Anda di halaman 1dari 5

Pemeriksaan Laboratorium Penderita Diabetes Mellitus

ANIK WIDIJANTI DAN BERNARD THEODORE RATULANGI


Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. Saiful Anwar / FK Unibraw, Malang

Pendahuluan

Diabetes Melitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana glukosa darah
tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia. 1,2
DM merupakan kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai. 3 Penderita DM mempunyai
risiko untuk menderita komplikasi yang spesifik akibat perjalanan penyakit ini, yaitu
retinopati (bisa menyebabkan kebutaan), gagal ginjal, neuropati, aterosklerosis (bisa
menyebabkan stroke), gangren, dan penyakit arteria koronaria (Coronary artery
disease).1,2,3

Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya berbeda-beda.


Berdasarkan kriteria American Diabetes Association (ADA), sekitar 10,2 juta orang di
Amerika Serikat (AS) menderita DM dan yang tidak terdiagnosis sekitar 5,4 juta. Dengan
demikian, diperkirakan lebih dari 15 juta orang di AS menderita DM. Sementara itu, di
Indonesia prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun, bahkan di daerah
Manado prevalensi DM sebesar 6,1%.4

Pemeriksaan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk menegakkan diagnosis


serta memonitor Tx dan timbulnya komplikasi spesifik akibat penyakit. Dengan demikian,
perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat mencegah komplikasi. 1,5,6 Tujuan
penulisan ini adalah untuk mengetahui jenis pemeriksaan pada penderita DM.

Klasifikasi dan Patogenesis Diabetes Melitus

DM adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa


darah.1,2,3 Menurut anjuran PERKENI yang sesuai dengan anjuran ADA 1997, DM bisa
diklasifikasikan secara etiologi menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes dalam
kehamilan, dan diabetes tipe lain.2,3,4

Diabetes Tipe 1

DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(IDDM), terjadi karena kerusakan sel b pankreas (reaksi autoimun). Bila kerusakan sel
beta telah mencapai 80--90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel beta ini lebih
cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa.2,3 Sebagian besar penderita DM tipe 1
mempunyai antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil
tidak terjadi proses autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai type 1 idiopathic. Sebagian
besar (75%) kasus terjadi sebelum usia 30 tahun, tetapi usia tidak termasuk kriteria untuk
klasifikasi.2

Diabetes Tipe 2

DM tipe 2 merupakan 90% dari kaaus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin
dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan
insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel beta. Akibatnya,
pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin
resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. 2,3 Gejala
minimal dan kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini, yang umumnya terjadi
pada usia > 40 tahun. Kadar insulin bisa normal, rendah, maupun tinggi, sehingga
penderita tidak tergantung pada pemberian insulin. 2

DM Dalam Kehamilan

DM dan kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah kehamilan normal yang
disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan
euglycemia). Faktor risiko GDM: riwayat keluarga DM, kegemukan, dan glikosuria. GDM
ini meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan
makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar
sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia. Frekuensi GDM kira-kira 3--
5% dan para ibu tersebut meningkat risikonya untuk menjadi DM di masa mendatang. 2

Diabetes Tipe Lain

Subkelas DM di mana individu mengalami hiperglikemia akibat kelainan spesifik (kelainan


genetik fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit Cushings, akromegali), penggunaan
obat yang mengganggu fungsi sel beta (dilantin), penggunaan obat yang mengganggu
kerja insulin (b-adrenergik), dan infeksi/sindroma genetik (Downs, Klinefelters). 2

Pemeriksaan

Untuk Dx DM: pemeriksaan glukosa darah/hiperglikemia (puasa, 2 jam setelah


makan/post prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO). 1,2,3,4,5,7

Antibodi untuk petanda (marker) adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell
cytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibodi terhadap
glutamic acid decarboxylase (anti-GAD). ICA bereaksi dengan antigen yang ada di
sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pankreas. ICA ini menunjukkan adanya
kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit
ke arah diabetes tipe 1. GAD adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi
neurotransmiter g-aminobutyric acid (GABA). Anti GAD ini bisa teridentifikasi 10 tahun
sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan sebagai uji saring
sebelum gejala DM muncul.2

Untuk membedakan tipe 1 dengan tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi


C-peptide merupakan indikator yang baik untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan
untuk memonitor respons individual setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida
akan meningkat pada transplantasi pankreas atau transplantasi sel-sel pulau pankreas. 2

