nira.
1.2.2 Mengetahui pengaruh perlakuan defekasi terhadap derajat Brix nira.
1.2.3 Mengetahui warna (kecerahan) gula kristal putih
1.2.4 Menentukan besar jenis butir gula kristal putih.
1.2.5 Menentukan residu belarang oksida pada gula kristal putih dan gula kristal
putih kecokelatan
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tebu

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) dimanfaatkan sebagai bahan


baku utama dalam industri gula karena memiliki kandungan sukrosa yang tinggi
dan seratnya yang relatif rendah (Wijayanti, 2008). Menurut Indrawanto (2010)
berikut merupakan klasifikasi dari tanaman tebu:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledone

Ordo : Graminales

Famili : Graminae

Genus : Saccharum

Species : Saccarum officinarum L.

Tanaman tebu memiliki batang yang berdiri lurus dan beruas-ruas yang
dibatasi dengan buku-buku. Tebu memilki daun tidak lengkap, karena hanya
terdiri dari helai daun dan pelepah daun saja. Daun berkedudukan pada pangkal
buku. Panjang helaian daun antara 12 meter, sedangakan lebar 47 cm, dan
ujung daunnya meruncing (Supriyadi, 1992). Diameter batang antara 3-5 cm
dengan tinggi batang antara 2-5 meter dan tidak bercabang. Bentuk ruas batang
dan warna batang tebu yang bervariasi merupakan salah satu ciri dalam
pengenalan varietas tebu (Wijayanti, 2008).
Batang tebu merupakan bagian yang penting karena bagian inilah yang akan
dipanen hasilnya. Pada bagian ini banyak terdapat nira yang mengandung gula
dengan kadar mencapai 20%. Kandungan gula pada batang tebu optimal terjadi
setelah fase pertumbuhan vegetatif dan menurun sebelum fase kematian (Sutardjo,
1994). Proses terbentuknya rendemen gula di dalam batang tebu berjalan dari
ruas ke ruas yang tingkat kemasakannya tergantung pada umur ruas. Ruas di
bawah (lebih tua) lebih banyak tingkat kandungan gulanya dibandingkan dengan
ruas di atasnya (lebih muda), demikian seterusnya sampai ruas bagian pucuk. Oleh
karena itu, tebu dikatakan sudah mencapai masak optimal apabila kadar gula di
sepanjang batang telah seragam, kecuali beberapa ruas di bagian pucuk
(Supriyadi, 1992). Pengembangan industri gula mempunyai peranan penting
bukan saja dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah serta
penambahan atau penghematan devisa, tetapi juga langsung terkait dengan
pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dan penyediaan lapangan kerja (Farid,
2003).

2.2 Nira Tebu


Menurut Widyastuti (1999) dalam Irawan et al. (2015) nira tebu
merupakan cairan hasil perasan yang diperoleh dari penggilingan tebu yang
memiliki warna coklat kehijauan. Nira tebu selain mengandung gula, juga
mengandung zat-zat lainnya (zat non gula). Kandungan gula pada nira tebu
berbeda-beda, hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu cara
pemeliharaan, jenis tebu, iklim, dan umur tebu. Perolehan nira tebu yang
mengandung sukrosa, diperoleh dari tebu dengan pemerahan dalam unit
penggilingan setelah melalui proses dalam unit pencacah tebu. Proses ini
dimaksudkan untuk mempermudah proses ekstraksi berikutnya. Dalam unit
penggilingan tebu, nira terperah keluar, yang tersisa adalah ampas (Kultsum,
2009). Di dalam nira terdapat banyak sekali zat zat yang terkandung
didalamnya, misalnya daun kering, blendok, pectin serta polisakarida starch,
karena biasanya tebu yang digiling didalam pabrik dalam keadaan kotor, kering,
tidak dicuci, dan tidak dikuliti terlebih dahulu. Komposisi nira tebu rata-rata
mengandung sukrosa (10 - 11%), air (2%), zat lain bukan gula (74 76%) dan
sabut (14%), kandungan ini tergantung jenis tebu (Setyohadi, 2006).
Nira memiliki sifat yang tidak tahan lama disimpan, setelah 4 jam akan terjadi
penurunan pH, hal ini disebabkan terjadinya proses fermentasi oleh khamir. Untuk
menjaga agar supaya tidak terjadi proses fermentasi selama penyimpanan, maka
perlu dicari cara terbaik untuk mempertahankan mutu nira tersebut
(Laksamahardja, 1993). Menurut Tjokroadikoesoemo (2005) kerusakan nira
akibat aktivitas organisme dapat menyebabkan 2 kerugian yaitu:
a. Rusaknya gula berarti kehilangan langsung dari gula yang seharusnya
dapat dijadikan kristal.
b. Rusaknya gula akan berarti menambah kotoran dalam nira yang akan
menyebabkan bertambahnya kesulitan proses dan jumlah molase
bertambah, selanjutnya juga kehilangan gula akan menjadi semakin besar
Komponen yang terkandung dalam nira tebu dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Komposisi nira tebu
Komposisi nira tebu Jumlah
Air 70-75%
Sukrosa 11-16%
Gula reduksi 0,4-2%
Organik non-gula 0,5-1%
Mineral 0,5-1%
Serat 10-16%
Sumber: Loto, et al (2012)

Berikut komposisi yang terkandung dalam nira menurut Gandana dan


Ananta (1974) adalah:

Tabel 2. Komposisi Nira


Besarnya Komposisi
Brix 16,88 17,85 %
HK Pol 82,69 83,49 %
Sukrosa 12,09 13,24 %
Gula Reduksi 79 1,35 %
Abu Fosfat 0,7 1,25 %
Sumber: Gandana dan Ananta (1974)

2.3 Derajat Brix

Brix ialah zat padat kering terlarut dalam 100 gram larutan. Zat yang
terlarut sebagai gula (sukrosa, glukosa, fruktosa, dan lain-lain), atau garam-garam
klorida atau sulfat dari kalium, natrium, kalsium dan lain-lain merespon dirinya
sebagai brix (Risvank, 2009). Jadi jika di dalam suatu larutan diuji derajat
brixnya muncul angka 20, maka dalam 100 gram larutan nira tersebut 20 gramnya
merupakan padatan terlarut dan 80 gramnya adalah pelarut atau air. Sedangkan
untuk mengetahui banyaknya gula yang terkandung dalam gula lazim dilakukan
analisa brix dan pol. Kadar pol menunjukkan resultante dari gula (sukrosa dan
gula reduksi) yang terdapat dalam nira. Jika semakin besar kadar % brix maka
potensi kandungan sukrosa yang terkandung semakin besar pula (Kuswurj, 2011).
Menurut Pratama (2015) nira yang baik adalah yang nira memiliki derajat brix
sebesar 40%-75%. Apabila derajat brix kurang ataupun melebihi dari ketentuan
maka kualitas gula juga menjadi rendah.
Menurut Pratama (2015) pengukuran derajat brix dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu:
a. Pengukiran brix dengan piknometer
Piknometer adalah suatu alat untuk menentukan berat jenis benda. Alat ini
terbuat dari gelas berbentuk seperti botol kecil, dilengkapi dengan tutup
dengan lubang kapiler. Alat ini mempunyai volume tertentu dan dibuat
sedemikian sehingga pada t0 yang sama selalu terukur volume yang sama.
Dengan menggunakan piknometer yang berisi air kemudian setelah itu
piknometer diisi larutan gula, dan setelah dikoreksi dengan temperature maka
dapat dihitung berat jenis larutan tersebut. Dari tabel berat jenis brix didapat
brix yang belum dikoreksi. Kemudian dengan melihat tabel koreksi
temperature dapat dihitung brix terkoreksi.
b. Penentuan Brix dengan Hydrometer (Timbangan Brix)
Alat ini paling umum pemakaiannya di pabrik, karena pemakaiannya
mudah dan cepat. Terbuat dari bahan gelas, berbentuk silindris yang bagian
bawahnya berbentuk bola. Pada bagian atas meruncing dan pada bagian ini
terdapat skala yang menunjukkan derajat brix.
Prinsip kerjanya adalah bahwa gaya keatas yang dialami oleh suatu benda
yang dicelupkan dalam cairan tergantung dari berat jenis cairan. Jadi semakin
kecil berat jenis maka hidrometer semakin tenggelam. Kemudian brix akan
ditunjukkan pada skala yang persis berada di permukaan cairan tersebut.
c. Pengukuran Brix dengan indeks bias
Indeks bias suatu larutan gula atau nira mempunyai hubungan yang erat
dengan brix. Artinya bahwa jika indeks bias nira bisa diukur, maka brix nira
dapat dihitung berdasarkan indeks bias tersebut. Alat untuk mengukur brix
dengan indeks bias dinamanakan Refraktometer. Dengan menggunakan alat
ini contoh nira yang digunakan sedikit dan alatnya tidak mudah rusak.
2.4 Metode Pemurnian
Pemurnian nira memegang peranan sangat penting, terutama terhadap
kualitas produk gula. Menurut Moerdokusumo (1993) proses pemurnian bertujuan
untuk memurnikan nira mentah dengan perlakuan sedemikian rupa, sehingga
memudahkan proses selanjutnya. Di Indonesia proses standar yang ditetapkan
adalah meliputi :

a. Proses Defekasi
Wijayanti (2008) menyatakan bahwa, pemurnian cara defekasi
adalah cara pemurnian yang paling sederhana, bahan pembantu hanya
berupa kapur tohor. Kapur tohor hanya digunakan untuk menetralkan
asam-asam yang terdapat dalam nira dan mengendapkan kotoran yang ada
dalam nira. Nira yang telah diperoleh dari mesin penggiling diberi kapur
sampai diperoleh harga pH sedikit alkalis (pH 7,2). Nira yang telah diberi
kapur kemudian dipanaskan sampai mendidih. Endapan yang terjadi
dipisahkan. Cara ini adalah yang paling sederhana tetapi hasil
pemurniannya juga belum sempurna, terlihat dari hasil gulanya yang
masih berupa kristal yang berwarna merah atau coklat. Pada proses
pembuatan gula kasar dengan defekasi, penghilangan warna belum
berlangsung efektif karena hanya sebagian kecil zat pembentuk warna
yang dapat dihilangkan. Selain itu, masih terdapat bahan pengotor, seperti
asam amino dan gula pereduksi yang dapat membentuk warna dengan
mekanisme reaksi pencoklatan non-enzimatik pada proses penguapan dan
pemasakan sehingga zat warna tersebut terkristalkan dalam gula kasar.
Oleh karena itu, proses pemucatan gula kasar menjadi sangat penting
dalam meningkatkan kualitas gula kristal (Namiki, 1988).
b. Proses Sulfitasi
Yaitu proses pemberian SO2 ke dalam nira mentah. Sulfitasi dilakukan di
tangki sulfitasi. Proses sulfitasi dengan penambahan gas SO 2 hingga pH 6,5.
Penambahan gas SO2 suhu 70-80C bertujuan untuk:

1) Menetralkan kelebihan susu kapur (menetralkan pH nira), dan


sebagai bleaching agent (zat pemutih).
2) Mengikat unsur-unsur lain yang bereaksi pada defekator.
3) Menurunkan pH, dan membentuk CaSO4 untuk mengikat
kotoran dalam nira. Pada suhu tersebut, kelarutan CaSO4 rendah,
sehingga proses pengendapan akan optimal.

Endapan CaSO4 akan mengikat kotoran yang terlarut dalam nira.


Senyawa CaSO4 merupakan senyawa yang menarik sebagian kotoran yang
ada pada nira membentuk floc. Kemudian nira mentah tersulfitasi di tangki
reaksi dipompa ke Heater untuk dipanaskan pada suhu 105-110C. Tujuan
pemanasan pada suhu 105-110C adalah:

1) menyempurnakan reaksi pencampuran nira mentah, susu


kapur dan gas SO2 dan mempercepat reaksi terutama untuk
pembentukan endapan CaSO4 dan Ca3(PO4)2.
2) mengantarkan nira pada titik didih dengan maksud untuk
lebih memudahkan pengeluaran gelembung-gelembung dan
udara yang akan dikeluarkan melalui prefloc
tower.membunuh mikrooorganisme yang dapat menginversi
sukrosa.
3) memperbesar daya absorbsi pada garam-garam Ca terhadap
koloid sehingga membantu proses pengendapan.

Selanjutnya nira mentah tersulfitasi dipompa ke Prefloc tower, untuk


menghilangkan gas SO2 dan gas sisa reaksi yang masih terlarut dalam nira.
Pada Prefloc tower ditambahkan flocculan jenis.

c. Proses Karbonatasi
Karbonatasi merupakan reaksi yang terjadi akibat interaksi susu kapur
(Ca(OH)2) dan gas CO2 membentuk endapan senyawa kalsium karbonat
(CaCO3) (Mathur, 1978).Pada sulfitasi, bahan pengotor yang dihilangkan
masih lebih rendah dibandingkan karbonatasi. Selain itu, sulfitasi akan
menyebabkan korosi besi pada pipa-pipa. Bahan pengotor yang dapat
dihilangkan dengan defekasi, sulfitasi, dan karbonatasi adalah 12,7 %, 11,7 %,
dan 27,9 % (Mathur, 1978). Dalam karbonatasi, akan terjadi adsorpsi bahan
pengotor, bahan penyebab warna, gum, asam organik, dan lain-lain. Proses ini
diawali dengan terbentuknya senyawa intermediet antara sukrosa dan kalsium
hidroksida. Terbentuknya senyawa kalsium karbonat dapat mengadsorpsi dan
mengendapkan bahan pengotor (Goutara dan Wijandi, 1975).

2.5 Gula dan SNI Gula


Industri tebu hulu menghasilkan 2 golongan produk yakni gula kristal dan
gula merah tebu. Gula kristal ada beberapa macam yakni gula kristal putih, gula
kristal mentah dan gula kristal rafinasi. Gula kristal putih adalah gula yang dibuat
dari tebu atau bit melalui proses sulfitasi atau karbonatasi atau fosfatasi atau
proses lainnya sehingga langsung dapat dikonsumsi. Gula kristal putih di pasaran
atau di masyarakat dikenal dengan gula pasir (Badan Standarisasi Nasional,
2010). Syarat mutu gula kristal putih berdasarkan SNI3140.3:2010 seperti
pada Tabel 3 di bawah ini:

Tabel 3. Syarat mutu gula kristal putih

Persyaratan
No. Parameter uji Sa-
tuan GKP 1 GKP 2

1. Warna
1.1 Warna Kristal CT 4,0 -7,5 7,6 -10,0

1.2 Warna larutan lU 81 200 201 -300


(ICUMSA)
2. Besar jenis butir mm 0,8 - 1,2 0,8 - 1,2
3. Susut pengeringan (b/b) % maks 0,1 maks 0,1

4. Polarisasi (Z, 20C), Z min99,6 min 99,5


5. Abu konduktiviti (b/b) % Maks 0,10 Maks 0,15
6. Bahan tambahan pangan
6.1 Belerang dioksida mg/k maks 30 maks 30
(SO2) g
7 Cemaran logam
7.1 Timbal (Pb) mg/k maks 2 maks 2
g
7.2 Tembaga (Cu) mg/k maks 2 maks 2
g
7.3 Arsen (As) mg/k maks 1 maks 1
g
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2010)

Gula kristal mentah (raw sugar) adalah gula kristal sakarosa yang dibuat dari
tebu melalui proses defekasi, yang tidak boleh langsung dikonsumsi oleh manusia
sebelum diproses lebih lanjut (Badan Standarisasi Nasional, 2008). Jadi gula
kristal mentah pembuatannya hampir sama dengan gula kristal putih akan tetapi
tidak melalui proses sulfitasi atau karbonatasi.

Gula kristal rafinasi (refined sugar) adalah gula sukrosa yang diproduksi
melalui tahapan pengolahan gula kristal mentah meliputi : afinasi, pelarutan
kembali (remelting), klarifikasi, filtrasi, dekolorisasi, kristalisasi, fugalisasi,
pengeringan, pengemasan (Badan Standarisasi Nasional, 2011). Gula kristal
rafinasi menggunakan bahan baku gula kristal mentah yang melalui proses afinasi
(pencucian) yang bertujuan untuk memnghilangkan lapisan molase pada gula
kristal mentah. Proses selanjutnya pelarutan kembali gula kristal mentah yang
dilanjutkan klarifikasi (penyaringan), fostfatasi (defekasi pada gula kristal mentah,
tetapi penambahan fosfat dari luar ), karbonatasi, filtrasi, dekolorisasi
(penghilangan kotoran atau pigmen warna dengan senyawa adsorben), fugalisasi,
pengeringan, pengemasan.

Gula merah tebu adalah gula yang dihasilkan dari pengolahan air atau sari
tebu (Saccharum officinarum) melalui pemasakan dengan atau tanpa penambahan
bahan tambahan yang diperbolehkan, dan berwarna kecoklatan (Badan
Standarisasi Nasional, 2000). Proses pembuatan GMT hampir sama dengan gula
kristal putih, tetapi tidak melalui proses pemutihan/pemurnian
(sulfitasi/karbonatasi) dan pengkristalan.

2.6 Sulfur Dioksida


Gas sulfur dioksida adalah suatu gas yang diperoleh dari hasil pembakaran
belerang dengan oksigen. Sulfur dioksida merupakan gas yang tidak berwarna dan
berbau rangsang. Di dalam pabrik sulfitasi, gas sulfur dioksida digunakan sebagai
pembentuk endapan, kelebihan susu kapur akan dinetralkan kembali dengan asam
yang terbentuk bila gas sulfur dioksida bertemu dengan air. Sebagai hasil dari
proses reaksi penetralan akan terbentuklah suatu endapan yang berwarna putih
dan dapat menghilangkan kotoran-kotoran lembut yang terdapat di dalam nira

SO 2
(Soemarno,1991). Menurut Goutara dan Wijandi (1975) akan memberikan

dampak negatif untuk berbagai aspek kehidupan. Bagi kesehatan manusia


menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan manusia, bronkhitis, dan episema.
Kerusakan yang akan terjadi pada tanaman adalah pada struktur daun serta
fungsinya yaitu penyakit nekrosis. Pemaparan sulfur dioksida berlebihan pada
daun menyebabkan kerusakan pada parenkim dalam mesopil diikuti oleh bagian
palisade. Efek sulfur dioksida juga dapat merusak material pembuat dinding
bangunan salah satunya menyebabkan korosi.
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1. Refraktometer
2. Penangas Air
3. Pipet
4. Spatula
5. Colour Reader
6. Neraca Analitik
7. Ayakan
8. Stopwatch
9. Buret
10. Beaker Glass
11. Labu Takar 1000 ml
12. Erlenmeyer
3.1.2 Bahan
1. Nira Tebu
2. Larutan Kapur
3. Gula Kristal Putih
4. Aquadest
5. Indikator Amilum
6. Larutan HCl
7. Larutan Iodium
8. Larutan Kanji
9. Kalium Iodin
10. Larutan standar Tiosulfat
11. Label
12. Tissue
3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
3.2.1. Derajat Brix (Tanpa Defekasi)

150 ml Nira dengan kulit150 ml Nira tanpa kulit

Refraktometer
Pengukuran derajat brix pada pengamatan ini dilakukan dengan
Pengamatan (3x ulangan)
menggunakan alat refraktometer. Refraktometer adalah alat untuk mengukur brix
dengan indeks bias, artinya bahwa jika indeks bias nira bisa diukur, maka brix nira
dapat dihitung berdasarkan indeks bias tersebut (Pratama, 2015). Pengamatan
dimulai dengan menyiapkan dua macam sampel nira yaitu nira dengan kulit (tebu
digiling bersama kulit) dan nira tanpa kulit (tebu digiling tanpa kulit). Sampel
yang dibutuhkan masing-masing sebanyak 150 ml, sampel diperlukan banyak
karena nantinya akan dilanjutkan dengan perlakuan defekasi setelah diukur derajat
brixnya. Mula-mula refraktometer dibersihkan menggunakan aquades dan
dikeringkan dengan tissue supaya debu dan kotoran yang menempel pada kaca
refraktometer tidak mempengaruhi nilai derajat brix yang diperoleh dari indeks
bias nira. Kemudian nira diteteskan pada permukaan kaca refraktometer dengan
pipet tetes dan ditutup dengan penutupnya. Penggunaan alat ini harus ditempat
yang cukup cahaya agar bisa terlihat skala yang diperoleh. Skala akan muncul
pada refraktometer dan pengamatan dilakukan dengan pengulangan tiga kali
sehingga lebih baik ketelitiannya.
3.2.2 Defekasi

150 ml Nira dengan kulit 150 ml Nira tanpa kulit

Pemanasan 750C

Penambahan larutan kapur (pH netral)

Pemanasan 30 menit

Pengadukan

Pendinginan

Refraktometer (3x)

Pembandingan
Pengamatan dengandefekasi
dengan perlakuan sebelum defekasi
bertujuan untuk membandingkan
nilai derajat brix sesudah defekasi dan sebelum defekasi. Sampel yang digunakan
ada dua macam sampel nira yaitu nira dengan kulit (tebu digiling bersama kulit)
dan nira tanpa kulit (tebu digiling tanpa kulit). Sampel yang dibutuhkan masing-
masing sebanyak 150 ml. Masing-masing nira dimasukkan kedalam beaker glass
dan dipanaskan hingga suhu mencapai 75C. Setelah suhu mencapai 75C
ditambahkan larutan kapur pada masing-masing sampel sampai pH pada larutan
nira netral (diukur dengan kertas lakmus). Larutan kapur yang ditambahkan pada
nira akan berikatan dengan fosfat yang ada pada nira membentuk garam fosfat
yang akan mengendapkan kotoran, selain itu larutan kapur juga berfungsi
menaikkan pH agar sukrosa yang mudah terhidrolisis dalam keadaan asam tidak
terhidrolisa menjadi sukrosa dan fruktosa. Setelah penambahan larutan kapur
sampai pH netral, larutan nira dipanaskan selama 30 menit sambil diaduk.
Pengadukan bertujuan agar larutan kapur merata dalam nira. Kemudian nira
didinginkan dan memberi kesempatan kotoran untuk mengendap. Setelah dingin
ambil nira jernih dibagian atas dengan pipet dan ukur derajat brixnya dengan
Refraktometer. Penggunaan refraktometer sama dengan penggunaan pada acara 1
(derajat brix nira). Pengamatan juga dilakukan tiga kali ulangan agar mendapat
ketelitiuan yang baik. Hasil pengukuran derajat brix nira setelah defekasi
dibandingkan dengan hasil pemngamatan pada acara 1 (derajat brix nira tanpa
defekasi).

3.2.3 Warna Gula Kristal

GKP 1 GKP2

Color reader (3kali pengulangan)

Pengamatan

Pengamatan warna pada gula kristal putih dilakukan dengan dua sampel.
Sampel pertama adalah gula kristal putih yang berwarna putih bersih dan gula
kristal putih dengan warna agak gelap. Kedua sampel tersebut dimasukkan dalam
plastik bening. Perlakuan ini bertujuan untuk mempermudah pengamatan supaya
gula tidak tercecer dan warnanya lebih kelihatan. Sampel gula dalam plastik
kemudian diamati warnanya (kecerahan) menggunakan colour reader dengan
melihat nilai L. Pengamatan ini dilakukan dengan tiga kali ulangan untuk
memperoleh ketelitian yang baik. Hasil dari kedua sampel dibandingkan.
60 gram GKP

3.2.4 Besar Jenis Gula Kristal Putih

60 gram GKP
Penimbangan pada setiap fraksi

Pengayakan 10 menit

Pengamatan besar jenis gula kristal putih dilakukan dengan menggunakan


ayakan yang terdiri dari beberapa mesh. Mesh yang digunakan pada pengamatan
ini adalah 16, 18, 20, 25, dan 40. Sampel yang digunakan adalah dua macam gula
kristal putih dengan ukuran kristal yang berbeda. Pengamatan dimulai dengan
menyusun ayakan dengan ukuran ayakan paling besar berada di paling atas,
penyusunan ayakan seperti itu bertujuan agar kristal yang lebih kecil dapat lolos
dan terayak lagi oleh ayakan dengan lubang lebih kecil dibawahnya. Kemudian
dilakukan penimbangan sampel masing-masing sebanyan 60 gram. Sampel yang
telah ditimbang dimasukkan pada ayakan paling atas kemudian dilakukan
pengayakan selama 10 menit. Setelah pengayakan fraksi dari setiap ayakan
dihitung presentasenya dan dibandingkan dengan besar jenis gula kristal putih
sesuai SNI.
3.2.5 Residu Belerang Oksida (SO2)
a. Blanko

150 ml aquadest
Penambahan 10 ml indikator
amilum + 10 ml HCl

Titrasi dengan I2 (warna


ungu muda) (V)

Pengamatan residu belerang oksida (SO2) menggunakan metode titrasi.


Pertama yang harus dilakukan adalah menyiapkan larutan iod untuk titrasi.
Larutan iod dibuat dari campuran 6 gram KI yang dilarutkan sedikit demi sedikit
dalam labu takar 1000 mL, setelah larut tambahkan 0,8 gram iod kristal dan
dikocok hingga larut dan ditera hingga 1000 ml. Larutan iod yang telah jadi
didiamkan selama 24 jam sebelum digunakan dan disimpan dalam botol warna
gelap. Kemudian dilakukan titrasi larutan iod dengan larutan tiosulfat yang
ditambahkan indikator kanji dan larutan iod yang digunakan untuk titrasi

SO 2 /ml
disetarakan dengan mg . Setelah diperoleh larutan iod setara mg

SO 2 /ml
dilakukan titrasi blanko yang dimulai dengan persiapan blanko yakni

150 mL aquades ditambah 10 ml indikator amilum dan 10 ml HCl 5% , semua


larutan tersebut dijadikan satu pada erlenmeyer. Blanko pada erlenmeyer dititrasi
dengan larutan iodium sampai timbul warna ungu muda. Catat volume larutan
iodium yang digunakan untuk titrasi.
1. Contoh

50 gr GKP 1 50 gr GKP 2

Penambahan 150 ml
aquadest

Penambahan 10 ml HCl +
10 ml amilum

Titrasi dengan I2 (warna


ungu muda) (t)
Pengamatan residu belerang pada sampel diawali dengan penimbangan
sampel. Sampel yang digunakan adalah dua macam gula kristal putih yang
berbeda kecerahannya. Masing-masing sampel ditimbang 50 gram dan dilarutkan
dalam 150 mL aquades. Pada masing-masing larutan sampel ditambahkan 10 ml
HCl 5% dan 10 mL indikator amilum. Kemudian dilakukan titrasi pada sampel
dengan larutan iodium sampai muncul warna ungu muda. Volume larutan iod yang
digunakan untuk titrasi dicatat dan digunakan untuk perhitungan kadar residu
belerang dalam ppm. Hasil perhitungan dibangdingkan antara sampel 1 dan
sampel 2.
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN

4. 1 Hasil Pengamatan
4. 1. 1 Derajat Brix dan Defekasi
Tabel 3. Data Pengamatan Derajat Brix dan Defekasi Shift 1
Nira ulangan Derajat Brix Derajat Brix
setelah defekasi
Nira tebu bersama Shift 1 1. 17,6 1. 15,5
kulitnya 2. 17,6 2. 15,4
3. 17,8 3. 15,4
Shift 2 1. 16,5 1. 16,8
2. 17 2. 17,2
3. 17,2 3. 17,2
Nira tebu yang Shift 1 1. 17,4 1. 16
dikupas kulitnya 2. 17,4 2. 16
3. 17,6 3. 16,10
Shift 2 1. 16 1. 18,00
2. 16, 1 2. 18,6
3. 17,02 3. 18,8

4. 1. 2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih


Tabel 4. Data Pengamatan Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih Shift 1
Gula Kristal Standartan
Ulangan Nilai L
Putih Colour Reader
A Shift 1 1. 63 1. 60,9
2. 63 2. 58,4
3. 64 3. 58,3
Shift 2 1. 63 1. 57,1
2. 63 2. 56,1
3. 64 3. 57,87
B Shift 1 1. 64 1. 51,8
2. 64 2. 52,0
3. 63 3. 51,2
Shift 2 1. 64 1. 52,7
2. 64 2. 53,37
3. 63 3. 52,57
4. 1. 3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih
Tabel 5. Data Pengamatan Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih
Gula kristal putih Berat (gram) (Shift 1) Berat (gram) (Shift 2)
GKP 1 Fraksi I : 4,96 Fraksi I : 3,42
Fraksi II : 13,65 Fraksi II : 12,5
Fraksi III : 0,75 Fraksi III : 0
Fraksi IV : 8,78 Fraksi IV : 9,66
Fraksi V : 25,33 Fraksi V : 25,54
Fraksi VI : 8,82 Fraksi VI : 9,35
GKP 2 Fraksi I : 11,38 Fraksi I : 8,89
Fraksi II : 15,31 Fraksi II : 14,37
Fraksi III : 0,76 Fraksi III : 0
Fraksi IV : 8,35 Fraksi IV : 7,94
Fraksi V :21,01 Fraksi V :21,81
Fraksi VI :6,44 Fraksi VI :6,31

4. 1. 4 Residu Belerang Oksida (SO2)


Tabel 6. Data pengamatan Residu Belerang Oksida (SO2)
Gula Titran (ml) contoh Titran (ml) blanko
Gula kristal putih A 4,1 2,4
Gula kristal putih B 7,7 2,4

4. 2 Hasil Perhitungan
4.2. 1 Derajat Brix dan Defekasi
Tabel 7. Data Hasil Perhitungan Derajat Brix dan Defekasi
Nira ulangan Derajat Brix Rata Derajat Brix Rata
rata setelah rata
defekasi
Nira tebu Shift 1 1. 17,6 17,67 1. 15,5 15,50
bersama 2. 17,6 2. 15,4
kulitnya 3. 17,8 3. 15,4
Shift 2 1. 16,5 16,90 1. 16,8 17,07
2. 17 2. 17,2
3. 17,2 3. 17,2
Nira tebu Shift 1 1. 17,4 17,47 1. 16 16,03
yang dikupas 2. 17,4 2. 16
kulitnya 3. 17,6 3. 16,10
Shift 2 1. 16 16,37 1. 18,00 18,47
2. 16, 1 2. 18,6
3. 17,02 3. 18,8

4.2. 2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih


Tabel 8. Data Hasil Perhitungan Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih
Gula Kristal Standartan Rata rata
Ulangan Nilai L
Putih Colour Reader nilai L
A Shift 1 1. 63 1. 60,9 59,20
2. 63 2. 58,4
3. 64 3. 58,3
Shift 2 1. 63 1. 57,1 57,02
2. 63 2. 56,1
3. 64 3. 57,87
B Shift 1 1. 64 1. 51,8 51,67
2. 64 2. 52,0
3. 63 3. 51,2
Shift 2 1. 64 1. 52,7 52,88
2. 64 2. 53,37
3. 63 3. 52,57

4.2. 3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih


Tabel 9. Data Hasil Perhitungan Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih
Gula Berat (gram) Berat Jenis Butir
kristal (BJB) (mm)
putih I II I II
GKP 1 Fraksi I : 4,96 Fraksi I : 3,42 0,53 0,511
Fraksi II : 13,65 Fraksi II : 12,5
Fraksi III : 0,75 Fraksi III : 0
Fraksi IV : 8,78 Fraksi IV : 9,66
Fraksi V : 25,33 Fraksi V : 25,54
Fraksi VI : 8,82 Fraksi VI : 9,35
GKP 2 Fraksi I : 11,38 Fraksi I : 8,89 0,61 0,593
Fraksi II: 15,31 Fraksi II : 14,37
Fraksi III : 0,76 Fraksi III : 0
Fraksi IV: 8,35 Fraksi IV : 7,94
Fraksi V: 21,01 Fraksi V : 21,81
Fraksi VI :6,44 Fraksi VI :6,31
4.2. 4 Residu Belerang (SO2)
Tabel 10. Data Hasil Perhitungan Residu Belerang
Gula Titran (ml) Titran (ml) blanko Residu belerang
contoh (ppm)
Gula kristal putih 4,1 2,4 5,4351
A
Gula kristal putih 7,7 2,4 16,9349
B
BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Derajat Brix

Pengamatan derajat brix dari yang diperoleh dua sampel nira yang berbeda
yakni nira dengan kulit dan nira tanpa kulit. Hasil pengamatan diperoleh rata-rata
17,67 untuk nira dengan kulit dan 17,47 untuk nira tanpa kulit pada shift 1
sedangkan pada shift 2 diperoleh nilai derajat brix 16,90 untuk nira dengan kulit
dan 16,37 untuk nira tanpa kulit. Hasil pengamatan derajat brix dari nira dengan
kulit lebih besar karena pada kulit tebu mengandung beberapa komponen padatan
yang menambah besar nilai derajat brix. Hal ini sesuai dengan literatur menurut
Setyohadi (2006) yang menyatakan bahwa di dalam nira terdapat banyak sekali
zat zat yang terkandung didalamnya, misalnya daun kering, blendok, pectin
serta polisakarida starch, karena biasanya tebu yang digiling didalam pabrik
dalam keadaan kotor, kering, tidak dicuci, dan tidak dikuliti terlebih dahulu.
Komposisi nira tebu rata-rata mengandung sukrosa (10 - 11%), air (2%), zat lain
bukan gula (74 76%) dan sabut (14%), kandungan ini tergantung jenis tebu.
Sehingga nira dengan kulit memiliki derajat brix yang lebih besar dibanding nira
tanpa kulit.

5.2 Defekasi

Pengamatan acara defekasi bertujuan untuk membandingkan derajat brix


nira sebelum defekasi dan nira setelah defekasi. Hasil rata-rata derajat brix yang
diperoleh adalah 15,50 untuk nira dengan kulit dan 16,03 untuk nira tanpa kulit
pada shift 1. Jika dibandingkan dengan hasil derajat brix sebelum defekasi pada
shift 1 sampel nira dengan kulit dan tanpa kulit diperoleh nilai lebih kecil. Hal ini
sesuai dengan tujuan defekasi yaitu mengendapkan kotoran yang juga padatan
terlarut dalam nira dan peristiwa ini didukung oleh literatur menurut Wijayanti
(2008) menyatakan bahwa, pemurnian cara defekasi adalah cara pemurnian yang
paling sederhana, bahan pembantu hanya berupa kapur tohor. Kapur tohor hanya
digunakan untuk menetralkan asam-asam yang terdapat dalam nira dan
mengendapkan kotoran yang ada dalam nira. Sehingga diperoleh nilai derajat brix
lebih kecil setelah defekasi. Akan tetapi pada shift 2 diperoleh hasil derajat brix
yang meningkat setelah defekasi dari sampel dengan kulit maupun tanpa kulit
yakni 17,07 untuk sampel dengan kulit dan 18,47 untuk sampel tanpa kulit. Hal
ini dimungkinkan dari alat yang digunakan kurang bersih sebelum digunakan dan
larutan nira yang belum mengendap sempurna sehingga endapan garam fosfat ikut
terhitung dalam derajat brix.

5.3 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih

Pengamatan warna kristal gula menggunakan 2 sampel yakni gulaku dan


gula curah. Dari pengamatan diperoleh derajat kecerahan (L) pada shift 1 yakni
59,20 untuk sampel gulaku dan 51,67 untuk gula curah, sedangkan untuk shift 2
diperoleh nilai (L) 57,02 untuk sampel gulaku dan 52,88 untuk sampel gula curah.
Dari kedua shift diperoleh nilai kecerahan yang lebih tinggi dari sampel gulaku
dibanding gula curah. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan kualitas gulaku lebih
baik dari pada gula curah dan hal ini dimungkinkan pemurnian sampel gulaku
lebih baik atau menggunakan metode karbonatasi, untuk gula curah dimungkinkan
menggunakan metode sulfitasi. Peristiwa ini sesuai dengan literatur menurut
Mathur (1978) yang menyatakan bahwa pada sulfitasi, bahan pengotor yang
dihilangkan masih lebih rendah dibandingkan karbonatasi. Selain itu, sulfitasi
akan menyebabkan korosi besi pada pipa-pipa. Bahan pengotor yang dapat
dihilangkan dengan defekasi, sulfitasi, dan karbonatasi adalah 12,7 %, 11,7 %,
dan 27,9 % . Sehingga gula dari hasil karbonatasi lebih cerah warnanya.

5.4 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih


Pengamatan berat jenis butir kristal gula pada pengamatan ini
menggunakan sampel gulaku dan gula curah. Pada pengamatan ini diperoleh berat
jenis gulaku pada shift 1 dan 2 yakni 0,53 mm dan 0,511 mm sedangkan untuk
gula curah yakni 0,61 mm dan 0,593 mm. Sedangkan menurut Badan
Standarisasi Nasional (2010) besar jenis butir gula 0,8 - 1,2 mm. Dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua sampel gula tidak termasuk kedalam
mutu GKP1 dan GKP2 sesuai SNI.

5.5 Residu Belerang (SO2)


Pengamatan residu belerang pada gula kristal putih bertujuan
mengetahui banyaknya residu belerang yang masih tertinggal dalam gula
kristal putih. Sampel yang digunakan adalah gulaku dan gula curah yang
masing-masing dilarutkan. Larutan kemudian dititrasi dan dihitung banyaknya
residu belerang. Pada pengamatan ini diperoleh hasil residu pada sampel
gulaku sebanyak 5,4351 ppm dan pada sampel gula curah diperoleh residu
16,9349 ppm. Dari kenampakan fisik kedua sampel tersebut warna kristal gula
lebih cerah pada sampel gulaku. Dari data tersebut dapat diketahui pengolahan
gula curah menggunakan metode sulfitasi dan sampel gulaku menggunakan
metode karbonatasi, karena pada gula curah lebih banyak residu belerang
tertinggal. Peristiwa sesuai dengan literatur menurut Mathur (1978) yang
menyatakn bahwa sulfitasi adalah proses pemberian SO2 ke dalam nira mentah
sedangkan karbonatasi merupakan reaksi yang terjadi akibat interaksi susu
kapur (Ca(OH)2) dan gas CO2 membentuk endapan senyawa kalsium karbonat
(CaCO3). Pada sulfitasi, bahan pengotor yang dihilangkan masih lebih rendah
dibandingkan karbonatasi. Selain itu, sulfitasi akan menyebabkan korosi besi
pada pipa-pipa. Bahan pengotor yang dapat dihilangkan dengan defekasi,
sulfitasi, dan karbonatasi adalah 12,7 %, 11,7 %, dan 27,9 %. Serta literatu
menurut Goutara dan Wijandi (1975) yang menyatakan dalam karbonatasi,
akan terjadi adsorpsi bahan pengotor, bahan penyebab warna, gum, asam
organik, dan lain-lain. Proses ini diawali dengan terbentuknya senyawa
intermediet antara sukrosa dan kalsium hidroksida. Terbentuknya senyawa
kalsium karbonat dapat mengadsorpsi dan mengendapkan bahan pengot or.
Oleh karena itu kandungan residu belerang pada gula yang lebih gelap atau
gula curah lebih banyak dari pada sampel gulaku yang kenampakan warnanya
lebih cerah.
BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari pengamatan ini adalah sebagai


berikut:

6.1.1 Derajat brix nira tebu dengan kulit lebih besar dibandingkan derajat brix
nira tebu tanpa kulit.

6.1.2 Derajat brix nira sebelum didefekasi lebih besar dari pada nira yang telah
didefekasi pada shift 1. Sedangkan pada shift 2 diperoleh hasil sebaliknya
yang dapat disebabkan oleh pengendapan yang kurang sempurna serta
kaca refraktometer kurang bersih sebelum digunakan.

6.1.3 Warna (kecerahan) pada sampel gulaku lebih tinggi dari pada sampel gula
curah.

6.1.4 Kedua sampel dari pengamatan mempunyai berat jenis butir yang tidak
sesuai dengan standar berat jenis butir gula kristal putih menurut SNI.

6.1.5 Residu belerang pada sampel gula curah lebih besar dari pada residu
belerang pada sampel gulaku.

6.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dalam praktikum ini untuk praktikan
lebih teliti dalam menggunakan alat pengukuran seperti refraktometer dan colour
reader serta dalam melakukan titrasi. Selain itu semua praktikum dan asisten
laboratorium lebih tepat waktu.
DAFTAR PUSTAKA

Farid. B. 2003. Perbanyakan Tebu (Saccharum officinarum L.) Secara In Vitro


Pada Berbagai Konsentrasi IBA dan BAP. Jurnal Sains dan Teknologi.
3:103-109.
Gandana S.G dan Timbul Ananta. 1974. Penuntun Pengawasan Gilingan.
Pasuruan: Balai Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula.

Goutara dan Wijandi. 1975. Dasar Pengolahan Gula. Bogor: Fatemeta IPB.
Indonesia. Bandung: ITB Press.
Indrawanto, C. et al. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. Jakarta: ESKA
Media.
Irawan, S. A. 2015. Pengaruh Perlakuan Fisik dan Lama Penyimpanan Terhadap
Mutu Minuman Ringan Nira Tebu. Jurnal Rekayasa Pangan dan
Pertanian. Vol.3 No.3 Th. 2015. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Kultsum, U. 2009. Pengaruh Variasi Nira Tebu (Saccharum officinarum) dari


beberapa Varietas Tebu dengan Penambahan Sumber Nitrogen (N) dari
Tepung Kedelai Hitam (Glycine soja) sebagai Substrat terhadap Efisiensi
Fermentasi Etanol. Skripsi. Malang: Jurusan Kimia Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Malang.

Kuswurj, R., 2011. Sugar Technology and Research: Kualitas Mutu Gula Kristal
Putih. Surabaya: Institut Teknologi Surabaya.

Laksamahardja, M.P., 1993. Pembuatan Gula Merah. Aplikasi Teknologi


Perkebunan B.P. Kalbar. Kalimantan Barat: Perkebunan B.P. Kalbar
Loto, C.A., Olofinjana,A. dan Popoola, A.P.I. 2012.Technical Report. Effect of
Saccharum officinarum Juice Extract Additive on the Electrodeposition of
Zinc on Mild Steel in Acid Chloride Solution. International Journal of
Electrochemical Science. 9795-9811.

Moerdokusumo, 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di


Namiki, M. 1988. Recent Studies on Sesame Seed and Oil. Journal Japan Soc.
Food Science Technology 35:552 - 62.
Pratama, Putra. 2015. Rancang Bangun Sistem Pengendalian Derajat brix Nira
Secara Otomatis (Bagian I). Skripsi. Prodi D3. Otomasi Sistem
Instrumentasi, Departemen Teknik, Fakultas Vokasi, Universitas
Airlangga.

Risvank. 2009. Pemurnian Nira di Pabrik Gula. Yogyakarta : Universitas Gajah


Mada

Setyohadi. 2006. Agroindustri : Hasil Tanaman Perkebunan. Meda: Fakultas


Pertanian Universitas Sumatera Utara

Soemarno.1991. Dasar-dasar Teknologi Gula. Yogyakarta: LPP Yogyakarta.


Standar Nasional Indonesia. 2000. SNI 01-6237-2000. Gula Merah Tebu. Jakarta :
Badan Standarisasi Nasional.

Standar Nasional Indonesia. 2010. SNI 3140.3:2010. Gula kristal- Bagian 3:


Putih. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.
Standar Nasional Indonesia. 2010. SNI 3140.3:2010. Gula kristal- Bagian 2:
Rafinasi (Refined Sugar). Jakarta : Badan Standarisasi Nasional.
Supriyadi, A. 1992. Rendemen Tebu. Yogyakarta: Kanisius.
Sutardjo, R.M. 1994. Budidaya Tanaman Tebu. Jakarta: Bumi Aksara.

Tjokroadikoesoemo, P.S. dan A.S. Baktir, 2005. Teknologi dan Peralatan Industri
Gula (I) Ekstraksi Nira Tebu. Surabaya: Yayasan Pembangunan Indonesia
Sekolah Tinggi Teknologi Industri.

Wijayanti, W.A. 2008. Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) di


Pabrik Gula Tjoekir PTPN X, Jombang, Jawa Timur; Studi Kasus
Pengaruh Bongkar Ratoon terhadap Peningkatan Produktivitas Tebu.
Skripsi. Bogor: IPB.

Anda mungkin juga menyukai