Sampling untuk Pemeriksaan Kadar Gula Darah

Untuk glukosa darah puasa, pasien harus berpuasa 6--12 jam sebelum diambil darahnya.
Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan makanan seperti yang biasa dia
makan/minum glukosa per oral (75 gr ) untuk TTGO, dan harus dihabiskan dalam waktu
15--20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam
PP.2,3,4

Darah disentrifugasi untuk mendapatkan serumnya, kemudian diperiksa kadar


glukosanya. Bila pemeriksaan tidak langsung dilakukan (ada penundaan waktu), darah
dari penderita bisa ditambah dengan antiglikolitik (gliseraldehida, fluoride, dan iodoasetat)
untuk menghindari terjadinya glukosa darah yang rendah palsu. 2,8,9 Ini sangat penting
untuk diketahui karena kesalahan pada fase ini dapat menyebabkan hasil pemeriksaan
gula darah tidak sesuai dengan sebenarnya, dan akan menyebabkan kesalahan dalam
penatalaksanaan penderita DM.

Metode Pemeriksaan Kadar Glukosa

Metode pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi, enzimatik, dan lainnya. Yang
paling sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu metode glukosa oksidase (GOD)
dan metode heksokinase.1,2,8,9

Metode GOD banyak digunakan saat ini. Akurasi dan presisi yang baik (karena enzim
GOD spesifik untuk reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik).
Interferen yang bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat. 2,8

Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan presisi
yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang digunakan
spesifik untuk glukosa.8 Untuk mendiagosa DM, digunakan kriteria dari konsensus
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun 1998 (PERKENI 1998) 3,4,7

Pemeriksaan untuk Pemantauan Pengelolaan DM

Yang digunakan adalah kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated
hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin.2,3,4,7,10 Pemeriksaan
fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang
memakan waktu lama.7 Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin.
Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya
glukosa melalui reduksi urin.1,7

Pemeriksaan HbA1C

HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa
dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini
diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan ireversibel. 7,10,11 Metode
pemeriksaan HbA1C: ion-exchange chromatography, HPLC (high performance liquid
chromatography), Electroforesis, Immunoassay, Affinity chromatography, dan analisis
kimiawi dengan kolorimetri.1,2,10,11

Metode Ion Exchange Chromatography: harus dikontrol perubahan suhu reagen dan
kolom, kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang mengganggu adalah adanya
HbS dan HbC yang bisa memberikan hasil negatif palsu. 2,10

Metode HPLC: prinsip sama dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi,
serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan
menjadi metode referensi.10

Metode agar gel elektroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya
kurang dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion, pH,
suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini. 2

Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur HbA1C yang labil
maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.2
Metode Affinity Chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk labil dari HbA1C
tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu. Presisi baik.
HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini
mengukur keseluruhan glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode
ini lebih tinggi dari metode HPLC.2,10

Metode Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi
non-glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan
satuan pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L. 10

Interpertasi Hasil Pemeriksaan HbA1C

HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena itu, HbA 1C
bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada penderita DM (glukosa
darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya ) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit).
HbA1C meningkat: pemberian Tx lebih intensif untuk menghindari komplikasi 2,3,4,5,7,10,11

Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%.4 Jadi, HbA1C penting
untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum. 1,18 Sebaiknya,
penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali. 4

Pemeriksaan untuk Memantau Komplikasi DM

Komplikasi spesifik DM: aterosklerosis, nefropati, neuropati, dan retinopati. Pemeriksaan


laboratorium bisa dilakukan untuk memprediksi beberapa dari komplikasi spesifik
tersebut, misalnya untuk memprediksi nefropati dan gangguan aterosklerosis. 2,3,4,6,7

Pemeriksaan Mikroalbuminuria

Pemeriksaan untuk memantau komplikasi nefropati: mikroalbuminuria serta heparan


sulfat urine (pemeriksaan ini jarang dilakukan). 1,2,3,4,5,6,7,12,13,1,15,16 Pemeriksaan lainnya yang
rutin adalah pemeriksaan serum ureum dan kreatinin untuk melihat fungsi ginjal. 4

Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam atau sebesar 20-
200 mg/menit.2,3,6,14 Mikroalbuminuria ini dapat berkembang menjadi makroalbuminuria.
Sekali makroalbuminuria terjadi maka akan terjadi penurunan yang menetap dari fungsi
ginjal. Kontrol DM yang ketat dapat memperbaiki mikroalbuminuria pada beberapa
pasien, sehingga perjalanan menuju ke nefropati bisa diperlambat. 3,4,6 Pengukuran
mikroalbuminuria secara semikuantitatif dengan menggunakan strip atau tes latex
agglutination inhibition, tetapi untuk memonitor pasien tes-tes ini kurang akurat sehingga
jarang digunakan. Yang sering adalah cara kuantitatif: metode Radial Immunodiffusion
(RID), Radio Immunoassay (RIA), Enzym-linked Immunosorbent assay (ELISA), dan
Immunoturbidimetry. Metode kuantitatif memiliki presisi, sensitivitas, dan range yang
mirip, serta semuanya menggunakan antibodi terhadap human albumin.2,6,12,14 Sampel
yang digunakan untuk pengukuran ini adalah sampel urine 24 jam. 15

Interpretasi Hasil Pemeriksaan Mikroalbuminuria

Menurut Schrier et al (1996), ada 3 kategori albuminuria, yaitu albuminuria normal (<20
mg/menit), mikroalbuminuria (20--200 mg/menit), Overt Albuminuria (>200 mg/menit).2,17
Pemeriksaan albuminuria sebaiknya dilakukan minimal 1 X per tahun pada semua
penderita DM usia > 12 tahun.17
Pemeriksaan untuk Komplikasi Aterosklerosis

Pemeriksaan untuk memantau komplikasi aterosklerosis ini ialah profil lipid, yaitu
kolesterol total, low density lipoprotein cholesterol (LDL-C), high density lipoprotein
cholesterol (HDL-C), dan trigliserida serum, serta mikroalbuminuria.4,5,7,18 Pada
pemeriksaan profil lipid ini, penderita diminta berpuasa sedikitnya 12 jam (karena jika
tidak puasa, trigliserida > 2 jam dan mencapai puncaknya 6 jam setelah makan). 21

Pemeriksaan untuk Komplikasi Lainnya

Pemeriksaan lainnya untuk melihat komplikasi darah dan analisa rutin. Pemeriksaan ini
bisa untuk melihat adanya infeksi yang mungkin timbul pada penderita DM. 3

Untuk pemeriksaan laboratorium infeksi, sering dibutuhkan kultur (pembiakan), misalnya


kultur darah, kultur urine, atau lainnya. Pemeriksaan lain yang juga seringkali dibutuhkan
adalah pemeriksaan kadar insulin puasa dan 2 jam PP untuk melihat apakah ada
kelainan insulin darah atau tidak. Kadang-kadang juga dibutuhkan pemeriksaan lain
untuk melihat gejala komplikasi dari DM, misalnya adanya gangguan keseimbangan
elektrolit dan asidosis/alkalosis metabolik maka perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit
dan analisa gas darah. Pada keadaan ketoasidosis juga dibutuhkan adanya pemeriksaan
keton bodies, misalnya aceton/keton di urine, kadar asam laktat darah, kadar beta
hidroksi butarat dalam darah, dan lain-lainnya. Selain itu, mungkin untuk penelitian masih
dilakukan pemeriksaan biomolekuler, misalnya HLA (Human Lymphocyte Antigen) serta
pemeriksaan genetik lain.

Kesimpulan

DM adalah kelainan metabolisme karbohidrat yang merupakan kelainan endokrin


terbanyak.. Di Indonesia, prevalensi DM sebesar 1,5--2,3% penduduk usia > 15 tahun,
bahkan di Manado didapatkan prevalensi DM sebesar 6,1%.

Penderita DM mempunyai risiko komplikasi yang spesifik, yaitu retinopati, gagal ginjal,
neuropati, aterosklerosis, stroke, gangren, ataupun penyakit arteria koronaria.
Pemeriksaan laboratorium DM: menegakkan Dx serta memonitor Tx dan timbulnya
komplikasi. Pemeriksaan Dx: kadar gula darah puasa dan 2 jam PP, TTGO (lihat
konsensus PERKENI 1998 ).

Pemeriksaan monitor Tx: kadar glukosa puasa, 2 jam PP dan HbA 1C, serta urinalisa rutin.
Pemeriksaan yang mendeteksi kelainan nefropati dini: mikroalbuminuria (masih
reversibel), dan yang rutin adalah serum ureum dan kreatinin untuk melihat fungsi ginjal.
Pemeriksaan untuk memantau komplikasi aterosklerosis: profil lipid (kolesterol total, low
density lipoprotein cholesterol/LDL-C, high density lipoprotein cholesterol (HDL-C), dan
trigliserida serum), serta mikroalbuminuria.

Pemeriksaan adanya komplikasi lain: darah dan urinalisa rutin (adanya infeksi), kultur
urine maupun darah, elektrolit serta analisa gas darah, keton /aceton urine, asam laktat
darah, insulin darah, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai