Anda di halaman 1dari 368

First Step

"Bey, jadwal kuliah elu kosong kan buat hari Sabtu nanti?"

Gue membaca isi dari sebuah pesan singkat yang dikirimkan oleh Robby yang secara tumben-
tumbenan bertanya seperti itu. Lalu beberapa saat kemudian, gue mengetikkan sebuah pesan
balasan untuknya.

"Kosong kok, kenapa?"

"Elu kan termasuk ke salah satu member aktif dan tetua di English Club kampus, nah, elu mau
gak jadi MC di acara seminar?"

"Loh? Apa hubungannya antara MC seminar sama gue?"

"Nanti bakalan ada bule sebagai tamu kehormatan kita. Tugas elu disini harus nerjemahin kata-
kata narasumber buat mereka dan juga sebaliknya. Gimana?"

Gue tertegun sejenak setelah membaca permintaan tersebut. Sepengetahuan gue, menjadi
seorang translator atau interpreter itu tidaklah mudah karena selain harus dapat
menerjemahkannya secara spontan dalam bentuk lisan, kita juga harus dapat mengetahui
nuansa dari sebuah bahasa dan juga mengerti tentang istilah-istilah populer serta singkatan-
singkatan yang digunakan oleh seseorang. Jika kita tidak mengetahuinya, bagaimana kita bisa
mengartikannya?

Lamunan gue terpecah ketika handphone gue kembali berdering yang menandakan ada sebuah
pesan yang kembali masuk. "Tenang aja Bey, nanti elu dibayar kok sama panitia."

Setelah diiming-imingi oleh kata 'dibayar', tanpa pikir panjang lagi gue langsung mengkonfirmasi
dan menyanggupinya. Persetan dengan hal-hal yang lain. "Oke, gue jadi MC."

***

Perkenalkan. Nama gue Bayu, namun teman-teman gue lebih sering memanggil gue dengan
sebutan 'Ibey' atau 'Bey' dibandingkan dengan Bayu. Panggilan tersebut telah melekat pada diri
gue sejak masa ospek kampus dulu. Dan saat ini, gue sedang berdiri di atas panggung bersama
beberapa orang narasumber dan gue bertugas sebagai MC serta translator dadakan.

Ada sekitar 5 orang foreigner yang hadir dalam acara seminar ini dan mereka semua duduk di
kursi bagian depan sebagai tamu kehormatan seminar yang belakangan baru gue ketahui bahwa
mereka semua merupakan perwakilan-perwakilan dari kampus luar yang telah bekerja sama
dengan kampus ini dalam bidang pertukaran pelajar.
Beberapa jam telah berlalu dan rangkaian demi rangkaian acara telah terlewati dengan mulus
walaupun dihisasi oleh keringat dingin yang mengalir pada kening serta tangan gue yang selalu
gemetaran ketika sedang menerjemahkan kalimat-kalimat yang disampaikan oleh narasumber
kepada mereka berlima ke dalam bahasa Inggris. Gue takut kalo kalimat yang gue utarakan
tidak mengena atau tidak dimengerti oleh mereka semua. Namun untungnya ketika gue
menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris, mereka semua memandangi gue dengan lekat
dan manggut-manggut secara antusias. Hal ini membuat gue sedikit lega karena menandakan
bahwa mereka semua telah mengerti tentang topik apa yang gue sampaikan.

Pada penghujung acara seminar seluruh audiens yang hadir dipersilakan untuk berdiri dan ikut
menyanyikan sebuah lagu nasional sambil diiringi oleh alunan musik tradisional khas Indonesia
yang dimainkan oleh UKM Seni Budaya kampus ini. Dan oleh karena itu juga, kelima tamu
kehormatan tersebut mendapatkan sebuah privilege khusus. Mereka semua akan ikut serta
memainkan sebuah alat musik tradisional bersama para anggota UKM di atas panggung. Satu
persatu undangan tersebut gue arahkan untuk pergi menuju backstage dan mereka semua
langsung diberi sebuah alat musik tradisional oleh panitia, yaitu angklung.

"Saat ini saya akan mengajarkan kalian semua tentang bagaimana cara untuk memainkan alat
musik angklung." Ujar si pemandu yang kini telah dikelilingi oleh para tamu undangan. "Cara
memegang alat musik angklung adalah seperti ini." Lanjutnya sambil memperagakan bagaimana
cara memegang angklung yang benar sebelum mulai memainkannya.

Setelah memperhatikan si pemandu secara sejenak, kemudian gue baru membuka


suara. "H...he will teach you how to play angklung." Rasa gugup gue meningkat berlipat-lipat
karena gue langsung berhadapan secara face to face dengan mereka semua yang membuat
gue sedikit gagu. "Please hold the angklung like this."

"Like this?" Salah seorang tamu tersebut bertanya kepada gue dengan logat dan aksennya yang
kental, namun kedua matanya tetap terpaku kepada angklung yang sedang dipegang olehnya.

"Yes, that's right Sir." Ujar gue sambil tersenyum ramah. "Use your right hand to shake it and
keep your left hand steady."

Tamu tersebut mengangguk dan menggoyangkan angklung dengan perlahan sehingga


mengeluarkan bunyi yang khas, lalu kemudian dia tertawa sambil memasang sebuah ekspresi
kagum. Dia mengalihkan pandangan dan melihat kepada rekan-rekannya yang lain seolah-olah
menyuruh mereka semua untuk mengikuti apa yang telah dilakukan olehnya. Lalu pada
akhirnya, tamu-tamu tersebut mulai mencoba untuk memainkan angklung yang mereka pegang.
Reaksi yang ditampilkan oleh mereka pun beragam. Ada yang tertawa puas, tercengang, dan
bahkan ada juga yang terbengong sambil membulatkan bibirnya lalu kemudian tersenyum dan
mereka saling memandang.

Gue bertepuk tangan kecil untuk mereka semua, memberikan sedikit apresiasi karena mereka
telah mampu memainkan sebuah alat musik tradisional Indonesia. "Well done!"

***

"Bey!" Suara berat dari seseorang membuyarkan konsentrasi gue yang sedang mengobrol
dengan panitia-panitia lain. Gue menolehkan kepala ke arah sumber suara tersebut dan terlihat
seorang Robby sedang melambaikan tangannya kepada gue, lalu dia memberi gerakan kepala
untuk mengikutinya ke luar ruangan.

"Nih, fee buat hari ini." Dia memberikan sebuah amplop berwarna putih polos kepada gue, lalu
kemudian dia menepuk bahu gue sambil tersenyum. "Oh iya, di dalemnya juga ada sedikit oleh-
oleh dari tamu yang tadi buat elo. Kata mereka bahasa Inggris lo udah bagus, cuman masih
kaku doang." Tambah Robby.

"Oleh-oleh?" Tanya gue dengan heran. "Oleh-oleh apaan?"

"Udah, lo buka aja sendiri. Gue balik lagi ke depan ya, mau beres-beres dulu."

"Oke, thank you!" Lalu kemudian Robby berlalu dan berjalan menuju aula.

Gue yang penasaran akan 'oleh-oleh' yang diberikan oleh para tamu tersebut langsung
membuka dan melihat isinya. Isi dari amplop tersebut seketika membuat gue melotot dan
tercengang. Ada beberapa lembar uang lima puluh ribuan serta beberapa lembar mata uang dari
negara asal mereka, yang jika dikonversikan ke dalam Rupiah akan menghasilkan sejumlah
uang yang cukup banyak bagi seorang mahasiswa yang super irit seperti gue.

Gue tersenyum bahagia, dan hati gue meloncat kegirangan. Gue tidak pernah mengira bahwa
keputusan spontan gue untuk menjadi seorang translator dadakan di sebuah acara seminar
kampus ini akan merubah peruntungan gue di masa depan, dan membawa gue untuk bertemu
dengan seorang wanita yang tidak pernah gue perkirakan sebelumnya.

The Interpreter

Gue duduk bersila di atas kasur, mengunyah makanan ringan hingga terdengar bunyi 'krauk-
krauk' yang cukup nyaring sambil menonton acara berita di televisi. Headline dari seluruh
channel yang menyiarkan berita adalah 'Gempa Padang', 'Gempa Berkekuatan Dahsyat
Mengguncang Sumatera Barat', dan lain sebagainya yang masih mengarah kepada hal yang
sama. Berita pada laman internet pun menampilkan headline seperti pada televisi, mereka
semua menampilkan sebuah berita yang cukup menghebohkan negara ini.

Gue melirik jam kecil yang tersimpan di atas televisi tabung di kamar kost gue yang
menunjukkan pukul satu dini hari, sebelum pada akhirnya gue mendengus kesal sambil
menguap dan kemudian gue menutup mata untuk pergi menuju alam mimpi.

***

Saat sedang asyik mengerjakan sesuatu di depan komputer, terdengar suara high heels yang
sangat gue kenali sekali dan mungkin juga suara tersebut sudah sangat familiar pada telinga
rekan-rekan pria yang berada di dalam satu ruangan dengan gue. Suara tersebut tidak lain dan
tidak bukan adalah suara high heels milik Lia, seorang karyawati yang paling diidolakan oleh
para jomblo kantor karena kecantikannya yang dapat membuat seluruh pria over dosis ketika
menatapnya secara berlama-lama. Termasuk gue.

Gue menaikkan kepala, melongok sedikit dari balik dinding cubicle meja kerja dan mencoba
untuk menatap kepada dirinya. Di sana, terlihat bahwa Lia sedang berada tidak jauh dari meja
gue dan dia sedang mengobrol sambil memasang ekspresi serius bersama pak Wisnu, atasan
yang cukup disegani oleh karyawan-karyawan kantor.

"Bay, kira-kira si Lia sama pak kumis lagi ngobrolin apaan ya?" Ujar sebuah suara yang tiba-tiba
nyeletuk dari belakang gue.

"Eh..." Gue sedikit terlonjak kaget lalu kembali duduk pada kursi dan memutarnya ke belakang.
"Paling ngobrolin tentang orderan job lagi, apa lagi kalo bukan itu?" Jawab gue enteng kepada
Gina, rekan satu kantor gue yang berbadan bulet gara-gara doyan makan gosip.

"Tapi mungkin juga kaaan kalo mereka ngobrolin tentang cek in di hotel berdua?"

"Parah! Pikiran elu ngeres mulu dah! Paraaah!" Gue melempar tutup pulpen ke arahnya yang
dengan sangat mudah ia hindari. "Yaaah, Bay, cuman berandai-andai doang kali. Sensi mulu
deh perasaan kalo gue ngejek si Lia. Atau mungkin elu suka ya sama dia?"

"Ogah, entar duit gue abis buat make up sama bensin doang." Ujar gue yang kemudian kembali
menatap kepada layar komputer sambil tetap dicengin oleh Gina. Di sela-sela kegiatan mengetik
gue, terdengar suara derap langkah high heels milik Lia yang mendekat ke arah meja kerja gue
namun gue tidak terlalu menghiraukannya dan tetap berfokus kepada kerjaan yang tersaji pada
layar komputer.

"Mas Bayu." Suara lembut milik seseorang membuyarkan konsentrasi dan membuat gue
langsung menolehkan kepala ke arah suara tersebut, dan seketika gue tergagap.

"Ngg, eh, mbak Lia..."

Hawa dingin secara pelahan merambat pada punggung ketika gue menatap seorang wanita
cantik dan berparas anggun yang mengenakan sebuah kemeja abu-abu dan dipadukan dengan
blazer beserta rok span berwarna hitam selutut yang sedang berdiri di samping meja kerja gue.
Gue memperhatikan rambut hitam mengkilap yang menggoda milik Lia secara sekilas.
Rambutnya tergerai indah dan tertata dengan rapi di depan dadanya. Cantik sekali. Lalu yang
terakhir, make up tipis beserta perona pipi dan tatapan dari balik kacamata yang dikenakan oleh
Lia juga sudah cukup membuat siapapun menjadi diam tak berkutik ketika saling bertatapan.

"Ngg, ada apa?" Pada akhirnya gue baru dapat berbicara setelah membeku selama beberapa
detik.

"Tadi saya ketemu sama pak Wisnu, dia minta tolong buat nerjemahin beberapa dokumen.
Bentar saya cari dulu..." Lia berkata sambil memilah-milah dokumen yang sedang dipeluknya.
"Nah! Ini dia. Deadlinenya lusa, dan hasilnya dikirim dalam bentuk soft copy ke email saya."
Ujarnya dan kemudian Lia memberikan beberapa lembar kertas dokumen kepada gue.

"Oke." Ujar gue mantap dan dibalas anggukan kepalanya sebelum dia pergi menjauh dari meja
gue.

"Asik nih ngobrol sama bidadari kantor."

Gue mengkerutkan kening sambil menatap Gina. "Bidadari apaan sih."

"Udah deh ngaku aja kalo elu suka sama Lia! Yekaaan? Keliatan kok sama gue pas elu lagi
ngobrol tadi."

"Nggak, nggak." Gue menggeleng.

"Mas Bayu..." Sebuah suara nyaring kembali memanggil nama gue. Untuk beberapa saat gue
dan Gina saling bertatapan, sebelum pada akhirnya Gina berkata tanpa suara. "Lia."

Gue mengangguk lalu berdiri dari kursi dan melihat ke arah suara tersebut. Terlihat Lia sedang
menatap gue dari kejauhan dan kemudian dia menyuruh gue untuk menghampirinya. "Bentar ya,
dipanggil nih sama Lia." Gue langsung berdiri dari kursi tanpa menghiraukan tanggapan Gina
dan berjalan menghampiri Lia.

"Ada apa mbak?" Tanya gue.

"Mas Bayu udah tau berita gempa di Padang?"

Gue mengangguk. "Iya, kenapa?"

"Mas juga udah sering kan jadi penerjemah buat tamu-tamu luar kita kan?"

Gue kembali mengangguk. "Udah lumayan sering kok, kenapa?"

"Lusa, kita berdua terbang ke Padang ya." Ujar Lia sambil menatap gue dengan ekspresi yang
cukup serius. "Banyak relawan-relawan asing yang datang ke sana dan mereka butuh
interpreter-interpreter yang bisa ngebantu buat nerjemahin bahasa mereka ."

"Loh, bukannya yang dibutuhkan itu penerjemah yang lebih pro kayak sworn translator ya?"

Lia menggeleng. "Mau interpreter biasa atau sworn translator, yang penting kita ngerti sama bisa
nerjemahinnya. Nanti kita dibayar perhari, dan satu hari jadi interpreter disana bakal dapet gaji
satu juta. Gimana?"

Gue tercengang setelah mendengar perkataan Lia yang menyebutkan nominal gaji yang akan
gue terima jika menerima ajakannya menjadi seorang interpreter. "Berapa lama disananya?"

"Sekitar sepuluh hari atau sampe keadaan kondusif. Gimana? Mau? Saya cuman nawarin buat
mas Bayu doang loh."

Gue termenung sejenak dan memikirkan tawaran Lia secara matang-matang. Terbang ke
Padang, mendapat gaji sebanyak satu juta untuk satu hari, dan pergi bersama seorang wanita
secantik Lia? Siapa yang bakal sanggup untuk menolaknya?

"Gini aja deh. Saya kasih mas Bayu waktu dua hari buat ambil keputusan itu sekalian ngirimin
hasil kerjaan mas Bayu. Jangan lupa, dan saya tunggu keputusannya." Setelah Lia berkata
seperti itu, dia langsung membalikkan badan dan berjalan menjauhi gue sementara gue masih
diam membeku. Lalu beberapa saat kemudian, gue langsung mengejar Lia yang sudah hampir
menghilang di balik anak tangga dan gue memanggil namanya. "Mbak, mbak Lia!" Gue sedikit
berteriak.

Lia menghentikan langkah kakinya dan berbalik kepada gue. "Ya? Ada apa mas Bayu?"

"Oke mbak, saya ikut."

Jealousy?

Dengan langkah gontai gue menaiki anak tangga menuju kamar kost yang berada di lantai 2.
Malam ini suasana kost bisa dibilang cukup sepi, hanya sayup-sayup terdengar alunan musik
dangdut dari kamar pojok di lantai satu yang diisi oleh seorang bujang rantau dari desa, maka
tidak heran jika dia lebih sering memutar dangdut dibandingkan dengan musik-musik khas anak
muda kekinian.

Gue merogoh kunci kamar dari dalam tas dan hendak memasukkannya ke dalam lubang kunci
ketika pintu kamar sebelah gue terbuka. Keluarlah satu pasang muda-mudi yang bercipika-cipiki
sambil mengucapkan kata-kata mesra lainnya, lalu kemudian pacar dari cewek tersebut
menyapa gue sebelum pada akhirnya dia berjalan pada lorong dan menuruni tangga menuju
lantai satu.

"Abis berapa ronde malem ini?" Celetuk gue sambil tetap mencoba membuka pintu.

"Hahaha, gila lo Bey!" Ujar seorang wanita yang gue ajak mengobrol. Dia adalah Sita, cewek
asal Pulau Dewata yang sudah terhitung empat bulan menghuni kamar kost sebelah, dan
selama empat bulan ke belakang pula gue hampir selalu mendengar desahan kasih sayang
setiap gue berada di kamar kostan. "Satu ronde aja cukup lah, capek gue kalo maen banyak-
banyak." Sita berkata enteng sambil duduk di atas kursi plastik di depan kamar gue dan dia
melipat kakinya.

Cklek!

Pintu kamar kost terbuka dan gue langsung masuk tanpa menutup pintunya. Gue menyimpan
ransel di atas lantai sambil meraba-raba dinding untuk menyalakan lampu, dan kemudian disusul
oleh suara Sita yang memanggil gue dari luar. "Bey, bagi rokok dong! Punya gue abis nih!"

"Iya sini masuk aja, ambil sendiri tuh di atas meja!" Gue berkata sambil menggantungkan jaket
pada hanger. Setelah gue berkata seperti itu, sekonyong-konyong Sita langsung masuk dan
mengambil satu batang rokok yang sering dibilang cupu oleh perokok lainnya, yaitu Marlboro
Light. "Malu-maluin gue aja lo Bey! Cowok kok ngerokok kayak ginian." Ujar Sita sambil
mengangkat rokok yang dipegang olehnya lalu kemudian Sita menyulut rokok tersebut dan
menghembuskan asap putih di udara.
Gue menghempaskan badan di atas kasur sambil menyimpan tangan di atas kening, lalu gue
berbicara. "Gini-gini juga elo tuh doyan kan sama rokok itu?!"

"Hahaha iya deeeh, mulut gue lagi asem banget dan kebetulan rokok gue juga lagi abis. Ya udah
gue minta aja rokok elo."

"Mulut lo asem? Nih ada bibir gue kalo lo mau." Ujar gue asal ceplos. Tanpa disangka-sangka
sebelumnya, Sita langsung mendekat ke arah gue, lalu dia langsung memposisikan kepalanya
tepat di depan kepala gue dalam jarak hanya beberapa cm saja sehingga hembusan nafasnya
dapat terasa pada wajah gue sambil menatap kedua mata gue dengan ekspresi nakal. "Kalo
gitu, sini, mana bibir lo? Gue mau bibir lo." Ujarnya dengan nada yang menggoda.

Gue menatapnya sebentar, lalu gue memutar posisi tubuh sehingga menghadap ke arah
tembok. "Ogah ah, lo cewek orang."

"Kalo misalkan gue bukan cewek orang? Gimana?"

"Sama, gue masih ogah. Lo bukan cewek gue."

"Terus kalo misalkan gue cewek elo?" Untuk yang kesekian kalinya, perkataan Sita kembali
membuat gue terdiam seribu bahasa. "Heh, cowok jomblo dari lahir! Gimana kalo misalkan gue
jadi cewek elo?!" Sita menggoyang-goyangkan bahu gue.

Memang harus gue akui bahwa Sita merupakan seorang cewek berambut panjang
bergelombang, memiliki kulit kuning langsat yang mulus, berperawakan sedang dan proporsional
untuk ukuran cewek seumurannya, dan dia juga memiliki wajah yang tergolong ke dalam
babyface sehingga membuat gue selalu betah untuk berlama-lama memandanginya. Dan yang
terakhir, Sita adalah seorang cewek yang sangat menjadi tipe gue sekali. Namun, ya, gue masih
punya pendirian yang harus tetap gue jaga. "Nggak mau."

Sita mendengus kesal lalu kemudian dia duduk di samping kasur. "Bener-bener ya Bey, elo itu
memang cowok berkepala batu. Keras banget. Kalo cowok-cowok di kampus udah gue gituin,
mungkin mereka semua bakalan dengan senang hati nyosor sana nyosor sini."

"Dan sayangnya gue bukan termasuk ke dalam cowok-cowok seperti itu."

"Eh, iya Bey, kok tumben elo balik ngantornya malem banget?"

"Lembur, banyak kerjaan gue yang harus selesai dalam dua hari."

"Emang ga bisa diajak selow dikit ya kerjaannya?"

"Nggak bisa lah Sit, namanya juga kerjaan. Lagian lusa nanti gue mau terbang ke Padang."

"Ke Padang? Ngapain? Sama siapa kesananya?"

Gue menengokkan kepala dan mendapati bahwa Sita memasang ekspresi penasaran yang
sangat penasaran sekali. "Siapa elo nanya-nanya gue?"
"Ih gue serius Bayuuu!" Ujar Sita dengan nada manja.

"Iya, gue mau pergi ke Padang buat urusan kerjaan. Nanti gue juga perginya berdua."

"Sama siapa?"

"Lia."

"WHAT?!" Sita memasang ekspresi kaget ketika gue berkata seperti itu. "Lia... Yang dulu pernah
elo ceritain?"

"Iya."

"Lia... Yang jadi cewek idola kantor elo itu?"

Gue mengangguk lalu bangun dari tidur dan menatap Sita lekat-lekat. "Iya. Kenapa? Lo cemburu
kalo gue pergi berdua sama Lia?"

"Uh, eh, apa? Cemburu? Enggak kok, enggak." Sita sedikit memainkan rambutnya dan dia
mengalihkan pandangannya dari gue. "Ah udah ah gue mau balik aja ke kamer, rese banget kalo
udah bicara sama elo." Ujarnya sambil berjalan cepat menuju pintu.

"Sono gih, jangan lupa tutup lagi pintunya!"

Bruk!

Sita menutup pintu dengan sedikit membantingnya sementara gue tertawa geli karena pada
akhirnya gue dapat membuat Sita diam tak berkutik setelah sekian lama dia yang selalu sukses
membuat gue diam tak berkutik. Baru beberapa saat setelah pintu tertutup, pintu kamar gue
kembali terbuka dan kepala Sita melongok dari luar. "Berapa lama disananya?"

"Sepuluh hari."

Sita mengangguk kecil sambil membulatkan bibirnya, lalu kemudian pintu kamar kembali tertutup
dengan perlahan dan tanpa dibanting olehnya.

Batal?

Hari esok adalah hari dimana gue akan terbang ke Padang, hanya berdua, hanya bersama Lia.
Berita tentang kepergian gue bersama Lia ke Padang sudah cepat menyebar ke seantero
ruangan, dan gue harus berterima kasih kepada Gina karena mulutnya yang
bocor...cor...cor...cor... telah memberitahukan semuanya. Kadang-kadang gue sering jadi kesel
sendiri kalo udah curhat sama Gina, karena hanya dalam hitungan menit saja, curhatan gue
pasti akan menyebar secara cepat. Tapi mau bagaimanapun juga, Gina-lah satu-satunya orang
yang mau menerima gue secara open-handed dan dia juga mau mengajari gue berbagai hal
ketika gue masih berbau kencur di kantor ini beberapa bulan yang lalu. Thanks to you, Gina.

"Bay, nanti elu bawa oleh-oleh dari Padang ya? Gue pengen rendang telor nih..." Gina
memasang wajah memelas sambil mengelus-elus perutnya.

"Rendang telor endasmu!" Gue menoyor kepala Gina yang sedang duduk di seberang meja gue.
"Mana ada yang jual oleh-oleh pas lagi ada bencana? Otak lo kopong apa ya?"

Gina menepok jidat. "Oh iya, bener juga ya apa kata elu barusan." Ujarnya dengan polos lalu
kemudian Gina kembali mengunyah makan siangnya. "Jadi entar apa dong oleh-oleh buat gue?"

Gue menundukkan kepala dan mengacak-acak nasi yang tersaji dengan malas. "Ga ada oleh-
oleh."

"Yaaah, kok gitu sih?"

"Ya terus elu mau gue bawain apa emangnya?"

"Bawain ini kek, itu kek, apa kek."

"Nggak."

"Pelit dasar!"

"Terserah gue."

"Pantesan ya elu jomblo terus, mana ada cewek yang mau sama elu."

"Elu juga ngapain coba mikirin hidup gue?!"

"Gue kan temen elu Bay, mana ada sih temen yang seneng ngeliat temennya sengsara kayak
elo?"

Gue menyimpan sendok di atas piring dengan posisi tertelungkup dan kemudian gue menatap
Gina. "Ada."

"Siapa?"

"Elu."

Gina memiringkan kepala dan dia mengernyitkan keningnya. "Gue? Kok gue sih?"

"Iya, elu. Karena elu selalu membuat curhatan gue jadi nyebar kemana-mana." Ujar gue dengan
cuek, lalu kemudian gue bangkit dari kursi dan pergi keluar kantin, yang disusul oleh teriakan
Gina yang meneriakkan nama gue dengan nyaring.

Itulah kami berdua. Air dan minyak yang saling menyatu.

***
"Bay, lo masih ada kerjaan lagi ga?"

Gue menolehkan kepala, menyandarkan punggung pada kursi sambil meregangkan tangan di
udara dan mendesah pelan. "Aaahhh, iya nih masih ada." Ujar gue kepada Gina. "Kalo lo mau
balik duluan, ya sok aja gih duluan. Gue masih nangggung, dikit lagi kelar."

"Oke deh, gue duluan ya Bay." Gina melambaikan tangannya lalu kemudian dia berjalan dan
berbelok menuju tangga yang terletak di sudut ruangan.

Gue melihat jam digital yang terpampang pada pojok kanan bawah layar monitor yang kini telah
menunjukkan pukul 16.40, jam dimana karyawan telah dipersilakan untuk pergi meninggalkan
kantor dan pulang menuju rumahnya masing-masing. Namun gue masih berada di ruangan ini,
bersama beberapa orang lainnya yang juga sepertinya sedang lembur beserta seorang office
boy yang mulai membersihkan ruangan dengan menggunakan mesin. Gue melirikkan mata ke
arah papan kecil yang tertempel pada dinding dan melihat to-do-list yang harus segera selesai
dalam beberapa jam lagi, lalu kemudian menggeleng dan mengusap wajah.

Gue beranjak dari kursi sambil membawa cangkir kosong dan berjalan menuju pantry untuk
membuat kopi, yang semoga saja dapat memberi gue asupan tenaga ekstra untuk tetap bugar
dalam mengerjakan pekerjaan yang cukup melelahkan badan serta pikiran.

"Mas! Mas Bayu!" Suara milik seorang wanita memanggil gue dan disusul dengan suara derap
langkah high heels yang suaranya sudah sangat familiar sekali. Gue menghentikan langkah kaki
lalu menolehkan kepala ke belakang. Terlihat Lia sedang berjalan dengan cepat ke arah dimana
gue berdiri, bersama seorang wanita yang belum pernah gue temui sebelumnya di dalam kantor
ini.

Lia memperlambat langkah kakinya ketika jarak kami berdua hanya tinggal beberapa meter saja
lalu kemudian gue berjalan mendekat dan bertanya. "Ya? Ada apa mbak?"

Lia mengatur nafas sejenak, lalu kemudian dia berbicara. "Saya kayaknya ga bisa pergi ke
Padang besok."

Gue terhenyak, kaget, dan tidak percaya dengan apa yang telah dikatakan olehnya yang
sangat to the pointsekali. "Loh? Kenapa mbak?"

"Saya baru dapet panggilan tugas kalo besok ada meeting mendadak di kantor cabang, dan
saya ditunjuk jadi perwakilan kantor ini."

"Jadi besok saya gimana?"

"Mas Bayu tetep pergi, tiketnya sudah dipegang kan?"

Gue mengangguk lemah. "Iya, tiketnya sudah saya pegang. Jadi besok saya pergi sendirian?"

"Nggak." Lia menggeleng. "Kamu besok tetep pergi berdua."

"Terus saya pergi sama...?"

Lia tidak menjawab pertanyaan gue. Dia langsung menolehkan kepala sambil memberikan
sebuah senyuman kepada seorang wanita yang sedari tadi berdiri di sampingnya, dan kemudian
wanita tersebut menjulurkan tangannya kepada gue.

"Muthia."

Deg!

Untuk sejenak gue hanya bisa terdiam, mematung, dan mengagumi paras cantik milik seorang
Muthia dalam diam. Ketika gue mendengar suaranya yang sangat meneduhkan telinga, ketika
gue melihat kedua bola matanya yang seolah-olah ikut tersenyum pada saat Muthia
mengembangkan senyuman pada bibirnya, gue merasakan sesuatu yang aneh di dalam dada
gue, seperti ada sebuah gejolak yang tidak dapat gue gambarkan, namun gue bisa rasakan
keberadaannya.

Gue mencoba menguasai diri, lalu berdehem pelan dan menerima jabat tangannya sambil
memasang senyuman yang paling manis yang pernah gue miliki. "Bayu."

Muthia bukanlah seorang Lia dengan segala kecantikan serta kharisma yang dimilikinya, dan
Muthia juga bukanlah seorang Sita yang notabenenya merupakan cewek yang 'gue banget'.
Namun gue rasa, wanita berambut panjang sebahu dengan agak sedikit bergelombang ini, yang
untuk pertama kalinya di dalam hidup gue, telah sukses menekan 'love button' pada hati gue.

Muthia

Tangan kami berdua hanya bersentuhan selama kurang lebih dua atau tiga detik. Selama dua
atau tiga detik itu, gue sangat menikmati sekali ketika gue menggenggam erat tangannya yang
putih dan halus. Dan selama dua atau tiga detik itu pula, waktu tersebut telah menjadi sebuah
waktu yang singkat namun sangat berkesan sekali di dalam hidup gue.

Tidak ada seorang wanita pun yang dapat menimbulkan sebuah efek 'wah' tersendiri ketika
mereka berkenalan atau berjabat tangan dengan gue. Namun gue membuat pengecualian bagi
wanita ini karena dia lain, karena dia berbeda, dan karena dia adalah seorang Muthia.

"Mas Bayu, Muthia ini orangnya masih terbilang baru dalam dunia terjemah-menerjemah, jadi
nanti tolong dikasih tau tentang apa aja yang harus dikerjain sama dia di sana ya." Ujar Lia dan
gue membalasnya dengan anggukkan mantap. "Oke mbak."

"Sekarang saya mau permisi dulu, masih ada yang harus saya kerjakan buat persiapan besok.
Mari..." Lia melempar senyum kepada kami berdua, lalu kemudian dia membalikkan badannya
dan menghilang pada belokan di ujung lorong.

Gue masih mengikuti arah jejak kaki ke mana Lia melangkah hingga dia menghilang sambil
melamunkan tentang sosok seorang Muthia. Seseorang yang pertama kalinya di dalam hidup
gue, dapat dengan sukses membuat gue merasakan 'sesuatu' yang sebelumnya belum pernah
gue rasakan, dan hanya dapat gue 'bayangkan' melalui lagu-lagu percintaan yang sering gue
dengar di radio atau music player. Lalu kemudian gue pun bermonolog di dalam hati.

Bolehkah gue, Bayu Alfian, mencoba untuk mengenali sosok seorang Muthia lebih dekat lagi?

"Mmm, mas Bayu?"

Suara halus milik Muthia membuyarkan lamunan dan gue membalasnya dengan sedikit kikuk.
"Eh, iya? Kenapa?"

"Mas Bayu masih ada kerjaan ya?"

Gue menggaruk pelipis sambil mengangguk pelan. "Ngg, iya sih masih ada."

"Kalo gitu saya pulang dulu ya? Saya juga harus packing barang-barang buat pergi besok."

"Ooh, oke deh." Gue mengangguk. "Mau saya anterin?"

"Eh, nggak mas, gak usah." Tolak Muthia mentah-mentah sambil menggunakan gerakan tangan
dan gelengan kepala. "Mas kan masih ada kerjaan, lagian saya juga bawa mobil sendiri kok!"

"O... Ow..." Gue membulatkan bibir dan mengangguk pelan. Kecewa, minder, jiper, atau apapun
namanya, gue tidak peduli. Muthia pergi dengan menggunakan mobil, sedangkan gue hanya
menggunakan motor butut peninggalan almarhum bokap. Gue yang hanya bermodal pas-pasan
ini, dapatkah memenangkan hati seorang Muthia? Mungkin kalo gue merupakan seorang
keturunan pengusaha tajir yang memiliki usaha dimana-mana, setidaknya gue dapat
mengimbangi lifestyle yang sama dengan Muthia. Namun, ya sudahlah...

"Engg, kalo gitu, hati-hati ya di jalan." Gue melempar senyuman yang terkesan dipaksakan
kepada Muthia.

"Oke. Mari mas, saya duluan. Sampai ketemu besok di airport." Muthia tersenyum kepada gue.
Dan... Ah, senyuman itu, gue sangat ingin sekali berlama-lama memandangi senyuman yang
indah tersebut dan gue juga ingin sekali menghargai setiap detik yang berlalu dengan cara
apapun. Gue membalas senyuman Muthia dengan anggukkan kepala sambil melambaikan
tangan dengan kikuk, lalu kemudian Muthia berbalik, berjalan menuju lorong dan kembali
menghilang di ujungnya.

Beberapa saat setelah punggung Muthia hilang dan hanya menyisakan wangi parfumnya di
udara, gue masih terdiam dan berdiri di samping jendela kantor yang disinari oleh cahaya kuning
keemasan. Suasana sore ini sangatlah indah sekali. Namun keindahan tersebut harus rela
berbanding terbalik dengan keadaan gue. Sekarang, gue merasa kalah dalam status sosial.
Bukan, maksud gue, gue sudah kalah telak dalam hal status sosial. Tapi status sosial hanyalah
sebuah status, dan status tersebut masih dapat gue ubah pada masa-masa yang akan datang.
Ya, gue bisa merubahnya!

Gue tersenyum simpul lalu membalikkan badan dan hendak kembali berjalan menuju pantry
ketika handphone yang tersimpan pada saku celana gue bergetar. Gue merogoh handphone
tersebut dan ternyata ada sebuah chat yang dikirim oleh Lia.
"Oh iya, mungkin saya tadi lupa ngasih tau. Tolong perhatiin Muthia, jangan buat dia terlalu
capek. Saya titip dia di sana."

Gue mengkerutkan kening setelah membaca chat yang dikirimkan oleh Lia, heran. Gue hanya
berasumsi bahwa Muthia bukanlah tipe seorang cewek yang sering mengerjakan sesuatu yang
berat dan tidak ada pikiran aneh lainnya selain pikiran tersebut. Lalu tanpa pikir panjang lagi, gue
langsung membalas chat tersebut sambil berjalan menuju pantry. "Oke."

The Trip

Pagi-pagi sekali gue sudah selesai bersiap-siap di dalam kamar kost dan hanya tinggal
menunggu taksi yang sudah gue pesan tempo hari. Gue membuka pintu kamar lebar-lebar lalu
duduk bersandar pada dinding sambil menyalakan sebatang rokok cupu yang selalu menemani
keseharian gue ketika sedang menganggur seperti ini. Hisapan demi hisapan pun berlalu,
kemudian gue mengeluarkan handphone dan mencoba untuk menghubungi Muthia. Ketika gue
sedang mencari-cari kontak Muthia pada handphone dan tidak menemukannya, gue baru
teringat bahwa gue sama sekali belum memiliki kontak Muthia.

Gue menyimpan handphone di samping lalu melongokkan kepala untuk menengok ke arah
kamar sebelah. Pintu kamar tersebut masih tertutup rapat dan bahkan penerangan di dalam
kamar tersebut pun masih dalam keadaan gelap gulita seolah-olah tidak ada yang menempati
kamar tersebut. Sita sepertinya masih tertidur pulas setelah 'bermain' bersama pacarnya
semalam dan ini merupakan sebuah kesempatan emas bagi gue karena gue dapat
meninggalkan kost ini dalam keadaan damai tanpa adanya gangguan dari lelembut kamar
sebelah.

Suara deru mesin mobil terdengar dari halaman depan. Gue bangkit berdiri, mengintip dari balik
pembatas dinding dan melihat bahwa ada sebuah taksi yang telah terparkir di depan gerbang
kost. Gue menghisap rokok dalam satu hisapan, lalu kemudian menghembuskan asap putih di
udara sebelum pada akhirnya gue menjentikkan rokok tersebut dan turun ke bawah sambil
membawa carrier yang tersampir pada punggung.

Gue membuka pintu samping sambil berkata kepada sang supir. "Bandara ya, pak!"

"Oke mas."

Perlahan taksi yang gue tumpangi mulai melaju dan meninggalkan pelataran kost yang akan gue
tinggalkan selama sekitar sepuluh hari ke depan. Ketika memasuki jalan Soekarno-Hatta yang
masih lengang, si supir langsung menambah laju kecepatan mobil sehingga membuat gue
sedikit terlena. Gue menyandarkan kepala pada jok mobil sambil mendesah pelan dan mencoba
untuk menutup mata di saat handphone yang tersimpan pada saku jaket gue bergetar. Gue
mendengus kesal lalu kemudian mengambil handphone tersebut, dan gue melihat ada sebuah
chat yang masuk.

Gue mengusap wajah dengan tangan kiri sementara tangan gue yang lain mencoba membuka
screenlock handphone untuk melihat apa isi dari chat tersebut yang sepertinya akan berisi
sebuah nada marah. Ketika gue membaca chat tersebut, gue menggeleng dan kembali
mengusap wajah.

"BAGUS YA PERGI GA BILANG-BILANG! AWAS AJA KALO BALIKNYA GA BAWA OLEH-


OLEH!"

Gue menekan tombol power selama beberapa detik, mencoba untuk mematikan handphone
tersebut tanpa membalas pesan singkatnya.

Lalu tentang Sita?

Ah, bodo amat.

***

Gue memberikan uang sejumlah dengan yang tertera pada argo dan melebihkannya sedikit.
Supir taksi tersebut menerimanya dengan senyum sumringah sambil menganggukkan
kepalanya, lalu kemudian taksi tersebut mulai berjalan menjauhi pelataran bandara.

Gue berjalan sambil melihat ke sekeliling, mencoba untuk mencari keberadaan seorang Muthia
yang gue harap telah tiba di bandara. Gue menyapu pandangan ke seluruh sudut bandara,
namun gue tidak mendapati sosok Muthia dimanapun. Nihil.

Apa gue lupa dengan wajahnya sehingga gue tidak dapat menemukannya?

Gue menggeleng. Nggak, nggak mungkin gue lupa. Gue masih ingat dengan jelas bagaimana
wajahnya. Rambut pendek bergelombang miliknya, lesung pipi ketika dia sedang tersenyum, dan
bahkan letak gingsulnya pun gue masih ingat. Gingsul pada gigi taring sebelah kanan itu selalu
membayang-bayangi pikiran gue selama satu malam terakhir. Gue mengencangkan tali carrier
dan kemudian berjalan-jalan di sekitar bandara sambil mencari keberadaan Muthia.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Gue yang pada awalnya hanya menunggu kedatangan Muthia, kini
telah menemukannya di ujung sana dan dia terlihat sedang celingukan kanan-kiri. Gue bukan
hanya mendapati sosoknya saja, namun gue juga mendapati bahwa sosok Muthia telah
berpenampilan sedemikian rupa dan dia terlihat seperti seorang cewek yang siap untuk
bepergian kemana saja.

Kemeja flanel kotak-kotak berwarna hijau yang dipadukan dengan celana jeans ketat berwarna
biru gelap, rambut yang dikuncir rapi, serta tas yang tersampir pada punggungnya pun telah
kembali sukses menghipnotis gue penglihatan gue.

Tanpa sadar, ada sebuah senyuman bahagia yang mengembang pada bibir gue, dan gue
langsung melambaikan tangan sambil meneriakkan namanya dengan lantang.

"Muthia!"

Muthia menolehkan kepalanya, dan dia menyeringai lebar sambil membalas lambaian tangan
gue.
Berbagi Cerita

Muthia langsung menghampiri gue dengan sedikit berlari. Rambutnya yang dikuncir itu terlihat
bergoyang ke kanan dan ke kiri seiring dengan derap langkah kaki yang diambil olehnya.
Sebuah hal kecil yang ditampilkan oleh Muthia telah kembali sukses membuat gue betah untuk
memandanginya berlama-lama.

"Udah lama yah nunggunya?" Muthia bertanya ketika kami berdua telah berdiri secara
berhadapan, lalu gue tersenyum sambil menggeleng pelan. "Enggak kok, saya juga barusan
dateng."

Gue memiringkan kepala, mengalihkan pandangan menuju ransel yang dibawa oleh Muthia dan
seketika gue teringat akan perkataan Lia kemarin sore bahwa Muthia tidak boleh terlalu capek.
"Sini ranselnya, biar saya aja yang bawa."

"Eh, ga usah mas. Saya aja yang bawa sendiri, gapapa kok."

"Udah sini, mbak Muthia jangan bawa yang berat-berat." Gue memaksa Muthia agar mau
melepaskan ransel yang sedang dibawa olehnya namun dia tetap kekeuh pada pendiriannya.
Setelah melalui sedikit perdebatan, akhirnya Muthia mau mengalah dan dia langsung
memberikan ranselnya kepada gue. "Makasih ya." Ujar Muthia dan gue menjawabnya dengan
mengangkat ibu jari sambil tersenyum.

Kami berdua berjalan melewati kerumunan orang-orang yang sedang berlalu lalang. Di salah
satu sudut bandara, gue melihat bahwa ada satu orang anak kecil yang berlari kesana-kemari
sambil dikejar oleh ibunya yang membuat gue tersenyum geli, lalu kemudian perhatian gue
teralih ketika Muthia berbicara. "Oh iya, panggil Muthia atau Tia aja, jangan pake mbak." Ujar
Muthia. "Lagian kita juga kan seumuran."

"Loh?"

Muthia mengangguk. "Iya, saya dikasih tau sama mbak Lia kemarin kalo kita itu seumuran."

Gue membulatkan bibir dan mengangguk pelan. "Ooh..."

***

"Sebelumnya udah pernah jadi translator?"

Muthia menoleh kepada gue, lalu kemudian dia menggeleng. "Belum pernah, mas. Ini
pengalaman saya yang pertama kalinya."

"Hahaha..." Gue tertawa kecil. "Panggil aja Bayu, jangan pake 'mas' ya. Saya belom tua."
Ucapan gue disambut dengan senyum simpul Muthia, yang entah kenapa sangat sulit sekali bagi
gue untuk tidak mengagumi kecantikannya.

Tidak lama berselang, pesawat yang ditumpangi oleh kami berdua mulai berjalan secara
perlahan pada runway. Semakin lama, kecepatannya semakin bertambah sambil diiringi oleh
deru mesin pada sayap pesawat yang berbunyi nyaring. Lalu kemudian pesawat ini pun lepas
landas dan meninggalkan bandara di belakang kami.

Gue menoleh ke samping kanan, menoleh ke arah dimana Muthia sedang duduk. Gue melihat
bahwa ekspresi wajahnya menunjukkan sebuah ekspresi yang bisa dibilang cukup tegang. Raut
mukanya terlihat kaku dan tangannya menggenggam erat sandaran tangan. Lalu dengan secara
reflek, gue langsung memegang dan menggenggam erat tangan kirinya seraya berbicara.
"Tenang, ga akan apa-apa kok." Ujar gue sambil tetap memegang punggung tangannya yang
masih terasa kaku. "Baru pertama kali naik pesawat ya?"

"Enggak kok, saya kalo naik pesawat pasti bawaannya gini terus." Ujar Muthia. "Ngg, Bay, anu...
Tangannya..."

"Uh, eh? Iya, sorry...sorry..." Gue melepaskan genggaman dari tangan Muthia dengan kikuk lalu
gue berlagak sok cool sambil merogoh-rogoh saku jaket untuk mengambil handphone, yang
langsung gue sadari bahwa gue akan terlihat seperti orang bodoh jika bermain handphone di
dalam pesawat.

Setelah kejadian yang sangat awkward tadi, keheningan langsung menghinggapi kami berdua
dan keheningan tersebut tetap berlanjut untuk beberapa saat. Gue hendak membuka topik
obrolan untuk mencairkan suasana, namun gue pun tak kunjung menemukan topik apa yang pas
bagi gue untuk membuka pembicaraan.

"Bay?" Suara lembut Muthia membuyarkan lamunan gue dan juga sekaligus mencairkan
suasana.

Gue menoleh. "Ya? Kenapa Mut?"

"Nanti pas kita sampe bandara, bakal ada orang yang jemput kita disana. Aku lupa siapa nama
orangnya, tapi laki-laki kok. Kenalan mbak Lia juga." Gue tertegun sejenak. Aku?

"Hmmm, oke." Gue mengangguk pelan. Setelah gue berkata seperti itu, kemudian Muthia
menengok dan melihat ke arah gue yang membuat gue membuang muka. Grogi.

"Selain nerjemahin bahasa asing, kerjaan translator itu ngapain aja?"

"Ngg, gimana ya?" Gue menggaruk pelipis. "Tergantung dari situasi juga. Kalo pengalaman aku
dulu sih, seorang translator itu ga cuman nerjemahin bahasa orang lain. Kita juga harus cari
penginapan buat mereka, transportasi, makan, dan lain-lain."

"Terus?"

"Yaaa... Jadi intinya kita tuh harus bisa memenuhi kebutuhan atau keinginan orang asing itu.
Misalkan aja tentang makanan. Kita mungkin bisa makan apa aja di sini karena kita merupakan
penghuni asli Indonesia. Tapi kalo untuk orang asing yang notabenenya merupakan pendatang
di Indonesia, kita jangan nyamain makanan mereka sama makanan yang kita makan. Mungkin
aja orang asing itu cuman mau makan sesuatu yang spesifik."

Gue melirikkan mata ke arah Muthia dan melihat bahwa Muthia sedang mengkerutkan
keningnya. "Spesifik? Maksudnya?"

"Spesifik itu contohnya kayak gini. Dia merupakan seorang vegetarian dan dia cuman suka
sayur-mayur tertentu. Nah, kita juga kan pasti ga mungkin dong ngasih daging-dagingan atau
sayur yang asal sayur buat dia. Kalo misalkan makanannya ga ada, ya berarti kita harus masak
buat dia. Masa sih kita nyuguhin pop mie terus tiap hari?" Ujar gue sambil sedikit tertawa.

Muthia membulatkan bibirnya dan mengangguk pelan. "Ooh, iya. Bener juga ya."

"Jadi kita jangan malu-malu buat tanya sama orang asing itu. Kalo misalkan kita ngasih sesuatu
yang ga disukain sama dia, bisa-bisa kita yang kena efeknya seperti potong gaji, atau bahkan
mungkin kita juga bakal jarang dapet panggilan kerja buat nerjemahin gara-gara kesalahan itu."

"Ooh..."

"Tapi kalo dalam kasus yang sekarang sih kayaknya ga akan terlalu berat. Kita cuman harus
nerjemahin apa aja perkataan mereka. Kalo tentang makanan atau penginapan dan lain-lain,
biasanya mereka bakal ikut tidur di tenda pengungsian. Mereka juga pasti ngerti lah kalo cuman
dikasih makan yang ala kadarnya aja."

Obrolan kami berdua berlanjut hingga menuju hal-hal yang kecil seperti pengalaman pertama
gue menjadi seorang penerjemah, perihal pendapatan setelah menjadi penerjemah, dan lain
sebagainya. Tanpa terasa, obrolan yang sangat mengasyikkan ini mau tak mau harus menemui
akhirnya ketika pilot mengumumkan bahwa pesawat akan segera landing. Kami semua, para
penumpang pesawat, diwajibkan untuk mengenakan sabuk pengaman. Setelah gue memasang
sabuk pengaman dengan benar, gue menolehkan kepala ke arah Muthia, dan gue langsung
tersenyum geli.

Muthia memasang ekspresi tegangnya lagi.

Am I?

Untuk pertama kalinya di dalam hidup gue, gue menginjakkan kaki di tanah Sumatera. Tidak ada
perasaan excited atau pun perasaan aneh lainnya, namun sekarang gue hanya memiliki satu
keinginan, yaitu keinginan untuk bisa memejamkan mata walaupun hanya untuk beberapa saat
saja sebelum gue mulai bekerja di sini bersama Muthia. Akibat dari kerja lembur selama
beberapa hari ke belakang dan ditambah dengan jadwal tidur yang tidak menentu, telah
membuat tubuh gue lelah dan gue membutuhkan waktu istirahat sedikit lebih banyak. Setelah
mengambil carrier serta ransel milik Muthia pada baggage conveyor, kami berdua langsung
berjalan menuju pelataran bandara sambil berpegangan tangan, sebagai
pasangan newlywed yang hendak berbulan madu.
Nggak, nggak. Bohong. Itu cuman imajinasi gue doang.

Suasana bandara pada siang hari ini dapat dibilang cukup ramai. Ditambah dengan aktivitas
para pekerja yang sedang merenovasi bandara, suasana tempat ini pun terasa semakin hidup
walaupun telah dilanda oleh gempa beberapa hari yang lalu.

Gue dan Muthia celinguk kanan dan kiri untuk mencari kehadiran dari seseorang yang
sebelumnya telah dijanjikan oleh Lia untuk menjemput kami berdua. Lalu kemudian Muthia
menepuk bahu yang membuat gue menoleh kepadanya. "Bay, bapak-bapak yang itu bukan
tuh?" Telunjuk Muthia terangkat, menunjuk ke arah seorang bapak-bapak yang sedang
memegang selembar kertas yang bertuliskan nama kami berdua.

"Oh iya mungkin yang itu. Bentar ya aku tanya dulu. Kamu tunggu di sini, jangan pergi kemana-
mana." Gue langsung berjalan menuju bapak-bapak tersebut sambil membawa carrier pada
punggung serta ransel Muthia di depan dada. "Pak?" Ujar gue kepada bapak-bapak tersebut
sekaligus memperkenalkan diri. "Saya Bayu."

"Mas Bayu? Bayu Alfian?"

Gue mengangguk dan tersenyum. "Iya, Pak."

"Mbak Muthia-nya mana?" Ujar si bapak sambil celingukan dan dia berbicara dengan aksen
batak yang sangat kental sekali. Gue menengok ke belakang lalu mengangguk ke arah Muthia
sambil memberi isyarat tangan agar Muthia mendekat, dan dia langsung berjalan ke arah kami
berdua.

Muthia memperkenalkan dirinya secara singkat kepada bapak-bapak tersebut lalu kemudian
kami bertiga mengobrol mengenai perkembangan mengenai berita tentang kota ini sambil
berjalan menuju mobil. Setibanya di pelataran parkir, Muthia langsung masuk ke dalam pintu
belakang mobil bersama ransel miliknya sementara gue menyimpan carrier pada bagasi
sebelum masuk ke pintu samping.

"Oh iya, Pak?" Gue bertanya sambil sedikit cengengesan kepada bapak-bapak tersebut setelah
gue berada di dalam mobil.

"Iya? Ada apa mas?"

"Nama bapak siapa? Maaf saya belum tahu nama bapak, hehehe."

Bapak tersebut menarik kedua belah pipinya sehingga kumisnya pun ikut bergerak naik dan
beliau melirikkan matanya kepada gue. "Panggil saya Rhomi."

***

Mobil yang dikendarai oleh pak Rhomi terus berjalan, membelah jalanan kota di bawah teriknya
matahari pada siang hari ini. Sambil tetap mengemudi, pak Rhomi terus bercerita mengenai
keadaan Padang pada saat sebelum gempa, pada saat dimana gempa sedang terjadi, dan
keadaan pasca gempa. Lanjutnya, gempa yang mengguncang kota ini telah membuat rumah
yang disinggahi oleh beliau mengalami banyak sekali kerusakan, namun untungnya seluruh
keluarga pak Rhomi berhasil selamat dan sekarang mereka semua dalam keadaan sehat wal
afiat. Gue mendengarkan dan memperhatikan pak Rhomi secara seksama. Lalu ketika beliau
sedang bercerita tentang hal-hal yang lain, gue melirikkan mata ke arah bangku belakang untuk
melihat Muthia.

Muthia kini sudah terlelap. Dia tertidur sambil memeluk ranselnya dengan posisi dagu yang
disandarkan pada ransel dan kepalanya sedikit tertunduk sehingga poni rambutnya menutupi
sebelah matanya. Eskpresi wajah yang diperlihatkannya pun lucu sekali, damai, seperti tidak ada
masalah yang sedang menghinggapi dirnya. Dan yang terakhir, Muthia kembali sukses membuat
gue betah untuk berlama-lama memandangi wajah cantiknya.

Mut, am I in love with you?

An Overseas Story

Setelah menempuh perjalanan udara selama beberapa jam bersama Muthia, lalu pada sore hari
yang cerah itu, akhirnya gue dapat kembali pulang menuju sebuah kamar kost di lantai dua
sambil mengantongi nomor kontak Muthia beserta sejumlah uang yang cukup untuk membeli
sebuah motor baru yang bergengsi tinggi dibandingkan dengan motor Nouvo butut gue.

Setelah menutup pintu pagar kost, gue langsung berbelok dan menaiki anak tangga secara
perlahan. Lalu ketika gue mendongak ke atas, terlihatlah seorang lelembut penghuni kamar
sebelah yang memakai jeans hot pants ketat serta kaos oblong putih polos yang kebesaran, dan
dia sedang menatap gue sambil menyilangkan tangan di depan dadanya. "Elo punya utang
sama gue Bay." Sita membuka suara ketika kami berdua telah berhadapan.

Gue berhenti menaiki anak tangga dan menaikkan alis. "Utang?"

"Yang pertama, elo berhutang minta maaf gara-gara elo pergi ga bilang-bilang sama gue. Terus
yang ke dua..." Sita langsung memasang ekspresi sok jutek sambil mengulurkan tangannya
yang putih. "Rendang telor pesenan gue mana?" Gue hanya bisa menatapnya sambil menahan
tawa tanpa bisa berkata apa-apa. "Dan yang ke terakhir, elo harus cerita keseharian elo di sana
bareng Lia."

Tawa gue pun meledak setelah mendengarnya berkata seperti itu. Sita sama sekali belum
mengetahui bahwa gue pergi bersama Muthia. Gue tertawa dengan keras sambil berlalu menuju
kamar kost tanpa menghiraukan Sita, yang tetap memanggil nama lengkap gue sambil
menepuk-nepuk carrier pada punggung hingga berkali-kali.

***

Banyak sekali uluran tangan dari negara-negara sahabat yang memberikan bantuannya secara
sukarela. Mereka semua mengirimkan berbagai bantuan kemanusian untuk para korban gempa
terutama dalam hal makanan, obat, dan tenaga medis. Tidak lupa juga, organisasi-organisasi
kemanusiaan internasional seperti ICRC, IFRC dan Mercy Corps pun berdatangan ke tempat ini
beserta bantuannya masing-masing.

Namun sayangnya, gue dan Muthia ditempatkan di tempat yang terpisah. Muthia ditempatkan
pada posko trauma center di salah satu tempat, sedangkan gue lebih sering bertugas di
lapangan bersama seorang relawan asing yang bersal dari kesatuan Mercy Corps yang bernama
Michael Myers.

Dikarenakan kami berdua berada di lokasi yang berbeda, intensitas pertemuan antara gue dan
Muthia pun sangat berkurang drastis. Tetapi kami berdua mendapatkan sebuah penginapan
pada satu tempat yang sama sehingga gue masih dapat memantau keadaan Muthia walaupun
hanya di saat-saat tertentu saja.

Pada malam hari itu, setelah selesai menyantap makan malam yang ala kadarnya, gue berjalan-
jalan di sekitar tenda untuk mencari ruangan terbuka untuk merokok. Lalu beberapa saat
kemudian gue mendapati Michael yang sedang duduk bersandar pada bongkahan batu sambil
mencatat pada buku kecil. Gue pun langsung mendekati Michael dan duduk berselonjor di
sampingnya. "Hi Mike."

"Oh, it's you again!" Michael menyapa gue dan kemudian dia langsung menutup buku pada
tangannya. "Today is a tough day, right?"

"Hahaha..." Gue terkekeh pelan dan menghela nafas panjang. "You are right Sir, today is a
tough day." Lanjut gue. Setelah itu, gue mengeluarkan sebungkus rokok cupu dari saku baju dan
menawarkannya kepada Michael.

"Marlboro huh?" Tanya Michael dan gue mengangguk. "Thank you, Mr. Bayu. But I have my own
cigar." Michael menolak tawaran gue dengan halus lalu kemudian dia mengeluarkan sebungkus
rokok dari saku celananya.

"Wow. I rarely found Pall Mall here."

"So do you want to try this one?" Kali ini, giliran Michael yang menawari gue.

Gue tersenyum dan menarik nafas sambil mengangkat kedua bahu. "Well, maybe I'll
try." Dengan senyum yang mengembang pada bibirnya, Michael membuka tutup bungkus rokok
tersebut dan mempersilakan gue untuk mengambilnya sendiri. "Thank you." Setelah gue
mengambilnya, Michael juga ikut mengambil satu batang rokok tersebut dan menyalakannya lalu
kami berdua pun larut dalam obrolan .

"Hey, I gotta tell you something."

Gue menghembuskan asap putih ke udara lalu menengok. "What is it?" Michael mengangkat
telunjuknya dan dia langsung merogoh saku celana safari loreng-lorengnya lalu kemudian dia
mengeluarkan sebuah buku. Setelah Michael membuka lembaran pertama, gue baru menyadari
bahwa itu bukanlah sebuah buku, melainkan sebuah mini album miliknya.

"This is me." Michael menunjuk ke pada salah satu foto. Pada foto tersebut, terlihat Michael
sedang berada di atas tangga di samping pohon, memegang sebuah alat seperti gergaji dan dia
berpose dengan seringai yang lebar. "Climbing in ladder and cutting dead branches from
trees." Lanjutnya. "It's kinda hard to keep your body balance 16 feet up on extension ladder and
trying to smile like an idiot." Gue pun tertawa setelah mendengarnya.

"And look at this one." Lembar selanjutnya dibuka oleh Michael. Dia langsung menunjuk kepada
sebuah foto pohon yang sangat besar sekali, dan kemudian dia juga menunjuk kepada sebuah
foto serangga yang sebelumnya belum pernah gue temui. "This is my Ash Tree. And this,
Emerald Ash Borer, is an introduced pest. Big one is a worry. It's killed millions of Ash Trees from
New England to Iowa. This one is at risk. Insect will be in my area in two or four years likely."

"Yea, they do ugly things to the Ash Trees." Ujar gue sambil tersenyum, lalu kemudian gue
memandangi foto tersebut lekat-lekat dan gue baru menyadari bahwa halaman rumah Michael
sangatlah indah sekali dengan berbagai pohon rindang yang mengelilinginya. "Your place looks
like a park. Beautiful place by the way. Very nice."

Michael tersenyum, lalu kemudian dia menjawab. "Thank you. And anyway, have you ever try
mixing honey roasted peanuts with candy corn? Tastes like you're eating caramel apple."

"Well Mike, I'm afraid I've never tried that..."

Belum sempat gue mendengarkan perkataan Michael yang selanjutnya, pandangan gue
langsung teralih ketika ujung mata gue melihat seorang Muthia sedang berjalan ke arah kami
berdua sambil membawa dua buah gelas plastik berwarna hijau. Lalu ketika gue kembali
mengalihkan pandangan kepada Michael, gue melihat bahwa Michael sedang memasang
sebuah senyuman yang aneh kepada gue.

I'm In Love

Muthia berjalan dengan santai ke arah kami berdua sambil membawa dua buah gelas pada
tangannya. Ekspresi pada wajah Muthia tidak dapat gue lihat dengan jelas karena penerangan
yang minim, namun gue dapat mengetahui bahwa rambut panjangnya itu kembali dikuncir
dengan poni yang dibelah pinggir. Kemudian gue kembali mengalihkan pandangan pada Michael
yang ternyata sedang tersenyum aneh, lalu kemudian dia berbicara. "Here comes the princess."

"Wait. L...l...let me get this straight, are you thinking that she's my girl?

"Hmmm, why not?" Michael mengangkat bahunya. "I often catches you glancing at her when
she's around."

"You are totally wrong. Stealing glance at her doesn't mean that she is my girl. Okay?"

"But stealing glance means that you've put your interests into her. Am I right?"

Ingin rasanya gue terus berdebat dengan bule gila yang satu ini dan mengeluarkan denial-denial
lainnya, namun perdebatan kecil antara gue dan Michael harus terhenti ketika Muthia hanya
berjarak beberapa langkah saja di depan kami berdua, dan lagi-lagi Michael pun memberikan
senyuman aneh miliknya.

"Hi guys." Sapa Muthia.


"Hi Muthia, how's your day today?"

"It's good. And how are you doing Mike?"

"Very well, thank you."

"Oh, this is for you." Muthia memberikan sebuah gelas yang dipegang olehnya kepada Mike, lalu
kemudian memberikan gelas lainnya kepada gue. "Terus yang ini buat kamu."

"Thank you."

"Makasih ya." Gue dan Mike berkata secara bersamaan yang membuat Muthia tertawa.

Gue mematikan rokok yang masih tersisa setengah lalu memandangi isi dari gelas yang barusan
diberikan oleh Muthia. Gelas yang terasa hangat pada telapak tangan gue ini ternyata berisi teh.
Asap tipis berwarna putih terlihat mengepul dari permukaannya lalu perlahan-lahan asap
tersebut menghilang, membaur bersama udara malam yang dingin. Gue mendekatkan gelas
yang gue pegang pada hidung untuk mengirup aroma khas yang dikeluarkan oleh teh tersebut,
sebelum pada akhirnya gue menyeruput teh itu dan langsung tersenyum simpul. Kenapa gue
tersenyum? Gue tersenyum karena gue menyadari bahwa ini bukanlah sekedar teh biasa,
melainkan ini adalah sebuah teh manis dengan rasa manis yang sangat pas di lidah, dan ini
merupakan sebuah teh yang dibuat oleh tangan Muthia sendiri.

"Mut?" Gue memanggil Muthia yang membuatnya menoleh.

"Hmm?"

"Ngga tidur?"

Muthia memberikan senyumannya dan dia mengangguk pelan. Senyuman Muthia sangatlah
manis, semanis teh pada gelas yang gue pegang. "Iya aku mau tidur kok, aku cuman mau
ngasih teh manis aja buat kalian berdua."

"Yaudah deh yuk, aku anterin kamu." Ujar gue kepada Muthia. "And Mike, I'll be right back."

Mike melirik kepada gue, menyimpan gelas di atas tanah dan kembali memberikan senyuman
anehnya seraya berkata. "I'm waiting for you, dear Prince Charming."

Ya ampuuun, kebanyakan nonton kartun Disney nih bule...

***

"Kalian tadi ngobrolin apa aja Bay?"

"Ooh, tadi Mike ngasih liat aku foto-foto tentang rumah dia di Nebraska."

"Rumah? Rumahnya kayak gimana? Mirip sama yang di film-film ga?" Muthia bertanya dengan
antusias.

"Kamu udah nonton Twilight?"

Muthia mengangguk dan tersenyum lebar. "Udah dong!"

"Nah! Rumah Mike itu mirip loh sama rumahnya Bella, miriiip banget. Cuman bedanya, Mike
punya lebih banyak pohon di depan rumahnya."

"Wah keren dong ya kalo gitu? Aku jadi penasaran deh ingin jalan-jalan ke luar negeri."
Gue tidak membalas perkataannya melainkan hanya memberikan senyum simpul saja kepada
Muthia. Kami berdua terus berjalan secara bersisian menuju tempat dimana Muthia akan tidur
tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Lalu beberapa saat kemudian, Muthia menghentikan
langkah kakinya beberapa langkah di belakang gue yang membuat gue menoleh ke belakang.
Muthia sedang mematung di tempatnya berdiri, memejamkan matanya rapat-rapat hingga
muncul kerutan pada keningnya sambil mengurut pangkal hidungnya.

"Kenapa Mut?" Tanya gue dengan was-was dan buru-buru menghampiri Muthia. "Kamu ga
kenapa-napa kan?"

Muthia menggeleng lemah sambil tetap memejamkan mata. "Aku ga apa-apa kok. Aku udah
sering ngalamin ini dari jaman kuliah dulu."

"Kamu besok ga usah kerja ya? Kamu kayaknya kecapean banget."

Muthia kembali menggeleng. "Enggak ah, enggak. Aku masih bisa kerja. Aku gapapa kok Bay,
beneran deh." Ujarnya sambil melemparkan senyuman yang terlihat sayu.

Perkataan Muthia yang barusan sangatlah berbanding terbalik dengan keadaan dirinya, namun
gue tidak bisa berkata apa-apa karena gue tidak bisa melarang hal tersebut. Gue mengangguk
pelan, lalu kemudian kami berdua kembali berjalan. Muthia berjalan dengan pelan dan sesekali
oleng ke kanan atau ke kiri sehingga gue harus memapahnya dengan hati-hati agar Muthia tidak
terjatuh. Setelah beberapa saat berjalan, akhirnya kami berdua sampai di tenda tempat dimana
Muthia akan tidur. Gue membantu Muthia merebahkan badannya di atas kasur yang mirip
seperti tandu lalu kemudian menyelimuti badannya dengan selimut putih salur-salur.

Gue duduk pada kasur tandu di samping Muthia yang sedang berbaring, lalu kepalanya menoleh
kepada gue dan dia tersenyum walaupun masih terlihat sayu. "Makasih ya Bay."

"Iya, sama-sama Mut." Gue mengangguk. "Eh Mut, aku mau cerita. Mau dengerin ga?"

Muthia terkekeh pelan sambil menaikkan alisnya. "Bedtime story?"

"Yaaa..." Gue menggaruk pelipis. "Bisa juga dibilang kayak gitu."

"Oke deeeh."
Gue pun mulai bercerita. Gue mengawali cerita mengenai keseharian gue di kantor. Mulai dari
pekerjaan yang terlalu monoton, hingga bercerita tentang Gina si ember bocor...cor...cor...cor...
Muthia tertawa pelan ketika gue bercerita mengenai Gina dan segala tingkah lakunya yang
hampir selalu membuat gue darah tinggi. Kedua mata Muthia yang indah itu terlihat mencoba
untuk tetap terbuka lebar selama gue bercerita walau sesekali terpejam, mencoba melawan
sang kantuk yang telah menyerang.

Lalu semakin lama respon Muthia terhadap cerita gue semakin berkurang, dan pada akhirnya
tidak ada respon sama sekali yang terdengar dari Muthia. Gue menghentikan cerita dan
menatap wajahnya yang sedang terlelap sambil sedikit memiringkan kepala, mencoba mencari
sebuah sisi yang tepat untuk memandanginya lekat-lekat. Gue melihat bahwa kelopak matanya
telah tertutup rapat dan hanya menyisakan sebuah senyum tipis pada bibirnya yang menggoda.
Rambutnya yang tergerai dan sedikit acak-acakan itu menambah kesan tersendiri yang
membekas pada memori gue.

Gue mencondongkan badan ke arah Muthia untuk membenarkan posisi selimut dan menariknya
hingga menutupi leher Muthia, lalu kemudian gue memandanginya sekali lagi. Ekspresinya
masih terlihat sama seperti ketika gue melihat Muthia tertidur di dalam mobil tempo hari, damai,
dan wajah putihnya sangat sejuk sekali untuk dipandang. Inner beauty milik seorang Muthia
sangatlah terlihat dengan jelas di depan mata gue.

Ketika melihatnya seperti ini, ada gejolak yang terasa aneh di dalam dada yang membuat
jantung gue berdegup lebih kencang dari biasanya. Sebuah perasaan muncul di benak gue.
Sebuah perasaan yang sebelumnya belum pernah gue rasakan kepada wanita manapun yang
pernah gue temui. Sebuah perasaan yang ingin selalu berada di sampingnya, dan gue tidak
ingin kehilangan Muthia. Itulah yang sedang gue rasakan sekarang.
Tidak dapat gue pungkiri lagi, gue memang telah menaruh sebuah rasa kepada Muthia.

Orang lain pernah bilang, cinta adalah sebuah rasa dimana elo telah menemukan sebuah
kedamaian ketika elo berada di dekat orang yang paling berharga di hidup elo. Dan kini, gue
juga merasakan hal tersebut ketika berada di dekat Muthia. Gue merasakan sebuah hal yang
tidak dapat gue rasakan ketika bersama Sita, atau bahkan Lia sekalipun. Tidak.

Tapi, apakah rasa tersebut memang benar-benar tumbuh dari sebuah perasaan yang bernama
cinta?

Gue menggeleng pelan sambil mengusap wajah. Ah, sudahlah. Gue terlalu awam tentang
percintaan. Biarkan saja perasaan ini mengalir apa adanya dan tugas gue sekarang hanyalah
menikmati tiap-tiap sensasi yang terasa, serta memupuk perasaan kepada Muthia yang tumbuh
subur seiring dengan berjalannya waktu.

Gue menepuk kedua paha, lalu kemudian bangkit berdiri dan berjalan menuju tempat dimana
Michael sedang berada bersama bayang-bayang akan senyuman manis Muthia yang melekat
pada benak dan pikiran

Wise Man's Words

Gue membuka mata secara perlahan dan menyimpan lengan di atas kening, lalu kemudian
bengong sambil melihat langit-langit kamar yang masih terlihat gelap walaupun telah sedikit
tersinari oleh sinar matahari yang menyeruak masuk melalui sela-sela gorden serta ventilasi
pintu. Gue menyibak selimut ke kiri lalu kemudian duduk bersandar pada dinding dan
menundukkan kepala sambil memejamkan mata untuk sejenak.

Badan gue sangat berkeringat sekali hingga membasahi baju di daerah punggung dan dada
yang membuat gue sedikit tidak nyaman. Hal ini mungkin terjadi karena efek dari kelelahan
setelah menempuh perjalanan panjang yang memakan waktu lama, dan setibanya di kostan ini
gue harus bercerita panjang lebar mengenai keseharian gue di Padang kepada Sita hingga larut
malam, yang entah kenapa selalu membuat pikiran gue kembali melayang menuju hari-hari yang
tak terlupakan tersebut.

***

Michael masih duduk bersandar pada tempatnya berada, dan dia kembali terlihat sedang
menulis sesuatu pada buku kecil yang sebelumnya pernah gue lihat. Sambil mesem-mesem dan
sedikit cengengesan gue berjalan ke arah Michael, lalu kemudian duduk berselonjor di
sampingnya dan langsung mengeluarkan sebatang rokok cupu dari dalam saku. Sesaat setelah
gue menyulut rokok, Michael menoleh dan berbicara kepada gue.

"Welcome back! What happened to her? Is she alright?"

Gue menyedot rokok dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara. "Nothing." Gue
menggeleng sambil tersenyum. "She's alright."

"I know that you are not telling the truth. Something happened to her when I saw her unsteady."

"She's just a lil bit tired and she need some rest."

Michael tidak membalas omongan gue. Dia kembali menutup dan memasukkan buku yang
dipegang olehnya ke dalam saku celana safari yang ia kenakan lalu kemudian kembali
berbicara. "You know..." Ujar Michael yang membuat gue menoleh. "...when you are not in a
good condition like this, all you need is this one."

Gue mengalihkan pandangan kepada sesuatu yang sedang dipegang pada tangannya. Terlihat
Michael sedang memegang sebuah benda yang berbentuk pipih melengkung dan terbuat dari
stainless steel berwarna perak mengkilap. Benda yang dipegang oleh Michael itu terasa tidak
asing bagi gue dan gue juga merasa bahwa gue pernah melihat benda tersebut, namun entah
dimana. Lalu sesaat kemudian gue langsung teringat akan benda tersebut. Benda tersebut
adalah sebuah botol atau tumbler yang pada umumnya berisi bir atau berisi minuman
sejenisnya.

Gue menggeleng pelan. "I...I think that I don't need it."

"Come on, it won't kill you instantly."

Pikiran gue bergelut untuk beberapa saat, menimang-nimang apakah gue perlu meminum
sesuatu yang diberikan oleh Michael ataukah tidak. Lalu pada akhirnya gue mengambil benda
tersebut dan langsung membuka tutupnya secara perlahan. Tutup tumbler pun terbuka dan
seketika aroma alkohol sangat yang kentara sekali membuat dahi gue mengernyit. Hal tersebut
disadari oleh Michael dan kemudian dia kembali berbicara.

"Try it."

Gue memandangi tumbler yang gue pegang, dan tanpa pikir panjang lagi gue langsung
meminumnya. Sedetik setelah isi dari tumbler tersebut menyentuh lidah gue, gue langsung
memejamkan mata dengan erat, mengernyitkan dahi lebih dalam lagi, dan gue berusaha keras
untuk dapat menelannya.

"It's your first time huh?" Michael menertawakan gue. "Don't worry, you'll get used to it."

"Shit...! What the fuck is this?"

"It's a man's whiskey. Jack." Dengan santainya Michael menjawab pertanyaan gue. Lalu tanpa
menoleh kepadanya, gue menyodorkan lengan gue untuk mengembalikan botol tersebut
kepadanya sambil tetap mengernyitkan dahi dalam-dalam.

"I will never drink that shit anymore. Ever."

"Hahaha..." Michael terkekeh pelan.

Ada jeda yang cukup lama diantara kami berdua setelah kejadian tersebut. Entah apakah karena
gue yang berkata seperti itu ataupun karena Michael yang menyadari bahwa gue membutuhkan
waktu untuk dapat kembali fokus, kami berdua sama sekali tidak ada yang membuka
percakapan untuk beberapa saat.

"Sometimes, love doesn't come easily." Michael tiba-tiba membuka sebuah topik obrolan yang
membuat gue menoleh kepadanya. "You will never know when that feeling of love comes to you,
and you will never know when that feeling flew away." Mike menoleh pada gue sehingga kami
berdua bertatapan. "I believe that you are having a crush on her. Right?"

Gue mengalihkan pandangan dan melihat ke tanah sambil memeluk kaki, lalu menggeleng
pelan. "I find it hard to explain it or maybe I don't even know my feelings for her..."

"Why?"

"I've never been in a relationship before. In the last few years I had the opportunity to, but I am
scared that since I have never been in one and I would not know what to do."

"Well, Mr. Bayu... " Michael mendengus pelan. "Would you mind if you hearing my thoughts?"

"Shoot it."

"Let me ask you one thing. Do you wanna know how it feels to be in a relationship?"

"Of course I do want to know."

"And then why don't you try it?"

"..." Deg! Perkataan Michael langsung membuat gue tertegun dan membuat otak kecil gue
bekerja lebih keras lagi dari biasanya. Masih dalam keadaan sedikit terhenyak, Michael kembali
meneruskan omongannya.

"You will never know what relationships are like until you're in one. But once you are in it, you
have to keep your communication with your girlfriend. It took me several relationships to learn
this. But the more you communicate, the better you do. Even if you tell your girlfriend things that
you don't think matter, like why it feels sorta weird when you calls her with an uncommon name,
it surely helps. Believe me. Every bit helps."

"So what I have to do is keep the communications alive, right?"

"You are right, young man. Go and take some risks, and you shouldn't worry too much. When
there is a chance, grab it, and it will make you the happiest man in the world." Ujar Mike sambil
memberikan sebuah senyuman yang mencoba untuk meyakinkan gue akan hal tersebut. Lalu
kemudian dia menepuk pundak gue, sebelum pada akhirnya dia berdiri. "Guess I need some
sleep right now, gotta hit my bed. I'll see you tomorrow and don't forget about my words."

Gue memberikan senyuman kepadanya seraya berkata terima kasih dan dibalas anggukkan
kepala Michael sambil mengangkat ibu jarinya yang besar. Setelah itu, Michael langsung
berjalan menjauhi gue menuju sebuah tenda yang terletak terpisah dengan tenda tempat dimana
gue menginap, sementara gue masih termenung di tempat yang sama, mencoba untuk
mencerna setiap perkataan serta nasihat yang diberikan olehnya sambil menikmati rembulan
serta gemerlap bintang di malam hari.
Perfect Farewell

Entah sudah berapa lama gue berada di Kota Bengkuang yang sedang berduka ini. Semenjak
melewati beberapa hari pertama, gue sudah tidak pernah menghitungnya lagi dan gue juga
sudah tidak peduli mengenai jumlah bayaran yang akan gue terima ketika pekerjaan gue selesai
nanti. Yang hanya gue pedulikan adalah gue ingin tetap berada di sini dan terus mencoba untuk
menikmati setiap detik dari waktu kebersamaan yang gue lewati bersama Muthia.

Namun sayangnya harapan yang telah gue gantung setinggi langit tersebut harus rela pupus di
tengah jalan karena hari ini merupakan hari dimana Mike akan pulang, dan itu juga menandakan
bahwa pekerjaan gue di sini telah selesai. Oleh karena pekerjaan gue yang telah selesai juga,
maka hari-hari kebersamaan antara gue dan Muthia pun harus segera berakhir dan itu juga
menjadi sebuah perpisahan yang cukup gue sesalkan.

Pagi-pagi sekali, Mike beserta kawan-kawan anggota Mercy Corps lainnya telah bersiap-siap
untuk kembali ke negara asal mereka. Barang-barang yang dibawa oleh mereka pun semuanya
telah ditata dengan rapi di dalam sebuah truk tentara semenjak kemarin malam sehingga saat ini
mereka semua hanya tinggal mempersiapkan diri mereka masing-masing. Gue berjalan keluar
tenda dengan perasaan yang berat, berat untuk menghadapi sebuah kenyataan ketika gue harus
berpisah bersama seseorang yang telah gue anggap sebagai seorang sahabat karib.

Di luar tenda terlihat sangat ramai karena banyak orang yang hilir mudik kesana-kemari bersama
kepentingannya masing-masing. Walaupun para pengungsi disini masih terbilang cukup banyak,
namun tenaga medis ataupun tenaga ahli lainnya sudah tidak terlalu dibutuhkan lagi sehingga
kamp pengungsian ini akan segera sepi dalam beberapa saat ke depan.

Gue menyapu pandangan ke seluruh arah, mencoba untuk mencari keberadaan Mike diantara
kerumunan orang-orang bermata sipit beserta bule berbadan tegap lainnya. Lalu beberapa saat
kemudian gue mendapati Mike di ujung sana yang sedang menenteng sebuah kardus berwarna
putih dengan lambang khas Mercy Corps. Gue pun langsung berjalan menghampirinya sambil
mengantongkan tangan pada saku jaket.

"Hi Mike. Good morning. Ready for a long trip huh?"

"Oh, hello. Good morning Mr. Bayu. Yes, I am ready." Ujar Mike sambil tersenyum seraya
menyimpan kardus yang ia pegang di atas tanah, lalu sesaat kemudian dia mengambil sesuatu
dari dari balik saku celana safarinya dan memberikannya kepada gue. "Here, this is my card.
You can always find me there."

Michael Adam Myers

Portland, Oregon, USA

Gue memandangi kartu nama yang gue pegang untuk beberapa saat, sebelum pada akhirnya
sebuah tepukan pada lengan atas membangunkan gue dari lamunan. "Keep up the good work.
Thanks for making it so nice to work with you. When there's another call from Indonesia, I'm
looking forward to seeing you again." Ucapan Mike tersebut membuat gue tersenyum simpul
seraya berterima kasih kepadanya.

"Thank you."
"And remember this one young man, communication."

Gue pun terkekeh pelan seraya menjulurkan tangan. "I will never forget your words, dear old
man. Nice to know you Mike."

Mike membalasnya dengan senyuman serta menjabat tangan gue, erat sekali, seolah-olah ia
sedang menunjukkan wibawa yang dimiliki olehnya. Lalu kemudian dia membungkuk,
mengambil kardus yang dibawa olehnya dan langsung membalikkan badan seraya melambaikan
tangannya kepada gue.

"See you Mr. Bayu!"

"See you later Mike!"

Ya, see you later Mike. Have a safe trip, my friend

***

Lalu pada siang harinya, gue dan Muthia kembali diantar menuju bandara oleh pak Rhomi
setelah menyelesaikan beberapa administrasi yang tidak terlalu merepotkan. Pak Rhomi hanya
men-drop off kami berdua tepat di depan pintu masuk bandara. Setelah mengambil barang-
barang bawaan dari dalam bagasi, gue dan Muthia berterima kasih kepada pak Rhomi seraya
menyalaminya.

"Jangan kapok main ke kota kecil ini lagi ya mas Bayu, mbak Muthia." Ujar pak Rhomi. "Kalo
begitu, saya mau langsung pamit. Salam buat mbak Lia."

"Oke pak. Sekali lagi, terima kasih ya pak." Setelah gue berkata seperti itu, pak Rhomi langsung
masuk ke dalam pintu kemudi mobilnya dan langsung tancap gas meninggalkan kami berdua di
pelataran bandara. Setelah terdiam beberapa saat sambil memperhatikan mobil pak Rhomi yang
menghilang di belokan, gue langsung mengajak Muthia untuk masuk ke dalam bandara. "Yuk,
masuk..."

Gue dan Muthia memilih untuk duduk pada kursi di dalam lounge bandara. Setelah kami berdua
duduk bersisian, gue bertanya kepadanya. "Asik ga kerja kayak gini?"

Muthia yang sedang memainkan handphonenya langsung menoleh kepada gue, dan dia
tersenyum manis. "Asik! Banget! Lebih enak daripada kerja di kantor-kantor, mana dapet fee-nya
gede pula!"

Gue terkekeh pelan dan menyandarkan punggung pada kursi. "Yaaa lumayan lah itung-itung
refreshing dari kerjaan sehari-hari." Gue tertawa. "Eh iya, Mut, bisa kenal sama Lia dari mana?"

"Ooh, itu. Lia tuh dulu pernah jadi klien aku pas dia mau kredit rumah."

"Emang kerjaan kamu apaan?"

"Banker."

"Banker?"

"Iya. Jadi kalo banker itu harus bisa menganalisis apakah orang itu layak dapet pinjaman kredit
atau nggak, tujuan kredit orang itu buat apa, ah pusing deh pokoknya kalo kerja jadi banker tuh!
"

Obrolan kami berdua harus terhenti ketika announcer memberi pengumuman bahwa pesawat
yang akan kami berdua tumpangi telah tersedia. Gue dan Muthia pun langsung berjalan menuju
pesawat yang dimaksud. Di dalam pesawat, Muthia kembali duduk di samping jendela dan
secara otomatis gue duduk di sampingnya. Setelah beberapa saat menunggu pesawat untuk
lepas landas, gue menoleh kepada Muthia dan menggodanya. "Jangan tegang lagi lho ya."
Muthia menoleh kepada gue, dan dia langsung meninju lengan sebelah kanan gue yang
membuat gue tertawa.

"Mut?"

"Ya? Kenapa Bay?"

"Engg... Anu..." Gue memainkan jari dengan gugup sambil memalingkan pandangan dari wajah
Muthia.

"Apa?"

"Engg, kita..."

"Kita...?"

Gue menarik nafas dalam-dalam, sebelum gue kembali menatapnya dengan kikuk. "Komunikasi
kita berdua ngga selesai disini kan?"
Muthia menaikkan kedua alisnya seolah-olah dia tidak percaya dengan pertanyaan gue, dan
kemudian dia tertawa lebar. "Ya enggak lah Bay, hahaha."

"Kalo gitu, aku boleh minta kontak kamu?"

"Iya boleh koook, mana sini handphone kamu."

Tanpa berbasa-basi serta sambil menahan senyuman pada bibir, gue langsung merogoh saku
celana dengan perasaan bahagia untuk mengambil Blackberry kesayangan dan memberikannya
kepada Muthia. Gue sudah lagi tidak mempedulikan larangan tentang bermain handphone di
atas pesawat karena saat ini gue sedang merasa senang, senang sekali.

Sementara Muthia sedang memegang handphone gue, tiba-tiba jantung gue berdegup lebih
cepat dari biasanya dan dengan sekuat tenaga gue mencoba untuk menahan gejolak bahagia
yang berkecamuk di dalam dada. Perasaan ini sangatlah surreal sekali di dalam hidup gue. Gue
tidak pernah merasa sebahagia ini ketika mendapatkan kontak dari seseorang yang sangat
berarti bagi gue, seolah-olah ini adalah momen yang hanya terjadi sekali seumur hidup.

Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Muthia untuk memberikan nomor kontak beserta pin
BBM miliknya dan dia langsung mengembalikan handphone kepada gue. "Nih."

Gue memandangi layar handphone gue untuk beberapa saat, tersenyum, lalu kemudian kembali
bertanya. "Terus kalo misalkan suatu saat nanti aku ngajak kamu jalan keluar, boleh kan?"

Muthia tersenyum simpul seraya menjawab pertanyaan yang membuat hati gue membuncah
bahagia. "Boleh kok, kamu boleh ngajak aku jalan."

***

Setelah menempuh perjalanan udara selama beberapa jam bersama Muthia, lalu pada sore hari
yang cerah itu, akhirnya gue dapat kembali pulang menuju sebuah kamar kost di lantai dua
sambil mengantongi nomor kontak Muthia beserta sejumlah uang yang cukup untuk membeli
sebuah motor baru yang bergengsi tinggi dibandingkan dengan motor Nouvo butut gue.

Setelah menutup pintu pagar kost, gue langsung berbelok dan menaiki anak tangga secara
perlahan. Lalu ketika gue mendongak ke atas, terlihatlah seorang lelembut penghuni kamar
sebelah yang memakai jeans hot pants ketat serta kaos oblong putih polos yang kebesaran, dan
dia sedang menatap gue sambil menyilangkan tangan di depan dadanya. "Elo punya utang
sama gue Bey." Sita membuka suara ketika kami berdua telah berhadapan.

Gue berhenti menaiki anak tangga dan menaikkan alis. "Utang?"

"Yang pertama, elo berhutang minta maaf gara-gara elo pergi ga bilang-bilang sama gue. Terus
yang ke dua..." Sita langsung memasang ekspresi sok jutek sambil mengulurkan tangannya
yang putih. "Rendang telor pesenan gue mana?" Gue hanya bisa menatapnya sambil menahan
tawa tanpa bisa berkata apa-apa. "Dan yang ke terakhir, elo harus cerita keseharian elo di sana
bareng Lia."

Tawa gue pun meledak setelah mendengarnya berkata seperti itu. Sita sama sekali belum
mengetahui bahwa gue pergi bersama Muthia. Gue tertawa dengan keras sambil berlalu menuju
kamar kost tanpa menghiraukan Sita, yang tetap memanggil nama lengkap gue sambil
menepuk-nepuk carrier pada punggung hingga berkali-kali, karena gue masih ingin kembali
mengingat-ingat memori kebersamaan gue bersama Muthia di sepanjang jalan kenangan.

Beautiful Coincidence

Hari Senin pagi ini gue telah kembali berhadapan dengan rutinitas harian yang sangat
membosankan sekali. Bangun subuh-subuh, shalat, mandi, sarapan, menahan emosi sambil
bergelut melawan kemacetan agar bisa sampai di kantor tepat pada waktunya, lalu gue harus
langsung bekerja hingga sang mentari menghilang di ujung senja, dan proses
tersebut pasti kembali lagi menuju fase awal dimana gue harus bangun subuh-subuh. Ya
beginilah hidup gue. Kalo menurut bahasa gaul anak IT sih, kehidupan gue itu disebut
dengan looping. Berputar pada sebuah lingkaran yang tak berkesudahan.

Kadang-kadang gue juga sering merasa jenuh dengan kehidupan serta pekerjaan yang seperti
ini. Sebuah pekerjaan yang harus selalu menuntut gue untuk terus berhadapan dengan
komputer selama hampir delapan jam penuh dalam sehari. Namun mau bagaimana lagi? Ini
merupakan konsekuensi gue ketika menandatangani persetujuan mengenai pekerjaan ini, ini
merupakan kewajiban yang harus gue laksanakan, ini merupakan sumber penghidupan sehari-
hari gue, dan ini juga merupakan sumber biaya tambahan bagi adik perempuan gue yang
sedang berkuliah di salah satu universitas swasta yang cukup terkenal di Kota Kembang.

Ting!

Bunyi denting lift terdengar pada telinga dan sedetik kemudian pintunya terbuka. Gue beserta
beberapa orang lainnya langsung keluar dan berpisah menuju meja kerjanya masing-masing.
Gue berjalan menuju meja kerja sambil sesekali menjawab pertanyaan dari rekan-rekan kantor
yang kebanyakan dari mereka hanya bertanya mengenai kabar gue karena beberapa hari
kebelakang gue tidak berada disini.

"Oleh-oleh gue mana Bay?" Ujar Gina dengan berapi-api ketika gue baru saja sampai pada meja
kerja dan gue hanya memberikan sebuah gelengan kepala untuknya. Lalu setelah itu,
sekonyong-konyong Gina langsung manyun sambil ngedumel. "Ah elu mah Bay pesenan gue ga
dibawain. Jahat lu ah, parah!"

Gue menyimpan tas, duduk bersandar pada kursi dan memutarnya ke belakang hingga kami
berdua saling berhadapan. "Eh mbak, gue kan disana bukan jalan-jalan. Uda sukuuur gue
diongkosin pulang pergi sama dapet tempat tinggal gratis. Ya ga mungkin lah kalo gue tiba-tiba
beli oleh-oleh buat elu atau anak-anak lainnya. Tapi kalo gue kesana buat liburan, mungkin
ceritanya bakal lain."

Lalu kemudian Gina pun memasang wajah polosnya, mencondongkan badannya yang bulet ke
ke depan seraya bertanya. "Emangnya kalo liburan, elu bakal ngasih gue oleh-oleh?"

Gue nyengir kuda sambil menggeleng. "Enggak."


"..."

Setelah gue berkata seperti itu, Gina tiba-tiba menjadi dingin kepada gue.

Seharian penuh.

***

Enggak di mall, enggak di kantor. Gue sangat menyayangkan sekali tentang keberadaan
mushala yang serasa 'di anak tirikan' oleh para pemilik mall atau kantor tersebut. Mushala di
kantor gue ini berukuran kecil, dan bahkan dapat dibilang sangat kecil sekali untuk ukuran
sebuah gedung berlantai enam sehingga banyak dari rekan-rekan gue yang lebih memilih untuk
shalat di masjid terdekat dibandingkan dengan mushala kantor. Namun karena alasan
penghematan waktu, gue lebih memilih untuk shalat di mushala kecil ini.

Setelah menunaikan ibadah shalat dzuhur, gue berleha-leha sejenak sambil duduk bersandar
pada dinding dan menikmati sensasi dingin dari air wudhu yang masih tersisa pada wajah dan
lengan. Saat melihat pada jam di tangan, ternyata gue masih memiliki waktu sekitar 10 menit lagi
sebelum kembali bekerja. Oleh karena itu, gue mencoba untuk memejamkan mata sebentar dan
menghirup udara dalam-dalam, sebelum pada akhirnya gue menyadari kehadiran seseorang di
sekitar gue dan gue menoleh kepada orang tersebut.

Terlihat Lia sedang membungkuk, memeluk mukena pada lengan kiri dan tangan kanannya
mencoba untuk melepas high heels pada kakinya yang jenjang. Tidak biasanya Lia shalat di
mushala, gue pun langsung bangkit berdiri dan menghampirinya karena semenjak hari Senin
kemarin gue sama sekali belum bertemu dengannya.

"Mbak Lia." Sapa gue. "Tumben shalat disini."

"Eh, mas Bayu. Iya tadi saya makan siangnya telat jadi saya ga keburu buat shalat ke masjid."
Ujarnya. "Gimana waktu di Padang kemaren? Lancar?"

Gue tersenyum seraya mengangguk pelan. "Alhamdulillah lancar, hampir ga ada kendala sama
sekali mbak. Oh iya, ada salam dari pak Rhomi."

"Hmmm, pak Rhomi ya... Udah lama saya ga ketemu sama beliau." Lia tersenyum. "Gimana
kabar Muthia selama disana? Dia ga kenapa-napa kan?"

"Enggak kok, dia ga kenapa-napa." Gue menggeleng "Emangnya Muthia tuh kenapa mbak
sampe ga boleh cape? Sakit ya?"

"Setahu saya, Muthia itu punya penyakit darah rendah jadi dia ga boleh terlalu cape."

"Ooh pantes." Gue membulatkan bibir, memaklumi kejadian dimana Muthia mengeluh pusing
sewaktu berada di Padang beberapa hari yang lalu.

Lia pun mengkerutkan keningnya setelah gue menjawab seperti itu lalu kemudian Lia bertanya.
"Pantes kenapa?"
"Eh, enggak kok mbak. Enggak..." Jawab gue dengan kikuk sambil memberikan gesture tangan
dan gelengan kepala.

"Oh iya kerjaan kamu kan banyak yang dibackup sama Gina selama kamu pergi ke Padang, nah
sekarang coba kamu bantu-bantu dia deh. Kasian kerjaan dia jadi double."

"Oke deh mbak."

"Yaudah ya saya mau shalat dulu, keburu masuk lagi."

"Oke, mari mbak saya duluan." Gue pun langsung pergi meninggalkan Lia di mushala dan
kembali menuju meja kerja.

***

Sore harinya dan setelah diberi beberapa pekerjaan tambahan dari Gina, akhirnya gue dapat
pergi meninggalkan kantor. Setelah menimang-nimang sebentar, gue memutuskan untuk pergi
menuju sebuah restoran fast food yang terletak tidak terlalu jauh dari kantor dan berniat untuk
mencicil pekerjaan yang menumpuk di tempat tersebut sambil makan malam.

Saat gue sedang berjalan dari basement menuju restoran yang gue tuju, tiba-tiba handphone di
saku celana gue bergetar. Gue mengambilnya dan melihat bahwa ada sebuah panggilan masuk
yang berasal dari Sita. Tanpa pikir panjang lagi, gue langsung menerima panggilannya.

"Ya? Halo? Kenapa Sit?"

"Bey, lagi dimana? Masih di kantor ga?"

"Lagi di luar, mau ke mekdi nih. Kenapa?"

"Wah kebetulan, gue nitip makanan dong!"

"Yeee dikirain ada apaan. Kenapa ga beli di luar aja sendiri sih?"

"Aaah males gue keluar jam segini mah."

"Yaudah, lo mau apa?"

"Terserah deh apa aja. Tapi gue lagi ingin burger. Dua yak."

"..." Gue langsung mematung sejenak dan menggelengkan kepala. Bingung. Gue tidak mungkin
salah dengar bahwa Sita telah berkata 'terserah', namun sesaat kemudian dia langsung berkata
yang sebaliknya. Jadi, apa maksud dari kata 'terserah' yang dilontarkan oleh Sita?

"Halo? Bey?"

"Iya, iya. Gue beliin. Udah ya, gue mau masuk ke mekdi dulu."

"Okeee, makasih Bey!"


Klik! Telfon gue matikan secara sepihak dan gue langsung masuk ke dalam restoran tersebut. Di
dalam sini ternyata sudah cukup ramai karena diisi oleh orang-orang yang juga sepertinya baru
pulang kerja, sama seperti gue yang masih lengkap menggunakan pantofel hitam mengkilap,
celana bahan, dan juga kemeja berwarna biru tua beserta tas laptop yang gue jinjing pada
tangan kiri.

Gue tidak langsung membeli makanan pesanan Sita melainkan hanya membeli makanan bagi
gue sendiri dan baru akan membelinya ketika hendak pulang nanti. Setelah gue selesai
memesan makanan, gue celinguk kanan dan kiri untuk mencari spot yang kosong sambil
membawa baki pada kedua tangan, lalu kemudian berjalan menuju sebuah meja yang terletak
dekat dengan kaca.

Mungkin hanya membutuhkan waktu lima hingga sepuluh menit saja bagi gue untuk
menghabiskan seluruh makanan yang tersaji. Setelah itu, gue bangkit berdiri menuju wastafel
untuk mencuci tangan sebelum pada akhirnya mulai bekerja bersama laptop. Saat gue sedang
serius menatap layar monitor tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pelan pundak gue.
Tepukan pelan pada pundak gue tersebut seketika membuat konsentrasi gue buyar dan gue
langsung menoleh ke arah seseorang yang menepuk pundak gue tersebut, yang membuat gue
terhenyak kaget.

Dia sedang berdiri di samping meja gue, berdiri sambil menyunginggkan sebuah senyuman
manis miliknya yang selalu gue rindukan setiap malam sebelum gue terbang menuju alam
mimpi. Ketika dia tersenyum, entah kenapa, gue selalu merasa bahwa kedua mata indahnya
juga ikut tersenyum dan kemudian dia langsung memberikan sapaan hangatnya pada gue.
"Hallo, Bayu."

Ah... Suara yang dikeluarkan olehnya sangatlah terdengar lembut sekali pada telinga gue. Lalu
yang terakhir, sapaannya pada sore hari ini telah sukses membuat bibir gue tersenyum bahagia
seolah-olah gue baru saja menemukan sesuatu yang sangat berharga, dan kini sesuatu yang
sangat berharga tersebut sedang berdiri tepat di depan gue.

"Hallo, Muthia."

Uh, Alas!

"Hallo Muthia." Gue membalas sapaan serta senyumannya. Untuk sesaat, gue agak pangling
dengan penampilan Muthia yang seperti ini. Penampilannya sangatlah berbeda jauh dengan apa
yang sering gue lihat seperti keseharian kami berdua di Padang dulu. Muthia yang dulu selalu
terlihat santai dan berpenampilan seperti seorang mahasiswi semester pertengahan, kini telah
bertransformasi sedemikian rupa hingga menjadi seseorang yang berpenampilan layaknya
seorang wanita karir. Kemeja putih yang dibalut dengan blazer berwarna biru beserta scarf batik
yang melingkar pada kerahnya telah memberikan kesan yang sederhana namun tetap terlihat
elegan bagi gue. Rambut hitam panjangnya yang bergelombang itu, juga tergerai dengan rapi di
depan dadanya sehingga penampilan Muthia sangatlah menawan sekali. "Duduk dulu Mut,
duduk..." Ujar gue dengan semangat.

"Hehe, iya." Muthia memposisikan diri untuk duduk di seberang meja dan gue langsung
memindahkan laptop agar kami berdua bisa saling bertatapan secara leluasa.

"Sering main kesini juga?" Tanya gue kepada Muthia setelah dia menyimpan tas miliknya di atas
meja, tepat di samping laptop gue.

Muthia menggeleng sambil sedikit memainkan bibirnya yang terlihat lebih menggoda, karena
pada saat ini Muthia telah memakai lipstick berwarna krem yang glossy dan juga wajahnya
terlihat lebih cantik berkali-kali lipat karena diberi polesan make up yang sesuai dengan
wajahnya yang putih. "Enggak kok. Aku kebetulan lagi ada di sini gara-gara udah janjian."

"Ooh." Gue manggut-manggut sambil menopang dagu dengan kedua punggung tangan. "Tapi
kok bisa nemu aku di sini?"

"Orang yang aku tunggu tuh kan belom dateng, jadinya aku muter-muter dulu buat liat-liat baju.
Terus pas aku lewat sini, eh ternyata aku ngeliat kamu di dalem, jadi aja aku masuk kesini buat
nyamperin kamu. Gituuu..." Ujar Muthia panjang lebar. "Eh, Bay, bentar ya aku mau pesen
makanan dulu."

Gue mengangguk sambil membenarkan posisi duduk. "Oke."

Muthia memundurkan kursinya ke belakang, lalu kemudian dia berdiri dan langsung berjalan
menuju kasir untuk memesan makanan sementara gue mencoba untuk kembali berhadapan
dengan laptop dan sesekali mencomot kentang goreng yang masih tersisa sambil menunggu
Muthia. Setelah berkali-kali mencoba untuk memfokuskan pikiran pada kerjaan yang sangat
menumpuk, entah kenapa, pikiran gue selalu mentok kepada seorang gadis yang kini sedang
mengantri makanan pada kasir dan pada akhirnya mood gue untuk bekerja pun menjadi hilang
seketika. Gue langsung memutuskan untuk mematikan laptop dan memasukannya ke dalam tas,
lalu kemudian disusul dengan Muthia yang kembali bersama makanan pesanannya.

***

Muthia telah selesai memakan makanannya beberapa saat yang lalu dan menyisakan beberapa
sampah bekas makanan serta kentang goreng yang sudah mulai mendingin. Tidak ada yang
berbicara sama sekali diantara kami berdua, hanya terdengar obrolan samar-samar dari orang-
orang yang berada di sekeliling kami. Lalu pada akhirnya gue mencoba untuk membuka topik
obrolan setelah gue teringat akan perkataan Mike bahwa gue harus terus menjaga komunikasi
dengan Muthia.

"Gimana kerjaan hari ini?"

Muthia mengambil gelas dan menyedot isinya, lalu kemudian menghela nafas pelan. "Yah gitu-
gitu aja Bay, masih sama kayak waktu sebelum kita pergi ke Padang. Bikin bosen. Terus kerjaan
kamu sendiri gimana?"

"Aku?" Gue bertanya kepadanya dan Muthia langsung memberi anggukan kepala. "Wah numpuk
semua!" Ujar gue sambil terkekeh. "Puyeng lah ngerjainnya juga hahaha."
Handphone Muthia yang disimpan di atas meja tiba-tiba bergetar dan menampilkan sebuah
panggilan masuk pada layarnya. Muthia mengelap tangannya yang agak basah dengan
menggunakan tissue, lalu kemudian dia mengangkat telepon seraya mengangkat telapak
tangannya ke arah gue yang artinya kurang lebih menyuruh gue untuk menunggu, gue pun
mengangguk.

Sambil menunggu Muthia berurusan dengan teleponnya, gue juga melakukan hal yang sama
dengan Muthia. Gue mengambil handphone dari saku celana dan melihat notifikasinya yang
ternyata ada beberapa notifikasi chat yang masuk. Gue pun membuka satu persatu chat
tersebut, dan kemudian gue melihat ada sebuah chat dari Sita.

"Ada dimana sih? Gue laper nih. Oiya, di kosan ujan guede."

Kedua ibu jari sudah gue letakan di atas keypad dan hendak membalas chat Sita, sebelum pada
akhirnya pikiran gue teralihkan ketika suara Muthia terdengar lebih nyaring dari sebelumnya
sehingga gue mendongak dan memperhatikan Muthia yang sedang mengobrol pada telepon.

"Aku udah di sini dari tadi, sekarang lagi makan di mekdi. Kamu dimana?"

"..."

"Enggak sendiri kok, aku lagi berdua sama temen."

"..."

"Oke deh, aku tunggu ya. See you." Ujar Muthia yang sekaligus mengakhiri panggilan telepon
tersebut. Lalu setelah itu, Muthia kembali meletakkan handphonenya di atas meja dan kembali
menatap gue yang langsung membuat gue salah tingkah.

Gue menundukkan kepala, berpura-pura memainkan handphone sambil mencoba membuka


kembali sebuah topik pembicaraan untuk menutupi kegugupan gue. "Tadi aku di chat sama
temen, katanya sekarang tuh lagi ujan di luar."

Setelah gue berkata seperti itu, Muthia menyandarkan punggungnya pada kursi dengan lesu.
"Yah pantesan aja lama, ternyata di luar lagi ujan."

"Udah ga sabar pengen ketemu ya?"

"Hehehe iya, aku udah ga sabar pengen ketemu dia nih."

Tidak selang beberapa lama, Muthia menengokkan kepalanya ke arah jendela dan dia langsung
melambaikan sebelah tangannya seraya menyunggingkan sebuah senyuman yang lebar.
Kelakuan Muthia itu membuat gue penasaran akan seseorang yang disapa olehnya, lalu
kemudian gue menoleh ke arah dimana Muthia menatap. Di luar sana terlihat ada seorang laki-
laki berpenampilan necis yang membalas lambaian tangan Muthia dan senyumannya juga tidak
kalah lebar dengan senyuman Muthia.

Kedua mata Muthia sama sekali tidak berkedip. Bola mata Muthia yang putih bersih itu bergerak
seirama, mengikuti langkah kaki dari laki-laki tersebut yang kini sedang berjalan kemari, sebelum
pada akhirnya dia berdiri tepat di samping meja kami berdua. "Hallo sayang." Muthia menyapa
hangat laki-laki tersebut sambil memberikan sebuah senyuman yang lebih lebar dari
sebelumnya.

Dan seketika, deg! Jantung gue mencelos saat mengetahui kenyataan yang sangat menyakitkan
ini.

"Hallo juga sayang." Laki-laki tersebut membalas sapaan Muthia dan dia langsung duduk di
samping Muthia, lalu kemudian dia menoleh kepada gue sambil tersenyum. "Temennya Muthia
ya?"

"Eh..." Jawab gue dengan kikuk, lalu gue memberikan sebuah senyuman kecut yang tersungging
pada bibir gue seraya menjawabnya. "Hehe, iya mas..."

"Bay, kenalin nih cowok aku." Ujar Muthia dengan sumringah.

Lalu kemudian cowok yang sedang duduk di samping Muthia di seberang meja gue itu, dia
langsung menjulurkan tangannya kepada gue. "Kenalin mas, Frandias, pacarnya Muthia."

Setelah mendengarnya, hati gue merasakan sakit yang amat sangat.

Lalu kemudian hati gue remuk.

Hancur.

Dan habis tak bersisa.

Weary Heart

Tuhan mempertemukan seseorang dengan seorang lainnya pasti karena sebuah alasan, entah
apakah karena alasan tersebut dapat dengan mudah dimengerti ataupun serumit mencari jalan
keluar dari dalam sebuah labirin. Misalnya saja, ada seorang pria yang bertabrakan di lorong
gedung kampus dengan seorang wanita hingga buku-buku yang dipegang oleh wanita tersebut
jatuh berantakan. Si pria kemudian membungkuk, mengambil buku-buku tersebut dan membantu
merapikannya kembali sebelum mengembalikannya kepada si wanita. Lalu setelah itu mereka
berdua bertukar kontak masing-masing dan mulai menjalani sebuah hubungan komunikasi,
sebelum pada akhirnya mereka berdua berpacaran. Tuhan ternyata mempertemukan mereka
berdua agar mereka berdua dapat berpacaran dan saling mengisi satu sama lainnya. Simple
sekali bukan?

Tetapi gue? Gue sendiri masih tidak mengerti mengenai apa alasan Tuhan yang
mempertemukan gue dengan seseorang yang bernama Muthia. Pada awalnya gue tidak pernah
menyangka bahwa tiba-tiba Lia membatalkan keberangkatannya ke Padang. Namun secara tiba-
tiba juga ada seseorang yang menggantikan posisi Lia dan Lia langsung memperkenalkan orang
tersebut sebagai partner gue untuk terbang ke Padang.

"Muthia."

Ya, gue masih dapat mengingat dengan jelas bagaimana suara lembut milik Muthia pada awal
perkenalan kami berdua, seolah-olah momen tersebut baru saja terjadi pada hari kemarin. Dan
lewat perkenalan yang singkat itu pula, seketika Muthia langsung membuat sebuah gejolak dan
perasaan aneh yang melanda di dalam dada. Dia membuat sebuah gejolak perasaan yang baru
pertama kalinya gue rasakan seumur hidup, melebihi dari segala perasaan apapun yang pernah
gue rasakan kepada Lia maupun Sita. Lalu kemudian kami berdua pun berkenalan lebih dekat,
dekat, dan dekat, sehingga gue dapat memastikan bahwa gue memang benar-benar telah
menaruh perasaan untuknya.

Untuk sesaat, gue hanya bisa menundukan kepala seraya memainkan menu pada handphone
walaupun sesekali gue melirikkan mata ke arah Muthia dan Frandias yang sedang mengobrol,
yang enah kenapa membuat perasaan gue campur aduk hingga menimbulkan sebuah perasaan
sesak yang teramat sangat.

Gue ulangi sekali lagi, gue masih tidak mengerti kenapa gue dipertemukan dengan Muthia.
Namun hanya satu yang gue sesalkan, yaitu gue terlambat mengetahui bahwa Muthia telah
memiliki seorang kekasih hati, dan ini merupakan sebuah kesalahan besar bagi gue yang telah
menaruh perasaan kepada pacar seseorang. Gue sudah tidak tahan lagi dengan situasi seperti
ini, situasi dimana gue harus terus menerus melihat dan mendengar tawa Muthia
yang hanya diberikan kepada Frandias, bukan kepada gue.

Gue sudah tidak tahan.

"Muthia, mas Frandias, bentar ya saya mau ke kasir dulu buat beli pesenan temen."

"Oh, iya silakan mas." Ujar Frandias seraya mewakilkan Muthia yang sedang tersenyum ke arah
gue.

Lalu gue kembali bertanya kepada mereka berdua. "Mau sekalian pesen?"

Muthia menggeleng. "Aku enggak Bay, udah kenyang." Kemudian Muthia menolehkan
kepalanya dan dia bertanya kepada Frandias. "Kalo kamu gimana? Mau pesen?"

"Ah, saya mah nanti aja deh mas pesen sendiri, sekarang belum terlalu laper soalnya." Tolak
Frandias dengan halus.

"Oke deh." Gue mengangguk. "Kalo gitu saya sekalian pulang aja ya?"

"Lho kok buru-buru amat Bay?" Tanya Muthia dengan heran.

"Iya kok buru-buru mas? Ngobrol-ngobrol dulu lah disini, lagian saya juga kan baru dateng."

Gue menggeleng lemah sambil tersenyum simpul, atau mungkin gue mencoba untuk
memberikan sebuah senyuman yang sangat terpaksa sekali. "Maaf mas, Mut, saya ga bisa.
Temen kost udah nunggu pesenan makanan dia soalnya. Mari, saya duluan."

Gue langsung mengambil tas laptop lalu bangkit berdiri dari kursi dan berjalan menuju kasir
dengan langkah kaki yang besar. Sebisa mungkin gue mencoba untuk pergi menjauh dari meja
tersebut karena gue tahu bahwa gue hanya akan menjadi pengganggu di sela-sela quality
time mereka berdua.

Ya.

Sekarang gue akan pergi menjauh,

Bersama rasa sakit yang bergejolak di dalam dada.

***
Setelah gue keluar dari restoran cepat saji tersebut gue hanya bisa berjalan luntang-lantung
tanpa arah sambil sesekali menoleh ke belakang, menoleh ke arah dimana Muthia dan Frandias
sedang berada yang seketika langsung memberikan efek nyeri di dalam dada ketika gue
membayangkan apa yang sedang mereka lakukan disana. Berpegangan tangan kah?
Berangkulan dengan mesra kah? Ah, itu semua hanya akan membuat gue mati secara perlahan.

Entah sudah berapa lama gue tetap berada di sini sambil meratapi nasib, sebelum pada
akhirnya handphone gue bergetar berkali-kali di dalam saku celana yang membuat gue tersadar
bahwa gue harus kembali ke dunia nyata yang harus gue jalani. Gue merogoh saku dan
mengambil handphone untuk mengangkatnya.

"Hallo...?"

"Hallo...? Hallo! Bey! Lo dimana sih? Gue laper banget nih!" Ujar suara nyaring dari ujung sana
yang juga terdengar sedikit bergemerisik. Gue menjauhkan handphone dari telinga dan melihat
ke arah layarnya. Ternyata ini adalah panggilan yang berasal dari Sita dan gue kembali
mendekatkan handphone ke telinga lalu berbicara.

"Iya-iya, bentar lagi gue pulang."

"Yaudah cepet, disini ujan gede banget soalnya."

"Iya, udah ya gue tutup dulu."

Klik! Gue mematikan telepon secara sepihak lalu kemudian gue memutuskan untuk berjalan
menuju basement. Sambil berdiri di atas eskalator, gue melihat ke arah dimana restoran tersebut
berada yang kemudian perlahan-lahan menghilang dari penghlihatan seiring dengan berjalannya
eskalator turun ke bawah, seperti perasaan dan angan-angan gue terhadap Muthia yang
perlahan-lahan menghilang karena ditelan oleh kenyataan yang pahit.

***
Benar apa kata Sita beberapa saat yang lalu bahwa hujan turun sangat lebat sekali. Jas hujan
yang gue kenakan ternyata masih tidak dapat menahan pasukan air yang menyerang beramai-
ramai sehingga membuat baju gue kebasahan. Jas hujan yang gue kenakan dengan asal-asalan
pun menambah parah keadaan badan gue, namun gue sama sekali tidak peduli tentang
keadaan gue sekarang.

Gue membuka gerbang kost dengan lemah, lalu kemudian memasukan motor dan
memarkirkannya di salah satu sudut tempat parkir. Gue mematikan mesinnya lalu kemudian
berjalan di atas lorong temaram yang becek karena cipratan air hujan, lalu kemudian gue
berbelok dan menaiki anak tangga.

Keadaan di lantai dua pun sama halnya dengan lantai satu, sepi, sunyi, dan lantainya becek
karena tetesan air hujan yang turun dengan lebat. Gue terus berjalan menyusuri koridor sambil
membawa plastik berisi makanan pesanan Sita hingga gue berdiri tepat di depan kamar
miliknya. Gue mengetuk pintunya, lalu kemudian pintu pun terbuka dan gue langsung
menjulurkan tangan untuk memberikan pesanan Sita.

"Lho Bey? Kok ga dilepas dulu sih jas hujannya?" Tanya Sita dengan ekspresi kebingungan
sambil menerima pemberian gue. Gue menatap matanya sebentar namun gue tidak
menjawabnya. Kemudian gue langsung berlalu menuju kamar gue yang terletak tepat di sebelah
kamar Sita tanpa mempedulikannya yang masih kebingungan dengan keadaan gue yang seperti
ini.

"Bey...! Bey...!" Sita berteriak-teriak memanggil gue dari balik daun pintunya, namun tetap gue
hiraukan. Gue langsung masuk ke dalam, menutup, dan mengunci pintunya rapat-rapat.

Gue membuka seluruh jas hujan yang sudah banjir dan melemparnya ke sudut kamar seraya
menyimpan tas di sudut yang lainnya. Sambil masih dengan berpakaian baju kantor yang sudah
basah sana-sini, gue terduduk di samping kasur sambil memeluk kedua kaki dan membenamkan
kepala di antaranya, dilatari dengan bunyi rintik air hujan serta suara milik Sita yang sayup-sayup
terdengar dari balik pintu yang memanggil nama gue hingga berkali-kali.

If you ever leave me, baby


Leave some morphine at my door
'Cause it would take a whole lot of medication
To realize what we used to have
We don't have it anymore

'Cause there'll be no sunlight


If I lose you, baby
There'll be no clear skies
If I lose you, baby
Just like the clouds
My eyes will do the same, if you walk away
Everyday it'll rain, rain, ra-a-a-ain

Bruno Mars - It Will Rain


Scent of a Present

Maafkan aku, sayangku, dikarenakan kesibukan serta pekerjaanku yang begitu padat-padatnya,
aku baru bisa kembali pulang dan menemuimu pada siang hari yang cerah ini. Seperti hari-hari
yang telah berlalu, kamu selalu berdiri di ambang pintu rumah yang mungil ini, menatapku
dengan tatapan yang penuh akan kasih sayang seraya memberikan senyuman yang selama ini
sangat kurindu-rindukan ketika kita berdua terpaut oleh jarak yang amat sangat jauh. Kulihat
juga bahwa senyuman pada bibir mungil itu merekah begitu lebar, memperlihatkan sebuah
senyuman yang terasa hangat seperti sang mentari yang menghangatkan setiap inci dari tanah
di muka bumi ini setelah melewati sebuah malam yang dingin.

Jika kamu ingin tahu, akulah tanah di bumi itu. Aku selalu merasa dingin ketika menghadapi
malam-malam yang kelabu tanpa adanya sinar mentari yang dapat menghangatkannya. Namun,
setiap malam-malam yang dingin itu pasti akan berakhir dan sang mentari pun datang sambil
membawa segala kehangatannya. Dan kamu tahu? Semenjak kedatanganmu di dalam hidupku,
hari-hariku menjadi hangat. Tidak ada lagi malam-malam dingin yang kelabu karena kamulah
sang mentari itu, kamulah seseorang yang selalu bisa menghangatkan relung hati terdalam dari
sanubariku.

Aku terdiam sejenak, memandangimu dari tempat dimana aku berdiri, sebelum pada akhirnya
aku berjalan mantap sambil menyimpan lengkung senyuman seperti pelangi di kala hujan pada
bibirku. Kali ini aku kembali datang sambil membawa bunga kesukaanmu, membawa sebuah
bunga yang selalu mengingatkanmu akan kenangan masa kecilmu di sana. Ya, aku tidak akan
pernah lupa tentang cerita itu, dan aku juga tidak akan pernah lupa mengenai bunga yang
menjadi saksi cinta kita berdua. Bunga yang berkelopak putih kekuningan ini, kembali aku
bawakan untukmu.

Memang benar bahwa kamu menyukai bunga kamboja karena bunga-bunga itu akan
mengeluarkan wanginya yang khas pada malam hari, namun sepertinya kamu juga tidak akan
marah jika kamu tidak mencium wangi dari bunga-bunga kamboja tersebut pada siang hari ini.
Toh, kamu memang menyukai bunga kamboja karena bukan hanya dari wanginya saja,
melainkan juga karena kecantikannya yang menggoda, seperti dirimu.

Aku pun sampai di depan pintu dimana kamu sedang berdiri. Kita berdua saling bertatapan,
terdiam, dan hanya bisa saling memberikan senyuman satu sama lainnya. Perlahan tanganku
mengambil sebuah bunga kamboja dari buket yang aku pegang, lalu kemudian tangan ini terjulur
ke arah telingamu seraya menyimpan bunga itu di sela-sela telinga dan rambutmu yang harum.
Setelah itu, kamu tersenyum genit sambil memalingkan wajahmu yang cantik, yang kemudian
membuat aku ingin segera mendekap erat tubuhmu.

Do I Want To?

Hujan telah berhenti pada pukul sepuluh malam yang lalu namun gue masih saja tetap terjaga
dengan posisi yang sama, terduduk sambil memeluk kedua kaki dan gue juga menyandarkan
dagu pada lutut sambil memandang kosong ke arah dinding yang terlihat gelap. Suara ketukan
dari balik pintu kamar juga sudah tidak terdengar lagi. Mungkin Sita telah menyerah setelah
berkali-kali mencoba membujuk gue agar mau membukakan pintu untuknya yang selalu gue
hiraukan. Gue menghela nafas berat sebelum pada akhirnya gue bangkit berdiri dan menatap
lurus ke arah cermin.

Di dalam cermin tersebut gue melihat sebuah pantulan dari wajah sayu milik seseorang yang
baru saja menerima kekalahan telak pada medan perang walaupun ia tidak pernah ikut
berperang, dan wajah tersebut menyiratkan sebuah rasa sakit yang teramat dalam walaupun ia
sedang tidak menderita penyakit apapun. Mata yang terlihat pada wajah tersebut juga tidak lagi
berbinar seperti apa yang sering gue lihat sebelumnya, hanya menyiratkan sebuah lorong
kehampaan yang tak pernah diketahui dimana ujungnya. Kemudian gue melihat bahwa pantulan
bayangan itu menggelengkan kepala, lalu kemudian bayangan tersebut menghilang dari cermin
seiring dengan berlalunya gue menuju toilet untuk membersihkan diri.

Setelah gue selesai berganti baju dan lain sebagainya, gue langsung tidur telentang di atas
kasur tanpa dipan lalu kemudian gue meraba-raba sisi kasur untuk mengambil handphone,
memutar lagu Only When I Sleep-nya The Corrs sebelum pada akhirnya gue menyelimuti badan
dengan selimut tipis yang semoga saja dapat menghangatkan badan gue yang dingin dan gue
juga berharap, semoga saja selimut ini juga dapat memberi sedikit kehangatan bagi hati gue
yang sedang membeku layaknya suhu udara pada malam hari ini.

But when it's time to rest

I'm lying in my bed

Listening to my breath
Falling from the edge

***

Alarm pada handphone gue berbunyi tepat pada pukul lima pagi. Dengan mata yang segaris gue
mencoba untuk mencari handphone yang terletak di samping bantal lalu mematikan alarmnya.
Kemudian gue bangkit dari tidur, bersandar pada dinding yang dingin sambil menundukkan
kepala dan memejamkan kedua mata rapat-rapat. Tidur yang hanya berlangsung selama kurang
dari empat jam ini telah membuat kepala gue pusing. Lalu entah kenapa, secara otomatis alam
bawah sadar gue tiba-tiba melayang dan membayangkan sesosok Muthia beserta senyuman
indah pada bibirnya yang seketika menimbulkan rasa nyeri di dalam dada. Ternyata, sedikit
banyak dari pikiran gue masih memikirkan dirinya.

Setelah selesai bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, gue kembali menatap cermin dan gue
kembali mendapati sebuah pantulan wajah yang sama. Pantulan wajah pada cermin itu masih
terlihat sama seperti apa yang gue lihat semalam, namun kini wajah tersebut mimiliki kantung
mata yang agak menebal sehingga memperparah keadaan dari wajah tersebut tetapi gue tidak
terlalu mempedulikannya. Lalu kemudian gue membuka pintu dan melongokkan kepala ke luar
kamar untuk melihat ke arah pintu kamar Sita.

Pintu kamarnya masih tertutup rapat, jendelanya belum terbuka dan juga lampu di dalamnya
masih belum menyala sehingga membuat gue berasumsi bahwa Sita masih terlelap dengan
pulas. Hal ini membuat gue sedikit lega karena gue sedang tidak ingin berdebat dengannya
mengenai kejadian hari kemarin. Lalu pada akhirnya gue langsung memutuskan untuk pergi ke
kantor sambil dengan mengenakan pantofel yang masih sedikit basah.

***

Berjam-jam kegiatan gue di kantor hanya gue habiskan dengan mengerjakan kerjaan dengan
pikiran yang tidak dapat gue fokuskan yang mengakibatkan gue kena omel oleh Gina. "Elu
kenapa sih?!" Tanya Gina dengan nada marah kepada gue yang sedang memegang dahi
dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja. "Kerjaan elu direvisi semua sama gue nih!"
Lanjutnya.

Gue memejamkan mata lalu kemudian menggeleng lemah seraya menjawab. "Sorry Gin, sorry...
Sorry..."

"Kalo kemaren gue kasih kerjanya kebanyakan, ngomong dong! Bukan jadinya kayak gini! Ah
rese lu kerjaan gue bukannya ngurangin malah jadi makin numpuk!" Gerutu Gina lalu kemudian
tiba-tiba dia menarik kursinya hingga berada tepat di samping gue. "Elu kenapa sih Baaay?"
Ujarnya dengan ramah. "Kalo ada apa-apa, sini cerita sama gue."

Gue melepaskan tangan dari dahi lalu secara perlahan menoleh kepada Gina sambil tersenyum
simpul. "Gin, kita berdua emang deket sebagai rekan kerja dan gue sangat berterima kasih
karena elu udah mau nawarin bantuan elu. Tapi sorry sebelumnya, bukannya gue ga mau cerita,
gue cuman belum bisa cerita tentang masalah ini sama elu..."

"Yah, yaudah deh..." Ujarnya lemah. "Take your time, dan kapanpun gue siap buat denger
curhatan elu. Ya?" Tanya Gina dan gue balas dengan sebuah anggukkan kepala. "Terus satu
lagi, awas aja kalo kerjaan elu direvisi lagi sama gue!" Ujar Gina dengan ketus sambil
mengangkat telunjuknya yang membuat senyuman gue semakin mengembang, lalu kemudian
gue mengangguk pelan seiring dengan berjalannya Gina menuju ruangan atasan kami berdua
untuk memberikan brief kerjaan hari ini. Setelah Gina meninggalkan gue sendiri di sini, gue
kembali memegang dahi dengan kedua tangan dan kemudian gue pun mulai merenung.
Gue bukanlah seseorang yang dapat dengan mudah bercerita mengenai suatu hal kepada orang
lain walaupun itu adalah sebuah hal yang dapat dibilang cukup sepele. Gue hanya bisa bercerita
tentang kehidupan pribadi gue kepada seseorang yang memang sudah kenal dekat dengan
pribadi gue, dan sayangnya Gina bukanlah salah satu dari orang tersebut. Selama ini gue hanya
menganggap Gina sebagai rekan kerja saja, tidak lebih.

Sorry, Gin...

***

Hari ini gue harus rela untuk bekerja lembur karena banyak sekali pekerjaan gue yang perlu
direvisi dan gue tidak ingin lagi merepotkan Gina yang secara cuma-cuma mau merevisi
pekerjaan gue tadi siang. Lalu sekitar pukul 8 malam, gue baru dapat kembali pulang menuju
sebuah kamar di lantai dua yang selama setahun belakangan ini gue sebut sebagai 'rumah'.

Gue berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua sambil memegang tas laptop pada tangan
kanan sementara lengan kiri gue memeluk setumpuk file kerjaan yang benar-benar membuat
kepala gue ingin pecah. Ketika gue berbelok ke kanan, gue mendapati Sita yang sedang duduk
di atas bangku plastik di depan kamarnya dengan kedua kaki yang diangkat sambil mengapit
sebatang rokok menthol yang menyala pada sela-sela jemari tangan kanannya.

Mungkin karena Sita yang telah menyadari kehadiran gue, dia langsung menoleh seraya berdiri.
"Sekarang utang lo nambah lagi Bey." Ujar Sita dari kejauhan. "Elo masih utang rendang telor
sama gue dan sekarang elo utang penjelasan tentang kenapa elo tiba-tiba ngediemin gue
kemaren." Lanjutnya.

Gue tidak mempedulikan Sita dan hanya terus berjalan menuju pintu kamar kost. Setelah gue
membuka kunci dan menyalakan lampu kamar, gue langsung masuk ke dalam lalu menyimpan
file kerjaan di atas meja dan menyimpan tas laptop di sudut kamar lainnya sambil disusul oleh
Sita yang mengekor di belakang gue.

Gue melepaskan jaket kulit berwarna cokelat terang yang gue kenakan dan menyimpannya pada
hanger lalu kemudian menoleh kepada Sita yang kini ternyata sedang duduk berselonjor di atas
kasur gue yang agak berantakan. "Mau ngapain sih masuk kesini?" Tanya gue.

Sita menghirup dalam-dalam rokok yang ia pegang, lalu kemudian dia menghembuskan asap
putih di udara sambil menjawab pertanyaan gue sebelumnya. "Gue punya waktu semalaman
buat ngedenger cerita elo."

Gue mendengus kesal setelah mendengar jawaban Sita seraya duduk di atas lantai dan
bersandar pada dinding. "Kalo gitu, gue juga punya waktu semaleman buat making love sama
elo."

Sekonyong-konyong Sita langsung melempar rokoknya keluar kamar, lalu kemudian dia
menatap gue dalam-dalam. "Abis elo cerita semuanya..." Omongannya terhenti sebentar, dan
tiba-tiba Sita memberikan sebuah senyuman nakalnya pada gue sambil menggigit bibir
bawahnya yang membuat Sita semakin terlihat menggoda.

"...do everything that you want, I'm all yours for tonight."

Dirty babe
You see these shackles
Baby Im your slave
Ill let you whip me if I misbehave
Its just that no one makes me feel this way

Justin Timberlake Sexyback

Hot n' Fun

Lagi-lagi gue dibuat terdiam seribu bahasa oleh Sita karena kesalahan gue sendiri yang
berbicara asal ceplos tanpa menyaringnya terlebih dahulu. Gue menjadi kikuk setengah mati
setelah diberi pernyataan yang langsung 'jleb' to the point tersebut. Ada sebagian dari diri gue
yang sangat menginginkannya dan ada juga sebagian dari diri gue yang menolaknya secara
mentah-mentah.

Sebagian dari diri gue memang menginginkan hal ini, menginginkan sesuatu
yang selalu menimbulkan sebuah rasa keingintahuan gue akan setiap momen-momen making
love tersebut, namun sebagian diri gue yang lainnya masih mencoba untuk menahan pikiran
terliar gue mengenai Sita dengan kaos cokelat ketat serta hot pants miliknya, dan mencoba
untuk menahan gue agar tetap waras. Gue kemudian menggaruk pelipis sambil mengalihkan
pandangan dari wajah Sita, bingung.

"HAHAHA...!" Gue mendengar tawa terbahak-bahak yang berasal dari seorang cewek di depan
gue, lalu kemudian gue menoleh ke arahnya. "Gue tau kalo elo itu ga akan mau gue ajak yang
enak-enak. Gue tau banget Bey! Makanya gue ga takut buat ngomong itu di depan elo!" Ujar
Sita sambil kembali disusul oleh tawanya yang lepas.

Merasa tidak mau kalah oleh Sita, kemudian gue bangkit berdiri, berjalan mendekat ke arahnya
lalu duduk bersila di depan Sita dan memposisikan wajah gue tepat di depan wajahnya. Sita
menjadi gelagapan karena melihat kelakuan gue yang secara tiba-tiba seperti itu. Sita langsung
memalingkan wajahnya dan dia mencoba untuk menghindari kontak mata secara langsung
dengan gue yang sedang menatapnya tanpa berkedip.

"B...Bey, jangan ngeliatin gue kayak gitu sih... Gue risih diliatin kayak gini sama elo..." Ujarnya
pelan tanpa berani menatap gue. Perkataan Sita tersebut tidak dapat membuat gue berubah
pikiran, namun perkataan itu malah memicu gue untuk mendekatkan wajah gue kepada
wajahnya sehingga wajah kami berdua saling berdekatan dan bahkan hembusan nafas Sita
yang hangat pun sangat terasa jelas pada wajah gue. Lalu beberapa saat kemudian, terjadilah
sebuah kejadian yang memang benar-benar diluar dugaan dan perhitungan gue.

Sita memejamkan kedua matanya rapat-rapat, lalu secara tiba-tiba kedua tangannya memegang
pipi gue dan kemudian Sita langsung menyentuhkan bibirnya dengan lembut. Gue terbelalak,
kaget, namun gue tidak mencoba untuk melepaskan bibirnya karena gue terlalu kaku untuk
menggerakkan keseluruh anggota tubuh gue yang lain. Bibir Sita terasa manis dan gue juga
dapat sedikit merasakan sensasi mint yang berasal dari rokok yang dihisap oleh Sita
sebelumnya. Dan secara perlahan-lahan, gue mulai bisa menikmati tentang apa yang tengah
dilakukan oleh Sita.

Untuk beberapa saat kami berdua tetap berada di dalam posisi seperti ini, sebelum pada
akhirnya gue merasa bahwa Sita mulai mencoba untuk menembus pertahanan bibir gue dengan
menggunakan lidahnya. Secara otomatis, gue sedikit membuka bibir dan mempersilakan Sita
memainkan lidahnya di dalam mulut gue yang membuat gue semakin turned on. Lalu sesaat
kemudian gue memegang punggung Sita dan mencoba untuk merebahkannya di atas kasur
sambil menarik ke atas kaos yang digunakan olehnya.

Sita tidak memberi perlawanan ketika gue mencoba untuk membaringkan tubuhnya dan gue
juga merasa bahwa Sita memberi kemudahan bagi gue untuk membaringkannya di atas kasur.
Sejurus kemudian posisi gue telah berada di atas tubuhnya yang terkulai dengan keadaan
pakaian yang setengah terangkat. Posisi seperti ini ternyata semakin memudahkan kami berdua
untuk menghasrati satu sama lainnya. Sita semakin gencar memainkan lidahnya di dalam mulut
gue dan kedua kaki Sita bergerak-gerak seirama mengikuti ritme permainan bibirnya. Lalu
secara naluriah, tangan kiri gue memegang ubun-ubun Sita sementara tangan gue yang lainnya
mulai meraba perut halus milik Sita dan perlahan-lahan merayap naik ke atas.

Namun sesaat kemudian, tiba-tiba senyuman Muthia terbersit di dalam pikiran dan itu langsung
membuat gue tersadar dengan apa yang sedang gue lakukan. Gue mengepalkan telapak tangan
yang hendak meraih dadanya, lalu kemudian gue meninju kasur di samping Sita. "Sit... Sit..."
Gue memanggil Sita yang malah terdengar seperti 'Hit... Hit...' karena bibir kami berdua yang
masih saling berpagutan. Lalu gue mencoba lebih keras lagi, dan pada akhirnya gue dapat
melepaskan bibir gue dari bibir Sita.
Gue menatap wajahnya yang telah dipenuhi oleh nafsu membara sambil memasang sebuah
ekspresi 'tanggung', sementara Sita membalas tatapan gue dengan nakal dan dia kembali
menggigit bibir bawahnya dengan genit. "Kenapa Bey? Kok ngga diterusin?"

Gue menggeleng pelan lalu kemudian sedikit merapikan baju Sita dan bangkit menjauhinya yang
masih terbaring di atas kasur dengan rambut yang acak-acakan. "Enggak Sit, enggak. We've
gone too far." Jawab gue seraya menoleh ke arah pintu. "Gila! Gimana coba kalo ada yang
ngeliat kita berdua?!" Gue menunjuk ke arah pintu kamar yang ternyata masih terbuka dengan
lebar. "Terus kalo cowok elo tiba-tiba dateng kesini gimana? Mati lah sudah!" Lanjut gue panjang
lebar.

"Ah tenang aja Bey! Cowok gue kan lagi ga ada disini, terus kalo anak-anak kosan mah udah
pada tepar kali."

"Pikiran lo gila beneran deh Sit! Gimana coba kalo cowok elo yang main sama cewek lain? Udah
lah sana elo balik lagi ke kamer! Gue mau mandi!" Ujar gue seraya berdiri dan berjalan menuju
lemari untuk mengambil baju.

"Nggak mau. Elo masih punya utang cerita sama gue."

"Gue ga punya utang apa-apa sama elo."

"Nggak!" Sita meninggikan suaranya. "Lo punya utang sama gue karena elo udah sedikit 'having
fun' sama gue."

Gue menolehkan kepala ke arah Sita lalu kembali menatapnya. "Itu bukan 'having fun' loh ya."

"Terus tadi itu apa dong? Masih ga mau ngomong kalo tadi kita itu sedikit melakukan 'having fun'
sampe-sampe elo hampir ngebuka baju gue?" Ujar Sita sambil menaikkan kedua alisnya seolah-
olah meminta pernyataan gue.

"..." Gue kembali terdiam, lalu kemudian gue mengibaskan tangan di udara. "Serah lu aja lah,
capek!" Ujar gue sambil berlalu menuju kamar mandi, sementara Sita kembali mengeluarkan
tawanya yang kembali terdengar mengisi seluruh kamar.

"By the way, foreplay elo cakep Bey. Sebelumnya elo udah pernah main ya?"

Deg!

Sekali lagi, perkataan Sita kembali membuat gue berdiri mematung di depan pintu kamar mandi.

In Silence
Malam harinya, sekitar pukul sepuluh. Gue menarik sleting jaket hingga menutupi leher sambil
memasukkan kedua tangan ke dalam sakunya, lalu kemudian gue berjalan menyusuri sebuah
jalan kecil yang menghubungkan antara kost gue dengan jalan utama untuk mencari makanan
plus beberapa camilan karena semenjak tadi siang perut gue belum terisi apapun selain kopi
hitam favorit gue.

"Mas, nasi goreng satu ya." Ujar gue kepada penjual nasi goreng sambil mengacungkan
telunjuk.

Si penjual tersebut menoleh, tersenyum ke arah gue sambil mengaduk isi dari wajan. "Pake
pedes?"

Gue mengangguk. "Iya, pake mas." Lalu kemudian gue duduk diantara deretan bangku-bangku
plastik bersama beberapa orang pembeli lainnya, sebelum pada akhirnya gue kembali memesan
satu porsi tambahan untuk Sita yang masih berada di dalam kamar kost gue. "Bikin satu lagi deh
mas, tapi yang ini ga pake pedes."

***

Setelah kemarin malam hujan mengguyur selama semalaman, sepertinya malam kali ini hujan
tidak akan datang menyapa. Langit di atas kepala gue begitu cerah tanpa adanya awan yang
menghalangi sinar rembulan yang bersinar terang, namun udara malam ini masih terasa begitu
dingin seperti udara pada malam yang lalu dan ini membuat gue berjalan semakin cepat untuk
kembali pulang menuju kost sambil menenteng satu plastik nasi goreng dan beberapa camilan
yang gue beli di minimarket. Lalu sekitar sepuluh menit kemudian, gue telah sampai di gerbang
kost lalu bergegas naik ke lantai dua.

Gue memegang handle pintu dan kemudian membukanya secara perlahan. Gue sedikit
mengintip ke dalam kamar melalui sela-sela pintu, sebelum pada akhirnya gue membuka pintu
lebar-lebar dan menggeleng sambil mengusap wajah. Terlihat Sita telah terlelap dengan pulas di
atas kasur gue dengan posisi yang sangat tidak nyaman. Kedua kakinya berada di atas selimut
yang acak-acakan, kepalanya tidak tepat berada di atas bantal melainkan berada di sampingnya
sehingga kepalanya terlihat agak miring. Dan yang terakhir, kaos yang dikenakan oleh Sita juga
kembali terangkat sehingga memperlihatkan perutnya yang putih menggoda. Gue menghela
nafas pelan, menyimpan barang bawaan di atas lantai lalu kemudian melepaskan jaket dan
menggantungkannya di balik pintu.

Gue membalikkan badan dan memperhatikan seisi kamar yang ternyata menjadi lebih
berantakkan karena 'permainan' kami berdua sebelumnya. Kemudian gue berjalan mendekati
Sita, berjongkok di sampingnya lalu gue mulai membenarkan posisi tidur Sita agar membuatnya
sedikit merasa lebih nyaman. Gue mengangkat kepalanya dengan lembut, menarik bantal agar
tepat berada di tengah-tengah kepala Sita, lalu kemudian gue menarik selimut yang tertindih
oleh kakinya dengan perlahan seraya meluruskan posisi kaki Sita dan gue langsung menarik
kaosnya yang sedikit terbuka sehingga kini dia telah berada dalam posisi yang menurut gue
cukup nyaman. Kemudian gue bangkit berdiri dan berjalan keluar kamar sambil membawa
buntelan selimut untuk mengibaskannya di luar, sebelum pada akhirnya gue menyelimuti Sita
agar terhindar dari cuaca dingin pada malam hari ini.

Gue berdiri di samping tempat tidur, menyilangkan tangan di depan dada sambil memiringkan
kepala dan mengamati wajah Sita yang sedang terlelap. Lalu entah kenapa, pemandangan yang
seperti ini secara tiba-tiba membuat ingatan gue kembali melompat menuju sebuah momen
dimana gue memperhatikan Muthia yang tengah terlelap di dalam tenda. Apa yang gue lakukan
kepada Sita barusan sangatlah sama persis dengan apa yang gue lakukan kepada Muthia. Mulai
dari gue yang membantunya berbaring hingga menyelimutinya dengan selimut tipis salur-salur,
semuanya dapat gue ingat dengan jelas. Lalu sesaat kemudian, sebuah hal terlintas di dalam
benak gue.

Yes, everything has changed but nothing is really lost.

Gue tahu, semenjak kejadian dimana gue mengetahui bahwa Muthia telah memiliki seorang
pacar, sesuatu pasti akan berubah. Cepat atau lambat, pasti akan ada sesuatu yang berubah.
Entah apakah dari sikap gue kepada Muthia ataupun sebaliknya, atau mungkin dari hal-hal yang
lain. It's only the matter of time. Namun, hal-hal yang pasti akan berubah tersebut setidaknya
tidak akan membuat gue kehilangan sesuatu. Gue mungkin tidak dapat memiliki seorang Muthia
dalam bentuk fisik maupun hatinya secara utuh, tetapi gue masih dapat menaruh perasaan
kepada Muthia tanpa harus ia ketahui. Gue menghela nafas pelan, membalikkan badan lalu
berjalan keluar kamar dan memegang pembatas dinding seraya melihat ke langit malam yang
menurut gue serasa melankolis. But somehow, gue menikmati suasana malam yang begitu
melankolis seperti ini.

"I choose to love you in silence.


Because in silence, I find no rejection.
And in silence, no one owns you but me."

Anonymous

***

Pukul satu dini hari. Gue telah memakan habis seporsi nasi goreng milik gue beserta seluruh
camilan ringan yang telah gue beli sebelumnya dan juga entah sudah berapa banyak cangkir
kopi yang gue habiskan untuk memberi efek doping pada tubuh. Saat ini, gue sedang terjaga di
depan laptop, duduk membelakangi Sita yang tertidur pulas sambil mengerjakan pekerjaan-
pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya karena akan gue serahkan kepada pak Wisnu
pada pukul delapan pagi nanti.

Sejenak gue mengistirahatkan diri, menopang badan dengan kedua tangan yang terjulur ke
belakang dan bertumpu ke lantai sambil menikmati alunan lagu Californication-nya RHCP
dengan volume rendah, lalu perhatian gue teralih ketika gue mendengar suara decit dari
belakang punggung yang membuat gue menolehkan kepala ke belakang. Gue melihat Sita
sedang terduduk di atas kasur dengan rambut yang acak-acakan, dan dia menatap gue dengan
sebuah tatapan yang sedih sambil memeluk bantal. Bibirnya bergetar pelan,

Lalu tiba-tiba sebutir air mata terjatuh dan mengalir pada pipinya.

Past That Hurts

Gue dapat melihat dengan jelas bahwa ada sebutir air mata yang mengalir pada pipinya yang
halus. Gue terhenyak kaget untuk sejenak, lalu kemudian buru-buru bangkit dan langsung duduk
berlutut tepat di depan Sita yang masih menatap gue dengan tatapannya yang terlihat begitu
sedih. "Sit? Kenapa? Elo kenapa?" Tanya gue seraya memegang kedua bahunya dengan
perasaan was-was.

"..." Bibir Sita semakin bergetar hebat, lalu sedetik kemudian tangisnya pecah dan tiba-tiba dia
memeluk gue dengan erat dan menangis sesegukan sambil mencengkram punggung kaos gue
dengan erat. "Gue takut Bey, gue takut... Please... Elo jangan tinggalin gue..." Pintanya dengan
lirih.

Lalu gue menggerakkan tangan dan memeluk punggung Sita sambil mengelusnya dengan
lembut seperti apa yang sering gue lakukan kepada adik perempuan gue dulu. "Iya, Sit, gue ga
akan ninggalin elo. Gue ada di sini." Ujar gue pelan di samping telinganya. "Elo kenapa? Mau
cerita sama gue?"

Sita kemudian menggeliat, lalu perlahan-lahan dia mulai melemahkan cengkeraman tangannya
pada kaos gue dan melepaskan pelukannya. "Elo mau dengerin kan Bey?" Tanya Sita sambil
memasang wajah yang terlihat memelas.

Gue menghapus sisa-sisa air mata pada kedua pipinya dengan ibu jari, lalu gue berkata. "Tapi
gue sambil ngerjain kerjaan gapapa ya?" Dan Sita membalasnya dengan sebuah anggukan
kepala.

Setelah itu, gue langsung membalikkan badan lalu kembali duduk bersila di depan laptop. Pada
awalnya gue hendak mengambil dan memangku laptop sambil menghadap Sita, namun tiba-tiba
gue merasakan bahwa ada sesuatu yang menempel pada punggung saat gue sedang melepas
kabel charger. Gue pun menolehkan kepala ke belakang dan mendapati Sita telah
menyandarkan kepalanya pada punggung gue. "Kenapa Sit?"

Sita menggelengkan kepalanya, biarlah, mungkin Sita merasa lebih nyaman dalam posisi seperti
ini. Lalu tidak lama kemudian dia pun mulai bercerita. "Dulu, 6 tahun yang lalu pas gue masih
SMA, gue pernah punya cowok. Orangnya baik, asyik, nyenengin, ngangenin, bawel..." Setelah
gue mendengar Sita berkata 'bawel', gue dapat merasakan bahwa Sita sedang mengembangkan
senyuman pada bibirnya. "...tapi kadang-kadang cuek, sama kayak elo."

"..." Gue terkekeh pelan, namun gue tidak dapat memberi komentar apapun selain hanya dapat
mendengarkan Sita bercerita hingga selesai sambil tetap mengetik pada laptop.

"Namanya Aryawinata. Gue kenal sama dia pas waktu kenaikan kelas 11. Terus beberapa bulan
setelahnya, dia nembak gue."

"..." Gue memainkan bibir sambil terus berkutat pada laptop.

"Sayangnya gue tolak, karena waktu itu gue belum kenal deket sama dia dan gue juga terlalu
takut sama yang namanya pacaran."

"..."

"Tapi ternyata dia malah semakin nunjukin usahanya buat gue. Dia selalu ada di situ pas orang
lain ga ada. Dia selalu ada pas gue butuhin, walaupun gue ga pernah tau kalo dia selalu ada di
deket gue. Akhirnya gue luluh sama usaha-usaha dia. Terus ga lama kemudian, dia nembak gue
lagi. Karena gue udah yakin sama perlakuan dia buat gue, gue langsung terima dia."

"..."

"Hari-hari gue di sekolah jadi lebih asik. Ga ada lagi hidup gue yang abu-abu, semuanya jadi
terasa lebih berwarna selama gue bareng-bareng sama Nata. Dia tau banget gimana cara
ngebuat gue bisa tersenyum pas gue lagi nge-down. Banyolan-banyolan garing dia selalu bisa
ngebuat gue ketawa haha hihi." Ujarnya.

"..." Ketikan gue pada keyboard mulai melambat, dan gue menjadi lebih ingin mendengar cerita
Sita lebih lanjut lagi.

"Gue juga bisa cerita tentang apapun sama dia. Gue seneng bercerita dengan posisi yang sama
seperti kita sekarang, dimana gue sering nyenderin kepala ke punggung dia kalo gue lagi cerita
sesuatu."

"..." Gue mulai sedikit memahami kenapa Sita menyenderkan kepalanya pada punggung gue.
Mungkin dia ingin merasakan sedikit dari masa lalunya. Dan ga lama kemudian Sita pun kembali
meneruskan ceritanya.

"Gue sayang banget sama Nata, bahkan melebihi rasa sayang gue kepada cowok gue yang
sekarang."

"..."

"Terus waktu itu, gue masih inget banget, hari Kamis sore di pertengahan bulan Februari,
beberapa hari sebelum hari Valentine. Gue ada rapat sama anak-anak osis sampe sore tentang
acara sekolah. Tapi pikiran gue sama sekali ga bisa fokus buat rapat osis itu. Bey, lo tau
kenapa? Perasaan gue ga enak. Ada sesuatu yang ngeganjel di dalam dada, tapi gue ga tau
apa. Akhirnya gue izin keluar buat nelfon Nata, sekedar nanya tentang kabar dia."

"..."

"Awalnya gue langsung deg-degan setengah mati gara-gara dia ga ngangkat telfon gue, tapi ga
lama kemudian dia ngangkat. Di telfon, dia nanya apa gue mau dijemput atau enggak pas abis
rapat. Gue jawab ga usah, soalnya gue takut kalo pulang rapatnya terlalu sore. Walaupun udah
gue larang-larang dia supaya ga usah jemput, tapi dia maksa. Katanya gue takut kenapa-napa di
jalan kalo gue pulang sendirian. Dengan berat hati, akhirnya gue izinin dia."

"..." Obrolan kami berdua terputus. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suaranya, hanya
terdengar bunyi jangkrik yang saling bersahut-sahutan di luar kamar. Lalu beberapa saat setelah
itu, Sita kembali bercerita dengan suara yang terdengar parau.

"Tapi sebelumnya gue ga pernah nyangka..." Suara Sita sejenak terhenti seolah-olah tercekat
oleh sesuatu, lalu kemudian gue dapat mendengar bahwa Sita kembali terisak. Isakan Sita itu
membuat pikiran gue kacau, pikiran gue sudah tidak dapat lagi gue fokuskan kepada pekerjaan
dan pada akhirnya gue mencoba untuk terus mendengarkan perkataan Sita yang selanjutnya.

"Gue ga pernah nyangka kalo itu ternyata telfon terakhir Nata buat gue..." Deg! Dada gue serasa
mencelos setelah mendengar perkataannya, sedikit-sedikit gue sudah bisa menebak kemana
arah dari pembicaraan ini. Lalu dengan suara yang nyaris putus-putus karena isak tangisnya,
Sita mencoba untuk menyelesaikan ceritanya yang sempat terhenti untuk beberapa saat. "Ga
jauh dari sekolahan gue, Nata kecelakaan. Motornya keserempet sama mobil. Nata jatuh terus
kepalanya ngebentur aspal. Nata meninggal di tempat dengan pendarahan di kepalanya."

"..."

"Dan tadi gue mimpi, gue mimpi kalo elo ngalamin sama kayak apa yang Nata alamin... Tepat di
depan mata kepala gue..."

"..."

"Gue takut Bey..." Sita berkata dengan lirih. Lalu perlahan-lahan gue mencoba untuk
membalikkan badan dan menghadap Sita yang sedang menahan tangisnya sambil memegang
mulutnya dengan sebelah tangan.

"Sit..." Gue menghela nafas pelan. "Gue ga akan kenapa-napa, gue ada di sini sekarang, di
samping elo. Udah, elo jangan takut."

Sita menatap gue, dan tiba-tiba saja air matanya kembali mengalir dengan perlahan pada
pipinya yang telah terlihat memerah. "Tetep aja Beeey... Gue takuuut..." Ujarnya dengan lirih.

"Ssshhh..." Gue menyimpan telunjuk di depan bibir Sita, lalu kemudian gue menyisir rambutnya
dengan lembut. "Itu cuman mimpi, ga lebih dari itu. Gue ga akan kenapa-napa, janji."

"Beneran janji ya?"

Gue mengangguk sambil mengelap sisa-sisa air mata pada pipinya. "Iya, gue janji. Udah gih
sana tidur lagi."

"Gue ga mau tidur sendirian Bey, gue takut..."

"Yaudah elo tidur disini aja lagi. Gue temenin." Ujar gue seraya tersenyum ke arahnya.

Lalu dengan perlahan Sita kembali merayap naik dan berbaring di atas tempat tidur gue yang
seprainya sudah menjadi acak-acakan. Kemudian gue mengambil selimut, merapikannya sedikit,
lalu menyelimuti Sita yang sedang menatap gue dengan tatapannya yang sayu. "Makasih ya
Bey..."

"Hahaha..." Gue tertawa kecil. "Makasih buat apaan Sit?"

Sita menggeleng lalu kemudian gue melihat bahwa ada sebuah senyuman yang mengembang
pada bibirnya. "Buat semuanya."
"Hahaha, iya, sama-sama Sit." Ujar gue. "Gue kerja lagi ya?"

"..." Sita mengangguk sambil tersenyum.

Gue pun kembali meneruskan pekerjaan yang sebelumnya tertunda sambil sesekali menanggapi
Sita yang kembali bercerita mengenai banyak hal seperti seputar kehidupan sehari-harinya,
teman-temannya, pacarnya, dan hal-hal yang lain. Lalu semakin lama, suara Sita mulai mengecil
dan kemudian menjadi hening, menyisakan suara jangkrik yang masih terjaga di luar sana.

Gue menghentikan pekerjaan untuk sejenak, lalu gue membalikkan badan dan mendapati Sita
yang telah kembali terlelap. Wajahnya kini menyiratkan sebuah ekspresi yang terlihat lebih
damai dari sebelumnya, seolah-olah ada sebuah beban berat yang telah terangkat dari
pundaknya setelah Sita menceritakan tentang masa lalunya yang pahit. Lalu gue mendekat ke
arah Sita, menarik selimut hingga menutupi lehernya, dan kemudian gue berbisik pelan di
samping telinga Sita sambil mengelus lembut rambutnya yang harum.

"Be strong, young lady."

IIn my place, in my place


Were lines that I couldn't change
And I was lost, oh yeah
Oh yeah

Coldplay - In My Place
Sealed Fate

Pagi harinya, setelah gue selesai mengerjakan seluruh pekerjaan yang harus gue serahkan
kepada pak Wisnu. Tanpa mendapatkan satu menitpun waktu untuk tidur dan dengan kantung
mata yang telah menebal, gue berjalan gontai menuju kamar mandi untuk bersiap-siap karena
pagi ini gue harus kembali masuk ke kantor.

Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi gue untuk selesai bersiap-siap, kemudian gue
langsung membuat satu porsi mie instan untuk mengisi perut karena gue sama sekali tidak
mempunyai waktu untuk membeli sarapan ke depan. Sambil duduk bersila di samping kasur
yang masih terisi oleh Sita, gue memakan mie instan tersebut dengan lahap lalu kemudian
menyimpan mangkuk kotornya di dalam kamar mandi.

Gue mengenakan pantofel di depan muka pintu, lalu gue menoleh ke arah dimana Sita sedang
berbaring. Ada niatan ingin membangunkan dan memberitahukan pada dirinya bahwa gue akan
pergi bekerja, namun gue tidak tega untuk melakukannya karena gue melihat bahwa Sita masih
tertidur dengan pulas, lalu pada akhirnya gue memutuskan untuk menulis pesan pada post-it dan
menempelkannya di balik pintu.

Gue pergi kerja.

Pintunya udah gue kunci dari luar.

Liat ke bawah, kuncinya gue selipin di sela-sela pintu.

***

"Kerjaan elu udah dikasihin ke pak Wisnu belom?" Tanya Gina di sela-sela makan siang kami
berdua.

"Udah kok tadi pagi, nanti katanya tinggal direview abis dia rapat sama direksi."

"Tapi laporan keuangannya udah elo periksa semua kan? Ga ada yang aneh kan?"

"Iya tenang aja, semalem udah gue periksa sampe 4x kok. Semuanya aman." Gue membuat
sebuah lingkaran dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk, lalu kemudian menyimpan sendok
serta garpu dalam keadaan terbalik di atas piring. "Elu mau shalat ga?" Ujar gue sambil
memundurkan kursi seraya berdiri.

"Enggak Bay." Gina menggeleng. "Lagi dapet nih."

"Oh yaudah deh, gue duluan ya."

Gue berlalu dari kantin dan berjalan dengan cepat menuju mushala kantor karena mengingat
bahwa jam istirahat gue akan segera berakhir sekitar lima belas menit lagi. Ketika pintu lift
terbuka, gue berpapasan dengan Andre yang hendak masuk ke dalam dan dia langsung
menyapa gue. "Eh, Bay, elo dicariin sama pak Kumis tuh."

"Loh?" Gue mengangkat alis. "Bukannya dia lagi rapat sama direksi ya?"

"Enggak, udah selesai daritadi rapatnya."


"Terus elo bilang apa?"

"Gue bilang kalo elo mungkin lagi istirahat makan siang."

Gue manggut-manggut. "Terus? Apa katanya?"

"Elo disuruh buat masuk ke ruangan dia secepatnya."

"Waduh..." Gue menggaruk pelipis. "Ada apaan ya kira-kira?"

Andre mengangkat bahunya. "Udah ya, gue ke lantai tiga dulu."

"Oke deh, thank you Dre!" Ujar gue kepada Andre yang dibalas dengan acungan jempolnya.

Langkah gue menuju mushala pun semakin gue percepat. Antara was-was dan penasaran
kenapa pak Wisnu memanggil gue ke dalam ruangannya. Lalu dengan sambil mencoba untuk
mengesampingkan pikiran-pikiran tersebut, gue langsung mengambil air wudhu dan menunaikan
kewajiban gue sebagai seorang muslim pada siang hari ini.

***

Gue berbelok ke kiri dan berjalan lurus menuju sebuah ruangan kaca yang terletak di sudut
kantor, berjalan lurus menuju ruangan pak Wisnu. Dari kejauhan gue sudah dapat melihat pak
Wisnu dengan kumisnya yang khas sedang memegang secarik kertas pada tangan kirinya
sementara tangan kanannya sedang menulis sesuatu di atas meja. Setelah merapikan sedikit
kemeja yang gue kenakan, gue pun mengetuk pintu kacanya.

Tok...tok...tok...

Pak Wisnu menoleh, lalu kemudian beliau mempersilakan gue untuk masuk ke dalam dan pada
akhirnya gue membuka pintu kaca tersebut.

"Selamat siang pak." Sapa gue.

"Selamat siang juga pak Bayu. Mari, silakan duduk." Pak Wisnu berdiri sambil memberi gesture
tangan untuk mempersilakan gue duduk pada kursi di depan mejanya. Beberapa saat setelah
gue duduk, beliau langsung mengambil beberapa berkas yang sangat gue kenali sekali, karena
berkas-berkas tersebut adalah sekumpulan berkas yang gue berikan kepadanya beberapa jam
yang lalu. "Tadi saya bersama beberapa dewan direksi sudah mengadakan rapat tentang
laporan keuangan perusahaan kita." Ujarnya.

"Iya pak?"

"Gini, setelah kami me-review hasil laporan yang kamu kerjakan dan ternyata laporan keuangan
kita selama lima tahun terakhir ga ada hambatan, rencananya kita mau jadi debitur suatu bank.
Lusa nanti, kamu sama ibu Lia yang bertemu sama pihak bank buat presentasi laporan
keuangan kita. Gimana? Kamu bisa kan?"

Gue pun memberikan sebuah senyuman seraya mengangguk mantap. "Bisa pak."

"Oke, kalo begitu, terima kasih pak Bayu." Pak Wisnu berdiri seraya menjabat tangan gue, lalu
kemudian gue langsung pamit keluar dari ruangannya. Sambil terus berjalan menuju meja kerja,
pikiran gue memikirkan sebuah hal yang menurut gue menarik. Apa jadinya jika gue menolak
permintaan pak Wisnu barusan? Well, tidak akan pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi.

***
Mengadakan rapat atau meeting di dalam kantor yang dihadiri oleh para petinggi kantor ataupun
perwakilan dari luar kantor itu memang sudah biasa. Namun jika mereka mengadakan sebuah
pertemuan di luar kantor, itu baru beda cerita. Tempat atau lokasi yang dipilih haruslah sesuai
dan mencerminkan tingkat perusahaan tersebut demi menjaga prestige dan nama baik
perusahaan. Tidaklah mungkin bagi sebuah perusahaan yang telah memiliki nama mengadakan
pertemuan pada sebuah tempat yang sudah umum. Minimalnya mereka pasti akan mengadakan
pertemuan pada sebuah restoran yang terbilang cukup berkelas.

Lalu pada siang hari yang gerimis ini, gue sedang duduk di dalam sebuah mobil sedan mewah,
merapikan dasi serta cufflink pada pergelangan tangan, dan gue sedang duduk berdampingan
dengan seorang wanita yang mengenakan blouse putih serta blazer hitam dan rok span
berwarna senada dengan blazernya. Tidak lupa juga, high heels berwarna hitam mengkilap
terpasang dengan rapi pada kakinya yang jenjang dan aroma parfum yang dikenakan oleh
wanita tersebut telah memenuhi seisi ruangan mobil, membuat indera penciuman gue terlena
akan keharuman parfumnya yang elegan.

Saat ini kami berdua sedang berada di dalam perjalanan menuju sebuah kedai kopi yang sudah
cukup memiliki nama di dunia, yaitu Coffe Bean, dan gue sangatlah menyukai perjalanan ini.
Selain gue dapat merasakan kenikmatan berada di dalam mobil mewah dengan jok-nya yang
empuk dan berada di dalam satu mobil dengan primadona kantor, gue juga dapat mencicipi
makanan yang menurut gue super mahal, dan semuanya gratis karena dibiayai oleh kantor! Hal
ini membuat gue senyam-senyum sendiri dan itu menarik perhatian Lia yang sedang duduk di
samping kiri gue. "Kenapa mas?"

"Hahaha..." Gue terkekeh. "Enggak kenapa-kenapa mbak." Lalu kemudian gue menoleh ke arah
Lia yang sedang berkutat pada iPhone 3G's-nya, sebuah smartphone yang sangat mahal sekali
pada masa itu. "Mbak, kita mau teken kontraknya berapa banyak?"

Tanpa menoleh ke arah gue, Lia menjawab pertanyaan tersebut. "Kita kan disini sebagai anak
perusahaan doang ya, saya juga belum tau jumlahnya berapa. Sekarang saya lagi nunggu
konfirmasi dari pak Wisnu dulu, soalnya email dari beliau belum masuk."

"Ooh, jadi gimana mbak?"

"Udah, pokoknya nanti kamu presentasikan saja sebaik-baiknya. Biar yang ini jadi urusan saya."
Lanjutnya seraya memasukkan smartphone tersebut pada tas yang dibawa olehnya.

"Oke mbak."

Tidak lama berselang, mobil yang dikendarai oleh si supir berbelok masuk menuju basement dari
sebuah pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di kota ini. Lalu setelah mobil terparkir, Lia
menyuruh si supir untuk menunggu dan kemudian kami berdua berjalan menuju kedai kopi yang
kami tuju. Lia memilih sebuah meja yang terletak tidak jauh dari kaca sehingga gue dapat
dengan jelas mengamati rintik-rintik air hujan yang menghiasi langit di luar sana.

Gue mengeluarkan laptop dan berkas-berkas laporan dari dalam tas lalu mempersiapkan slide-
slide presentasi beserta data pendukungnya. Setelah merasa cukup dengan semuanya,
kemudian gue melamun sambil menatap ke arah hujan yang sedang mengguyur. Gue sangat
suka sekali dengan suasana hujan seperti ini, suasana yang seolah-olah dapat membangkitkan
sebuah perasaan damai di dalam hati dan pikiran, dan gue sangat ingin berlama-lama
menikmatinya.

Entah sudah berapa lama gue melamun, lamunan gue terbuyar ketika Lia berdiri sambil memberi
kode ke arah gue agar ikut berdiri. Gue menoleh ke kiri, lalu gue mendapati ada seorang pria
berumur 40 tahunan yang sedang berjalan ke arah kami berdua, lengkap dengan jas formal
hitam beserta dasi biru miliknya. "Selamat siang pak Thomas." Lia menyapa ramah lelaki yang
berpenampilan seperti bos-bos tersebut.
"Selamat siang ibu Lia." Jawab pak Thomas seraya menjabat tangan Lia, lalu kemudian beliau
menoleh ke arah gue.

"Selamat siang pak." Gue pun tersenyum sambil mengulurkan tangan kepadanya.

"Selamat siang juga pak Bayu." Pak Thomas membalas senyuman serta jabat tangan gue.
Setelah itu pak Thomas menoleh ke belakang seolah-olah mencari sesuatu, dan kemudian
beliau tersenyum sumringah. "Perkenalkan juga salah satu anak buah saya dari divisi kredit
korporasi, ibu Muthia."

Gue langsung terhenyak kaget pada saat pak Thomas menyebut nama Muthia. Gue melirik ke
arah wanita yang berada di belakangnya, dan ternyata memang benar bahwa Muthia yang
dimaksud oleh pak Thomas adalah Muthia yang 'itu', bukan Muthia yang lain. Dan saat ini Muthia
sedang melemparkan senyuman manisnya kepada gue, melemparkan sebuah senyuman
yang sangat gue rindukan sekali, namun gue juga sangat tidak merindukan senyuman tersebut.

'Apa jadinya jika gue menolak permintaan pak Wisnu barusan?

Well, tidak akan pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi.

Dan sepertinya, takdir gue memang sudah seperti ini...'

Coldplay Shiver
Heartburn

Seperti apa yang pernah gue katakan sebelumnya, Tuhan mempertemukan seseorang dengan
seorang lainnya pasti karena sebuah alasan. Lalu, apakah alasan dari Tuhan yang
mempertemukan gue dengan Muthia? Apakah Tuhan ingin melihat gue berusaha sepenuh hati
agar gue bisa memiliki Muthia secara utuh? Atau ada alasan-alasan lainnya? Atau mungkin, ada
sebuah rencana lain dari balik pertemuan ini?

Gue pernah membaca sebuah kutipan, dan kurang lebih isi dari kutipan tersebut adalah sebagai
berikut: 'milikilah mimpi beserta harapan, maka semesta akan berkonspirasi untuk
mewujudkannya.' Memang benar jika gue sangat ingin sekali memiliki Muthia secara utuh, tapi
apakah mimpi tersebut dapat terwujud sampai-sampai gue dibantu oleh sang semesta yang
kembali mempertemukan kami berdua di tempat ini?

Entahlah... Hingga detik ini, gue sama sekali belum mengetahui secara pasti tentang apa yang
telah Tuhan rencanakan kepada gue. Dan semoga saja pada akhirnya, ketika gue telah mengerti
tentang semuanya, gue dapat menerima rencana tersebut dengan lapang dada serta gue dapat
mensyukuri dari setiap takdir yang telah Tuhan takdirkan, walaupun itu semua
terasa sangat sakit sekali. Kenapa? Karena kadang-kadang, kenyataan dari sebuah takdir dapat
dengan mudahnya menjatuhkan berbagai mimpi dan harapan yang pernah dijunjung setinggi
langit.

***

Lia menjabat tangan Muthia yang kemudian dilanjutkan dengan acara cipika-cipiki sambil
menanyakan kabar masing-masing. Lalu setelah itu Muthia menolehkan kepalanya ke arah gue,
tersenyum dengan sangat manis sekali, dan kemudian dia menjulurkan jemari tangannya yang
langsung gue sambut dengan perasaan dag-dig-dug tak karuan.

"Kalian berdua sudah saling mengenal ya?" Tanya pak Thomas setelah kami berdua
bersalaman, yang sepertinya terlihat aneh di mata beliau karena kami berdua sama sekali tidak
menyebutkan nama melainkan hanya saling melemparkan senyuman satu sama lainnya.

Lalu sambil dengan sedikit malu-malu, gue menjawabnya. "Iya pak, saya memang sudah pernah
bertemu dengan ibu Muthia sebelumnya."

"Ooh, baiklah kalau begitu." Ujar pak Thomas dan kemudian kami berempat langsung duduk
pada kursinya masing-masing. Pak Thomas duduk beseberangan dengan Lia dan secara
otomatis gue pun duduk berseberangan dengan Muthia.

Pemandangan di depan gue saat ini sangatlah sempurna sekali. Gue dapat dengan leluasa
melihat Muthia dengan seragam kantornya, gue dapat dengan leluasa melihat kedua matanya,
gue dapat dengan leluasa melihat hidung serta senyum simpul pada bibirnya, gue dapat melihat
kedua tangan Muthia yang terlipat dengan rapi di atas meja, dan yang pasti, gue juga dapat
dengan leluasa mengagumi sosok Muthia dari jarak yang sangat dekat sekali.

"Apa kabar pak?" Tanya Lia kepada pak Thomas, yang sekaligus membuyarkan lamunan gue
akan Muthia.

"Puji Tuhan, kabar baik." Jawab beliau sambil tersenyum. "Bagaimana kabar ibu sendiri?"

"Alhamdulillah, baik juga pak." Ujar Lia dengan ramah sementara gue dan Muthia hanya bisa
melempar senyum seadanya. "Bagaimana pak? Mau kita mulai sekarang?"
"Tentu." Pak Thomas menganggukkan kepala. "Boleh saya lihat laporan keuangan perusahaan
ibu?"

Tanpa dikomandoi oleh Lia, gue langsung memberikan berkas laporan keuangan terbaru yang
telah gue buat kepada pak Thomas, lalu kemudian gue sedikit menjelaskan bagian-bagian dari
laporan keuangan tersebut sambil memperlihatkan slide-slide Power Point yang telah gue
kerjakan pada laptop. Sejauh ini pak, Thomas memberikan respon yang cukup positif. Beliau
manggut-manggut antusias dan sesekali menunjuk ke layar monitor dan bertanya tentang apa
yang sedang gue presentasikan kepadanya, terutama terhadap market opportunity perusahaan
tempat dimana gue bekerja. Beliau sangat terlihat excited sekali saat mengetahui bahwa
perusahaan ini memiliki masa depan yang baik.

Namun berbeda halnya dengan Muthia. Dia hanya terdiam dan menatap dengan serius ke arah
kemana jari gue menunjuk, seolah-olah mencari sebuah kesalahan atau celah kecil dari apa
yang sedang gue presentasikan. Dan benar saja, tiba-tiba telunjuk Muthia terangkat dan
menunjuk kepada sebuah tabel laporan keuangan yang sedang gue jelaskan kepada pak
Thomas.

"Pak Bayu, kenapa laba perusahaan tahun ini berbeda jauh dibanding dengan tahun
sebelumnya?" Tanya Muthia dengan nada suara yang teramat serius, dan ini sangatlah
membuat gue grogi setengah mati padahal gue sudah mengetahui dengan benar tentang apa
alasan dari jatuhnya laba tersebut. Materi-materi yang telah gue kuasai pun menghilang dalam
hitungan detik dan itu semua hanya karena sebuah pertanyaan simple dari Muthia.

"E...eng... Itu karena..."

"Itu karena ada salah satu dari supplier kami yang terkena force majeure pada saat
mendekati peak season.Mereka menjadi tidak dapat mengirim bahan-bahan untuk proses
manufaktur kami dan imbasnya sangat berdampak sekali pada output barang sehingga kami
tidak dapat memenuhi target pasar secara optimal." Thank God, dengan lancarnya Lia
menjawab pertanyaan dari Muthia tersebut.

Kemudian Muthia mengalihkan pandangannya dari gue, dan dia langsung menatap Lia dengan
serius. "Apa cara yang dilakukan oleh perusahaan ibu untuk mengantisipasinya?"

"Setelah kami mendapatkan berita tersebut, kami langsung menugaskan pihak kantor untuk
mencari supplier tambahan agar segala kekurangan kebutuhan dapat dengan segera terutupi.
Banyak dari supplier-supplier yang mengajukan dirinya, tetapi mereka semua harus melewati
tahap seleksi untuk menjamin kualitas mereka terlebih dahulu. Hasilnya, hanya ada sedikit
supplier yang bisa memasok kebutuhan kami dalam jumlah yang besar. Lalu untuk menutupi
sisa kebutuhan lainnya, kami terus mencari supplier baru hingga kebutuhan tersebut terpenuhi
walaupun hasil output kami berkurang sehingga laba yang didapatkan tidak sebanyak tahun-
tahun sebelumnya."

"Ooh..." Muthia membulatkan bibir sambil mengangguk paham setelah diberi penjelasan yang
panjang lebar oleh Lia. Gue sangat berterimakasih sekali kepada Lia karena telah mem-backup
gue yang hanya bisa terdiam mematung, namun itu juga pastinya akan membuat citra
keprofesionalan gue di mata pak Thomas berkurang drastis, terlebih lagi Muthia. Nilai minus
gue pasti sangat terlihat jelas di matanya.

Tetapi, dari sini gue dapat melihat bahwa Muthia memang benar-benar telah memiliki sebuah
kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Dedikasi terhadap pekerjaannya sangat terlihat jelas
sekali dari pertanyaan-pertanyaannya yang berbobot, sehingga tidak salah jika mereka
menempatkan Muthia di dalam divisi kredit korporasi. Jika si pemberi kredit dapat dengan
mudahnya memberi pinjaman kepada perusahaan yang abal-abal, gue yakin, kredit mereka pasti
akan macet di tengah jalan. Namun di tangan Muthia, sepertinya hal itu dapat terhindari.
Cukup lama kami berempat berdiskusi mengenai laporan keuangan tersebut. Tidak jarang juga
Muthia ataupun pak Thomas yang bertanya tentang seputar presentasi yang sedang gue
tampilkan walaupun kadang-kadang ada beberapa pertanyaan yang membuat gue mati kutu
sehingga gue harus kembali dibantu oleh Lia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

***

Sesi presentasi tersebut pun pada akhirnya berakhir ketika gue telah selesai mempresentasikan
seluruh laporan keuangan selama lima tahun ke belakang. Acara ini kemudian dilanjutkan
dengan makan siang bersama, atau mungkin bisa juga disebut sebagai 'proses mengakrabkan
diri antara bank dan nasabah' karena kami berempat lebih sering membicarakan tentang
pekerjaan masing-masing ketimbang membicarakan hal-hal lainnya.

"Maaf, saya pamit permisi sebentar." Ujar pak Thomas di sela-sela makan kami, lalu kemudian
beliau berdiri sambil membawa handphone pada genggaman tangannya.

Beberapa saat setelah pak Thomas menghilang dari penglihatan, Lia kemudian berbicara.
"Gimana mas Bayu? Muthia? Enak ga makanannya?"

"Enak mbak, enak banget!" Jawab gue dengan semangat.

"Kamu pinter Bay milih menu makanannya, soalnya itu tuh menu makanan yang menurut aku
paling enak juga di sini." Ujar Muthia, dan hal tersebut membuat gue tersenyum malu.

Sudah sekitar lima menit lebih pak Thomas belum kembali ke meja ini, sebelum pada akhirnya
gue melihat bahwa Muthia melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah punggung gue.
Serasa deja vu, namun gue tepis pikiran negatif tersebut. Gue yang sedang duduk sambil
membelakangi counter mengira bahwa pak Thomas lupa letak dimana meja kami semua
sehingga Muthia harus memberikan isyaratnya kepada beliau.

Namun tiba-tiba saja ada seorang pria yang berpakaian rapi, berpakaian kantoran seperti gue,
datang dan langsung cipika-cipiki bersama Muthia dan gue juga dapat memastikan bahwa itu
bukanlah pak Thomas dengan jas hitam beserta dasi biru miliknya. Samar-samar gue dapat
mengenali sosoknya, namun gue tidak mengetahui secara pasti siapa orang tersebut.

"Jadi sekarang gitu Yas? Lebih milih pacar dibanding kakak kamu sendiri?" Lia nyeletuk sambil
menyimpan garpu di atas piring.

Deg!

Pacar?

Kakak?

Lalu si pria itu langsung membalikkan badannya sambil terkekeh. "Hehehe, lupa kalo ada mbak
juga di sini." Kemudian dia menyalimi Lia, sebelum pada akhirnya dia terkejut saat menyadari
kehadiran gue yang sedang duduk tepat di samping Lia. "Mas Bayu?"

Walaupun bibir gue agak sedikit bergetar karena mencoba untuk menahan emosi yang meluap,
perlahan-lahan gue melebarkan bibir sambil menjawab sapaan pria tersebut. "Hallo mas
Frandias."

"Loh? Kalian berdua udah kenal?" Tanya Lia yang tak kalah terkejutnya dengan Frandias.

"Kita berdua emang udah pernah ketemu beberapa hari yang lalu. Iya kan mas Bayu?" Ujar
Frandias sambil menepuk pelan pundak gue, yang entah kenapa malah gue artikan sebagai
ancaman.

Gue menahan senyuman kecut tersebut seraya menjawabnya dengan lemah. "Hehe, iya
mbak..."

"Ooh pantesan." Lia membulatkan bibirnya. "Frandias itu adik kandung saya dan dia pacarnya
Muthia. Kamu pasti udah tau kan? Nah, kalo yang ini pasti kamu belum tau. Frandias itu branch
manager di cafe ini, maka dari itu kenapa saya lebih memilih untuk tempat ini dibanding dengan
di tempat lain."

Adik?

Branch manager?!

Deg!

Because of you
I learned to play on the safe side
So I don't get hurt
Because of you
I find it hard to trust not only me
But everyone around me
Because of you
I am afraid

Kelly Clarkson - Because of You

Theatrum Orbis Terrarum

Beberapa minggu yang lalu, hidup gue hanyalah sebuah garis lurus tanpa ada kelok-kelok yang
dapat membuatnya terlihat menarik. Hidup gue itu terlalu abu-abu, pekat, seperti kabut yang
menyelimuti dunia di pagi hari yang dingin. Lalu dengan tidak terduga sekali, ada secercah
cahaya yang dapat sedikit menghangatkannya, tepat pada saat setelah gue berkenalan dengan
Muthia. Dia datang ke dalam hidup gue beserta segala candu yang ditimbulkannya, dia datang
dan membuat hidup gue menjadi sedikit 'menyimpang' dari jalurnya, dia datang dan membuat
hidup gue menjadi sedikit berkelok-kelok sehingga terlihat lebih berwarna dibandingkan dengan
sebelumnya, walaupun hanya untuk sesaat.

Namun sekarang rasanya hidup gue malah menjadi semakin gelap, menjadi semakin dingin, dan
terasa sangat sulit sekali untuk mendapatkan sedikit bagian dari sinar matahari yang dapat
menghilangkan kabut pekat tersebut. Makanan yang tersaji di depan gue pun kini sudah tidak
memiliki lagi kenikmatan di dalamnya. Rasa yang sebelumnya begitu membuat gue sangat
terpikat, sekarang tidak lagi memiliki rasa apapun selain memberikan sebuah rasa hambar
yang sangat tidak enak di lidah. Gue menyendok makanan dengan ogah-ogahan sambil
mendengarkan Muthia dan Lia yang mengobrol tentang obrolan yang tidak dapat gue dengarkan
secara pasti.

Beberapa saat yang lalu, seseorang yang telah sukses membuat hidup gue terjungkir balik,
Frandias, sudah meninggalkan meja ini dan dia menyisakan sedikit suasana tawa di antara
Muthia dan Lia, sementara dia dengan mulusnya membuat gue semakin merasa kecil dan
merasa tidak punya apa-apa dibanding dengan segala sesuatu yang telah dimiliki olehnya.

"Kok ga dimakan lagi Bay?" Tanya Muthia sesaat setelah dia melihat gue yang hanya
mengaduk-aduk makanan di atas piring.

Gue mendongak, menatap ke arah Muthia, lalu kemudian memberikan sebuah senyum simpul
yang sangat gue paksakan. "Udah kenyang Mut." Entah akan ada berapa banyak lagi alasan
yang akan gue keluarkan demi menutupi sebuah perasaan sakit yang bergejolak di dalam dada
gue...

***
Pak Thomas ternyata harus kembali lagi ke kantor secepatnya karena beliau harus mengikuti
sebuah rapat mendadak, sementara Muthia harus tetap berada di sini karena dia akan
membicarakan beberapa poin mengenai kontrak bersama gue dan Lia sebagai perwakilan dari
bank yang sekaligus menggantikan peran pak Thomas. Lalu coba tebak, siapa yang datang
setelah pak Thomas pergi?

Ya. Siapa lagi selain Frandias?

Pemandangan di depan mata gue kini telah berubah total menjadi tidak menarik. Bagaimana
tidak? Frandias memposisikan kursinya sangat dekat sekali kepada Muthia dan itu membuat gue
semakin merasa tidak nyaman berlama-lama di sini. Mungkin hal itu terlihat wajar di mata
mereka karena mereka berdua berpacaran, tetapi gue-lah yang bersikap tidak wajar karena gue
telah menyimpan perasaan kepada seseorang yang jelas-jelas telah memiliki kekasih. Gue tahu
bahwa gue yang salah dan seharusnya gue juga dapat menahan perasaan kepada Muthia,
namun hati gue tidak bisa berbohong mengenai perasaan ini. Gue memang telah menyukai
Muthia semenjak pertama kalinya kami berdua bertemu.

"Mas Bayu sama Frandias jadi saksi penandatanganan kontrak ya." Ujar Lia kepada gue, yang
gue balas dengan senyum kecil sambil mengangguk pelan.

"Oke." Jawab Frandias. "Mut, sekarang kamu pulang sama siapa? Pak Thomas kan udah pulang
duluan. Sama aku aja ya?"

"Aku pulang pake taksi aja deh, kan tadi juga kesininya pake mobil kantor."

"Atau mau bareng sama kita aja Mut?" Tanya Lia tiba-tiba.

"Eh, ga usah mbak." Muthia menggeleng. "Mbak sama Bayu harus balik lagi ke kantor kan?"
"Ga apa-apa kok, kita kan bisa nge-drop off kamu." Ujar Lia sambil tersenyum lalu kemudian dia
menyikut lengan gue. "Iya nggak mas Bayu?"

"Eh, hehe, iya." Jawab gue dengan malas.

"Udah deh mbak, biar Muthia sama aku aja."

Lia menatap Frandias sekilas, lalu kemudian menoleh ke arah Muthia. "Kamu ga apa-apa Mut
kalo pulang sama Frandias?"

Muthia memberikan senyuman manisnya seraya menjawab pertanyaan Lia. "Iya mbak, ga apa-
apa kok."

"Yaudah yuk mas Bayu, kita balik lagi ke kantor sekarang." Lia mengajak gue seraya berdiri
sambil menarik ke bawah blazer yang ia kenakan.

Setelah gue merapikan laptop beserta seluruh berkas-berkasnya, kemudian gue mengulurkan
tangan kepada Frandias. "Makasih ya mas."

"Sama-sama mas." Frandias menerima jabat tangan gue sambil tersenyum sumringah. "Makasih
juga udah mampir. Sering-sering lah ngopi disini, nanti saya kasih diskon."

Gue menaikkan bibir sebelah kanan. "Iya mas, insyaallah." Lalu kemudian gue beralih kepada
Muthia dan kembali menjabat tangan yang permukaannya terasa sangat halus sekali. "Makasih
ya Mut."

"Sama-sama Bay." Jawabnya singkat, dan tidak lupa juga dia menjawab gue sambil
menyunggingkan senyuman pada bibirnya, menyunginggkan sebuah senyuman yang akan
selalu melekat di dalam pikiran gue.

***

Selama di perjalanan pulang gue hanya bisa duduk bersandar sambil memandangi butir-butir air
hujan yang menempel pada kaca. Sedari tadi ternyata hujan masih mengguyur walaupun
intensitasnya tidak bertambah. Namun entah kenapa, sudah terbilang dua kali hujan mengguyur
bumi ketika gue sedang mengalami sebuah momen yang buruk, sebuah momen yang membuat
gue down, seolah-olah dunia ini sangat mendukung sekali agar momen yang menyesakkan dada
tersebut terjadi.

"Kok diem aja mas daritadi?" Lia memecahkan lamunan gue. "Nggak kayak waktu kita berangkat
ke sana, nggak keliatan lagi semangatnya."

"Eh..." Gue menoleh sambil membenarkan posisi duduk. "Iya mbak, mungkin saya kecapean.
Kurang tidur gara-gara bikin slide presentasi tadi malem."

Lia menyimpan smartphonenya lalu kemudian menatap gue dalam-dalam. "Yakin gara-gara
kecapean? Bukan gara-gara hal lain?"

Gue tersenyum lalu mengagguk. "Iya mbak, yakin."


"Yang bener? Bukan gara-gara Muthia sama Frandias kan?" Deg! Apa ekspresi cemburu gue itu
sangat terlihat jelas sekali di mata Lia?

Kemudian gue menggeleng pelan sambil memalingkan wajah. "Bukan." Jawab gue.

"Ooh dikirain..."

Gue melipat tangan di atas perut, lalu kemudian memalingkan kepala ke arah jendela sambil
melihat mobil-mobil yang melintas cepat walaupun agak samar-samar terlihat karena sedikit
terhalangi oleh butiran air yang menempel pada kaca. Entahlah, gue hanya berpikir bahwa hidup
gue sangat membosankan dan sangat tidak menarik sekali. Pada umur gue saat ini seharusnya
gue sudah memiliki seorang calon pendamping hidup yang telah dikenalkan kepada orang tua
gue. Tapi tunggu, calon? Pacaran aja gue belum pernah! Lalu bagaimana caranya agar gue bisa
mendapatkan calon pendamping hidup? Gue hanya bisa menggeleng pasrah mengenai ini.

Selain itu, gue juga sering berpikir bahwa peran gue di dalam dunia ini hanyalah sebagai
'pemanis' dari peran utama yang dimainkan oleh orang lain, bukan gue. Ada yang memang telah
terlahir sebagai karakter utama dan ada juga yang hanya terlahir sebagai figuran seperti gue.
Inilah yang disebut dengan teater dunia. Welcome to the theatre of the world, theatrum orbis
terrarum.

Gue kemudian menghela nafas panjang, sebelum pada akhirnya gue memejamkan mata untuk
sejenak.

***

You gonna wake up each Monday morning


With no desire to sleep through the evening
You know your life is nothing
But boring you know

But life just works that way


I guess I'm happy
I'm sitting around my desk all day

But life just works that way


Said Mr. Peterson son

But life don't work that way


I'm sick and tired
Of excuses that I've made all day

But life don't work that way


Said Mr. Peterson son

Jed Appleton - Mr. Peterson


Clue?

Gue berlari-lari kecil memasuki sebuah minimarket sambil menutupi kepala dengan telapak
tangan untuk menghindari gerimis yang mulai turun secara perlahan. Setelah gue mendapatkan
sapaan hangat khas yang dilontarkan oleh kasir, gue langsung berjalan menuju rak yang
menyediakan beraneka ragam makanan ringan beserta minuman yang tersimpan rapi di dalam
lemari pendingin. Di saat gue sedang menimang-nimang makanan apa saja yang akan gue beli,
tiba-tiba saja Blackberry di dalam saku celana pendek gue bergetar yang menandakan bahwa
ada sebuah notifikasi chat yang masuk.

"Pembalut gue jangan lupaaaaa."

Selang beberapa saat kemudian, Blackberry gue kembali bergetar dan Sita kembali
mengirimkan sebuah chat yang berisi gambar dari pembalut yang sering ia gunakan. Gue
mengusap wajah, lalu kemudian menggeleng pelan sambil membawa keranjang yang sudah
terisi oleh makanan ringan dan berjalan menuju rak yang menyediakan segala tetek bengek
mengenai peralatan wanita.

Gue berjongkok di samping keranjang sambil memilih-milih jenis pembalut apa yang terlihat
sama persis dengan gambar pada handphone, sebelum pada akhirnya gue memasukkan
pembalut tersebut ke dalam keranjang dan langsung berjalan menuju kasir sambil mencoba
untuk tidak mempedulikan beberapa tatapan aneh yang melihat ke arah gue.

Langit sore hari ini masih terlihat mendung dan hujan juga masih tetap mengguyur bumi dengan
intensitas yang terbilang kecil. Gue kembali menutupi kepala dengan sebelah tangan, lalu
kemudian gue berjalan cepat menuju jajaran tenda yang menjual beraneka ragam makanan
seperti nasi goreng, pecel lele, soto madura, dan lain sebagainya. Pilihan gue kali ini jatuh
kepada seporsi pecel lele beserta kol goreng, tidak lupa juga gue membeli seporsi nasi goreng
untuk Sita.

***

"Pantes ya laki elo nggak kesini." Ujar gue kepada Sita yang sedang memakan nasi goreng
sambil duduk bersila di atas karpet di dalam kamarnya.

Sita menoleh kepada gue yang sedang menyandarkan bahu kepada kusen pintu, kemudian dia
mengkerutkan keningnya. "Kenapa emang?"

"Noh liat tuh." Gue menunjuk ke arah pembalut yang barusan gue beli dengan menggunakan
dagu. "Elo lagi dapet gini mah ga bisa maen sama dia, iya kan?"

Sekonyong-konyong Sita langsung menahan tawa hingga pipinya terlihat menggembung.


"Cowok gue emang lagi gak akan kesini walaupun gue lagi ga dapet juga Bey."
"Tumben. Kenapa? Lagi berantem lo berdua?"

Air wajah Sita seketika berubah. Senyum yang sebelumnya terlihat pada bibirnya, kini telah
menghilang dan kemudian digantikan oleh sebuah ekspresi wajah yang terlihat datar. Kemudian
Sita menyimpan piring berisi nasi goreng yang masih tersisa banyak di atas lantai, lalu kemudian
dia menghela nafas pelan. "Gue ga tau Bey..." Sita menggeleng. "Akhir-akhir ini gue sama
cowok gue emang lagi renggang."

"Renggang? Renggang gimana?" Ujar gue sambil berjalan dan duduk bersandar pada dinding di
seberang Sita.

"Gue ngerasa kalo cowok gue tuh pengen diperhatiin banget, tapi dia jarang merhatiin gue. Ga
pernah malah, kayak yang udah ga peduli lagi sama gue."

"..."

"Gue tau kalo dia itu emang lagi sibuk sama kerjaannya. Hampir tiap hari pulangnya malem terus
sampe-sampe say hi sama gue pun dia jarang. Pasti harus gue terus yang chat dia duluan. Kalo
gak digituin, pasti dia ga akan pernah nge-chat gue."

"..."

Kemudian Sita sedikit menundukkan kepala hingga rambut hitamnya terjatuh dan menutupi
kedua belah pipinya. Sita terdiam sebentar, sebelum pada akhirnya dia berbicara dengan pelan.
"Apa mungkin dia punya cewek lain ya?"

"Wow, tunggu dulu." Gue langsung mengangkat telapak tangan yang membuat Sita menoleh ke
arah gue. "Lo jangan berpikir ke sana dulu Sit. Gue bukannya mau ngebela dia atau gimana, tapi
mungkin dia emang bener-bener sibuk sama kerjaan dia. Toh kalo dia berhasil juga kan ujung-
ujungnya buat masa depan elo berdua."

"Emang sih bener apa kata lo tadi..." Sita menyibak rambut dan menyimpan di balik telinganya
sambil menoleh ke arah lain. "Mungkin lo belum pernah tau hal ini, tapi feeling cewek itu
biasanya gak pernah meleset Bey."

"..."

"Cewek itu orangnya perasa, intuisinya kuat banget sama hal-hal sensitif kayak gini."

"Oh jadi elo itu cewek ya Sit? Baru tau gue." Ujar gue dengan cuek sambil memalingkan
pandangan.

"Iiih Bayuuu!" Sita melempar gue dengan kerupuk sambil sedikit tertawa. "Kalo gue bukan
cewek, terus waktu kemaren di kamer elo itu kita ngapain? Elo mahoan gitu sama gue?"

"Ya gak gitu juga kali Sit." Gue terkekeh pelan. "Nih, gue mau coba tanya satu hal sama elo, kalo
misalkan ternyata dugaan elo itu bener, apa yang bakal lo lakuin? Mutusin dia?"

Sita menarik nafas dalam-dalam, dan kemudian dia menghelanya secara perlahan. "Gue gak tau
Bey." Sita menggeleng. "Di satu sisi, gue masih sayang banget sama dia. Tapi di satu sisi yang
lain, hati gue udah capek sama dia."

"..."

"Banyak banget pertimbangan yang harus gue pikir ulang kalo misalkan gue memang bener-
bener mau putus sama dia. Ga gampang Bey buat mertahanin hubungan ini. Banyak banget
cobaan-cobaannya."

Gue memiringkan kepala. "Maksudnya?"

"Tiga taun lebih gue jalan bareng sama dia. Gue sama dia udah ngelewatin berbagai macam hal
bareng-bareng. Dan mungkin ini masa paling berat buat kami berdua, masa dimana gue udah
mulai jenuh sama keadaan yang sekarang."

"..."

"Terlebih saat ini gue lagi nyusun skripsi. Gue ga yakin semangat ngerjain skripsi kalo misalkan
gue putus sama dia, karena dia satu-satunya orang yang selalu jadi motivasi gue buat ngerjain
skripsi ini."

"..."

"Tapi sekarang gue juga udah mulai gak semangat ngerjainnya. Penyemangat hidup gue udah
mulai ga bisa bikin gue semangat lagi." Beberapa saat kami berdua terdiam, sebelum pada
akhirnya Sita menatap gue sambil memasang sebuah senyuman kecil pada bibirnya. "Elo enak
ya Bey ga terikat hubungan sama siapa-siapa, elo bebas mau ngapain aja seenak jidat lo, ga
usah mikirin hal-hal lain selain diri lo sendiri. Nggak kayak gue, sedikit-sedikit pasti galau mikirin
dia."

"Sit..." Gue menghela nafas lalu kemudian gue memposisikan diri untuk duduk di sampingnya.
"Mungkin elo gak tau aja masalah gue kayak gimana. Ya contohnya aja kemaren, cewek yang
gue suka ternyata udah punya cowok yang tajir banget." Gue menundukkan kepala sambil
terkekeh pelan. "Gue memang gak akan pernah tau apa yang bakal terjadi selanjutnya di antara
elo dan cowok elo, tapi semua itu terjadi karena sebuah alasan. Entah apakah alasan itu dapat
diterima ataupun tidak, tapi gue yakin, itu yang terbaik buat jalan hidup elo ke depannya."

"..."

"Sama halnya kayak gue." Gue mendongak lalu kemudian menatap ke arah langit-langit kamar
yang berwarna biru laut, sebuah warna kesukaan Sita. "Gue bisa kenal sama Muthia dan
mengetahui sedikit seluk beluk kehidupannya hingga membuat hati gue sedikit sakit, pasti
karena sebuah alasan." Gue mengangkat bahu. "Yaaa, walaupun sampe sekarang gue juga
belum tau apa alasannya."

"Bey, gue boleh nebak?"

Gue menurunkan pandangan dan kembali menatap ke arah Sita. "Nebak apaan?"

"Lo pernah mikir ga sih, kalo kita berdua itu akhir-akhir ini jadi makin deket?"
"..."

"Lo juga pernah mikir ga, dari setiap cerita-cerita elo tentang Muthia yang ngebikin elo sakit, dari
setiap segala curhatan gue tentang cowok gue, bisa ngebuat kita berdua semakin deket?"

Made My Day

Entah apa karena mereka semua mengobrol dengan suara yang cukup keras hingga terdengar
oleh telinga gue, suasana di dalam ruangan ini terasa menjadi lebih hidup dari biasanya. Seluruh
karyawan kantor memang sedang bersuka cita karena target pemasukan dapat tercapai lebih
cepat dari jadwal yang telah ditetapkan, dan itu berarti kami semua akan mendapatkan bonus
yang lumayan menggiurkan. Gue menopang dagu dengan menggunakan kedua punggung
tangan yang bertumpu pada meja, lalu kemudian tersenyum kecil sambil menatap screensaver
yang bergerak-gerak pada monitor.

"Bey!" Sebuah suara membuyarkan lamunan gue. Gue pun menoleh ke kiri dan mendapati
Fahmi, rekan kerja yang berada di dalam satu ruangan yang sama dengan gue, sedang berdiri
sambil menyandarkan lengannya pada dinding cubicle. "Thank you banget! Gara-gara nego elo
sama bank kemaren berhasil, sekarang kita jadi dapet bonus!" Ujarnya sambil cengengesan.

Gue menggosok-gosok hidung sambil tertawa kecil. "Kan itu juga dibantu sama anak-anak. Kalo
gue ga dibantu sama mereka, mungkin gue ga bisa ngasih laporan keuangan yang bener buat
pak Kumis. Terus kalo laporan kita ga bener, mungkin juga gue gak akan pernah nego sama
bank."

"Oh iya!" Ekspresi wajah Fahmi langsung terlihat seperti menyadari sesuatu. "Ngomong-
ngomong tentang si Kumis, barusan elo dipanggil ke ruangannya tuh."

Gue mengkerutkan kening. "Ada apaan?"

Fahmi menaikkan bahu sambil mengerlingkan matanya. "Kesana aja gih, barangkali aja elo
bakal dapet bonus tambahan." Lanjutnya sambil tertawa, lalu kemudian dia berlalu dari meja
kerja gue. Setelah Fahmi pergi, gue bangkit berdiri dan berjalan menuju ruangan pak Wisnu
sambil sedikit berharap bahwa gue akan mendapatkan bonus tambahan darinya.

***

"Gue bingung nih Sit..." Ujar gue kepada Sita sambil berkacak pinggang di depan lemari.

"Bingung kenapa?"

"Minggu depan gue ada acara sama atasan kantor nih, terus gue bingung harus pake baju apa."
Gue ternyata diajak oleh pak Wisnu untuk menghadiri sebuah acara dinner untuk merayakan
tembusnya target kantor. Masing-masing dari divisi di kantor gue telah mendapatkan undangan
tersebut, dan gue bersama Lia juga diundang sebagai perwakilan dari divisi tempat dimana gue
bekerja.

Gue mendengar suara decit tempat tidur dari belakang punggung, lalu beberapa saat kemudian
Sita telah berdiri di samping gue dan dia ikut-ikutan berkacak pinggang. "Acaranya formal atau
informal?"

"Semi formal."

"Hmmm..." Sita melangkah ke depan dan mulai memilah-milah isi lemari. "Ga punya kemeja
putih yang bagusan dikit apa Bey?"

Gue menggeleng. "Nggak, gue ga pernah beli kemeja lagi. Itu aja kemeja bekas sidang kuliah
gue dulu." Ujar gue sambil menunjuk ke arah kemeja yang sedang dipegang oleh Sita.

"Ya ampuuun..." Sekonyong-konyong Sita menoleh sambil memasang ekspresi tidak percaya.
"Gak salah lo Bey? Berapa taun yang lalu itu?"

Gue mengangkat bahu sambil menghirup udara dalam-dalam, lalu gue menghembuskannya
dengan cepat. "Gatau."

"Udah deh..." Sita melempar kemeja tersebut ke atas kasur. "Lo ada duit kan? Pasti banyak duit
lah ya elo mah."

"Buat apaan?"

"Beli kemeja baru lah! Buat apaan lagi emang?" Ujarnya berapi-api. "Sekarang lo ganti baju
sana, gue juga ganti baju dulu. Kita ke mall!"

***

Malam ini merupakan sebuah malam minggu yang pertama bagi gue, setelah sekian lamanya
gue tidak malam mingguan keluar bersama seorang cewek. Setelah melewati perjalanan yang
terasa panjang sekali karena Sita yang selalu ngedumel dengan gaya gue dalam berkendara
yang terkesan ugal-ugalan, akhirnya kami berdua dapat dengan selamat sampai pada sebuah
pusat perbelajaan tempat tujuan kami berada.

Sita menyerahkan helm yang ia kenakan kepada gue, lalu kemudian dia merapikan rambut
panjangnya di depan kaca spion motor. Gue memperhatikan Sita dari samping dan gue baru
saja menyadari bahwa Sita memang terlihat sangat cantik sekali jika telah berdandan rapi seperti
ini.

Rok span abu-abu selutut yang dipadukan dengan kemeja biru tua berlengan pendek itu terlihat
sangat pas sekali pada badannya yang proporsional. Tidak lupa juga, wedges putih beserta tas
selendang dengan strap tipis yang tersampir pada bahu kanannya telah menambah kesan cantik
yang melekat pada dirinya. Sesaat gue terpana akan gaya penampilan Sita yang terbilang
sangat modis, sebelum pada akhirnya lamunan gue terbuyar ketika Sita menatap gue dengan
aneh.
"Bey? Kesambet lo?" Ujar Sita sambil memiringkan kepala sehingga rambut hitamnya yang kini
telah sedikit curly pada ujungnya menjuntai ke samping. Indah sekali.

Gue mengangkat alis sambil menggeleng pelan. "Enggak. Yuk masuk, keburu malem." Ajak gue.

"Santai aja kali Bey, lagian ini kan malem minggu."

Gue hanya bisa garuk-garuk pelipis dalam menanggapi hal tersebut. Kami berdua masuk dan
berjalan secara berdampingan di dalam pusat perbelanjaan ini layaknya sepasang kekasih.
Namun bedanya, kami berdua hanyaberjalan secara bersisian dan tidak berpegangan tangan
ataupun berangkulan seperti pasangan-pasangan lainnya. Lalu pada saat kami berdua tiba di
lantai dua, Sita menunjuk ke arah sebuah tenant yang menjual beraneka ragam men's
stuff. Mulai dari kemeja hingga jas hitam ala kantoran, semuanya lengkap tersedia disini.

"Ayo Bey! Gue udah punya pilihan kemeja buat elo!" Ujarnya dengan semangat sambil berjalan
cepat masuk ke dalam toko tersebut dan meninggalkan gue yang masih berdiri beberapa
langkah di belakangnya. Gue mematung sebentar, memperhatikan setelan gue yang terkesan
'cuek' dan sangat terlihat tidak cocok sekali untuk berada di dalam toko tersebut, sebelum pada
akhirnya gue berjalan santai memasuki toko yang telah dimasuki oleh Sita.

Terlihat Sita sedang memilah-milah beberapa kemeja berlengan panjang beraneka warna yang
terletak di salah satu sudut toko. Lalu beberapa saat kemudian, Sita mengambil sebuah kemeja
berwarna merah marun dan dia melihatnya secara sekilas. "Mana coba puter punggung lo." Sita
menyuruh gue untuk memutar punggung, lalu kemudian dia mencocokkan kemeja yang sedang
ia pegang dengan ukuran badan gue. "Cocok nih sama badan lo, suka gak sama warnanya?"

Gue kembali membalikkan badan lalu mengambil kemeja tersebut dari tangan Sita dan
melihatnya secara teliti. "Ada warna lain yang lebih cocok sama gue ga? Warna yang lebih gelap
gitu."

"Bentar..." Sita kemudian memilah-milah kembali kemeja di depannya. "Yang ini gimana?" Tanya
Sita sambil mengangkat sebuah kemeja pada tangannya.

"Hmmm..." Gue memegang dagu, mencoba menilai-nilai apakah kemeja hitam ini cocok pada
tubuh gue atau tidak. "Gue ke fitting room dulu bentar ya?"

"Oke."

Gue mengambil kemeja tersebut dari tangan Sita lalu kemudian gue berjalan ke arah fitting room
setelah diberi arahan oleh si pramuniaga. Di dalam fitting room, gue melepaskan jaket kulit
cokelat kesayangan dan menggantungkannya, lalu kemudian gue mendobel kaos oblong yang
gue kenakan dengan kemeja yang barusan diberikan oleh Sita.

Setelah dirasa bahwa penampilan gue di depan cermin terlihat cukup oke, gue kemudian
berjalan keluar dan kembali menuju tempat dimana Sita berada. "Gimana?" Gue menanyakan
pendapat Sita sambil memutar badan di depannya.

Sita tidak menjawabnya. Dia hanya memberikan sebuah seringai lebar, lalu kemudian dia
mengacungkan jempolnya seraya memberikan sebuah knit berwarna cokelat muda. "Dobel nih,
bagus sama kemeja lo."
Sambil tertawa gue menerima dan langsung mengenakan knit tersebut di depan Sita. "Gimana?
Bagus ga?"

Sita mendekat ke arah gue, lalu kemudian dia merapikan kerah yang agak sedikit acak-acakan.
"Nah, ganteng deeeh." Ujar Sita sambil memberikan sebuah senyum sumringah. Lalu secara
naluriah, gue menjulurkan tangan dan mengacak-acak gemas rambutnya yang terlihat mengkilap
keemasan karena diterpa oleh lampu penerangan di atas kepalanya.

***

Every night
Every night we goin hard until we see the light
If you sexy you and me tonight
Me tonight
We goin' hard until we see the light

Far East Movement - Show Me Love

Girl Next Door

Gue duduk bersandar atas kasur sambil memangku laptop dan menghiraukan beberapa
notifikasi chat dari Blackberry gue yang tersimpan di samping bantal. Saat ini, gue memang
sedang menonton sebuah film yang sebelumnya telah tayang pada bioskop tetapi gue tidak
sempat untuk menontonnya karena jadwal lembur yang terbilang cukup padat. Di saat gue
sedang asyik-asyiknya menonton, tiba-tiba saja pintu kamar gue terbuka dan kemudian muncul
seekor lelembut dari penghuni kamar sebelah, yaitu Sita.

"BM gue bales kek!" Ujar Sita dengan ketus.

"..." Gue hanya melirikkan mata kepadanya, lalu kemudian gue kembali memfokuskan
pandangan pada laptop.

Mungkin karena merasa dihiraukan oleh gue, Sita berjalan mendekat ke arah gue lalu kemudian
dia berjongkok di samping tempat tidur sambil melipat tangannya di atas lutut. "Nonton apaan sih
Bey? Serius banget."

"Film."

"Film apaan?"

Gue menggeleng. "Au..."

Di saat perhatian gue sedang lengah karena terlalu fokus kepada film, tiba-tiba saja Sita
mengambil Blackberry gue dan dia mengotak-atiknya tanpa seizin gue. "Eh Bey! Liat nih! Muthia
nge-BM elo!"

Setelah mendengar perkataan tersebut, gue langsung menolehkan kepala dengan gerakan
cepat sambil memasang ekspresi tidak percaya. "Seriusan lo Sit?!" Sekonyong-konyong gue
kemudian langsung merebut handphone tersebut dari tangan Sita untuk mengeceknya sendiri.

"Nah kaaan! Giliran gue bilang Muthia aja, baru di cek sama elo." Ujar Sita sambil menunjuk gue
dengan telunjuknya.

"Ah parah lo!" Gue mendengus kesal setelah mengetahui bahwa Muthia sama sekali tidak men-
chat gue.

"HAHAHA!" Sita tertawa dengan sangat keras sekali tanpa menyadari bahwa gue kini sedang
menatap kedua matanya lekat-lekat. "Mmm, Bey?" Tiba-tiba saja Sita terdiam setelah dia
menyadarinya. Saat ini, gue memang sedang memberikan sebuah tatapan yang selalu bisa
membuatnya mati kutu. Kami berdua saling bertatapan untuk beberapa saat, sebelum pada
akhirnya Sita menyerah dan dia mendorong pipi gue dengan lembut. "Aaah, Beeey, jangan
ngeliatin gue kayak gitu ah!" Ujarnya manja.

"Hahaha..." Gue tertawa pelan. "Kenapa sih tiap gue ngeliatin elo dengan tatapan yang kayak
gitu, elo keliatan kayak yang ga nyaman banget?"

"Gue tuh emang risih kalo diliatin kayak gitu sama elo, tau ga?!"

"Risih?" Gue mengangkat alis. "Risih apa salting niiih?" Goda gue.

"Salto aja sekalian!" Ujarnya dengan nada tinggi sambil mengibaskan tangan di udara yang
membuat gue kembali tertawa.

Gue membenarkan posisi duduk untuk kembali melanjutkan acara menonton film yang
sebelumnya sempat tertunda, sementara Sita duduk bersila di samping kasur sambil memainkan
handphone pada tangannya. Untuk beberapa saat gue masih dapat mengikuti jalan cerita yang
terdapat di dalam film, sebelum pada akhirnya pikiran gue terbuyar ketika Sita dengan secara
tidak sengaja menyenggol lengan kanan gue yang membuat gue menoleh.

Terlihat Sita sedang melepaskan gelungan pada rambutnya dengan perlahan sehingga kini
rambut hitamnya jatuh menjuntai dan menutupi sebelah lehernya yang jenjang. Wangi harum
shampoo yang digunakan oleh Sita pun tercium oleh indera penciuman gue ketika dia sedang
mengibas dan merapikan rambutnya yang terlihat sedikit acak-acakan dengan menggunakan
jemari tangan, namun hal tersebut malah terlihat sexy di mata gue. Mau tidak mau, gue pun
harus mengakui bahwa gue merasa sedikit turned on karenanya.

"Sit..." Ujar gue pelan.

"Ya?" Sita menoleh pelan sambil memiringkan kepalanya, dan gue juga melihat bahwa kelima
jari tangannya masih berada di antara rambut hitamnya yang panjang.

"Lo gak takut gue apa-apain apa?"

"Ah elo doang mah mana berani macem-macem sama gue? Waktu kemaren aja ga berani
dilanjutin, iya kan?!" Ujarnya sambil memeletkan lidah.

"Terserah elo deh..." Gue mendengus pelan. Entah kenapa, kemudian tiba-tiba saja gue teringat
akan sebuah hal yang ingin gue tanyakan kepada Sita. "Eh iya Sit, gue mau nanya..."

"Tanya apa Bey?"

Gue menyingkirkan laptop, dan kemudian gue turun dari atas kasur untuk duduk bersila di
depannya. "Kabar lo sama cowok lo gimana?"
Sita tidak menjawab pertanyaan gue secara langsung. Dia hanya memainkan bibirnya sebentar,
lalu kemudian Sita melipat dan memeluk kedua kakinya sambil menatap gue dengan sayu. "Ga
tau Bey..." Sita menggeleng. "Jangan bahas itu dulu ya? Please?"

"Ooh, oke." Gue mengangguk pelan sambil memalingkan kepala. Paham. Untuk menghindari
suasana yang tiba-tiba saja menjadi canggung seperti ini, gue kemudian mencoba untuk
mencairkan suasana dengan cara mengajak Sita untuk pergi ke acara kantor yang akan
dilaksanakan dalam beberapa hari lagi. "Sit?"

"Hmmm?"

"Sabtu nanti..." Gue menolehkan kepala untuk menatap wajahnya secara perlahan. "...elo
kosong kan? Ga ada jadwal apa-apa?"

"Kenapa?" Ujarnya sambil memasang wajah penasaran. "Mau ngajak gue malem mingguan
lagi?"

"Yeee!" Gue menoyor kening Sita dengan menggunakan telunjuk. "Mau pergi sama gue?"

"Kemana?"

"Gue mau ajak elo ke acara kantor gue, lo mau ikut?"

Ekspresi wajah Sita yang sebelumnya terlihat murung, seketika berubah menjadi sebuah
ekspresi yang terlihat sangat antusias sekali. Kedua matanya terlihat lebih berbinar dari
sebelumnya, memperlihatkan sebuah harapan yang tergambar jelas pada kedua matanya. Lalu
kemudian Sita bangkit dan berdiri di depan gue dengan menggunakan kedua lututnya sambil
memegang kedua pundak gue. "Beneran Bey?"

Gue mengangguk pelan sambil tersenyum. "Iya, lo mau ikut?"

Senyuman Sita semakin merekah lebar. Senyumannya terlihat persis seperti seorang anak kecil
yang baru saja mendapatkan sebuah permen lolipop pertama di dalam hidupnya. Lalu kemudian
Sita tertawa kecil, dan dia menganggukkan kepala dengan antusias.

***
Gue berdiri di depan cermin sambil mengancingkan kancing terakhir pada kemeja hitam yang
telah gue beli minggu kemarin bersama Sita, lalu kemudian gue mengambil sebuah dasi
berwarna merah dari dalam laci untuk gue kenakan. Setelah dirasa cukup pas, gue menarik
ujung dasi yang berbentuk kecil untuk mengencangkannya, dan kemudian gue juga merapikan
sedikit bagian dari dasi yang berbentuk segi tiga agar terlihat lebih simetris.

Dasi pun telah terpasang dengan rapi, lalu pada akhirnya gue mengenakan knit berwarna
cokelat terang yang juga sebelumnya telah gue beli bersama Sita. Gue menarik ujung knit
hingga sebatas panggul agar tidak terlihat kusut, lalu kemudian gue mundur beberapa langkah
untuk melihat penampilan gue di depan cermin.

Kemeja hitam yang kerahnya mencuat dari balik knit, ditambah dengan dasi berwarna merah
sebagai penghias serta celana jeans abu-abu yang gue kenakan ini sudah terlihat matching di
depan cermin. Sebagai sentuhan terakhir, gue mengenakan jam tangan Seiko Diver pada
pergelangan tangan kiri, lalu kemudian gue mengambil sepatu Adidas Stan Smith putih dari
dalam kotak dan mengenakannya di dalam kamar.

Setelah selesai mengenakan sepatu, gue menyemprot parfum di sekitar leher dan melirik ke
arah jam di dinding yang kini menunjukkan pukul tujuh kurang. Gue pun bangkit berdiri, berjalan
keluar kamar, lalu kemudiang gue menghampiri kamar Sita yang masih tertutup rapat.

Tok...tok...tok...

Gue mengetuk pintu kamarnya dengan perlahan. "Sit...?" Panggil gue kepada Sita. Beberapa
saat gue menunggu pintu untuk dibukakan olehnya, sebelum pada akhirnya pintu di depan wajah
gue terbuka dan gue melihat ada seorang Sita yang terlihat sangat berbeda jauh dari
sebelumnya, sedang berdiri di depan gue.
"Bey? Gimana penampilan gue sekarang?" Tanya Sita.

Gue menaikkan bibir sebelah kanan, lalu kemudian gue hanya bisa menggeleng sambil
bergumam pelan. "Woaw..."

***

Well I've seen you in jeans


With no make-up on
And I've stood there in awe
As your date for the prom

I'm blessed as a man


To have seen you in white
But I've never seen anything
Quite like you tonight

The Script - Never Seen Anything "Quite Like You"

Awesome Night

"Jadi berapa pak pas-nya?" Tanya gue tanpa menoleh kepada seorang bapak-bapak berumur
sekitar empat puluh tahunan sambil melihat dan mengelus kap dari sebuah mobil bertipe city car.
Dari sekian banyak mobil yang terjejer dengan rapi, hati gue lebih memilih untuk menggunakan
mobil ini dibandingkan dengan yang lain, seolah-olah mobil tersebut telah mengetuk pintu hati
gue agar mau terbuka untuknya.

Lalu kemudian ada sebuah suara berat yang menjawab pertanyaan gue. "Lima ratus ribu buat
dua puluh empat jam, sudah harga pas mas..." Ujar si bapak. Pada hari Sabtu siang ini, gue
memang sedang bernegosiasi harga dengan beliau untuk menyewa mobil tersebut, yang pada
nantinya mobil itu akan gue gunakan untuk pergi ke acara dinner malam nanti. Gue kemudian
beralih dari kap menuju pintu kemudi untuk membuka dan melihat-lihat isinya.

Interior dari mobil ini ternyata terlihat oke, cukup terawat dengan baik, dan ini juga menjadi
sebuah nilai lebih yang membuat gue semakin ingin menyewanya. Gue melipat tangan di depan
dada sambil melihat ke arah kemudi, lalu gue berpikir untuk beberapa saat mengenai harga yang
ditawarkan oleh si bapak, dan pada akhirnya gue menoleh ke arah beliau seraya
menganggukkan kepala dengan mantap. "Oke deh pak. Saya ambil."

***

Setelah selesai mengenakan sepatu, gue menyemprot parfum di sekitar leher dan melirik ke
arah jam di dinding yang kini menunjukkan pukul tujuh kurang. Gue pun bangkit berdiri, berjalan
keluar kamar, lalu kemudian gue menghampiri kamar Sita yang masih tertutup rapat.

Tok...tok...tok...

Gue mengetuk pintu kamarnya dengan perlahan. "Sit...?" Panggil gue kepada Sita. Beberapa
saat gue menunggu pintu untuk dibukakan olehnya, sebelum pada akhirnya pintu di depan wajah
gue terbuka dan gue melihat ada seorang Sita yang terlihat sangat berbeda jauh dari
sebelumnya, sedang berdiri di depan gue.

"Bey? Gimana penampilan gue sekarang?" Tanya Sita.

Gue menaikkan bibir sebelah kanan, lalu kemudian gue hanya bisa menggeleng sambil
bergumam pelan. "Woaw..."

"Bey, 'woaw'-nya itu buat apa? Bagus apa jelek?"

Gue tersenyum lebar, bahkan sangat lebar sekali, hingga gue dapat merasakan bahwa kedua
mata gue ikut menyipit. "Perfect!" Ujar gue sambil membuat lingkaran dengan ibu jari dan
telunjuk. Perkataan gue itu ternyata membuat Sita ikut tersenyum dengan lebar, lalu kemudian
dia kembali masuk ke dalam untuk mengambil tas kecil miliknya.

Apakah kalian semua pernah, melihat seorang cewek cantik yang mengenakan sebuah dress
ketat se-paha berwarna biru navy, yang pada bagian pundaknya terbuka lebar tanpa ada
sesuatu yang menutupinya selain rambut panjang yang hitam dan bergelombang? Kalo gue,
pernah. Penampilan Sita pada malam hari ini memang terlihat sangat perfect sekali. Make up
dengan perona pada pipinya, lipstick merahnya yang terlihat glossy, semuanya telah membuat
Sita tampak berkali-kali lipat menjadi lebih cantik dari biasanya.

"Yuk." Ajak gue kepada Sita.

"Tunggu dulu Bey." Sita menahan lengan gue. "Bunga buat gue mana?"

Gue menoleh sambil mengkerutkan kening. "Bunga?"

"Iya, bunga." Sita mengangguk antusias.

"Buat?"

"Cowok kalo ngedate itu harusnya bawa bunga buat ceweknya Bey." Ujar Sita.

"Yaelah ngedate apaan? Kita cuman pergi ke acara dinner kantor ini, lagian elo juga bukan
cewek gue."

"Walaupun gue bukan cewek elo, tapi ini kan acara dinner, nah elo tuh harus bisa romantis dikit
sama gue."

"Romantis pala lo peyang! Udah ah ayo, entar keburu macet di jalan."

"Ga asik banget lo jadi cowok, pantesan aja jomblo dari lahir." Ujarnya dengan nada yang
mengejek, lalu kemudian kami berdua berjalan menuruni anak tangga.

Sesampainya di halaman kostan, Sita seakan tidak percaya ketika gue memencet tombol alarm
mobil. Dia mematung sebentar, lalu kemudian dia berjalan dengan pelan dan masuk ke dalam
pintu samping setelah gue panggil. "Sejak kapan lo punya mobil Bey?" Sita bertanya ketika kami
berdua telah berada di atas jalanan yang cukup ramai oleh pasangan muda-mudi yang terlihat
berboncengan mesra di atas motor.

"Sejak tadi siang." Jawab gue tanpa menoleh dan tetap fokus kepada jalanan.

"Lo beli?"

Gue menggeleng. "Nyewa Sit."


"Ah Bey, pake motor juga ga apa-apa kok sebenernya..."

Gue terkekeh untuk menanggapi responnya. "Yakin nih pake motor? Yakin mau diajak ngebut
sama gue? Yakin tuh make up sama dandanan elo gak luntur pas nyampe di sana?"

Sita tertawa pelan sambil menepuk pundak sebelah kiri gue. "Ya ga mau juga sih, hahaha..."

"Nah, maka dari itu gue nyewa mobil Sit." Ujar gue sambil cengar-cengir kepadanya.

"Hehehe, baguslah."

Perjalanan menuju lokasi tempat dimana acara dinner akan berlangsung sangatlah gue nikmati
sekali. Sambil diiringi dengan alunan musik pop yang terdengar via speaker serta aroma parfum
yang dikenakan oleh Sita, semuanya telah membuat gue nyaman dalam berkendara walaupun
jalanan pada malam hari ini terbilang sangat ramai.

Gue menolehkan kepala ke arah Sita sambil mengoper perseneling. Terlihat dia sedang
menikmati perjalanan ini dari posisi duduknya yang santai dan kedua matanya terlihat berbinar
ketika memandangi jalanan yang padat di depan. Wangi parfum yang dikenakan oleh Sita juga
terasa lebih harum dari sebelumnya, dan itu membuat gue menghirup aroma tersebut dalam-
dalam untuk dapat menikmatinya lebih lama lagi, sebelum pada akhirnya Sita menyadari bahwa
gue sedang menoleh kepadanya yang membuat ia meledek gue sambil tertawa lebar.

Hmmm, Sit, kira-kira nama parfum lo apa ya?

***

This night is gonna be awesome.

Itulah sebuah hal yang pertama kalinya melintas di dalam benak gue ketika kami berdua
memasuki pelataran dari sebuah gedung hotel yang mewah. Bukan, hotel ini bukanlah tempat
yang kami tuju, namun tempat yang kami berdua tuju adalah rooftop dari hotel tersebut. Acara
dinner kantor gue memang diadakan pada sebuah rooftop bar dari hotel ini. Entah kenapa
mereka memilih tempat tersebut sebagai lokasinya. Tetapi menurut kabar burung yang pernah
gue dengar, pihak kantor memang sengaja memesan tempat ini dari jauh-jauh hari sebelumnya
dengan harga yang tidak akan pernah bisa gue bayar dengan uang gue sendiri.

Gue memarkirkan mobil di salah satu sudut basement hotel, lalu kemudian gue keluar dari mobil
untuk menyusul Sita yang sebelumnya telah keluar terlebih dahulu. "Ayo Bey!" Ujar Sita dengan
semangat, dan dia langsung melingkarkan tangannya pada lengan kiri gue sambil tersenyum
manja. Mungkin karena melihat gue yang sedang kebingungan karena hal tersebut, kemudian
Sita mencoba untuk menenangkan gue dengan gaya-nya yang khas. "Udaaah tenang aja, ini
kan acara dinner." Ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata, dan gue pun melemparkan
senyuman untuk membalasnya.

Kami berdua berjalan dengan berdampingan memasuki lobby hotel untuk menuju lift, tetapi
sebelumnya kami berdua ditanyai terlebih dahulu oleh security. Gue pun menjelaskan bahwa
gue merupakan tamu pada sebuah acara yang diadakan pada rooftop hotel sambil menunjukkan
kartu undangan yang gue bawa. Setelah melihat kartu undangan gue, security tersebut pun
menjawab gue dengan ramah seraya mempersilakan kami untuk berjalan menuju lift sambil
diberi petunjuk untuk langsung menuju lantai paling atas. Gue kemudian berterima kasih
kepadanya, sebelum pada akhirnya kami berdua berjalan menuju lift.

Ternyata hanya ada kami berdua di dalam sini. Pantulan bayangan antara gue dan Sita dapat
terlihat samar-samar pada sebuah pintu besi berwarna silver metalik. Dengan tangannya yang
masih melingkar pada lengan gue, kami berdua berdiam diri hingga terdengar suara denting
pelan dari lift yang menandakan bahwa kami telah sampai pada lantai yang dituju.

Setelah keluar dari lift, gue dan Sita berjalan di atas lantai yang di lapisi dengan karpet merah
yang empuk pada sebuah lorong yang diterangi oleh cahaya berwarna kuning keemasan,
dimana pada dinding-dindingnya terdapat banyak sekali hiasan serta ornamen yang
mempercantiknya. Sita melihat dan menunjuk ke arah lukisan-lukisan pada dinding tersebut
sambil mengoceh antusias. Lalu beberapa saat kemudian, kami berdua mendengar suara
samar-samar dari live acoustic yang semakin lama terdengar semakin jelas, dan pada akhirnya
kami berdua pun tiba pada rooftop yang telah dijanjikan tersebut.

Kami berdua terdiam sebentar karena karena takjub akan pemandangan yang disuguhkan di
depan mata kami. Pemandangan langit malam yang cerah, gedung pencakar langit dengan
lampu-lampunya yang bergemerlapan, beraneka ragam lampu hias berwarna kuning keemasan
yang malang melintang di atas kami, penampilan live acoustic di salah satu sudutnya, serta
suara obrolan dan tawa dari para tamu undangan yang terdengar saling bersahut-sahutan pun
menambah suasana tempat ini menjadi semakin hidup.

"Haaaiii..." Tiba-tiba saja ada sebuah suara membuyarkan lamunan gue. Terlihat Lia dengan
dress putih panjangnya sedang berjalan menghampiri kami berdua yang masih berdiri
mematung sambil memegang sebuah gelas berbentuk goblet yang berisi cairan berwarna kuning
emas yang gue yakini bahwa itu adalah sampanye. "Wah, mas Bayu, saya ga nyangka kalo
kamu udah punya gandengan." Ujar Lia. "Siapa nih? Pacar? Atau mungkin calon istri mas
Bayu?" Tanya Lia selanjutnya sambil tersenyum.

Masih dalam keadaan dimana tangan Sita yang melingkar pada lengan gue, gue dan Sita saling
menoleh untuk bertatapan satu sama lain, lalu kemudian kami berdua melempar senyuman
yang saaangat lebar sekali, tanpa bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Lia tersebut.

See? This night is absolutely awesome!

Soul of Truth

Gue tidak bisa berkata-apa-apa lagi selain hanya bisa memberikan sebuah senyuman sambil
menahan tawa ketika mendengar pertanyaan dari Lia tersebut. Lia sepertinya tidak akan pernah
percaya jika gue berkata bahwa Sita bukanlah seseorang yang berstatus pacar ataupun calon
istri gue, melainkan dia hanya seorang teman satu kost yang secara kebetulan letak dari kamar
kami berdua saling bersebelahan. Dan pastinya, Lia juga tidak akan pernah percaya jika gue
berkata bahwa Sita adalah seorang cewek yang kini sedang menjadi pacar orang lain, walaupun
dalam masa renggang.

Kami berdua saling berpandangan untuk beberapa saat, sebelum pada akhirnya Sita menoleh
ke arah Lia dan kemudian dia melepaskan tangannya dari lengan gue untuk mengajak Lia
berjabat tangan. "Saya Sita."

Lia memindahkan gelas yang dipegangnya ke tangan kiri, lalu kemudian dia menjabat tangan
Sita. "Lia..." Ujarnya sambil tersenyum ramah.

"Ooh mbak Lia..." Sita mengangguk pelan. "Apa kabar mbak?"

"Alhamdulillah baik." Jawab Lia kepada Sita. "Kalo mbak Sita sendiri gimana?"

"Saya baik juga kok..."

Lalu kemudian kami bertiga masuk ke dalam sebuah obrolan yang membuat Sita menjadi tertarik
untuk membicarakannya lebih lanjut. Sita terlihat antusias sekali dalam mendengarkan setiap
cerita-cerita yang dilontarkan oleh Lia mengenai kesehariannya di dalam kantor, dan tidak lupa
juga Lia menceritakan tentang keseharian dan kebiasaan gue di sana yang tidak jarang
membuat gue salah tingkah.

"Mbak Sita, mbak itu beruntung loh punya calon suami kayak mas Bayu ini." Ujar Lia sambil
melirik dan tersenyum jahil ke arah gue.

Sita kemudian kembali melingkarkan tangannya pada lengan kiri gue dan memeluknya lebih erat
dari sebelumnya, seolah-olah ingin berkata 'ini loh cowok gue!' melalui gesture tersebut, lalu
kemudian dia memiringkan kepalanya sambil bertanya kepada Lia. "Beruntung gimana mbak?"

"Mas Bayu ini tipe orang pekerja keras, dia juga sering ngambil lembur sampe malem, buat apa
lagi coba ngelembur kalo bukan buat ngejar masa depan kalian berdua?"

Sita tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan tangan kiri, lalu dia kembali bertanya. "Ah
masa sih? Yang bener mbak?"

"Iya, beneran deh." Jawab Lia. "Iya kan mas Bayu?"

"Hehehe..." Gue terkekeh. "Mumpung kerjaaan lagi banyak aja mbak, jadi saya ambil lembur."
Ujar gue sambil senyam-senyum sendiri. Tidak ingin berlama-lama dalam topik yang membuat
gue menjadi terbang mengangkasa, akhirnya gue memutuskan untuk mengganti arah dari
pembicaraan ini. "Eh iya mbak, dateng sama siapa?"

"Ooh, saya dateng sama calon suami kok." Ujarnya, lalu kemudian Lia memutar badan dan
menunjuk ke arah salah satu kursi sofa yang terletak tidak jauh dari sini dengan telunjuknya.
"Tuh yang disana, yang pake kemeja putih salur-salur."

Gue kemudian menolehkan kepala ke arah yang sama dengan arah ke mana jari Lia menunjuk.
Terlihat ada beberapa rekan kerja gue yang sedang duduk di atas sofa panjang berwarna
cokelat muda yang diterangi oleh lampu gantung di atasnya, dan di antara mereka juga gue
melihat ada seorang pria yang mengenakan kemeja putih salur-salur sedang bercengkrama
bersama mereka semua. Sama seperti Lia, calon suaminya juga sedang memegang sebuah
gelas berbentuk goblet berisi sampanye pada tangan kanannya.

Mungkin karena merasa diperhatikan oleh gue, calon suami Lia itu menolehkan kepalanya,
tersenyum, lalu kemudian dia mengangguk pelan sambil mengangkat gelas pada tangannya.
Gue pun mengangkat telapak tangan ke arahnya untuk membalas sapaan tersebut, sebelum
pada akhirnya gue mengalihkan pandangan dan pamit kepada Lia untuk mengajak Sita pergi
berkeliling.

"Yaudah ya mbak Lia, saya sama Sita mau keliling dulu. Belom nyapa anak-anak nih, baru
dateng banget soalnya."

"Oh silakan mas Bayu, mbak Sita." Ujarnya. "Enjoy the night." Lia berkata sambil sambil
tersenyum ramah, lalu kemudian kami berdua berlalu dari tempat dimana kami berdiri
sebelumnya.

"Jadi selama ini, elo tuh kerja buat masa depan kita berdua Bey?" Tanya Sita ketika kami berdua
sedang berjalan menuju salah satu sisi dari rooftop.

Gue terkekeh pelan sambil memasukkan tangan yang sedang dipeluk oleh Sita itu ke dalam
saku celana, lalu kemudian gue menoleh ke arahnya. "Sama elo? Lah terus Muthia mau
dikemanain?"

"Dia kan udah punya cowok Bey, mending sama gue aja, mau ya?"

Gue mendekatkan kepala kepada telinga Sita dengan jarak yang sangat dekat sekali hingga gue
dapat menghirup aroma rambut serta parfumnya yang harum, lalu kemudian gue berkata pelan
di samping telinganya. "Elo juga udah punya cowok, kupret!" Ujar gue sambil menjitak lembut
pelipisnya, yang membuat kami berdua tertawa-tawa.

***

Semua orang yang gue temui pada malam hari ini, gue mengenali mereka semua. Tidak ada
satu orang pun yang tidak gue kenali. Acara dinner party ini sepertinya memang khusus
diadakan untuk pihak-pihak internal kantor saja, dan itu membuat gue kecewa karena gue tidak
dapat bertemu dengan Muthia pada malam hari ini.

Gue menjadi tidak semangat dalam mengikuti pesta yang sedang berlangsung meriah tersebut.
Musik akustik yang terdengar di telinga gue pun sepertinya tidak dapat membuat suasana hati
gue membaik. Gue kemudian menghela nafas pelan sambil menyandarkan punggung dengan
lemas pada sandaran kursi kayu berwarna cokelat tua, sebelum pada akhirnya gue menjulurkan
tangan untuk mengambil sloki yang ke sekian kalinya dari sebotol Malbec yang tersaji di atas
meja.

"What's wrong Mr. Bayu?" Tanya Mr. Liu dengan aksen Chinese-nya yang sangat kental sekali.
Mr. Liu adalah seorang atasan yang datang dari kantor pusat untuk menghadiri acara ini
bersama beberapa orang atasan gue lainnya. Sama seperti gue, mereka juga diundang secara
langsung oleh pak Wisnu yang sekarang sedang duduk santai di sebelah Mr. Liu.

Gue kemudian tersenyum ramah, sebelum menjawab pertanyaan dari Mr. Liu tersebut sambil
memasang sebuah ekspresi wajah yang sebisa mungkin terlihat meyakinkan. "Nothing,
mister." Gue menggeleng. "Maybe I'm just a little bit tired because all of this." Lanjut gue.

Mr. Liu menepuk pelan lengan gue. "It's not midnight yet. Look at your girl, she looks so
happy." Ujarnya sambil menunjuk ke arah Sita yang sedang duduk pada salah satu sofa
bersama seorang rekan kantor cewek gue, Deana. Mereka berdua terlihat saling tertawa sambil
dikelilingi oleh para jomblo mengenaskan lainnya yang berharap-harap cemas dapat
mengakrabkan diri melalui pesta yang sedang berlangsung pada malam hari ini. Gue pun
tersenyum simpul, lalu kemudian gue kembali menoleh ke arah Mr. Liu.

"See that happy face on your girl? You should have that face like her too right now."

Gue pun tertawa setelah mendengarnya. "Alright Mr. Liu, I'll do my best for it."

Mr. Liu tersenyum sambil memundurkan punggung dan duduk bersandar pada kursinya. "Good
one."

Musik akustik yang terdengar di telinga gue pun berubah. Mereka yang pada awalnya hanya
memainkan instrumen akustik untuk mengiringi kami semua dalam melewati malam, kini telah
berganti dan terdengar tidak asing di telinga gue. Setelah gue ingat-ingat lagi, lagu tersebut
adalah sebuah lagu yang berjudul After Love Has Gone milik grup band lawas Earth Wind and
Fire, dan mereka memainkan lagu tersebut secara akustik.

Lagu yang dimainkan pun ternyata berhasil menarik perhatian para tamu undangan. Ada
beberapa orang rekan gue yang bangkit dari kursinya, lalu kemudian mereka semua mengelilingi
para musisi tersebut sambil sing along bersama-sama. Tidak ketinggalan juga, Mr. Liu dan pak
Wisnu yang sedang duduk di seberang meja gue pun larut dalam suasana yang
membahagiakan ini. Mungkin, mereka semua ingin bernostalgia dan mengenang masa-masa
keemasan dari band tersebut yang sudah terlewati bertahun-tahun yang lalu.

"Come on, come with us." Ajak Mr. Liu dengan semangat sambil menjulurkan tangannya.

Gue menggeleng pelan, lalu gue tersenyum simpul untuk menolak permintaannya itu. "I am good
Mr. Liu, thank you." Mr. Liu kemudian mengangkat kedua bahunya, sebelum pada akhirnya
beliau bersama pak Wisnu berlalu pergi meninggalkan meja ini dan mereka berdua ikut masuk
ke dalam kerumunan di depan sana.

Beberapa saat gue hanya memperhatikan mereka semua yang sedang bernyanyi di depan
sambil menuang Malbec ke dalam sloki di tangan gue untuk meminumnya, lalu kemudian
perhatian gue teralih ketika gue mendengar sebuah suara berdecit dari kursi kayu di sebelah
kanan gue.

Terlihat Sita telah duduk manis sambil menyilangkan kedua kakinya, dan dia juga menyimpan
kedua tangan di atas pahanya yang terlihat kekuningan karena pantulan cahaya redup di atas
kepala kami berdua. Dia tidak berbicara apa-apa. Matanya yang berbinar itu menatap lurus ke
depan, kedua belah bibirnya terkatup rapat, tetapi kedua belah bibirnya itu memasang sebuah
senyum simpul yang menandakan ada banyak sekali kebahagiaan yang telah didapatkannya
pada malam hari ini.

Dan somehow, gue sangat suka sekali ketika melihatnya yang bersikap seperti sekarang.
Melihat sikapnya yang dapat dengan luwesnya menempatkan diri pada tempat asing seperti ini,
melihat sebuah sikap yang dapat dengan mudahnya menarik perhatian dari para rekan kerja
gue, dan tentunya juga dia sangat terlihat berbeda sekali dengan kebiasaannya selama di kost-
an.

"Lagunya enak Bey, gue suka." Ujarnya tanpa menoleh ke arah gue. Gue kemudian
mengalihkan pandangan untuk kembali menonton mereka semua sambil meminum Malbec pada
sloki di tangan gue, sebelum pada akhirnya Sita memanggil gue. "Bey..." Gue pun menolehkan
kepala, dan mendadak suasana di sekitar kami berdua menjadi terasa mellow. Gue hanya bisa
terdiam sambil memandanginya dan kami berdua juga saling berpandangan untuk beberapa
saat.

Gue memandangi wajahnya yang memang terlihat lebih cantik dari biasanya. Rambut hitamnya
yang bergelombang itu terlihat indah sekali di mata gue karena disinari oleh cahaya kuning
keemasan yang membuatnya mengkilap, lalu kemudian gue menyingkap poni pada kening Sita
dan menyimpan di balik telinganya. "Hmmm?"

"Gue mau tanya sesuatu sama elo, boleh?"

Gue menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Boleh kok, mau tanya apa?"

"Kalo gue boleh tau..." Sita menarik nafas, lalu kemudian dia menghembuskannya dengan pelan.
"Kenapa elo ga pernah pacaran? Padahal, gue baru tau, kalo ternyata ada beberapa temen
kantor yang suka sama elo."

Gue mengalihkan pandangan dari wajah Sita, lalu kemudian gue menyandarkan dagu pada
punggung tangan yang bertumpu pada meja kayu di depan gue. "Kenapa elo tanya kayak gitu?"

"Menurut gue, elo itu orangnya baik, perhatian, lumayan ganteng..."


Secara reflek gue menoleh kepadanya sambil terkekeh. "Ganteng?"

Sita mengangguk. "Iya, ganteng, udah gitu mapan lagi. Dari obrolan gue sama Deana barusan,
gue bisa ngira-ngira berapa besar gaji yang elo terima dalam sebulan, dan gue juga bisa
mengira-ngira tentang bonus yang elo dapet kemaren."

"..." Gue kembali menyandarkan dagu pada punggung tangan dan mengalihkan pandangan
darinya. Kami berdua terdiam sejenak sambil mendengarkan lagu yang terdengar nyaman di
telinga, lalu kemudian gue berbicara kepada Sita tanpa menoleh. "Gue udah jadi anak yatim dari
setelah lulus SMA."

"..."

"Lo mungkin tau, umur segitu tuh lagi masa-masanya pengen nyoba banyak hal, tapi sayangnya
gue ga bisa. Sama sekali ga bisa. Satu-satunya tulang punggung keluarga gue itu cuman
nyokap gue, dan beliau juga harus cari uang untuk biaya masuk kuliah gue sama uang buat SPP
adik cewek gue yang masih kelas tiga SMP pada saat itu."

"..."

"Gue ingin beli ini, tapi gue ga bisa. Gue ingin beli itu, tapi gue juga ga bisa. Jadi orang miskin itu
sakit, Sit. Sakit..."

"..."

"Gue ga punya waktu buat main-main sama kondisi gue. Yang ada di pikiran gue pada saat itu,
gue harus bisa meringankan beban nyokap, atau minimalnya gue enggak nambah beban beliau.
Sebisa mungkin gue harus mandiri. Maka dari itu juga, gue ga pernah mikir sama yang namanya
pacaran."

"..."

"Pengen sih ngerasain gimana rasanya pacaran, tapi gue-nya ga punya modal. Duit jajan aja
udah pas-pasan banget, strict budget gitu lah pokoknya, hahaha." Gue tertawa pelan sambil
menundukkan kepala dan menghela nafas. "Mungkin lo dulu pernah nanya kenapa gue ngekost
disitu, ya karena itu Sit. Gue udah terbiasa hidup hemat dari dulu, dan kebiasaan itu masih gue
bawa sampe sekarang." Ujar gue.

"Tapi sekarang elo ada di sini, duduk di atas sebuah rooftop hotel yang mewah, bersama seluruh
keberhasilan yang elo punya." Ujarnya. "Apa lagi yang kurang Bey?"

Gue menoleh dan menggumam pelan. "Yang kurang ya?"

Sita mengangguk. "Iya..."

"Apa ya? Tapi kayaknya yang kurang itu cuman satu deh Sit..."

"Apa?"

Gue kemudian tertawa-tawa sendiri dalam memikirkan jawaban yang akan gue lontarkan
kepadanya, lalu pada akhirnya gue menjawab pertanyaan dari Sita tersebut sambil tersenyum
jahil. "Calon istri..."

"Ih elo maaah..." Sita tertawa sambil memukul-mukul lengan gue dengan lembut.

Beberapa saat kami berdua kehilangan topik obrolan, kami berdua kembali terdiam, sebelum
pada akhirnya Sita bangkit berdiri dan dia merapikan dress biru navy yang dikenakan olehnya.
"Gue mau ikutan nonton ke sana, lo mau ikut?"

Gue menggeleng. "Enggak deh. Gue disini aja."

"Yaudah, kalo gitu gue nitip tas yaaa." Tanpa permisi, Sita langsung memberikan tas kecil yang
dibawanya kepada gue, lalu kemudian dia berjalan ke arah kerumunan tersebut.

Gue memperhatikan punggung serta rambut panjang Sita dari tempat dimana gue berada
sekarang hingga dia terlihat menyatu bersama mereka semua. Setelah gue mengetahui dimana
letak posisi Sita secara pasti, gue kemudian menghela nafas dengan pelan sambil memejamkan
mata, dan mencoba untuk lebih menikmati suasana pada malam hari ini.

I'm Grateful

Sita menyempatkan diri untuk meminum beberapa sloki lagi dari botol ke sekian dari Malbec
yang telah dipesan pada malam hari ini, sementara gue sudah angkat tangan karena gue tidak
ingin mati konyol pada saat menyetir mobil nanti. Beberapa saat setelah Sita meminum sloki
yang ke sekian itu, gue dapat melihat perubahan pada wajahnya yang kini terlihat memerah
walaupun hanya disinari oleh cahaya redup berwarna kekuningan dari lampu di atas kami
berdua.

Wajah Sita terlihat memerah bukan karena perona pipi yang digunakan olehnya, tetapi wajahnya
itu terlihat memerah karena efek dari alkohol yang terkandung pada Malbec tersebut. Lalu pada
akhirnya, gue pun memutuskan untuk pulang terlebih dahulu dikarenakan keadaan Sita yang
sudah tidak dapat lagi memungkinkan untuk ikut melanjutkan acara dan gue juga tidak akan
pernah memperbolehkannya untuk meminum satu sloki terakhir Malbec sebagai ucapan
perpisahan.

"Pak Wisnu, saya pamit duluan ya." Ujar gue kepada pak Wisnu yang kebetulan berpapasan
dengan gue ketika gue sedang berjalan menuju lorong sambil memeluk bahu Sita yang kini
sedang dalam keadaan setengah sadar.

Pak Wisnu terdiam sejenak. Lalu beberapa saat kemudian, beliau tersenyum ramah kepada gue
sehingga kumis pada bibirnya ikut terangkat. "Hati-hati di jalan, pak Bayu."

Gue mengangguk sambil mempererat genggaman gue pada bahu Sita dan menahannya agar
tidak merosot. "Oke pak, siap." Jawab gue.

"Jangan lupa, setelah sampai rumah nanti, gunakan 'pengaman' sebelum bermain." Ujarnya,
yang kemudian disusul dengan sebuah senyuman aneh yang lebih terlihat seperti senyuman if
you know what i mean.
Gue mengeluarkan tawa kecil setelah mendengarkan perkataan dari pak Kumis tersebut. Entah
bagaimana dengan Sita. Apakah dia mendengarnya atau tidak, gue sama sekali tidak tahu. Gue
berjabat tangan dan langsung meminta izin untuk pamit kepada pak Wisnu, lalu kemudian gue
kembali berjalan menyusuri lorong yang sebelumnya telah kami berdua lewati.

"Sit... Sit..." Gue menggoyang-goyangkan bahu Sita yang masih berada dalam pelukan gue di
dalam lift yang dingin dan sepi ini. "Lo bisa jalan sendiri ga?"

Sita merespon gue dengan cara mengkerutkan keningnya dalam-dalam sambil menggeleng
lemah, lalu kemudian dia berkata lirih. "Kepala gue pusing banget Bey..."

"Yaudah, nanti kita cari air putih dulu ya di minimarket."

Sita mengangguk pasrah dan kemudian dia menyenderkan kepalanya pada pundak gue dengan
perlahan-lahan. Ketika dia menyandarkan kepalanya pada pundak gue, harum rambut serta
parfumnya yang wangi itu seketika tercium oleh indera penciuman. Gue pun sangat menikmati
hal ini karena gue memang menyukai aroma yang ditimbulkan dari percampuran bahan-bahan
kimia tersebut.

Setelah beberapa saat menunggu, pada akhirnya kami berdua tiba pada lobby hotel yang
sekarang sudah menjadi terlihat sepi dan nyaris tanpa penghuni. Hanya ada dua orang
resepsionis saja yang masih stand by dari balik meja marmer panjang berwarna putih dan juga
seorang security yang berjaga pada pintu masuk hotel di depan sana.

Untungnya, para crew serta security hotel tersebut tidak bertanya apa-apa mengenai keadaan
dari cewek seksi di sebelah gue yang kini sedang gue papah. Mereka semua hanya memberikan
sebuah senyuman ramah sambil menganggukkan kepala ketika gue mendapati mereka yang
sedang menatap kami berdua hingga kami menghilang dari lobby.

"Sit, masuk mobil dulu Sit." Ujar gue sambil memeluk pinggang Sita dengan sebelah tangan
sementara tangan gue yang lain mencoba untuk membuka pintu samping mobil yang terparkir
pada basement yang sepi dan pengap ini.

Pintu mobil pun terbuka. Dengan hati-hati gue membantu Sita untuk masuk dan duduk di atas
jok seraya memasang seatbelt pada badannya. Setelah itu, gue merebahkan posisi jok agar dia
dapat duduk dengan posisi setengah berbaring dan gue juga melepas knit yang gue kenakan
untuk menyelimuti paha Sita karena dress ketatnya itu sangat terlihat terbuka sekali hingga
hampir menyentuh pangkal pahanya.

Untuk beberapa saat gue memandangi ekspresi wajah Sita yang terlihat capek sambil
memegang kemudi, lalu kemudian gue menyalakan mesin mobil dan memasukkan perseneling
untuk langsung pergi meninggalkan basement hotel ini.

***
Kota ini adalah sebuah kota yang tidak pernah tidur. Lampu-lampu dari gedung pencakar langit
yang dengan megahnya menyala terang dari atas sana, lampu sorot yang menyilaukan mata
dari mobil-mobil yang berjalan cepat dari arah yang berlawanan serta berbagai macam hal
lainnya, telah sukses membuat kota ini terasa semakin hidup di malam hari. Tetapi di tengah-
tengah keglamoran yang dimiliki kota ini, kota ini juga memiliki sebuah sisi lain yang gue sendiri
menyebutnya dengan julukan 'A City of False Hope.'

Tidak jarang ketika gue melewati trotoar atau emper-emper toko yang sudah tutup, gue sering
melihat ada beberapa orang tuna wisma yang tertidur dengan posisi duduk bersandar ataupun
berbaring pada lantai trotoar yang keras dan sangat terasa tidak nyaman pada punggung,
seperti apa yang sedang gue lihat dengan mata kepala gue saat ini.

Gue melihat ada beberapa orang tuna wisma yang telah tertidur dengan posisi meringkuk sambil
memeluk lututnya erat-erat di atas beberapa kardus yang telah ditata sedemikian rupa untuk
menjadi sebuah 'kasur', yang semoga saja terasa nyaman bagi setiap persendian pada tubuh
mereka. Gue yakin, bahwa pada awalnya mereka semua adalah sekumpulan dari orang-orang
berjiwa besar yang telah menaruh harapan tinggi agar bisa berhasil dalam mengadu nasib di
kota ini.

Mereka semua telah berani dan rela untuk meninggalkan seluruh keluarganya yang berada nun
jauh di sana untuk pergi dan mengadu nasib pada kota ini, mengadu nasib pada sebuah kota
yang setiap harinya selaludilanda oleh kemacetan serta banjir yang tak pernah kunjung selesai
ketika musim penghujan datang, tetapi sayangnya mereka semua belum dapat meraih apa yang
telah diimpi-impikannya ketika mereka semua menginjakkan kaki di kota ini dulu.

Setelah melihatnya, gue harus lebih banyak-banyak bersyukur dengan apa yang sedang gue
miliki sekarang. Gue masih bisa tidur di atas kasur empuk yang hangat, gue masih bisa makan
sehari tiga kali (walaupun kadang-kadang hanya makan sehari sekali), gue masih bisa
berkendara di dalam mobil mewah bersama seorang cewek cantik yang kini sedang tertidur
pulas di samping gue, dan entah berapa banyak lagi kenikmatan yang masih gue miliki
sekarang. Gue menghela nafas pelan sambil menggelengkan kepala, lalu kemudian gue mulai
menambah laju kecepatan dari mobil yang sedang gue kendarai.

It Must Have Been Love-nya Roxette terdengar mengalun indah dari speaker mobil yang gue set
dengan volume kecil. Kali ini, lagu yang berasal dari frekuensi random pada radio tersebut
sedang menemani gue berkendara dalam keheningan malam, tepat beberapa saat sebelum gue
memasuki pelataran kost. Gue memang telah mengurungkan niat untuk membeli air mineral
pada minimarket dikarenakan Sita yang sudah tertidur pulas, dan gue juga tidak ingin
membangunkannya hanya karena demi meminum air mineral tersebut.

"Sit, bangun..." Gue mengusap lembut pipinya. "Kita udah nyampe."

Sita membuka kedua matanya dengan perlahan dan dia mengerjap-kerjapkannya, lalu kemudian
dia berkata lirih sambil celingukan. Wajahnya terlihat lucu sekali ketika ia baru bangun tidur
seperti sekarang. "Ini dimana?" Tanya Sita.

"Kost." Jawab gue dengan datar seraya menaikkan posisi tempat duduknya agar Sita dapat
duduk dengan benar. "Gimana? Udah mendingan?"

Sita menggeleng sambil memejamkan matanya. "Masih pusing dikit Bey..."

"Yuk sekarang kita langsung naik ke atas aja biar nanti elo bisa langsung tidur sampe pagi."

Kami berdua kemudian berjalan dengan perlahan menuju kamarnya di lantai dua. Sita yang
sekarang sedang dipapah oleh gue kini sudah mulai bisa menguasai kesadaran pada dirinya.
Langkah kaki Sita terasa lebih mantap dari sebelumnya, dan itu setidaknya dapat membuat kami
berdua tidak perlu bersusah payah untuk menaiki tiap-tiap anak tangga yang dingin.

"Kunci kamar lo mana?"

"Oh iya Bey, lupa... Gue simpen di dasbor mobil pas barusan kita berangkat."

"Yaudah bentar ya, gue ambil kuncinya dulu." Gue membantu Sita untuk duduk bersandar pada
kursi plastik di depan kamarnya, lalu kemudian gue kembali berjalan turun ke bawah menuju
mobil yang terparkir di halaman untuk mengambil kunci kamarnya yang tertinggal.

"Dapet Bey?" Tanya Sita ketika gue telah kembali sambil memutar-mutar kunci pada telunjuk
tangan.

"Dapet kok."

Gue kemudian memasukkan kunci dan mencoba untuk membuka pintu kamarnya. Kunci
pertama pun sudah gue buka. Ketika gue hendak memutar kunci untuk membuka kunci pintu
yang ke dua, tiba-tiba saja Sita menarik bahu gue dari belakang yang membuat gue
membalikkan badan, lalu kemudian Sita langsung menempelkan bibirnya pada bibir gue.
Fifty Shades of Alfian

Sinar mentari pagi menyeruak masuk melalui sela-sela pintu serta gorden yang masih tertutup
rapat di depan sana. Lalu beberapa saat kemudian, gue merasa bahwa sinar mentari tersebut
mulai menyentuh kedua kelopak mata gue yang membuat gue terbangun dengan kepala yang
berat. Gue kemudian menarik nafas dalam-dalam yang samar-samar tercium sebuah aroma
parfum wanita yang terasa sangat familiar sekali, sebelum pada akhirnya gue membuka mata
secara perlahan untuk mengamati keadaan sekitar.

Ruangan tempat dimana gue berada saat ini memang terasa tidak asing lagi, namun ini
bukanlah sebuah ruangan yang selalu gue tempati seperti biasanya. Terdapat beraneka
macam girl's stuff yang tersimpan rapi di atas meja rias kecil di sebelah kanan sana, lalu
kemudian gue juga melihat bahwa ada beberapa helai pakaian gue serta sebuah dress berwarna
biru navy yang berceceran di atas lantai yang dingin. Gue pun menghela nafas berat melalui
mulut sambil menggeleng pelan setelah melihat hal tersebut.

Gue kemudian mencoba untuk menggerakkan badan tetapi seluruh badan gue tidak dapat
bergerak dengan leluasa karena seperti ada sesuatu yang menghalangi badan gue untuk
bergerak secara bebas. Perlahan-lahan gue menolehkan kepala ke kiri, lalu kemudian gue
melihat bahwa ada seorang cewek yang sedang terlelap sambil memeluk gue, dan ternyata
tubuh kami berdua juga masih tertutupi oleh sebuah selimut tebal berwarna merah tua.

Gue menyingkap selimut yang menutupi tubuh kami, dan seketika saja rasa pusing di kepala gue
semakin menjalar hebat ketika gue menyadari bahwa cewek yang sedang tertidur sambil
memeluk gue itu sedang tertidur pulas sambil menyiratkan sebuah ekspresi yang terlihat damai
sekali pada wajahnya, dan dia juga sedang tertidur pulas tanpa mengenakan sehelai benang
apapun yang terlihat menempel pada permukaan kulit tubuhnya yang putih dan halus.

"Fuck..." Gue bergumam tanpa suara.

Gue menyimpan telapak tangan pada kening sambil meremasnya keras-keras, lalu kemudian
gue mencoba untuk mengingat-ingat tentang hal-hal buruk apa yang telah gue lakukan
kepadanya tadi malam.

What have I done to you, Sit?

***

Kami berdua saling berciuman dengan waktu yang terbilang cukup lama sekali. Lima detik kah?
Sepuluh detik kah? Atau bahkan mungkin lebih dari itu? Tidak, gue hanya bisa menggelengkan
kepala karena gue sendiri tidak mengetahui secara pasti berapa lama kami berdua saling
berciuman. Namun ada satu hal yang gue ketahui secara pasti, yaitu gue sangat menikmati
tentang apa yang sedang dilakukan olehnya kepada gue.

Sita, seorang wanita berambut hitam panjang yang kini rambutnya itu sudah terlihat menjadi
sedikit acak-acakan karena tertidur di dalam mobil barusan, dan juga ditambah dengan wangi
rambut serta aroma parfumnya yang mengalahkan seluruh oksigen di sekitar gue, semua hal
tersebut telah membuatnya tampak menjadi berkali-kali lipat lebih cantik dari biasanya. Lalu
yang terakhir, make up serta dress ketat se-paha berwarna biru navy yang memperlihatkan
kedua bahunya yang putih mulus itu pun telah membuatnya tampak sexy sekali di mata gue.

Believe me, no one could ever resist her beautiness tonight.

Termasuk gue.

Sejenak gue mencoba untuk kembali meraih kesadaran secara utuh setelah Sita melepaskan
ciumannya dari bibir gue, lalu kemudian gue menyapu habis seluruh permukaan bibir dengan
menggunakan ujung lidah untuk kembali merasakan sisa-sisa dari bibir Sita yang masih terasa.

Gue menyukai rasa ini. Gue menyukai sebuah rasa manis yang terasa pada bibir gue setelah dia
mencium gue, dan gue juga ingin merasakannya kembali. Gue kemudian mengangkat dagu Sita
secara lembut dengan menggunakan telunjuk yang membuat kedua mata kami berdua saling
bertatapan untuk beberapa saat, sebelum pada akhirnya gue mendekatkan kepala dan kembali
melumat bibirnya.

Saat ini, gue tidak dapat berpikir apa-apa. Otak gue tidak dapat berpikir dengan jernih. Pikiran
gue sama sekali buntu, dan gue juga hanya bisa memusatkan pikiran kepada seseorang yang
saat ini sedang gue cium dengan penuh gairah. Bagaimana dengan Muthia? Tidak, sosoknya
sama sekali tidak sekalipun terlintas di dalam benak ataupun pikiran gue walaupun itu hanya
untuk satu detik saja. I just can get her off of my mind right now. Gue juga tidak tahu mengapa
hal tersebut bisa terjadi.

Perlahan-lahan gue melepaskan ciuman gue pada bibir Sita, lalu kemudian gue menjauhkan
kepala darinya. Mata kami berdua kembali bertatapan. Sita kini menatap gue dengan sebuah
tatapan yang telah dipenuhi oleh gairah yang terpancar pada kedua bola matanya yang putih
bersih, sementara gue juga menatap kedua matanya dengan sebuah hasrat yang hampir tak
tertahankan.

"Bey, gue..." Perkataannya terhenti sejenak. Ia langsung menggerakkan kedua matanya ke


samping sambil menggigit bibir bawah sebelah kanannya, dan itu membuat gue langsung
melumat kembali bibirnya dengan bersemangat.

Gue memutar posisi tubuh Sita sehingga kini Sita dalam posisi bersandar di depan pintu kamar.
Lalu dengan gerakan yang cepat, gue langsung membuka kunci serta pintu kamarnya yang
masih tertutup dan kemudian gue mendorong tubuh Sita secara perlahan untuk masuk ke dalam
sambil tetap mencium bibirnya.

Gue masih tetap mencium bibir Sita ketika gue mencoba untuk menutup pintu dengan cara
mendorongnya dengan menggunakan sebelah kaki dan gue juga langsung menguncinya rapat-
rapat, sebelum pada akhirnya kami berdua berakhir di atas kasur dengan Sita yang berada di
bawah tubuh gue.

"Kenapa?" Tanya Sita ketika gue telah melepaskan bibir gue dari bibirnya.

Gue menggeleng. "Bentar..."


Gue langsung bangkit berdiri untuk menyalakan lampu pada meja rias Sita agar suasana di
dalam kamar ini agak sedikit diterangi oleh cahaya redup dari lampu tersebut, lalu kemudian gue
pun kembali berjalan kepadanya dan dia langsung menyambut gue dengan cara memeluk leher
serta mencium bibir gue dengan penuh gairah.

Entah siapa yang memulainya terlebih dahulu. Satu persatu dari pakaian yang terpasang pada
tubuh kami berdua pun mulai terlepas. Dasi, kemeja, celana, semuanya. Lalu beberapa saat
kemudian, seluruh pakaian gue dan dress ketat milik Sita itu telah terrlihat berceceran di atas
lantai di samping kasur.

We're both completely naked right now. And of course, her body is pretty much a 'wow' thing that
I've ever seen.Sekarang gue mengetahui tentang apa alasan dari cowok Sita yang hampir selalu
bersamanya setiap malam ketika mereka berdua memiliki kesempatan untuk ber-'quality
time' dengan cara mereka sendiri.

Sita menatap gue sambil menggigit bibir bawahnya, lalu kemudian dia mendekatkan kepala dan
berbicara dengan pelan di samping telinga gue hingga hembusan nafasnya yang hangat itu
sangat terasa menggelitik sekali. "Bey, gue pengen..."

Tanpa menunggu jawaban dari gue, Sita kemudian langsung memposisikan tubuhnya di atas
badan gue untuk melakukan penetrasi, sebelum pada akhirnya gue menarik lembut kepala Sita
sehingga rambutnya yang harum itu menjuntai dan menutupi kedua pipi gue. "Jangan, Sit..." Ujar
gue, lalu kemudian gue mencium bibirnya sekali lagi. Gue mencium bibirnya dengan waktu yang
sangat lama sekali, melebihi dari apa yang pernah kami berdua lakukan sebelumnya.

Memang gue tidak akan rugi apa-apa jika gue membiarkan Sita melakukan penetrasi, tetapi gue
tidak ingin merusak Sita lebih dari ini. Sita adalah seorang wanita dan juga sudah sepantasnya
bahwa dia harus dihargai oleh setiap laki-laki manapun di dunia ini, termasuk dihargai oleh gue.
Mungkin karena Sita yang telah 'menangkap' apa yang akan gue lakukan selanjutnya, dia
kemudian melepaskan bibirnya dari bibir gue, lalu dia menatap gue dan tersenyum dengan
sangat manis sekali.

"Sorry Sit, gu..."

"Ssshhh..." Sita menutup bibir gue dengan telunjuknya sambil menggelengkan kepala, lalu
kemudian dia kembali mengecup bibir gue secara sekilas. "Iya, gue tau kok lo bakal bilang apa."
Ujarnya lembut.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Sita bangkit berdiri dari tubuh gue, lalu kemudian dia berjalan ke
arah lemari dan meninggalkan gue di atas tempat tidur dengan berjuta pikiran yang berkecamuk
di dalam otak. Apakah yang gue lakukan ini sudah benar? Atau apakah justru apa yang gue
lakukan itu adalah salah?

Gue menghela nafas panjang, lalu kemudian gue menyimpan lengan di atas kening sambil
memejamkan mata rapat-rapat. Beberapa saat kemudian gue merasakan ada seseorang yang
menginjak kasur, melangkah dan melewati kaki gue, lalu kemudian dia menyelimuti seluruh
badan gue dengan menggunakan sebuah selimut tebal dan dia membaringkan badannya tepat
di sebelah gue. Pada saat gue menolehkan kepala ke kiri, gue langsung tersenyum ketika
melihatnya yang juga sedang menatap gue sambil tersenyum.
"Maafin gue ya Sit."

Sita menggeleng. "Enggak, Bey, enggak. Gue yang harusnya berterima kasih sama elo." Sita
kemudian melingkarkan tangannya pada perut gue, lalu kemudian dia kembali berbicara. "Udah
lama gue gak pernah diperlakukan seperti ini sama cowok. Gue merasa dihargai sekali saat gue
tau kalo elo ga mau ngelanjutin apa yang kita lakuin sebelumnya." Gue tersenyum simpul, lalu
kemudian gue merangkul bahu Sita agar semakin mendekat dan gue mengecup pelan ubun-
ubunnya.

Beberapa saat kami berdua larut dalam kebisuan. Sita hanya memainkan jemari tangan kanan
gue dan gue juga hanya mengelus-elus lembut rambutnya yang harum, lalu kemudian Sita
memecahkan keheningan tersebut. "Bey..."

"Hmmm?"

"..."

"..."

"Why are you have to fuck my mind up instead of fucking me right now?"

Jomblo Mengenaskan

Apa yang telah dikatakan oleh Sita beberapa hari yang lalu telah sukses membuat gue
mengkerutkan kening selama berhari-hari. 'Why are you have to fuck my mind up instead of
fucking me right now'-nya itu selalu terngiang-ngiang di dalam pikiran gue. Apa yang telah gue
lakukan sehingga Sita merasa gue telah meng-fucked up pikirannya itu? Gue kemudian
menggaruk-garuk rambut dengan kasar yang membuat Gina berbicara.

"Napa lu Bay?"

Gue menoleh ke belakang. "Gue lagi gabut banget nih."

"Iya juga sih. Keliatan. Akhir-akhir ini elu emang gak banget buat kerja. Kenapa sih?"

"Gue mau tanya Gin..."

"Apa?"

Gue memutar kursi untuk menghadap ke arahnya, lalu kemudian gue berbicara. "Kalo deket
sama cewek orang, boleh gak sih?"

"Seriusan lu?" Tiba-tiba saja Gina mendekatkan kursinya dan menatap gue dengan penasaran.
"Lu lagi deket sama siapa? Sama si Lia?"

"Yeee ni anak, Lia-Lia mulu!" Gue menoyor jidatnya.

"Terus jadinya elu sekarang lagi deket sama siapa dong Bay?"
"Ya ada lah pokoknya. Jadi menurut lo gimana?"

"Yah, Bay..." Gina menghela nafas pelan sambil mengalihkan pandangan. "Namanya juga deket
sama cewek orang, ya udah pasti salah lah. Percuma banget elu udah naik jabatan sampe-
sampe dipindahin ke kantor ini pas elu udah selesai kuliah di... Eh, elu S2-nya kemaren kemana
sih?"

"Turin."

"Iya, gue tau, tapi dimananya?"

"University of Turin."

"Nah iya itu apalah namanya, percuma banget kan kalo elu udah belajar jauh-jauh ke sono tapi
ga ngerti banget sama hal sepele yang kayak gituan?" Ujarnya berapi-api.

"Ya mau gimana lagi Gin..." Gue menggaruk pelipis. "Dapetin cewek disana itu sebenernya
gampang, tapi dalam artian bukan mendapatkan hatinya loh ya." Ujar gue sambil
menggoyangkan telunjuk kepadanya. "Lo pergi ke local bar, mabok sampe mampus, terus ada
cewek yang ngedeketin elo, dan semuanya terjadi. One night stand, no strings attached.
Selesai..." Gue mengangkat bahu.

"..." Gina hanya menatap gue, seolah-olah menunggu gue untuk melanjutkan cerita.

"Jujur lho, gue disana itu hampir ga pernah yang namanya minum. Walaupun gue emang sering
banget diajakin ke local bar, tapi ya paling mentok juga minum satu shot sama ngerokok."

"Terus gimana? Ceweknya?"

"Eng... Gimana ya?" Gue memainkan bibir sambl mengalihkan pandangan. "Ada sih. Ya tapi
itu Gin. Dia mau sama elu, terus elu mau sama dia. No strings attached. Cuman jadi partner one
night stand doang. Ga lebih dari itu."

Gina menarik nafasnya dalam-dalam, lalu kemudian dia menghembuskannya dengan cepat
sambil memundurkan kursinya. "Kerja aja dulu deh Bey, nanti lagi ngobrolinnya pas istirahat."

***

Minggu sore ini hujan kembali turun, yang juga membuat gue kembali meringkuk di dalam kamar
kost sambil berselimut tebal menghadap dinding dan membaca timeline Twitter via Blackberry
kesayangan. Kebanyakan dari isi timeline gue merupakan pembicaraan mengenai kantor dari
anak-anak antar divisi yang kadang-kadang membuat gue tertawa cekikikan. Untungnya saja,
para atasan kami tidak ada yang mengerti tentang Twitter, jadi kami semua dapat dengan
puasnya membicarakan mereka di sini.

Gue menyimpan Blackberry di samping bantal, lalu kemudian gue menyibak selimut dan duduk
bersandar di atas kasur sambil melihat ke arah magicom yang terbuka lebar di sudut kamar
tanpa adanya satu butir nasi pun yang tersisa di dalamnya. Gue kemudian menghela nafas
pelan sambil mengelus-elus perut yang kini mulai terasa lapar, lalu pada akhirnya gue bangkit
berdiri menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti pakaian.

"Mau kemanaaa?" Tanya Sita dengan nada suara tinggi dari dalam kamarnya ketika dia
menyadari gue yang sedang mengunci pintu kamar.

"Nyari makan ke luar."


Lalu sesaat kemudian terdengar suara gedebak-gedebuk dari kamar Sita. "Ikuuut!"

"Enggaaak!" Gue langsung berjalan dengan cepat untuk menuruni tangga.

Gue menyukai cuaca seperti ini. Gue menyukai sebuah cuaca dimana gerimis sedang
mengguyur secara perlahan pada sore hari yang mendung ini, sementara gue sedang berada di
tengah-tengah gerimis tersebut sambil mengendarai motor bersama para pengendara lainnya.
Gue menyukai cuaca seperti ini karena gue bisa menghirup udara sejuk khas hujan tanpa harus
terganggu oleh debu yang berterbangan, gue tidak perlu merasakan keringat di sekujur tubuh
ketika terjebak macet, gue bisa merasakan angin dingin serta rintik air hujan yang menyentuh
wajah, dan gue sangat menikmatinya.

Memang itu semua terdengar aneh, tetapi bagi gue, saat-saat seperti inilah yang membuat gue
dapat menikmati apa yang namanya hujan. Atau memang pada dasarnya bahwa gue adalah
seorang pluviophile? Gue hanya bisa mengangkat bahu sambil menggelengkan kepala.

Gue kemudian mengarahkan motor untuk masuk ke dalam basement dari sebuah pusat
perbelanjaan yang terletak tidak jauh dari kost gue, walaupun gue harus rela menempuh
perjalanan yang terbilang cukup lama dikarenakan gue terjebak kemacetan kota ini yang tidak
akan pernah ada habisnya. Saat di jalan barusan, gue sudah memutuskan untuk mencari
makanan pada pusat perbelanjaan ini sekaligus mencari sebuah novel baru karena stock bacaan
di kamar kost gue sudah habis. Setelah gue memarkirkan motor dan melepas jas hujan, gue
merapikan sedikit rambut yang terlihat acak-acakan di depan spion, lalu kemudian gue berjalan
menuju lobby.

Pasangan-pasangan yang bersliweran di sini terlihat mesra sekali. Ada yang saling berpegangan
tangan dan tertawa-tawa, ada yang saling berangkulan sambil berjalan masuk ke dalam sebuah
toko, dan juga masih banyak lagi jenis-jenis kemesraan lainnya yang dapat membuat para
jomblo mengenaskan di dunia ini menjadi iri. Namun sayangnya, gue tidak termasuk ke dalam
kategori jomblo mengenaskan tersebut karena gue tidak merasa terintimidasi dengan apa yang
sedang gue lihat sekarang. Sambil dengan memasang sebuah ekspresi 'emang gue pikirin', gue
kemudian berjalan santai melewati mereka semua.

Gue langsung berjalan menuju kepada salah satu rak yang menyediakan berbagai macam novel
yang ber-tag 'New Arrival' setibanya di toko buku ini. Gue mengambil dan melihat satu persatu
cover serta resensi yang terdapat pada buku tersebut, lalu kemudian berlalu menuju koleksi
novel 'Best Selling' karena novel-novel baru itu sama sekali tidak ada yang membuat gue
tergoda untuk membacanya lebih lanjut.

Gue mengambil sebuah buku yang tersimpan pada salah satu rak 'Best Selling' dan melihat
resensi yang terdapat di belakangnya, lalu kemudian gue mulai membuka halaman pertama dari
buku buku tersebut. Buku ini berjudul 'The Hunger Games'. Pada awalnya, gue memang tidak
terlalu tertarik untuk membacanya lebih lanjut karena alurnya yang menurut gue itu flat. Tetapi
lama kelamaan, gue malah menjadi keterusan karena gue telah memasuki bagian yang men-
thrill hingga pada akhirnya ada seseorang yang menepuk bahu gue dengan pelan.

"Bay?"

Gue menoleh sambil sedikit terlonjak kaget. "Eh..." Dan gue pun terbengong sebentar ketika
melihatnya sedang berada tepat di samping gue. "Muthia?"

Muthia tersenyum. "Hallo, Bay." Sapanya dengan ramah.

"Hallo juga, Mut." Jawab gue kikuk. "Eng... Sendirian?"

Muthia menggeleng. "Sama temen-temen aku kok, sekarang mereka lagi pada ngopi di
Starbucks."
"Ooh..." Gue mengangguk. "Lagi nyari buku juga?"

"Iya, nih udah dapet." Muthia menunjukkan buku yang ia pegang pada tangannya.

"Yaudah yuk, kita ke kasir sekarang. Aku juga udah dapet buku yang pengen dibeli."

Gue menyimpan buku yang sedang gue baca, lalu kemudian gue mengambil sebuah buku
dengan judul yang sama yang masih terbungkus rapi sebelum berjalan menuju kasir bersama
Muthia. Tidak ada yang berbicara di antara kami berdua. It's been a dead silence between us,
dan itu berlangsung selama beberapa detik di saat kami sedang berjalan menuju kasir.

"Mau ikut dulu ga ke Starbucks? Ketemu sama temen aku dulu gitu?" Ajak Muthia sesaat setelah
kami keluar dari toko buku tersebut.

"Eng..." Gue menggaruk pelipis, berpikir sebentar, lalu menjawabnya. "Boleh deh, kebetulan aku
juga lagi pengen makan croissant cokelatnya."

Lagi. Kami berdua kembali tidak mengeluarkan suara apapun ketika kami sedang berjalan
menuruni eskalator untuk menuju tempat yang akan kami datangi selanjutnya. Kami berdua
terdiam dan gue juga tidak ingin berbicara apa-apa kepadanya. Gue sangat menikmati moment
seperti ini, menikmati sebuah moment dimana gue yang hanya sedang berjalan secara berduaan
saja dengannya, seperti apa yang sering kami lakukan di Padang dulu.

Bertemu dengan Muthia di tempat ini sangatlah gue syukuri sekali karena gue tidak pernah
menyangka bahwa gue akan kembali bertemu dengannya di tempat seperti ini. Lalu ditambah
dengan gue yang sekarang sedang berjalan di sampingnya, gue yakin, orang-orang yang
melihat kami berdua saat ini pun pasti mereka semua mengira bahwa kami adalah sepasang
kekasih yang sedang berpacaran di hari Minggu.

She's mine, but she's not mine. Got it?


Muthia berjalan satu langkah lebih cepat di depan gue sesaat sebelum memasuki kedai kopi
tersebut. Kepalanya celingukan kanan kiri seolah-olah sedang mencari sesuatu, lalu kemudian
dia menoleh ke belakang dan mengajak gue untuk ikut masuk dan berkenalan dengan teman-
temannya.

"Ayo." Ajak Muthia. "Lex, Na, kenalin nih temen gue, Bayu."

Gue mengangguk pelan sambil tersenyum dan mengulurkan tangan. "Bayu..."

"Alexy." Jawabnya.

Lalu kemudian gue beralih ke salah seorang teman Muthia yang lainnya. "Bayu..."

"Ana."

"Duduk dulu Bay." Pinta Muthia.

"Eh, iya, bentar deh, mau pesen makanan dulu." Ujar gue kepada Muthia. "Bentar ya, saya
pesen makanan dulu." Gue pamit kepada teman-teman Muthia tersebut, yang mereka balas
dengan anggukkan kepala.

Sambil berjalan ke arah counter, tiba-tiba saja gue memikirkan sesuatu. Atau lebih tepatnya, gue
memikirkan tentang kedua teman Muthia yang sebelumnya telah berkenalan dengan gue. Yang
pertama adalah Ana.

Hal yang pertama kalinya melintas di kepala gue ketika melihat Ana adalah satu buah kata,
yaitu geek. Kaos oblong yang dipadukan dengan jeans biru gelap, kacamata, serta rambutnya
yang dikuncir itu telah membuatnya terlihat seperti seorang geek sekali, tetapi seksi.

Lalu kemudian ada Alexy yang merupakan kebalikan dari Ana. Kulitnya terlihat lebih putih dari
Ana. Dandanannya pun terlihat lebih 'wah' serta rambutnya yang kecokelatan itu telah membuat
gue berasumsi bahwa dia adalah seseorang yang lumayan peduli tentang penampilan, dan dia
juga terlihat lebih cantik dibandingkan dengan Ana.

Gue pun mulai berpikir yang aneh-aneh, salah satunya adalah pikiran tentang memacari salah
satu dari teman Muthia tersebut. Jika gue memang tidak bisa mendapatkan Muthia secara utuh,
lalu apakah gue bisa mendapatkan salah satu teman dari Muthia itu secara utuh?

Gue kemudian menggaruk-garuk kepala sambil memesan makanan kepada bartender yang juga
terlihat sedang senyam-senyum ketika melihat gue yang senyam-senyum sendiri dalam
memikirkan hal barusan terlintas di kepala gue.

Sepertinya, gue memang telah termasuk ke dalam kategori 'jomblo mengenaskan' tersebut.
Finally?

"Gila..." Gue mengacak-acak rambut sambil menggelengkan kepala ketika gue kembali
mendapatkan satu buah email tambahan dari pak Wisnu yang berisi tentang laporan lainnya
yang harus gue kerjakan.

Malam hari ini juga.

Entah sudah berapa banyak jumlah pekerjaan tambahan yang diberikan oleh pak Wisnu kepada
gue hingga gue harus membawa dan mengerjakannya di dalam kostan. Kepala gue serasa ingin
pecah ketika melihat setumpuk file beserta data dan file-file lainnya yang masih berada di dalam
email.

"Sibuk banget ya Bey?"

Gue menoleh ke arah pintu yang terbuka, lalu kemudian gue mengangguk pelan dan kembali
menatap layar laptop. "Iya nih, gue begadang lagi deh kayaknya..." Ujar gue kepada Sita. "Besok
lo ada bimbingan?"

"Iya Bey, tapi siang bimbingannya."

"Ooh..."

"Kenapa emangnya?"

Gue menggeleng. "Ga apa-apa."

"Eh, Bey, gue minta gorengannya ya?"

"Boleh, tapi elo jangan makan yang ini..." Gue menunjuk ke arah bala-bala. "...sama yang ini."
Lalu kemudian jari gue menunjuk kepada satu buah pisang goreng terakhir yang masih tersisa di
atas piring. "Kalo lo makan, awas aja, gue perkosa elo bolak-balik Sit..."

Lalu dengan santainya Sita mengambil pisang goreng tersebut dan dia menggigitnya secara
perlahan sambil mengangkat alis. Bunyi 'krauk'-nya yang terdengar pelan itu terasa sangat
renyah sekali di telinga gue. "Yakin nih elo mau merkosa gue bolak-balik? Mau dooong
diperkosa sama mas Bayu..."

"Ck, elo ini..." Gue cuman bisa geleng-geleng kepala. "Udah sana dulu gih ah, ganggu mulu lo!"
Gue mengibaskan tangan di udara sambil menyuruhnya untuk menjauh.

"Hahaha iya deh, iyaaa..." Sita tertawa terbahak-bahak lalu kemudian merangkak naik ke atas
kasur di belakang punggung gue. "Eh, Bey..."

"Apa lagi sekarang?!" Gue berbicara ketus tanpa menoleh kepadanya.


"Ih jahat banget. Ini niiih, cewek lo, si Muthia."

"Heh?"

"Iniii, si Muthia nge-BM elo..."

"Nice try, Sit, nice try..." Gue mengangkat jempol sambil menganggukkan kepala berulang-ulang.

"Eh gue seriusan ya, atau elo mau gue bukain terus gue baca aja nih chat nya?"

"ET... JANGAN!" Gue langsung membalikkan badan dan mendekatinya. "Mana? Siniin hape
gue!" Gue menjulurkan tangan.

"Nih nih nih..." Sita memberikannya sambil memasang wajah jutek.

"Ah elo mah kan jadi berminyak gini hape gue..." Gue mengelap keypad dengan menggunakan
ujung kaos sambil ngedumel.

"Tapi bener ada kan chat dari dia?" Tanya Sita.

Gue mengangguk polos. "Iya, ada nih. Kok tumben banget? Ada apa ya kira-kira?"

"Ya dibuka lah sana!" Ujarnya. "Eh, Bey, ngomong-ngomong elo ada rokok ga?"

"Ga ada Sit. Udah dua hari ini gue belum ngerokok. Beli gih sono, turun ke minimarket di depan."

"Yeee masa cewek disuruh beli keluar malem-malem gini?"

"Ya gue juga males keluar Sit. Nanggung banget, kerjaan lagi banyak."

"Nanggung karena kerjaan lagi banyak atau nanggung karena belum buka chat dari Muthia?"

Gue melirikkan mata kepadanya, lalu kemudian gue menggelengkan kepala sambil
mengibaskan tangan. "Terserah elo dah..."

"Hehehe, gue becanda, Bayu-ku sayang..." Sita merangkak mendekat dan dia langsung
melingkarkan tangannya pada leher gue. Harum rambutnya yang khas itu tercium dan terasa
sangat enak sekali untuk dinikmati berlama-lama. "Buka dong chatnya, kan barangkali aja
penting."

"Hmmm..." Gue melempar-lempar kecil Blackberry di tangan gue ke udara. "Entar aja deh."

"Yaaah, kenapa Bey?"

"Tanggung Sit, kerjaan gue masih numpuk banget."

"Aaah elo maaah..." Sita menhgela nafas kecewa, lalu kemudian dia melepaskan tangannya dari
leher gue dan merangkak mundur untuk kembali tiduran di atas kasur.

Gue membalikkan badan untuk menghampiri laptop dan mengambil beberapa berkas yang
tersimpan di sampingnya. Selama gue melihat-lihat berkas di tangan, kadang-kadang gue juga
melirik ke arah Blackberry tersebut yang terasa sangat menggoda sekali untuk dibuka dan
melihat chat yang dikirim oleh Muthia.

Gue menggeleng pelan, lalu kemudian gue mencoba untuk memfokuskan pikiran kepada
pekerjaan sebelum melakukan hal-hal yang berikutnya.

***

"Kebiasaan nih anak..." Gue menggumam dalam hati setelah melihat Sita yang telah terlelap di
atas kasur dengan posisi malang melintang dan terlihat tidak nyaman sekali. Gue meregangkan
tangan di udara sambil mendesah pelan, lalu kemudian gue bangkit berdiri untuk sedikit
merapikan posisi tidur Sita dan menyelimutinya agar dia merasa lebih nyaman.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah dua dini hari, dan sekarang perut gue juga
sedang kelaparan. Gue menghela nafas pelan ketika melihat gorengan di atas piring itu sudah
habis tak bersisa dan hanya menyisakan beberapa butir cabai cengek beserta remah-remahnya
saja. Lalu kemudian gue pun memutuskan untuk memasak mie instan di dapur.

Gue berdiri termangu di depan kompor yang apinya menyala biru sambil melipat kedua tangan di
depan dada. Tidak terdengar suara apapun di sini selain suara air yang mendidih dari dalam
panci beserta suara-suara serangga malam lainnya yang terdengar dari arah halaman kost.

Letak dapur ini berada di ujung lorong yang sedikit remang-remang dan bersebelahan secara
langsung dengan kamar mandi yang sering digunakan oleh anak-anak untuk mencuci pakaian.
Suasana disini terasa mencekam. Angin malam yang dingin berdesir pelan melewati ventilasi
udara di atas sana yang membuat bulu kuduk gue merinding, namun gue mencoba untuk tetap
tenang dan berpikir positif walaupun degup jantung gue terasa lebih cepat dari sebelumnya.

Gue kemudian menggerakkan tangan untuk mengaduk isi dari panci, lalu tiba-tiba saja gue
teringat akan chat dari Muthia yang belum sempat gue baca. Gue pun menyimpan garpu di atas
mangkuk lalu kemudian gue membalikkan badan dan berjalan cepat menuju kamar untuk
mengambil handphone.

Sita menggumam pelan dan dia merubah posisi tubuhnya ketika gue membuka pintu. Gue
terdiam sebentar, lalu kemudian gue masuk dan langsung mengambil Blackberry yang tersimpan
di samping laptop sebelum kembali berjalan menuju dapur.

Gue berdiri di depan kompor sambil menggenggam erat Blackberry pada tangan kiri. Layarnya
masih terlihat gelap walaupun LED Indicator-nya berkedip-kedip tanda ada chat yang belum
terbaca. Setelah berpikir-pikir sejenak, gue kemudian memutuskan untuk membuka dan
membaca chat yang dikirimkan oleh Muthia tersebut.

"Bay, masih inget kan sama temen aku yang namanya Alexy kemarin? Dia katanya mau minta
nomer sama PIN BBM kamu, boleh aku kasih?"

Gue menengadahkan kepala, menyimpan Blackberry di dalam saku celana, lalu kemudian gue
mematikan kompor dan menuangkan mie yang sudah menjadi lembek ke dalam mangkuk.
"Hmmm, Alexy ya..." Gue menggumam pelan.
Gue duduk di atas kursi plastik di depan kamar Sita dengan kedua kaki yang terangkat sambil
memakan mie yang asap tipisnya masih mengepul dan berbau khas mie goreng. Walaupun gue
sedang memakan mie tersebut, tetapi pikiran gue tidak dapat menikmati apa yang sedang gue
makan. Pikiran gue sedang terbang menuju seorang wanita yang bernama Alexy yang wajahnya
samar-samar dapat gue ingat, tetapi tidak dapat gue ingat dengan jelas.

Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi gue untuk menghabiskannya. Gue menyimpan
mangkuk kosong di bawah kursi, lalu kemudian gue mengambil Blackberry dari dalam saku
celana dan mulai mengetikkan pesan balasan untuknya. "Boleh..."

Gue menghela nafas.

Enggak, enggak, enggak. Gue menggelengkan kepala sambil menghapus satu buah kata
tersebut dan menggantinya dengan kalimat yang lain. "Mut? Gimana kalo kamu yang kirimin
kontak dia aja biar nanti aku yang add?"

Dan...

Klik!

Chat pun terkirim. Gue kemudian memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamar dan
kembali melanjutkan pekerjaan yang sebelumnya sempat tertunda.

***

Pagi ini gue kembali dibangunkan oleh suara alarm yang terdengar nyaring yang berasal dari
Blackberry gue yang di-charge dalam keadaan menyala. Gue pun membuka mata secara
perlahan, lalu kemudian gue bangun dari tidur sambil mengurut kening dengan keras. Kepala
gue terasa berat, punggung gue terasa pegal, dan kedua mata gue juga tidak dapat melihat
dengan jelas karena sedikit berkunang-kunang.

Malam hari ini, gue harus kembali tidur dengan posisi duduk bersandar pada tembok kamar yang
dingin karena sangat tidak mungkin sekali bagi gue untuk tidur di atas satu kasur yang sama
dengan Sita, dan gue juga tidak mungkin meraba-raba bagian tubuhnya hanya untuk mencari
dan mengambil kunci kamarnya. Gue menarik nafas dalam-dalam, lalu kemudian gue bangkit
berdiri menuju kamar mandi.

Seperti biasa, setelah gue menunaikan ibadah shalat lima waktu, gue selalu menyempatkan diri
untuk berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar gue selalu diberi kemudahan dalam menjalani
hidup. Tidak hanya itu saja, gue juga selalu menyisipkan satu buah doa yang selalu gue
panjatkan dari dulu, yaitu semoga gue cepat mendapatkan jodoh.

Gue melipat sajadah dan menyimpannya di dalam lemari, lalu kemudian gue berjongkok untuk
melihat Blackberry gue yang LED Indicator-nya kembali berkedip-kedip. Gue langsung membuka
dan membaca chat yang ternyata merupakan balasan dari Muthia.

"Nih nomer handphone sama PIN BB dia. Baik-baik yah, jangan lupa traktiran kalo kalian udah
jadian ."
Entah kenapa, balasan dari Muthia tersebut langsung membuat gue menjadi lebih bersemangat
dalam mengawali hari.

Say Hi

Gue memiringkan kepala sambil mengetuk-ketuk ujung pulpen di atas kertas putih yang berisi
tentang materi-materi presentasi yang sedang dijabarkan oleh pak Oetomo di depan sana. Saat
ini, gue sedang duduk membelakangi sebuah jendela gedung berukuran besar dan
memperhatikan pak Oetomo yang sedang menjelaskan beberapa strategi tentang pemasaran
yang dapat dilakukan oleh perusahaan dalam menghadapi peak season menjelang akhir tahun
nanti. Setelah kami semua beradu pendapat tentang marketing selama hampir satu jam
lamanya, akhirnya rapat ini pun dapat berakhir setelah pak Wisnu kembali mengambil alih
jalannya acara.

"Terima kasih kepada pak Bayu dan ibu Lia yang sudah mempresentasikan tentang laporan
keuangan perusahaan, terima kasih kepada ibu Mayang yang sudah mempresentasikan sisa
stok gudang perusahaan, terima kasih kepada pak Oetomo yang sudah mempresentasikan
tentang strategi marketing, dan terima kasih juga kepada rekan-rekan semua atas partisipasinya
dalam menghadiri acara rapat hari ini. Sekian untuk acara rapat hari ini, selamat siang, dan
selamat menjalankan kembali aktivitasnya masing-masing." Ujar pak Wisnu sambil tersenyum
ramah dan kemudian disusul oleh tepuk tangan kami semua.

Gue membereskan seluruh berkas yang masih berceceran di atas meja kayu berwarna cokelat
terang sambil memasukkan pulpen ke dalam saku kemeja. Setelah itu, gue bangkit berdiri dari
kursi empuk berwarna abu-abu dan berjalan menuju pintu keluar ruangan rapat sambil
menenteng berkas yang gue peluk pada lengan kiri.

"Pak Bayu..." Sebuah suara memanggil gue.

Gue pun menoleh ke arah sumber suara tersebut. "Ya? Oh, ada apa pak?" Ternyata yang
memanggil gue adalah pak Wisnu. Beliau kemudian berjalan mendekat dan menghampiri gue.

"Keep up the good work." Ujarnya sambil tersenyum puas dan kumisnya juga ikut terangkat naik
ketika beliau tersenyum. "Kalo misalkan pak Bayu bisa terus bekerja dengan performa yang
seperti ini, saya bisa jamin, bapak akan mendapatkan kenaikan jabatan dalam beberapa waktu
ke depan."

Gue mengangguk antusias sambil tersenyum lebar. "Terima kasih pak..."

"Baiklah kalo begitu. Mari pak Bayu, saya duluan." Pak Wisnu menepuk pundak gue, lalu
kemudian beliau berlalu dan meninggalkan ruangan.

Sambil berjalan menuju meja kerja, gue mengambil Blackberry dari dalam saku celana dan
langsung mengecek notifikasinya. Ada beberapa notifikasi yang masuk, diantaranya adalah
beberapa notifikasi tentang chat dan email-email tentang pekerjaan. Gue memejamkan mata
sejenak setelah melihat sejumlah email tersebut, lalu kemudian gue menghela nafas panjang
dan mulai membuka aplikasi Blackberry Messenger.

Gue men-scroll ke bawah dengan perlahan untuk mengecek satu persatu chat yang masuk, lalu
tiba-tiba saja ibu jari gue terhenti secara otomatis ketika gue melihat sebuah nama yang tertera
pada layar. Tanpa pikir panjang lagi, gue langsung membuka dan membaca chat tersebut yang
seketika saja dapat membuat gue tersenyum lebar sepanjang hari.

***

"Kenapa lo senyam-senyum sendiri Bey?"

"Ngg, eh?" Gue menoleh kepada Sita sambil menahan tawa. "Ga apa-apa kok Sit." Gue
menggeleng. "Kenapa emang?"

"Ah elo mah bohong! Ngomongnya aja ga ada apa-apa, tapi elo malah senyam-senyum sendiri.
Kenapa ga?!"

"Ga ada apa-apa, Sit. Suwer deh!"

"Ah bohong ah!" Sita kemudian menarik tangan kanan gue dan dia mencoba merebut
handphone yang sedang gue pegang.

"Eh apaan nih?!" Gue menggerak-gerakkan lengan untuk melepas cengkeraman tangannya.

"Ih udah siniin dulu hape elo! Gue pengen liat!"

"Liat apaan?!"

"Siniin!" Sita semakin mencoba untuk meraih handphone di tangan kiri gue, dan gue juga
mencoba untuk menjauhkan Sita dengan cara mendorong badannya.

Lalu tiba-tiba saja...

PLAKKK...!!!

Pipi gue ditampar oleh Sita.

"BAYU...!!!" Wajah Sita langsung berubah menjadi merah padam, lalu kemudian dia menjauhkan
badannya dari badan gue sambil menyilangkan kedua tangan di pundaknya. "LO PEGANG
APAAN TADI?!"

"Eh, sori-sori... Gue ga sengaja Sit..." Gue menunduk malu sambil menggaruk-garuk belakang
telinga dan sesekali juga gue melirikkan mata ke arahnya.

"APA LO LIRIK-LIRIK GUE?!" Ujarnya dengan nada ketus yang membuat gue mengalihkan
pandangan.

Suasana menjadi hening untuk beberapa saat. Gue masih tidak berani untuk menatapnya
secara langsung dan Sita juga hanya terdiam seribu bahasa. Entah sudah berapa lama kami
berdua saling berdiam diri, lalu beberapa saat kemudian tiba-tiba saja Sita tertawa. "HAHAHA...!"

Gue menolehkan kepala dan menatapnya dengan heran. "Sit? Lo kenapa?"

"HAHAHA...!" Sita tertawa dengan keras sekali hingga dia menutup mulut dengan tangannya
dan kedua matanya juga ikut terpejam. Masih dalam keadaan setengah tertawa, Sita merangkak
mendekat lalu kemudian dia duduk di ujung kasur tepat di samping kanan gue seperti
sebelumnya. "Gimana rasanya abis megang dada kiri gue Bey? Kenyel-kenyel gimanaaa gitu
ya? Tapi enak kan? Mau lagi gak?"

"Yeee bangke!" Gue menoyor kepala Sita. "Gue kira elo bakal marah sama gue, eh tapi
sekarang elo malah ketawa-ketawa, mana nawarin gue lagi! Ah kampret bener lo Sit..."
Sita tertawa. "Khusus elo doang mah gue gak akan marah Bey. Serius deh. Tapi buat kalo
cowok lain, wah, Bey, kayaknya dia bakalan gue tampar sampe mati kali."

"Ya tapi tetep aja gue ditampar sama elo! Gila! Sakit banget!" Gue meringis sambil mengelus-
elus pipi yang barusan ditampar oleh Sita.

"Uuuh sakit ya?" Sita mengelus-elus pelan pipi kiri gue sambil memasang wajah manja. "Uluuh
sampe merah gini, kaciiiaaan. Cini-cini aku tium dulu pipinya biar cepet cembuh. Muaaah!"

"Geje lo ah!" Gue mendorong kening Sita dengan menggunakan telunjuk setelah dia mencium
pipi gue, sementara dia hanya tertawa-tawa.

"Eh, Bey, liat dong hape elo... Gue penasaran banget nih..."

"Yauda nih ah ambil, rese lo..." Gue menyerahkannya dengan setengah hati. "Bawel banget sih
jadi cewek..."

"Biarin, wleeek!" Sita memeletkan lidahnya.

Gue bangkit berdiri untuk mengambil handuk yang dijemur di depan kamar sambil berbasa-basi
sebentar dengan Heri. Heri adalah seorang penghuni kamar kost sebelah yang sekarang akan
pergi untuk bekerja shift malam di salah satu minimarket yang terletak tidak jauh dari sini.
Setelah Heri berpamitan dan dia menghilang di balik anak tangga, gue kemudian masuk kembali
ke dalam kamar dan langsung dikejutkan oleh Sita yang sudah berdiri di balik pintu sambil
memasang wajah penasaran.

"Sejak kapan elo punya temen cewek se-cakep ini Bey?" Sita menunjukkan handphone dengan
jarak yang sangat dekat sekali dengan wajah gue.

Gue kemudian menjauhkan kepala dan memegang pergelangan tangannya sambil menyipitkan
mata di depan layar handphone. "Hah? Siapa emangnya?"

"Ituuu, udah gue kasih liat kan display picturenya disitu?"

Gue memfokuskan pandangan kepada handphone dan melihat siapa yang sedang ia
perlihatkan, lalu kemudian gue memasang ekspresi tengil sambil mengangkat kedua alis. "Oooh,
itu, elo cemburu banget ya sama dia?"

"Ih apaan sih!" Sita memukul lengan gue berkali-kali sambil memasang ekspresi jutek. "Itu siapa
gak Bey?!"

Gue pun pada akhirnya hanya bisa tertawa puas sambil ngeloyor masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah pintu tertutup, gue kembali membukanya dan menjulurkan leher sambil tersenyum jahil.
"Siapa aja boleeeh..."

"BAAAYUUU...!"

Gue senyam-senyum sendiri sambil melepas satu persatu pakaian yang gue kenakan, lalu
kemudian gue mulai menyanyikan reff dari lagu To Be With You-nya Mr. Big sambil membasuh
seluruh badan dengan air dingin yang terasa sangat menyejukkan sekali.
I'm the one who wants to be with you
Deep inside i hope you feel it too
Waited on a line of greens and blues
Just to be the next to be with you

Why be alone when we can be together baby


You can make my life worthwhile
I can make you start to smile

Mr. Big - To Be With You

***

A few days earlier...

Hingga saat ini, gue belum berani untuk meng-invite kontak Alexy pada Blackberry Messenger
gue, tetapi nomor handphonenya sudah gue simpan dengan nama kontak yang sama dengan
nama aslinya. Gue memandangi handphone yang tergeletak di atas meja di samping piring
kosong sambil menopang dagu. Hanya tinggal satu kali 'klik' saja, dan gue pun akan memiliki
kontak Alexy pada Blackberry Messenger gue. Gue kemudian menarik gelas yang berisi es jeruk
dingin dan menyedotnya secara perlahan sambil menggigit-gigit sedotan.

"Hhhhh..." Gue menghela nafas melalui hidung lalu bergumam pelan. "Oke deh..."

Klik!

'You have invited 27*** as a contact.'


Dengan harap-harap cemas gue menunggu permintaan pertemanan gue akan diterima
secepatnya oleh Alexy. Satu menit, dua menit, lima menit, hingga entah berapa lamanya,
permintaan pertemanan gue itu belum juga dikonfirmasi olehnya.

Gue pun mengetuk-ketuk jari di atas meja kayu untuk mengusir rasa bosan sambil memandangi
Blackberry yang tersimpan di atas meja, lalu kemudian gue memutuskan untuk bangkit berdiri
dari kursi dan berjalan menuju meja kerja sambil memegang handphone pada tangan kiri.

Langkah kaki gue perlahan-lahan terhenti ketika gue melihat sebuah BBM Feeds terbaru yang
terletak di paling atas, lalu kemudian gue pun menjadi senyam-senyum sendiri setelah
membacanya.

'Alexy is now a contact.'

Gue menggigit bibir bawah sambil meninju udara untuk meluapkan perasaan excited yang
berkecamuk di dalam dada. Senang, bahagia, gugup, semuanya bercampur menjadi satu. Masih
dalam keadaan jemari yang bergetar karena over excited, gue pun langsung membuka profil
milik Alexy dan melihat display picturenya.

Dia terlihat menawan dengan rambut kecokelatannya yang dicepol acak-acakan dan
menyisakan beberapa helai rambut pada lehernya yang putih. Bibir Alexy yang berwarna
kemerahan itu sedang membuat sebuah pose 'duckface' sambil menyipitkan kedua matanya
sehingga ia terlihat sangat kiss-able sekali. Gue memiringkan kepala ke kanan, lalu gue
memiringkan kepala ke kiri, mencoba untuk mencari sebuah sisi terbaik untuk mengagumi
parasnya yang cantik.

Oh, God...

Gue menghela nafas pelan. Gue masih tidak percaya jika ada seorang cewek secantik Alexy
yang mencoba untuk mendapatkan kontak gue dengan cara memintanya dari Muthia. Hal ini
sangat jarang sekali terjadi di hidup gue, dan bahkan mungkin tidak pernah terjadi sebelumnya.
Gue pun terkekeh sendiri. Apa gue se-ganteng itu ya?

Gue memencet tombol back dan membuka kolom chat-nya yang masih terlihat kosong.
Beberapa saat gue terdiam sambil memikirkan kata-kata apa yang cocok untuk membuka
sebuah percakapan. Gue menggosok-gosok permukaan keypad dengan menggunakan ibu jari.
Bimbang. Lalu pada akhirnya gue memutuskan untuk mengetik satu buah kata untuknya.

"Halo... : )"

Klik!

Chat singkat itu pun terkirim dan gue melihat satu buah huruf 'D' di sampingnya. Tidak lama
berselang, tanda 'D' pada chat gue tersebut telah berubah menjadi 'R' yang membuat seluruh
rasa gugup yang gue rasakan menjadi hilang seketika dan langsung digantikan oleh sebuah
senyuman yang merekah lebar pada bibir setelah gue membaca sebuah chat balasan darinya.

"Halo juga, ini Bayu ya? : )"


Say Hi

Gue duduk bersandar dengan kepala tertunduk di depan meja kerja sambil menyimpan jemari
tangan di atas perut. Sesekali gue juga memutar-mutar kursi ke kanan dan ke kiri dengan
menggunakan kaki untuk menikmati setiap gerakan serta sensasi nyaman yang ditimbulkan
olehnya.

Gerakan demi gerakan kursi yang lambat dan konstan ini pun membuat gue terlena. Lalu
perlahan-lahan kedua kelopak mata gue mulai menurun hingga pada akhirnya terpejam secara
total, namun beberapa detik kemudian kedua mata gue itu kembali terbuka dengan gerakan
yang sangat cepat.

Gue menggelengkan kepala sambil memejamkan mata, lalu kemudian gue mengambil secangkir
kopi hitam yang tersimpan di samping layar monitor dan menyeruputnya sedikit. "Gin, gue keluar
bentar ya." Ujar gue kepada Gina sambil menyimpan cangkir.

"Elu mau kemana emangnya?" Gina yang sedang serius mengetik di depan komputer menjawab
gue tanpa menoleh.

"Cari angin dulu, suntuk banget nih gue..." Gue bangkit dari kursi. "Oh iya, kalo misalkan ada
apa-apa, langsung telfon gue aja ya."

"Oke." Gina mengacungkan ibu jarinya dan gue langsung berjalan menuju toilet sambil menguap
berkali-kali.

Gue duduk melamun di atas toilet seat sambil menghisap sebatang rokok cupu yang sedang gue
pegang di sela-sela jemari tangan, lalu kemudian gue menghembuskan asapnya ke udara yang
langsung dihisap habis oleh exhaust fan yang berputar cepat di langit-langit toilet. Hampir dua
puluh menit lebih gue duduk bengong di dalam sini dan membiarkan rokok tersebut habis
dengan sendirinya, dan hampir selama dua puluh menit itu pula gue memikirkan tentang apa
yang sedang gue jalani saat ini.

Sekarang sudah memasuki periode akhir tahun yang berarti pekerjaan gue akan semakin
menumpuk dari biasanya. Selama seperempat abad gue hidup di dunia ini, gue selalu
menghabiskannya dengan belajar dan bekerja, sekeras mungkin. Gue hampir tidak pernah
merasakan dengan apa yang namanya liburan. Terakhir kali gue berlibur sepertinya pada tahun
2007 di Sanremo untuk menghadiri sebuah acara festival musik yang cukup heboh dibicarakan
oleh teman-teman sekampus gue dulu.

Awalnya gue menolak mentah-mentah ajakan mereka dikarenakan gue yang sedang sibuk
mengerjakan tesis serta budget gue yang pada saat itu sangat terbatas sekali. Duit jajan gue
juga sepertinya akan langsung habis tak bersisa untuk membeli tiket kereta Trenitalia rute Turin-
Sanremo pulang pergi.
Namun setelah sekian banyak bujuk rayu maut yang mereka semua gunakan termasuk
Anastasia, that fucking seductive blonde from Russia yang merayu gue untuk 'bermain'
dengannya selama seminggu penuh berturut-turut, akhirnya gue pun mau ikut dengan syarat
bahwa mereka semua harus mentraktir gue selama di perjalanan, plus seporsi gelato di
Cioccogelateria Venchi. Migul pun langsung menjawab "Andiamo!" sambil tertawa puas. Lalu
pada hari itu juga, gue dan rekan-rekan satu dorm lainnya langsung memesan tiket Trenitalia
menuju Sanremo.

Seiko Diver di tangan kiri gue kini sudah menunjukkan pukul tiga sore, yang artinya sebentar lagi
gue akan segera meninggalkan kantor. Gue sudah tidak sabar untuk menunggu waktu pulang
yang sudah gue nanti-nantikan semenjak kedatangan gue di kantor tadi pagi. Lalu kemudian gue
mengeluarkan Blackberry dari balik saku celana dan mengetik sebuah chat.

"Lex, hari ini jadi kan?"

Bagi gue, sepertinya sudah cukup untuk kami berdua yang hanya saling berkomunikasi via
handphone selama beberapa hari ke belakang dan sekarang sudah saatnya bagi kami berdua
untuk bertemu secara langsung pada sebuah pertemuan yang memang sudah kami rencanakan
sebelumnya. Gue menyedot rokok dalam satu hisapan terakhir, lalu kemudian gue membuang
puntungnya ke dalam tong sampah sambil menghembuskan asapnya ke segala arah, tepat di
saat Blackberry gue bergetar.

"Iya Bay, jadi kok. Langsung ke kantor gue aja ya..."

"Oke, see you soon, Lex."

"See you soon..."

Gue kemudian membuka pintu toilet dan berjalan menuju wastafel untuk membasuh muka. Di
saat gue yang sedang menatap cermin dengan keadaan wajah yang penuh dengan butir-butir
air, gue melihat sesuatu.

Ada sebuah senyuman yang terlihat mengembang di kedua sisi bibir gue. Ada sebuah
senyuman yang seketika dapat tersungging hanya karena setelah membaca sebuah chat simple
yang dikirimkan olehnya yang menandakan bahwa hari ini gue bakal bertemu dengannya. Gue
memegang erat kedua sisi wastafel sambil menundukkan kepala dan terkekeh pelan, lalu pada
akhirnya gue menggeleng sambil mengambil beberapa helai tissue dan langsung pergi
meninggalkan toilet dengan hati yang berbunga-bunga.

Lex, can you just stop making me smiling like a fucking idiot? : )

***

Pada sore hari yang cerah itu, gue memarkirkan motor di bawah pepohonan yang rindang, tidak
jauh dari pintu masuk tempat dimana Alexy bekerja. Gue melepas helm dari kepala dan
menyimpannya, lalu kemudian gue sedikit merapikan rambut pada kaca spion agar menjadi
terlihat lebih rapi dari sebelumnya.

Ada perasaan-perasaan aneh yang seketika datang melanda. Berbagai perasaan takut, gugup,
grogi, gelisah, semuanya bercampur aduk menjadi satu dan semua hal tersebut malah membuat
jantung gue deg-degan hingga pada akhirnya membuat gue menjadi kebelet pipis sendiri. Gue
menghela nafas panjang melalui mulut, lalu kemudian gue mulai mengetikkan sebuah pesan
untuknya.

"Lex, gue udah di parkiran nih. Lo dimana?"

Gue turun dari motor lalu berdiri menghadap ke arah pintu masuk kantor sambil menyilangkan
tangan di depan dada, dan gue pun mulai menunggu. Menunggu adalah sesuatu yang paling
tidak disukai oleh semua orang, sekalipun itu adalah untuk menunggu sebuah hal yang pasti
seperti gue sekarang. Rasanya jarum jam pada tangan kiri gue bergerak dengan lambat sekali,
dan itu malah membuat gue semakin tidak sabar untuk bertemu dengannya.

"Tungguuu, otw turun ke bawah."

Gue mengetuk-ketuk aspal dengan menggunakan pantofel untuk mengurangi rasa gugup yang
menjalar hingga ke ujung telapak tangan yang membuatnya terasa dingin. Tiga menit ini terasa
sangat lama sekali, dan tiga menit ini juga menjadi sebuah tiga menit yang paling panjang di
dalam hidup gue. Perasaan yang timbul ketika menunggu Alexy itu kurang lebih terasa sama
dengan apa yang pernah gue rasakan ketika gue akan dilantik menjadi seorang sarjana ekonomi
dulu.

Jantung yang berdegup kencang, bibir yang terasa dingin, kedua tangan yang bergemetar,
semuanya dapat kembali gue rasakan ketika gue melihat Alexy yang sedang keluar dari lobby
dan berjalan menuruni tangga. Lalu pada akhirnya tiga menit yang terasa sangat lama itu pun
berakhir.

Untuk pertama kalinya, gue dapat melihat Alexy dalam balutan busana kantor. Ia mengenakan
sebuah kemeja berlengan pendek berwarna merah khas yang dipadukan dengan rok span abu-
abu se-lutut, dan rambut kecokelatannya itu dibiarkan tergerai rapi di depan dadanya. Warna
rambut Alexy itu sangat cocok sekali dengan seragam kantornya. Tidak lupa juga, ada sebuah
jaket berwarna putih cerah yang melingkar di salah satu lengannya sementara tangan yang
satunya lagi sedang menenteng tas berwarna hitam dengan hiasan berwarna kuning keemasan.

Alexy terlihat celingukan sebentar, lalu beberapa saat kemudian dia menolehkan kepalanya ke
arah parkiran, dan dia tersenyum sambil berjalan mendekat ketika dia telah melihat gue yang
sedang tersenyum kepadanya.

"Hai..." Sapa Alexy dengan ramah, sementara gue hanya bisa tersenyum sambil memandangi
kedua matanya yang indah. "Bay?"

Gue terkekeh. "Hai Lex." Jawab gue pada akhirnya.

That One Day


"Mau sekarang?" Tanya gue kepada Alexy sambil memberikan helm kepadanya.

"Ayo." Dia mengangguk semangat sambil menerima pemberian helm dari gue. "Eh, Bay, tapi kita
cari makan dulu ya? Gue laper banget nih, belom pernah makan dari lulus SD kemaren..."

Gue terkekeh. "Wah, elo keren banget ya Lex. Ga pernah makan dari lulus SD aja udah bisa jadi
secantik ini."

Alexy tertawa. "Cieee baru ketemu dua kali aja langsung digombalin."

"Eh beneran loh, elo emang cantik banget Lex."

"Udah ah." Ujarnya sambil mengalihkan pandangan dan dia tersenyum malu.

Sambil cengengesan, gue langsung naik dan menyalakan mesin motor lalu kemudian disusul
oleh Alexy yang duduk di belakang. Dia duduk dengan posisi menyamping sambil memeluk jaket
serta tas yang ia bawa, sementara satu tangan yang lainnya melingkar dan memegang perut
gue dari belakang, yang seketika saja membuat jantung gue berdegup lebih cepat dari biasanya.

"Bay? Gue pegangan sama elo gapapa kan?"

"Ngg... Eh? Iya..." Gue mengangguk polos. "Boleh kok..." Gue mencoba untuk meraih
konsentrasi penuh sebelum bertanya kepadanya. "Udah?"

"Udah. Yuk jalan sekarang."

Gue memacu motor dengan kecepatan sedang untuk keluar dari halaman parkir kantornya yang
ternyata langsung disambut oleh kemacetan yang selalu menghantui kota ini. Bunyi klakson
terdengar nyaring dan saling bersahut-sahutan dari berbagai kendaraan bermotor di sekitar kami
berdua. Tidak sedikit juga dari para pengendara motor yang memaksakan diri untuk menerobos
masuk ke dalam jalur busway, tetapi mereka semua langsung kembali melewati palang
pembatas ketika melihat beberapa polisi yang sedang bertugas di depan sana.

"Lex, Lex, tuh liat tuh." Gue menunjuk kepada sebuah motor yang sepertinya tidak menyadari
kehadiran aparat kepolisian di depan sana. "Udah nemu belom?"

"Yang motor item itu bukan?"

Gue mengangguk. "Nanti liat ya dia bakal diapain sama polisi."

Gue memajukan motor secara perlahan seiring dengan terurainya kemacetan, tetapi kedua mata
gue masih terpaku kepada seorang pengendara motor tersebut. Semakin lama, jarak antara si
pengendara motor pun semakin dekat dengan polisi yang sedang bertugas, hingga pada
akhirnya si polisi meniup peluit berkali-kali sambil menunjuk ke arah si pengendara motor yang
kini sedang bersusah payah menaikkan motornya untuk melewati palang pembatas yang terbuat
dari semen beton pendek.

Namun sayang, polisi tersebut ternyata dapat menangkapnya terlebih dahulu sebelum si
pengendara itu dapat meloloskan diri, dan pada akhirnya dia hanya bisa pasrah ketika ditilang
oleh polisi di bahu jalan. Gue dan Alexy pun menjadi tertawa-tawa setelah melihat adegan
tersebut.

"Untung banget ya Bay kita ga ngelewat ke situ. Coba aja kalo kita lewat, pasti bakal panjang itu
urusannya." Ujarnya yang dijawab oleh anggukkan kepala gue.

***
Gue sama sekali belum mengetahui ke mana arah dari tujuan kami sekarang. Pada lokasi
dimana kami berdua berada saat ini memang terdapat banyak sekali pilihan tempat untuk
makan, tetapi gue tidak mengetahui secara pasti jenis makanan apa yang Alexy inginkan. Gue
pun pada akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.

"Lex, mau makan dimana? Yang deket dari sini sih ya palingan di Senopati sama Pacific Place
SCBD. Gimana?"

"Mmm... Di tempat itu aja deh... Apa sih namanya?"

"Apa?"

"Ngg... Itu... Resto seafood yang ada chips sama nachos-nya itu loooh..."

"Ooh, Fish & Co.?" Tebak gue.

"Nah! Iya itu! Makan disana aja yuk!"

"Oke."

Gue kemudian mengarahkan motor untuk pergi menuju Fish & Co. yang terletak di Pacific Place.
Seumur-umur, gue hanya pernah mendatangi tempat tersebut sebanyak dua kali. Yang pertama
adalah ketika adik gue mengunjungi gue di sini, dan yang kedua kalinya adalah ketika gue
menghadiri sebuah acara ulang tahun dari rekan satu kantor beberapa bulan yang lalu, dan
keduanya selalu membuat gue ingin meneteskan air mata ketika melihat harga makanan yang
tertera pada buku menu.

Tetapi untuk sekarang, sepertinya tidak apa-apa jika gue kembali mendatangi tempat tersebut
karena saat ini gue akan datang bersama seorang cewek cantik yang sedang gue bonceng di
belakang, dan gue bukan datang bersama seorang adik perempuan yang bawelnya Maysa
Allah. Adik gue tiba-tiba saja menjelma seperti orang kampung yang meminta gue menemaninya
untuk mendatangi beberapa tenant yang menjual berbagai macam pakaian wanita. Padahal gue
yakin, di Bandung sana, ia selalu hangout bersama teman-teman kampusnya.

Gue memarkirkan motor di salah satu tempat parkir yang kosong dan terletak tidak jauh dari
pintu masuk. Setelah motor terparkir dengan sempurna, Alexy turun dan dia langsung merapikan
kemeja serta rambutnya yang sedikit acak-acakan dengan menggunakan sisir yang dibawa
olehnya. Selama dia sedang merapikan dandanan, gue hanya bisa termenung sambil menatap
punggungnya.

Gila!

Sebelumnya gue tidak pernah menyangka bahwa gue dapat berinteraksi tanpa tergagap-gagap
ataupun kaku dengan seorang cewek cantik bernama Alexy yang cantiknya pake naudzubillah.
Ini semua terasa mengalir dengan sendirinya, dan ini juga terasa sangat berbeda sekali dengan
keadaan gue di masa lalu, yang dimana gue selalu tergagap ketika berbicara dengan seorang
cewek cantik.

Dan menurut konfirmasi Muthia juga, saat ini Alexy sedang berstatus single!

Sekarang gue hanya bisa berharap dan berdoa di dalam hati, semoga ini adalah jawaban dari
Tuhan atas sebuah doa yang selalu gue panjatkan setiap gue beribadah kepada-Nya. Aamiin.

"Yuk Bay. Gue udah." Alexy membuyarkan lamunan gue.

Kami berdua kemudian berjalan secara bersisian menuju lokasi restoran yang berada di lantai
empat gedung ini. Selama di perjalanan, Alexy tak henti-hentinya bercerita dan dia juga hampir
mendominasi seluruh pembicaraan kami berdua. Dia bercerita mengenai banyak hal, termasuk
bercerita tentang seorang Muthia yang ternyata merupakan sahabat dekatnya semenjak mereka
masih duduk di bangku kuliah dulu.

Gue hanya bisa membalas obrolan tersebut sekenanya saja karena pikiran gue tidak dapat
berkonsentrasi dalam menyimak setiap cerita apa yang sedang diceritakan olehnya. Bagaimana
tidak? Gue hanya bisa berkonsentrasi dalam mendengarkan suaranya saja yang terasa halus
dan enak didengar tanpa bisa berkonsentrasi untuk mendengarkan apa yang sedang
dibicarakan olehnya.

Untungnya kejadian tersebut tidak berlangsung lama. Kami berdua masuk ke dalam sebuah lift
yang sudah hampir terisi penuh, dan mau tidak mau hal itu juga membuat kami berdua saling
berdiri secara berhimpitan. Alexy kini berdiri di sebelah kanan gue dengan jarak yang sangat
dekat sekali. Aroma parfum serta wangi rambutnya yang harum itu tercium oleh indera
penciuman gue. Walaupun wanginya terasa jauh berbeda dengan aroma parfum Sita, tetapi gue
tetap menikmatinya.

Pintu lift terbuka ketika telah sampai di lantai tempat dimana kami berdua tuju. Gue
mempersilakan Alexy untuk keluar terlebih dahulu, lalu kemudian gue menyusulnya di belakang
dan kami berdua langsung berjalan menuju restoran di depan sana.

"Duduk di situ aja yuk." Gue menunjuk kepada sebuah meja kosong yang menurut gue terletak
cukup strategis.

Beberapa saat setelah kami berdua duduk, ada seorang pramusaji yang datang sambil
menyerahkan dua buah buku menu kepada gue dan Alexy. Sambil menggaruk belakang telinga,
gue bertanya kepadanya. "Mau makan apa Lex?"

"Hmmm... Apa ya?" Alexy terlihat tekun dalam menyusuri setiap menu yang tertera. Kedua
matanya bergerak ke kiri dan ke kanan, lalu kemudian dia menyebutkan sebuah menu. "Bali Fish
and Chips satu ya mbak." Ujarnya. "Lo apa?"

"Ngg... Gue pesen ini aja deh, Caesar Salad." Ujar gue sambil menatap kepada si pramusaji.

"Maaf mas, Caesar Salad-nya mau pake Smoked Salmon atau Grilled Chicken?" Si pramusaji
bertanya sambil sedikit membungkukkan badan sementara kedua tangannya terlihat siap
mencatat pesanan gue.

"Hmmm... Pake Smoked Salmon aja mbak..."

"Baik mas. Minumnya?" Tanya si pramusaji.

Gue kemudian menoleh ke arah Alexy yang masih berkutat pada buku menu. "Lo mau minum
apa?"

"Ice Chocolate. Lo apa?"

"Samain aja sama elo."

"Oke, jadi Ice Chocolate-nya dua ya mbak. Oh iya! Sama Panna Cotta-nya satu. Lo mau Panna
Cotta gak Bay?"

Gue menggeleng. "Enggak deh Lex, gue lagi ga mau makan es krim."

"Oh yaudah..."
Alexy menutup buku menu dengan gerakan lambat dan dia langsung menyerahkannya kepada
si pramusaji. Gue pun melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Alexy. Setelah
si pramusaji pergi meninggalkan meja kami berdua, gue dan Alexy hanya saling berdiam diri dan
saling menatap satu sama lain. Gue memiringkan kepala dan tersenyum kepadanya, lalu tiba-
tiba saja Alexy menjadi tersipu dan gue juga melihat bahwa kedua belah pipinya yang putih
bersih itu merona.

"Bay, jangan liatin gue pake tatapan yang kayak gitu dong..." Ujarnya malu-malu dan dia
mencoba menghindari kontak mata dengan gue secara langsung.

Gue mengernyitkan kening sambil terkekeh pelan. "Hah? Emang kenapa?"

"Gue..." Dia menatap gue secara sekilas, lalu kemudian dia kembali mengalihkan pandangannya
sambil tertunduk dan dia mengucapkan sebuah kalimat dengan nada yang sangat pelan sekali,
namun gue masih dapat mendengarnya secara samar-samar. "Gue jadi grogi kalo diliatin kayak
gitu sama elo..."

"Hah? Lex? Lo ngomong apaan tadi?"

"Eh, enggak kok, enggak..." Alexy menggeleng cepat sambil menggoyangkan telapak tangannya
dengan gerakan yang terlihat kikuk.

Gue kemudian menopang dagu dengan menggunakan kedua punggung tangan yang sikutnya
bertumpu pada meja. "Bener?"

"Iya, beneran kok..." Dia mengangguk.


"Yakin? Bukan grogi gara-gara diliatin sama gue kan?" Gue mengangkat alis dan tersenyum
jahil.

Seketika wajah Alexy kembali memerah. "Tuh kan elo mah nyebelin banget..." Dia memanyun-
manyunkan bibirnya yang membuat gue tertawa.

"Emang ada apa sih sama tatapan gue?"

"Tatapan elo itu kayak gimana ya...? Ya tatapan elo tuh kayak gituuu..." Dia berkata sambil
menepuk kedua pahanya.

Gue tertunduk sambil menggaruk tengkuk yang tidak terasa gatal. Bingung. "Tatapan gue tuh
emang kayak gimana sih?"

"Ya gitu deh pokoknya Bay... Eh, eh, makanannya dateng tuh!" Alexy menunjuk ke arah seorang
pramusaji yang sedang membawakan pesanan kami berdua, yang sekaligus mengalihkan
perhatian gue darinya. "Makan aja dulu yuk sekarang."

Si pramusaji datang menghampiri kami dan dia menyimpan pesanan kami berdua di atas meja
dengan cekatan. Setelah semuanya tersaji, gue menunduk sambil menatap makanan yang
berada di depan gue, lalu kemudian gue tersenyum simpul dan mulai menyendok suapan
pertama.

A Happy Man

"Haduuuh, Bay, gue kenyaaang..." Alexy menyandarkan punggungnya pada kursi, lalu kemudian
dia mengambil Ice Chocolate di atas meja yang langsung ia minum sampai habis.

"Katanya tadi tuh lapeeer..." Goda gue.

Alexy mengernyitkan wajahnya sambil menyimpan gelas di atas meja. "Gue kirain porsinya
cuman dikit Bay, eh taunya malah banyak gini..."

"Abisin dong Lex, mubadzir. Dikit lagi tuh..."

"Kenyang Baaay..."

Gue tersenyum kecil sambil memajukan kursi agar lebih dekat dengan meja, lalu kemudian gue
mengambil alih makanan Alexy dan menjulurkan sendok kepadanya. "Ayooo sini dek Alexy
makan duluuu..."

Alexy menggelengkan kepalanya sambil memasang sebuah ekspresi seperti anak kecil. "Ga
mau kaaak..."

Gue menghela nafas dan mengalihkan pandangan darinya untuk sejenak, lalu kemudian gue
kembali memandang kedua matanya sambil tersenyum. "Suapan yang terakhir deeeh."

Lalu dengan malu-malu, Alexy menegakkan badannya. Kepalanya terjulur ke depan, mulutnya
terbuka, dan pada akhirnya dia mau menerima suapan gue. Caranya dalam menerima suapan
gue itu membuat gue tertawa. Gue tertawa pelan ketika melihatnya yang mau menerima suapan
gue sambil mesem-mesem malu, dan dia juga mengunyahnya dengan lambat.

"Kok ngunyahnya gitu amat sih Lex?"

"Uwah hue biwangin jangan gifu ih ngeiatin huenya..." Ujarnya dengan bersungut-sungut.

"Aduh Leeex..." Gue semakin tertawa. "Telen dulu itu makanan, baru ngomong."

Alexy mengernyitkan wajah sambil menelan makanannya. "Kalo gue lagi makan tuh jangan
diliatin kayak gitu ih..."

"Iya deh iyaaa..."

Kami berdua kembali melanjutkan acara makan. Alexy memakan Panna Cotta-nya, sementara
gue menghabiskan sisa makanan Alexy sambil sesekali mencuri pandangan ke arahnya.
Ekspresi wajah Alexy itu terlihat sedang serius sekali. Kepalanya menoleh ke kiri sehingga
rambut panjang kecokelatannya itu sedikit menutupi pipinya yang putih. Dia menyendok Panna
Cotta yang tersaji di atas meja dengan perlahan sambil menatap smartphone pada tangan
kirinya, lalu kemudian dia memasukannya ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan gerakan
yang lambat.

"Lex?" Panggil gue.

Dia menoleh. "Hmmm?"

"Ngg... Sori..." Gue langsung menjulurkan tangan dan membersihkan bekas cream pada bibir
atasnya dengan menggunakan ibu jari.

Hal yang dilakukan oleh gue itu ternyata membuat wajah Alexy kembali memerah. Rona merah
pada pipinya itu sangat terlihat kontras sekali dengan warna kulitnya yang putih. Lalu sambil
dengan tersenyum malu, dia berterima kasih kepada gue. "Makasih Bay."

Gue mengangguk pelan dan tersenyum kepadanya. "Sering-sering aja kayak gitu ya Lex, biar
gue juga bisa sering-sering ngebersihinnya."

"Maunya elo aja itu mah!" Alexy kemudian tertawa. Tawanya itu terdengar sangat renyah sekali
di telinga gue.

Alexy kembali memakan Panna Cotta-nya sambil sedikit tertunduk dan gue juga kembali fokus
untuk menghabiskan makanan yang tersaji di atas meja. Beberapa saat kemudian, gue
mendengar sebuah suara antara sendok dan piring yang saling beradu pelan di atas meja. Gue
pun menoleh ke arah sumber suara tersebut. Alexy telah menyimpan sendok dalam keadaan
terbalik di atas piring Panna Cotta-nya yang telah habis, lalu kemudian dia menoleh kepada gue
sambil mengelap bibirnya dengan menggunakan tissue.
"Lo udah Bay?"

Gue mengangguk. "Udah. Yuk kita pulang sekarang, udah malem nih." Gue kemudian menoleh
ke arah kasir sambil mengacungkan tangan, lalu kemudian ada seorang pramusaji yang
mendatangi meja kami berdua sambil membawa sebuah bill yang disimpan di atas baki kecil
berwarna cokelat tua.

Gue mengambil dan melihat sejumlah harga yang tertera, lalu kemudian gue mengeluarkan
beberapa lembar uang dari dalam dompet. "Dari gue aja dulu Lex."

"Eh, enggak ah enggak. Kita bayar sendiri-sendiri aja!" Alexy ngotot sambil menyodorkan
uangnya di depan gue.

Gue menggelengkan kepala. "Entar aja gantian, elo yang traktir gue kapan-kapan."

Lalu dengan perlahan Alexy memundurkan tangannya dan dia mengiyakan permintaan gue.
"Next time, gue aja yang bayar ya."

"Iya..." Gue menyerahkan uang kepada si pramusaji tersebut, dan beberapa saat kemudian dia
kembali dengan membawa uang kembalian serta struk pembayarannya. "Yuk Lex, kita pulang."
Ujar gue sambil bangkit dari kursi.

"Bay?"

Gue menoleh kepada Alexy sambil mengambil jaket yang tersampir pada kursi. "Ya?"

"Kita nonton yuk..." Ajaknya dengan polos.

Gue mengkerutkan kening dan menggaruk pelipis. "Sekarang?"

Alexy mengangguk. "Iya, sekarang."

"Lex, udah malem ah. Besok gue masih kerja."

"Ayo dooong..."

"Nggak, nggak... Nanti aja pas malem minggu kita nontonnya."

"Yaaah..." Alexy memasang wajah kecewa sambil bangkit dari kursi. "Malem minggu nanti ya?"

Gue mengangguk. "Gampaaang, nanti kita tinggal kontak-kontakan aja. Udah yuk ah, keburu
makin malem."

"Okkkeee..." Ujarnya dengan semangat.

***

"Lex, rumah lo dimana?" Tanya gue kepada Alexy beberapa saat setelah kami keluar dari pusat
perbelanjaan tersebut.
"Rumah gue di daerah Jagakarsa."

"Jagakarsanya dimana?"

"Di daerah situ..." Alexy menyebutkan alamat rumahnya secara detail, yang seketika saja
membuat gue menghela nafas panjang. Setahu gue, alamat rumah yang disebutkan olehnya itu
merupakan sebuah kompleks perumahan yang dapat bilang cukup elit bagi gue.

"Terus kalo sehari-hari kerja, gimana? Kan lumayan jauh tuh. Elo perginya pake apa?"

"Gue biasanya pergi pake mobil. Tapi sekarang kan mau dijemput sama elo, jadinya tadi pagi
gue ke kantor pake taksi."

Gue mengangguk paham. "Ooh..."

Gue kemudian menambah laju kecepatan motor dikarenakan hari sudah mulai larut malam
walaupun masih terlihat cukup banyak kendaraan yang berlalu lalang di sekitar kami berdua.
Saat ini, gue memiliki sebuah tanggung jawab secara tidak langsung kepada kedua orang tua
Alexy karena gue telah membawa anak gadisnya keluar hingga selarut ini, dan gue juga harus
bisa memastikan bahwa Alexy akan tiba dengan selamat di rumahnya nanti.

Kecepatan motor yang cukup tinggi dan disertai dengan angin malam yang berhembus dengan
cukup kencang itu ternyata membuat tangan Alexy bergetar. Gue pun menyadari hal tersebut.
Gue kemudian langsung menepikan motor di pinggir jalan yang diterangi oleh penerangan
seadanya.

"Kenapa berenti Bay?" Tanya Alexy sambil melepas tangannya dari perut gue.

"Engg, itu Lex..." Ujar gue kepadanya sambil melepas jaket kulit cokelat kesayangan yang
sedang gue kenakan. "Lepas jaket lo, kita tukeran jaket dulu sebentar."

"Loh? Kenapa?"

"Jaket lo tipis banget Lex, dingin, terus rok lo juga pendek cuman se-lutut. Mending elo pake
jaket gue. Tebel, anget..." Ceramah gue panjang lebar, lalu kemudian gue menjulurkan tangan
ke belakang dan memberikan jaket gue kepadanya. "Nih."

"Ga mau ah, masa gue pake jaket elo sih?"

Gue menghela nafas pelan, lalu kemudian gue turun dari motor dan berdiri di depannya. Alexy
terlihat heran ketika melihat kelakuan gue yang seperti itu. Gue langsung membentangkan jaket
kulit gue pada punggungnya, lalu kemudian gue mengenakan jaket tersebut pada tubuh Alexy.
"Jangan protes ya..." Ujar gue sambil tetap fokus untuk menaikkan resleting jaket hingga sebatas
perutnya.

Alexy tidak berkata apa-apa dan dia hanya terdiam saat gue mengenakan jaket tersebut
kepadanya. Setelah semuanya selesai, gue kembali naik ke atas motor dan langsung
melanjutkan perjalanan. Alexy juga kembali berpegangan kepada perut gue, tetapi kini dia
memegangnya lebih erat dari sebelumnya dan itu juga membuat jantung gue menjadi berdegup
kencang. Jantung gue kini berdegup lebih kencang dari sebelumnya karena gue dapat
merasakan bahwa tubuhnya itu semakin merapat dengan punggung gue, tanpa ada sedikitpun
jarak yang memisahkannya.

***

"Lurus aja terus Bay. Nanti di depan belok kiri, baru belok kanan."

Gue memasuki kompleks perumahan ini lebih dalam lagi sesuai dengan arahan Alexy. Semakin
ke dalam, ternyata penerangan di sini dapat terbilang cukup kurang karena hanya ada sedikit
lampu jalan yang terpasang di pinggir trotoar. Walaupun lampu-lampu tersebut memang
menyala dengan terang, tetapi cahayanya masih tidak cukup untuk menerangi seluruh jalanan.

"Itu Bay rumah gue, yang pagernya warna item..." Alexy menunjuk kepada sebuah rumah di
depan sana yang membuat gue melongo.

Rumah Alexy itu terlihat besar, berlantai dua, halamannya luas, dan sangat berbeda sekali
dengan rumah yang gue tinggali bersama keluarga gue di sana. Setelah gue memarkirkan motor
tepat di depan pagar rumahnya, Alexy pun turun lalu kemudian dia berdiri di samping gue sambil
memberikan jaket yang sebelumnya ia kenakan. "Makasih ya Bay."

Gue membalas senyuman Alexy sambil menerima jaket pada tangannya. "Iya, sama-sama Lex."

"Mau masuk dulu ke dalem?"

Gue menggeleng pelan sambil menaikkan resleting jaket hingga menutupi leher. Harum jaket
gue kini terasa berbeda. Jaket gue kini terasa seperti wangi parfum Alexy, dan gue
menyukainya. "Lain kali aja deh Lex, udah malem sekarang. Salam aja ya buat bapak sama ibu."

Alexy terkekeh. "Gue tinggal disini cuman bertiga. Cuman ada gue, asisten rumah tangga, sama
supir."

Gue menatapnya dengan heran. "Beneran?"

"Iya..." Alexy mengangguk. "Sekarang kakak cowok gue udah kerja di pelayaran, terus kalo ibu
sih ngikut terus sama bapak yang sekarang masih kerja di luar."

"Ooh..." Gue mengangguk paham. "Bapak kerja apa?"

"Staf KBRI."

"Ow..." Gue mengangguk pelan sambil mengalihkan pandangan darinya.

"Jadi..." Ujar Alexy yang membuat gue kembali menoleh kepadanya. "Nanti sabtu kita jadi jalan
kan?"

Gue tertawa. "Iyaaa, jadi kok. Yaudah ya Lex, sekarang gue mau balik dulu."

Alexy mengangguk. "Oke Bay. Hati-hati di jalan, jangan lupa kabarin gue kalo udah nyampe
rumah."
Gue kemudian menjadi senyam-senyum sendiri sambil menatap wajah cantiknya setelah
mendengar perkataan tersebut. Seumur-umur, hanya orang tua gue saja yang selalu berkata
kalimat yang sama ketika gue akan pergi kemana-mana, dan kini gue kembali mendapatkannya
dari seorang cewek cantik bernama Alexy.

"Iya Lex, pasti." Gue mengangguk dengan mantap dan langsung menyalakan mesin motor.

"Bye Bayu... See you on Saturday." Alexy melambaikan tangannya.

Gue tersenyum sambil menutup kaca helm, lalu kemudian gue membalas lambaian tangannya
dan perlahan-lahan gue mulai menarik tuas gas sambil membawa sebuah perasaan bahagia
yang tidak dapat gue gambarkan dengan apapun.

Takes A Stroll and Got Trolled

Dua hari telah berlalu semenjak gue jalan keluar bersama Alexy, dan setelah hari itu juga
frekuensi komunikasi di antara kami berdua menjadi meningkat secara drastis. Kami yang pada
awalnya hanya berkomunikasi untuk berbasa-basi ringan, kini telah berubah menjadi lebih sering
berkomunikasi untuk bertanya tentang keadaan, kabar dan bentuk-bentuk perhatian kecil
lainnya.

I'm going to be the happiest man in the world, isn't it Mike?

Oh iya, talking about Mike, beberapa hari yang lalu sebelum gue jalan dengan Alexy, gue
sempat berkirim email dengannya. Berawal dari sebuah ketidaksengajaan ketika gue yang akan
membayar makanan di warteg dekat kantor, ada sebuah kartu nama yang ikut terambil pada
saat gue mengeluarkan beberapa lembar uang, dan ternyata itu adalah kartu nama Mike yang
pernah ia berikan kepada gue.

Siang hari itu juga setelah gue berada di depan komputer di dalam kantor, gue langsung
menyempatkan diri untuk say hi via email kepadanya. Tetapi mungkin karena perbedaan zona
waktu yang bisa dibilang sangat jauh, email tersebut tidak langsung terbalas. Gue pun pada
akhirnya kembali melanjutkan pekerjaan.

Lalu pada malam harinya sekitar pukul sebelas ketika gue baru saja selesai menyusun draft
pekerjaan untuk hari esok, Sita memberitahu bahwa Blackberry gue yang sedang dipegang
olehnya bergetar karena ada sebuah notifikasi tentang email yang masuk. Mike membalas email
itu dengan bertanya tentang kabar gue saat ini, keadaan serta perkembangan terbaru mengenai
kota Padang, dan tentu saja, dia juga bertanya tentang Muthia.

"She's fine Mike, Muthia is fine..." Jawab gue.

Tidak berselang lama kemudian, Mike langsung merespon email gue dan pada akhirnya kami
langsung larut ke dalam sebuah percakapan via Skype setelah kami berdua saling bertukar
akun.
"You don't get it huh? It's not about her, it's about you."

"What do you mean Mike?"

"How's your progress with Muthia?"

Mau tidak mau, gue harus menjelaskan panjang lebar mengenai keadaan kami berdua
sekarang. Gue bercerita tentang pacar Muthia yang merupakan adik dari atasan gue, dan dia
juga adalah seorang pria yang termasuk ke dalam golongan 'super ultra high fucking class
men' yang membuat gue lebih memilih untuk mundur secara teratur.

"I'm so sorry to hear that..." Ujar Mike.

Lalu semua cerita itu pada akhirnya gue akhiri dengan sebuah pembicaraan mengenai Alexy.
Gue bercerita mengenai Alexy dari awal pertemuan gue dengannya yang secara kebetulan
karena dikenalkan oleh Muthia, hingga dimana kami berdua yang sudah memutuskan untuk
bertemu secara berduaan saja.

"Whoever it is, don't forget about the communication aspect like what I said before.
Communication is a sacred thing in a relationship. Remember that. And good luck for your date
with her."

Anyway, acara dating gue bersama Alexy itu sukses berat dan pada akhirnya komunikasi di
antara kami berdua pun menjadi lebih meningkat secara drastis dari sebelumnya.

Dan Mike, ternyata lo memang benar.

I am now is the happiest man in the world!

***

"Sekarang juga pak?" Tanya gue kepada pak Wisnu sambil memasang ekspresi tidak percaya.

"Iya pak Bayu, sekarang. Tiket pesawatnya sudah dibeli sama orang protokoler kantor, jadi pak
Bayu hanya tinggal pergi ke bandara saja karena meeting akan diadakan pada pukul lima sore
nanti."

Gue mengangguk paham. "Baik pak."

"Terima kasih pak Bayu." Pak Wisnu menjulurkan tangannya, yang langsung gue jabat dengan
mantap. "Saya sangat mengandalkan bapak." Ujarnya sambil tersenyum dengan ramah.

Gue kemudian pamit dan buru-buru keluar dari ruangan pak Wisnu untuk segera berjalan
menuju lobby kantor karena pesawat gue akan take off sekitar pukul dua siang nanti.

Gue sangat menyukai pekerjaan ini. Selain dari nominal gaji yang gue terima beserta beberapa
keuntungan lainnya, kadang-kadang gue juga bisa mendapatkan 'trip' secara gratis karena
dibiayai oleh kantor untuk mengunjungi beberapa kantor regional di Indonesia.
Ketika gue mendapatkan kesempatan itu, gue selalu menyempatkan diri untuk
sekedar sightseeing dan membeli beberapa oleh-oleh khas dari kota tersebut sebagai penanda
bahwa gue pernah berada di sana, dan target gue untuk tiga atau empat tahun ke depan adalah
gue harus bisa mendapatkan 'trip' menuju kantor di luar Indonesia, atau bahkan mendapatkan
sebuah kontrak kerja pada kantor yang sama di luar negeri.

Itu adalah beberapa alasan mengapa gue menyukai pekerjaan ini.

Tetapi di satu sisi, gue juga tidak menyukai pekerjaan ini karena jam kerjanya yang bisa
membuat gue stay di kantor selama dua belas jam penuh, bos-bos besar yang perfeksionis
dan sangat demanding sekali, serta berbagai macam tekanan lainnya dan sikap saling sikut
menyikut secara halus antar sesama rekan kantor yang ingin mendapatkan nilai lebih di mata
atasannya.

"Pak Bayu, mau parkir atau mau saya drop-off langsung?"

Pak Wardiman memecahkan lamunan gue, lalu kemudian gue berbicara kepadanya. "Di drop-off
aja deh pak, ga usah parkir-parkir segala, lama lagi nantinya." Ujar gue sambil men-sleep laptop
dan menutupnya agar gue bisa kembali melanjutkan menyusun silde presentasi di atas pesawat
nanti. Gue langsung turun dari mobil dan berterima kasih kepadanya karena beliau telah
bersedia untuk mengantar gue ke bandara, walaupun gue tahu bahwa itu memang sudah
kewajibannya sebagai supir kantor.

Setelah melakukan check-in, gue memutuskan untuk duduk di salah satu kursi di dalam lounge,
menyimpan tas laptop di sela-sela kaki dan kemudian gue mengeluarkan Blackberry dari dalam
saku celana untuk membalas chat dari Alexy yang belum sempat gue balas.

"Lex, sekarang gue lagi di Cengkareng, ada urusan kantor yang ngedadak banget."

Tidak lama berselang, Alexy langsung membalasnya. "Mau pergi ke mana?"

"Surabaya Lex..."

"Ooh, kalo gitu hati-hati di jalan ya Bay, jangan lupa kabarin kalo uda nyampe sana."

"Siap bos...!"

"Inget hari Sabtu kita jalan!!!"

"Hehehe, iyaaa..."

Sementara mengenai Sita, gue hanya akan mengabarkannya saja jika gue tidak akan pulang
malam ini karena ada lembur di kantor. Jika gue memberitahu bahwa gue akan terbang ke
Surabaya, gue yakin, dia pasti akan merengek untuk meminta oleh-oleh seperti hal-hal yang
telah lalu.

***

Penerbangan yang berlangsung selama kurang lebih satu jam-an ini gue habiskan untuk
membuat slide presentasi pada laptop. Gue mencoba untuk memadu padankan data-data yang
tersedia dengan animasi-animasi yang sekenanya saja, karena sangat tidak mungkin sekali bagi
gue untuk membuat sebuah presentasi yang sempurna hanya dalam kurun waktu satu jam.
Setelah beberapa kali merevisi dan sedikit memberi variasi tambahan, pada akhirnya slide
presentasi ini pun selesai gue buat.

Dan alhamdulillah, pesawat gue juga landing tepat waktu.

Gue langsung berjalan keluar dari bandara dan langsung celingukan kanan kiri untuk mencari
shuttle yang akan menjemput gue. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya gue menemukan
seorang bapak-bapak yang memegang sehelai kertas A4 yang bertuliskan 'Mr. Bayu' di depan
dadanya. Sambil menenteng tas laptop pada tangan kiri, gue kemudian berjalan mendekati
bapak-bapak tersebut.

"Pak? Saya Bayu."

Si bapak-bapak tersebut memasang ekspresi penuh tanya. "Pak Bayu?"

"Iya pak." Gue mengangguk sambil menjulurkan tangan kepadanya. "Saya Bayu Alfian."

"Ngadino..." Si bapak tersebut menerima jabat tangan gue sambil tersenyum ramah. "Mari pak,
kita ke mobil sekarang." Ujarnya dengan logat jawa yang terdengar sangat kental.

Kota Surabaya adalah kota yang sangat panas sekali. Menurut gue, panasnya kota ini terbilang
dua kali lipat lebih panas dari kota Jakarta. Entah apa karena badan gue yang terlalu sensitif
atau karena hal-hal lainnya, tubuh gue sudah terasa berkeringat sekali sementara pak Ngadino
terlihat berjalan dengan santai dan beliau juga tidak terlalu berkeringat walaupun ia mengenakan
jaket yang sama tebalnya dengan jaket yang gue kenakan.

"Oh iya pak, kira-kira perjalanan dari sini ke kantor berapa lama ya?"

"Kita nggak ke kantor pak, kita sekarang langsung ke Novotel..."

Gue membulatkan bibir sambil mengangguk. "Berapa lama pak perjalanannya?"

"Kalo lewat tol ya paling cuman setengah jam-an lah."

Gue mengangguk-angguk paham. "Kalo bisa, diusahakan lebih cepat ya pak."

"Baik pak..."

Sesaat kemudian, kami berdua telah berada di atas jalanan kota Surabaya menuju lokasi hotel
yang kami tuju.

***

Gue duduk besandar di salah satu sofa yang empuk di dalam lobby hotel dan memberi kabar
kepada Alexy bahwa gue telah sampai dengan selamat di Surabaya. Setelah itu, gue menelpon
pak Wisnu dan mengkonfirmasi bahwa gue telah berada di hotel, lalu kemudian beliau menyuruh
gue untuk menunggu sebentar.
Selang beberapa menit setelah gue menelpon pak Wisnu, gue melihat ada dua orang pria yang
berjalan ke arah gue. Kedua pria itu berpakaian dengan sangat rapi sekali dengan menggunakan
jas hitam serta dasi yang melingkar pada leher mereka seperti para eksekutif-eksekutif yang
berduit tebal. Gue menghela nafas pelan dan langsung bangkit berdiri untuk menyambut
mereka.

"Selamat sore pak Bayu, dan selamat datang di Kota Pahlawan." Ujarnya dengan nada yang
terdengar hangat di telinga sambil menjabat tangan gue dengan erat. "Oh iya perkenalkan, nama
saya Joko, Regional Manager Surabaya, dan ini adalah Mr. Son, klien kita..."

Gue mengangguk pelan ke arah Mr. Son tersebut sambil menjabat tangannya. "Good evening
Mr. Son, my name is Bayu Alfian. Nice to meet you sir."

Mr. Son terkekeh setelah gue berkata seperti itu. "Selamat sore juga, pak Bayu. Senang
berjumpa dengan Anda." Gue tidak menyangka bahwa si bule ini bisa berbahasa Indonesia
walaupun masih agak belepotan, sementara pak Joko hanya tersenyum saja dalam
menanggapinya.

"Mari pak Bayu, Mr. Son, silakan duduk." Pak Joko memberi gesture tangan dan mempersilakan
kami berdua untuk duduk. "Jadi bagaimana perkembangan di Jakarta sana?"

"Baik, tunggu sebentar pak..." Dengan sigap gue langsung mengeluarkan laptop dari dalam tas
yang gue bawa, namun Mr. Son mengangkat tangannya sambil menggelengkan kepala.

"Yes mister?"

"I think we don't need any laptop here. It will cost us time. Would you please explain to me about
the working progress briefly?"

"Alright mister..." Gue mengangguk sambil mengambil beberapa berkas yang gue butuhkan dan
kembali memasukkan laptop ke dalam tas.

Gue kemudian menjelaskan point per point mengenai data-data yang tersedia di tangan gue
secara jelas. Mr. Son memperhatikannya dengan seksama sambil memasang ekspresi wajah
yang terlihat serius sekali. Sesekali dia juga bertanya mengenai beberapa hal yang ingin dia
ketahui lebih lanjut lagi, yang pada akhirnya membuat gue harus menjelaskannya secara
mendetil dan jelas.

"Thank you for your explanation Mr. Bayu. I wish that we had more time to talk about this
furthermore, but unfortunately I have a flight to catch right now. I'm going to Stockholm from
Jakarta tonight."

Setelah Mr. Son berkata seperti itu, rasanya gue ingin langsung berteriak dan meninju dinding
sekencang-kencangnya. Perjalanan yang telah gue tempuh selama berjam-jam dari Jakarta dan
sesegera mungkin membuat slide presentasi secara singkat di dalam pesawat yang sama
sekali tidak digunakan ini ternyata hanyauntuk sebuah pertemuan yang berlangsung selama
sepuluh menit?

Are you fucking kidding me, sir?


Sambil memberikan senyum yang terlihat semanis mungkin, gue mengangguk dan menerima
jabat tangannya. "Have a safe flight, Mr. Son."

Kami bertiga kemudian langsung bangkit berdiri dan mengantarkan Mr. Son kepada mobil yang
sudah menunggu di depan. Pak Joko juga ternyata ikut menemani Mr. Son menuju bandara.
Sebelum mereka berdua pergi, pak Joko bertanya kepada gue.

"Pak Bayu, mau langsung ke Jakarta atau mau menginap dulu disini?"

Tanpa pikir panjang, gue langsung menjawabnya. "Saya nginep aja pak."

Scent of a Present

December 26th, 2015.

Someplace...

Alarm yang berasal dari tab yang disimpan pada nightstand di samping tempat tidur gue
berbunyi dengan nyaring yang seketika saja menarik gue dari alam mimpi. Gue pun menjulurkan
tangan untuk meraih tab dan mematikan alarm itu, sebelum pada akhirnya gue duduk bersandar
di atas tempat tidur sambil memandang kosong ke arah sudut kamar yang disinari oleh cahaya
redup berwarna kekuningan dengan terbengong-bengong.

Rasa kantuk ini masih sangat terasa sekali. Tidak jarang gue menguap hingga berkali-kali yang
membuat gue semakin malas untuk turun dari atas kasur, namun rasa kantuk itu pun perlahan-
lahan menghilang pada saat gue menolehkan kepala ke kiri dan melihat dirinya yang sedang
tertidur pulas di samping gue.

Wanita itu terlihat sedang tertidur sambil memunggungi gue. Tubuhnya terselimuti oleh bed
cover berwarna putih cerah yang hanya menyisakan sedikit bagian dari kepala serta rambut
berwarna merah kecokelatannya saja, dan rambut berwarna merah kecokelatannya itu pun telah
menjadi rambut yang paling gue sukai di dunia ini.

Gue kemudian menjulurkan sebelah tangan untuk membelai rambutnya dengan lembut,
perlahan, dan juga penuh dengan kasih sayang seperti apa yang selalu gue lakukan kepadanya.
Gue sangat suka sekali ketika melakukan hal ini. Gue sangat suka ketika merasakan seluruh
perasaan senang, damai, dan juga seluruh perasaan bahagia yang terjadi di saat yang
bersamaan pada saat gue sedang membelai rambut indahnya seperti saat ini.

Gue tidak pernah menyangka sebelumnya jika dia akan menjadi seseorang yang sangat berarti
sekali di dalam kehidupan gue karena sekitar delapan tahun yang lalu, sewaktu kami berdua
masih berseragam putih abu-abu, dia merupakan seorang senior yang paling gue benci di dunia
ini dikarenakan ulahnya yang sangat membuat gue ingin marah walaupun hanya mendengar
namanya saja.
Tetapi kini, setelah semua yang telah dia lakukan untuk gue, setelah semua yang telah dia
buktikan kepada gue, rasa benci itu berangsur-angsur menghilang dan bahkan rasa benci itu
pun sudah tidak bersisa sama sekali selain menumbuhkan sebuah perasaan sayang yang
teramat sangat kepadanya.

Gue tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi jika dia tidak pernah berada di samping gue,
dan gue juga tidak akan pernah mengetahui apa yang akan terjadi pada diri gue jika dia diambil
secara tiba-tiba oleh Tuhan untuk selamanya seperti apa yang pernah gue alami dulu. Oh, God, I
just love her like I've never loved anybody else before...

Belaian tangan gue pada rambutnya itu ternyata membuat dia terbangun. Tubuhnya agak sedikit
menggeliat, lalu sesaat kemudian dia membalikkan badannya untuk menghadap ke arah gue.
Kedua mata indahnya memandangi gue dengan tatapan yang terlihat sayu, namun dia tetap
berusaha untuk menyunggingkan sebuah senyuman tipis pada bibirnya.

"Hei..."

Gue tersenyum. "Tahajud dulu yuk sayang." Ajak gue sambil menyibak poni rambutnya yang
terlihat sedikit berantakan dengan menggunakan telunjuk.

"Iya, bentar ya Fal, aku masih agak ngantuk..." Dia mengangguk pelan seraya menggenggam
tangan gue yang sedang mengelus lembut pipinya.

Gue kemudian mengangguk sambil tetap tersenyum kepadanya, sebelum pada akhirnya gue
mengecup lembut kening Aya dengan penuh kasih sayang.

***

Gue melirik sebentar kepada Aya yang terlihat sedang melipat mukena sehabis shalat tahajud,
lalu kemudian pandangan gue kembali terfokus pada tab yang sedang gue pegang. Gue pun
tertawa-tawa sendiri pada saat membaca group chat yang sedang membicarakan sebuah acara
reuni setelah tahun 2016 nanti, tetapi banyak diantara mereka yang malah bercanda sambil
mengenang masa-masa kuliah dulu yang penuh dengan kejadian yang tak terlupakan.

"Serius banget sih, lagi baca apa sayang?" Sahut Aya, yang ternyata telah berada di balik bed
cover yang sama dengan gue.

"Iya nih Ay, anak-anak di grup lagi pada heboh sendiri ngajakin reunian." Jawab gue.

"Liat dooong..."

Aya kemudian menyandarkan kepalanya pada dada gue yang sekaligus membuat konsentrasi
gue terbuyar. Gue sudah tidak peduli lagi dengan berbagai notifikasi chat lainnya karena aroma
rambut Aya yang tercium oleh indera penciuman gue itu terasa sangat memanjakan sekali. Gue
sangat suka sekali dengan wangi rambutnya. Gue kemudian memejamkan mata sambil
menghirup aroma rambut itu secara dalam-dalam, sebelum pada akhirnya gue menyandarkan
dagu di atas kepalanya.

"Fal...?"
"Hmmm...?"

Aya mendongak dan menatap gue sambil tersenyum manis, lalu sesaat kemudian dia
menggelengkan kepalanya dan mencolek hidung gue dengan manja. "Tidur lagi yuk, aku
ngantuk, sama pengen dipeluk-peluk sama kamu juga..."

"Manjanyaaa kamu ini Ay." Gue pun tertawa kecil seraya menyimpan tab pada nightstand di
sebelah kanan gue.

Aya kembali merebahkan badannya dengan posisi yang memunggungi gue, lalu kemudian gue
pun langsung mendekap erat tubuhnya dari belakang tanpa menyisakan sedikitpun jarak di
antara kami berdua. "Fal?" Panggil Aya.

"Hmmm?"

"Kamu tau kenapa aku paling seneng tidur dengan posisi kayak gini?"

Gue menggeleng. "Kenapa?"

"Hangat dari badan kamu rasanya beda banget sama hangatnya selimut. Aku selalu ngerasa
aman kalo kamu meluk aku kayak gini. Aku juga pasti bisa lebih cepet tidur kalo dipeluk sama
kamu. Makasih ya Fal buat semuanya, I can't thank you enough for that..."

Walaupun saat ini gue tidak dapat melihat senyuman yang merekah pada bibirnya, tetapi gue
yakin, Aya sedang tersenyum dengan sangat lebar sekali sambil memejamkan kedua matanya,
karena genggaman tangan Aya pada tangan gue telah berkata seperti itu.

"Me too, Ay, I am truly grateful for you are in my life..."

***

"Pagi sayang." Sapa Aya sambil memberikan senyumannya.

"Pagi juga sayang." Gue kemudian mencoba untuk bangun dan ikut bersandar di sampingnya.

"Oh iya, Fal, aku udah bikinin roti bakar kesukaan kamu loh. Tuh rotinya aku simpen di atas meja
di samping tab kamu." Ujar Aya tanpa menoleh kepada gue, dan dia juga tetap menggerakkan-
gerakkan telunjuk pada smartphonenya.

"Ay..."

"Hmmm..."

"Ay..."

Aya menoleh. "Kenapa sayang?"

Gue langsung memegang belakang leher Aya seraya memasukkan jemari gue pada sela-sela
rambut merah kecokelatannya, sebelum pada akhirnya gue mendekatkan kepala dan bibir kami
berdua pun saling bersentuhan dengan lembut. "Masih pagi lho ini sayang..." Aya tersenyum-
senyum senang.

Gue tertawa. "Aku gemes banget liat bibir kamu Ay."

Aya pun ikut tertawa bersama gue, lalu kini giliran Aya yang memegang kedua belah pipi gue
sambil kembali mendaratkan ciumannya. "Gimana? Udah puas belum sekarang?" Tanya Aya,
yang gue balas dengan sebuah gelengan kepala sambil tertawa cengengesan. "Udah ah sana
makan dulu rotinya."

"Oh iya Ay, ini jam berapa?"

"Sekarang udah jam sepuluh. Kamu pas abis shalat subuh tidurnya kebo banget, padahal kan
istrinya lagi pengen..."

"Lho kok kamu ga bangunin aku sih?" Gue menelan roti yang berada di dalam mulut. "Jet lag
aku juga kan udah ilang."

Aya menoleh kepada gue, tersenyum, lalu kemudian dia mengecup pipi gue secara singkat
sebelum dia turun dari atas kasur. "Aku ga tega ah buat ngebangunin kamu, nyenyak banget
tidurnya."

Gue tertawa. "Ngomong-ngomong kamu jadi belanja ke Walmartnya?"

"Iya, soalnya kemaren kan pada libur semua gara-gara hari Natal." Jawab Aya sambil
mengambil beberapa potong pakaiannya dari dalam koper. "Paling perginya entar pas jam
sebelas atau dua belas-an. Sekarang aku mau mandi dulu."

"Nanti pas keluar jangan lupa pake sweater terus didobel sama coat yang tebel ya. Dingin di sini
kan beda banget sama dingin di rumah sana." Ujar gue.

Aya kemudian berjalan mendekat, lalu dia pun mencubit lembut hidung gue sambil memasang
ekspresi yang terlihat sangat lucu sekali. "Uuunnnccchhh suami aku ini perhatian banget sih..."

"Ooh jadi kamu ga mau diperhatiin sama aku nih? Ya udah kalo gitu aku kasih perhatian sama
istri orang aja ya."

"Ooh jadi kamu ga mau dapet jatah ya nanti malem? Aku sih ga apa-apa..."

"Yah, Ay, kalo yang itu sih jangan..." Ujar gue pasrah yang membuat Aya tertawa.

***

"Mas? Ini udah gue edit ulang nih, menurut lo gimana? Apa yang perlu diedit lagi?"

"Mana, mana? Sini, gue coba liat dulu..."

Dia kemudian mengambil laptop gue dan dia memangkunya di atas kedua pahanya. Dia terlihat
sangat serius sekali pada saat membaca apa yang telah gue tulis. Ekspresi wajahnya pun
kadang-kadang berubah mulai dari menggelengkan kepala, mengkerutkan kening, hingga dia
menjadi tersenyum-senyum sendiri setelah membacanya.

"Duh kalo gue inget-inget lagi tentang kejadian ini tuh pengen geleng-geleng kepala terus
rasanya. Gila aja, jauh-jauh terbang ke Surabaya ternyata cuman buat satu meeting yang kurang
dari sepuluh menit, padahal gue udah was-was banget sama slide Power Point yang cuman
seadanya." Dia tertawa.

Lalu tidak berselang lama, ada seorang wanita cantik berkaos oblong yang menghampiri kami
berdua. Wanita cantik yang rambutnya digelung ke atas itu merupakan istri dari seorang pria
yang duduk di sebelah gue, yaitu dari istri dari Bayu sendiri. "Dinner is ready, boys!" Ujarnya
semangat.

Pada saat Bayu menoleh kepada istrinya, sekilas gue dapat melihat tatapan kedua mata Bayu
yang ternyata memang terlihat tajam walaupun usianya kini sudah memasuki angka tiga
puluhan. "Terus si Faros gimana? Dia udah tidur belum?" Tanya Bayu.

"Belum, tuh masih digendong-gendong sama Yang Mulia Aya di deket meja makan."

"Woi! Gue denger ya!" Sahut Aya yang membuat kami bertiga tertawa.

"Oke deh. Bentar ya, nanti aku sama Naufal nyusul ke meja makan."

"Oke."

"Jadi gimana mas? Kira-kira apa nih yang harus diedit lagi?" Tanya gue sesaat setelah istrinya
meninggalkan ruang keluarga.

"Abis makan aja deh kita ngobrolnya, sekalian ada yang mau gue tambah-tambahin juga. Nanti
tolong lo edit lagi sebelum di-publish ya."

Gue mengangkat jempol. "Siiip!"

Bayu menyimpan laptop gue di atas meja kayu di depan kami, lalu kemudian dia bangkit berdiri
dan hendak berjalan menuju ruang makan di depan sana tetapi gue tepuk pelan pundaknya.
"Mas..."

Bayu menoleh. "Ya? Kenapa Fal?"

"Thanks for the wedding gift." Gue berbicara dengan nada yang pelan kepadanya.

"No... No..." Dia menggeleng sambil memegang pundak gue. "Gue harusnya yang berterima
kasih sama lo. Anggap aja ini semua sebagai ucapan terima kasih gue karena lo udah mau nulis
cerita ini untuk gue, ya?"

Gue tersenyum. "Iya, sama-sama mas."

Bayu menepuk pelan lengan gue, lalu kemudian kami berdua berjalan menuju ruang makan
yang langsung disambut oleh Faros yang melonjak kegirangan di dalam pelukan Aya setelah
melihat ayahnya datang menghampirinya.
Cadit Quaestio

Walaupun malam ini bukanlah malam minggu, tetapi terbilang cukup banyak orang di sekitar gue
yang saat ini sedang bergandengan tangan dengan mesra dan bercanda tawa bersama
pasangannya masing-masing. Ketika gue melihat mereka semua, kadang-kadang timbul sebuah
perasaan iri karena gue juga ingin merasakan bagaimana rasanya mencintai dan dicintai oleh
seseorang yang sangat berarti di kehidupan kita.

Lalu setelah gue pikir-pikir kembali, apa salahnya menjadi seseorang yang berstatus 'single'
alias 'jomblo', yang notabenenya sering dihina-hinakan oleh banyak orang di Indonesia? Toh,
status ini tidak merugikan gue ataupun orang lain.

I am single, and I am fine with it.

Sambil menghela nafas pelan, gue berlalu melewati mereka semua dan berjalan memasuki
sebuah tenant yang menjual beraneka ragam pakaian pria dan wanita. Trip kerja kali ini benar-
benar tanpa persiapan. Gue tidak bisa kembali pulang menuju kost untuk sekedar mengambil
pakaian ganti ataupun mempersiapkan hal-hal lainnya karena jadwal keberangkatan pesawat
gue yang dipesan oleh pihak kantor ternyata sangat mepet sekali.

Di saat gue yang sedang berjalan menuju kasir untuk membayar satu potong celana pendek
serta kaos yang akan gue kenakan untuk tidur malam nanti, Blackberry yang disimpan pada
saku celana gue bergetar. Gue kemudian mengambilnya dan menerima panggilan telepon
tersebut setelah melihat nama pak Wisnu yang tertera pada layar.

"Hallo, selamat sore pak Wisnu..."

"Hallo, selamat sore juga pak Bayu. Bapak sekarang masih di Surabaya kan?"

"Iya pak, saya masih di Surabaya. Ada apa ya pak?"

"Besok pagi saya nyampe di Surabaya dan langsung pergi ke kantor sana untuk meeting, pak
Bayu bisa ikut dengan saya kan?"

Gue menjauhkan handphone dari telinga dan langsung menghela nafas panjang sambil
memejamkan mata sebelum menjawabnya. "Baik pak, saya bisa."

"Oke, terima kasih pak Bayu."

Lalu kemudian telepon ditutup secara sepihak dari ujung sana. Gue langsung mengurungkan
niat untuk pergi ke kasir dan memutar badan untuk mencari sebuah kemeja lain yang akan gue
kenakan besok. Berusaha untuk menjadi seorang profesional di dalam bidang yang digeluti itu
ternyata tidak mudah dan murah ya?

***

Gue menatap layar laptop dengan tatapan bingung. Ini otak gue yang lagi error atau memang
karena materi presentasi yang harus gue selesaikan itu terlalu rumit? Argh! Gue mengacak-acak
rambut dan langsung menyingkirkan laptop dari atas paha, lalu gue beranjak turun sambil
mengenakan slipper yang disediakan oleh hotel dan berjalan menuju meja kecil di depan sana
untuk mengecek handphone.
Ada beberapa notifikasi chat yang masuk yang berasal dari Sita, Alexy, dan...

Muthia.

It's funny how you can't really choose where your life takes you. Dulu, sebelum gue mengenal
seorang Alexy dan mengetahui tentang keberadaan Frandias, gue berani menyatakan bahwa
gue telah jatuh cinta kepada Muthia. Gue jatuh cinta karena sifatnya yang sederhana. Gue jatuh
cinta kepada Muthia karena hal-hal kecil yang diperbuat olehnya, dan gue juga mencoba untuk
memberikan perhatian-perhatian kepadanya sebaik apa yang gue bisa, sebagai tanda bahwa
gue memiliki perasaan untuknya.

Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, terungkap sudah bahwa Muthia telah memiliki seorang
pacar. Pacarnya itu adalah seseorang yang memiliki jabatan sebagai branch manager dari
sebuah kedai kopi terkenal di negeri ini, dan dia juga merupakan seorang adik dari atasan gue di
kantor. Gue bisa apa ketika mengetahui bahwa seseorang yang gue incar ternyata
sudah unavailable, dan gue juga tidak bisa mengimbangi status sosial pacar Muthia?

Gue menarik nafas panjang dan menghelanya. Aneh. Perasaan gue kini sedang terbagi kepada
dua orang, yaitu kepada Muthia dan Alexy. Sebagian dari diri gue memang masih menaruh
perasaan kepada Muthia, namun ada sebagian dari diri gue yang saat ini sedang berada dalam
keadaan 'kosong' dan seolah-olah mempersilakan Alexy untuk mengisi kekosongan tersebut.

Tapi, apakah Alexy dapat mengisi kekosongan itu dan sedikit demi sedikit menghilangkan
perasaan gue kepada Muthia?

Gue menggeleng. Enggak, enggak. Sama sekali ga ada gunanya bagi gue untuk bertanya-tanya
mengenai hal yang tidak pasti seperti itu. Gue kemudian berjalan menuju tempat tidur dengan
langkah yang pelan sambil mengetik pesan balasan untuk Alexy, tanpa menghiraukan chat dari
Sita ataupun Muthia.

"Lex, gue telepon elo sekarang ya?"

Tidak berselang lama, Alexy membalasnya. "Boleh, kenapa Bay?"

Dan gue langsung menelponnya. "Hallo, Lex?"

"Hallo, ya? Bay?"

Gue terdiam sebentar sambil menggaruk tengkuk. "Ngg... Gue ganggu elo gak nih nelepon jam
segini?"

Alexy tertawa di ujung sana, dan suara tawanya itu terdengar sangat renyah sekali. "Gak ganggu
kok, emangnya ada apa Bay nelfon gue jam segini?"

"Pengen nelfon elo aja sih, hehehe..."

"Ooh dikirain ada apaaa gitu..."

"..."

"..."

Kami berdua terdiam sebentar karena kehabisan topik obrolan. Gue bingung harus membuka
topik apa untuk membuat percakapan menjadi hidup, lalu tiba-tiba saja Alexy berbicara. "Dor!
Kok diem aja Bay?"
"Lex, temenin gue malem ini ya?" Ujar gue secara spontan.

"Hah? Mau ditemenin gimana? Gue terbang ke Surabaya sekarang gitu?"

Gue tertawa dan merebahkan badan di atas kasur. "Bukaaan, maksud gue, elo temenin gue dari
sana. Gue mau lanjut kerja dulu soalnya, tapi gue ga mau sendirian."

"Hahaha iya deeeh. Emangnya sekarang elo lagi ada kerjaan apa Bay?"

Lalu kemudian kami berdua larut ke dalam sebuah pembicaraan mengenai pekerjaan gue. Saat
gue berkomunikasi dengan Alexy, entah kenapa, moodbooster gue serasa meningkat berkali-kali
lipat. Pekerjaan yang sebelumnya tidak dapat gue kerjakan secara maksimal, kini gue dapat
mengerjakannya dengan mudah dan tanpa ada halangan apapun. Alexy menjadi tertawa-tawa
setelah gue bercerita mengenai hal tersebut.

"Gombal..." Ujarnya.

Lex, kalo itu bukanlah Muthia, semoga saja elo merupakan sosok 'The One' yang selama ini gue
cari dan gue tunggu dengan sabar selama hampir dua puluh lima tahun lebih gue hidup di dunia
ini.

Ya.

Semoga...

***

Airport is my favorite place, but yet extremely emotional. Di terminal keberangkatan, misalnya.
Banyak orang yang saling berpelukan hingga menangis karena tidak ingin berpisah dengan
sanak saudaranya yang akan bepergian jauh. Gue tahu, perjalanan dengan menggunakan
pesawat itu sangatlah beresiko sekali karena kita seolah-olah menyerahkan keselamatan nyawa
kita kepada seorang pilot yang sama sekali tidak kita kenali, namun kita tetap mempercayai
nyawa kita kepada orang tersebut.

Tetapi suasana di terminal keberangkatan itu sangat berbanding terbalik sekali dengan keadaan
di terminal kedatangan. Ada yang seorang wanita yang meninggalkan barang bawaannya di
belakang sana dan dia langsung berlari secara tergesa-gesa menuju seorang pria yang telah
menunggunya. Lalu tanpa berkata sepatah kata apapun, si pria langsung menyambut
kedatangan wanita itu dengan cara memeluk tubuhnya dengan erat. Aura kebahagiaan yang
dipancarkan oleh mereka berdua sangatlah kentara sekali, dan gue hanya bisa tersenyum kecil
saat memperhatikan momen yang membahagiakan tersebut.

Gue berjalan dengan santai sambil meninggalkan terminal kedatangan, lalu beberapa saat
kemudian langkah kaki gue perlahan-lahan terhenti ketika gue melihat seseorang. Gue melihat
sesosok wanita cantik berambut cokelat yang sedang berdiri tegap di depan sana, dan dia juga
masih mengenakan seragam kantor serta rok span hitamnya yang se-lutut.

Gue masih berdiri mematung di tempat dan memperhatikannya secara seksama, lalu seketika
saja gue melihat sebuah senyuman yang tersungging pada bibir wanita itu ketika dia telah
melihat keberadaan gue. Gue kemudian mempercepat langkah dan berjalan mendekati Alexy
yang ternyata menjemput gue di bandara yang penuh sesak pada sore hari yang cerah ini.

"Hai..." Sapa gue setelah kami berdua saling berhadapan.

Alexy tersenyum. "Hai..." Ujarnya. "Yuk?"

Gue mengangguk, lalu kami berdua berjalan meninggalkan pelataran bandara. Sambil menarik
nafas yang panjang, gue memberanikan diri untuk menggenggam telapak tangan kanannya.
Alexy menoleh kepada gue, tersenyum, dan dia mempererat genggaman tangannya.

Love is not for the faint of hearts, right?

Tears of an Angel

Gue bisa merasakan sesuatu yang berbeda ketika gue menggenggam tangan Alexy. Ada
sebuah sensasi yang dapat gue rasakan dengan jelas ketika gue menggenggam tangannya, dan
gue juga bisa mendapatkan sebuah sensasi yang tidak pernah gue rasakan ketika gue
menggenggam tangan Sita.

Genggaman Alexy pada tangan gue ini terasa nyaman, lembut, hangat, tegas, tetapi tidak terasa
mencoba untuk menguasainya. Gue sangat menikmati momen ini. Gue sangat menikmati
sebuah momen dimana gue menggenggam tangan Alexy sambil berjalan secara bersisian
dengannya, dan gue juga berharap kepada sang waktu agar dia mau melambatkan lajunya
karena gue tidak ingin momen ini segera berakhir.

Angin sore berhembus pelan ketika kami berdua telah berada di pelataran parkir, dan angin sore
ini juga berhembus sambil membawa wangi parfum Alexy. Gue suka dengan aroma ini.
Wanginya terasa enak untuk gue nikmati secara berlama-lama. Gue kemudian menghirup
dalam-dalam udara di sekitar gue dan mencoba untuk memenuhi seluruh ruangan di dalam
paru-paru gue dengan aroma parfum Alexy, lalu gue menoleh kepadanya.

Alexy terlihat sedang merapikan helai-helai rambut panjangnya yang tertiup oleh angin. Dia
terlihat sangat cantiksekali ketika ia sedang menyimpan beberapa helai rambut di belakang
telinganya dengan menggunakan tangan kiri sambil sedikit menunduk, sementara tangan
kanannya tetap menggenggam erat tangan gue tanpa merasa terganggu. Dan tanpa gue sadari,
bibir gue juga ikut tersenyum ketika gue sedang memandanginya.

"Pulang kantor langsung ke sini Lex?" Tanya gue.

Alexy menoleh, dan dia menganggukkan kepalanya. "Iya, aku langsung ke sini buat jemput
kamu."

"Eh?" Langkah kaki gue terhenti sebentar setelah Alexy berkata seperti itu.

"Kenapa Bay?" Alexy menoleh sambil menatap gue dengan heran.

Gue tersenyum dan menggelengkan kepala. "Enggak kok, yuk, kita lanjut jalan lagi." Lalu
kemudian kami berdua kembali berjalan. "Mobil kamu diparkir di mana Lex?" Tanya gue.

"Tuh di sana, yang Civic silver..." Alexy menunjuk mobilnya dengan menggunakan dagu.

"Mana kunci mobilnya? Sini aku aja yang bawa."

"Tapi kita cari makan dulu ya? Aku laper Bay..." Pinta Alexy sambil memberikan kunci mobilnya.

"Kamu mau makan dimana?"

"Dimana aja deh, terserah kamu. Eh tapi aku pengen nyushi, gimana? Kamu mau?"

Gue memainkan bibir sebentar sambil menggaruk tengkuk, lalu kemudian gue mengangguk.
"Oke deh, Sushi Tei aja ya."

"Oke..." Ujarnya sambil masuk ke dalam pintu penumpang sementara gue masih mematung di
luar mobil.

Gue tidak mungkin salah dengar. Alexy memang telah berkata 'terserah' kepada gue, tetapi
selanjutnya dia kembali berkata bahwa dia ingin memakan sushi. Gue hanya bisa menghela
nafas pelan mengenai hal ini. Apa semua cewek di dunia ini memang senang dengan segala
sesuatu yang bersifat ambigu ya? Ah, sudahlah...

***

"Mau mampir dulu Lex?"

Alexy menggeleng sambil memegang kemudi. "Lain kali aja deh Bay, ini udah malem banget
soalnya. Besok juga aku masih kerja."

Gue tersenyum sambil mengangguk pelan. "Oke deh."

"Aku pulang dulu ya, daaah...!" Alexy melambaikan tangannya sambil tersenyum, lalu kemudian
dia memasukkan perseneling dan perlahan-lahan mobilnya melaju meninggalkan gue di depan
pelataran kost.

Gue membuka pagar yang agak berdecit karena karat pada salah satu rodanya, lalu kemudian
gue berbasa-basi sebentar bersama anak kost yang tinggal di lantai satu sebelum melanjutkan
naik ke lantai dua. Ketika gue berbelok setelah menaiki anak tangga terakhir, gue melihat Sita
yang sedang duduk di atas kursi plastik di depan kamarnya sambil membenamkan kepala pada
kedua lututnya.

"Sit?" Panggil gue.

Perlahan-lahan Sita menggerakkan kepalanya untuk menoleh kepada gue, lalu kemudian gue
terhenyak kaget ketika gue melihat ekspresi wajahnya. Wajah serta rambutnya itu terlihat
berantakan. Mata, hidung, serta kedua belah pipinya memerah seperti habis menangis. Gue
masih menatapnya dengan berjuta pertanyaan yang masih menggantung di dalam kepala, lalu
tiba-tiba saja gue melihat bahwa air mata Sita mengalir. Secara reflek gue langsung mendekap
erat tubuhnya dan dia menangis hingga bahunya bergetar hebat di dalam pelukan gue.

"A broken heart bleeds tears."

Steve Maraboli

And who can say why your heart cries


When your love lies?
Only time

Enya - Only Time

Cheating an Angel
Kemeja yang kini sedang gue kenakan sudah menjadi basah oleh air matanya hingga terasa
menyentuh permukaan kulit gue. Sita mencengkeram bagian belakang kemeja gue dengan erat
sampai-sampai punggung gue menegang seiring dengan dia yang membenamkan kepalanya.
Kepala dan bahu Sita terasa bergetar dan suara tangisnya juga semakin lama semakin keras,
sementara gue tidak tahu harus berbuat apa lagi selain memeluk Sita dan membiarkannya
menangis di dalam pelukan gue.

Gue kemudian menyandarkan dagu di atas kepala Sita sambil mempererat pelukan gue pada
tubuhnya. Wangi rambut yang telah tercampur dengan keringatnya membuat gue tidak bisa
berpikir jernih. Lalu ditambah dengan suara tangis Sita, otak gue pun menjadi buntu. Gue
menjadi tidak bisa menebak-nebak hal buruk apa yang terjadi kepada Sita hingga membuatnya
menangis seperti ini. Lalu tidak lama berselang, gue mendengar sebuah suara decit pintu yang
terbuka. Gue pun menengadah dan menoleh ke arah sumber suara tersebut.

"Kenapa ini?" Gue bertanya tanpa suara pada Heri yang secara kebetulan baru saja keluar dari
kamarnya sambil menunjuk ke arah Sita dengan menggunakan telunjuk kanan, sementara
tangan gue yang satu lagi masih memeluknya dengan erat.

Heri kemudian memperagakan sebuah gerakan antara kedua kepalan tangan yang saling
beradu, lalu ia berbicara tanpa mengeluarkan suara. "Berantem..."

Gue mengkerutkan kening. "Sama?"

"Cowoknya..." Ujar Heri, lalu kemudian dia berlalu menuju anak tangga dan meninggalkan kami
berdua di sini.

Gue semakin bertanya-tanya di dalam hati. Hal apa yang sebenarnya membuat mereka berdua
menjadi ribut hingga membuat Sita menangis seperti ini?

Memang benar jika mereka berdua kini sedang dalam masa 'renggang', tetapi gue sama sekali
tidak mengetahui sudah berapa lama mereka berdua saling tidak berkomunikasi satu sama
lainnya dan malahan gue pernah menyangka bahwa hubungan mereka berdua telah berakhir.
Namun setelah gue melihat apa yang sedang terjadi saat ini, gue menjadi berasumsi bahwa
mereka berdua masih berpacaran dalam keadaan yang menggantung.

Gue kembali memeluk tubuh Sita sambil sedikit menggoyang-goyangkannya agar dia sedikit
merasa nyaman, dan juga gue berharap bahwa tangisannya akan berangsur-angsur berhenti.
Dan ternyata itu berhasil. Tangisan Sita kini berubah menjadi suara isakan, tetapi dia masih tidak
mau menggerakkan badannya.

"Sit..." Panggil gue. "Masuk ke dalem aja yuk? Ga enak kalo entar diliat sama anak-anak."

Sita kemudian menganggukkan kepalanya pada dada gue, tetapi gue tidak dapat membedakan
anggukan kepala Sita apakah itu untuk mengiyakan ajakan gue atau dia yang mau mengelap
ingusnya. "Sit, sebenernya elo tuh ngangguk apa mau ngelapin ingus sih sama kemeja gue?
Enak banget deh perasaan ngelapnya..."

Sita menengadah dan dia langsung menyunginggkan sedikit senyuman pada bibirnya walaupun
wajah Sita masih terlihat sangat berantakkan sekali. "Baaayu ih! Nyebelin tau ga?!" Lalu
kemudian gue tertawa ketika Sita memukul-mukul dada gue dengan lembut.

Gue memapah Sita hingga masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya. Aroma khas dari
kamar Sita langsung tercium oleh indera penciuman gue ketika kami berdua telah berada di
dalam. Sesaat setelah pintu kamarnya tertutup, Sita kembali memeluk gue, dan tangisnya pun
kembali pecah.

"Cowok gue Beeey..." Ujar Sita dengan suara yang nyaris terputus-putus.
"Ssshhh..." Gue menggeleng. "Lo mau cerita sama gue, ada apa sama cowok lo?"

Sita kemudian sedikit melonggarkan pelukannya pada punggung gue, dan dia menatap gue
sambil memberikan gue sebuah tatapan yang sangat terlihat...

Uh...

I saw a broken-hearted eyes. I saw a broken-hearted feelings thru her eyes. Lalu apa yang
selanjutnya dikatakan oleh Sita, seketika saja langsung membuat gue tercengang kaget.

"Cowok gue selingkuh Beeey..."

Setelah Sita berkata seperti itu, dia langsung menutup mulut dengan menggunakan sebelah
tangannya, tertunduk, lalu kemudian air mata Sita kembali mengalir dan kini air matanya terlihat
mengalir lebih deras lagi dari sebelumnya.

"Cheating and lying aren't struggles, they're reasons to break up."

Patti Callahan Henry

But when you call me baby


I know I'm not the only one

Sam Smith - I'm Not The Only One


Resuscitate

Gue langsung menarik kembali tubuh Sita ke dalam dekapan gue dan membiarkannya menangis
di sana. Satu tangan gue kemudian melingkar pada punggungnya, sementara satu tangan gue
yang lain lagi mengelus lembut kepalanya yang telah ia sandarkan pada bahu sebelah kiri gue.
Kedua tangan Sita memeluk punggung gue dengan erat seiring dengan tangisannya yang tak
kunjung berhenti, dan ia menangis untuk menumpahkan segala air mata kesedihan yang kini
sedang ia rasakan.

Kami berdua berdiam diri dalam posisi seperti ini dalam waktu yang cukup lama. Sita menangis
sesegukan dan gue hanya memeluk tubuhnya tanpa bisa berkata apa-apa. Gue kemudian
menarik diri dari pelukan Sita untuk mengajaknya untuk berbaring di atas tempat tidur, dan dia
pun mengangguk. Gue kemudian memeluk bahu Sita dan memapahnya untuk berjalan ke arah
tempat tidur.

"Please, Bey, elo jangan tinggalin gue sekarang..." Pinta Sita dengan suara yang terdengar lirih
setelah gue menyelimuti tubuhnya.

"Iya..." Gue mengangguk sambil tersenyum. "Gue ga akan kemana-mana kok, gue ada di sini."

Gue kemudian memposisikan diri untuk duduk bersandar sambil menyelunjurkan kaki di atas
tempat tidur, tepat di samping Sita yang kini telah membaringkan kepalanya di atas paha kiri
gue. Kami berdua kembali larut ke dalam sebuah kebisuan. Gue terdiam sambil mengelus
lembut kepalanya dan Sita juga sepertinya masih menangis walaupun ia tidak mengeluarkan
suara.

"Bey...?" Panggil Sita kemudian.

"Ya?"

"..."

"..."

"Kenapa cowok gue brengsek banget?"

Setelah mendengar kalimat itu, gue terdiam. Aktivitas jemari tangan gue di atas kepalanya pun
ikut terhenti. Keheningan kembali menggantung di sekitar kami berdua untuk beberapa saat.
Gue menghela nafas panjang, lalu kemudian gue menarik sebelah tangan Sita dan
menggenggam tangan halusnya itu dengan erat sebelum gue mulai berbicara.

"Wanita adalah godaan terbesar bagi seorang pria, selain harta dan tahta tentunya..."

Sita kemudian menggeliat dan menolehkan kepalanya kepada gue. Dia menatap gue dengan
sebuah tatapan yang terasa dalam walaupun kedua matanya masih terlihat sembab. Sita
menatap gue tanpa berkata apapun seolah-olah sedang menunggu perkataan gue yang
selanjutnya. Gue kemudian mengalihkan pandangan dari wajah Sita, lalu gue kembali berbicara.

"Dulu, waktu gue masih sekolah di luar, gue bisa ngerasain gimana rasanya dikelilingi oleh
mereka semua."

"..."
"Waktu awal-awal gue sekolah di sana sih gue masih bisa dibilang 'normal' karena gue jarang
banget hang out bareng cewek-cewek kampus atau dorm. Tapi pas abis beberapa bulan gue
tinggal dan hidup di sana, gue mulai kenal sama temen-temen gue secara dekat. Dan karena
mereka juga..."

"..."

"...gue jadi tau gimana asyiknya kehidupan malam di sana."

"..."

"Gue jadi suka dateng ke local bar atau night club sama temen-temen satu kampus gue. Mereka
semua pada minum sampe teler, terus pas pulangnya kadang-kadang mereka juga langsung
bawa cewek ke salah satu rumah temen gue buat 'doing it' walaupun enggak semua dari temen-
temen gue yang kayak gitu. Ada yang cuman nontonin doang sambil minum-minum, atau ada
juga yang cuman ngerekam mereka yang lagi ngelakuin 'itu' buat ditonton ulang lagi nantinya."

Gue memberi jeda sebentar. Ada perasaan ragu yang menggelayut di dalam diri gue ketika gue
ingin kembali bercerita. Gue memejamkan mata sejenak sambil menarik nafas panjang, lalu
kemudian gue memutuskan untuk bercerita lebih lanjut mengenai apa yang sebelumnya sedang
gue ceritakan.

"Awalnya sih gue ngerasa gimanaaa gitu pas ngeliat satu cewek 'main' sama tiga cowok di
dalam kamar yang sama. Tapi gara-gara suara desahan si cewek itu, ekspresi wajah si cewek
itu, terus ditambah sama dorongan hawa nafsu di dalam diri gue..."

"..."

Omongan gue terhenti sebentar dan gue malah tertawa kecil, kemudian gue terdiam sambil
menghela nafas, lalu gue kembali melanjutkannya. "So ya, I did it. Perjaka gue ilang di sana.
Keperjakaan gue diambil sama cewek sialan itu..."

"..."

"Setelah malam itu, gue hancur. Gue jadi ketagihan dengan apa yang namanya sex. Minimal,
gue pasti 'doing it' seminggu sekali. Malahan gue juga pernah 'doing it' sama empat cewek
berbeda di satu malam yang sama, dalam keadaan seratus persen sadar dan tanpa adanya
paksaan ataupun pengaruh dari alkohol."

Sita tertawa. "Pantesan aja ya elo itu foreplaynya jago banget..."

Gue kemudian terkekeh pelan dan kembali menghela nafas sebelum melanjutkannya. "Cewek
itu hampir sama halnya kayak narkoba. Bikin ketagihan, dan itu juga bisa ngebikin hidup lo
hancur kalo lo ga bisa nge-handle diri lo sendiri. Gue hampir di drop out gara-gara kuliah gue
berantakkan, dan kuliah gue berantakkan gara-gara gue udah kenal sama apa yang namanya
'cewek'."

"..."

"Mungkin sekarang cowok lo sedang mengalami apa yang pernah gue alami dulu. Cowok lo itu
sebenernya bukan seseorang yang brengsek..."

"Apa? Cowok gue bukan cowok brengsek?!" Sita terperanjat kaget setelah gue berkata seperti
itu, dan dia langsung bangun dari tidurnya untuk duduk bersila di depan gue. "Terus cowok gue
itu apaan hah?! Tai?! Atau apa?! Lo mau ngebela cowok gue?!"

"Ssshhh..." Gue menggelengkan kepala sambil mencoba untuk menenangkan dirinya. "Sit,
dengerin gue dulu, gue belom selesai ngomong..."

"..." Sita terlihat masih marah. Nafasnya terdengar memburu, tetapi dia tidak berbicara apa-apa
dan dia juga sepertinya masih mau untuk mendengarkan gue.

"Di dunia ini ga ada orang yang terlahir secara brengsek, termasuk cowok lo..."

"..." Sita masih terdiam.

"Orang-orang di dunia ini tuh pada dasarnya baik. Cuman pas abis mereka semua diberi
berbagai ujian oleh Tuhan, ada sebagian dari mereka yang berhasil lalu kemudian mereka
semua menjadi orang-orang yang lebih baik lagi dari sebelumnya, dan ada juga sebagian dari
mereka yang gagal. Tapi sayangnya, cowok lo termasuk ke dalam orang-orang yang gagal..."

"..."

"Dia diberi ujian oleh Tuhan dalam bentuk seorang wanita, tetapi dia ga bisa menahan diri untuk
mendekati wanita itu, dan pada akhirnya dia gagal untuk melewati ujian tersebut."

"..."

"Dia bukan brengsek, Sit, tapi dia itu orang yang gagal..." Lanjut gue.

"Bey..." Suaranya terdengar melunak. "Apa cowok gue bisa jadi orang yang kayak elo
sekarang?" Tanya Sita.

Gue menengadahkan kepala sambil memainkan bibir. Bingung. Gue tidak bisa memberi harapan
apapun kepada Sita, tetapi gue mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut semampu gue.
"Itu sih tergantung niat dari cowok lo sendiri. Kalo dia niat mau berubah, ya dia pasti bisa
berubah. Sekeras apapun cobaan itu, selama dia punya niat yang kuat, dia pasti bisa berubah."

"Terus gue harus gimana biar dia bisa berubah?"

Gue menurunkan pandangan dan kembali menatapnya sambil tersenyum, lalu gue berkata:
"Yakinkan dia kalo elo adalah orang yang tepat untuknya, sampai kapanpun itu..."

Dan pada akhirnya, Sita menyunggingkan sebuah senyuman kecil pada bibirnya.

"Women may fall when there's no strength in men."

William Shakespeare
A moment of love
A dream
A laugh
A kiss
A cry
Our rights
Our wrongs

The Temper Trap - Sweet Disposition

Closure

Gue memainkan setiap helai-helai rambut Sita dengan perlahan. Gue mengelusnya, gue
membelainya, dan gue juga menyelipkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Sita di
balik telinganya. Gue kemudian memandangi wajah Sita yang sedang tertidur sambil
memiringkan kepala, dan tanpa gue sadari, bibir gue pun ikut tersenyum.

Dia terlihat tidur dengan pulas. Sita tertidur dengan pulas setelah ia menangis selama berjam-
jam lamanya. Mungkin Sita sudah capek. Mungkin Sita sudah merasa lelah dengan semua hal
ini, dan yang ia butuhkan sekarang adalah waktu khusus, yaitu waktu untuk mengistirahatkan
badannya, pikirannya, serta waktu untuk mengistirahatkan hatinya yang kini sedang terluka.

Gue kemudian membelai lembut pipi Sita dengan menggunakan punggung jari, lalu gue
mendekatkan kepala untuk membisikkan sesuatu di samping telinganya. "Yang kuat ya,
Sit..." Setelah gue berkata seperti itu, gue mengecup kening Sita sambil memejamkan mata,
lama sekali, lalu kemudian gue membenarkan letak selimutnya sebelum keluar dari kamar Sita.

Gue berdiri di depan dinding pembatas dan menatap kepada langit malam. Bulan menunjukkan
cahayanya yang terlihat pucat karena sedikit tertutupi oleh awan mendung. Pemandangan yang
gue lihat sekarang adalah sama seperti suasana hati Sita yang sama-sama sedang tertutupi oleh
awan mendung di dalam hatinya. Gue kemudian menarik nafas panjang sambil memegang
pembatas dinding dan sedikit meremasnya.

'Sit, andai...'

Ah enggak, enggak. Gue menggelengkan kepala sambil mendengus kasar. Ga mungkin,


dan itu sama sekali tidak mungkin terjadi. Sampai kapanpun. Mau sekeras apapun gue mencoba
untuk merubah fakta tersebut, tetapi tetap saja fakta itu tidak akan pernah bisa berubah. Hanya
Tuhan-lah yang mampu merubahnya dengan segala kehendak yang dimiliki oleh-Nya.

Gue menurunkan pandangan dan langsung melihat ke bawah sambil memegangi perut karena
gue merasakan sesuatu di sana. Gue tertawa kecil ketika menyadari bahwa perut gue sudah
merasa lapar kembali. Gue kemudian memutuskan untuk berjalan menuju dapur sambil
membelai permukaan dinding pembatas yang terasa dingin dengan menggunakan telapak
tangan, dan gue juga berjalan sambil meninggalkan pikiran-pikiran gue mengenai hal tersebut di
belakang sana, tepat di depan kamar Sita yang kini telah tertutup dengan rapat.

***

"Ga selesai di sini kan ceritanya?"

Gue menoleh kepada wanita yang sedang menyusui anak kami berdua, lalu kemudian gue
menggeleng sambil tersenyum. "Belum kok, masih ada yang ingin aku ceritain. Masa kamu lupa
sih?"

Dia tertawa. "Aku ga lupa kok..."


Gue mendekatkan kepala untuk mencium pipi sebelah kirinya dengan lembut, lalu kemudian gue
sedikit menunduk untuk mengecup kening dari sang buah hati kecil milik kami berdua. Gue
sangat bersyukur sekali kepada Tuhan karena gue telah dianugerahi dua orang yang kini
menjadi sumber kebahagiaan gue, yaitu istri dan anak gue satu-satunya di dunia ini.

Faros. Itu adalah nama dari anak laki-laki kami berdua. Dia adalah jagoan kecil gue yang kini
sedang menggelendot manja kepada ibunya. Dia terlihat lucu sekali. Gue kemudian memain-
mainkan pipi gembul dari laki-laki kecil tersebut dengan menggunakan telunjuk, dan seketika
saja dia menggumam pelan sambil menggerakkan kepalanya.

"Tuh kan dia itu anak kamu banget, sama-sama susah dibangunin kalo udah tidur kayak gini."
Dan gue pun tertawa setelah gue mendengarnya berbicara seperti itu.

'Gue titip semua cerita ini sama elo ya, Fal...'

Minneapolis,
January 8th, 2016.

Closure...

"What was closure if not a clock?


Not an end as everyone imagined, but a beginning..."

Celeste Chaney

What?!

"Cieee senyam-senyum sendiri..."

Gue melirikkan mata ke arahnya, lalu kemudian gue tersenyum kecil sambil kembali mengetik
pada handphone. "Hehehe, kenapa?"

"Chattingan sama Lexy ya?"

"Iya..."

"Eh iya, Bay, gimana perkembangan kalian berdua?"

"Perkembangan apanya?"

"Ya pedekate kalian berdua, udah seberapa jauuuh gitu kalian berdua berhubungannya..."
Gue menyimpan handphone di atas meja sambil menghela nafas pelan, lalu gue menoleh
kepada Muthia. "Yah..." Gue menaikkan bahu. "...we're good. Komunikasi lancar, ketemuan bisa
dibilang cukup sering..."

"Terus kalo tentang perasaan? Kamu suka sama dia ga?"

Gue mengalihkan pandangan ke arah lain sambil memainkan bibir. "Hmmm... Gimana ya?"

"Tell me!" Ujarnya antusias.

"Hah?" Gue kembali menatap Muthia dengan tatapan heran. "Cerita apaan?"

"Apa aja, yang penting ada sangkut pautnya sama hubungan kalian berdua."

Gue menggaruk pelipis. "Emangnya dia ga cerita apa-apa ya sama kamu?"

"Dia cerita sih, tapi kan aku pengen denger langsung dari kamu."

"Yaudah deeeh, jadi gini..."

Sore hari itu, entah kenapa, Muthia terlihat sangat memikat sekali di depan mata gue.
Rambutnya yang dikuncir rapi dan menyisakan beberapa helai rambut di kedua sisi wajahnya itu
telah membuat kesan girly pada diri Muthia terlihat semakin mencolok. Lalu kemeja flanel
berwarna merah tua yang dipadukan dengan celana denimnya itu juga telah sukses membawa
pikiran gue terbang ke masa lalu, terbang untuk membawa gue kembali mengingat tentang
keseharian kami berdua di Padang dulu.

Ini semua terasa aneh ya? Seseorang yang sangat gue damba-dambakan malah bertanya
mengenai siapa yang gue suka, padahal sudah jelas bahwa seseorang yang kini gue sukai
adalah dia yang sedang menyeruput minuman di depannya sambil tetap memperhatikan gue
bercerita. Tetapi sayangnya, dia tidak dapat gue miliki secara utuh.

Ya, dunia memang terasa aneh...

***

"Jadi nanti kamu mau ke rumah Alexy buat jemput dia?"

Gue mengangguk sambil menyandarkan punggung pada kursi. "Iya. Kenapa? Mau ikut?"

"Yeee..." Muthia tertawa kecil. "Mana mungkin aku ngeganggu acara dating sahabat aku sama
calon pacarnya."

Gue tertawa. "Pacar apa sih, lagian kita cuman temenan doang..."

"Sekarang sih boleh cuman jadi temen, tapi kalo nanti-nanti kan bakal berubah statusnya. Iya
ga?" Ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata dengan genit ke arah gue.

"Hahaha iya deeeh terserah kamu aja."


"Eh Bay..."

"Ya?"

"Ngomong-ngomong..." Muthia mengalihkan pandangannya ke arah lain, dan dia terlihat ragu.

"Hmmm?" Gue mencondongkan badan ke depan dan melipat tangan di atas meja.

"Kamu janji dulu sama aku tapi ya..."

"Janji? Janji buat apa?"

"Pokoknya janji dulu!" Muthia meninggikan suaranya, lalu dia menoleh ke arah gue.

"Iya deh, janji..."

"Please Bay, tolong banget, jangan biarin Lexy sampe pacaran sama temen satu kantornya..."

"Loh?" Gue melongo sambil mengkerutkan kening. "Kenapa?"

"Aku ga suka sama cowok yang lagi ngedeketin dia di kantor."

"Emangnya dia kenapa?"

"Pokoknya jangan biarin Lexy pacaran sama dia, aku kasian sama Lexy kalo misalkan mereka
berdua pacaran. Aku ga mau sahabat aku jatuh ke lubang yang sama dua kali..."

"Maksudnya?"

"Dulu Lexy pernah punya masalah sama mantannya yang ngebuat mereka berdua putus, nah
sekarang cowok yang lagi ngedeketin Lexy di kantornya itu punya sifat yang sama persis kayak
mantan dia."

"Terus aku harus gimana dong biar mereka berdua ga pacaran?" Tanya gue sambil mengambil
gelas di depan meja dan menyeruputnya sedikit.

"Kamu jadi pacarnya Lexy..."

Gue tersedak.

Warmth of the Soul

"Kamu ga salah ngomong kan Mut?" Tanya gue setelah mengelap bibir dengan menggunakan
tissue.
Muthia menggeleng. "Enggak kok, aku ga salah ngomong."

"Kenapa tiba-tiba kamu nyuruh aku jadi pacar Lexy?"

"Menurut aku, kamu itu orang yang bener-bener cocok sama dia."

"Cocok gimana?"

"Aku masih inget kok sikap-sikap kamu sewaktu kita masih di Padang dulu..."

"..."

"Dari sikap sama perhatian-perhatian yang kamu tunjukin buat aku, aku rasa itu semua cocok
kalo kamu kasih buat Alexy..."

"..."

"Dia butuh perhatian yang seperti itu..."

"..."

"Lexy butuh cowok yang bisa bersikap seperti itu, dan cowok itu adalah kamu..."

Gue mengkerutkan kening sambil menatapnya lekat-lekat. "Kamu yakin Mut?"

Muthia mengangguk. "Yakin, banget."

"Tapi kamu belum tau kan aku itu kayak gimana orangnya?"

"Buat aku, itu ga penting. Yang penting itu adalah kamu udah bisa nunjukin gimana sikap kamu
selama ini sama aku, sifat care-nya kamu sewaktu kita masih di Padang dulu, dan aku harap
kamu juga bisa bersikap seperti itu sama Alexy."

Muthia terdiam sebentar, lalu kemudian dia kembali berbicara. "Kamu juga tadi cerita kan sama
aku kalo kamu itu lagi suka sama cewek, cuman sayangnya si cewek itu udah punya cowok
lain?"

Gue mengangguk pasrah sambil menundukkan kepala. "Iya..."

"Obatnya patah hati itu ya jatuh cinta lagi. Coba buka hati kamu untuk orang lain. Coba kamu
buka hati kamu sendiri untuk Alexy, dan cobalah untuk jatuh cinta kepadanya..."

Ucapan yang terlontar dari mulut Muthia itu terasa menohok sekali. Seseorang yang seharusnya
mengetahui bagaimana perasaan gue yang sesungguhnya malah menyuruh gue untuk jatuh
cinta lagi, dan dia menyuruh gue untuk jatuh cinta kepada sahabat karibnya sendiri. Lucu sekali
ya? Malah karena saking lucunya, gue tidak bisa tertawa. Dan bahkan untuk tersenyum pun
rasanya sulit.

Gue hanya bisa terdiam sambil menatap salah satu sudut restoran ini dengan tatapan kosong...

***
Sudah cukup bagi gue untuk berlarut-larut dalam memikirkan omongan Muthia sore hari tadi.
Dan malam ini, gue akan mencoba untuk membuka hati gue untuk Alexy secara penuh. Toh,
tidak ada salahnya juga bagi gue untuk mencoba hal tersebut. Lagipula, Alexy juga sudah
membuat gue tertarik kepadanya. Gue sudah dapat merasakan perhatian-perhatian yang
diberikan oleh Alexy secara jelas, dan kini gue hanya tinggal memupuk perasaan itu agar dapat
semakin tumbuh dengan subur seiring dengan berjalannya waktu.

Gue memarkirkan motor tidak jauh dari sebuah warung tenda yang menjual beraneka jenis
martabak. Aroma khas dari kue martabak langsung tercium oleh indera penciuman ketika gue
baru saja membuka kaca helm, dan itu juga langsung membuat gue tidak sabar untuk segera
memakannya.

Sudah terlihat banyak sekali orang-orang yang mengantri. Ada beberapa ibu-ibu berkerudung
yang melipat kedua tangannya di depan dada sambil memegang dompet, ada beberapa anak
muda wanita yang juga sedang mengantri sambil mengobrol bersama teman-temannya, serta
masih banyak lagi pelanggan-pelanggan lainnya yang telah mengantri untuk membeli martabak
ini.

"Pak, martabak manisnya dua. Yang satu keju, sama yang satu lagi cokelat kacang ya." Ujar
gue.

Si juru masak tersebut kemudian tersenyum dengan sumringah ke arah gue, dan dia
menganggukkan kepala sambil tetap mengaduk adonan pada tangannya. "Siap mas. Mau yang
pandan atau yang biasa?"

"Yang biasa aja deh pak..."

Gue kemudian berjalan mundur beberapa langkah, lalu gue melipat tangan di depan dada sambil
memperhatikan mereka semua yang sedang memasak. Ada dua orang juru masak yang siap
siaga di depan kompor. Salah satu dari dua orang tersebut bertugas untuk memasukkan adonan
ke dalam cetakan bulat di atas kompor, sementara yang satunya lagi adalah seseorang yang
sebelumnya berbicara dengan gue.

Lalu ketika gue menolehkan kepala ke arah lain, gue melihat ada tiga orang pria yang sedang
sibuk di depan etalase. Mereka bertiga terlihat cekatan sekali ketika memberi berbagai macam
topping khas pada martabak yang asap putihnya masih mengepul hangat. Aroma dari martabak
itu pun samar-samar dapat terhirup oleh indera penciuman gue yang aromanya terasa sangat
menggugah selera.

Gue sangat menikmati pemandangan seperti ini. Ada kepuasan tersendiri di dalam diri gue
ketika gue melihat sesuatu yang sedang terjadi di depan mata kepala gue sekarang. Gue sangat
suka melihat perputaran kehidupan yang terjadi di tengah-tengah kerasnya perjuangan dalam
mengadu nasib di Ibu Kota. Gue tahu bahwa ini semua bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi
gue sangat senang ketika melihat si juru-juru masak tersebut memberikan kantong plastik berisi
martabak pesanan pelanggan mereka sambil tersenyum dengan ramah.

Satu buah senyum kebaikan memang tidak pernah tergantikan oleh apapun di dunia ini, dan itu
sangatlah priceless. Lalu beberapa saat kemudian perhatian gue teralih ketika gue melihat
seorang anak kecil yang sedang berdiri di atas kursi plastik sambil menunjuk-nunjuk ke arah
kompor dengan tangannya yang mungil.

"Pa... Itu..."

"Panas, nanti sakit kalo dipegang..."

"Sakit?"

"Iya..." Ayah dari anak kecil itu mengangguk, lalu kemudian dia menggendong buah hatinya.
"Tuh liat tuh, si abang lagi motong-motongin martabak..." Ujarnya sambil menunjuk ke arah juru
masak di depan gue. Anak kecil di dalam gendongan ayahnya itu pun mengangkat tangan dan
menunjuk-nunjuk kepada juru masak tersebut, lalu si ayah langsung berjalan mendekat untuk
menuruti keinginan anaknya dan mereka berdiri di samping kaca.

Si anak itu kini mengoceh tentang apa yang sedang dilihatnya dengan pelafalan kalimat yang
terbata-bata dan sang ayah pun tertawa kecil ketika melihat kelakuan buah hatinya, lalu
kemudian dia mengecup pipi dari anak kecil yang berada di dalam pelukannya itu secara
singkat. Ketika gue melihatnya, tanpa terasa, bibir gue pun ikut tersenyum kecil.

"Ini mas martabaknya..."

"Eh... "Lamunan gue terbuyar. "Berapa semuanya?"

"Empat puluh delapan ribu..." Ujarnya sambil tersenyum.

Gue kemudian mengambil dompet dari saku celana dan mengeluarkan sejumlah uang yang
diminta. "Ini pak, makasih ya..." Ujar gue sambil mengambil martabak dari tangannya.

Setelah beberapa langkah gue berjalan, gue menolehkan kepala pada si bapak dan anak
tersebut untuk yang terakhir kalinya, lalu gue pun kembali tersenyum sebelum pada akhirnya
gue kembali berjalan menuju motor untuk pergi ke rumah Alexy dan menepati janji gue untuk
mengajaknya jalan ke luar di malam minggu yang cerah ini.

***

"Assalamualaikum..." Ucap gue sambil memencet bel rumah Alexy.

Tidak lama berselang, gue mendengar suara samar dari ibu-ibu yang menjawab salam gue.
"Waalaikumsalam, siapa?"

"Bayu..."

"Oh, mas Bayu, sebentar..." Gue kemudian melihat siluet dari seorang ibu-ibu yang berjalan
mendekat, lalu dia membukakan pagar rumahnya untuk gue. "Masuk mas..."

Gue mengangguk sambil tersenyum kepadanya. "Iya bu..."

Gue pun masuk ke dalam rumah Alexy setelah dipersilakan masuk oleh pembantunya yang
bernama bu Kadmidjah atau biasa dipanggil bi Kad oleh Alexy, tetapi gue lebih senang
menyebutnya dengan panggilan 'bu' ketimbang dengan 'bi'. "Alexy-nya mana bu?"

"Masih di dalem kamer kayaknya, lagi dandan. Duduk dulu mas, biar bibi ambilin minum."

"Eh, ga usah repot-repot bu. Lagian saya juga sekarang mau keluar sama Lexy. Oh iya, ini ada
martabak buat bu Kad sama pak Tono..." Gue kemudian memberikan satu buah plastik merah
berisi martabak kepadanya.

"Makasih ya mas Bayu, duuuh jadi ngerepotin gini..."

"Ah ga apa-apa bu..." Ujar gue kepada bu Kad, lalu kemudian beliau pergi meninggalkan ruang
tamu.

Semenjak gue mengajak Alexy untuk jalan sekitar dua minggu yang lalu, intensitas gue dalam
mengunjungi rumahnya pun menjadi terbilang sering. Gue menjadi sering datang ke rumahnya
hanya sekedar untuk bertemu dan mengobrol berdua dengan Alexy sehingga bu Kad dan pak
Tono sudah menjadi hafal dengan gue.

"Bay...?" Panggil seseorang, dan gue langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut.

Alexy telah berdiri tidak jauh dari tempat dimana gue berada. Kedua mata kami saling beradu,
lalu kemudian bibir kami berdua pun saling mengembangkan sebuah senyuman bahagia
setelahnya. Melalui ekspresi wajah serta senyuman yang terlihat pada bibir Alexy, seketika saja
gue dapat merasakan sebuah perasaan hangat yang langsung menjalar dan menghangatkan
bagian terdingin dari hati gue yang paling dalam.

Sambil tetap tersenyum kepadanya, gue langsung menyapa Alexy. "Hai Lex..."

"All the statistics in the world can't measure the warmth of a smile."

Chris Hart

Butuh Pantai

Pertemuan antara gue dan Muthia akhir-akhir ini menjadi lebih meningkat karena urusan
pekerjaan. Beberapa waktu yang lalu, kantor tempat dimana gue bekerja memang telah menjalin
hubungan kerja bersama bank tempat dimana Muthia bekerja, dan ternyata masing-masing dari
kami berdua juga ditunjuk untuk terus melaporkan perkembangan terkini serta mempererat
hubungan kerja antar kedua instansi tersebut.

Melalui pertemuan-pertemuan yang terbilang cukup singkat ini, gue mencoba untuk mempererat
jalinan hubungan pribadi kami berdua. Tetapi sayangnya, gue tidak bisa. Kami berdua hanya
berstatus sebagai teman dan juga rekan kerja. Tidak lebih, dan status itu pun tidak akan pernah
berubah.

Yah... Gue harus bagaimana lagi selain menerima kenyataan itu?

"Gimana perkembangan kalian berdua?"

Gue melirikkan mata dari balik laptop, lalu kemudian pandangan gue kembali terfokus kepada
layar untuk melanjutkan menyusun laporan yang harus gue presentasikan kepada atasan. "Ga
bosen apa Mut nanyain tentang itu mulu?"

Muthia tertawa. "Abis aku penasaran terus sih! Lagian kamu juga cuman jalan mulu sama dia.
Terus mau nembak Lexy kapan?"

"Hmmm..." Gue hanya menggumam pelan.

Boleh jadi kami berdua memang bertemu untuk urusan kantor, tetapi gue pribadi lebih
menganggapnya sebagai pertemuan antara dua orang teman yang masih berseragam kantor
dan kami juga lebih sering bercerita mengenai hal-hal yang terbilang sangat jauh dari ranah
pekerjaan walaupun ada sekitar sepuluh atau dua puluh persen dari obrolan kami yang menjurus
ke arah tersebut. Seperti sekarang misalnya.

Sudah sekitar satu jam lebih kami berdua duduk berhadapan di dalam sebuah kafe yang terletak
di bilangan Senopati. Untuk sepuluh menit pertama, kami berdua memang saling bertukar
informasi mengenai hal-hal penting yang menyangkut tentang pekerjaan, lalu sisanya malah
kami gunakan untuk mengobrol secara ngalor ngidul. Dan kebanyakan dari obrolan yang
mengalor ngidul itu adalah obrolan mengenai perkembangan dari hubungan antara gue dan
Alexy.

"Bay...!"

"Iya, apa?" Tanya gue tanpa menoleh kepadanya.

"Kapan kamu mau nembak Lexy?"

"Mmm... Nunggu momen yang pas..."

"Yah kalo kamu nunggu momen yang pas sih bakal keduluan sama orang lain..."
Gue menghela nafas panjang, lalu kemudian gue memindahkan laptop ke samping dan menatap
Muthia yang sedang mengaduk-aduk es batu di dalam gelas dengan menggunakan sedotan.
"Aku belum pernah pacaran..."

Seketika Muthia terbelalak. "HAH?! SERIUS?!"

Gue mengangguk. "Iya, serius..."

"Ah..." Muthia tampak tidak percaya sekali dengan omongan gue. "Yang bener?"

Gue kembali mengangguk. "Iya, bener. Serius deh kalo aku belum pernah pacaran."

"Boong ah..."

"Yaudah kalo ga percaya sih..." Jawab gue cuek sambil mencocol kentang goreng pada saus
dan memakannya.

"Bentar lagi Lexy ulang tahun, tepatnya abis tahun baru..."

Gue menoleh sambil tetap mengunyah. "Yaaa... Terus?"

"Beneran deh Bay..." Muthia menatap gue dengan kesal. "Kayaknya kamu ini emang belum
pernah pacaran deh..."

"Laaah..." Kali ini giliran gue yang terbelalak. "Aku kan udah bilang kalo aku emang belum
pernah pacaran, gimana sih..."

"Makanya kamu sekarang pacaran sama Lexy!" Ujarnya berapi-api.

"Iya deh, iya... Terserah..." Jawab gue malas sambil menopang dagu dengan sebelah tangan,
sementara tangan gue yang satunya lagi mengambil beberapa kentang goreng dan
memakannya sekaligus.

Beberapa saat kami berdua terdiam. Muthia kembali memakan makanan yang tersaji di
depannya, sementara gue hanya bengong sambil melihat ke arah Muthia yang sedang makan.
"Kenapa?" Tanya Muthia tiba-tiba.

"Eh, enggak..." Gue menggeleng dan membenarkan posisi duduk. "Oh iya, Mut, mau tanya..."

"Hmmm...?" Muthia menggumam sambil menyuap sendok pada mulutnya.

"Lexy suka sama apaan?"

"Pantai..." Jawab Muthia dengan enteng.

"Hah? Yakin? Terus entar aku harus ngasih kado yang isinya pasir pantai, gitu?"

Muthia tertawa kecil, lalu kemudian dia mengelap ujung bibirnya dengan menggunakan tissue.
"Lexy pasti nerima kado apa aja. Tapi kalo kamu ngasih kado buat dia pas lagi di pantai, itu baru
perfect. Lexy suka banget jalan-jalan ke pantai. Nih, liat deh, aku punya foto-foto waktu kita lagi
di pantai dulu..."

Gue mengambil handphone dari tangan Muthia, lalu kemudian gue melihat isi dari galeri yang
ditunjukkan olehnya. Di dalam galeri itu terdapat ratusan foto- antara Muthia, Alexy dan
beberapa temannya. Alexy terlihat sangat menawan sekali di dalam sekumpulan foto tersebut.
Pada salah satu foto, gue melihat bahwa Alexy hanya mengenakan tank top putih yang
dipadukan dengan hot pants berbahan denim. Permukaan kulitnya yang bersih serta rambutnya
yang kecokelatan itu terlihat menggoda sekali, dan dia juga berfoto selfie sambil menggunakan
sunglasses berwarna cokelat tua dengan latar belakang pasir pantai yang putih.

Setelah melihatnya, gue hanya bisa tercengang sambil menghela nafas panjang melalui mulut.

"So..." Ujar gue sambil menyerahkan kembali handphone kepada Muthia. "Pantai?"

Dia mengangguk. "Yup!"

"What beach should I choose?"

Muthia mengangkat kedua bahunya. "Maldives? Bora Bora?"

"Itu sih ngajak miskin namanya!" Gue melempar tissue ke arahnya yang membuat dia tertawa.

"Ya pantai apa kek, jangan di Bali tapi, soalnya dia udah hafal banget sama pantai-pantai di
sana."

"Emangnya dia pernah tinggal di Bali?"

Muthia mengangguk. "Pas dia masuk SD kelas berapaaa gitu, aku lupa, dia pernah tinggal di
Bali sama om-nya. Terus pas masuk SMA, dia baru pindah ke Jakarta sampe sekarang."

"Ooh..." Gue membulatkan bibir. "Terus, aku harus milih pantai apa?"

"Terserah kamu, asal jangan di daerah Bali dan sekitarnya..."

Gue kemudian menopang dagu sambil menatap ke arah lain. Bingung. Lalu tiba-tiba saja gue
menggumam pelan. "Ora..."
Omi Cheerleader

Drums of War

"Sore pak..."

Pak Nana melongok dari dalam pos lalu kemudian beliau tersenyum dengan lebar hingga
menampilkan kerutan-kerutan yang dalam pada permukaan kulit wajahnya. "Eh, ada mas Bayu.
Duduk mas, duduk dulu..." Tawarnya, dan gue pun langsung duduk di sebelah beliau.

Pak Nana adalah salah seorang satpam yang telah berusia lanjut pada gedung perkantoran ini.
Beliau sudah bekerja menjadi petugas keamanan semenjak umurnya masih empat puluh dua
tahun, dan kini usianya telah menginjak umur lima puluh sembilan tahun.

Pada hari Jumat sore itu, gue telah berada di kantor Alexy. Gue memang berniat untuk
menjemputnya sekaligus memberi tahu kepada Alexy bahwa besok gue akan pulang selama dua
hari. Bukan apa-apa, kepulangan gue ke Bandung hanyalah untuk sekedar pulang ke rumah
sambil melepas rindu kepada ibu dan adik perempuan gue di sana.

Sudah lama sekali gue tidak pulang ke rumah. Seingat gue, terakhir kalinya gue pulang ke
rumah adalah ketika merayakan hari raya Idul Fitri yang lalu, dan itu pun tidak lama. Pada saat
itu gue memang sedang memiliki banyak sekali pekerjaan kantor yang menumpuk serta
mendapatkan sebuah pekerjaan sampingan sebagai translator untuk menambah pemasukan
bulanan yang mengharuskan gue untuk kembali ke Jakarta secepatnya.

"Rokok pak?" Tanya gue sambil menyodorkan rokok cupu yang baru saja gue keluarkan dari
balik saku celana.

Pak Nana menggeleng. "Ga usah mas, udah ada ini saya..." Ujarnya sambil menunjuk ke arah
satu batang rokok kretek yang tersimpan di atas asbak kaca dengan menggunakan dagu. "Mau
jemput mbak Alexy mas?" Lanjutnya.

Gue mengangguk sambil menyulut api pada rokok. "Iya pak, saya mau jemput dia..."

"Ooh, mas Bayu ini pacarnya mbak Alexy ya?"

Gue hanya tersenyum kecil sambil menghembuskan asap putih tipis di udara tanpa bisa
menjawabnya. Lalu beberapa saat kemudian ujung mata gue menangkap sosok Alexy yang
sedang berjalan keluar dari lobby kantor bersama seorang pria, dan mereka juga terlihat sedang
mengobrol bersama dengan akrab.

Buru-buru gue langsung mematikan rokok yang baru saja menyala ujungnya, lalu kemudian gue
berdiri sambil merapikan kemeja dan berpamitan kepada pak Nana. "Pak, saya ke sana dulu ya,
Alexy-nya udah keluar tuh."

Pak Nana menoleh ke arah lobby kantor dari balik jendela pos satpamnya, lalu kemudian beliau
tersenyum sambil mengangguk kecil. "Silakan mas..."

"Mari pak, permisi..."


Baru saja beberapa langkah setelah gue meninggalkan pos satpam, gue kembali menoleh ke
belakang. "Oh iya pak..."

"Iya mas? Ada yang ketinggalan?"

Gue menggeleng, lalu kemudian gue berkata dengan pelan sambil cengar-cengir kepadanya.
"Doain saya biar saya jadi pacarnya Alexy ya pak!"

Pak Nana tertawa.

Gue langsung berjalan ke arah lobby kantornya sambil memperhatikan Alexy dari kejauhan. Di
depan sana, Alexy terlihat sedang berjalan dengan anggun sekali di atas lantai marmer yang
bersih dan mengkilap di samping seorang pria parlente yang menggunakan jas serta dasi
bermotif. Stiletto yang dikenakan oleh Alexy juga sesekali menimbulkan bunyi nyaring yang
terdengar hingga ke telinga gue. Sesaat setelah mereka berada di luar lobby, mereka berdua
langsung menghentikan langkah kakinya lalu saling berdiri secara berhadapan.

Mereka pun larut ke dalam sebuah obrolan mengenai sesuatu yang tidak dapat gue ketahui.
Sesekali Alexy juga tertawa dengan manis kepada laki-laki itu, yang seketika saja langsung
membuat perasaan di dalam diri gue terasa aneh dan gue sendiri tidak dapat menjelaskannya
secara pasti.

Ah, mungkin ini hanyalah sebuah perasaan yang hanya timbul secara sesaat saja...

Gue pun berhenti melangkah dan tetap memperhatikan Alexy dari kejauhan sambil memasukkan
kedua tangan ke dalam saku celana. Hari ini, Alexy terlihat can...bukan. Maksud gue, hari ini
Alexy terlihat sangat cantik sekali. Setengah dari rambut panjang kecokelatannya itu ia biarkan
tergerai di sebelah dadanya, lalu make up tipis serta perona yang ia kenakan pada pipinya pun
terlihat sangat pas sekali. Tidak terlalu berlebihan ataupun tidak terlalu tipis. Pas. Alexy
memanglah seorang wanita yang pandai mempercantik dirinya sendiri.

Alexy berbicara sambil menggerak-gerakan tangan kanannya yang sedang memegang blazer
berwarna hitam, sementara tangannya yang satu lagi tetap terdiam karena sedang menenteng
handbag berwarna putih. Gesture yang diperlihatkan oleh tubuh Alexy itu memang terlihat
anggun dan menyiratkan sebuah ketertarikan terhadap topik yang sedang mereka berdua
bicarakan, tetapi gue sama sekali tidak suka jika ia memberi gesture tersebut kepada laki-laki
lain walaupun itu adalah kepada rekan kerjanya.

Ya. Kini gue sendiri telah yakin bahwa ini bukanlah sebuah perasaan yang timbul secara sesaat,
karena sekarang gue sedang merasakan sebuah hal yang bernama...

Kecemburuan...

Gue tetap berdiri mematung hingga Alexy menyadari kehadiran gue. Alexy terlihat kaget, namun
ekspresi yang diperlihatkan oleh pria yang sedari tadi bersamanya itu memperlihatkan sesuatu
yang berbeda. Dia hanya menatap gue secara sekilas dan bahkan tanpa memberikan senyum
sapaan atau apapun, lalu kemudian dia langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.

Mereka berdua kembali terlihat berbicara untuk beberapa saat, lalu obrolan itu pun diakhiri
dengan sebuah acara cipika-cipiki tak terduga yang dilancarkan oleh si pria kepada Alexy. Alexy
terlihat canggung dalam menanggapi serangan mendadak tersebut. Raut wajahnya menegang,
tetapi ia tetap mencoba untuk bersikap senormal mungkin ketika laki-laki itu melambaikan
tangannya dan berjalan ke arah yang berlainan dengan Alexy.

What the fuck?


"Kok kamu ke sini ga bilang-bilang sama aku sih?" Tanya Alexy tanpa berbasa-basi setelah kami
berdua saling berdiri secara berhadapan.

Gue pun tersenyum kecut. "Ga apa-apa, aku pengen ke sini aja buat jemput kamu." Gue terdiam
sesaat untuk mengendalikan emosi, lalu kemudian gue kembali berkata dengan lirih sambil
menyisipkan jemari tangan kanan gue pada sela-sela jemari tangannya. "Aku kangen, Lex..."

Pipi Alexy terlihat lebih merona dan ia memalingkan wajahnya sambil tersipu malu, dan gue juga
melihat bahwa bibir tipisnya itu menyunggingkan sebuah senyuman kecil bagai lengkung pelangi
di kala hujan. Indah sekali.

Lex, I think I'm in love with you...

***

"Cowok yang tadi itu siapa Lex?" Tanya gue sambil tetap memegang kemudi mobil dan gue juga
berbicara dengan nada yang terdengar se-normal mungkin untuk menutupi rasa cemburu gue.

"Namanya Dion. Dia kepala di divisi aku..."

"Ooh..."

Hari itu adalah hari dimana yang untuk pertama kalinya gue bertemu dengan Dion secara
langsung. Dion adalah seseorang yang tempo hari dimaksud oleh Muthia, dan dia adalah
seorang rekan kerja Alexy yang memangtelah terlihat berusaha untuk mendapatkan hatinya.
Melalui acara cipika-cipiki yang mendadak itu, sepertinya Dion berusaha untuk membuat nyali
gue ciut dan membuat gue cemburu kepadanya.

Untuk saat ini gue tidak bisa melarang Dion untuk mendekati Alexy ataupun melarang Alexy
untuk terus menerus berhubungan dengannya karena gue tidak memiliki hak untuk melarang-
larang tersebut. Gue hanya bisa memantau keadaan mereka berdua sambil tetap mencoba
untuk memenangkan hati Alexy secara penuh.

"Oh iya, Lex, besok aku mau pulang ke Bandung loh." Ujar gue kemudian.

"Kok mendadak sih?" Alexy menyerongkan badannya, lalu kemudian dia menatap gue. "Berapa
lama?"

"Ga lama kok, palingan lusa juga udah nyampe ke Jakarta lagi. Kamu mau ikut sama aku Lex?"

"Terus kalo aku ikut, nanti aku tidur di mana?"

"Di rumah aku."

"Emangnya aku ga akan ngerepotin gitu?"

"Enggak kok..." Gue menggeleng. "Yaaa... Palingan entar juga kamu yang direpotin sama adek
aku."

"Hah? Kamu punya adek?" Tanya Alexy dengan nada yang terdengar antusias.

"Ada, satu. Cewek yang paling ngerepotin sedunia."

Alexy tertawa, lalu kami berdua pun larut dalam sebuah obrolan mengenai keluarga gue di
Bandung sana. Terbesit sebuah pikiran untuk memberitahukan rencana gue mengenai liburan
bersamanya nanti, namun gue urungkan niatan tersebut karena rencana itu masih terbilang
rancu dan gue juga belum mendapatkan tanggal keberangkatan yang pasti.
Lalu mengenai Dion?

Well..

We'll see.

Ya.

We will see...

One Ok Rock - The Beginning

Brigitta

Setelah sarapan pagi, gue duduk bermalas-malas di atas kursi plastik di depan kamar Sita
sambil merokok dan menunggu Alexy untuk menjemput gue di sini. Kemarin Alexy sudah
memutuskan untuk ikut dengan gue ke Bandung dan ia meminta gue untuk pergi dengan
menggunakan mobilnya. Alasan kenapa ia ingin menggunakan mobil pribadi adalah agar tidak
repot jika ingin pergi berjalan-jalan serta mengelilingi berbagai pusat perbelanjaan di Bandung
nanti.

Sita berjalan keluar dari dalam kamarnya ketika gue sedang melamun mengenai berbagai hal,
dan itu langsung membuat perhatian gue teralih kepadanya. Sita sepertinya baru saja selesai
mandi karena rambutnya yang panjang itu masih terlihat dibebat dengan menggunakan handuk
putih yang cukup tebal. Aroma sabun yang digunakan oleh Sita juga samar-samar dapat tericum
oleh indera penciuman gue, dan aroma itu terasa sangatlah menyegarkan sekali.

"Kok elo nyante banget sih Bey? Emangnya elo ga bakal telat apa?" Tanya Sita sambil sedikit
menunduk dan ia melepas gulungan handuk itu dari rambutnya.

"Sante aja gue mah..." Gue berkata sambil menghembuskan asap putih tipis di udara.

"Gak akan ketinggalan kereta?"

Gue menggeleng. "Gue ga pulang pake kereta."

"Travel?"

"Sama..." Gue kembali menggeleng. "Gue ga pake travel juga."

"Terus pake apa dong?"

"Mobil..."

"Mobil siapa?"

"Udah ah elo bawel amat sih nanya-nanyain gue mulu! Macem detektif aja..."

"Ish..." Sita kemudian mendongak dan menatap gue dengan ekspresi jutek, lalu ia berjalan
memasuki kamarnya dengan rambut yang masih terlihat agak sedikit mengkilap karena basah.

Gue duduk terbengong-bengong dan menatap lurus ke depan sambil memain-mainkan kaki,
sementara kedua tangan gue bertumpu pada permukaan kursi plastik yang kini mulai terasa
tidak nyaman karena termakan oleh usia. Kursi yang gue duduki ini sudah ada ketika gue baru
menginjakkan kaki di tempat ini untuk yang pertama kalinya sekitar delapan atau sembilan bulan
yang lalu.

Pada saat gue memutuskan untuk menyewa kamar di sini, seseorang yang sebelumnya
menghuni kamar Sita adalah seorang wanita yang hingga kini tidak pernah gue ketahui nama
atau identitas aslinya. Wanita misterius itu mempunyai sifat yang sangat tertutup sekali dan ia
juga (sepertinya) bekerja dengan jam kerja yang berbeda dengan gue, atau mungkin berbeda
dengan seluruh penghuni kamar kost lainnya sehingga membuat kami jarang berinteraksi.

Ketika gue baru pulang dari kantor, kamarnya selalu terlihat tertutup dengan rapat dan tidak
pernah memperlihatkan adanya tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Lalu ketika gue hendak
pergi bekerja, lampu di dalam kamarnya memang terlihat menyala, tetapi pintunya masih saja
tertutup. Heri yang terbilang sudah menghuni kamar di sebelah gue dengan waktu yang cukup
lama pun ternyata tidak mempunyai informasi yang akurat mengenai wanita tersebut.

Setelah gue tinggal di sini selama kurang lebih tiga bulan lamanya, wanita itu memutuskan untuk
pergi dari sini. Entah apa alasannya untuk pergi dari kamar kost yang harganya menurut gue
terbilang cukup murah dan bersahabat ini. Lalu tidak lama setelah itu, sekitar satu minggu
kemudian, ada satu orang wanita yang datang ke sini dan dengan polosnya ia bertanya-tanya
mengenai banyak hal seputar kost-kostan ini.

Dan nama dari wanita yang bertanya dengan polosnya itu adalah Sita.

But wait...

Polos?
***

"Hallo...?"

"Hallo... Bay, aku udah ada di depan kostan kamu nih. Yang pagernya warna item itu bukan?
Yang di depannya ada orang jualan?"

"Oh, iya Lex, bener kok. Bentar ya, sekarang aku turun ke sana..."

"Oke..."

Gue kemudian menutup telepon secara sepihak dan langsung menyambar ransel yang
tersimpan di samping kursi. "Sit, gue pergi dulu ya...!" Ujar gue sambil sedikit berteriak.

"Iyaaa..." Suara Sita terdengar sayup-sayup dari dalam sana. Lalu beberapa saat kemudian
sosoknya muncul dari balik pintu, dan dia juga sudah berganti pakaian dengan sesuatu yang
lebih berkeprilelakian daripada sebelumnya. "Yuk, gue anterin sampe bawah. Gue juga sekalian
mau nyari sarapan."

Gue mengangguk. "Oke..."

Kami berdua berjalan menuruni tangga hingga ke depan tanpa berbicara apapun. Gue hanya
terdiam di belakangnya sambil memegang strap ransel yang tersampir pada bahu, sementara
Sita juga terus berjalan santai dengan kepala tertunduk sambil memainkan handphone pada
kedua tangannya. Setelah sampai di depan, gue langsung membuka gerbang dan melongokkan
kepala ke luar untuk mencari keberadaan Alexy.

"Sit, itu tuh, gue balik pake mobil itu." Tunjuk gue kepada mobil Civic silver milik Alexy yang
terparkir tidak jauh dari pintu gerbang kost dengan menggunakan dagu.

"Ooh..."

Pintu kemudi mobil itu langsung terbuka ketika gue dan Sita sedang berjalan mendekat. Lalu
tidak lama berselang, ada seorang wanita cantik yang turun dari mobil tersebut, dan dia menatap
kami berdua dengan tatapannya yang terasa khas. Gue dan Sita pun langsung berhenti
melangkah untuk beberapa saat karena tercengang setelah melihat penampilannya yang
sangat...

Ah...

Gue berani sumpah, Alexy terlihat sangat cantik sekali.

Di kepalanya terpasang sebuah kacamata hitam yang memantulkan sinar mentari pagi yang
terlihat berkilauan cerah, dan sepertinya Alexy juga memang sengaja menyimpan kacamata
tersebut di atas rambutnya yang berwarna kecokelatan sekaligus untuk menahan poninya agar
tidak terjatuh.

Tubuh Alexy yang tinggi semampai itu dibalut dengan jumpsuit hitam tanpa lengan sehingga
menampilkan leher serta bahunya yang putih mulus hingga ke ujung jemarinya. Lalu tidak lupa
juga, di bagian pinggang Alexy terpasang sebuah obi berwarna putih gading yang membuat
lekuk tubuh indahnya terlihat semakin jelas.

Penampilan Alexy pada hari ini seketika saja langsung membuat jantung gue berhenti berdetak
dan terasa mencelos untuk sepersekian detik, sebelum pada akhirnya jantung gue itu kembali
berdetak dengan ritme yang lebih cepat dari sebelumnya.

"Itu cewek cantik banget Bey..." Gumam Sita.


Gue mengangguk setuju sambil menaikkan sebelah bibir. "Banget..."

"Itu Alexy kan?"

"Iya..."

"Ya ampuuun, gue kira orangnya biasa-biasa aja, eh tapi ternyata malah lebih cantik daripada
versi fotonya..."

Gue dan Sita pun kembali berjalan mendekati Alexy yang sedang menatap kami berdua sambil
tersenyum dengan ramah. Ketika gue memandangi Alexy yang penampilannya terlihat super
'wah' seperti ini dan juga ditambah dengan senyumannya yang terlihat indah itu, timbul sebuah
dorongan di dalam diri gue untuk segera berlari dan memeluk tubuhnya dengan erat tanpa
pernah ingin melepasnya kembali. Sampai kapanpun.

Kami berdua kini pada akhirnya berdiri secara berhadapan dengan Alexy. Sita kemudian
tersenyum kepada Alexy, dan Alexy pun membalas senyuman Sita itu sambil mengulurkan
tangannya. "Sita ya...?"

Sita mengangguk dan menerima jabat tangan Alexy. "Iya, ini mbak Alexy kan?"

Alexy mengangguk, lalu kemudian mereka berdua mengobrol kecil sementara gue memasukkan
barang-barang bawaan ke dalam bagasi. Di dalam bagasi tersebut ternyata sudah ada beberapa
barang milik Alexy, diantaranya adalah satu buah koper dan beberapa kotak sepatu bermerk
terkenal yang membuat gue geleng-geleng kepala.

"Girls, ngegosipnya entar lagi ya. Keburu siang nih di jalan."

"Iyaaa..." Ujar Alexy, lalu kemudian dia berpamitan kepada Sita sambil bercipika-cipiki. Hal itu
terlihat lucu sekali di mata gue karena Alexy harus sedikit membungkukkan badannya untuk
bercipika-cipiki bersama Sita.

"Jangan lupa ya mbak, mintain Bayu buat bawa oleh-oleh." Ujar Sita kemudian.

Alexy tertawa, lalu dia menyenggol lengan gue sambil cengar-cengir. "Denger kan Bay?"

Gue menggelengkan kepala sambil mengibaskan tangan di udara. "Ah gimana entar aja lah..."

"Awas aja lo kalo ga bawa! Kamar lo ancur!"

"Bodo amat!" Lalu kemudian Alexy pun tertawa sementara Sita hanya bersungut-sungut ke arah
gue. "Gue pergi dulu ya Sit, tiati sendirian di kost."

"Iya, tiati di jalan juga ya Bey, mbak Alexy..."

***
"Sita orangnya asik juga ya, enggak yang kayak kamu ceritain! Huh!" Ujar Alexy dengan manja.

Gue tertawa, lalu kemudian gue menoleh kepadanya. "Ready for today's trip?"

Alexy bertepuk tangan kecil sambil tersenyum dengan lebar hingga menampilkan barisan giginya
yang bersih, lalu dia berbicara dengan nada yang terdengar sangat imut sekali. "I am now
readyyy...!"

And here we go,

Bandung!

Exotic Memories

"Dimana Ca? Lagi di kampus ga?"

"Engga A', udah di rumah. Kenapa emangnya?"

"Oh, engga, dikirain masih di kampus. Tadinya pas Aa keluar tol mau langsung sekalian
ngejemput kamu di kampus gitu..."

"Udah pulang kok barusan. Jangan lupa bawa makanan ya A'!"

"Mau makanan apa? Aa sekarang masih di lampu merah perempatan Pasteur. Mintanya yang
deket-deket aja ya Ca, jangan yang jauh-jauh."
"Yah, kalo gitu bawain apa aja deh..."

"Oke gampang. Udah dulu ya, Aa tutup telefonnya."

"Iya, tiati di jalan ya A'..."

"Sip, assalamualaikum."

Khansa Andalusia adalah nama dari adik perempuan gue, tetapi dia lebih sering dipanggil
dengan sebutan 'Anca' dibandingkan dengan 'Khansa' ataupun 'Andalusia'. Saat ini usianya baru
menginjak umur 21 tahun, dan dia juga masih berkuliah di salah satu universitas swasta di kota
ini yang letaknya tidak terlalu jauh dari pintu tol Pasteur.

"Lex, kita beli kue-kuean dulu ya di Primarasa." Ujar gue kepada Alexy yang sekarang sedang
terlihat menggoyang-goyangkan kepalanya dengan pelan sambil menyenandungkan lagu yang
terdengar.

"Kita ga jadi ke kampus dia?"

Gue menggeleng. "Engga, katanya tadi dia udah pulang."

"Ooh, oke deh." Ujarnya sambil mengangguk.

***

Bandung...

Apa itu Bandung?

Menurut gue, Bandung adalah sebuah tempat yang memiliki berjuta kenangan serta berjuta
eksotisme yang khas di dalamnya. Di setiap sudut kota ini pasti pernah tercipta sebuah
kenangan yang sangat membekas sekali di dalam hati dan jiwa dari tiap-tiap orang yang pernah
menorehkan ceritanya tersendiri di kota ini.

Entah apakah kenangan-kenangan itu tercipta ketika sedang berciuman bersama sang pacar
untuk yang pertama kalinya di salah satu sudut teater bioskop yang gelap, di atas sebuah
bangku reyot yang terletak di tengah-tengah taman kota sambil menikmati semilir angin sore, di
berbagai emper toko swalayan yang selalu dipenuhi oleh pengendara motor ketika hujan turun
dengan derasnya, atau bahkan hanya sekedar di bawah pohon rindang sambil bercanda mesra
bersama sang kekasih hati, tempat-tempat itu pasti akan meresonansi pikiran dan
membangkitkan sebuah efek nostalgia yang sangat kentara sekali bagi mereka semua.

Mulai dari para remaja tanggung dengan gaya rambut emo serta celana jeans belelnya, remaja-
remaja normal yang 'lurus' dan selalu memeluk sebundel buku tebal di depan dada mereka
ketika akan pergi ke sekolah ataupun kampus, para remaja borjuis yang senang pamer dan
menghambur-hamburkan rezeki orang tua mereka, hingga termasuk kepada para orang dewasa
serta lansia-lansia lainnya, gue yakin, mereka semua pastimemiliki satu buah cerita yang khas
mengenai kota ini yang nantinya akan kembali diceritakan kepada anak cucu mereka kelak
seperti apa yang sedang gue alami saat ini, yang semoga saja dapat menjadi sebuah kenangan
yang dapat gue ceritakan kembali suatu hari nanti.

"Bay... Aku malu..."

Gue tertawa, lalu menoleh dan menggenggam sebelah tangan dari wanita itu dengan lembut.
"Tenang aja, malu sama siapa sih? Sama Mamah aku?"
"He-eh..." Alexy mengangguk sambil memasang ekspresi cemas.

"Udah pokoknya kamu tenang aja, beneran deh ga akan apa-apa..." Gue mencoba untuk
meyakinkan Alexy, lalu kemudian gue melihat kepalanya mengangguk kecil yang langsung
membuat gue tersenyum lega.

Bagi sebagian orang, mereka semua bahkan sudah memiliki berbagai cerita menarik mengenai
kota ini mulai dari usia belia. Contohnya saja ketika para remaja Sekolah Menengah Atas yang
sudah mulai mengetahui bagaimana indahnya masa-masa berpacaran dengan rekan sebaya
mereka. Setiap malam minggu, tidak jarang dari pasangan muda-mudi itu menghabiskan
waktunya hanya untuk sekedar berduaan saja bersama pasangan mereka seperti menonton di
bioskop, makan di restoran cepat saji yang harganya cukup terjangkau, ber-photobox ria dengan
berbagai pose yang aneh, semuanya, hingga dunia yang sangat luas ini terasa menjadi milik
mereka sendiri.

Atau bagi sebagian remaja yang lain, mereka sudah bisa merasakan bagaimana gilanya euforia
yang mendabarkan dada ketika mereka baru saja bisa mengendarai mobil dengan lancar setelah
diajari oleh ayah mereka. Lalu tidak lama setelah itu, mereka pun pasti akan membawa mobilnya
untuk menjemput sang kekasih hati dengan perasaan bahagia yang meluap-luap.

Bagi mereka semua yang pernah mengalami hal-hal tersebut, itu memanglah sebuah 'prestasi'
besar di luar prestasi sekolah yang menjadi kebanggaan tersendiri. Bisa mengendarai mobil
dengan lancar, mempunyai pacar yang cantik jelita atau ganteng nan rupawan, lalu sederet
'prestasi' lainnya pun pada akhirnya akan menjadi sebuah good ol' days ketika mereka telah
memasuki usia senja nanti. Namun sayangnya, itu semua tidak terjadi kepada diri gue.

Gue memang sudah bisa mengendarai mobil semenjak gue masih duduk di bangku kelas satu
SMA dulu, tetapi gue tidak pernah melakukan apa yang namanya show off karena mobil gue
bukanlah sebuah mobil bertipe city car mewah dengan kaca film yang gelap seperti mobil teman-
teman gue yang lain. Lalu tentang pacar? Well, jangan pernah tanyakan hal tersebut
karena itu tidak termasuk ke dalam list masa remaja gue. Tetapi sekarang, itu semua sudah
berubah.

Saat ini gue sedang menggenggam kelima jemari tangan milik seorang wanita cantik yang
sedang berdiri di samping gue sambil menunggu pagar berwarna biru tua di depan wajah kami
berdua agar terbuka. Seumur hidup, gue memang belum pernah membawa satu orang wanita
pun untuk diperkenalkan kepada orang tua gue secara resmi, namun baru kali ini saja gue
dengan pede-nya menggenggam tangan Alexy dengan erat dan gue juga akan memperkenalkan
dia sebagai 'teman' yang sedang dalam tahap menuju pacar.

Oh! Atau mungkin sedang dalam tahap menuju calon istri?

Who knows?

"Aku kok nervous banget ya Bay?"

Gue menoleh ke samping dan melihat bahwa Alexy sedang menggigit bibirnya dengan was-was,
lalu gue tertawa pelan. "Beneran deh Lex, nervous sama apaan sih?"

Belum sempat Alexy menjawabnya, pintu gerbang rumah gue pun terbuka dan kami berdua
langsung disambut oleh Anca yang menatap gue dengan ekspresi bahagia. "Aa...!" Ujarnya
girang sambil menerjang dan memeluk tubuh gue dengan erat.

Gue melepas genggaman tangan Alexy, lalu gue membalas pelukan Anca dan mengelus-elus
punggungnya. "Halo Ca..."

Anca kemudian berjalan mundur satu langkah, lalu dia menoleh ke arah Alexy dan gue secara
bergantian sebelum pada akhirnya dia tersenyum dengan jahil. "Cieee siapa nih? Cantik banget
A'! Kenalin dooong sama aku!"

Gue tertawa. "Lex, ini Anca, adek aku."

Alexy kemudian tersenyum ramah kepada Anca, lalu ia menjulurkan tangannya. "Halo Anca, aku
Alexy..."

"Halo mbak Alexy, aku Anca..." Anca terlihat menahan tawanya sambil menatap gue lekat-lekat
ketika ia sedang menjabat tangan Alexy. "Ayo A', mbak Alexy, kita masuk ke dalem yuk! Udah
ditunggu sama Mamah tuh!" Ujarnya bersemangat.

"Iya, duluan sana. Entar Aa nyusul."

"Oke...!" Anca kemudian membalikkan badannya lalu dia meninggalkan kami berdua di sini.

"Bay..." Panggil Alexy sesaat setelah Anca menghilang dari penglihatan.

"Hmmm...?"

"Masuk ke dalemnya temenin..." Ujar Alexy dengan manja.

"Hahaha..." Gue tertawa sambil menjulurkan tangan kepadanya. "Yuk?"

Rumah gue memang terkesan minimalis jika dilihat dari depan. Hanya ada satu buah mobil
Kijang yang tertutupi oleh cover mobil serta sebuah taman kecil yang dipenuhi oleh berbagai
tanaman hias koleksi almarhum bokap yang hingga kini masih terawat dengan baik. Lalu tidak
lupa juga, di tengah-tengah taman tersebut terdapat sebuah pohon mangga yang telah tumbuh
dengan rindang yang membuat siang hari ini terasa sejuk.

"Assalamualaikum..." Ucap gue, setelah kami berdua sudah berada di ruang tamu.

"Waalaikumsalam..."

"Tuh, Mah, bener kan cantik banget pacarnya si Aa ini? Sekalinya dateng bawa cewek, si Aa
langsung bawa yang cantik banget!"

Setelah mendengar Anca berkata seperti itu, gue sudah tidak dapat lagi menahan senyuman
yang sedari tadi gue tahan-tahan dengan sekuat tenaga. Begitupun dengan halnya ibu gue.
Beliau juga terlihat sedang tersenyum dengan lebar ketika ia melihat anak lelaki satu-satunya
yang sekarang sudah berani membawa seorang wanita cantik ke hadapannya.

Dan sekarang, kini telah tiba giliran gue untuk menyumbangkan satu buah kenangan manis
mengenai apa yang pernah terjadi di kota ini.

"You'll have a tale or two to tell of your own when you come back."

Bilbo Baggins
Green Day - Time Of Your Life

Plumeria And Its Stories

Gue memberi isyarat kepada Alexy melalui gerakan kepala agar dia menyalimi ibu. Lalu tidak
lupa juga, gue memberikan sebuah senyum simpul kepadanya agar ia tidak merasa grogi atau
apapun ketika sedang menyalami beliau nanti. Alexy kemudian melepaskan genggamannya dari
tangan gue dengan perlahan lalu ia berjalan mendekat kepada ibu yang sedang duduk di atas
sofa panjang di samping Anca.

"Siang tante, saya Alexy..." Alexy sedikit membungkukkan badannya untuk menyalimi ibu.

"Siang juga Alexy..." Ibu gue tersenyum dengan ramah sambil mengelus lembut ubun-ubun
Alexy. Ini merupakan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan beliau jika ada teman gue ataupun
Anca yang salim kepadanya. "Sini Lex duduk dulu..."

"Eh, iya tante..." Alexy mengangguk lalu duduk di sampingnya.

"Apa kabar Alexy?"

"Alhamdulillah baik tante... Tante sendiri gimana kabarnya?"

"Kabar tante alhamdulillah sekali! Walaupun umurnya udah segini, tapi tante masih ngerasa
awet muda lho..." Ibu tertawa.

"Yah, awet muda apaan Mah? Mamah mah tua yang dimuda-mudain!" Timpal Anca secara tiba-
tiba sambil gelendotan manja kepada ibu yang membuat kami semua tertawa.

Di luar dugaan gue, ternyata tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Alexy untuk dapat
berbaur bersama ibu dan Anca. Kini Alexy sudah terlihat lebih rileks dan santai dalam
menanggapi berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh ibu dan Anca sambil sesekali diiringi
oleh canda dan tawa mereka semua.

Selama melihat mereka bertiga berinteraksi dengan hangat, gue hanya bisa melipat tangan di
depan dada sambil bersandar pada kusen pintu. Gue sangat senang sekali ketika melihat semua
ini. Gue sangat senang sekali karena Alexy telah mendapatkan sebuah respon positif dari
keluarga gue, dan ini juga merupakan sebuah respon yang baik untuk mengawali sebuah
langkah yang akan menentukan segala-galanya di masa yang akan datang.

Lalu tanpa terasa, bibir gue pun menyunggingkan sebuah senyuman kecil ketika memikirkan hal
itu.

***

Sewaktu gue masih kecil dulu, almarhum bokap pernah mendapatkan tugas untuk bekerja di
Tangerang selama beberapa hari. Di Tangerang sana ternyata beliau bertemu dengan teman
lamanya yang merupakan seorang pengusaha serta penyalur berbagai tanaman hias dalam
skala besar. Gue memanggil teman dari almarhum bokap itu dengan sebutan bang Rista.
Mereka berdua merupakan sahabat karib yang memiliki hobi di bidang yang sama.

Bokap gue memang seseorang yang fanatik sekali terhadap tanaman-tanaman hias semenjak
beliau masih duduk di bangku kuliah dulu, dan gue hanya bisa memperhatikannya sambil
manggut-manggut saja ketika beliau sedang bercerita mengenai hobinya walaupun gue sendiri
sama sekali tidak mengerti tentang apa yang sedang ia bicarakan.

Setiap memasuki akhir pekan, beliau secara rutin mengajari gue bagaimana cara untuk
menanam tanaman yang baik walaupun hanya dengan menggunakan media sederhana seperti
arang serta daun kaliandra kering. Ada satu hal yang wajib dilakukan setelah menanam tanaman
tersebut, yaitu gue harus melabeli pot dengan nama latin dari tanaman itu beserta tanggal pada
saat gue menanamnya.

Gue sangat senang sekali ketika melihat tanaman yang gue tanam itu dapat tumbuh dengan
subur walaupun pada awalnya gue harus rela bersin berkali-kali karena menghirup debu dari
kaliandra kering itu serta sela-sela kuku jari gue yang kotor dan menghitam karena memegang
arang.

Pada saat bokap akan kembali pulang ke Bandung, bang Rista menghadiahinya lima buah bibit
pohon Kamboja yang masih berbentuk tunas-tunas kecil namun memiliki batang yang gemuk.
Bokap gue kemudian memutuskan untuk menanam satu dari kelima bibit Kamboja itu di halaman
belakang rumah sementara keempat bibit yang lainnya beliau tanam di halaman rumah kakek
karena halamannya yang terbilang sangat luas.

"Bibit Kamboja yang barusan kita tanem itu asli Indonesia. Kalo nanti udah tumbuh besar,
bakalan muncul banyak bunga yang warnanya putih kekuningan kayak gini. Cantik banget kan
bunganya Bay?" Tanya bokap sambil memperlihatkan beberapa gambar bunga Kamboja dari
salah satu majalah khusus tumbuhan seusai kami berdua menanam bibit kecil itu.

"Bay...?"

"Eh..." Gue terkejut. Lamunan gue akan almarhum bokap seketika saja terbuyar dan gue
langsung menoleh ke samping. Terlihat Alexy sedang berdiri di ambang pintu, tersenyum
dengan cantiknya kepada gue, lalu kemudian gue pun membalas senyumannya. "Hai Lex. Sini
duduk bareng sama aku."

Alexy kemudian berjalan mendekat dan dia duduk pada kursi rotan di samping gue.
Pandangannya terlihat menyapu ke setiap sudut dari halaman belakang rumah ini. Kedua mata
Alexy kemudian terpaku ketika ia melihat satu buah pohon Kamboja yang telah tinggi menjulang,
lalu ia pun kembali menyunggingkan sebuah senyuman tipis pada bibirnya.

"Enak ya Bay rumah kamu. Halaman belakangnya asri, terus ada pohon Kambojanya lagi!
Seneng deh aku di sini lama-lama."

"Ini semua karya almarhum Papah aku. Terus pohon Kamboja yang tumbuh di samping kolam
ikan itu, itu ditanemnya pas aku masih kecil dulu." Ujar gue.

"Ooh..."

Ada jeda yang cukup panjang di antara kami berdua. Tidak ada suara apapun yang terdengar
selain suara dari gesekan dedaunan yang tertiup oleh angin serta gemericik air yang terdengar
dari arah kolam. Suasana di sini seketika menjadi hening, damai, dan kami juga hanya duduk
terdiam sambil menggoyang-goyangkan kedua kaki di atas lantai dingin berwarna merah tua
dengan ritme yang konstan dan menikmati suasana damai yang terasa.

"Dulu waktu aku masih tinggal di Bali, aku tinggalnya di rumah yang kayak rumah kamu
sekarang. Di halaman rumah om aku ada pohon Kambojanya juga. Miriiip banget sama pohon
Kamboja yang itu..." Ujar Alexy tiba-tiba sambil menunjuk ke arah pohon Kamboja di depannya.

Gue kemudian menoleh kepadanya. Alexy terlihat masih menatap lurus ke arah pohon Kamboja
itu, kedua matanya terlihat berbinar, lalu sejurus kemudian dia mengalihkan pandangannya dan
menoleh kepada gue. "Mau dengerin cerita aku Bay?"

Gue tersenyum, lalu menganggukkan kepala dengan pelan.

"Waktu itu, aku masih kelas dua SD di Helsinki..." Alexy menatap gue untuk sesaat, lalu
kemudian ia mengalihkan pandangannya ke salah satu sudut halaman. "Mamah pengen banget
aku tinggal di Indonesia. Kasian katanya kalo misalkan aku ikut-ikut Papah terus, nanti aku ga
bakalan punya temen masa kecil kalo keseringan pindah ke tempat yang belum tentu aku
kunjungin lagi..."

Alexy menyimpan kedua tangannya pada permukaan kursi sambil menggoyang-goyangkan kaki
dengan pelan. Lalu sesaat kemudian, kepalanya menengadah ke atas seperti sedang mencoba
mengingat sesuatu. "Terus pas kenaikan kelas tiga, akhirnya aku pindah ke Bali sama Mamah."

"..."

"Di Bali, bahasa Indonesia aku belum sepenuhnya lancar. Aku masih susah banget buat ngobrol
sama temen-temen sebaya aku, tapi aku malah sering dikerubungin sama mereka sampe-
sampe aku jadi takut sendiri. Katanya, gaya bicara aku itu aneh sekaligus lucu gara-gara aku ga
bisa ngomong bahasa Indonesia." Alexy tertawa. "Tapi aku juga seneeeng banget waktu tinggal
di sana. Apalagi pas lagi ngeliatin temen-temen aku yang pada manjatin pohon Kamboja."

"..."

Alexy menoleh. "Bisa dibayangin kan gimana hebohnya kalo anak laki-laki pada manjatin
pohon? Malahan, pernah ada juga yang sampe berantem cuman gara-gara rebutan pohon buat
dipanjat loh!" Ujarnya sambil tertawa lepas yang seketika saja membuat gue juga ikut tertawa
bersamanya.

"Pernah ada satu bocah laki-laki yang ngasih aku bunga Kamboja sambil dicie-ciein sama yang
lain. Aku yang sama sekali ga ngerti mereka lagi ngapain, ya jadinya aku cuman bisa senyam-
senyum sendiri sambil nerima bunga itu." Alexy tersenyum.

"..."

"Terus pas udah gitu, aku juga disuruh buat masang bunga Kamboja itu di telinga biar sama
kayak temen-temen cewek yang lain. Tapi mungkin gara-gara akunya diem aja, eh, dia malah
ngambil bunga itu dari tangan aku buat dipasangin ke telinga aku. Makin aja aku dicie-ciein
sama yang lain." Alexy tertawa.

"..."

"Selain itu, aku juga sering diajakin buat ibadah di pura sama mereka. Aku masih inget banget,
waktu itu aku pake baju adat Bali sambil bawa-bawa canang sari yang dibuatin sama om."

"..."

"Di pura sana, mereka semua langsung sembahyang. Lucu deh pas aku ngeliatin temen-temen
aku yang lagi pada ibadah. Khusyuk, matanya pada merem, tapi bibirnya juga pada senyum
semua. Damaaai banget rasanya." Alexy memiringkan kepala, dan bibirnya juga tak henti-
hentinya menyunggingkan sebuah senyuman yang terlihat sangat tulus sekali.

"..."

"Sebelum prosesi sembahyang selesai, kita semua dikasih bija buat ditempel di kening di antara
alis mata." Alexy menoleh, masih dengan menyungginkan senyuman pada bibirnya, lalu dia
bertanya. "Tau kan? Yang dibuat dari beras itu?"

"Ooh..." Gue mengangguk antusias. "Iya, iya... Tau..."

"Abis kita pake bija, berdoa sebentar, baru deh selesai ibadahnya." Ujarnya semangat.
"..."

Alexy menghela nafas panjang, sebelum pada akhirnya dia kembali berbicara. "Pas aku ngeliat
pohon Kamboja di sini, aku jadi kangen sama masa kecil aku..."

"..."

"Aku kangen sama temen-temen masa kecil aku, kangen buat ibadah bareng sama mereka lagi,
kangen sama aroma dupa di rumah temen-temen aku, kangen sama suara gamelan Bali, ah
pokoknya aku kangen Baliii...!" Ujarnya sambil menghentak-hentakkan kaki di atas lantai.

"Lex, abis taun baruan kita ke Bali yuk?"

"Hah?!" Alexy menatap gue sambil memasang ekspresi tidak percaya. "Kamu beneran mau ke
sana?"

Gue mengangguk sambil tersenyum kepadanya. "Kalo misalkan aku pergi ke Balinya bareng
sama kamu, aku mau. Tapi kalo misalkan aku perginya sendirian..." Gue mengerlingkan mata ke
arah lain sambil memainkan bibir, lalu gue kembali berbicara. "Kayaknya aku gak mau deh.
Masa aku dateng ke Bali enggak sama cewek secantik kamu sih Lex?"

Alexy tertawa hingga kedua matanya terlihat menyipit. "Ih kamu ini, gombalin aku mulu
kerjaannya..."

Gue tertawa.

"Om Ang Ung Mang Puspa Danta Ya Namah Swaha.


Om Atma Tattvatma Suddha Mam Svaha."

Doa Sembahyang
Mahasabha Parisada Hindu Dharma VI

A Mind Full Of Despair

Matahari bersinar dengan terik dan sinarnya mencoba menyeruak masuk ke dalam halaman
depan rumah melalui sela-sela dedaunan pohon mangga yang rimbun. Angin pada siang hari ini
pun sesekali berhembus kencang sehingga membuat daun-daun itu saling beradu dan
menimbulkan suara gemerisik indah yang menenangkan pikiran.

Saat ini, gue sedang duduk bersila di atas teras rumah sambil menopang tubuh dengan kedua
tangan yang bertumpu pada lantai di belakang punggung. Sudah lama sekali gue tidak bersantai
dengan cara seperti ini. Ini merupakan sesuatu yang sama sekali tidak dapat gue rasakan di
Jakarta sana. Di sini, gue dapat menikmati udara siang yang tidak membuat badan gue
berkeringat, rimbunnya dedaunan pohon mangga yang meneduhkan, teras rumah yang terasa
dingin, serta masih banyak lagi hal-hal lainnya yang dapat gue nikmati di sini.
"Assalamualaikum..." Ujar sebuah suara yang terdengar dari balik pagar.

"Waalaikumsalam, bentaaar..." Gue kemudian bangkit berdiri lalu berjalan untuk membuka pintu
gerbang. "Eh, Aya, masuk dulu Ay..."

"Loh?" Aya terlihat kaget. "Ada mas Bayu? Kapan datengnya mas?"

"Baru tadi sekitar jam sebelasan. Oh iya, Anca-nya ada di dalem tuh. Langsung masuk aja gih
sana."

"Udah ketebak ya aku mau ngapain kalo ke sini?" Aya tertawa. "Kalo gitu aku masuk dulu ya
mas."

"Yooo silakan..."

Aya adalah teman sekampus Anca, dan dia juga sudah cukup sering bertamu ke rumah ini untuk
menemui Anca sehingga gue sudah tidak asing lagi dengannya. Setelah melihat Aya bertamu
dengan cara yang seperti itu, gue menjadi berpikir, apakah masih ada orang di dunia ini yang
memiliki 'manner' seperti Aya dalam hal bertamu dan bukan hanya mengetik pesan via
handphone lalu menunggu di luar pagar? Ah, gue sama sekali tidak tahu.

Setelah makan siang tadi, Alexy, ibu, dan Anca bercengkrama di ruang tengah untuk lebih saling
mengakrabkan diri antara satu dengan yang lain. Gue memang sengaja menarik diri untuk
memberikan sebuah ruang khusus bagi mereka bertiga, lalu gue pun menikmati 'me time'
tersendiri di halaman depan rumah ini. Belum lama setelah gue kembali duduk bersila di atas
lantai teras, Alexy tiba-tiba saja datang sambil membawa dua buah gelas berisi minuman dingin
pada tangannya.

"Nih, buat kamu Bay..." Ujarnya.

Gue tersenyum, lalu menerima pemberiannya. "Thanks..."

Alexy kemudian ikut duduk bersila di sebelah gue sambil memegang gelas miliknya. Beberapa
saat kami berdua terdiam dan menikmati minuman yang dibawakan oleh Alexy, lalu kemudian
dia bertanya. "Itu siapa Bay?"

Gue menoleh. "Hmmm? Yang mana?"

"Yang tadi itu, yang cewek temen Anca..."

"Ooh, itu, dia namanya Aya."

Alexy mengangguk, lalu dia bergumam. "Aya cantik banget ya..."

"Hahaha..." Gue tertawa. "Kamu juga cantik kok! Cantik banget malah!"

"Wuuu gombaaalll!" Ujarnya sambil meninju lengan gue dengan pelan.

"Lex, ngomong-ngomong, Aya itu kembar lho..."

"Hah? Serius?"

Gue mengangguk sambil tersenyum antusias. "Beneran deh, kembarannya mirip banget sama
dia."

"Ooh, berarti mereka tuh kembar identik dong ya?


"Yaaa..." Gue mengangkat bahu. "Mungkin juga... Aku ga tau pasti. Eh Lex, masuk ke dalem aja
yuk? Kita ikut ngobrol sama yang lain."

"Oke..."

***

Matahari kini sudah berada di bawah horizon namun sinarnya telah dibelokkan oleh atmosfer
bumi sehingga tercipta guratan-guratan indah berwarna oranye kemerahan yang terpampang di
kaki langit. Suasana yang indah ini pun terasa sangat pas sekali dengan suasana hati gue
sekarang. Senang, bahagia, berbunga-bunga, semuanya bercampur menjadi satu ketika gue
sedang bersamanya di sini.

Gue memperhatikan Alexy yang sedang memilah-milah beberapa potong pakaian di depannya.
Rambut Alexy yang berwarna kecokelatan itu bergoyang seirama ke kanan dan ke kiri seiring
dengan gerakan kepalanya. Sesekali, Alexy juga menoleh ke kanan dan ke kiri sehingga gue
dapat memperhatikan wajah cantik Alexy dari sudut pandang yang berbeda. Setelah melihat
semua ini, entahlah, gue malah menjadi semakin bisa untuk mengagumi kecantikan yang dimiliki
olehnya.

Sudah dua puluh lima tahun lebih gue hidup di dunia hanya untuk terus menerus belajar serta
bekerja secara all out demi meraih apa yang telah gue raih saat ini. Gue sama sekali tidak
memiliki waktu luang untuk merasakan bagaimana rasanya mencintai dan dicintai oleh
seseorang. Atau mungkin lebih tepatnya, yaitu gue sama sekali tidak bisa untuk memiliki
seseorang yang dapat saling membagi perasaan cinta yang tulus. Lalu jika setiap gue melihat
teman-teman yang lain menggandeng pasangannya masing-masing di depan umum, gue hanya
bisa tersenyum kecut sambil mencoba menahan ego serta rasa cemburu sosial kepada mereka
semua.

Di dalam lubuk hati gue yang paling dalam, terdapat sebuah keinginan dimana gue yang
sangat ingin sekali memiliki seorang kekasih hati dan merasakan bagaimana rasanya tertawa
dengan lepas ketika sedang berduaan dengannya, merasakan berjuta sensasi bahagia yang
bergejolak hebat di dalam dada ketika saling melontarkan kata-kata yang penuh akan kasih
sayang di setiap kalimatnya, dan gue juga sangat ingin sekali merasakan bagaimana rasanya
dibelai dengan lembut oleh sentuhan tangan dari seorang wanita yang sangat kita cintai.

I'm just a man who needs a warm, soft touch from a woman after all.

"Ini bagus nih dipake sama kamu..." Alexy membalikkan badannya, lalu ia memberikan satu
buah jaket sport berwarna putih cerah kepada gue.

"Bagus sih, cuman..." Gue cengengesan. "Mahal Lex..."

Alexy tertawa. "Tapi ini kan bagus Bay? Cocok banget sama badan kamu..."

Gue tidak membalas ucapannya dan kembali membiarkan Alexy untuk melihat-lihat pakaian
yang terpampang pada rak di depan wajahnya. Lalu ketika gue menoleh ke sudut lain dari
fashion store ini, gue melihat Anca dan Aya sedang tertawa cekikikan sambil menutupi sebagian
wajah mereka dengan baju yang sedang mereka pegang. Gue pun pada akhirnya hanya bisa
cengengesan kepada mereka sambil menyimpan telunjuk pada bibir. Lalu setelah itu, gue
kembali menoleh untuk memperhatikan Alexy yang kini sedang terlihat serius meneliti baju yang
sedang dipegang olehnya sambil memikirkan sesuatu.

Apa mungkin Alexy dapat menjadi seseorang yang bisa mengisi kekosongan di hati gue? Apa
mungkin Alexy dapat menjadi seseorang yang mau memberi semangatnya ketika gue sedang
terpuruk? Apa mungkin Alexy dapat menjadi seseorang yang selalu berada di sisi gue? Lalu
yang terakhir, apa mungkin Alexy dapat menjadi 'The One' yang selama ini gue cari dan gue
tunggu dengan sabar selama dua puluh lima tahun lebih gue hidup di dunia ini?

Ah...

Brian Culbertson - Your Smile

Hoshizora

Gue mengajak Alexy untuk makan malam di luar dan hanya berduaan saja dengannya pada
salah satu bistro cafe yang terletak di daerah Bandung Utara. Gue memang sengaja memilih
bistro cafe ini karena lokasinya sudah sangat terkenal sekali dengan keindahan dari
pemandangan alamnya yang eksotis. Alexy pun terlihat senang ketika ia mengetahui bahwa gue
mengajaknya ke sini. Dia dengan bersemangatnya memilih satu buah meja outdoor yang terletak
di sudut cafe dan dekat dengan pembatas kayu agar kami berdua bisa menyantap hidangan
sambil menikmati suasana malam kota Bandung dari ketinggian. Lalu selama kami berjalan dari
tempat parkir menuju meja makan, gue pun dengan bangganya menggenggam tangan Alexy
yang juga menggenggam tangan gue dengan erat.

Kami berdua memesan beberapa jenis makanan untuk mengisi perut yang semenjak tadi sore
belum terisi oleh apapun. Selama menunggu pesanan untuk datang, Alexy tak henti-hentinya
menyunggingkan sebuah senyuman tipis sambil bercerita mengenai banyak hal tentang
kehidupannya selama di Helsinki dulu seperti ber-ice skating ria di Icepark pada saat musim
dingin tiba, berlari-lari di atas rerumputan hijau Sinebrychoff Park bersama Golden Retriever
milik rekan ayahnya, atau hanya sekedar menghabiskan waktu liburan musim panas untuk
berenang di Hietaniemi Beach bersama keluarganya. Sesekali, Alexy juga merapikan dan
menyimpan helai-helai rambutnya yang tertiup oleh angin di balik telinganya ketika ia sedang
bercerita. Lalu ketika gue melihatnya melakukan hal itu, entahlah, gue malah menjadi tersenyum
kecil dan itu membuat gue semakin bisa untuk mengagumi kecantikan yang dimiliki olehnya.

Well, I think, I am really in love with her.

I really am.

Bagi setiap lelaki normal di dunia ini, mereka semua pasti akan mengatakan bahwa momen ini
adalah sebuah momen yang sempurna bagi para lelaki untuk menyatakan perasaannya kepada
calon pasangan, atau bahkan hingga melamarnya secara langsung. Lampu-lampu hias
berwarna kuning keemasan di sekeliling, kursi kayu berwarna cokelat tua yang sedang kami
duduki, suara-suara obrolan serta canda tawa yang terdengar hangat dari para pelanggan cafe,
dan juga ditambah dengan kerlap-kerlip cahaya lampu yang berasal dari kota Bandung pun telah
menjadi sebuah kesatuan yang pas serta mendukung sekali untuk melakukan hal-hal yang
romantis itu. Tetapi sayangnya, gue bukanlah seorang cowok yang romantis.

Gue sama sekali tidak tahu tentang definisi 'romantis' bagi seorang cewek itu seperti apa, dan
terlebih lagi gue juga belum pernah mengatakan kalimat 'I Love You' kepada wanita manapun di
dunia ini. Gue bukanlah seorang cowok yang dapat dengan mudahnya mengumbar kalimat 'I
Love You' kepada banyak wanita, karena gue selalu berpikir bahwa kalimat itu merupakan
sebuah kalimat sakral yang harus diucapkan kepada satu orang wanita saja yang menurut gue
memang pantas untuk mendengarkan kalimat itu terucap secara langsung dari mulut gue.

Alexy masih bercerita mengenai masa kecilnya sementara kini gue mulai tidak dapat lagi
berkonsentrasi secara penuh untuk mendengarkan setiap cerita Alexy. Pikiran gue perlahan-
lahan mulai bercabang. Muncul berbagai macam pikiran yang datang secara bersamaan dan
seketika saja pikiran-pikiran itu membuat konsentrasi gue terbuyar.

Salah satu dari pikiran yang muncul itu adalah sebuah niatan untuk menyatakan perasaan gue
kepada Alexy secara langsung, lalu kemudian gue juga akan memintanya untuk menjadi pacar
pertama di dalam kehidupan gue.

Terdapat banyak sekali susunan kalimat acak yang dapat gue gunakan, namun sepertinya otak
gue masih tidak mau memberikan sekumpulan kata-kata yang tepat bagi gue untuk diucapkan
kepada Alexy. Lalu ketika gue semakin keras mencoba untuk menyusun kata-kata itu, jantung
gue pun semakin terasa berdegup dengan kencang sekali yang seketika saja membuat gue
menjadi gugup. Bibir gue terasa kelu untuk membalas obrolan Alexy. Persendian-persendian
pada tubuh gue juga menjadi lemas, dan kesepuluh jemari tangan gue pun menjadi bergetar
pelan karena perasaan gugup itu.

Alexy sepertinya menyadari kegugupan gue. Dia kemudian berhenti berbicara, menatap gue
dengan sebuah tatapan yang terlihat menenangkan, lalu dia tersenyum. "Kamu kenapa Bay?"
Tanya Alexy dengan halus. "Ada yang mau kamu omongin sama aku?"

"Eh..." Gue terbelalak kaget, lalu gue membenarkan posisi duduk dan menarik nafas dalam-
dalam sambil menggeleng pelan. "Enggak kok, aku ga apa-apa Lex..."

"Ooh, dikirain mau ngomong sesuatu sama aku..."

Alexy kemudian kembali meneruskan ceritanya dan dia juga tetap mengembangkan sebuah
senyuman tipis pada bibirnya seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Lalu sementara gue?
Perasaan di dalam diri gue kini menjadi semakin kalut ketika melihat senyuman pada bibirnya.
Senyuman pada bibir Alexy itu adalah sesuatu yang seketika saja dapat membuat gue menjadi
gila ketika melihatnya. Lalu pada saat yang bersamaan juga, senyuman itu pun dapat membuat
jantung gue bergedup lebih kencang lagi daripada sebelumnya.

Setelah semua makanan tersimpan di atas meja, gue dan Alexy langsung menyantap
hidangannya masing-masing tanpa mengeluarkan suara. Alexy terlihat sedikit menundukkan
kepala untuk memotong steak miliknya, sementara kini gue hanya bisa menatap kosong ke arah
makanan yang telah tersaji secara mewah di atas meja. Mood gue seketika saja menurun.
Selera makan gue juga menjadi hilang dengan sendirinya, dan itu dikarenakan oleh gue
yang masih belum bisa untuk mengatakan apa yang seharusnya telah gue katakan kepada
Alexy, hingga kami berdua pulang ke rumah.

Menyesal?

Sangat!

***

Gue duduk di atas lantai dingin pada teras halaman belakang rumah sambil memeluk kedua kaki
dan menatap kosong ke arah pohon Kamboja yang kini sedang berbunga. Bunga-bunga yang
bermekaran pada pohon itu terlihat cantik sekali dengan warna dominan putih serta sedikit
kekuningan pada mahkota bunganya, persisseperti apa yang pernah diperlihatkan oleh
almarhum ketika kami sedang membaca buku mengenai tumbuh-tumbuhan dulu.

Suasana seperti ini perlahan-lahan dapat membuat gue melupakan apa yang sebelumnya telah
terjadi. Kesunyian malam yang terasa menenangkan hati, suara jangkrik yang saling bersahut-
sahutan, dan juga ditambah dengan suara gemericik air yang terdengar dari arah kolam ikan pun
dapat membuat pikiran gue menjadi rileks untuk sejenak. Gue pada akhirnya mencoba untuk
menikmati ini semua sambil memejamkan mata dan menghela nafas dengan panjang.

"Bayu?"

Gue mendongak, lalu kemudian menoleh ke arah pintu. "Loh? Lex? Kok kamu belum tidur?"

Alexy menggeleng. "Aku ga bisa tidur..." Ujarnya.

Alexy kemudian ikut duduk di samping gue, dan dia juga masih terlihat sangat cantik sekali
walaupun hanya dengan mengenakan piyama satin putih berlengan pendek dengan garis-garis
hitam pada bagian lengannya. "Kamu juga kenapa belum tidur Bay?"

Gue menggeleng sambil tertawa pelan. "Enak sih duduk-duduk di sini. Adem..."

"Ah, aneh-aneh aja kamu ini Bay." Alexy terkekeh.

Kami berdua kembali terdiam untuk sesaat. Ada sebuah jeda kosong yang panjang di antara
percakapan satu dengan percakapan lainnya yang masih belum terucap, lalu tiba-tiba saja
niatan itu kembali muncul. Sekarang, gue tidak ingin melewatinya lagi. Gue tidak ingin kembali
melewati sebuah momen seperti ini, dan gue juga tidak ingin menyesal di kemudian hari karena
telah kembali menyia-nyiakan satu buah momen 'sempurna' yang telah tercipta dengan
sendirinya.

"Lex, bentar ya..." Ujar gue sambil bangkit dari duduk.

"Kamu mau kemana Bay?"

"Bentar..."

Gue kemudian berjalan tanpa alas kaki di atas rerumputan hijau untuk mengambil sebuah bunga
Kamboja di sana. Alexy pun menatap gue dengan heran ketika gue kembali berjalan
mendekatinya sambil membawa satu buah bunga yang sangat indah sekali pada tangan gue.
Gue kemudian berjongkok dengan satu lutut di depan Alexy, lalu gue menatap kedua matanya
sambil menyunggingkan senyuman kecil walaupun kini perasaan gue sedang tidak menentu.
Tangan gue yang sedang memegang pangkal bunga Kamboja berwarna putih kekuningan itu
terjulur ke depan untuk memasangkannya pada telinga Alexy. Wajah Alexy pun terlihat agak
sedikit merona ketika gue sedang melakukan hal itu. Alexy kemudian tersenyum dengan malu
sambil memalingkan pandangannya ke arah lain, sementara gue merapikan tiap-tiap helai
rambut halus milik Alexy agar tidak menutupi bunga yang telah gue sematkan pada telinganya.

Lalu sedetik kemudian, tiba-tiba saja jantung gue berdegup dengan kencang pada saat gue akan
berbicara kepadanya. Jemari pada kedua tangan gue pun terasa bergemetar, namun dengan
sekuat tenaga gue mencoba untuk menutupi perasaan gugup itu melalui senyuman yang
terkembang pada bibir gue. Gue kemudian memberanikan diri untuk mengambil kedua telapak
tangan milik Alexy, lalu gue menggenggamnya dengan erat.

"Lex..." Panggil gue, yang membuat Alexy menoleh.

Kami berdua bertatapan untuk beberapa detik, dan beberapa detik ini pun
terasa sangat mendebarkan sekali. Gue hanya bisa terdiam sambil menatap kedua mata Alexy
dengan penuh arti, lalu kemudian gue menarik kedua tangannya untuk gue genggam dengan
sepenuh hati di depan dada, sebelum pada akhirnya gue mengeluarkan beberapa buah kata
sederhana, yang semoga saja dapat diterima olehnya.

"Alexy..."

"Y-ya...?"

"Please, be mine..."

"..."

"Forever..."
Jason Mraz - I Won't Give Up

Over The Moon

Gue masih berjongkok dengan satu lutut di depan Alexy sambil menggenggam erat kedua
tangannya. Selama beberapa detik, Alexy masih terdiam tanpa mengelurkan suara, dan selama
beberapa detik ini pun telah menjadi beberapa detik yang terasa paling lama di dalam kehidupan
gue. Diamnya Alexy itu semakin membuat perasaan gue tak karuan. Gue menjadi tidak nyaman
dengan suasana seperti ini karena semua perasaan gugup, takut, deg-degan, semuanya telah
bercampur aduk menjadi satu sehingga menimbulkan sebuah efek aneh di dalam diri gue.

"Bay..." Panggil Alexy kemudian.

Gue tidak siap jika ia berkata 'tidak'. Gue tidak siap, dan gue juga memang tidak akan pernah
siap untuk mendengar kata-kata penolakan itu terucap secara langsung dari mulutnya. "Ya,
Lex?" Tanya gue sambil berharap-harap dengan cemas.

Alexy tersenyum, lalu dia berbicara. "Convince me..."

Gue menarik nafas dalam-dalam sambil melirik ke arah lain, sebelum pada akhirnya gue
menoleh ke arah bunga Kamboja yang tersemat pada telinganya, lalu gue kembali menatap
kedua mata indah Alexy sambil tersenyum. "Selama dua puluh lima tahun lebih aku hidup di
dunia ini, Lex, aku sama sekali belum pernah yang namanya pacaran dengan cewek manapun.
Aku selalu hidup buat belajar dan bekerja sekuat tenaga, karena ibu dan
Anca sangat mengandalkan aku sebagai tulang punggung keluarga."

"..." Alexy masih bergeming.

"Pada saat itu, memang ada beberapa cewek yang pernah deket sama aku, tapi aku sama
sekali ga punya perasaan lebih buat mereka. Aku selalu bisa untuk menahan perasaan itu
karena mindset aku hampir ga bisa dirubah lagi selain buat belajar dan bekerja. Tapi pas aku
ketemu sama kamu, Lex, semuanya jadi terasa beda."

"..."

"Waktu aku kenal sama kamu, entahlah, aku ngerasa kalo aku itu memang harus berjuang buat
kamu. Aku ngerasa kalo aku memang harus perjuangin kamu, dan pada akhirnya kita berdua
akan berjuang bersama-sama."

"Kenapa harus aku, Bay?" Tanya Alexy.

Gue terdiam sebentar, sebelum pada akhirnya gue kembali berbicara. "Banyak wanita yang
udah aku kenal, entah emang kenal karena satu kampus atau dikenalin sama orang lain. Tapi
dari sekian banyak wanita itu, ga ada satu wanita pun yang bisa ngebuat aku untuk perjuangin
mereka. Ga ada satu pun dari wanita itu yang bisa ngebuat aku kayak gini selain kamu. Aku
ngerasa sesuatu yang berbeda di dalam diri aku setelah aku kenal sama kamu. Ada feeling yang
muncul di dalam diri aku. Aku mau perjuangin kamu, dan aku juga ingin ngelindungin kamu
sekuat tenaga."
"..."

"Aku ngerasa kalo hati aku itu nyuruh aku buat perjuangin kamu. Cuman kamu yang bisa bikin
aku kayak gini, dan cuman kamu juga yang menjadi wanita pertama dan satu-satunya
yang ingin sekali aku perjuangin dengan sepenuh hati. Aku cuman mau kamu, Lex..."

"..." Alexy tersenyum.

"Aku udah nunggu sebuah momen ini untuk datang selama lebih dari dua puluh lima tahun. Aku
udah dengan sabarnya nunggu momen ini untuk datang di dalam kehidupan aku, dan sekarang
sudah saatnya bagi aku untuk mempergunakan momen sekali seumur hidup ini dengan sebaik-
baiknya."

"..."

"I love you, Lex, so please..." Gue menghela nafas pelan, lalu gue tersenyum kepadanya.

"..."

"Be mine forever..."

"..."

"..."

"Bay, kamu tau kenapa aku ga bisa tidur?"

Gue menggeleng. "Kenapa?"

"Aku ga tau..." Ujarnya. "Aku dari tadi guling kanan guling kiri sambil merem, tapi rasanya
ngantuk tuh ga dateng-dateng seolah-olah ada sesuatu yang ngelarang aku buat tidur."

"..."

"Tapi sekarang, abis kamu ngomong semua hal itu, aku jadi tau apa alasan dari 'sesuatu' yang
ngelarang aku buat tidur. Dia ngelarang aku buat tidur karena dia udah tau, kalo malem ini..."
Alexy menarik nafasnya dalam-dalam. "...kalo malem ini aku bakal jadi pacar kamu."

DEG!

"Jadi... Lex? Apa jawaban kamu?"

"Jadi jawaban aku, ya..." Alexy tersenyum sambil mengangguk, dan ekspresi wajahnya pun
terlihat sangatbahagia sekali hingga terlihat ada air yang menggenang pada kedua pelupuk
matanya. "I'm yours, Bayu, forever..."

Setelah Alexy berkata seperti itu, hati gue terasa meledak. Gue sangat bahagia sekali ketika
mendengar kata-kata itu terucap secara langsung dari mulut Alexy. Lalu tidak dapat gue tahan
lagi, gue langsung menarik dan mendekap erat tubuh dari seorang wanita yang kini telah
mengenakan sebuah bunga Kamboja pada sela-sela telinganya, dan gue pun tak akan pernah
melepasnya lagi.

Sampai kapanpun.

"He must feel that you choose to be with him.


Not that you need to be with him."

Sherry Argov

There's only one heart


Beating between us
One river made from two

This is the one love


We can be sure of
You are me, I am you

Dave Koz - You Are Me, I Am You

Language and Hope

Sewaktu gue menginjakkan kaki di tanah Italia untuk yang pertama kalinya dulu, tepatnya di
Fiumicino Airport, gue hanya bisa tertegun sambil sedikit takut karena perbedaan bahasa.
Bahasa yang mereka pergunakan di sini adalah bahasa Itali yang sama sekali tidak dapat gue
mengerti, sedangkan gue hanya fasih dalam berbahasa Indonesia dan juga tidak begitu lancar
dalam menggunakan bahasa Inggris. Gue hampir saja putus asa di sana. Tidak kenal siapa-
siapa, tidak punya kerabat ataupun sahabat, dan yang paling penting adalah gue tidak bisa
berbahasa Itali.

Tetapi, ternyata itu semua tidak sampai di situ saja.


"Pardon me Sir, where can I find the immigration check post on this airport?"

Si bapak memandangi gue sebentar sambil sedikit mengkerutkan keningnya, lalu dia
berbicara. "Immigrasiong?"

"No, no, Sir." Gue menggeleng sambil memberi gerakan tangan. "The immigration check post,
not immigrasiong."

"Yes, the immigrasiong check post right?"

Oh fuck.

Gue malah bertemu dan bertanya kepada seorang Frenchmen berusia lanjut dengan aksen '-
ong'-nya yang terdengar sangat kentara sekali, dan ini pun menjadi sesuatu yang lebih buruk
daripada tidak bisa berbahasa Italia. Lalu setelah beberapa kali gue mencoba untuk
meyakinkannya bahwa itu adalah 'immigration' dan bukan 'immigrasiong', akhirnya gue pun
dapat menemukan immigration check post dan menyelesaikan seluruh proses administrasi di
sana dengan menggunakan bahasa Inggris yang dicampur dengan sedikit bahasa tubuh,
walaupun kadang-kadang gue sempat memaki-maki dengan bahasa Indonesia karena
keterbatasan petugas yang fasih berbahasa inggris.

Lalu dari sini, gue dapat mempelajari sesuatu. Traveling adalah dimana ketika bahasa Inggris
yang belepotan serta ditambah dengan campuran bahasa tubuh ternyata lebih dapat dimengerti
dan diterima oleh banyak orang dibandingkan dengan bahasa Itali, ataupun bahasa Perancis
sekalipun. Bahasa adalah sebuah alat pemersatu bagi semua orang walaupun kadang kita
sendiri tidak mengerti apa yang mereka ucapkan. Lalu maka dari itu, mereka
pun akan menggunakan bahasa tubuh mereka untuk berkomunikasi.

Mereka akan menguncupkan jarinya di depan mulut sebagai ucapan untuk kata 'makan', mereka
akan memberikan sebuah ekspresi melongo sambil menaikkan alis sebagai ucapan kalimat 'bisa
kau ulangi kembali?', lalu masih banyak lagi gerakan-gerakan tubuh lainnya yang sudah lazim
digunakan oleh semua orang untuk mengeluarkan ekspresinya serta memiliki tujuan tertentu,
seperti apa yang sedang gue dan Alexy lakukan saat ini.

Kami berdua sedang berkomunikasi melalui bahasa tubuh. Gue mencoba mengatakan sesuatu
yang tidak dapat gue ucapkan melalui kata-kata kepada Alexy melalui lingkaran tangan gue yang
sedang memeluk erat bahunya, dan juga gue mencoba untuk mengatakan 'I'm here for you,
Lex' kepadanya melalui gerakan itu.

Kadang-kadang, bahasa tubuh memang lebih dapat dimengerti dibandingkan dengan kata-kata
yang terucap melalui mulut, kan?

Suasana disini terasa tenang, damai, and most of all, gue merasa sedang berada di rumah. Gue
tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa bersama seseorang yang sangat kita sayangi
ternyata dapat memberikan sebuah rasa yang terasa dapat menenangkan hati seolah-olah tidak
ada masalah yang berarti di dunia ini. Tetapi jika memang harus ada sebuah masalah yang
berarti, sepertinya masalah itu tidak akan menjadi sebuah masalah selama gue dapat mengatasi
itu bersama-sama dengan Alexy.

"Lex..." Panggil gue seraya memecahkan keheningan. "Makasih ya..."

Alexy menggeliat, lalu ia menengadahkan kepalanya dan menatap gue. "Buat apa Bay?"

"Karena kamu udah ngebuat salah satu impian aku tercapai."

"Emangnya apa salah satu impian kamu itu?"


Gue pun menyeringai dengan lebar, sebelum pada akhirnya gue berbicara sambil cengengesan.
"Jadi pacar kamu."

Alexy pun tertawa setelah mendengarnya, dan dia juga semakin mendusel-dusel manja kepada
gue.

Ketika gue masih berkuliah dulu, gue hanya bisa berangan-angan saja untuk bisa berpacaran
dengan seorang cewek yang termasuk ke dalam golongan high class. Bagi gue, mereka semua
adalah sesuatu yang sangat berharga dan juga terasa sangat sulit sekali untuk gue raih karena
saingan-saingan yang berasal dari golongan 'anak gaul kampus' berduit tebal yang selalu
membuat gue minder di hadapan mereka semua.

Wanita-wanita itu telah memiliki segalanya. Mereka semua dapat dengan mudahnya memiliki
apa saja yang mereka inginkan, tetapi gue harus memeras keringat dan membanting tulang
sedemikian rupa hanya untuk mencari tambahan rupiah demi membayar biaya kuliah per-
semester tanpa bisa memikirkan apa yang sebenarnya gue inginkan.

Waktu pun berlalu. Sedikit demi sedikit gue mulai bisa membangun ekonomi keluarga hingga
mampu membiayai kuliah Anca, walaupun ia pernah mengundurkan diri dari kampus
sebelumnya demi mengejar cita-citanya untuk menjadi seorang fashion designer. Gue masih
saja terus bekerja dan sebisa mungkin menjadi andalan keluarga dalam segalanya dan gue
juga tetap mengesampingkan apa yang sebenarnya gue inginkan.

Tetapi setelah melewati itu semua, sepertinya Tuhan telah memberikan kepercayaan-Nya
kepada gue. Tuhan telah memberikan kesempatan bagi gue untuk berpacaran dengan seorang
wanita high class melalui Alexy. Pada saat bertemu dengan Alexy, entahlah, rasa minder itu
sama sekali menjadi tidak terasa dan malah muncul sebuah keinginan untuk mendapatkan
dirinya.
Dulu, memiliki pacar seorang cewek high class pada awalnya memang terasa mustahil bagi gue.
Tetapi sekarang, gue menjadi yakin bahwa tidak ada satupun hal di dunia ini yang mustahil
untuk terjadi, karena kini gue sedang memeluk sebuah 'kemustahilan' itu,

Dan gue juga sedang memeluknya dengan erat.

"Lex, sei tutto per me..."

-B-

A Mama With Her Son

Hal pertama yang gue ingat ketika terbangun adalah Alexy. Entahlah, otak gue tiba-tiba saja
langsung memikirkan dirinya. Mulai dari ekspresi bahagia yang terlukis pada wajahnya, obrolan
kecil yang kami berdua lakukan setelahnya, suara tawanya, hangat pelukan dirinya,
semuanya masih terekam dengan jelas dan dapat gue ingat seluruhnya ketika gue terbangun
pada pagi hari ini.

Ini semua masih terasa seperti sebuah mimpi bagi gue. Bangun di pagi hari dengan sebuah
status 'telah berpacaran dengan Alexy'? Who would've thought of that? Bahkan gue sendiri
pun sama sekali tidak berani untuk memikirkan hal itu sebelumnya. Gue terlalu takut untuk
memikirkan sesuatu yang belum tentu dapat gue raih dan gue juga hanya memiliki sebuah
keberanian sebesar biji sawi demi mengatakan perasaan gue kepadanya. Lalu setelah gue
mengutarakan seluruh perasaan itu dan diterima menjadi pacar Alexy, dunia gue
pun langsung terasa menjadi upside down.

Ini adalah sebuah kebahagiaan yang paling absolut yang pernah gue rasakan.

Ah, Lex, I could die smiling because of you...

Sambil dengan menyunggingkan sebuah senyuman pada bibir, gue langsung turun dari kasur
dan berjalan keluar kamar untuk menjalani sebuah hari baru yang terasa sangat indah sekali.

"Mah? Pada kemana? Kok sepi?" Tanya gue kepada ibu yang terlihat sedang menonton acara
khas akhir pekan di televisi.

"Oh, tadi pagi Anca sama Alexy jalan-jalan ke Dago." Ujarnya.

"Ngapain? CFD-an?"
"Iya."

"Loh kok Aa ga diajak? Tumben si Anca ga gedor-gedor pintu, biasanya dia minta dianterin beli
kupat di depan."

Ibu menoleh, lalu beliau tertawa. "Kata siapa kamu ga diajak? Lha kamunya juga susah
dibangunin. Tidurnya aja kayak orang mati gitu."

"Mamaaah, kebiasaan deh kalo Aa nggak bangun-bangun pasti ngomongnya gitu mulu..."

Ibu tertawa.

***

Masih dengan berkalungkan handuk dan dengan rambut yang agak sedikit basah, gue berjalan
keluar dari kamar mandi dan langsung menuju meja makan. Sesaat setelah gue membuka
tudung saji, seketika saja gue tertegun ketika melihat lauk yang tersaji di atas meja. Tidak
biasanya ibu memasak di hari Minggu karena gue maupun Anca terbilang sangat jarang sekali
sarapan di rumah, dan ibu pun belum pernah memasak masakan yang seperti ini.

Pasta? Itu sudah sangat diluar kebiasaan ibu dalam memasak.

"Maaah..." Panggil gue dengan sedikit berteriak. "Kok tumben masak pasta?"

Sesaat kemudian, Ibu terlihat muncul dari halaman depan sambil memegang gunting tanaman
yang penuh dengan tanah cokelat pada sisi-sisinya. Ibu kemudian berjalan ke arah halaman
belakang, lalu beliau berbicara. "Bukan Mamah kok yang masak, tapi Alexy yang masakin buat
kamu." Ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata dan tersenyum dengan jahil.

Setelah Ibu berjalan melewati gue, gue pun langsung mengembangkan sebuah senyuman kecil
sambil menatap pasta yang tersaji di atas meja. Masakan ini kembali membuat gue teringat akan
kehidupan gue di Italia dulu. Tidak jarang ketika ada waktu senggang di sela-sela jadwal
perkuliahan, gue dan teman-teman yang lainnya sering menyempatkan diri untuk berkunjung ke
Pastificio Defilippis walaupun gue harus rela berhemat demi bisa menikmati Rigatoni buatan
mereka.

Gue tidak tahu kenapa Alexy bisa mengetahui tentang masakan ini karena gue sama sekali
belum pernah bercerita apa-apa mengenai Italia dan segala kehidupan gue di sana, dan
sekarang gue hanya bisa berasumsi bahwa Ibu telah memberitahukan semua hal itu kepadanya.
Lalu tanpa berbasa-basi lagi, gue pun langsung menarik kursi dan menyantap pasta buatan
Alexy.

"A'..."

Gue menoleh. "Kenapa Mah?"

Ibu kemudian berjalan ke arah meja makan, lalu beliau duduk di seberang gue. "Enak ya
masakan buatan Alexy sampe bisa ngebuat kamu senyam-senyum sendiri kayak gitu?"

Gue tertawa. "Enak banget loh Mah! Mamah mau nyoba?"


"Ah ga usah, itu buat kamu aja. Tadi Mamah sama Anca juga udah dibikinin kok sama dia..."

"Oh..." Gue mengangguk kecil.

"Gimana kerjaan kamu di Jakarta? Lancar?"

"Yah..." Gue menyenderkan punggung pada kursi, lalu memainkan bibir sebentar. "Bisa dibilang
lancar walaupun tiap hari kerjaannya makin numpuk. Efek akhir taun kali ya?"

"Tapi masih bisa ke-handle semua kan?"

"Aman kok..."

"Ya syukur kalo gitu mah..."

"Oh iya, Mah, gimana Alexy kalo menurut Mamah?" Tanya gue dengan antusias sambil
menyimpan garpu di atas piring.

"Alexy ya..." Ibu mengalihkan pandangannya. "Dia orangnya sopan, murah senyum, cantik, bisa
masak lagi."

Gue terkekeh. "Jadi...?"

"Jadi apanya?"

"Mamah ngasih restu ga kalo Aa terus berhubungan sama dia?"

Tawa ibu perlahan-lahan mereda, lalu kemudian tawa itu digantikan oleh sebuah senyuman
simpul yang terlihat pada bibirnya. "Mamah ga pernah ngelarang-larang kamu buat berhubungan
sama siapapun, termasuk berhubungan sama Alexy."

"..."

"Kalo misalkan Aa bener-bener yakin sama Alexy, segera menghadap orang tuanya. Minta izin
sama mereka berdua untuk meminang Alexy dan menjadikannya sebagai tanggung jawab Aa.
Lagian, Aa juga memperkenalkan Alexy sama Mamah pasti ada tujuan untuk hal itu kan?"

Gue mengangguk kecil. "Iya..." Andai saja Ibu tahu jika gue baru saja berpacaran dengan Alexy
tadi malam. Apa Ibu masih akan berkata hal yang sama dengan apa yang baru saja diucapkan
olehnya?

"Alhamdulillah kalo misalkan kamu punya istri secantik dia. Alexy itu orangnya cantik. Dia adalah
seorang wanita yang pandai bersolek. Dia adalah seorang wanita yang pandai berdandan untuk
dirinya sendiri dan juga untuk suaminya kelak. Tapi kamu juga pasti tau kan kalo itu semua
butuh perawatan yang enggak membutuhkan biaya yang sedikit?"

Gue menghela nafas, lalu kembali mengangguk pelan. "Iya..."

"Mamah sama sekali ga pernah meragukan kemampuan finansial Aa. Buktinya, Aa sendiri masih
bisa ngirimin Mamah uang bulanan sama uang kuliah Anca. Iya kan?"

"..." Gue kembali mengangguk.

"Yang Mamah takutkan, Aa ga bisa ngimbangin gaya hidup Alexy. Aa dari dulu udah terbiasa
hidup hemat. Aa dari dulu udah terbiasa nabung buat kehidupan di masa depan Aa nanti, dan
Mamah ga mau kalo misalkan Aa jadi boros hanya demi menyetarakan diri dengan gaya
hidupnya."

Gue hanya bisa terdiam dan melihat ke arah piring yang telah kosong sambil mencoba
mencerna setiap perkataan yang telah diucapkan oleh beliau. Ibu memang ada benarnya juga.
Selama ini, gue selalu membatasi pengeluaran finansial dan menyimpannya untuk hal-hal yang
lebih penting dibandingkan untuk mengikuti gaya hidup kota Jakarta yang semakin lama semakin
glamor. Lalu mengenai Alexy dan gaya hidupnya, apa gue juga harus memikirkan ulang tentang
hubungan kami berdua?

Mungkin karena ibu telah menyadari sebuah keraguan yang muncul di dalam diri gue, beliau
kemudian menggerakkan tangannya untuk menggenggam sebelah tangan gue sambil berbicara
dengan nada yang terdengar hangat sekali. "Aa jangan pernah menganggap kalo Mamah
ngelarang Aa untuk berhubungan dengan Alexy lewat ucapan Mamah tadi. Mamah cuman mau
mengingatkan kalo Aa jangan sampe kehilangan jati diri Aa sendiri demi seseorang yang belum
tentu jadi milik Aa seutuhnya, ya?"

"Iya..."

Beliau tersenyum. "Oh iya, Mamah juga udah pengen gendong cucu lho biar bisa punya mainan
di rumah."

Gue tergelak. "Berarti Mamah juga udah siap dong dipanggil 'Nenek'?"

Ibu tertawa.

Pale Moonlight

Sesaat setelah gue mengambil kartu tol, handphone gue yang tersimpan pada sela-sela
perseneling bergetar dan layarnya terlihat menyala. Gue melirik ke arah Alexy yang sedang
ngemil es krim, dan ternyata dia juga sedang menoleh ke arah gue sambil mengatupkan bibirnya
yang terlihat agak sedikit belepotan.

"Siapa itu Bay?"

Gue menaikkan bahu. "Ga tau, coba dong kamu liatin..."

Alexy kemudian mengelap tangan dan bibirnya dengan menggunakan tissue, lalu ia mengambil
handphone gue dan melihatnya. "Eh, dari Anca nih..."

"Oh, yaudah gih angkat aja sama kamu."


"Oke..." Ujarnya. "Halo... Iya ini aku... Oh, Aa-nya lagi nyetir. Ada apa Ca? Mau ngomong sama
Aa?"

Gue menoleh. "Kenapa Lex?"

Alexy tiba-tiba saja langsung memasang sebuah ekspresi kaget sambil menunjuk ke arah
belakang dengan menggunakan telunjuknya, lalu kemudian ia berbisik pelan sambil menutup
receiver pada handphone. "Batagor ketinggalan di freezer!"

"Astagfirullah, lupa tuh kan batagornya ga kebawa..." Gue menggeleng pelan sambil menepuk
jidat. Mampus. Batagor itu adalah batagor mentah milik gue, Alexy, dan juga sebagai buah
tangan untuk Sita yang ternyata tidak terbawa oleh kami berdua. "Yaudahlah Lex biarin aja, ga
mungkin juga kan kalo misalkan kita balik lagi ke rumah."

Alexy mengangguk, lalu ia kembali berbicara pada telepon. "Biarin aja deh Ca, mau balik lagi ke
Bandung juga tanggung. Nanti takut kemaleman nyampe di Jakartanya..."

"..."

"Oke, makasih ya Ca. Waalaikumsalam..." Alexy kemudian mengakhiri pembicaraan itu dan dia
langsung menoleh kepada gue. "Yah gimana dooong? Lumayan tuh Kingsley."

"Ya mau gimana lagi? Kalo dipaketin ke Jakarta juga kan ga akan mungkin." Ujar gue. "Nanti
sekalian mampir dulu ya di jalan buat beliin makanan buat Sita. Ga enak sama dia, udah
ngomong mau bawa oleh-oleh tapi malah ketinggalan di rumah..."

"Oke deh sayangku."

"Eh?" Gue tertegun dan menoleh kepada Alexy, lalu kami berdua langsung tertawa.

***

Gue dan Alexy mengobrol sebentar untuk membicarakan tentang apa yang telah terjadi kepada
kami berdua. Dalam dua hari terakhir, ternyata sang waktu dapat merubah segalanya. Kemarin
pagi, gue dan Alexy bertemu di depan gerbang kost ini dengan status sebagai seorang teman.
Lalu ketika kami berdua telah kembali berada di tempat yang sama pada malam hari ini, kami
pun telah resmi menyandang status sebagai sepasang kekasih.

Alexy langsung tertawa-tawa ketika ia menyadari hal itu sementara gue hanya bisa tersenyum
bahagia sambil menikmati apa yang sedang gue lihat sekarang. "Lex..." Panggil gue kemudian.

"Ya?"

Gue tersenyum, lalu gue mendekatkan kepala dan mengecup sebelah pipinya dengan
lembut. "Thank you..."

Alexy menjadi tersipu setelah gue melakukan hal itu. Alexy memalingkan pandangannya, lalu
kemudian ia mengangguk pelan sambil menyunggingkan sebuah senyuman kecil yang terlihat
pada bibirnya. "Hati-hati di jalan, jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya ya Lex..."

Sesaat kemudian, gue telah berjalan pada lorong sambil menenteng tas serta beberapa barang
bawaan lainnya dan tentu saja gue juga membawa beberapa makanan sebagai pengganti oleh-
oleh untuk Sita. Dari kejauhan, gue dapat melihat kamar Sita yang agak sedikit terbuka. Lalu
tanpa menghiraukannya gue pun berjalan dengan santai menuju kamar gue sendiri.

"Kok malem banget sih baliknya?"


Gue menoleh ke samping, lalu gue mengambil kunci dari dalam saku celana dan
memasukkannya ke dalam lubang kunci. "Macet." Jawab gue sekenanya.

"Terus oleh-oleh gue mana?"

"Tuh di bawah, gue cuman bawa croissant aja sama minuman dari Starbucks."

"Loh? Katanya elo mau bawain batagor buat gue?"

"Ketinggalan di rumah..." Ujar gue seraya membuka pintu kamar.

Belum sempat gue memasukan seluruh barang bawaan ke dalam kamar, tiba-tiba saja Sita
langsung masuk dan dia juga langsung menguasai tempat tidur gue sambil memakan croissant
pada tangannya. "Ah parah lo Sit bukannya bantuin gue beres-beres malah tidur-tiduran di situ!"

"Bodo, suru siapa nggak bawain gue oleh-oleh."

"Lha itu Starbucks?"

"Kalo lo belinya di Bandung, itu baru namanya oleh-oleh. Tapi ini belinya di Jakarta kan? Nah
berarti ini bukan oleh-oleh namanya."

"Ck, terserah." Gue menggeleng sambil mengibaskan tangan di udara, lalu kemudian gue
berjongkok untuk mengeluarkan seluruh pakaian dari dalam tas dan menyusunnya di dalam
lemari.

"Bey..."

"Paan?"

"Coba lo tebak!"

"Lo hamil?"

"MONYET! GINI-GINI JUGA GUE NGERTI HOW TO PLAY SAFE YA!"

Gue menoleh, lalu tertawa. "Ya terus gue harus nebak apaan lagi Sit?"

"Gue udah putus dong sama mantan cowok gue!" Ujarnya dengan sumringah.

"Loh?" Gue menutup lemari. "Kok bisa? Kapan?"

"Kemaren sore."

"Terus-terus? Gimana?"

"Jadi kemaren sore dia kesini. Biasa lah buat minta maaf gini gitu. Tapi ya secara, gue udah ga
percaya lagi sama dia. Pas abis dia selesai minta maaf, gue langsung putusin dia deh. That's it.
Case closed."

"Lo gila ya?!" Gue menoyor kening Sita. "Itu cowok kan dateng baik-baik mau minta maaf, tapi
malah digituin sama elo. Sarap!"

"Ya abis mau gimana lagi? Orangnya aja bisa sampe selingkuh kayak gitu, kan jadi males gue."
Ujarnya. "Terus lo sendiri gimana tuh di Bandung sama Alexy? Rame ga?"
Gue menaikkan alis, lalu gue tersenyum dengan jahil. "Guess what?"

"What?"

"Tebak dulu lah!"

"Apaan ga? Jangan buat gue penasaran deh!"

"Iya deh iya. Tapi karena lo baru putus, jadi lo jangan sirik ya?"

"Emang kenapa?"

Gue tersenyum. "Gue sama Alexy udah pacaran."

Tiba-tiba saja Sita langsung terbelalak kaget setelah gue berkata seperti itu. Ekspresi wajahnya
menunjukkan sebuah ketidakpercayaan yang kentara sekali dengan apa yang baru saja gue
katakan, dan sebelah tangannya pun secara reflek menutup mulutnya yang agak sedikit terbuka.
Lalu setelah beberapa saat, perlahan-lahan Sita mulai melepaskan tangan dari mulutnya, lalu ia
tersenyum dengan sebuah senyuman yang terlihat agak sedikitdipaksakan olehnya.

"Selamat ya Bey, akhirnya elo punya pacar juga." Ujarnya. "Emmm, Bey? Gue balik dulu ke
kamer ya?"

"Lah tumben?"

"Iya, gue mulai ngantuk nih. Udah dulu ya, daaah!"

Sita langsung berjalan dengan cepat menuju pintu kamar sambil menutup mulut dengan kedua
tangannya, dan samar-samar gue juga dapat mendengar sebuah suara isakan tertahan yang
berasal tepat darinya.
Yiruma - The Scenery Begin

Celebration of Memories

Gue menatap lurus ke arah kolam renang yang terlihat kuning berkilauan dari atas balkoni kamar
sambil memegang secangkir kopi hitam hangat favorit gue. Saat ini, gue sedang berada pada
salah satu hotel di daerah Nusa Dua untuk menghadiri sebuah acara seminar yang dihadiri oleh
kepala-kepala serta beberapa staf bagian dari kantor regional nasional dan internasional.

Angin malam berhembus dengan perlahan yang langsung menyentuh permukaan wajah serta
menyisir rambut gue dengan lembut. Gue kemudian memejamkan kedua mata dengan perlahan
sambil menghirup udara dalam-dalam dan mencoba untuk lebih menikmati ini semua, lalu gue
pun menyeruput kopi yang sedang gue pegang dengan sebuah perasaan yang damai.

Lamunan gue seketika saja terbuyar ketika iPhone yang tersimpan di atas meja kayu di belakang
gue bergetar beberapa kali. Gue kemudian membalikkan badan, menyimpan cangkir di atas
meja, dan gue pun mengecek notifikasi itu.

"Can't wait for you to come home. I miss you so bad..."

Lalu tanpa terasa, bibir gue pun menyunggingkan sebuah senyuman kecil setelah membaca
pesan singkat yang baru saja dikirimkan olehnya.

Sungguh sangat disayangkan sekali karena gue tidak bisa mengajaknya ke sini karena ini
adalah sebuah acara resmi yang diadakan oleh pihak kantor. Pada awalnya, dia merengek-
rengek untuk meminta ikut dan tinggal di hotel yang sama dengan gue, tetapi gue melarangnya
karena tidak ada satupun dari rekan-rekan kerja lainnya yang membawa pasangan mereka ke
sini. Dia pun pada akhirnya mengangguk setuju walaupun wajahnya terus memasang sebuah
ekspresi cemberut menggemaskan yang selalu membuat gue rindu kepadanya.

Beberapa saat kemudian, secara reflek gue mendongak dan langsung menoleh ke arah pintu
kamar ketika gue mendengar sesuatu. Ternyata itu adalah Setyo. Dia baru saja kembali ke sini
setelah menghadiri acara makan malam bersama para anggota regional lainnya.

"Gimana, Yo?" Ujar gue. "Udah dapet kontak dari si mbak-mbak regional Surabaya itu?"

Setyo kemudian melepas sandal yang ia gunakan, lalu ia langsung merebahkan badannya di
atas kasur dan membenamkan kepalanya pada bantal. "Argh shit! I got nothing tonight..."

Gue tertawa. "Yang sabar aja ya, Yo. Kata temen gue sih, there's plenty of fish in the sea."

Lalu Setyo hanya menggumam.

Setyo adalah seorang bawahan yang sudah akrab dengan gue. Dia adalah seseorang yang
dapat gue percaya karena kinerjanya yang selalu minim koreksi serta dapat gue andalkan ketika
ada masalah-masalah yang terjadi. Karirnya pun semakin lama semakin menanjak dengan
mulus, walaupun itu semua harus berbanding terbalik dengan kisah asmaranya
yang hampir selalu gagal, seperti saat ini.
Love is a complicated thing, isn't it?

"Mas, ngomong-ngomong, besok jadi pergi ke Bulelengnya?" Tanya Setyo, ketika gue telah
duduk pada sofa di dalam kamar.

"Ya jadi lah!" Ujar gue dengan semangat. "Besok momennya pas banget sama acara Galungan."

Setyo kemudian bangun dari tidur, lalu ia duduk di ujung kasur. "Kenapa ga nyari yang deket aja
Mas? Kan banyak juga tuh pura di daerah sini. Kenapa harus ke Jagatnatha Buleleng?"

Gue terdiam sebentar dan kembali menyeruput kopi yang sedang gue pegang, lalu kemudian
gue tersenyum kepadanya seraya berkata: "It's a memorable place, and I got some great
memories there back then..."

***

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali.

Gue sudah berada di atas jalanan Bali yang lengang untuk menempuh sebuah perlajanan
panjang menuju Buleleng sambil membawa beberapa peralatan kamera untuk mengabadikan
sederetan momen yang akan terjadi di sana nanti. Jadwal seminar tahunan yang
diselenggarakan oleh pihak kantor sangatlah pas sekali karena bertepatan dengan Hari Raya
Galungan umat Hindu di tahun ini. Gue pun tidak akan melewati momen berharga ini, karena
gue akan kembali mengenang tentang apa yang pernah terjadi ketika gue sedang bersama
dirinya di Buleleng dulu.

Gue kemudian keluar dari dalam mobil sambil menyelendangkan sebuah camera sling bag dan
melihat ke sekeliling. Di sini, terlihat banyak sekali penjor-penjor tinggi menjulang yang
terpasang di setiap sudut jalan beserta berbagai macam hiasan khas lainnya. Lalu tidak lupa
juga, gue melihat sekawanan orang-orang yang mengenakan pakaian adat Bali berwarna putih
cerah yang dipadukan dengan kain samping berwarna cokelat tua serta sebuah selendang yang
terpasang pada pinggulnya, dan mereka juga berjalan secara beriringan menuju pura Jagatnatha
di depan sana sambil membawa sebuah sesajen atau yang biasa disebut dengan 'punjung' pada
kedua tangan mereka.

Atmosfer budaya Bali yang sangat kental ini seketika saja membuat pikiran gue mengawang-
awang ke masa lalu, tepat di tempat dan saat yang sama seperti sekarang. Saat mengenang
hal-hal yang indah itu, gue pun hanya bisa tersenyum kecil sambil mencoba untuk menyerap
sisa-sisa kenangan manis yang terdapat di tempat ini.

"Bli, saya boleh masuk ke dalem?" Gue bertanya kepada seseorang yang kebetulan sedang
berada di pintu masuk pura.

"Oh boleh mas, silakan." Ujarnya sambil tersenyum dengan hangat.

Di dalam pura Jagatnatha ini ternyata sudah hampir terisi penuh oleh masyarakat-masyarakat
Hindu Bali yang sedang melaksanakan ibadahnya. Mereka semua terlihat sangat khusyuk sekali
ketika sedang beribadah. Mereka semua duduk dengan menggunakan kedua lututnya, lalu
kedua tangan mereka juga sedikit terangkat di atas kening sambil mengapit sebuah kelopak
bunga Kamboja di antara kedua telapak tangannya dan mereka pun terlihat khidmat dalam
memanjatkan doa-doanya.

Ketika gue akan mengangkat kamera untuk mengabadikan momen-momen sakral itu, perhatian
gue seketika langsung teralih pada saat gue melihat ada beberapa anak yang juga sedang turut
ikut dalam prosesi ibadah ini. Sama seperti orang dewasa yang lainnya, mereka pun beribadah
dengan sangat khusyuk sekali dan aura kedamaian yang terpancar dari dalam diri mereka juga
dapat gue rasakan dengan jelas.

Gue mengamati mereka untuk sejenak dan mencoba untuk larut ke dalam upacara adat ini, lalu
sambil dengan menyunggingkan sebuah senyuman bahagia, gue kemudian mengangkat kamera
dan mengambil beberapa gambar dari ekspresi damai yang diperlihatkan oleh anak-anak kecil
itu.

"Om Shanti, Shanti, Shanti..."

Buleleng, October 23rd, 2013.

Much Love,
-B-

I Believe In Us
Gue harus bagaimana?

Sita tiba-tiba saja menjadi seperti ini, sementara gue tidak tahu harus berbuat apa untuk
menyikapinya. Otak gue seketika menjadi buntu dalam memikirkan sesuatu dan pada akhirnya
gue pun hanya bisa terdiam sambil tetap melihat ke arah daun pintu yang sedang dalam
keadaan setengah terbuka. Lalu setelah beberapa saat gue mematung sambil berpikir mengenai
apa yang harus gue lakukan selanjutnya, gue kemudian memutuskan untuk menghampiri kamar
Sita dan menemuinya secara langsung.

Namun ketika gue telah sampai di depan pintu kamarnya, gue langsung mengurungkan niatan
itu karena gue melihat bahwa lampu di dalam kamarnya tidak menyala. Gue pun hanya bisa
menghela nafas panjang sebelum pada akhirnya gue berjalan dengan gontai menuju kamar,
menutup, dan mengunci pintunya rapat-rapat, sambil memikirkan sesuatu:

Sita kenapa?

***

Hari-hari berikutnya gue lalui dengan keberadaan seorang Alexy di sisi gue. Gue mulai bisa
menyesuaikan diri dengan kehadiran Alexy dan dengan segala bentuk kebiasaan-kebiasaan
kecilnya. Mulai dari gue yang sering ditinggal tidur terlebih dahulu pada saat malam hari, hingga
gue yang selalu dibangunkan lebih awal olehnya ketika waktu shalat Subuh menjelang. Alarm
yang dulu selalu gue setting tepat pukul lima pagi pun kini hampir tidak pernah gue aktifkan lagi
semenjak ada Alexy yang selalu membuat ingin cepat-cepat mendengar suaranya.

Pernah pada suatu ketika Alexy membangunkan gue di pagi hari untuk mengingatkan gue
tentang shalat Subuh, dan gue mendengar sebuah perbedaan pada suaranya. Suara yang
berasal dari ujung sana terdengar serak dan masih terasa seperti orang yang baru saja bangun
tidur, tetapi suara serak itu pun selalu terngiang-ngiang di dalam pikiran dan dapat dengan
suksesnya membuat gue senyam-senyum sendiri dalam menjalani sisa-sisa hari yang
melelahkan di kantor.

Lex, would you please stop making me smile like an idiot?

"Cie yang sekarang udah punya pacar..." Ujarnya. "Cie yang dulu malu-malu tapi mau, cie yang
sekarang lagi senyam-senyum ga jelas, cie yang sekarang udah beger..."

Gue tersenyum dengan malu, sebelum pada akhirnya gue tertawa pelan. "Apasih ah..."

Muthia tertawa. "Enak kan pacaran itu Bay?"

"Ya... Gimana ya? Not bad as it seems lah."

"Kenapa sih kamu ga pernah pacaran dari dulu? Padahal, waktu kita masih di Padang, aku bisa
langsung tau lho sifat kamu sama cewek itu kayak gimana..."

Gue kemudian memundurkan punggung dengan perlahan dan menyandarkannya pada kursi,
lalu gue menyangga belakang kepala dengan menggunakan kedua telapak tangan sambil
menarik nafas dalam-dalam. "Yah, anggap aja aku emang belum mau pacaran..."

"Kok bisa gitu sih?"

"Au..." Gue menggeleng.

Gue memang bukan seseorang yang mudah untuk bercerita mengenai banyak hal kepada
siapapun. Gue lebih senang memendamnya sendiri dibandingkan dengan bercerita kepada
orang lain yang belum tentu mengerti tentang keadaan gue.
Orang-orang yang pernah gue ceritakan mengenai masa lalu gue juga tidak lebih dari hitungan
jari tangan sebelah kanan dan bahkan Alexy sendiri pun belum pernah gue ceritakan secara
penuh. Terlalu dini bagi gue untuk bercerita kepada seorang Alexy walaupun kini ia telah
berstatus sebagai pacar gue karena semuanya memiliki masanya tersendiri, dan saat ini
bukanlah masa yang tepat bagi Alexy untuk mendengarkan seluruh kisah masa lalu itu.

"Lexy mana yah? Macet gitu di jalan?" Tanya Muthia.

"Bentar, aku coba telfon dia." Ujar gue. Lalu pada saat gue akan menelponnya, secara naluriah
gue menolehkan kepala ke arah pintu masuk dari restoran ini, dan gue pun tersenyum saat
melihat Alexy telah berada di ambang pintu masuk.

Hari ini, seperti biasa, Alexy selalu terlihat cantik dengan balutan busana kantornya. Rambut
kecokelatannya itu tergerai rapi di belakang punggungnya dan juga menyisakan sedikit helai-
helai rambut pada kedua sisi wajahnya. Lalu pada saat gue mengamatinya lebih lanjut lagi,
Alexy ternyata tidak menggunakan blazer hitam seperti apa yang selalu gue lihat, tetapi kini dia
sedang mengenakan sebuah blazer putih berenda yang dipadukan dengan celana bahan
panjang berwarna hitam dan itu pun terlihat sangat serasi sekali dengan tinggi badannya yang
semampai.

Tidak jarang dari para pengunjung lelaki di restoran ini yang terus memperhatikan gerak jalan
Alexy selama ia berjalan mendekat hingga dia duduk di samping gue, lalu seketika saja mereka
langsung mengalihkan pandangannya dari Alexy setelah mereka menyadari bahwa gue sedang
membalas tatapan mereka. Gue sangat senang sekali ketika merasakan sensasi 'kemenangan'
ini dan gue juga sebenarnya ingin tertawa geli ketika melihat mereka semua menjadi kikuk ketika
gue sedang menatap mereka.

"Hei, udah lama nunggunya?" Sapa Alexy.

"Belum kok, barusan dateng sama anak ini." Gue menunjuk ke arah Muthia dengan
menggunakan dagu, lalu Alexy pun langsung tertawa kecil.

"Hehehe sori Mut, gue lupa kalo ada elo juga di sini"

"Bagus ya pas udah punya pacar mah langsung lupa sama temen sendiri." Ujar Muthia dengan
nada yang terdengar menyindir. "Gimana Lex rasanya udah punya pacar lagi setelah menjomblo
dari semester enam?"

"HAH?!" Seketika saja gue langsung melongo, lalu kemudian gue menoleh kepada Alexy. "Itu
beneran Lex?"

Alexy tertawa. "Iya, bener kok."

"Tuh, Bay, dengerin! Kamu itu beruntung banget loh bisa jadi pacarnya Lexy! Dari dulu banyak
banget cowok yang nembak dia! Mulai dari mantan-mantannya yang ngajak balikan, temen
SMA-nya, temen kuliahnya, temen kantornya..." Muthia memberi sedikit penekanan pada saat ia
mengatakan kalimat itu. "...tapi semuanya ditolak terus! Bahkan sampe ada cowok yang berkali-
kali nembak tapi masih ditolak juga sama Lexy!"

"Udah deh Mut jangan buka-buka kartu gue di depan cowok gue! Malu tau ga!"

"Iya deh Lex, iyaaa..." Muthia tertawa, lalu kemudian ia menoleh kepada gue dengan tatapan
yang terlihat berapi-api. "Satu-satunya cowok yang nembak Alexy dan bisa diterima secara
langsung itu ya cuma kamu Bay!" Ujarnya. "You must have something special inside of you."

Gue mengkerutkan kening sambil sedikit menahan tawa. "Terus, 'something special'-nya gue itu
apa Mut?"

"Ya tanya dooong sama pacarmu sendiri!"

Lalu ketika gue menoleh kepada Alexy, gue melihat bahwa dia sedang menatap gue sambil
melemparkan sebuah senyuman termanisnya, lalu perlahan-lahan ia pun mulai menggerakkan
bibirnya untuk mengatakan sesuatu yang terdengar sangat indah sekali.

"Karena, Bay, aku yakin kalo 'itu' adalah kamu..."

Minipop - Ask Me A Question

Raining Sunshine

"TAIK!" Gue langsung menggebrak meja kerja sekeras-kerasnya ketika seluruh jaringan listrik di dalam
ruangan ini tiba-tiba menjadi padam dan mau tidak mau pekerjaan gue pun harus tertunda lagi untuk
waktu yang entah berapa lama.

Suasana di dalam ruangan kerja gue seketika saja menjadi riuh rendah dan dalam sekejap lampu-lampu
sorot yang berasal dari handphone milik rekan-rekan gue pun mulai terlihat menghiasi kegelapan yang
menggelayut di udara. Power outage pada gedung perkantoran ini memang sangat jarang sekali terjadi
tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu kecuali ada hal-hal tertentu yang sekiranya harus
memadamkan listrik, namun sayangnya, kenapa hal itu harus terjadi ketika gue sedang dalam masa 'gila'
menuju deadline yang berada tepat di depan mata?
Oh fuck it!

"Kompi elu pake autosave ga Bay?" Tanya Gina.

"Ck, tau lah!" Gue mengibaskan tangan di udara, lalu kemudian bangkit dari kursi.

"Eh, elu mau kemana?"

"Ngerokok."

"Di mana? Wc? Exhaust fan-nya juga mati kali."

Gue menggeleng. "Nggak, di tangga darurat aja sama anak-anak yang lain."

"Yaudah, tiati lu. Lagi ujan gede sama mati lampu gini..."

"Iye kalem aja..." Ujar gue, lalu kemudian gue berlalu dari meja kerja.

Sambil berjalan menuju spot langganan gue dan anak-anak kantor lainnya untuk merokok, gue mengambil
Blackberry dari dalam saku celana untuk menelpon Alexy dan memastikan bahwa keadaannya baik-baik
saja. Satu kali mencoba, dua kali mencoba, Alexy ternyata masih belum juga mengangkat teleponnya yang
membuat perasaan gue menjadi was-was. Lalu setelah gue mencoba untuk yang ketiga kalinya, tanpa perlu
mendengar nada panggilan lagi, Alexy pun langsung mengangkat panggilan telepon itu.

"Halo? Lex? Kamu di mana? Masih di kantor? Kamu ga kenapa-napa kan?"

"Hahaha Bay, kamu lucu deh."

"Loh kok aku lucu? Lucu kenapa?"

"Iya Hunny, kamu lucu banget tau ga? Baru aja telefonnya diangkat sama aku, kamu tiba-tiba aja
langsung nyerocos kayak gitu."

"Eh, iya juga ya?" Gue tertawa kecil. "Aku cuman takut kamu kenapa-napa, Lex. Kamu masih di kantor
kan sekarang?"

"Iya sayang, aku masih di kantor. Aku juga ga kenapa-napa kok. Kamu sendiri gimana? Baik-baik aja
kan?"

"I'm totally fine, cuman tadi aja nendang meja sama nabrak orang beberapa kali." Gue terkekeh. "Di sini
gelap, lagi mati lampu sih."

"Mati lampu? Gardu listriknya kebanjiran?"

"Ga tau, aku belum tanya sana sini. Aku juga sekarang lagi bete banget, Lex. Coba kamu bayangin, kerjaan
aku yang deadlinenya bentar lagi malah ketunda cuman gara-gara mati lampu doang. Ga enak banget kan
rasanya?"

"Bay... Dari mati lampu ini, berarti tandanya Allah masih yakin kalo kamu bisa nyelesein kerjaan itu
sebelum deadline dateng. Allah cuman mau kasih kamu waktu buat istirahat sama kerjaan-kerjaan kamu.
Aku juga sebenernya ga tega ngeliat pacar aku tiap hari begadang demi ongoing projectnya. Kamu
sekarang istirahat aja dulu sebentar, ya?"

Gue memejamkan mata, lalu mengangguk sambil memijat pangkal hidung yang mulai terasa pegal. "Iya
deh Lex..." Ujar gue.

"Nah, gitu dooong! Tapi inget, no more smoking. Okay?"


"Hahaha..." Gue tertawa. "Baru aja tadi aku mau ngerokok, eh, udah dilarang sama kamu."

"Jangan pernah telfon-telfon aku tiap malem lagi ya kalo kamu berani ngerokok! Awas lo!"

"Iya deeeh aku nggak ngerokok. Mendingan aku sama sekali ga ngerokok daripada aku ga bisa denger
suara kamu tiap malem sebelum tidur."

Alexy tertawa. "Huuu gombaaal!"

Beberapa menit setelahnya, gue habiskan untuk bercakap-cakap dengan Alexy. Pada saat gue mendengar
suara Alexy dari ujung sana, entahlah, rasa marah yang sebelumnya menguasai diri gue, kini mulai tidak
terasa lagi. Suara teduh itu seketika saja dapat menghilangkan rasa kekesalan gue terhadap apa yang terjadi
saat ini, dan suara Alexy pun dapat menimbulkan sebuah efek senang dan bahagia setelah gue
mendengarnya.

Dulu, sebelum gue berpacaran dengan Alexy, gue selalu melampiaskan rasa marah itu kepada rokok. Gue
dapat menghabiskan berbatang-batang rokok dengan cepat demi mengurangi tingkat stress yang selalu gue
rasakan ketika ada hal-hal yang terjadi di luar ekpektasi gue, walaupun gue sadar betul bahwa perbuatan
itu sangatlah merusak sekali.

Tetapi setelah adanya seorang Alexy yang hadir di sisi gue, di dalam pikiran gue, dan juga di dalam
kehidupan gue, perlahan-lahan kebiasaan buruk itu pun mulai dapat gue atasi. Kehadiran Alexy di dalam
hidup gue sangatlah berarti sekali. Alexy datang dengan membawa segala kebaikan yang dimiliki olehnya
seperti sinar mentari pagi nan hangat yang selalu bisa menghangatkan setiap inci dari permukaan tanah di
bumi ini setelah melewati sebuah malam yang sangat panjang sekali.

Gue sangat bersyukur kepada Tuhan karena Beliau telah memberikan anugerah-Nya melalui Alexy, dan
gue juga berharap bahwa Alexy akan selalu berada di sisi gue, sampai kapanpun itu.

"Bay, sekarang aku ada jadwal meeting lagi nih sama Dion sama atasan aku yang lain. Ga apa-apa ya
aku tinggal dulu?"

"Oh oke deh, nanti telpon aku lagi ya kalo kamu udah selesai meetingnya."

"Oke, bye! Love you Bayu!"

Belum sempat gue membalas kalimat itu, ternyata Alexy sudah menutupnya terlebih dahulu dari ujung
sana. Yah, ini merupakan sebuah kebiasaan lain dari Alexy yang perlahan-lahan mulai bisa gue mengerti.
Lalu sambil dengan menatap ke arah layar handphone yang mulai meredup, gue tersenyum, lalu gue
menggumam dengan pelan.

'I love you too, Alexy, my dearest sunshine...'


"Lex, sei il sole della mia vita..."

-B-

Big Swing

Hujan yang semenjak tadi sore mengguyur ibu kota Jakarta ternyata hingga malam ini belum
juga reda yang langsung membuat gue terlena karena udaranya terasa sejuk dan dingin. Irama
hujan yang bertabrakan dengan genteng di atas kamar gue pun semakin membuat gue terbuai
untuk tetap berbaring pada tempat tidur sambil berselimut tebal. Namun baru saja beberapa saat
setelah gue memejamkan mata, gue terhenyak kaget dan langsung mencari-cari handphone
yang tiba-tiba saja berbunyi dengan nyaring.

"Ha..."

"Beeey... Lo dimana?"

Gue mendengar sebuah suara isak tangis yang samar-samar terdengar karena tertutupi oleh
suara hujan, lalu seketika saja gue terbelalak kaget dan langsung melihat nama yang tertera
pada layar handphone.

Sita?

"Halo? Sit? Lo kenapa?"


"Gu...gu...e...takuuut Beeey, jemput gue sekarang pleaseee..."

Buru-buru gue langsung menyibak selimut dan langsung menyambar jaket yang tersampir pada
hanger di belakang pintu sambil tetap berbicara kepada Sita. "Iya, iya, bentar. Sekarang gue ke
tempat lo. Lo dimana? Kasih tau alamat lo sekarang."

Sita kemudian menyebutkan lokasi dimana ia berada, dan ternyata lokasinya berjarak sekitar
dua puluh menit berkendara dari kostan ini. Gue pun langsung memintanya untuk bersabar dan
menunggu di tempat dimana ia berada sekarang karena gue akan segera menjemputnya saat ini
juga.

"Ri... Heri...!" Gue mengetuk pintu kamar Heri dengan keras.

Beberapa saat kemudian, gue mendengar suara kunci yang diputar dari dalam, lalu Heri
membukakan pintu kamarnya sambil memasang wajah ngantuk. "Eh, elo, ada apaan Bay?"

"Minjem motor dong, gue mau jemput Sita nih."

"Lah, emang kenapa lagi tuh anak satu?"

"Udah buruan mana kuncinya, gue takut kenapa-napa sama dia, udah mewek-mewek gitu pas
tadi dia nelepon gue."

"Oke, bentar-bentar..." Heri pun langsung membalikkan badan dan segera mengambil kunci
motornya yang tergeletak di atas meja, lalu kemudian dia memberikannya kepada gue. "Lo mau
gue temenin ga?"

Gue menggeleng. "Ga usah deh, gue aja sendiri. Thank you Ri!"

"Sip, tiati!"

***

Jarak pandang di depan sana terlihat sangat pendek sekali karena minimnya cahaya
penerangan dan juga ditambah dengan guyuran hujan yang turun sebegitu derasnya pun
membuat gue menjadi lebih hati-hati dalam berkendara. Gue hanya bisa memacu motor ini
dengan kecepatan rendah sambil sesekali mengelap kaca helm yang buram karena tetes-tetes
air hujan yang mengguyur bumi. Lalu sekitar setengah jam kemudian, samar-samar gue dapat
mengenali plat motor Sita yang terjungkal di sisi jalan beserta sebuah mini SUV yang terparkir di
depannya.

Perasaan gue pun menjadi tidak tenang dan emosi gue seketika saja menjadi naik setelah gue
yakin bahwa ituadalah motor milik Sita. Jantung gue berdegup dengan kencang, urat di sekitar
wajah gue ikut menegang, dan gue hampir tidak bisa berkonsentrasi dalam berkendara. Tanpa
pikir panjang, gue kemudian memarkirkan motor Heri secara asal-asalan di pinggir jalan dan
langsung berlari menuju sebuah warung kecil yang sudah dikerumuni oleh beberapa orang
warga.

"Sita...? Sita...? Mana Sita...?"

"Beeey..." Panggil sebuah suara, yang membuat gue menoleh dan terpaku pada saat
melihatnya.

Sita terlihat sedang duduk dan menyelonjorkan kedua kakinya di atas trotoar batu yang basah
sambil dipayungi oleh salah seorang warga. Celana jas hujan yang dikenakan oleh Sita juga
terlihat sudah sobek tak karuan serta jeans hitam yang dikenakan olehnya pun ikut menjadi
sobek dan memperlihatkan sebuah luka segar pada paha sebelah kirinya. Setelah gue terkejut
untuk sejenak, gue pun langsung menghampiri Sita untuk mengecek bahwa tidak ada lagi luka
terbuka pada tubuhnya.

"Gue takut Beeey..." Ujarnya lirih pada saat gue sedang memeriksanya.

"Siapa orang yang nabrak lo?"

Sita menggeleng, dan sebutir air mata tiba-tiba mengalir pada pipinya. "Ga usah Beeey..."

"SIAPA ORANG YANG NABRAK ELO?!"

Sita tertegun kaget pada saat gue berteriak seperti itu, lalu perlahan tangannya pun mulai
terangkat dan menunjuk kepada salah seorang pria yang sedang berdiri tidak jauh dari tempat
dimana gue berada. Gue kemudian bangkit berdiri untuk menghampiri orang itu, dan gue juga
langsung mencengkeram kerah baju sambil menatap kedua matanya lekat-lekat hingga gue bisa
merasakan hembusan nafasnya.

"ELO NABRAK TEMEN GUE HAH?!"

"I...iya mas, maaf tadi saya ga sengaja..."

"GA SENGAJA KATA LO?" Lalu tanpa ba-bi-bu, gue pun melayangkan sebuah bogem mentah
ke arah wajahnya hingga dia tersungkur jatuh di atas aspal. "LO MAU TANGGUNG JAWAB
GAK WOI ANJING?!"

"Udah Bayuuu jangaaan...!"

Belum sempat gue kembali melayangkan bogem lain ke arahnya, badan gue langsung ditarik
dan ditahan oleh beberapa orang warga. Kedua tangan gue, kedua pundak gue, semuanya
dipegang erat-erat agar gue tidak bisa bergerak lagi. "LEPASIN GUE LO SEMUA!" Gue
berteriak.

"Udah mas, diselesaikan secara kekeluargaan aja." Ujar salah seorang warga.

"Pleaseee, Bey, jangaaan..."

Gue merasa ada seseorang yang melingkarkan tangannya pada tubuh gue, dan dia juga
langsung memeluknya dengan erat. Gue pun langsung tertegun dan secara reflek menolehkan
kepala ke belakang. Gue melihat Sita sedang memeluk tubuh gue sambil mengernyitkan
wajahnya seolah-olah sedang menahan rasa sakit yang diderita olehnya.

Gue tidak kuasa ketika melihat hal ini. Walaupun dalam beberapa hari ke belakang Sita agak
menjadi dingin kepada gue, tetapi tetap saja, gue tidak tahan jika melihat Sita menderita seperti
saat ini.

"Gini aja deh mas, si mbaknya langsung dibawa ke rumah sakit aja sama orang yang nabrak itu.
Tadi si mbaknya ga mau dibawa ke rumah sakit sebelum mas dateng ke sini soalnya. Jadi
gimana keputusan mas sendiri? Mau dibawa ke rumah sakit atau mau dibawa pulang?"

Gue memejamkan mata rapat-rapat sambil menarik nafas panjang, lalu gue mengangguk pelan
ke arahnya. "Iya deh pak, dibawa ke rumah sakit aja. Saya minta tolong ya..."

Beberapa warga kemudian membantu orang yang menabrak Sita untuk berdiri sementara gue
tetap menatapnya dengan penuh emosi. Lalu sesaat setelah Sita masuk ke dalam mobil
bersama seorang warga lainnya, gue mendekati orang yang menabrak Sita, dan gue pun
kembali menarik kerah bajunya seraya berkata:
"Kalo temen gue kenapa-napa, kelar idup lo."

Avenged Sevenfold - Critical Acclaim

Back in the Day

Menurut gue, terdapat dua buah jenis manusia di muka bumi ini, yaitu manusia
yang harus memikirkan sesuatu secara matang-matang dan manusia yang langsung melakukan
sesuatu tanpa harus memikirkan tentang apa yang akan ia lakukan selanjutnya seperti gue
barusan. Gue sama sekali tidak memikirkan apakah orang yang telah gue hajar itu akan melapor
ke polisi dan mengambil beberapa orang warga sekitar sebagai saksi, atau mungkin dia akan
mengajak teman-temannya untuk menghabisi gue di hari kemudian?

Tetapi setelah gue diajak untuk berkomunikasi secara baik-baik dengannya di ruang tunggu
rumah sakit, gue menjadi yakin bahwa gue sama sekali tidak akan dilaporkan kepada polisi
ataupun diamuk oleh massa karena raut wajahnya menyiratkan sebuah ketakutan yang amat
sangat pada saat ia sedang berbicara kepada gue. Perkataannya terbata-bata, wajah dan
bibirnya juga terlihat pucat serta tangannya pun terasa bergemetar ketika ia menyalami gue.

"Bey..." Panggil Sita. "Makasih ya..."

Gue menoleh seraya mengangguk. "Sante aja kali mbak, kayak yang ke siapa aja."

Sita kemudian terdiam sambil memainkan jari-jarinya yang terlihat keriput dan memutih karena
terlalu lama terkena air hujan dan gue juga melihat bahwa bibirnya sedikit terbuka, tetapi sedetik
kemudian bibirnya kembali tertutup dan dia pun menghela nafasnya dengan panjang. Sita
terlihat ingin sekali berbicara, namun tiba-tiba perkataannya tertahan seolah-olah dihalangi oleh
sesuatu. Ada sebuah rasa penasaran yang timbul akibat dari hal itu, tetapi gue tetap
menahannya karena Sita sendiri masih belum mau untuk berkata apapun kepada gue.

"Atas nama Sita..."

Gue mendongak, lalu menoleh ke samping. "Sit, bentar ya, gue ambil dulu obat lo."

Sita mengangguk. "Iya..."

Sewatku masih duduk di bangku kuliah dulu, gue pernah mengikuti beberapa jenis organisasi
internal maupun eksternal kampus dan salah satu organisasi yang gue ikuti adalah Badan
Eksekutif Mahasiswa yang membuat gue berkenalan dengan seorang wanita berambut hitam
pendek sebahu bernama Rika. Kami berdua berada dalam satu departemen yang sama untuk
mengurus berbagai keperluan tentang litbang, dan kebetulan pada saat itu Rika telah memiliki
seorang pacar yang merupakan kakak tingkat di fakultasnya.

Menjelang masa-masa pemilihan Presiden Mahasiswa periode baru, gue, Rika dan rekan-rekan
gue yang lainnya menjadi lebih sering mengadakan rapat-rapat internal untuk membicarakan
tentang hal itu tetapi sebelumnya kami juga harus mengumpulkan orang-orang yang kami
butuhkan dalam rapat terlebih dahulu, dan ternyata itu semua tidak mudah. Banyak diantara
anggota-anggota BEM yang masih memiliki jadwal kuliah hingga sore hari sehingga mau tidak
mau rapat pun baru bisa dimulai sekitar pukul empat atau lima sore dan baru akan berakhir
ketika malam telah menjemput.

"Mau balik bareng gue Rik?" Tanya gue kepada Rika setelah rapat pada malam itu berakhir.

Rika tersenyum sambil membereskan berkas-berkasnya, lalu kemudian dia menggeleng pelan.
"Ga usah deh Bey, makasih ya buat tawarannya, tapi kayaknya gue balik sendiri aja deh."

"Kenapa? Emangnya nggak balik sama cowok lo?"

Rika kembali menggeleng. "Enggak, cowok gue kalo jam-jam segini mah lagi sama maen temen-
temen kostnya."

"Ooh..." Gue mengangguk paham, walaupun gue sebenarnya tidak paham kenapa cowok Rika
tega membiarkannya pulang sendiri malam-malam begini. Apakah dia sama sekali tidak khawatir
terhadap Rika yang notabenenya merupakan seorang wanita yang sekaligus menjadi pacarnya?

"Gue duluan ya Bey!" Rika melambaikan tangan, lalu sesaat kemudian dia sudah menghilang di
balik pintu bersama beberapa orang rekan cewek lainnya.

Semakin mendekati hari puncak, kegiatan para anggota BEM pun semakin meningkat berkali-
kali lipat dan bahkan gue sendiri merasa bahwa ini semua terlalu melelahkan sekali. Pergi lebih
awal untuk mengejar kelas pagi, berlari menuju ruang sekretariat demi menghadiri rapat-rapat
yang sudah dimulai, lalu gue baru bisa pulang ke rumah selepas pukul delapan atau sembilan
malam yang membuat badan gue rontok. Dan ternyata, hal ini pun terjadi kepada Rika.

Gue melihat ada lingkaran-lingkaran hitam di sekitar matanya dan kadang-kadang wajahnya juga
terlihat pucat pasi pada saat rapat sedang berlangsung. Rika mengeluh tidak enak badan yang
disertai oleh migrain, dan Rika ternyata sama sekali belum memakan apa-apa semenjak dia
berangkat ke kampus pagi tadi.

Gue dan rekan-rekan lainnya kemudian berinisiatif untuk mengistirahatkan Rika di ruang BEM
sambil memberikannya obat serta beberapa jenis makanan berat. Setelah Rika menghabiskan
makanan dan meminum obat, wajahnya tampak terlihat lebih segar dan dia juga merasa sudah
kuat untuk kembali mengikuti rapat yang sedang berlangsung walaupun gue sendiri masih tidak
yakin dengan kondisinya saat ini.

Gue kembali menawarkan Rika untuk mengantarnya pulang karena gue khawatir akan terjadi
apa-apa mengingat kondisi tubuhnya yang sedang tidak fit, namun Rika sendiri kembali
menolaknya dengan alasan bahwa ia telah dijemput oleh pacarnya dan gue pun mengerti akan
hal itu. Setidaknya, gue bisa sedikit merasa lega karena pacarnya telah mengerti apa
yang harus ia perbuat kepada Rika.

Gue dan beberapa orang rekan cewek lainnya kemudian memutuskan untuk mengisi perut di
salah satu gerobak nasi goreng langganan yang selalu mangkal tidak jauh dari kampus. Sudah
menjadi kebiasaan bagi kami semua untuk makan di tempat itu setelah melewati hari serta
berbagai macam rapat yang sangat melelahkan sekali. Lalu pada saat kami sedang berjalan
melewati parkiran, kami semua melihat bahwa Rika dan pacarnya sedang beradu argumen yang
samar-samar dapat kami dengar.

"Aku kan udah bilang kalo kamu jangan ikut-ikutan rapat ga jelas kayak gitu, liat kan sekarang
kamu jadi sakit?!"

"Ya tapi aku emang pengen ikut rapat kayak gitu!!! Sampe sekarang aku ga pernah protes sama
hobi-hobi kamu, aku ga pernah ganggu kalo misalkan kamu lagi sama temen-temen kamu, aku
ga pernah minta kamu buat jemput aku tiap aku selesai rapat, aku ga pernah minta macem-
macem sama kamu, tapi kenapa kamu jadi kayak gini?!"

Lalu apa yang terjadi?

Gue melihat Rika ditampar dengan keras oleh pacarnya hingga ia hampir terjatuh.

Lalu apa yang gue lakukan?

Gue langsung berlari menghampiri mereka berdua dan secara reflek gue pun memberikan satu
buah pukulan telak ke arah tulang hidungnya. "LO GA TAU KAN CEWEK LO CAPEKNYA
KAYAK GIMANA? BANCI LO JING BISANYA MAEN TANGAN SAMA CEWEK!"

Dan pada akhirnya kami berdua saling beradu kekuatan fisik di tengah-tengah parkiran yang
gelap dan lengang itu hingga ada dua orang petugas keamanan yang melerai dan menggiring
kami berdua menuju pos satpam untuk diinterogasi.

Yang gue rasakan pada saat itu adalah pure sebuah rasa ingin melindungi. Gue tidak mau jika
ada satu orangpun dari rekan gue yang terjadi apa-apa kepada mereka dan sebisa mungkin gue
juga akan melindungi mereka semua sebagai sahabatnya. Begitupun halnya dengan Sita. Pada
saat gue mengetahui siapa pelaku dibalik kecelakaan itu, gue langsung menghajarnya dengan
sebuah perasaan yang sama seperti saat gue menghajar pacar Rika dulu.

"Ini obatnya ada dua ya mas, Rivanol sama Betadine. Luka luarnya dibersihkan dulu dengan
menggunakan kapas yang sudah diberi Rivanol ini, baru kemudian ditetesi Betadine di sekitar
lukanya dan tunggu sampe kering."

Gue mengangguk. "Oke."

"Sama ini satu lagi salep buat luka benturannya, dioleskan secukupnya saja di sekitar area yang
membiru."

"Oke."

"Ada lagi mas yang mau ditanyakan?"


Gue tersenyum seraya menggelengkan kepala kepada si apoteker tersebut. "Ga ada lagi mbak,
makasih ya."

"Sama-sama mas, semoga lekas sembuh ya." Ujarnya dengan hangat.

Sita hanya menderita beberapa luka lebam akibat benturan terhadap aspal dan luka yang
terdapat pada paha kirinya pun hanya sebagai luka lecet. Kata dokter, lapisan demi lapisan jas
hujan serta celana jeans yang dikenakan oleh Sita telah melindunginya dari sebuah luka robek
yang cukup parah karena bersentuhan dengan benda tajam yang tidak gue ketahui jenisnya.

"Udah Bey?"

Gue mengangguk, lalu duduk di samping Sita sambil memegang obat-obatan miliknya. "Udah,
nanti besok perban lo dibuka ya, itu lukanya harus kering biar cepet sembuh."

Sita kemudian mengangguk sambil meraih obat-obatan yang sedang gue pegang. "Berapa
semuanya?"

"Tenang aja, udah dibayarin sama yang nabrak tadi kok." Ujar gue. "Orangnya juga cupu gitu,
gue sepikin dikit lagi mungkin elo bakal dapet motor baru deh Sit."

"Ih jahat lo!" Sita tertawa.

"Anyway, itu luka lo ada di paha bagian atas lo kan?"

"Iya..." Sita mengangguk. "Kenapa emangnya?"

"Yang ngebuka perbannya gue aja ya? Lumayan lah tontonan gratis buat gue."

Sekonyong-konyong Sita langsung mencubit lengan gue dengan keras hingga gue mengerang
kesakitan. "Elo tuh ya! Dulu gue kasih sebadan-badan aja kagak mau tapi sekarang malah
minta-minta! Dasar cowok!"

Gue kemudian hanya bisa tertawa sambil mengelus-elus lengan yang barusan dicubit olehnya.

Lalu mengenai Rika? Beberapa minggu sebelum gue terbang ke Itali, Rika memberi sebuah
surat undangan pernikahannya secara langsung kepada gue dan dia juga berterima kasih
karena dulu gue telah menyadarkan pacarnya itu tentang sikapnya yang kurang baik terhadap
wanita, terutama terhadap Rika, calon istrinya sendiri.
Midnight Quickie - Forever Young

Never Giving Up

Gue saat ini memiliki dua buah masalah, yaitu masalah mengenai deadline serta masalah
mengenai pembagian waktu. Akhir-akhir ini pekerjaan gue menjadi sangat menumpuk sekali dan
mereka semua memiliki deadline di hari yang sama sehingga waktu yang gue miliki untuk gue
habiskan bersama Alexy pun menjadi berkurang.

Ketika gue telah mendapatkan sedikit waktu senggang diantara waktu-waktu sibuk lainnya, kini
giliran Alexy yang ternyata sedang dikejar oleh deadline pekerjaannya. Lalu pada saat Alexy
telah memiliki waktu senggang untuk gue, malah gue yang tidak memiliki sedikitpun waktu
untuknya.

Sang Waktu ternyata masih belum mengizinkan kami untuk kembali bertatap muka secara
langsung, tetapi sang Waktu hanya mengizinkan kami berdua untuk tetap bertemu melalui
panggilan-panggilan telepon setiap malam sebelum tidur dan juga setiap pagi ketika kami akan
mengawali hari.

"Draft yang ini tolong direvisi terus direkap lagi, nanti kalo sudah langsung kasih ke ruangan
saya ya?"

Gue mengangguk. "Oke."

Lia kemudian memperhatikan gue secara sekilas sambil mengkerutkan keningnya, lalu dia
menepuk pelan bahu gue. "Mas Bayu kayaknya emang butuh jatah liburan akhir tahun deh."
Gue tertawa. "Yah, mbak, kalo saya ambil cuti sekarang kan entar malah ga dapet bonus
tahunan deh."

"Eh iya, ngomong-ngomong kerjaan mas Bayu deadlinenya kapan?"

"Minggu depan hari Selasa, kenapa?"

"Abis itu kosong?"

"Kayaknya sih nggak kosong, tapi kayaknya juga ga ada kerjaan yang berat-berat lagi mbak."
Ujar gue. "Kenapa?"

"Minggu depan kamu bisa ngambil job interpreter lagi? Ga lama kok, cuman dua hari kerja."

"Dimana?"

"Di Palembang, Rainforest Norway mau ngadain seminar tentang konservasi hutan di Sumatera
dan mereka butuh interpreter. Gimana? Bisa?"

"Ooh, Rainforest Norway yang NGO itu ya?"

"Iya." Lia mengangguk.

"Bisa sih, cuman kalo misalkan nanti orang-orang pada ngebutuhin saya di sini, gimana tuh
mbak?"

"Udah gampang itu sih urusan saya." Ujarnya. "Gimana? Mau ambil job ini?"

Gue kemudian mengangguk antusias. "Oke deh mbak, bisa!"

Tentu saja gue pasti menerima tawaran pekerjaan itu karena kini gue sangat memerlukan
sebuah escape plandemi menyegarkan kembali pikiran yang selalu terkuras karena pekerjaan-
pekerjaan yang tidak akan pernah ada habisnya.

***

Tadi sore sebelum gue pulang dari kantor, gue telah menelpon Alexy dan memintanya untuk
tidak pergi kemana-mana karena gue akan berkunjung ke rumahnya untuk bertemu sekaligus
melepas rasa rindu yang selama ini telah gue tahan-tahan dengan sekuat tenaga. Lalu selama
gue berkendara menuju rumah Alexy, gue merasakan sesuatu yang aneh.

Jantung gue berdegup dengan kencang seperti seorang anak kecil yang sudah tidak sabar untuk
mendapatkan mainan barunya. Bibir gue selalu mengembangkan senyumannya seperti
seseorang yang baru saja mendapatkan sebuah kejutan ulang tahun tepat pada pergantian
malam, dan itu semua dapat terjadi karena gue yang sudah sangat tidak sabar untuk ingin
segera bertemu dengannya.

Gue tertawa.

What the fuck is this mess I have become since I met you, Lex?

"Assalamualaikum..." Gue mengetuk pintu rumah Alexy.

Satu detik, dua detik, masih tidak ada jawaban dari dalam sana. Lalu pada saat gue akan
kembali mengetuk pintunya, gue mendengar suara kunci yang diputar secara terburu-buru,
sebelum pada akhirnya pintu di hadapan gue terbuka dan memperlihatkan seorang wanita cantik
berpiyama merah muda yang sedang berdiri sambil tersenyum dengan genit kepada gue.
Entah karena gue yang sudah tidak bertemu dengan Alexy selama sekian lama, tetapi gue
merasa bahwa Alexy terlihat semakin cantik sekali. Piyama lengan pendek berwarna merah
muda, rambut kecokelatannya yang ia biarkan tergerai indah di depan dadanya, wajahnya yang
masih terlihat menawan walaupun tanpa polesan make up, ah, Alexy memang selalu terlihat
cantik dalam keadaan apapun.

"Hai..." Gue cengengesan, dan kemudian Alexy langsung menerjang hingga gue agak
terjengkang ke belakang. "Waduh, udah main serang-serangan aja nih." Gue tertawa.

"Udah lama ga meluk kamu kayak gini Bay, enak..."

"Enak doang nih? Ga kangen sama aku jadinya?"

"Nggak kangen sama kamu, cuma kangen meluk-meluk kamu kayak gini." Ujarnya dan ia
semakin mendusel dengan manja yang langsung membuat gue membalas pelukan Alexy serta
mengecup pelan ubun-ubunnya.

Gue tidak pernah merasa sebahagia ini dan gue juga tidak pernah menyangka sebelumnya
bahwa gue dapat merasakan sebuah kebahagiaan yang besar seperti ini. Gue sangat bersyukur
kepada Tuhan karena gue telah diberi satu buah kesempatan untuk mencintai dan dicintai oleh
seorang wanita yang sangat sempurna sekali seperti Alexy dan gue juga sangat berterima kasih
kepada Tuhan karena Dia telah mendatangkan Alexy di dalam kehidupan gue tepat pada
waktunya.

Tidak terlalu cepat, tidak terlalu terlambat, namun dia datang di saat yang sangat tepat sekali.

"Ih kamu bau!" Alexy menutup hidungnya sambil merengut.

"Ada pancuran ga Lex?"

"Buat apa?"

"Mandi..." Jawab gue polos.

"Garing!" Alexy tertawa. "Udah gih sana masuk dulu ke dalem, nanti aku ambilin handuk sama
baju punya kakak aku."

"Oke deh..." Ujar gue. "Eh, Lex..."

Alexy menoleh. "Ya?"

Gue terdiam sejenak sambil tetap menatap kedua mata indahnya, tersenyum, sebelum pada
akhirnya gue mendekatkan diri kepada Alexy untuk mencium keningnya dengan perlahan,
lembut, dan penuh dengan kasih sayang.

"I love you, Lex..."

Dan Alexy kembali mendekap tubuh gue.

Erat.

***
Gue sengaja berlama-lama di dalam sini untuk menikmati setiap guyuran air hangat yang keluar
dari dalam shower di atas kepala sambil memikirkan segala sesuatu yang telah, sedang, dan
yang akan terjadi di masa depan, yang kadang-kadang membuat gue sendiri tidak mengerti
dengan itu semua karena Tuhan kini mulai mengabulkan satu persatu permintaan gue dengan
cara yang sama sekali tidak pernah gue prediksi sebelumnya.

Sewaktu gue masih mengerjakan skripsi dulu, gue telah memiliki beberapa target perusahaan
yang akan gue jadikan sebagai tempat bekerja setelah gue lulus kuliah nanti. Hari demi hari gue
habiskan untuk tetap fokus terhadap skripsi dan juga bimbingan karena dari bimbingan ini gue
dapat mendapatkan saran-saran membangun dari dosen pembimbing gue mengenai
perusahaan-perusahaan itu.

Namun di saat gue telah siap untuk mendapatkan pekerjaan yang gue inginkan, ternyata Tuhan
berkata sesuatu yang lain.

Gue mendapatkan sebuah tawaran kerja yang sangat menggiurkan sekali dari sebuah
perusahaan mutlinasional di Jakarta hanya beberapa minggu sebelum gue mengenakan toga
wisuda dan itu datang dari dosen pembimbing gue sendiri. Ini semua sangat diluar ekspektasi
gue dan ini juga terasa sangat mengejutkan sekali. Fresh graduate tanpa pengalaman kerja
yang cukup baik, tetapi malah mendapatkan sebuah kesempatan yang luar biasa?

Lalu masih dengan keadaan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, gue pun langsung
menerima tawaran pekerjaan itu.

Satu tahun pertama gue lewati dengan mulus dan gue menerima banyak pujian dari para atasan
yang terkenal sangat perfeksionis sekali. Kinerja gue dinilai baik oleh mereka dan mereka juga
merasa senang karena gue selalu bisa menyelesaikan segala pekerjaan yang diberikan secara
tepat waktu. Dan tidak lama setelah itu, Tuhan kembali menjawab satu doa gue yang lain.
Cita-cita gue semasa SMA untuk bisa berlibur di luar negeri ternyata dapat segera terkabul
melalui beasiswa yang diberikan oleh kantor. Gue selalu bermimpi untuk dapat berlibur selama
satu atau dua minggu di tanah Eropa dan menjelajahi seluk beluk Benua Biru demi memuaskan
hasrat gue terhadap fotografi, dan Tuhan pun menjawab itu semua dengan cara yang kembali
tidak dapat gue prediksi lagi.

Lalu hanya berselang kurang dari satu tahun setelah gue kembali berada di Indonesia untuk
melanjutkan hidup, gue diperkenalkan kepada seorang Muthia melalui satu buah pekerjaan
mendadak yang pada akhirnya akan mengantarkan gue kepada doa gue yang lainnya, yaitu
Alexy.

It's amazing how Time and God can change your entire life. Tiga dari sekian banyak doa-doa
yang selalu gue panjatkan sehabis menunaikan ibadah shalat ternyata baru dapat terjawab
setelah hampir sepuluh tahun berlalu, dan itu tidak memakan waktu yang sebentar serta jalan
gue untuk mendapatkan itu semua pun tidaklah mudah.

Gue harus rela begadang semalaman untuk belajar mati-matian selama seminggu penuh
sebelum sidang skripsi. Gue harus rela mengambil lembur hingga pukul sepuluh malam di kantor
demi menyelesaikan pekerjaan secara sempurna dan tepat waktu padahal keesokan paginya
gue harus kembali bekerja pada pukul tujuh tepat, dan gue juga harus bersabar dengan tenaga
ekstra ketika satu persatu undangan pernikahan teman-teman gue mulai berdatangan.

Teman-teman gue selalu berkata bahwa semua ada waktunya. Kita akan bekerja pada
waktunya, kita akan memiliki rumah pada waktunya, kita akan mendapatkan sesuatu pada
waktunya, dan masih banyak lagi segala sesuatu yang berakhiran dengan embel-embel 'pada
waktunya'. Dulu, gue memang tidak percaya dengan kata-kata itu, tetapi kini semuanya telah
berbeda dan gue juga telah mempercayai hal itu.

Kita pasti akan makan ketika perut kita telah merasa lapar. Tidak mungkin jika kita masih merasa
kenyang tetapi kita masih ingin tetap memakan sesuatu yang tersaji di atas meja karena itu akan
membuat kita menjadi 'eneg' dan bahkan memuntahkannya. Begitupun halnya dengan doa yang
selalu kita panjatkan kepada Tuhan. Tuhan pasti akan mengabulkan satu persatu doa kita jika
kita telah sampai pada waktu dimana Tuhan merasa bahwa kita telah siap untuk menerima itu
semua dan tidak mungkin jika Dia akan memberi sesuatu yang diluar kemampuan diri kita
sendiri.

Hanya ada beberapa hal yang harus tetap kita lakukan, yaitu tetap berusaha, tetap berdoa, serta
tetap berserah diri kepada-Nya karena niscaya Tuhan akan mengabulkan doa-doa itu secara
bertahap dan Dia akan mengabulkannya dengan cara-cara yang tidak pernah kita duga
sebelumnya.

Gue menengadahkan kepala untuk menikmati setiap tetesan air hangat yang menerpa wajah,
lalu kemudian gue mengusap rambut sambil tersenyum dengan sebuah perasaan yang
terasa sangat damai sekali.

"He who can have patience can have what he will."

Ben Franklin
Pasti!

Pagi itu gue sedang berada di areal stadion Gelora Bung Karno untuk berolahraga. Putaran demi
putaran telah gue lewati dan pada akhirnya gue merasa bahwa tubuh gue sudah mencapai batas
maksimalnya, lalu kemudian gue pun memutuskan untuk berjalan-jalan kecil sambil melemaskan
otot kaki yang sedari tadi dipaksa untuk terus menerus bekerja sambil menikmati sejuknya udara
pagi dan memperhatikan keadaan sekitar.

Banyak sekali orang-orang yang sedang berolahraga di sini dan mereka juga menimbulkan
suara-suara tak jelas yang membaur di udara. Suara tawa dari anak kecil yang berlari gemas di
antara kedua orang tuanya, suara derap langkah dari orang-orang yang berlari sambil
mengenakan earphone di telinga mereka, atau hanya sekedar suara obrolan dari para ibu-ibu
dan anak muda lainnya pun terdengar menghiasi areal stadion dan membuat suasana di sini
terasa semakin hidup.

Dari kejauhan gue melihat ada sesosok wanita cantik yang rambut panjang berwarna
kecokelatannya dikuncir kuda dan dia juga sedang menggunakan setelan olah raga, sama
seperti gue. Sports bra yang dibalut dengan cardigan hitam, jogger pants berwarna abu-abu
cerah yang ia kenakan, serta running shoes Nike berwarna putihnya itu pun telah membuat dia
terlihat sangat sexy sekali di mata gue yang seketika saja membuat gue tersenyum senang.

Tetapi sedetik kemudian, gue tiba-tiba saja berhenti melangkah dan senyuman pada bibir gue
pun menghilang pada saat gue melihat bahwa ada seorang laki-laki asing yang tiba-tiba saja
duduk di samping Alexy, dan mereka juga terlihat mengobrol dengan akrab tanpa memedulikan
keadaan sekitar mereka.

Damn, should I do this?

"Hei.." Gue duduk bersila di atas aspal di depan Alexy sambil menyunggingkan senyuman tipis
kepada mereka berdua untuk menutupi rasa cemburu yang seketika saja menghinggapi diri gue.

"Udah selesai larinya Bay?" Tanya Alexy.

Gue mengangguk. "Udah nih, capek muter-muter terus." Ujar gue sambil menyeka keringat pada
dahi, lalu kemudian gue menoleh kepada seorang lelaki yang sedang duduk di samping Alexy
sambil menjulurkan tangan kepadanya dengan penuh percaya diri. "Oh iya kenalin, gue Bayu."
Gue tersenyum. "Pacarnya Alexy."

Cowok yang sedang duduk di samping Alexy pun langsung terlihat kikuk setelah gue berkata
seperti itu, namun dia tetap menjulurkan tangannya dengan setengah hati untuk menerima jabat
tangan gue. "Tian." Jawabnya ragu.

"Sorry nih sebelumnya Yan, gue ga bisa lama-lama di sini soalnya mau nyari sarapan dulu
sekarang." Ujar gue.

"Oh iya, ga apa-apa mas..."

"Sorry ya." Ujar gue lalu kemudian menoleh kepada Alexy seraya bangkit dari duduk. "Yuk
sayang, kita cari makan."

"Duluan ya Yan..."
Lalu sesaat setelah Alexy berdiri di samping gue, gue tahu bahwa Alexy ingin menggenggam
tangan gue melalui gesture tubuhnya, namun gue menolak hal itu dan gue pun langsung
melingkarkan lengan gue pada bahunya yang membuat dia tertawa kecil, sebelum pada
akhirnya kami berdua berjalan menjauhi seorang cowok bernama Tian yang masih duduk
terpaku di belakang kami.

"Lex..." Panggil gue. "Cowok itu siapa?"

"Kan tadi kamu udah kenalan sama dia, namanya Tian."

"Kamu kenal dia dari mana?"

"Ooh, barusan dia ikut duduk sama aku pas aku lagi nungguin kamu, lagian kita juga cuman
ngobrol-ngobrol doang kok."

"Cuman 'ngobrol' doang?"

Alexy tertawa. "Bay, ini baru pertama kalinya loh kamu bilang 'sayang' sama aku di tempat
umum kayak gini soalnya kamu kalo mau manggil aku tuh biasanya cuman ngomong 'Lex' atau
'Lexy' doang."

"Ga boleh ya aku manggil 'sayang' sama pacar aku sendiri di tempat umum?" Gue menggaruk
pelipis.

"Ah, aku tau, kamu pasti cemburu ya sama dia? Iya kan?!"

"Hmmm... Ngga juga ah..."

"Udah deh Bayu kamu ngaku aja kalo kamu itu cemburu sama dia sampe-sampe kamu berani
bilang 'sayang' sambil meluk-meluk aku kayak gini."

"YA MENURUT LO?!" Gue kemudian tertawa seraya mengapit leher Alexy sambil mengacak-
acak rambutnya dengan gemas dan Alexy pun semakin membenamkan kepalanya.

"Tenang aja Bayu." Alexy memeluk lengan gue. "Aku orangnya emang easy going sama siapa
aja, but my heart is all yours kok! Forever and a day!"

"Lah sih kok jadi aku yang digombalin sama kamu?"

Alexy tertawa. "Sering-sering yah bilang 'sayang' sama aku kayak tadi, seneng deh rasanya
dipanggil kayak gitu sama kamu."
Mika - Love Today

Jealousy No More

Gue turun dari dalam mobil dan berjalan menuju bagasi untuk mengambil barang belanja
bulanan Alexy sementara ia langsung berjalan menuju pintu rumah dan membuka kuncinya.
Sehabis olahraga pagi tadi, kami memang sengaja menyempatkan diri untuk membeli berbagai
macam kebutuhan bulanan Alexy yang belum sempat ia beli karena bu Kad dan pak Tono
sedang pulang ke kampung halaman mereka di Jawa sana sehingga Alexy pun harus memenuhi
kebutuhan sehari-harinya sendiri.

"Lex." Panggil gue. "Ini mau disimpen dimana barang-barangnya?"

Alexy menoleh dari anak tangga, lalu kemudian dia menunjuk ke arah dapur rumahnya. "Tolong
simpen di pantry dapur aja Bay, bentar ya aku mau ganti baju dulu."

"Oke..."

Dapur adalah tempat yang paling Alexy sukai di rumah ini karena dia merupakan seorang wanita
yang gemar sekali memasak. Di dapur rumah Alexy tersedia berbagai macam peralatan masak
yang gue sendiri tidak tahu apa namanya selain spatula, wajan, serta beberapa jenis peralatan
umum dalam memasak lainnya. Lalu sisanya? Well, mungkin gue sering melihat barang-barang
tersebut dalam acara masak MasterChef di televisi.

Gue kemudian berjongkok dan mengeluarkan seluruh isi dari dalam kantong plastik dan
menyusunnya di atas pantry serta di dalam lemari pendingin sebelum pada akhirnya gue
mengambil satu kaleng Coke beserta makanan ringan untuk gue bawa menuju halaman
belakang rumahnya.

Halaman belakang rumah Alexy memang tidak terlalu luas, tetapi lantai parquet berwarna
cokelat tua beserta sebuah sofa panjang yang menghadap ke arah kolam renang kecilnya yang
dikelilingi oleh beberapa pohon Konifer mini pada pot-pot batu bundar besar itu pun memiliki
daya tarik tersendiri bagi gue. Gue sangat senang sekali ketika berada di sini. Gue dapat
bersantai dan berleha-leha serta menikmati semilir angin sambil duduk bersandar pada sofa
putih yang beratapkan kanopi kaca transparan.

"Nah bener kan ada di sini..."

Gue menoleh, lalu kemudian tersenyum manis kepada Alexy yang terlihat sudah berganti baju
dengan mengenakan kaos santai serta hotpants berwarna biru langit. "Sini duduk."

"Aah..." Alexy menghela nafasnya pelan seraya menjatuhkan badan di sebelah gue. "Bay?"

Gue menoleh. "Hmmm?"

"Kamu kenapa sih seneng banget nongkrong di sini?"

"Yaaa..." Gue menggaruk tengkuk sambil sedikit menunduk. "Enak aja tempatnya."

"Nothing special here or maybe somethin' else?"

"Ada sih..."

"Apa?"

"Ngg... Kamu..."

Alexy tertawa. "Kok aku?"

"Ngeliatin kolam renang yang airnya berkilauan kayak gitu..." Gue menunjuk ke arah kolam
renang. "...sofa yang empuk, udara yang adem, terus ditambah sama adanya kamu di samping
aku..." Gue menoleh kepada Alexy sambil menyunggingkan sebuah senyuman tipis, sebelum
pada akhirnya gue menarik kepala Alexy secara perlahan dan mencium lembut keningnya. "It's
perfect."

Alexy menjadi tersipu malu setelah gue melakukan hal itu dan gue pun merasa sangat senang
sekali ketika melihat ekspresi wajahnya yang terlihat semakin cantik berkali-kali lipat dari
biasanya.

Apa yang gue rasakan kepada Alexy adalah sesuatu yang tidak pernah gue rasakan
sebelumnya. Terdapat sebuah perasaan dimana gue yang ingin selalu berada di sampingnya,
melindunginya, dan gue juga ingin selalu mendekap tubuhnya dengan erat. Tidak pernah
sedikitpun terbesit sebuah pikiran kotor untuk 'menyentuh' Alexy lebih dari apa yang pernah gue
lakukan kepadanya selain sebuah pikiran untuk selalu menjaganya, sampai kapanpun itu.

"Bay, kenapa ya kalo tiap aku deket sama kamu, aku pasti deg-degan terus kayak sekarang?"

"Hmmm, mungkin inilah yang disebut dengan cinta, Lex. C-I-N-T-A."

"Ih garing banget kan!" Alexy tertawa.

"Eh, Lex, aku mau tanya dong sama kamu."

"Mau tanya apa?"


Gue terdiam sebentar sambil mengatur nafas, lalu kemudian gue bertanya kepadanya. "Kamu
udah sering ya Lex dideketin cowok kayak gitu?"

Alexy merubah posisi duduknya dan dia berbaring di atas paha gue. Kami berdua saling
berpandangan dan saling bergenggaman erat, sebelum pada akhirnya Alexy tersenyum manis
dan dia menganggukkan kepalanya. "Kamu masih cemburu ya Bay?" Ujarnya lembut.

Gue menarik nafas sambil menyisipkan jemari tangan yang lain ke dalam sela-sela rambutnya,
memainkannya, dan mengelusnya dengan lembut, lalu kemudian gue mengangguk pelan sambil
membalas senyuman manisnya. "Iya..."

Ada sebuah keheningan yang cukup lama setelah gue berkata seperti itu. Alexy tetap
menggenggam tangan gue dan dia semakin mempererat genggamannya, sementara gue hanya
bisa mengelus rambut kecokelatan Alexy yang terasa halus dan mengkilap dengan perlahan
tanpa bisa berkata apapun.

"Bay..." Panggil Alexy seraya bangkit dari tidurnya dan dia kembali duduk di sebelah gue. "Aku
mungkin udah sendirian selama kurang lebih empat tahun dan mungkin itu juga ga ada apa-
apanya dibandingin dengan kamu yang baru pertama kalinya pacaran sama aku." Ujar Alexy.
"Tapi selama empat tahun aku sendirian, Bay, aku juga bisa belajar sesuatu dari itu."

"..." Gue menoleh.

"Selama empat tahun aku sendiri, aku jadi tau kalo ternyata aku masih nungguin kamu buat
datang di kehidupan aku." Ujarnya. "Dengan waktu yang selama itu, aku jadi bisa menghargai
gimana rasanya menunggu kamu untuk datang di kehidupan aku dan aku juga ga mau menyia-
nyiakan kamu demi orang asing yang sama sekali aku ga kenal." Lanjutnya. "Seneeeng banget
rasanya pas ngeliat sikap kamu sama si Tian tadi, berarti itu tandanya kamu ga mau kehilangan
aku kan?"

"Kalo misalkan aku nggak kayak gitu, bisa-bisa si Tian jadi makin ngebet pengen jadi pacar
kamu." Gue tertawa. "Tapi sebelumnya, makasih ya Lex kamu udah mau nolak setiap cowok
yang berusaha ngedeketin kamu dan kamu juga udah rela nungguin aku selama empat tahun
buat datang di kehidupan kamu. Mungkin kalo kamu dulu ga nolak satu orang cowok, kayaknya
sekarang aku juga masih jomblo deh."

Alexy tertawa. "Untung banget ya Bay aku nolak-nolakin mereka semua."

"Lex?" Panggil gue.

"Ya?"

"Minggu depan kalo kamu ambil cuti satu minggu, bisa ga?"

"Cuti buat apa?"

"Aku ada kerjaan di Palembang, nanti kamu temenin aku di sana ya?"

"Tapi kamu janji dulu sama aku."

"Apa?"

"No more jealousy?"

"Hah?" Gue mengkerutkan kening.


"No more jealousy?"

Gue pun tertawa seraya mengapit lembut lehernya. "Iya deh sayang, no more jealousy." Ujar
gue. "So, Palembang?"

Alexy tersenyum dengan sangat manis sekali, sebelum pada akhirnya dia mengangguk dan
mencium lembut pipi gue. "Iya Bayu-ku sayang, aku mau ikut sama kamu."

Ken Navarro - Slow Dance

Days of Future Past

Setelah kami berdua duduk di depan meja bartender, ada seseorang yang menghampiri gue dan dia adalah
Robin, bartender dari night club ini. "Hi Bayu, sup?" Robin dan gue bersalaman dengan saling meninju
tangan, lalu kemudian dia menunjuk seseorang yang duduk di sebelah gue. "And this is..."

"Oh, hi, I'm Naufal." Naufal menjulurkan tangannya dan mengajak Robin berjabat tangan.

"Hi, I'm Robin. Nice to meet you, errr..."

"Naufal. It's N-A-U-F-A-L." Naufal mengeja namanya sendiri kepada Robin yang membuat gue ingin
tertawa.

"Oh yeah, Naufal, sorry, nice to meet you bro!"


"Nice to meet you too buddy." Naufal tersenyum.

Gue memang sengaja membawa Naufal menuju night club yang terbilang cukup 'ramah' di downtown
Minneapolis sambil mengajaknya berjalan-jalan mengelilingi kota walaupun istrinya mewanti-wanti gue
agar kami tidak mabuk-mabukan hingga teler. Gue pun hanya bisa mengiyakannya saja walaupun Naufal
sendiri mengiyakannya juga sambil tertawa jahil.

"What are we having for tonight?" Robin bertanya sambil mengelap gelas kaca yang sedang ia pegang.

"Cuervo is fine by me." Ujar gue, lalu kemudian bertanya kepada Naufal yang sedang asik melihat ke
sekeliling dan dia juga terlihat sedang menikmati musik house yang terdengar. "Lo mau minum apaan
Fal?"

Naufal menoleh. "Ada Chardonnay ga?"

"Tanya sendiri gih."

"Do you have any Chardonnay, Robin?"

"It's a shame if this bar doesn't have it." Robin menyeringai. "Coming right up!"

"Tumben banget lo mau minum gituan, biasanya nyari yang lebih berat." Ujar gue kepada Naufal sesaat
setelah Robin sibuk menyiapkan pesanan kami.

"Lagi pengen nyoba wine lain selain Cabernet nih. Lagian, wine is like a bridge over troubled water. It will
ease your mind."

"Bentar...bentar...bentar..." Gue mengangkat tangan sambil mengkerutkan kening. "Kayaknya gue pernah
denger tuh kata-kata."

Naufal tertawa. "Tebak laaah!"

"Simon and Garfunkel?"

"Exactly!" Naufal menjentikkan tangannya sambil tetap tertawa.

"Here's your Chardonnay." Robin memberikan satu buah gelas kecil berisi wine Chardonnay kepada
Naufal, lalu kemudian dia beralih kepada gue. "And this is your Cuervo. Psstt, I added some juice in it."

"Woah, you're so generous!"

"I'll take that as a compliment." Ujarnya. "Hey, are you coming to Briannah's New Year Party?"

"I would love to, but..." Gue menggeleng pelan seraya menunjuk Naufal. "I have some guests in my house
at the moment."

"Aw, too bad..." Robin menggeleng, lalu kemudian dia pamit menuju pelanggan lainnya yang baru saja
datang. "Anyway, I'll catch you up later!"

"Okay, see ya!"

Gue memang sudah sangat sering sekali berkunjung ke night club ini untuk sekedar menikmati bir serta
wine yang mereka suguhkan karena lokasinya yang hanya berjarak sekitar empat blok atau sekitar lima
belas menit berkendara dari kantor gue. Dulu gue memang belum mengetahui night club-night club mana
saja yang memiliki tingkat 'keramahan' yang cukup 'ramah', tetapi setelah gue mulai mengetahui seluk
beluk kota ini, gue pun pada akhirnya memiliki penilaian tersendiri bagi mereka semua termasuk
berkenalan secara akrab dengan bartender-bartendernya.
"Do you want to have some personal intercourse with me? Like, right now?"

Samar-samar gue dapat mendengar suara seorang wanita yang berkata seperti itu, lalu secara reflek gue
pun menoleh ke samping dan melihat bahwa Naufal sedang berbicara kepada seorang blonde
berpakaian super minim dan si blonde itu pun mencoba untuk menyentuh Naufal walaupun Naufal sendiri
menepisnya secara halus.

"Hey, hey!" Gue memegang pergelangan tangan dari si blonde itu.

Dia terbelalak. "What's wrong with you?"

"Get the fuck off, he's my gay partner!"

"WHAT THE FUCK?!" Naufal terkejut dan dia langsung menatap gue sambil mengangkat kedua
tangannya ke samping.

"Oh come on! I'm just trying to get some money from him!" Si blonde itu pun mengerlingkan matanya
dengan kesal dan dia juga langsung meninggalkan kami berdua setelah gue berkata seperti itu.

"Apaan tuh maksudnya ngomong kayak gitu?!"

"Lo denger ga dia ngomong apaan barusan? She wants your money, dumbass!" Gue menoyor keningnya.

"Ya tapi kan ga usah ngomong gue gay juga kali! Gue ngerti batasan sama dia!"

"Percuma lo ngomong kayak gitu, bitches-bitches disini udah ahli banget morotin orang-orang baru kayak
elo! Udah kita balik aja sekarang, bahaya, entar gue bisa dimutilasi sama bini lo kalo kita lama-lama
disini."

Gue menenggak habis Cuervo yang masih tersisa, lalu kemudian menyelipkan beberapa dollar di bawah
gelasnya dan mengajak Naufal untuk kembali mengelilingi kota Minneapolis yang bersalju walaupun dia
sendiri masih ngomel karena tidak terima gue berkata seperti itu.

***

"Hey jagoan, kok belum tidur?" Gue mengambil Faros dari pelukan Aya dan menggendongnya. "Kok anak
gue belum tidur sih jam segini?"

"Tadi udah tidur, cuman dia kebangun lagi gara-gara denger gue nonton DVD sama bini lo." Aya tertawa.
"Oh iya, Naufal mana?"

Gue kemudian menunjuk ke arah pintu dengan menggunakan dagu. "Masih di luar, tadi sih lagi nelfon
dulu." Ujar gue. "Bini gue mana Ay?"

"Di kamer kayaknya, eh mas, kalo Naufal udah masuk, tolong suruh langsung ke kamer aja ya."

Gue tertawa. "Don't trash my bed!!!"

Dan Aya pun hanya mengerling jahil kepada gue sambil berjalan menuju kamarnya.

Gue meninabobokan Faros dalam pelukan hingga dia terlelap. Faros terlihat sangat lucu sekali ketika dia
sedang gue peluk seperti ini. Kedua tangan gembulnya melingkar di antara leher dan bahu gue serta bibir
mungil yang dijajah oleh kedua pipi tembemnya itu pun terlihat menggemaskan sekali yang selalu
membuat gue ingin mencubitinya secara terus menerus.

"Faros kok belum tidur?"


Gue menoleh ke belakang dan melihat Naufal sedang melepaskan mantel hitam tebal yang dikenakannya.
"Iya nih Oom, Falos ga bisa tiduuul." Ujar gue menirukan gaya bicara Faros.

"Aya kemana? Udah tidur dia?"

"Tadi aja baru masuk ke kamer, susul gih ke sana."

"Hehehehe..." Naufal pun langsung menyeringai lebar sambil mengangkat kedua ibu jarinya yang
membuat gue geleng-geleng kepala.

"Ssshhh..." Faros menggeliat di dalam pelukan gue yang membuat gue kembali menggoyang-goyangkan
tubuhnya agar dia kembali terlelap.

Jagoan kecil ini sepertinya memang benar-benar anak gue karena dia baru akan terbangun jika ada
seseorang yang mengganggunya atau ada sesuatu yang membangunkannya. Gue pun hanya tertawa kecil
kepadanya, sebelum pada akhirnya gue mengecup lembut kening Faros dan membaringkannya di dalam
kamar tidurnya sendiri.

'I love you, my little hero...'

***

"Faros udah tidur?"

Gue menutup pintu dan menguncinya, lalu kemudian menoleh ke belakang dan mengangguk pelan. "Udah,
udah aku tidurin juga kok di kamernya." Ujar gue sambil berjalan mendekat ke arah tempat tidur dan
langsung berbaring secara tengkurap di sebelahnya. "Aah..."

"Mas, bersih-bersih dulu ah kalo abis dari mana-mana tuh jangan langsung naik ke tempat tidur! Kebiasaan
banget deh..."

Deg!

Ini semua terasa seperti dj vu bagi gue. Gue seperti yang sudah pernah merasakan kejadian ini, tetapi
entah dimana. Lalu setelah gue mencoba mengingatnya dengan keras, gue pun tertawa pelan dan langsung
bangkit dari kasur seraya mengecup pelan kening serta mencubit lembut sebelah pipi dari istri gue yang
terlihat sedang cemberut menggemaskan ini.

"Iya sayang iyaaa, jangan ngambek gitu deh ah, jelek tau." Gue tertawa.

***
"Selamat siang pak Bayu." Seorang ibu-ibu berpenampilan rapi dan necis ternyata telah menyambut gue di
lobby hotel bersama beberapa orang lainnya. "Perkenalkan, saya Lida selaku ketua pelaksana acara
seminar ini." Beliau tersenyum, lalu kemudian dia menoleh kepada Alexy.

"Oh iya bu kenalin, ini Alexy, pacar saya." Ujar gue kepada ibu Lida karena dia terlihat kebingungan pada
saat melihat Alexy yang berdiri di samping gue.

"Selamat siang bu, saya Alexy." Alexy menjulurkan tangannya sambil tersenyum ramah kepada ibu Lida.

"Waaah cantik sekali! Pak Bayu pinter ya pilih pacarnya." Ibu Lida menjabat tangan Alexy sambil
menatap kami berdua secara bergantian dan dia juga tetap menyunggingkan senyumannya. "Mari pak
Bayu, bu Alexy, saya antar menuju kamar."

Ibu Lida kemudian mengantar kami berdua menuju kamar hotel ini. Selama berada di dalam lift menuju
lantai ke sekian, ibu Lida menjelaskan bagaimana mekanisme mengenai seminar beserta siapa saja yang
akan hadir pada acara yang ternyata bertempat di ballroom hotel ini. Gue pun mengangguk-angguk paham
sambil sesekali bertanya tentang hal-hal yang tidak gue ketahui sementara Alexy hanya terdiam sambil
tetap memperhatikan kami berdua.

"Pak Bayu, nanti sore setelah Ashar ada technical meeting mengenai acara seminar, bapak bisa hadir kan?"

"Bisa bu, saya pasti hadir."

"Baiklah kalau begitu, mari pak Bayu, bu Alexy, saya undur diri dulu." Ibu Lida sedikit menganggukkan
kepalanya dan tetap menyunggingkan senyumannya yang terlihat hangat sebelum beliau kembali berjalan
menuju lift di belakang kami.

"Ibu Lida orangnya EYD banget ya?"

Gue menoleh kepada Alexy, lalu kemudian tertawa. "Heh, gitu-gitu juga dia yang bakal ngegaji aku!"

"Ya tapi kan ga harus kaku kayak gitu juga Bay, aku kan jadi bingung harus gimana ngomongnya." Alexy
tertawa.
Gue menarik koper Alexy sambil menenteng travel bag gue pada tangan yang satunya lagi dan
menyimpannya di sudut kamar sementara Alexy mengekor di belakang gue sambil membawa tas
jinjingnya. Setelah gue menyusun rapi barang bawaan kami berdua, tanpa melepas jaket serta sepatu, gue
pun langsung menjatuhkan badan di atas tempat tidur dengan kaki yang menggantung di udara sambil
mendesah pelan.

"Bayu ah bersih-bersih dulu!" Alexy protes.

Gue mengerang. "Aah... Iya bentar..."

"Sekarang ih!"

Mungkin karena gue yang masih tidak bergerak di atas tempat tidur, Alexy kemudian langsung
menggoyang-goyangkan badan gue dan dia juga menarik-narik kedua kaki gue. "Bangun ga?!"

"Hahaha iya deh iya, aku bangun nih."

"Jangan dibiasain kayak gitu ah Bay, ga suka aku..."

Gue kemudian menghampiri Alexy yang sedang cemberut dan mencubit gemas pipinya. "Iya Lexy aku ga
akan gitu lagi kok!" Ujar gue sambil senyam-senyum sendiri dan berlalu menuju toilet.

"Janji ya?!"

Gue membalikkan badan, lalu kemudian gue menyeringai lebar. "Ga mau! Wleee!"

Dan Alexy pun melempari gue dengan bantal sambil menahan tawanya.

By The River

"Lex, tau ga?"

Alexy menoleh, lalu kemudian dia mengelap bibirnya dengan menggunakan tissue. "Apa?"

"Coba tebak, manusia terkuat di dunia itu siapa?"

"Hmmm, Superman?"

"No, no." Gue menggeleng sambil menatapnya dengan geli.

"Apa dong? Batman?"

"Bukaaan!"

"OH! Iron Man!"

Gue tertawa. "Bukan lagiii!"

"Yah, terus apaan dong?"

"Orang Palembang."
"Loh?" Alexy mengkerutkan keningnya. "Kok bisa?"

"Iya dong, kan tiap hari mereka makan kapal selam, kayak aku sekarang."

"Ih garing tau ga! Garing banget!" Alexy tertawa.

Sore hari tadi setelah mengadakan technical meeting yang berlangsung cukup mudah, gue
bertanya kepada ibu Lida mengenai rekomendasi tempat untuk menikmati hidangan pempek di
kota ini. Ibu Lida pun kemudian merekomendasikan kami agar mengunjungi Pempek Saga yang
terletak di Jalan Merdeka, tidak jauh dari jembatan Ampera kota Palembang.

Aroma khas dari pempek yang dipanggang di atas arang pun langsung tercium oleh hidung
ketika gue dan Alexy datang di tempat ini. Ini adalah sesuatu yang baru dan unik sekali bagi gue.
Mereka ternyata memasak pempek dengan cara yang berbeda. Tidak digoreng pada wajan
panas yang berisi minyak seperti apa yang selalu gue ketahui, tetapi mereka memanggang
pempek-pempek itu di atas panggangan arang dengan tingkat kematangan yang menurut gue
sangat pas sekali.

Pempek-pempek berukuran besar berwarna golden brown dengan garis-garis bekas


panggangan itu juga disajikan dengan bumbu yang terasa sangat unik di lidah. Terdapat sebuah
sensasi aneh yang membuat gue sedikit mengernyitkan dahi sambil menekan lidah pada langit-
langit mulut, tetapi kemudian rasa itu menjadi sebuah rasa pempek yang paling gue sukai di
dunia.

"Yuk Lex, kita caw lagi ke tempat yang lain." Gue kemudian menggenggam tangan Alexy dan
berjalan keluar menuju mobil yang terparkir di halaman depan setelah menghabiskan dua porsi
pempek Lenggang Panggang beserta seporsi Es Kacang Merah.

"Laper apa doyan Bay?" Goda Alexy, yang membuat gue tertawa.

Bapak Anies Baswedan pernah mengatakan bahwa setiap sudut kota Jogja itu romantis. Betul.
Itu adalah sebuah pernyataan yang sangat benar sekali karena gue sendiri memang pernah
merasakan hal itu ketika gue sedang mengunjungi saudara yang tinggal di sana. Entah apakah
itu terletak di lorong-lorong jalan Malioboro yang padat, di sisi kolam Umbul Binangun Taman
Sari yang tenang, atau hanya sekedar di sudut jalanan yang lengang pun gue masih dapat
merasakan sesuatu yang terasa romantis nan ramah itu.

Kota Jogja memang memiliki sebuah atmosfer tersendiri bagi gue, tetapi itu semua tidak bisa
dibanding-bandingkan dengan apa yang gue rasakan ketika gue sedang bersama Alexy di sini,
di kota Palembang, karena gue merasakan sesuatu yang lebih seperti sebuah ikatan tak kasat
mata yang terasa sangat kuat sekali.

"Bay?" Panggil Alexy pada saat gue sedang memeluk pinggulnya sambil menikmati kerlap-kerlip
lampu jembatan Ampera yang menyala indah di depan sana dari pinggir sungai Musi.

"Ya?"

"Kalo nanti misalkan...kita...ngg... Ga bisa kayak gini lagi?"

Gue kemudian tertawa pelan seraya berhenti melangkah dan memposisikan diri untuk berdiri di
depannya. "Lex..." Panggil gue, lalu kemudian menatap kedua matanya sambil tersenyum.
"Maksud kamu, kita putus?"

"Iya..." Alexy mengangguk lemah.

"Sayang..." Gue menghela nafas. "Berpisah adalah sesuatu hal yang pasti, tetapi kita sendiri ga
akan pernah tau kapan waktu itu akan datang di dalam kehidupan kita seperti apa yang kamu
tanya barusan. Aku ga tau kapan kita bakal nggak kayak gini lagi, tapi yang aku tau, aku bahagia
banget bisa berada di sisi kamu seperti saat ini."

"Tapi aku takut Bay..."

"Hei..." Gue pun menggenggam kedua tangan Alexy lebih erat lagi dari sebelumnya. "Kamu takut
sama apa sayang?"

"A-aku..." Alexy menundukkan kepalanya. "Aku takut kita kalo putus, atau bahkan lebih dari itu..."

Deg!

"Lex..." Panggil gue, seraya menunjuk ke arah seorang anak kecil yang berada tidak jauh dari
tempat dimana kami berada. "Liat anak kecil yang itu?"

Alexy mendongak, lalu kemudian dia mengangguk sambil tetap menatapnya tanpa berkedip.
"Ada apa sama anak kecil itu?"

"Kamu juga dulu pernah jadi anak kecil itu kan? Apa yang kamu rasain?"

"Aku...ngerasa..." Alexy menoleh kepada gue. "Seneng."

"Terus?"

"Aku ga punya beban apa-apa tentang hidup, aku masih ngerasa bebas, bahagia, ga usah
mikirin tentang masalah-masalah yang ada, terus..." Lalu sesaat kemudian, kedua mata Alexy
pun terlihat lebih berbinar lagi dari sebelumnya dan dia juga menatap gue dengan sebuah
tatapan yang terlihat tidak percaya. "...aku ga perlu takut sama apa-apa karena aku masih punya
orang tua yang ngejagain aku."

"Dan hubungan kita adalah hubungan yang seperti itu." Gue tersenyum.

"Kenapa kamu bisa mikir kayak gitu?"

"Hubungan kita adalah sesuatu yang mirip dengan apa yang kamu bilang tadi. Kita ga perlu takut
sama apa-apa dalam menjalani hubungan ini karena kita masih punya orang tua yang ngejagain
kita."

"Kok...?"

"Coba kamu ibaratkan kalo misalnya hubungan kita adalah 'si anak', sedangkan 'orang tua' dari
si anak itu adalah Tuhan."

"Iya..." Alexy mengangguk. "Terus?"

"Setiap orang tua pasti menginginkan sesuatu yang terbaik bagi masa depan anaknya. Ga
mungkin kalo misalkan ada orang tua yang menginginkan anaknya untuk gagal. Maka dari itu, si
orang tua pun pasti akan mengusahakan segala sesuatunya menjadi yang terbaik bagi si anak.
Begitu juga dengan Tuhan. Aku yakin banget kalo Tuhan punya rencana yang baik terhadap
hubungan kita kedepannya, dan kita juga ga perlu khawatir tentang rencana yang akan diberikan
oleh Tuhan karena itu adalah sesuatu yang terbaik bagi kita."

"Terus kalo misalkan, amit-amit, kita harus putus karena itu adalah salah satu bagian dari
rencana Tuhan untuk kita?"

"Tadi aku juga udah bilang kan kalo hubungan kita tuh ibaratkan seorang anak kecil yang
memiliki Tuhan sebagai orang tuanya?"

Alexy mengangguk. "Iya..."

"Kenapa kita ga meminta sesuatu kepada orang tua kita?"

"Terus kalo misalkan permintaan kita ditolak?"

Gue tersenyum. "Apa ada orang tua yang tega untuk menolak permintaan anaknya?"

"Hope is holding on to the promises of God."

Lailah Gifty Akita

Truly Madly Deeply

"Coba cek lagi filenya Gin. Entar kalo misalkan ada yang kurang, tinggal kasih tau aja harus
ditambahin apa lagi."

"Bentar ya gue cek dulu... Ah, nih coba lu tambah-tambahin dikit lagi informasi tentang klien kita.
Elu tau lah, si Kumis kan senengnya yang lengkap-lengkap gituuu."

"Harus ya? Apa gue juga perlu masukin jumlah bulu keteknya?"
"Yeee entar malah elu yang dikepret pake Yellow Page!" Gina tergelak dari ujung sana.

Saat ini gue sedang berkomunikasi dengan Gina melalui Skype Voice Call untuk membantunya
dalam mempersiapkan berkas-berkas presentasi yang akan dibawakannya pada rapat kantor
pukul delapan pagi nanti. Klien yang sedang kami tangani pada saat ini memang terbilang cukup
kompleks. Oleh karena itu, gue dan Gina harus mempersiapkannya secara matang-matang
karena pak Wisnu dan beberapa orang kepala divisi lainnya menginginkan sesuatu yang terlihat
cukup meyakinkan untuk terus menjalin hubungan kerja sama dengan klien tersebut.

Gue kemudian melirik ke arah jam digital yang tertera pada sudut kanan bawah laptop, 1:04 dini
hari, sedangkan gue masih harus mempelajari materi-materi apa saja yang akan dibawakan oleh
narasumber dari Rainforest Norway agar gue tidak terlalu blank dengan topik yang akan
dibicarakan nanti. Lalu setelah gue mengecek seluruh draft pekerjaan secara teliti, gue pun pada
akhirnya langsung mengirimkan draft itu kepada Gina melalui email.

"Gin, cek lagi ya, udah gue tambahin semuanya."

"Oke deh, thank you Bayu. See you next week!"

Dan Skype Voice Call pun berakhir.

Udara di dalam kamar ini terasa dingin sekali. Gue kemudian bangkit dari kursi kayu di samping
tempat tidur lalu berjalan untuk mengambil remote AC dan menaikkan suhunya hingga beberapa
derajat agar suhu di dalam ruangan ini menjadi sedikit lebih hangat, sebelum pada akhirnya gue
menoleh kepada Alexy yang terlihat sudah terlelap di atas tempat tidur sambil berselimutkan bed
cover putih tebal.

Alexy terlihat sangat cantik sekali walaupun tanpa balutan makeup apapun. Rambut berwarna
kecokelatannya yang berantakan, kedua matanya yang tertutup rapat, bentuk hidungnya, kedua
belah pipi serta bibirnya yang terlihat menyunggingkan sebuah senyuman tipis, semuanya
seolah-olah menyihir gue untuk tetap mematung dan memperhatikannya secara berlama-lama
seperti ini.

Gue kemudian berjalan mendekat dan berjongkok di samping tempat tidur, lalu gue mengelus
pipi Alexy dengan lembut sambil tetap memandangi wajah indahnya. "Lex..." Lirih gue. "Have I
mentioned how lucky I am to be in love with you? I'm so lucky to have you in my life. You mean
the world to me. You are every reason, every hope, and every dream I've ever had."

Gue menarik nafas dalam-dalam, lalu kemudian gue menyunggingkan sebuah senyuman kecil
pada bibir sambil mengusap pelan rambutnya.

"With you, Lex, I feel the happiness that every man seeks. Knowing you is an extraordinary
pleasure. You are a very special treasure. You make my world brighter. You are a gift to me, and
I thank God for meeting you. No matter what happens to us in the future, I will always love you,
Lex. Always."

Gue kemudian mendekatkan kepala untuk mencium kening Alexy sambil memejamkan kedua
mata dan menghirup wangi rambutnya dalam-dalam, sebelum pada akhirnya gue bangkit berdiri
untuk kembali melanjutkan pekerjaan yang sebelumnya sempat tertunda.

"Kamu tadi abis belajar speaking ya sayang?"

Deg!

Langkah kaki gue tiba-tiba saja terhenti, lalu gue pun langsung menoleh ke belakang dan
mendapati Alexy yang sedang menatap gue sambil tersenyum geli di bawah cahaya lampu tidur
yang temaram. "Lex... Kamu... Jadi... Tadi..."

Alexy tertawa sambil menganggukkan kepalanya dengan antusias. "I heard every single word
you said to me, honey..."

Lalu seketika saja gue pun menjadi salah tingkah di depan Alexy.

I Love You

Setiap orang memiliki berbagai macam cara berbeda dalam menunjukkan permintaan maafnya.
Ada yang mencoba untuk meminta maaf melalui pesan singkat, ada yang langsung meminta
maaf secara empat mata dengan orang yang dituju, atau ada juga orang-orang yang meminta
maaf secara 'niat' dengan memberi sebuah kejutan kecil sebagai tanda permintaan maafnya.

Orang-orang itu memang memiliki cara yang berbeda, tetapi mereka semua memiliki satu buah
tujuan yang sama, yaitu untuk mendapatkan sebuah permintaan maaf atas kesalahan yang telah
mereka perbuat.

"Bay..." Alexy menyentuh pipi sebelah kanan gue dengan menggunakan telunjuknya. "Bay ih!"
"..." Gue menoleh dan menatap wajahnya sekilas, lalu kemudian gue kembali memperhatikan
layar laptop yang berisi draft materi seminar dan membacanya.

"Ooh jadi ceritanya kamu lagi marah ya sama aku gara-gara kamu dijailin tadi?"

"Hmmm..." Gue menggumam.

"Hihihi Bayu lagi marah ternyata." Alexy tertawa kecil seraya berpindah posisi untuk berdiri di
belakang gue, sebelum pada akhirnya dia melingkarkan kedua tangannya pada leher gue sambil
menyandarkan dagunya.

"Lex ah, pegel akunya."

"Pokoknya aku ga mau ngelepasin kamu sebelum kamu maafin aku. Titik."

"Lexy..."

"Titik!"

"Ck..." Gue pun hanya bisa menggeleng pasrah sambil kembali memfokuskan diri kepada laptop.

Halaman demi halaman dari PDF berisi draft materi seminar telah gue baca dengan teliti
walaupun gue sendiri membacanya dengan kepala yang agak sedikit miring ke kanan karena
Alexy yang sedang bersandar pada bahu sebelah kiri gue. Entah sudah berapa lama kami
berdua tetap terdiam dengan posisi seperti ini. Leher gue terasa pegal, pundak gue terasa berat,
dan gue juga ingin bangkit dari duduk untuk menggerakkan persendian tubuh yang sudah terasa
kaku. Lalu pada saat gue menolehkan kepala untuk melihat Alexy, tanpa terasa, gue pun
menatapnya sambil menyunggingkan sebuah senyuman tipis.

Kedua mata Alexy terlihat terpejam dengan kepala yang agak sedikit menunduk serta dagunya
juga masih bersandar pada bahu gue. Wajah Alexy terlihat sangat cantik sekali dengan jarak
yang sedekat ini, dan gue juga merasa sangat bersyukur karena telah diberi sebuah kesempatan
langka untuk menikmati sebuah mahakarya Tuhan yang terpampang jelas di depan kedua mata
gue dengan jarak yang sangat dekat sekali.

"Lex..." Panggil gue kemudian.

"Hmmmh?"

"Pindah gih, sana tidur di kasur."

Alexy menggeleng pelan. "Enggak mau."

"Lex..."

"Maafin aku dulu, baru aku mau pindah ke kasur."

"Iya-iya, aku maafin, udah gih sana pindah ke kasur."

Alexy kembali menggeleng. "Maunya sama kamu."

"Astaga..." Lirih gue seraya mengusap wajah. "Yaudah deh, tapi sekarang tidur beneran loh ya
jangan kayak tadi lagi!"

Alexy pun tertawa kecil sambil mengangguk dengan manja dengan kedua mata yang tetap
terpejam.
Sambil menunggu layar laptop untuk mati, gue menjadi berpikir sejenak. Mungkin ini adalah cara
dari seorang Alexy untuk meminta maaf kepada gue. Dia ingin meminta maaf dengan cara yang
agak sedikit keras kepala demi mendapatkan kata maaf itu walaupun gue sendiri sebenarnya
tidak marah ataupun mempermasalahkan cara yang digunakan oleh Alexy, tetapi...

"Baaay..."

Gue menengok ke belakang, lalu mengangguk. "Iya, bentar." Gue pun kemudian menutup laptop
dan menyimpannya di atas meja, sebelum pada akhirnya berjalan menuju sisi tempat tidur dan
langsung berbaring secara telentang di atasnya.

Sang Waktu kini telah menunjukkan pukul dua dini hari tetapi rasa kantuk itu masih saja belum
mau datang. Apa mungkin ini karena gue yang untuk pertama kalinya berada di atas tempat tidur
yang sama dengan Alexy? Ah, tetapi sebelumnya, gue tidak pernah merasa se-grogi ini ketika
gue sedang berada di atas kasur yang sama dengan wanita-wanita lain selain Alexy dan bahkan
pada saat gue tidur bersama Sita pun gue tidak pernah merasa se-grogi ini.

Gue pun menghela nafas panjang setelah memikirkan hal itu, lalu kemudian gue memutar badan
untuk menghadap Alexy yang ternyata sedang menatap gue sambil tersenyum.

"Maafin aku ya sayang soal yang tadi..." Ujarnya.

"Iya." Gue mengangguk seraya membalas senyumannya. "Aku tadi kaget aja, dikirain kamu
udah tidur, tapi taunya belum."

"Aku tuh sebenernya udah tidur, cuman kamu berisik banget ngomong sama temen kantor
kamunya, jadi aku kebangun deh." Alexy tertawa. "Pas aku lagi ngeliatin punggung kamu, kamu
tiba-tiba berdiri yang ngebuat aku langsung pura-pura tidur lagi, tapi kamu malah cuman berdiri
doang di situ sambil ngeliatin aku. Deg-degan juga rasanya diliatin kayak gitu sama kamu. Terus
ga lama kemudian, eh, tau-tau kamu langsung ngedeketin aku sambil ngomong kayak gitu. Aku
kan jadinya pengen ketawa sama pengen meluk kamu juga Bay!"

Gue terkekeh. "Kok sekarang akunya ga dipeluk sih?!"

"NO WAY! Selama masih ada guling di tengah-tengah kita, kita ga boleh peluk-pelukan!"

Gue pun tertawa seraya menarik guling yang menghalangi tubuh kami berdua, lalu kemudian
gue menatap Alexy sambil mengangkat alis. "Terus kalo sekarang, gimana?"

Alexy kemudian tersenyum dengan sangat manis sekali, sebelum pada akhirnya dia mendekat
dengan perlahan dan dia menyandarkan kepalanya pada dada gue. "Bay?" Panggil Alexy
kemudian.

"Hmmm?"

"No matter what happens to us in the future, will you always love me, honey?"

"Kok kamu tiba-tiba tanya kayak gitu?"

"Just answer that damn question!"

"Lex..." Gue menghela nafas dan mengelus rambutnya. "Dulu waktu pertama kali kita jadian, aku
pernah bilang kalo aku mau berjuang sama-sama dengan kamu dan tadi juga aku udah bilang
kalo aku bakal tetap mencintai kamu kan?"

"..." Alexy mengangguk.


"Yes, Lex. I will always love you. Always. Forever and a day..."

Alexy pun kemudian menoleh dan menatap gue sambil tersenyum kecil. "Maaf ya sayang, aku
ga maksud buat ragu sama kamu, tapi aku cuman takut kalo misalkan kita nantinya bakal
kenapa-napa..."

"Hakuna matata." Ujar gue sambil membalas senyumannya.

"Apa itu artinya?"

"Don't worry, be happy."

"Bay, kenapa ya kamu bisa santai banget mikirnya? Nggak kayak aku, dikit-dikit parnoan, dikit-
dikit parnoan..."

Gue tertawa. "Aku udah capek mikir yang negatif terus Lex, pusing, jadi sekarang aku mau terus
stay positive aja. Hidup jangan dibawa susah, dibawa enjoy aja sayang."

"Tuh kan!" Alexy tertawa. "Santai banget sih idup kamu tuh sayaaang?!" Alexy pun mencubiti
perut gue hingga gue tergelak.

"Udah ah yuk kita tidur, pillow talk-nya besok lagi, aku kan harus kerja entar pagi."

"Iya deh."

"Eh, Lex?"

"Hmmm?"

"Nanti kamu jangan nonton seminar aku ya?"

"Loh? Kok gitu?"

"Aku... Engg..." Gue menggaruk pelipis. "Malu, Lex..."

Alexy tertawa. "Kok kamu malu sama aku sih?"

"Aku kalo lagi kerja kayak gini belum pernah diliatin sama orang-orang yang aku sayang. Apa
lagi diliatin sama kamu. Jadi ya..." Gue mengalihkan pandangan. "Aku malu..."

"Ah, pokoknya aku ga janji deh yaaa...!"

***

"Having a great night last night?" Tanya Mr. Norman, salah seorang pemateri dari Rainforest
Norway, sesaat setelah meeting pra-seminar selesai.

Gue menggeleng. "I'm a lil bit sleepy right now..."

"Ah, go grab some coffee then."

"Don't worry Mister, I'm fine." Gue tersenyum.

"Well..." Mr. Norman pun kemudian bangkit dari duduknya seraya menepuk bahu gue dengan
pelan. "See you on the stage."
Beberapa saat gue masih terdiam di sini sambil memilah-milah berbagai macam kertas yang
berserakan di atas meja dan menatanya sesuai urutan, lalu kemudian gue menoleh ketika ada
seseorang yang membuka pintu ruangan. "Pak Bayu, stand by, sebentar lagi kita mulai." Ujar ibu
Lida.

Gue mengangguk. "Oke."

Jam di tangan kiri gue menunjukkan pukul sepuluh kurang lima, yang artinya sekitar lima menit
lagi acara baru akan dimulai. Rasa gugup pun seketika saja menjalar. Walaupun tadi pagi gue
sudah meminta Alexy untuk tidak hadir dalam acara seminar ini, tetapi tetap saja, Alexy hanya
manggut-manggut sambil tetap menyeringai jahil yang membuat gue ragu jika ia tidak akan
datang.

Setibanya di ballroom hotel ini, kedua mata gue pun langsung menyapu ke seluruh ruangan
untuk mencari keberadaan Alexy, tetapi hasilnya nihil. Gue tidak dapat menemukan Alexy di sini
selain para audiens yang telah hadir beserta seorang MC yang tengah berbincang dengan
mereka semua.

Lalu tidak berselang lama, gue beserta Mr. Norman dan kawan-kawannya diundang untuk maju
ke depan dan dipersilakan untuk menduduki kursi panelis yang telah disediakan. Gue pun
kemudian memperkenalkan diri secara singkat sambil menjabarkan sedikit dari curriculum
vitae Mr. Norman melalui slide presentasi yang telah dibuatkan oleh pihak panitia.

Hanya sesaat setelah gue mempersilakan Mr. Norman untuk menjabarkan materinya, entahlah,
secara reflek gue menolehkan kepala ke salah satu sudut dari ballroom ini, dan gue pun
mendapati Alexy yang sedang duduk di antara para audiens lainnya. Alexy sangat pintar sekali
dalam memilih tempat duduk. Dia duduk pada sebuah kursi yang sebelumnya tidak dapat gue
perhatikan secara jelas dari balik meja panitia, dan kini dia juga sedang duduk sambil tersenyum
jahil kepada gue yang membuat gue sedikit menahan tawa sambil menggeleng pelan.

Pacar gue ini memang nakal ternyata.

***

Sang mentari mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur dengan perlahan seiring dengan gue
yang membuka pintu balkoni kamar. Dari atas sini, gue dapat melihat kolam renang di bawah
sana yang airnya beriak kecil karena sedang dibersihkan oleh seorang petugas kebersihan
dengan menggunakan tongkat berjaring. Gue pun kemudian berjalan mendekat ke arah
pembatas besi berornamen, sebelum pada akhirnya gue menarik nafas dalam-dalam untuk lebih
menikmati udara pagi yang masih terasa sejuk ini.

Alexy masih tertidur di belakang sana. Setelah acara seminar kemarin selesai, gue dan Alexy
menyempatkan diri untuk kembali mengelilingi kota Palembang dengan berbekal GPS serta
petunjuk dari ibu Lida mengenai seluk beluk kota ini dan kami berdua pun baru kembali ke hotel
ketika waktu hampir menunjukkan pukul tengah malam. Alexy terlihat sangat senang sekali
kemarin. Selama berada di dalam mobil, ia tak henti-hentinya bercerita mengenai seminar itu
serta meledek gaya bicara gue yang terkesan kaku pada saat menerjemahkan pertanyaan yang
dilontarkan oleh para audiens kepada Mr. Norman.

Gue terkekeh.

Lalu sesaat kemudian, Blackberry di dalam saku celana pendek gue tiba-tiba saja berdering.

Sita.

"Halo? Bey?"
Gue tertawa. "Wih tumben jam segini udah bangun."

"Yeee kampret! Gue ada bimbingan lagi sekarang makanya gue bangun pagi! Dosen sialan,
minta bimbingan jam delapan, awas aja kalo dia gak dateng lagi!"

"Kalo ga dateng lagi ya tenang aja lah, masih ada semester selanjutnya kok!"

"Lo masih aja nyebelin ya!"

"Iya deh iya, sori." Gue mengusap kedua ujung mata. "Ada apaan emang lo nelfon gue jam
segini Sit?"

"Ah, enggak, gue cuman mau nanya aja, lo sekarang jadi pergi ke sana bareng cewek lo?"

Walaupun gue tahu bahwa Sita tidak dapat melihatnya, gue tetap saja menganggukkan kepala
sambil menatap ke arah kolam renang di bawah sana. "Iya, gue jadi kok perginya. Kenapa
emang?"

"..."

"Sit...? Halo...?"

"Eh, iya-iya..."

"Lo kenapa Sit?"

"Engg... Ga kenapa-napa kok..."

"Oh yaudah..."

"Emm, Bey...?"

"Ya?"

"Nggak deh, yaudah ya, have a safe flight! Jangan lupa ngabarin gue!"

Dan sesaat kemudian, Sita langsung menutup telepon dari ujung sana yang kembali
meninggalkan gue dengan penuh tanya.

Semenjak kejadian Sita yang ditabrak oleh orang lain, perlahan-lahan hubungan kami berdua
mulai kembali menjadi seperti biasanya walaupun kadang-kadang ia juga masih bersikap dingin
kepada gue. Gue memang tidak tahu kesalahan apa yang telah gue perbuat, tetapi tetap saja,
gue masih tidak mengerti kenapa Sita menjadi bersikap dingin kepada gue.

Lalu tanpa menghiraukan itu semua, gue pun berbalik dan berjalan menuju tempat tidur untuk
membangunkan Alexy yang masih terlelap dengan pulas.
"Lex..." Panggil gue seraya mengelus sebelah pipinya. "Bangun..."

"Hmph..." Alexy menggumam dan dia memutar posisi tubuhnya.

"Bangun Lex. Yuk sekarang kita siap-siap."

"Hmph, kita mau pergi kemanah?" Tanya Alexy tanpa membuka mata.

"Bali."

Sekonyong-konyong Alexy pun langsung bangun dan menatap gue dengan sebuah tatapan
yang terlihat tidak percaya. "Kamu bohong kan Bay? Kamu bukannya sekarang masih ada
kerjaan di sini?!"

"Enggak sayang." Gue tersenyum, lalu kemudian gue menggeleng pelan. "Aku udah selesai
kerjanya, aku lupa bilang ya sama kamu?"

"Tapi kan aku udah ngambil cuti lama banget biar kita bisa liburan di sini?!"

Gue pun kembali menggeleng seraya mengelus lembut ubun-ubunnya. "Aku emang minta kamu
buat nemenin aku kerja di sini, tapi kita liburannya bukan di sini. Yuk sekarang kamu mandi dulu,
pesawat kita kan pergi jam 10."

"Kamu beneran kan? Kamu ga bohong kan?"

"Enggak sayang, aku ga bohong, yuk sekarang kita liburan di Bali."

"Bay..." Alexy berkata lirih. Kedua matanya terlihat sedikit berkaca-kaca, lalu kemudian dia
tersenyum, sebelum pada akhirnya Alexy langsung menarik dan mendekap erat tubuh gue
dengan sedikit terisak.

Gue sangat senang sekali ketika memeluk tubuh Alexy seperti ini. Gue dapat merasakan Alexy
yang menyandarkan kepalanya pada bahu gue, gue dapat merasakan wangi harum rambut
Alexy yang terasa memanjakan indera penciuman gue, dan kebahagiaan gue pada hari ini pun
terasa lengkap sekali pada saat Alexy berkata sesuatu di samping telinga gue.

"I love you, Bay, I love you so much..."

A Little Thought of Us

"Kok dari tadi bengong aja sayang? Ada apa?"

"Eh..." Gue terhenyak kaget, lalu menoleh kepada Alexy. "Enggak, aku cuman lagi mikir aja."

"Mikirin apa?"

Gue kemudian memandang ke salah satu sisi dari bandara ini dan menatap kepada beberapa
orang crew pesawat yang sedang berbincang-bincang sambil menarik koper mereka masing-
masing, sebelum pada akhirnya gue mengalihkan pandangan untuk kembali menatap Alexy.
"Pernah ga sih Lex kamu mikir, kalo ternyata segala sesuatu yang kita kerjakan itu hanya
semata-mata untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari kita?"

Seperti misalkan seorang anak kecil yang disuruh belajar oleh kedua orang tuanya agar bisa
melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang universitas yang pada akhirnya itu semua akan
bermuara kepada sebuah pekerjaan yang layak demi mendapatkan uang untuk kehidupannya
nanti? Atau seperti para ayah yang rela bangun subuh-subuh dengan kantong mata yang tebal
untuk bekerja dan mencari nafkah demi menghidupi keluarganya di rumah?

Atau mungkin seperti para pengendara sepeda motor yang harus menahan emosi ketika
bermacet-macetan ria di Sudirman, berselimutkan debu serta karbon monoksida tebal, hanya
demi bisa sampai ke kantor tepat waktu dengan harapan akan mendapatkan gaji tanpa potongan
di awal bulan?

Atau mungkin juga seperti para pekerja seks komersial yang rela menahan rasa malu serta
perasaan sedihnya dan tetap menebar pesona sana-sini walaupun ia sedang ditatap murah oleh
para lelaki hidung belang yang ingin merasakan lekuk tubuh indahnya demi mendapatkan sedikit
uang tambahan?
Pernahkah kalian semua berpikir seperti itu?

Ada yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mereka jalani karena hobi. Ada yang menjalani
pekerjaan-pekerjaan itu karena tuntutan kewajiban, atau ada juga yang terpaksa melakukan
pekerjaan itu karena tidak ada lagi pekerjaan yang dapat mereka kerjakan seperti misalnya para
pemulung lanjut usia, yang rela berjalan hingga puluhan kilometer sambil memanggul sebuah
karung besar pada pundaknya di bawah terik sinar matahari menyengat serta debu panas yang
beterbangan demi mengambil sampah-sampah plastik untuk dijual kembali dengan harga yang
tidak seberapa.

"Atau mungkin mereka juga bekerja gara-gara pengen dapet sesuatu selain uang sebagai tujuan
utamanya?" Tanya Alexy sesaat setelah kami berdua duduk secara bersisian di dalam kabin
pesawat.

"Hmmm, kayak gimana contonya?"

"Misalkan contohnya kamu. Kamu kerja di perusahaan yang sekarang gara-gara prospek
kedepannya bagus dan kamu juga pengen bisa dapet promosi kerja di luar negeri. Itu kan yang
kamu pengen dari kerjaan ini?"

"Ya..." Gue manggut-manggut pelan. "Bisaaa... Tapi aku pengen dapet promosi di luar gara-gara
gajinya gede Lex!"

"Euh, kamu orangnya money oriented banget ya ternyata!" Alexy tertawa.

"Aku waktu masih kuliah dulu cuman pengen dapet kerjaan yang gajinya cukup untuk ngehidupin
aku, Anca, sama ibu. Kalo misalkan uang dari gaji aku udah cukup buat makan tiga kali sehari,
biaya kuliah Anca, sama nambah-nambah uang bulanan ibu, ya udah, nothing more, sampe
ternyata aku dikasih kesempatan buat ngerasain gimana rasanya hidup di Eropa yang bisa
ngerubah mindset aku."

"Gimana emangnya?" Tanya Alexy antusias.

"Waktu aku tinggal di Italia dulu, ga tau kenapa, aku ngerasa enak aja tinggal di sana." Gue
menggeleng pelan seraya mengalihkan pandangan dari Alexy, lalu gue pun tersenyum kecil.
"Ngeliat bangunan-bangunan unik yang ga ada di Indonesia, jalanan yang bersih, atmosfer sama
suasana sekitar yang berbeda, semuanya bisa ngebikin aku nyaman banget Lex..."

"Hmmm, terus?"

"Terus pas aku mau pulang ke Indonesia, aku baru sadar kalo aku udah nyaman banget tinggal
di Italia dan aku pengen tinggal di sana sekali lagi, atau kalo bisa aku ingin tinggal di sana untuk
selamanya."

"Tapi sebelumnya Bay, untuk ngedapetin promosi kerja di luar tuh sebenernya ga gampang
kan?"

"Betul banget!" Gue mengangguk. "Mungkin target aku yang ini baru akan tercapai pas aku udah
mau kepala tiga. Ya sekitar empat atau lima tahunan lagi lah."

"Terus, selama empat atau lima tahun ini..." Alexy memainkan kesepuluh jemari tangannya.
"Kamu mau ngapain sayang?"

"Ya pacaran sama kamu dooong!"

"Wuuu gombaaal!" Alexy tertawa.

"Yah..." Gue menghela nafas panjang dan menyandarkan punggung pada kursi. "Mungkin
sekarang aku masih punya banyak banget kekurangan, dan semoga dalam empat atau lima
tahun mendatang..." Gue menoleh kepada Alexy, lalu gue tersenyum kepadanya. "...aku bisa
memperbaiki semua kekurangan-kekurangan itu demi mendapatkan apa yang aku inginkan."

"Bay..." Alexy membalas senyuman gue, tetapi gue melihat ada sebuah keragu-raguan di antara
garis senyumnya itu.

"Ya? Kenapa sayang?"

"Enggak, aku cuman..."

"Lex..." Gue menggenggam erat sebelah tangan Alexy dengan kedua tangan, dan gue juga
menatap kedua matanya sambil tetap menyunggingkan sebuah senyuman kecil pada bibir.
"Kamu mau bersabar sedikit lagi kan sayang?"

Alexy mengangguk pelan seraya membalas genggaman tangan gue. "Tapi jangan lama-lama ya
Bay, aku ga mau nunggu lebih lama lagi..."

"Ah! Aku tau kenapa kamu ga ingin nunggu lama-lama! Kamu pasti udah ga sabar pengen
punya anak kan Lex?! Atau malahan kamu udah ga sabar pengen ngebuatnya ya?!"
"NGGAK!!!"

Dan kami berdua pun tertawa.

Captivated by You

"Baaaliii yeay...!" Alexy meregangkan kedua tangannya di udara sambil mengembangkan


sebuah senyuman pada bibirnya yang membuat gue tertawa. "Udah lama banget deh rasanya
Bay aku ga pulang ke sini."

"Berapa lama emangnya Lex?"

"Dari pas awal aku masuk kuliah."

"Palingan itu sekitar..." Gue menghitung tahun dengan menggunakan jari. "Ah, baru juga tujuh
tahun, masih lamaan aku kali yang udah nungguin kamu selama dua puluh lima tahun."

Lalu Alexy pun tertawa renyah seraya melingkarkan tangannya pada lengan gue.

Kami berdua tiba di sini ketika hari sudah mulai beranjak sore yang langsung disambut oleh
atmosfer Bali yang terasa khas. Ini adalah kali kedua bagi gue untuk menginjakkan kaki di sini
dan kali ini pun gue kembali datang bersama seorang wanita yang sangat cantik sekali bernama
Alexy, bukan bersama rekan-rekan kuliah yang semuanya masih terasa 'kampungan' karena
perasaan excited yang berlebihan pada saat kami menginjakkan kaki di Pulau Dewata dulu.

Semilir angin sore menerpa wajah gue secara perlahan seiring dengan gue dan Alexy yang
berjalan keluar dari bandara sambil membawa seluruh barang bawaan kami berdua. Alexy
terlihat sangat cantik sekali hari ini. Blouse tanpa lengan berwarna biru tua yang ia padukan
dengan rok putih ketat sepahanya itu terlihat sangat-sangat pas sekali pada tubuhnya dan juga
sebuah kacamata hitam yang sengaja ia simpan di atas kepala untuk menahan poni dari rambut
kecokelatannya itu pun telah semakin mempercantik dirinya.

Walaupun kini Alexy sudah berstatus sebagai pacar gue, tetapi tetap saja, gue masih sering
merasa grogi ketika sedang berada di dekatnya dengan jarak yang sedekat ini tetapi gue juga
tetap menikmati sebuah perasaan yang mendebarkan dada itu dengan hati yang berbunga-
bunga.

"Sekarang kita tidur dimana Bay?"

"Hotel." Jawab gue.

"Iya, dimana?"

"Bentaaar..." Gue kemudian mengecek kode booking pada handphone yang sedang gue
pegang, lalu gue menoleh dan tersenyum kepadanya. "Seminyak."

***

Kadang-kadang gue sendiri masih merasa bingung dengan Bali, terutama dalam bahasa yang
mereka gunakan disini. Seperti misalkan pada saat gue dan Alexy sedang menunggu bagasi
tadi. Ketika kami sedang menunggu bagasi, gue melihat ada seorang warga negara Indonesia
yang berbicara kepada seorang bule berbadan tegap dengan menggunakan bahasa Inggris, lalu
sesaat kemudian dia pun menoleh kepada rekannya dan mereka berdua berbicara dengan
menggunakan bahasa Bali yang sama sekali tidak gue mengerti.

Lalu setelah gue dan Alexy mengambil seluruh barang bawaan dari conveyor belt dan hendak
berjalan menuju pintu keluar, gue mendengar beberapa percakapan acak secara sekilas yang
menggunakan bahasa Inggris dan sedikit bahasa asing lainnya ketimbang dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, menurut gue, bandara Ngurah Rai sendiri
lebih terasa seperti bandara-bandara internasional di Eropa sana karena bahasa yang
digunakan lebih dominan dengan bahasa asing walaupun orang-orang yang menggunakan
bahasa asing itu adalah warga pribumi.

"Ini, makasih ya pak..." Gue memberikan sejumlah uang kepada supir taksi sesuai dengan argo
yang tertera, sebelum pada akhirnya gue menghampiri Alexy yang sudah menunggu di depan
lobi hotel. "Yuk." Gue tersenyum.

Alexy terlihat sangat serius sekali dengan handphonenya. Ketika berjalan, Alexy sesekali
melirikkan matanya kepada gue, tetapi sesaat kemudian dia pun tertawa dengan pelan seraya
kembali menatap ke arah layar handphonenya.

"Kamu kenapa sih Lex? Kok aneh banget perasaan?"

"Eh, enggak kok Bay, aku ga apa-apa." Alexy menggeleng dan tersenyum aneh.

Lalu sesaat kemudian, tiba-tiba saja Blackberry di dalam saku celana gue bergetar karena ada
sebuah panggilan masuk yang ternyata berasal dari Anca. "Ya? Ada apa Ca?"

"AA!!! KENAPA KE BALI SAMA MBAK ALEXY GA NGAJAK-NGAJAK AKU?!"

"Loh? Kamu tau dari mana Aa ke Bali sama Lexy?"

"AH, TAU AH!" Tut...tut...tut...

"Itu telfon dari siapa sayang?"

Gue kemudian menoleh kepada Alexy, lalu gue menatapnya dengan tatapan bingung. "Ini...
Anca... Kok dia tau ya kita berdua pergi ke Bali?"

"Mungkin dia tau dari ibu kali, kamu ngasih tau sama ibu nggak sayang?"

"Enggak." Gue menggeleng. "Aku ga ngasih tau sama siapa-siapa kalo kita ke Bali. Eh, bentar,
atau kamu jangan-jangan..."

"Hehehe..." Alexy pun tertawa dengan cengengesan seraya memberikan handphonenya kepada
gue.

Gue menemukan sesuatu di situ. Ada sebuah chat antara Alexy dan Anca dan ternyata Alexy
pun mengirimkan sebuah foto selfie kami berdua pada saat kami sedang berada di dalam
pesawat tadi, dan dia mengirimnya dengan sebuah caption: 'Baliii...!'

"Alexy-ku sayang... Ini apa maksudnyaaa?!"

Lalu Alexy pun tertawa-tawa pada saat gue mengapit lehernya dengan gemas.

***
Gue membuka mata secara perlahan dan mengerjap-kerjapkannya untuk sejenak. Mungkin
karena gue kekurangan waktu tidur dalam beberapa hari terakhir, pagi ini gue pun terbangun
lebih lambat dari biasanya. Kamar yang gue tempati saat ini masih terasa sedikit gelap karena
lampu yang tidak dinyalakan, tetapi gue tahu bahwa hari telah beranjak siang melalui cahaya
matahari yang menyeruak masuk melalui jendela di samping kiri gue, yang membuat gue
menoleh ke arahnya.

Alexy ternyata sedang berdiri di situ. Alexy terlihat sedang menatap ke arah pohon-pohon kelapa
berwarna kekuningan di luar jendela kayu berornamen sambil memegang sebuah cangkir
dengan menggunakan kedua tangannya, dan dia juga masih mengenakan sleepwear longgar
berbahan satin berbentuk dress putih polos.

Untuk sesaat, gue hanya terdiam dan tidak mengeluarkan suara apapun sambil tetap
memandangi rambut kecokelatan Alexy yang tergerai indah pada punggungnya, sebelum pada
akhirnya gue iseng mengambil Blackberry pada nightstand di samping tempat tidur untuk
mengabadikan beberapa gambar akan keindahan dirinya.

Perlahan gue mulai menyibak selimut dan turun dari atas tempat tidur, lalu kemudian gue
berjalan di atas lantai parquet berwarna cokelat tua untuk berdiri dan melingkarkan kedua tangan
pada tubuh Alexy seraya mengecup lembut sebelah pipinya dari belakang. "Pagi sayang." Sapa
gue.

"Eh, pagi juga sayang..." Alexy tersenyum, lalu kemudian dia mengangkat sebuah cangkir yang
sedang ia pegang. "Teh?"

Gue menggeleng. "I don't want tea, I want you."

"But I'm already yours, honey." Alexy tertawa. "Mmm... Bay?"


"Ya?"

"Nanti kita nyewa mobil lagi ya?"

"Mau kemana?"

"Buleleng."

"Buleleng?" Tanya gue. "Ngapain?"

"Aku pengen ketemu sama Bude aku, boleh ya?"

Gue pun menganggukkan kepala seraya kembali mengecup pipinya dengan lembut. "Boleh, apa
sih yang engga buat kamu sayang."

"Gombalan kamu tuh ga abis-abis ya Bay!" Alexy tertawa.

Kami berdua kemudian larut ke dalam sebuah keheningan yang damai untuk beberapa saat.
Kami berdua menikmati sebuah keheningan ini sambil tetap saling berdekapan dengan erat dan
merasakan hembusan angin yang menerpa wajah, sebelum pada akhirnya gue memecahkan
keheningan itu.

"Lex..." Panggil gue, yang membuat Alexy menoleh.

Kedua mata gue dan Alexy saling bertemu dalam satu garis lurus yang membuat kami berdua
saling berpandangan. Gue pun kemudian menatap seluruh wajah cantik Alexy dengan penuh
kedamaian. Gue menatap kedua matanya, gue menatap hidungnya, bibirnya, dan gue pun
mengangkat sebelah tangan untuk menyibak poni dari kening Alexy dan menyimpan di balik
telinganya.

Alexy tersenyum dengan sangat manis sekali setelah gue melakukan hal itu. Lalu sesaat
kemudian, kepala kami berdua saling mendekat secara perlahan, kami berdua saling
memejamkan mata, dan pada akhirnya kebahagiaan gue dan Alexy pun terasa semakin
sempurna ketika bibir kami berdua saling bertautan dengan lembut, hangat, dan penuh dengan
rasa kasih sayang di setiap detik yang kami lewati bersama.

"I've kissed many women before. But this? It feels like my first kiss.
My very, special first kiss."

-B-

ears of Love
Sewaktu gue masih duduk di bangku sekolah dasar, gue pernah berpikir bahwa cinta adalah
ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan berjalan secara beriringan pada koridor kelas
pada saat bel pulang sekolah berbunyi. Lalu setelah gue mulai bisa untuk berpikir sedikit lebih
jauh, gue pun mematahkan opini itu karena gue sendiri tidak pernah melihat adanya sesuatu
yang 'aneh' di dalam hal tersebut.

Ketika gue menginjak bangku SMP, perlahan-lahan gue pun mulai mengenal apa yang namanya
pacaran dan secara otomatis itu juga merubah opini gue terhadap cinta. Cinta, menurut gue
pada saat itu, adalah ketika seorang laki-laki menyatakan perasaannya kepada seorang
perempuan, lalu pada akhirnya mereka berdua berpacaran walaupun gue sendiri masih tidak
terlalu mengerti tentang itu semua.

Waktu pun berjalan dan pandangan gue mengenai cinta juga kembali berubah seiring dengan
gue yang memiliki sebuah perasaan lebih kepada rekan satu kelas di bangku SMA dulu. Dia
adalah seorang wanita yang tidak populer. Dia adalah seorang wanita berkerudung dan
berkacamata yang tidak memiliki kecantikan seperti Alexy. Dia adalah seorang wanita yang
biasa-biasa saja dengan nilai pelajaran yang biasa-biasa saja, tetapi perasaan itu tiba-tiba saja
muncul dan dapat gue rasakan dengan jelas tanpa bisa gue tahan, tanpa bisa gue cegah, dan
tanpa bisa gue prediksi sebelumnya.

Tetapi sayang sekali. Dia ternyata sudah memiliki pacar yang sekaligus membuat seisi hati gue
hancur untuk yang pertama kalinya. Dari sini, setelah apa yang gue lalui, gue pun mulai bisa
beranggapan bahwa cinta adalah ketika gue yang harus merelakan dirinya untuk bersama orang
lain dengan hati yang ikhlas, walaupun gue sendiri sebenarnya tidak rela akan hal itu.

Things go wrong, shits happens, but life must go on.

Definisi gue tentang cinta pada masa kuliah dan beberapa tahun selanjutnya masih bisa
dikatakan mirip dengan apa yang gue rasakan ketika masa-masa SMA dulu, tetapi kali ini gue
menambahkannya sedikit. Cinta adalah ketika gue yang harus tetap bersabar dalam menanti
seseorang yang tepat untuk datang di dalam kehidupan gue, bersabar dalam menanti waktu
yang tak pasti, dan gue juga harus bisa bersabar ketika merasakan sebuah perasaan semu
kepada seorang wanita yang ternyata bukan menjadi pilihan gue sepenuhnya.

Gue juga sudah hampir putus asa kala itu dan tidak terlalu mempedulikan lagi tentang apa yang
namanya cinta setelah gue kembali patah hati karena Muthia. Tetapi tidak lama setelah itu,
penantian gue akan seseorang pun berakhir. Tuhan pada akhirnya mempertemukan gue dengan
Alexy. Gue dapat berkenalan dengannya, gue dapat bertegur sapa dengannya, dan gue juga
dapat mengenal Alexy lebih lanjut yang langsung merubah pandangan gue terhadap cinta.

Cinta adalah ketika gue yang ingin sekali memiliki Alexy secara penuh. Cinta adalah ketika gue
yang sangat ingin sekali menjadi seseorang yang selalu ada di sisi Alexy ketika ia membutuhkan
gue. Cinta adalah ketika dimana munculnya sebuah perasaan yang ingin melindungi Alexy, dan
cinta adalah ketika gue yang ingin menjadi seseorang yang selalu mencintai Alexy dengan
sepenuh hati.

Gue kemudian menoleh kepada Alexy yang sedang berdandan pada meja rias dari atas tempat
tidur, lalu gue terkekeh pelan sambil tetap memandanginya yang membuat Alexy membalas
tatapan gue melalui pantulan dari cermin. "Kamu kenapa Bay? Kok kamu ketawa-tawa sendiri?"
Tanya Alexy.

"Ah, enggak..." Gue menggeleng dan tersenyum geli seraya mengalihkan pandangan ke arah
jendela."I am now the happiest man in the world, you know that honey?" Gue tertawa, sementara
Alexy hanya membalas senyuman gue sambil menggeleng pelan.

Cinta adalah sesuatu yang simple, namun di saat yang bersamaan, cinta juga kadang-kadang
terasa kompleks dan rumit. Cinta adalah sesuatu yang tidak dapat didefinisikan dengan sesuatu
yang pasti seperti jatuh yang pasti akan selalu ke bawah. Lalu ditambah dengan gue yang baru
saja mencium Alexy untuk yang pertama kalinya, gue pun menjadi semakin tidak dapat mencari
sekumpulan kata-kata yang tepat untuk mendefiniskan arti tentang cinta.

Tetapi di saat yang bersamaan juga, gue telah menjadi yakin terhadap satu hal, yaitu gue telah
menjadi yakin bahwa gue sangat mencintai Alexy dengan segenap hati yang gue miliki.

***

Setelah berkendara selama kurang lebih beberapa jam, gue dan Alexy pada akhirnya tiba di
Buleleng, atau lebih tepatnya di salah satu daerah di Singaraja. Atmosfer Bali yang terasa khas
pun langsung menyambut kedatangan kami berdua di sini. Ada beberapa buah tiang tinggi
berbentuk seperti janur kuning melengkung yang terpasang megah di kedua sisi jalan ketika
mobil yang gue kendarai masuk ke dalam sebuah jalan kecil yang menghubungkan antara jalan
menuju rumah bude Alexy dan jalan utama, tetapi gue sendiri sama sekali tidak mengetahui
nama atau sebutan untuk tiang-tiang itu.

"Lex, tiang yang kayak janur nikahan itu apa ya namanya?" Tanya gue kepada Alexy.

"Ooh, itu namanya penjor Bay."

"Penjor?"

Alexy mengangguk. "Iya."

"Ooh..."

Selain penjor-penjor yang tinggi menjulang, gue juga melihat ada beberapa orang warga yang
mengenakan pakaian adat Bali dan mereka semua berjalan secara beriringan sambil bercanda
tawa. Gue pun merasa sangat excited sekali di sini. Melihat penjor-penjor tinggi yang terpasang
megah, melihat para wanita dan anak-anak yang sungguh sangat menawan dalam balutan
busana adat Bali, semuanya telah membuat gue merasa melihat sesuatu yang terasa baru di
Bali.

"Itu Bay!" Alexy menunjuk ke depan. "Di depan ada rumah yang ada gapura batunya! Itu rumah
bude aku!" Ujarnya semangat.

Lagi-lagi gue pun kembali dibuat terpesona dan kembali merasakan aura Bali yang sangat
kentara sekali ketika memasuki sebuah rumah yang tampak asri. Ada beberapa buah pohon
cemara berukuran sedang yang tumbuh di sekeliling dinding pagar, lalu kemudian gue juga
melihat ada sebuah pohon kamboja rimbun yang ditanam tepat di tengah-tengah halaman
dengan beberapa kuncup bunga yang siap untuk bermekaran.

Ada sesuatu yang mengalihkan pandangan gue dari pohon kamboja yang batang pohonnya dililit
oleh kain itu. Gue melihat ada sebuah gazebo berlantai kayu berwarna cokelat tua yang di
samping-sampingnya dihiasi oleh beberapa patung batu dengan mata yang besar, taring yang
terlihat eksotis, dan patung-patung itu juga menggenggam sebuah gada besar yang tidak gue
ketahui namanya.

"Lex, patung-patung itu apa namanya?"

"Yang mana?"

"Itu... Yang di depan gazebo."

"Ooh, patung-patung itu namanya Bedogol sayang."

"Hah? Bedogol? Bukannya Bedugul?"

"Bukan..." Alexy menggeleng dan tertawa pelan. "Bedogol itu nama patung, kalo Bedugul itu
nama tempat. Kamu tau Danu Bratan?"

"Tau." Gue mengangguk. "Pura Ulun Danu Bratan yang ada di danau itu kan?"

"Nah! Itu baru namanya Bedugul!" Alexy tertawa. "Yuk sekarang kita masuk!"

Gue pun kemudian menggaruk-garuk tengkuk dan senyam-senyum sendiri seraya mematikan
mesin. Sesaat setelah gue dan Alexy keluar dari dalam mobil, gue melihat sesuatu yang berbeda
dari Alexy.

Gue melihat Alexy sedang tersenyum seraya mengamati halaman rumah ini, tetapi senyuman
yang terlukis pada bibirnya itu adalah sebuah senyuman yang paling terasa damai seolah-olah
tidak ada sesuatu yang mengganggunya. Ada sebuah aura ketenangan yang sangat terasa
ketika gue melihat senyuman itu, yang kemudian membuat gue menggenggam erat sebelah
tangan Alexy dan bersama-sama berjalan menuju pintu rumah di depan sana.

"Assalamualaikum..." Alexy mengucap salam.

"Waalaikum salam, iya, sebentar..." Ujar sebuah suara sayup-sayup dari dalam sana. Lalu
sesaat kemudian, pintu kayu berukir di depan kami berdua terbuka, yang langsung disambut
oleh sebuah tatapan kaget dari si pemilik rumah. "A-Alexy...?"

Tanpa mengatakan sepatah kata apapun, Alexy langsung melepas genggaman tangan gue,
sebelum pada akhirnya dia berjalan dan menubruk wanita paruh baya itu dengan sedikit terisak.
"Bude..." Ujarnya lirih.

Alexy memeluk erat tubuh budenya dan budenya juga membalas pelukan Alexy dengan penuh
perasaan haru, sementara gue hanya bisa menatap mereka berdua dengan perasaan yang tak
dapat gue gambarkan dengan kata-kata.

Earthly Love

Ini adalah kali pertama gue untuk bertemu dengan salah seorang keluarga besar Alexy secara
langsung. Rasa grogi itu pun tiba-tiba muncul. Antara nervous dan sedikit was-was mengenai
apa yang akan terjadi selanjutnya, telah bercampur aduk menjadi satu yang seketika saja
membuat seluruh tubuh gue terasa aneh namun sebisa mungkin gue mencoba untuk tetap
tenang dan gue juga tetap memberikan sebuah senyuman kecil kepada beliau yang kini sedang
berbincang dengan Alexy pada ruang keluarga rumah ini.

"Mas Bayu udah berapa lama pacaran sama Alexy?"

"Eh..." Gue terhenyak kaget, lalu sesaat kemudian gue tersenyum kecil kepadanya. "Belum lama
Bu, baru sekitar dua bulan lebih."

"Sekarang mas Bayu udah kerja?"

"Alhamdulillah sekarang saya udah kerja di salah satu perusahaan multinasional di Jakarta Bu."
Jawab gue.

"Sudah berapa lama kerja di sana?"

"Saya kerja di sana baru satu tahun kurang Bu."

"Sebelumnya mas Bayu kerja di mana?"

Gue menoleh kepada Alexy, lalu kemudian dia tersenyum kecil dan mengangguk pelan seolah-
olah meminta gue untuk kembali menjawab pertanyaan Budenya itu. "Sebelum saya kerja di
kantor yang sekarang, saya lanjut kuliah S2 dulu Bu di Italia selama dua tahun."

"Ooh Italia ya?" Bude Alexy membulatkan bibirnya seraya manggut-manggut. "Jadi mas Bayu
setelah lulus S1, langsung kuliah di luar?"

Gue tersenyum dan menggeleng pelan. "Enggak Bu, saya kerja dulu selama beberapa bulan
sebelum dapet beasiswa buat kuliah di luar."
"Wah, bagus itu!" Jawab Bude Alexy antusias. "Tuh Lex, pacarmu aja udah lulus S2, di Italia lagi,
masa kamu cuman mau S1 aja?"

Alexy pun kemudian tertawa untuk menimpali pertanyaan itu. "Ga apa-apa Bude, nanti kan Alexy
juga bakal banyak diem di rumah buat ngurusin anak sama keluarga. Mending uangnya
ditabungin aja buat biaya nikah kita nanti. Iya kan Bay?" Alexy melingkarkan tangannya pada
lengan gue seraya tersenyum manja.

"Emangnya kamu udah yakin bakalan nikah sama aku?"

"Ih Baaayuuu...!"

Gue dan Bude pun kemudian tertawa pada saat melihat ekspresi wajah Alexy yang tiba-tiba
menjadi cemberut.

***

"Bay ayo bangun!" Alexy menggoyang-goyangkan badan gue. "Cepet! Entar kita ketinggalan
sembahyangnya."

"Hmmhh..."

"Cepeeet!"

"Iya deh iyaaa..." Gue kemudian menutup wajah dengan menggunakan bantal, sebelum pada
akhirnya gue turun dari atas tempat tidur dan berjalan mengikuti Alexy dengan rasa kantuk yang
masih menggelayut pada pelupuk mata.

Kemarin, gue dan Alexy sudah memutuskan untuk menginap di rumah Budenya selama satu
malam, dan pagi ini Alexy telah berjanji kepada gue untuk melihat prosesi ibadah umat Hindu
yang bertempat pada pura terdekat dari sini. Walaupun waktu ibadah tersebut dilaksanakan
pada pagi hari yang secara otomatis mengurangi waktu tidur gue, mau tidak mau, gue pun harus
merelakan waktu tidur yang sangat berharga sekali demi melihat sebuah prosesi sembahyang
umat Hindu Bali di pura sana.

Hawa dingin seketika saja menyentuh permukaan kulit ketika gue dan Alexy keluar dari pintu
rumah. Gue pun kemudian menarik resleting jaket hingga menutupi leher dan sesekali meniup-
niup telapak tangan untuk mengurangi rasa dingin tersebut. Selain hawa dingin yang terasa
menusuk kulit, langit di atas kepala gue juga masih terlihat agak sedikit gelap kebiru-biruan,
tetapi itu semua sama sekali tidak menyurutkan semangat Alexy yang sedari tadi sudah
sangat ingin sekali mengajak gue menuju Pura Agung Jagatnatha di depan sana.

"Lex?"

Alexy menoleh, lalu kemudian dia tersenyum. "Ya?"

Guratan senyum pada bibir Alexy itu terlihat sangat indah sekali. Senyumannya terasa tulus,
terasa damai, menenangkan hati, dan pada akhirnya gue pun menjadi sangat ingin berlama-
lama dalam memandangi senyuman manisnya itu. "Masih jauh ya puranya?" Tanya gue.
"Enggak." Alexy menggeleng seraya mengalihkan pandangannya dan menatap lurus ke depan.
"Palingan lima belas menit lagi."

Gue pun kemudian memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket dan menghela nafas
panjang melalui mulut. "Dingin banget ya Lex udaranya..."

"Ooh, itu namanya kode pengen dipeluk sama aku ya sayang?"

"Eh?" Gue tertegun, lalu kemudian gue tertawa pelan. "Mending kita peluk-pelukannya entar aja
pas di kamer, biar lebih ada privasinya gituuu."

"Ih pikiran kamu tuh ya!" Alexy tertawa.

Kami berdua tiba pada pintu masuk Pura Agung Jagatnatha Buleleng tepat pada saat matahari
mulai menampakkan sinar hangatnya dari ufuk timur sana yang langsung disambut oleh tiga
buah pintu batu besar berornamen. Pintu-pintu yang terbuat dari batu itu terlihat sangat megah
dan eksotis sekali dengan sebuah pintu utama yang berukuran lebih besar dari kedua pintu
lainnya, dan gue juga melihat ada beberapa buah payung tradisional yang berdiri tegak
menghiasi anak-anak tangganya.

Ketika gue dan Alexy masuk lebih dalam lagi, gue melihat ada beberapa orang wanita yang
mengenakan pakaian adat Bali dengan kebaya putih serta selendang kuning yang melingkar
pada pinggangnya, dan mereka juga sedang memegang sebuah sesembahan yang belakangan
gue ketahui bernama canang sari. Alexy pun kemudian menjelaskan secara singkat mengenai
prosesi sembahyang umat Hindu yang disebut dengan Tri Sandhya, dengan waktu ibadah pada
saat matahari terbit, sebelum pukul dua belas siang, dan yang terakhir adalah ketika hari mulai
beranjak sore.

Alexy menceritakan semua hal itu dengan semangat. Gue pun kemudian memperhatikan gerak
bibirnya pada saat ia sedang berbicara, menikmati ekspresi wajahnya, kedua matanya, dan gue
juga memperhatikan kedua tangan serta gerak tubuhnya yang luwes. Pada saat gue sedang
memperhatikan hal-hal kecil itu, entahlah, bibir gue malah menyunggingkan sebuah senyuman
tipis dengan sendirinya.

Gue merasa sangat bahagia sekali. Gue merasa sangat bahagia karena gue sedang berada di
pura ini, di tempat ini, hanya berduaan saja dengan Alexy bersama cerita masa lalunya.

"Heh! Bengong mulu! Denger ga aku ngomong apa?"

Gue pun kemudian tertawa dan mengacak-acak gemas rambutnya. "Denger dong!"

"Apa?"

"Ibadah ini namanya Tri Sandhya, tiga kali sehari, terus baca doa-doa yang aku ga ngerti, udah."

"Udah? Itu doang? Terus yang lainnya?"

"Hehehe..." Gue pun hanya bisa tertawa cengengesan yang kemudian langsung dicubiti oleh
Alexy.
Kami berdua berdiri secara bersisian, tidak jauh dari tempat dimana prosesi ibadah sedang
berlangsung. Kata Alexy, kita boleh memperhatikan prosesi ibadah mereka semua dengan
syarat bahwa kita tidak boleh mengganggu prosesi tersebut dan pada akhirnya kami berdua pun
memutuskan untuk berdiri di sini.

Sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada, gue kemudian memperhatikan mereka yang
sedang beribadah di depan sana. Ada beberapa orang anak kecil yang turut serta dalam ibadah
ini dan mereka juga didampingi oleh orang tua mereka masing-masing. Ekspresi wajah mereka
terlihat lucu dan sangat menggemaskan. Tetapi di balik wajah-wajah yang lucu itu, wajah mereka
juga tetap menyiratkan sebuah kedamaian yang kentara sekali pada saat mereka sedang
mengikuti serangkaian prosesi ibadah itu.

"Om deva suksma paramacintyaya nama svaha." Alexy menggumam.

"Hah? Apa kata kamu Lex?" Gue menoleh dan menatapnya dengan heran.

Alexy kemudian menoleh, menatap kedua mata gue lekat-lekat, lalu pada akhirnya dia
tersenyum manis seraya memeluk lengan kiri gue erat-erat. "Hormat pada Dewa yang tak
terpikirkan, yang maha tinggi, dan yang maha gaib."

Gue tersenyum.

"Om deva suksma paramacintyaya nama svaha."


"Hormat pada Dewa yang tak terpikirkan, yang maha tinggi, dan yang maha gaib."

Steal a Kiss
Siang ini, gue merasa tidak bersemangat dalam bekerja. Gue hanya bisa duduk terbengong-
bengong di depan layar monitor sambil menyangga pipi dengan sebelah tangan dan memain-
mainkan pointernya saja atau hanya sekedar memencet tombol pada papan keyboard secara
acak. Gue pun kemudian menghela nafas panjang melalui mulut sambil mengusap rambut ke
belakang seraya bangkit dari kursi.

"Mau kopi ga Gin? Gue mau ke pantry nih sekarang."

Tanpa menoleh kepada gue, Gina kemudian mengangkat ibu jari tangan kirinya dan
mengangguk pelan. "Yang biasa ya Bay."

"Sip."

Aneh. Pekerjaan gue hari ini memang masih sangat menumpuk dan gue juga perlu merevisi
beberapa pekerjaan sebelumnya, namun gue sama sekali tidak memiliki semangat untuk
mengerjakan semua hal itu. Gue merasa bosan dengan semua ini. Gue merasa bosan dengan
segala rutinitas sehari-hari setelah gue dan Alexy kembali dari Bali beberapa hari yang lalu. Ingin
sekali rasanya gue membuat sebuah escape plan lainnya demi mengurangi rasa bosan ini, tetapi
itu sepertinya tidak akan mungkin terjadi karena uang tabungan gue sendiri sudah terpakai untuk
liburan ke Bali kemarin.

"Bey!"

Gue menoleh ke belakang. "Eh, ada apaan Faz?"

"Elo dicariin tante Lia sama om Kumis tuh." Ujar Fazri seraya berdiri di samping gue dan mengisi
cangkirnya dengan air panas.

"Ada apaan ya kira-kira?"

Fazri mengangkat kedua bahunya. "Job lagi mungkin?"

"Astaga..." Gue menggelengkan kepala. "Mampus deh gue lama-lama. Kerjaan yang sekarang
aja belom kelar, masa udah mau dikasih job baru lagi?"

"Makanya Bey! Elo tuh kalo kerja jangan perfect-perfect banget! Jadi ribet kan sekarang?" Fazri
tertawa. "Gue balik duluan ke meja ya, salam hangat buat tante Lia yang semlohai itu."

"Najis!" Gue pun kemudian melempari Fazri dengan bungkus kopi seraya tertawa terbahak-
bahak.

***

Gue berjalan menuju ruangan pak Wisnu sambil merapikan kemeja serta mengencangkan dasi
dan membenarkan jam pada tangan. Lalu setelah gue mengambil nafas panjang beberapa kali,
gue pun kemudian mengetuk pintu kaca ruangan beliau yang ternyata sudah diisi juga oleh Lia
dan seorang wanita lainnya yang tidak gue kenali.

"Permisi..." Gue membuka pintu setelah dipersilakan oleh pak Wisnu. "Selamat siang pak Wisnu,
mbak Lia." Gue tersenyum.

"Selamat siang juga pak Bayu, mari, silakan duduk." Ujarnya. "Begini pak Bayu..."

"Iya? Bagaimana pak?"

"Saya sudah melihat track record dari pekerjaan bapak selama beberapa bulan ke belakang.
Saya cukup terkesan dengan pencapaian hasil kerja pak Bayu yang bisa mencapai target
sebelum deadline. Oleh karena itu..." Pak Wisnu menyandarkan punggungnya pada kursi, lalu
beliau tersenyum kepada gue. "...saya ingin mempercayakan sebuah proyek kantor kepada
bapak."

Gue mengkerutkan kening. "Proyek tentang apa ya pak sebelumnya?"

Pak Wisnu kemudian menjelaskan secara rinci mengenai proyek ini dan kemudian gue pun
langsung menyadari bahwa itu adalah sebuah proyek rutin kantor yang dilaksanakan setiap satu
tahun sekali. Sialnya lagi, gue pernah mendengar bahwa seseorang yang sebelumnya
memegang proyek ini pada tahun sebelumnya tidak dapat memenuhi keinginan para atasan
yang membuat ia menjadi kurang 'dilirik' oleh mereka, dan jika gue kembali mengulang
kesalahan yang sama pun gue akan mengalami hal itu, atau bahkan lebih buruk lagi.

"Jadi bagaimana pak Bayu?" Tanya beliau. "Bapak bersedia mengerjakan proyek ini?"

Ini adalah sebuah tawaran tanpa pilihan. Jika gue menolaknya, secara otomatis gue akan
langsung di-blacklistoleh pak Wisnu. Dan jika gue menerimanya, apakah gue bisa mengerjakan
proyek itu dengan baik?

"Baik pak." Jawab gue pada akhirnya. "Tapi sebelumnya, apa saya punya tim untuk
mengerjakan proyek ini?"

"Oh, saya kira bapak bisa sendiri." Pak Wisnu tertawa seraya menoleh kepada Lia. "Ibu Lia..."

Pada saat gue menolehkan kepala, Lia bersama seorang wanita yang tidak gue kenali itu terlihat
sedang berjalan menghampiri gue, yang membuat gue bangkit dari kursi untuk menyambut
kedatangan mereka berdua. Gue pun kemudian tersenyum untuk membalas Lia dan wanita itu
yang juga sedang tersenyum kepada gue.

"Mas Bayu, Ini data-data yang bakal mas butuhkan buat proyek ini. Semuanya lengkap ada di
situ." Lia memberikan sebundel dokumen kepada gue, lalu kemudian dia menoleh ke samping.
"Dan ini adalah anggota tim mas Bayu satu-satunya."

Gue pun menoleh ke arah wanita tersebut. Wanita cantik berambut hitam sepunggung itu
kemudian menjulurkan tangan putihnya kepada gue seraya tersenyum. Tersenyum, dengan
sebuah senyuman yang membuat gue merasa aneh dan familiar di saat yang bersamaan.

"Halo mas Bayu, Saya Levana."

***

Usut punya usut, ternyata Levana adalah seorang wanita yang sebelumnya bekerja pada kantor
regional Surabaya yang mendapatkan promosi sehingga dia dipindahtugaskan menuju kantor di
Jakarta yang secara otomatis dia pun langsung menjadi bawahan gue. Setelah pulang kerja sore
tadi, gue sedikit berbincang-bincang dengannya untuk saling mengakrabkan diri satu sama lain.

Dari obrolan itu, Levana ternyata mengenali gue karena kunjungan kerja gue pada kantor
regional Surabaya beberapa bulan yang lalu, tetapi gue hanya tertawa karena gue tidak dapat
mengingat dirinya.

"Si Levana cakep ga Bey? Cakepan mana sama gue?" Tanya Sita setelah gue menceritakan
semua hal tentang itu kepadanya.

"Ya cakepan cewek gue lah kemana-mana!" Gue tertawa.

"Eh, ngomong-ngomong, makasih ya buat baju Jogernya."

Gue menghisap rokok dalam-dalam, lalu gue menghembuskan asap putihnya ke udara. "Tapi itu
gak gratis Sit." Ujar gue. "Lo harus bayar sesuatu sama gue."

"Loh? Emangnya gue harus bayar pake apaan?"

Gue pun kemudian menyeringai jahil seraya membisikkan sesuatu pada telinganya. "Badan lo."

"Bey..." Panggil Sita, yang membuat gue menoleh.

Lalu sedetik kemudian, tanpa bisa gue perkirakan sebelumya, Sita menarik kepala gue untuk
mendekat dan dia langsung mengecup ujung bibir gue, lembut, dan perlahan-lahan dia pun
menggeser bibirnya hingga kami berdua saling berciuman untuk beberapa saat. "Fuck me hard
please..."

Gue pun kemudian langsung menarik bibir dan menoyor lembut keningnya. "Elo tuh ye! Kagak
liat apa gue udah punya cewek?"

"Selagi ceweknya ga tau, ya kenapa enggak?" Sita tertawa. "Bey..."

"Ya?"

Sita kemudian menarik dan melipat kedua kaki di depan dadanya secara perlahan, lalu dia
menyandarkan dagu pada lututnya seraya menatap kosong ke arah lantai. "Lo sama Alexy apa
kabar?" Tanya Sita tiba-tiba.

"Gue sama Lexy apa kabar? Kok lo tiba-tiba nanya itu?"

"Enggak..." Sita menggeleng. "Maksud gue, hubungan lo berdua apa kabar?"

"Ooh..." Gue kemudian kembali menghembuskan asap putih ke atas dan membiarkannya
menghilang di udara. "Hubungan gue sama dia baik-baik aja kok. Kenapa emangnya?"

Lalu perlahan-lahan, Sita menengadahkan kepalanya untuk menatap gue seraya menyimpan
helai-helai rambut hitam panjangnya di balik telinga, sebelum pada akhirnya Sita
menyunggingkan sebuah senyuman tipis yang terlihat terpaksa sambil menggeleng pelan.
Temptation of the Night

"Denger-denger, anak baru yang itu sekarang jadi anak buah lu ya?"

Gue melirikkan mata kepada Gina, lalu kemudian menyantap suapan terkahir dari bakmie ke
dalam mulut seraya menganggukkan kepala kepadanya. "Kenapa?"

"Enggak, gue heran aja. Kenapa ya cewek-cewek di lingkaran elu banyak banget yang
cantiknya?"

"Uhuk..." Gue pun tersedak dan langsung meminum es jeruk yang tersaji di atas meja setelah
mendengar Gina berkata seperti itu. "Yakin banget banyak yang cantiknya Gin?"

"Pertama kan ada si Lia, terus ada temen cewek satu kost elu, terus ada cewek lu, nah terus
sekarang ada si Levana. Cantik-cantik semua kan orangnya?"

"Cantik itu relatif Gin. Tapi menurut gue, cuman ada satu cewek yang menurut gue paling cantik,
ya cuman Alexy seorang." Gue kemudian mengelap bibir dengan menggunakan tissue, lalu gue
bangkit berdiri dan merapikan kemeja seraya menoleh ke arah Gina. "Gue balik ke dalem duluan
deh ya, tanggung banget ada kerjaan yang dikit lagi selesai."

"Oke." Gina mengangguk dan kembali meneruskan makan siangnya.

Sambil berjalan pada lorong yang menghubungkan antara kantin dan ruang kerja, gue merogoh
saku celana dan mengambil Blackberry kesayangan untuk membalas beberapa chat dari Alexy
dan mengecek to do listselanjutnya pada hari ini. Lalu pada saat gue sedang menunggu pintu lift
untuk terbuka, ada seseorang yang memanggil gue dari belakang, yang membuat gue
membalikkan badan dan menoleh ke arahnya.

"Eh, baru mau makan Lev?"

Levana kemudian tersenyum kepada gue seraya menganggukkan kepalanya. "Iya nih mas, aku
barusan abis ngejar anak divisi sebelah buat minta data yang mas Bayu butuhin."

"Waduh..." Gue menggaruk pelipis. "Makasih loh udah mau repot-repot, padahal itu mah tinggal
minta via email aja, ga usah sampe ke ruangan divisi sebelah juga." Gue tertawa.

"Ga apa-apa deh mas, biar kita bisa cepet kerjanya."

"Oh, yaudah, kalo gitu sekarang saya temenin ya makan siangnya?"

"Eh, ga usah mas, ga usah..." Levana menggelengkan kepalanya. "Aku sendirian juga ga apa-
apa kok."
"Saya memaksa lho..." Gue tersenyum dan memandangi kedua mata Levana lekat-lekat.

Levana pun tersipu malu seraya mengalihkan pandangannya dari tatapan gue, sebelum pada
akhirnya dia mengangguk pelan dan kami berdua kemudian berjalan menuju kantin kantor di
belakang sana. Dari kejauhan, gue dapat melihat Gina yang sedang menatap ke arah gue
sambil terbengong-bengong, lalu kemudian gue membalasnya dengan sebuah kerlingan mata
untuk menunjuk ke arah Levana yang sedang berjalan di sisi gue.

"Mau makan apa Lev?"

"Hmmm, apa ya?" Levana membolak-balikkan menu yang sedang ia pegang pada tangannya.
"Tom Yam aja deh, enak kayaknya makan itu siang-siang gini."

"Awas entar perutnya kaget kalo langsung makan yang asem-asem."

"Tenang aja mas, aku udah sering makan Tom Yam kok!" Ujarnya semangat.

Tidak lama setelah itu, Blackberry yang disimpan di dalam saku celana gue bergetar beberapa
kali yang menandakan adanya sebuah panggilan masuk. Gue pun kemudian mengambil
Blackberry itu, lalu gue melihat nama seseorang yang tertera pada layar. "Sebentar ya Lev..."

"Iya." Levana membalas senyuman gue seraya merapikan poni rambutnya.

"Halo?"

"Halo? Bay?"

"Ya? Kenapa Lex?"

"Kamu sekarang lagi apa?"

"Aku sekarang masih di kantin nih sama temen kantor, kamu lagi apa? Udah makan siang?"
Tanya gue.

"Udah kok, sekarang lagi mau balik lagi ke dalem. Kamu masih makan siang ya sekarang?"

"Enggak, aku tadi udah selesai makan siangnya. Ada apa Lex?"

"Nanti malem kita makan keluar yuk?"

"Boleh. Mau makan dimana?"

"Eh, entar aku BBM-in lagi nanti ya? Ada Dion nih soalnya."

"Ooh." Gue mengangguk paham. "Oke deh, bye, love you Lex."

"Love you too, Bayu..."

Gue kemudian mematikan telepon dan menatap layarnya untuk sejenak, lalu gue menoleh ke
arah Levana dan tersenyum kepadanya. "Sori ya, ada telepon tadi."
"Ga apa-apa kok mas." Levana menganggukkan kepalanya. "Telepon dari siapa?"

"Alexy, pacar saya." Ujar gue. "Mau liat fotonya?"

Levana tersenyum. "Boleh."

Gue pun kemudian memperlihatkan beberapa foto Alexy yang berada pada galeri gue. Levana
kemudian mencondongkan badannya untuk memperhatikan foto-foto itu sambil sedikit
memiringkan kepala, lalu dia kembali menatap gue seraya menyunggingkan sebuah senyuman
yang terlihat tidak percaya. "Pacarnya cantik banget mas, udah berapa lama pacarannya?"

"Belum lama kok, sekarang baru jalan tiga bulan." Ujar gue. "Kamu sendiri gimana? Udah punya
pacar."

"Belum punya mas." Levana menggeleng lemah seraya menghela nafas panjang dan
menyandarkan punggungnya pada kursi. "Aku orangnya terlalu tertutup buat cowok-cowok yang
berusaha ngedeketin aku, jadi mereka ga ada yang mau maju sampe sekarang. Susah katanya
buat ngedeketin aku."

"Ah, merekanya aja yang ga mau bener-bener usaha. Masa sih ga ada cowok yang mau jadi
pacar kamu?"

"Entahlah mas." Levana tertawa.

***

"Gimana kantor hari ini sayang?" Tanya gue.

"Capek banget Baaay..." Alexy memegang kening seraya memejamkan kedua matanya. "Tiap
hari kerjaan aku kayak yang makin numpuk terus."

Gue pun kemudian tertawa pelan seraya membelokkan mobil untuk masuk ke dalam basement
dari salah satu pusat perbelanjaan ternama di kota ini. "Tapi kamu bisa kan buat ngerjain itu
semua?"

"Insyaallah aku bisa." Ujarnya.

"Yang penting kamu masih bisa buat ngerjain itu semua. Oh iya, sama satu lagi, kamu juga
jangan lupa buat jaga kesehatan."

"Kok kamu aneh ya Bay?"

"Aneh gimana?"

"Ga tau..." Alexy menggeleng. "Biasanya cowok-cowok yang aku kenal tuh pasti ngomongnya
'yang sabar ya' atau 'semangat ya', tapi kamu malah nanyain aku bisa ngerjain itu semua apa
enggak. Aneh kan?"

"Oh itu aneh tuh ya namanya? Tapi kok masih ada ya cewek cantik yang cantiknya pake banget,
tapi dia malah sayang sama aku?"

Alexy kemudian memiringkan badannya seraya menatap gue dengan tajam. "Siapa cewek yang
sayang sama kamu Bay?!"

Gue pun menoleh dan tertawa cengengesan kepadanya. "Kamu."

"Nyebelin!" Alexy pun tertawa sambil mencubiti lengan gue hingga berkali-kali.

Kami berdua kemudian berjalan sambil bergandengan memasuki lobby dari pusat perbelanjaan
ini. Gue pun kadang-kadang menjadi geli sendiri ketika gue sedang bergandengan tangan
dengan Alexy. Dulu, ketika gue belum memiliki seorang pacar, gue sering melihat pasangan
muda-mudi yang bersliweran pada pusat perbelanjaan seperti ini dan gue pun menatap mereka
semua dengan sebuah tatapan iri sekaligus aneh. Iri karena gue tidak mempunyai pacar dan
aneh karena gue merasa iri tentang hal itu.

Tetapi sekarang, malah gue yang sedang ditatap iri oleh banyak pria yang berpapasan dengan
kami berdua walaupun tidak sedikit dari pria-pria itu yang sedang berjalan bersama pasangan
mereka masing-masing.

"Lucu ya Lex..." Gue senyam-senyum sendiri seraya menoleh kepadanya.

"Lucu apanya?"

"Iya, kalo kita lagi jalan kayak gini, aku sering merhatiin, kok banyak banget ya cowok yang
ngeliatin kita berdua?"

Alexy pun kemudian tertawa seraya mempererat genggaman tangannya. "Kalo cowok sih masih
boleh, yang penting jangan ada cewek yang ngeliatin kamu."

Gue tertawa.

***

Alexy dan gue memasuki sebuah restoran cepat saji yang menyajikan berbagai menu makanan
khas Jepang. Ketika kami sedang mengantri untuk memesan makanan, hanya kurang dari lima
detik saja gue sudah menjatuhkan pilihan kepada sebuah menu untuk makan malam hari ini,
tetapi Alexy masih terlihat kebingungan dalam memilih menu pilihannya. Gue pun kemudian
memegang kedua bahunya dari belakang sambil membisikkan satu buah menu yang menurut
gue cocok untuk dirinya, lalu Alexy baru saja dapat menentukan pilihannya atas rekomendasi
dari gue itu.

Kami berdua kemudian menyantap hidangan yang tersaji di atas meja sambil mengobrol tentang
apa yang terjadi di kantor pada hari ini. Gue menceritakan tentang seluruh tetek bengek dari
proyek yang sedang gue kerjakan bersama Levana, lalu Alexy pun menceritakan tentang rekan-
rekan kerja pria satu kantornya, yang seperti biasa, selalu mencuri-curi kesempatan untuk
berbincang-bincang dengannya pada jam istirahat.

"Kok kamu keliatan lesu gitu sih sayang?" Tanya gue. "Capek banget ya sama kantor hari ini?"
"Aku lagi ga nafsu makan Bay." Alexy menggeleng lemah. "Kamu aja yang abisin ya? Mubadzir
kalo ga aku abisin..."

"Yaudah mana sini." Gue kemudian mengambil mangkuk hitam berisi nasi dari tangan Alexy, lalu
gue memakannya.

"Bay...?"

"Hmmm?" Gue menggumam.

"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu..."

"Ngomong apa?"

"Aku sama beberapa rekan kerja aku dapet job training selama tiga minggu di Bandung."
Ujarnya, lalu tiba-tiba ia berhenti berbicara. Alexy terdiam untuk beberapa saat. Alexy tidak
melanjutkan perkataannya itu sambil sesekali memain-mainkan tissue yang sedang ia pegang
dan mencoba menghindari gue yang sedang menatapnya dengan sebuah tatapan penasaran,
sebelum pada akhirnya dia berkata sesuatu dengan lirih, tetapi perkataannya itu dapat gue
dengar dengan jelas.

"Dion jadi salah satu yang ikut ke sana..."

Mulut gue langsung berhenti mengunyah. Rasa gurih yang sebelumnya terasa, kini menjadi
terasa hambar. Aktivitas makan gue pun seketika terhenti. Gue kemudian menyimpan mangkuk
yang sedang gue pegang secara perlahan beserta sepasang sumpit di atasnya, lalu gue
menatap wajah Alexy yang terlihat ragu-ragu sambil memiringkan kepala dan menarik nafas
dalam-dalam, mencoba untuk meredam setiap shock therapy yang baru saja gue rasakan.

Holding the Hope

"Ya mau gimana lagi? Udah tuntutan pekerjaannya kayak gitu. Terus gue bisa apa? Ga mungkin
kan kalo misalkan gue nyuruh dia buat resign? Childish banget namanya kalo gue nyuruh dia
buat resign." Gue menopang dagu dan menoleh ke salah satu sudut dari cafe ini sambil
menghela nafas kasar. "Menurut lo, gue harus gimana sekarang?"

"Menurut gue..." Sita kemudian menyimpan sendok dan garpunya di atas piring dalam keadaan
terbalik, lalu dia mengelap bibirnya dengan menggunakan tissue dan menatap gue dalam-dalam.
"Lo harus yakin sama cewek lo walaupun kadang-kadang lo sendiri pasti merasa ga yakin Bey."
Ujarnya.

"Ngaca dulu sana nyet! Dulu waktu lo LDR cuman seminggu aja udah uring-uringan! Takut ini
lah, takut itu lah, tapi sekarang malah nasehatin gue harus gimana. Kan kampret namanya." Gue
tertawa.

"Yeee! Itu sih jaman dulu ya! Jaman duluuu banget!" Sita membalas tawa gue.
"Tapi gimana ya Sit biar gue bener-bener bisa yakin sama dia? Gue takut..."

Sita kemudian mencondongkan badannya dan dia menarik lembut pipi gue. "Takut sama apaan
siiih?"

"Yah..." Gue menghela nafas panjang. "Ini hubungan percintaan gue yang untuk pertama
kalinya, gue masih awam sama semua ini, gue cuman takut kalo Alexy bakal... Yaaa... Lo tau
laaah..."

"Apa? Alexy bakal ngelakuin apa yang mantan gue lakuin?"

Gue mengangguk lemah. "Iya..."

"Bey, dengerin gue ya..." Sita membenarkan posisi duduknya, lalu dia menatap kedua mata gue
dalam-dalam sambil melipat tangan di atas meja. "Gue yakin banget kalo Alexy ga bakal kayak
gitu, gue yakin seratus persen. Kenapa? Mana mungkin dia tahan ngejomblo segitu lamanya
kalo dia ga berpegang teguh sama apa yang dia yakini. Make sense kan?"

"..." Gue mengangguk.

"Nah, sekarang..." Sita kemudian menggenggam sebelah tangan gue, lalu dia tersenyum seraya
memiringkan kepalanya. "Lo yakin sama dia kan?"

Kadang-kadang dunia itu memang terasa aneh. Sita, yang saat ini notabenenya sedang
menjomblo, malah bisa memberi nasihat-nasihat dan harapan tersebut kepada gue seperti
seseorang yang ahli dalam seluk beluk percintaan, sementara gue yang sedang menjalani
hubungan ini pun tidak dapat berpikir hingga ke titik itu, padahal gue sering memberi beberapa
nasihat serupa kepadanya dulu.

Lalu sambil dengan menyunggingkan sebuah senyuman, gue menganggukkan kepala seraya
membalas genggaman tangannya, menggenggam erat-erat dari sebuah harapan kecil, yang
semoga saja dapat menjadi pegangan gue kedepannya dalam menjalani semua ini.

***

Daun-daun berwarna oranye cerah terlihat berguguran di depan sana ketika angin bertiup. Gue
pun kemudian mengancingkan mantel hitam tebal yang gue kenakan untuk menghalau angin
tersebut, sebelum pada akhirnya gue kembali melangkah di bawah rindangnya dedaunan pohon
Maple yang siap untuk berguguran sambil menggenggam sebuah Nikon pada tangan.

Setelah sekian lama gue berjalan di tengah-tengah taman ini, gue pun pada akhirnya tiba pada
sebuah jembatan ikonik yang bernama Bow Bridge. Pemandangan musim gugur dari atas sini
terlihat sangat indah sekali. Danau buatan yang dikelilingi oleh pepohonan yang daun-daunnya
siap untuk berguguran, cahaya matahari berwarna oranye cerah di kaki langit yang terhalangi
oleh gedung-gedung tinggi, riak-riak air pada danau di bawah sana, serta semilir angin yang
berhembus pun telah membuat gue betah untuk tetap menyandarkan punggung pada tepi
jembatan sambil memperhatikan mereka semua yang sedang menikmati waktu luangnya pada
Central Park ini.

"Udah puas foto-fotonya mas?"

"Eh..." Gue menoleh, lalu menggeleng pelan seraya tersenyum kepadanya yang baru saja tiba di
sini. "Belum sayang, aku dari tadi cuman jalan-jalan aja sambil ngeliatin pemandangan di sini."

"Kebiasaan banget kaaan kalo udah nyampe sini mah tujuan awalnya langsung lupa. Kamu pasti
langsung muter-muter sendiri di sini sampe ninggalin aku sama Faros di Literary Walk tadi."
Godanya.
"Kapan lagi coba aku bisa berdiri di tempat shooting Spiderman 3 kalo bukan sekarang? Iya
kan?" Gue tertawa.

"Iya deeeh." Dia tersenyum, lalu dia menoleh dan menunjuk ke salah satu sudut dari tempat ini.
"Jalan ke sana yuk?"

"Yuk." Gue pun mengangguk seraya mengambil alih baby stroller bersama Faros yang sedang
asyik ngempengdi dalamnya.

Kami kemudian berjalan menuju sisi dari Bow Bridge sambil berbincang-bincang mengenai hal-
hal kecil tentang kota ini, New York City, bersama seluruh mimpi dan harapan yang telah
digantungkan oleh semua orang yang berada di sini. Mengutip dari lirik lagu Empire State of
Mind-nya Jay-Z: 'these streets will make you feel brand new, the lights will inspire you,' itu
sepertinya memang benar adanya.

Kadang-kadang, ketika gue mulai merasa lelah dan penat dengan seluruh pekerjaan dan
kehidupan yang gue jalani, gue selalu menyempatkan diri untuk mengajak istri dan anak gue
untuk mengunjungi salah seorang kerabat yang kebetulan tinggal di sini, lalu kami pun akan
berjalan-jalan untuk menikmati keindahan dari kerlap-kerlip lampu pada Times Square atau
hanya sekedar menikmati sore hari yang cerah pada Central Park, seperti apa yang sedang
kami lakukan saat ini.

Believe me, tidak ada satupun hal di dunia ini yang dapat mengalahkan sebuah perasaan
bahagia ketika kita sedang merasakan momen-momen berharga bersama orang-orang yang kita
sayangi, dan momen-momen yang berharga itu pun selalu menawarkan berbagai macam
sensasi bahagia yang berbeda di setiap momennya.

"Ngg... Hei..." Gue menghentikan langkah kaki, yang kemudian diikuti olehnya.

"Ya?" Tanyanya heran.

Gue pun tersenyum, lalu gue mengambil dan menggenggam sebelah tangannya. "Makasih ya
sayang buat semuanya, buat semua kebahagiaan yang udah kamu kasih buat aku, buat seorang
buah hati yang udah kamu kasih buat aku, buat seluruh pengorbanan yang udah kamu lakukan
buat aku, aku sangat berterimakasih untuk itu semua."

"Kok kamu tiba-tiba jadi mellow gini sih mas?" Dia tertawa.

"Yah, aku juga ga tau kenapa bisa tiba-tiba jadi mellow gini..." Gue mengangkat kedua bahu.

"Mas..." Panggilnya seraya menatap gue teduh dengan kedua bola matanya yang indah.
"Setelah apa yang kamu lewati, setelah apa yang aku jalani, sama setelah apa yang sudah kita
tempuh bersama-sama, aku sangat bersyukur sekali kita udah bisa melalui itu semua. Walaupun
aku tau itu semua sama sekali ga mudah buat kita berdua, aku mau berterima kasih karena
kamu udah mau berjuang untuk kita."

Gue pun kemudian mendekatkan diri untuk mengecup keningnya lamat-lamat, sebelum pada
akhirnya mempererat genggaman gue pada tangannya. "Will you always be my hope, honey?"

Dia tersenyum. "I will, and I will always be."


In New York
Concrete jungle where dreams are made of
There's nothin' you can't do

Now you're in New York


These streets will make you feel brand new
The lights will inspire you
Let's hear it for New York, New York,
New York

Jay-Z - Empire State of Mind

One Innocent Dinner

Jakarta pada siang hari ini terasa sangat panas sekali. Pendingin ruangan yang tersedia pun
sepertinya tidak dapat mengalahkan rasa panas tersebut, dan bahkan gue juga sering bolak-
balik menuju toilet hanya untuk sekedar membasuh muka serta melonggarkan dasi agar gue
merasa lebih nyaman dalam bekerja nantinya.

"Lev, coba di cek lagi tentang return of invesment-nya kalo kita nge-invest 7M di proyek A." Ujar
gue seraya mengibaskan tangan pada leher.
"Oke, bentar ya mas..." Levana kemudian mengecek data-data yang terdapat pada
komputernya, lalu dia menoleh kepada gue. "Kecil mas, cuman dapet 13%."

"Udah bersih tapinya itu?"

"Udah mas, udah dikurangin sama semua beban biaya lainnya. Tapi ini juga kan masih estimasi,
kita belum tau kalo di lapangan hasilnya bakalan kayak gimana."

"Hmmm..." Gue manggut-manggut seraya memainkan bibir. "Terus kalo misalkan kita nge-invest
4M di proyek B, kita bakal dapet berapa?"

"Nah kalo yang itu kita bakal dapet lebih besar persenannya. Kita bakalan dapet sekitar 16%.
Gimana tuh jadinya mas?"

"Susah juga sih ya... Pak Wisnu kan maunya masing-masing persenan sama jumlah return of
investment-nya tuh besar, dan kalo bisa lebih besar dari tahun kemarin." Ujar gue. "Ada alternatif
lain ga kira-kira buat itu semua?"

Levana kemudian menatap gue dengan sayu seraya menggeleng pelan, yang seketika saja
membuat rasa pening gue semakin menjalar hingga ke ubun-ubun.

***

"Maaf ya mas, aku belum bisa bantu-bantu banyak tentang proyek kita." Ujar Levana seraya
memeluk sweater di depan dadanya. "Aku udah nyoba nyari alternatif lain seharian tadi, tapi
kayaknya susah banget buat nyari win-win solutuion buat kita sama kemauan pak Wisnu..."

"Udah deh gampang tentang hal itu mah, nanti aja kita pikirin lagi gimana baiknya buat kita." Gue
tersenyum. "Eh, Lev? Kamu pulang pake apa?"

"Aku pulang pake Trans Jakarta mas, kenapa?"

"Hah?" Gue tercengang. "Semalem ini? Pulang pake Trans Jakarta?"

Levana mengangguk. "Iya."

"Enggak, enggak. Yuk saya anterin pulang." Lalu sebelum Levana sempat menolak tawaran itu,
gue langsung mengangkat telunjuk dan menggeleng kepadanya. "No... No... No..."

Levana pun tertawa kecil seraya menganggukkan kepalanya.

***

Sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang yang cocok untuk menemani dinginnya Jakarta pada
malam hari ini adalah Alexy. Mengobrol berdua di halaman belakang rumahnya, mendengar
setiap keluh kesah mengenai pekerjaannya di kantor, atau hanya sekedar berangkulan di atas
sofa sambil menikmati film pada laptop pun dapat membuat gue kembali bersemangat. Tetapi
untuk saat ini, sepertinya gue harus melewati malam-malam yang dingin itu sendirian tanpa
kehadiran Alexy yang hanya bisa gue raih dengan menggunakan telepon serta chat yang kami
berdua kirimkan.
Gue pun kemudian menyandarkan kepala pada sofa seraya mengangkat kedua tangan yang
sedang memegang handphone, menatap kepada sebuah foto antara gue dan Alexy yang
sedang ber-selfie ria pada salah satu sudut halaman rumahnya. Gue tidak pernah menyangka
bahwa rasa kangen itu sangatlah menyiksa sekali. Tiap-tiap gue sedang melakukan sesuatu,
tiap-tiap gue sedang bekerja, bayang-bayang akan Alexy selalu melintas di dalam pikiran yang
semakin membuat gue merasa kangen terhadapnya.

Working is sucks. Long distance relationship is sucks. Jam kerja gue dengan Alexy dalam
beberapa hari terakhir bisa dikatakan sangat berbeda sekali sehingga kami berdua bahkan tidak
dapat saling berkomunikasi dalam seharian penuh, karena Alexy akan selalu pulang lebih awal
ketimbang gue yang sering mengambil lembur hingga pukul sepuluh malam demi
terselesaikannya proyek yang diberikan oleh pak Wisnu kepada gue dan Levana.

"Mas Bayu?" Ujar sebuah suara, yang langsung membuat gue menoleh ke arahnya.

Levana yang gue lihat pada saat ini terlihat sangat berbeda sekali dengan penampilan sehari-
harinya di kantor. Tidak ada lagi rambut yang di-blow, tidak ada lagi blazer dan rok span yang
selalu ia gunakan, tidak ada lagi stiletto tinggi yang menempel pada kedua kakinya yang jenjang,
lalu yang terakhir, tidak ada sedikitpun make up yang menempel pada wajahnya.

Entah apa karena gue yang baru bisa berinteraksi dan memperhatikannya secara lebih selain di
kantor, gue tidak tahu secara pasti, tetapi gue merasa bahwa Levana terlihat sangat cantik sekali
di mata gue pada malam hari ini. Rambut hitam panjangnya itu ia biarkan tergerai rapi di kedua
sisi dadanya dengan poni yang dibelah pinggir, lalu ditambah dengan piyama berbentuk dress
berlengan pendek yang dikenakannya, Levana telah sukses membuat gue terdiam untuk
sejenak sambil tetap memandangi dirinya tanpa bersuara.

"Emm, mas?"

"Eh, udah Lev? Mau keluar sekarang?"

"Bentar ya mas, aku ambil sweater dulu."

"Oke." Gue pun mengangguk seraya tersenyum kepadanya.

Aneh. Gue tidak mengerti kenapa gue menerima ajakan Levana untuk mampir ke rumahnya.
Gue masih tidak mengerti kenapa gue menerima tawaran itu dan malah melupakan setumpuk
pekerjaan yang seharusnya gue cicil di dalam kostan, yang pada akhirnya membuat gue merasa
kikuk ketika sedang berjalan di samping Levana setelah melihatnya menggunakan penampilan
yang sangat berbeda dengan apa yang selalu gue lihat, seolah-olah ada sisi lain yang ingin
ditunjukkan oleh Levana kepada gue pada malam hari ini.

"Mas, mas Bayu sendiri ngerasa nyaman ga sih sama pekerjaan mas yang sekarang?" Tanya
Levana pada saat kami sedang berjalan menuju salah satu tempat yang menjual nasi goreng di
depan sana.

"Yah, gimana ya?" Gue memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket seraya menaikkan
kedua bahu. "Kalo jawaban aku sih, aku ngerasa ga nyaman sama ini semua. Bangun subuh-
subuh, pergi macet-macetan, pusing di kantor, pulang capek. Ga enak banget kan?"
Wait, did I just say 'aku'?!

"Tapi kok mas Bayu bisa tahan?"

"Kalo itu mah beda lagi namanya Lev." Ujar gue.

"Ngg, maksudnya mas?"

"Selain gaji yang kita terima, kita juga pasti punya goal tersendiri kan kenapa kita memilih untuk
bekerja di perusahaan itu?"

"Goal?" Tanyanya dengan heran. "Emangnya goal mas Bayu sendiri udah kerja di perusahaan
ini tuh apa?"

Gue menoleh, lalu gue tertawa cengengesan kepadanya. "Keliling dunia gratis."

"Hahaha..." Levana tertawa. "Ada-ada aja deh mas..."

"Eh Lev! Awas!"

Lalu secara reflek gue langsung merangkul bahu Levana agar mendekat dan berjalan lebih ke
pinggir ketika gue menyadari ada sebuah motor yang akan menyerempetnya dari belakang.
Tetapi bodohnya, setelah gue menyuruh Levana untuk berjalan lebih ke pinggir, gue malah tidak
bergeser ke sisi lain sehingga kami berdua pun saling berhimpitan antara satu sama lainnya.

Samar-samar gue dapat menghirup aroma rambut serta wangi khas yang hanya dimiliki oleh
Levana ketika kami berdua sedang berangkulan, menghirup sebuah wangi harum
yang ternyata terasa sangat nyaman sekali setelah gue baru menyadari akan hal itu.

"Mmm, mas?" Panggil Levana. "Maaf..."

"Eh..." Buru-buru gue pun langsung melepaskan rangkulan pada bahunya, lalu kemudian gue
menggaruk-garuk pelipis dengan canggung yang membuatnya tertawa kecil.

Gue kemudian hanya bisa menghela nafas pelan seraya menyesali sebuah kebodohan karena
telah melakukan hal itu kepada Levana. Tetapi, this is not the time to question it. This is just a
time for one innocent dinner.

One fucking innocent dinner, berdua, hanya bersama Levana seorang.

Three Point

"Mau pulang ya mas?"


"Eh..." Gue melepas lipatan tangan pada dada, lalu gue menoleh ke belakang dan tersenyum
kepadanya sambil menghiraukan rintik hujan yang sedang turun pada lobi di depan sana. "Iya
nih Lev, mumpung lagi bisa pulang cepet, bosen di kantor terus." Gue terkekeh.

"Emm, mas? Temenin aku makan malem yuk?" Ajaknya. Lalu sebelum gue sempat berkata apa-
apa, Levana pun langsung melanjutkan perkataannya itu. "Tapi kalo misalkan mas Bayu ada
acara, ga apa-apa kok, aku sendirian aja mas..."

"Waduh, maaf ya Lev." Gue menggaruk tengkuk. "Bukannya aku mau nolak ajakan kamu, tapi
malem ini aku udah ada acara. Ngedadak banget lagi acaranya..." Ujar gue.

"Yaudah deh, ga apa-apa kok mas, aku makan malem sendiri juga gak pa-pa kok..." Levana
berkata dengan lesu sambil sedikit menundukkan kepalanya.

"Mau tau ga acara aku malem ini tuh apa?"

"Apa?"

Gue kemudian mengangkat dagunya dengan menggunakan telunjuk, lalu gue menatap kedua
mata Levana dalam-dalam dan tersenyum kepadanya. "Makan malem sama kamu Lev."

Seketika saja Levana tersipu seraya menyunggingkan sebuah senyuman tipis pada bibirnya.

***

Gue menatap kosong kepada layar hitam Blackberry yang sedang gue pegang, lalu gue
menggenggamnya erat-erat seraya menggeleng pelan karena menyesal sudah tidak mengisi
baterainya terlebih dahulu di kantor yang membuat gue tidak dapat mengontak Alexy dan
memberinya kabar gue pada saat ini. Gue pun kemudian berjalan menuju pembatas kaca seraya
memasukkan Blackberry ke dalam saku celana, lalu gue menyandarkan lengan di atasnya dan
menyapu pandangan ke seluruh isi dari pusat perbelanjaan ini sambil menunggu Levana yang
sedang berada di dalam toilet.

Entah sudah berapa lama gue melamun sambil mengamati orang-orang yang sedang berlalu
lalang pada koridor di bawah sana, tetapi sesaat kemudian, pandangan gue langsung tertuju
kepada seorang wanita yang sedang berpegangan tangan dengan pacarnya, seorang wanita
yang sangat gue kenali sekali, dan untungnya saja wanita itu sedang tidak menoleh kepada gue
dan dia langsung menghilang ketika mereka berdua masuk ke dalam salah satu tenant yang
menjual beragam fashion wanita.

Shit!

Kenapa Muthia harus ada di sini, di tempat ini, saat ini, ketika gue sedang berdua dengan
Levana?

"Yuk mas..." Ujar sebuah suara.

Gue pun membalikkan badan secara perlahan, lalu gue tersenyum dengan kecut kepada Levana
yang kini sedang berdiri tepat di depan badan gue, bersama seluruh dandanannya yang kembali
terlihat rapi seperti tadi pagi dan kini dia juga terlihat lebih...
Cantik...

"Umm, beneran kita mau makan malem disini Lev?" Tanya gue kemudian.

"Iya." Levana mengangguk. "Kenapa emangnya mas?"

"Ah, enggak, yuk kita langsung kesana aja sekarang." Gue pun kemudian memberikan sebuah
senyuman tipis kepada Levana dan mencoba untuk terlihat se-natural mungkin agar dia tidak
mencurigai tentang rasa gugup gue terhadap Muthia tadi.

Restoran yang memiliki jarak hanya beberapa puluh meter saja kini terasa sangat jauh sekali.
Selama berjalan, tidak jarang gue memperhatikan keadaan dan melihat wajah dari orang-orang
yang berlalu lalang di sekitar sini untuk memastikan bahwa Muthia tidak berada pada lantai yang
sama dengan kami berdua, walaupun kemungkinan bahwa Muthia akan berada di sini itu
masih tetap ada.

"Kenapa mas?" Tanya Levana tiba-tiba. "Kok dari tadi kayak yang ga nyaman gitu keliatannya?"

"Engg, enggak..." Gue menggaruk pelipis dan menggeleng pelan. "Laper aja kali ya makanya
aku pengen cepet ke sana?"

"Ah, aneh deh mas Bayu ini..." Levana tertawa.

Restoran yang jaraknya terasa sangat jauh itu kini sudah berada di depan gue. Kami berdua pun
kemudian berjalan memasuki restoran tersebut dan duduk pada salah satu meja yang lokasinya
agak tidak terlihat dari jendela agar Muthia tidak dapat melihat kami berdua jika dia melintas di
depan sana. Lalu setelah kami berdua memesan makanan, hening pun menghinggapi gue dan
Levana.

Gue hanya bisa menatap Levana dengan sebuah tatapan yang tidak terlalu fokus karena pikiran
yang bercabang, sementara Levana balik menatap gue sambil sedikit memiringkan kepala yang
membuat rambut hitam mengkilapnya itu menjuntai ke samping.

"Capek ya mas?" Tanya Levana.

Gue pun tersenyum tipis, lalu gue menunduk dan tertawa kecil. "Aneh ya Lev..."

"Hah? Aneh? Aneh gimana?"

"Yaaa... Aneh aja." Gue menoleh kepadanya, lalu gue menghela nafas panjang seraya melipat
tangan di atas meja. "Oh iya, udah denger gosip tentang rolling itu Lev?"

"Udah mas, aku kayaknya ga akan di rolling kali ya? Aku kan masih anak baru di sini." Ujarnya
sambil menopang dagu dengan sebelah tangan.

"Mungkin bisa juga di rolling, eh, tapi kamu sekarang belum punya partner selain satu team
sama aku tentang proyek ini kan?"

"Iya mas, aku belum punya partner kerja selain sama mas Bayu, tapi kadang-kadang aku juga
suka bantuin mas Fazri kok, kasian kerjaan dia banyak terus."

"Hati-hati lho, gitu-gitu juga si Fazri tuh mantannya tersebar di Indonesia."

"Hahaha..." Levana tertawa. "Tapi enggak deh kayaknya mas, dia bukan tipe aku banget
soalnya."

"Emangnya..." Gue mencondongkan badan, lalu gue menatap kedua matanya lekat-lekat sambil
tersenyum. "Cowok yang 'tipe Levana banget' itu kayak gimana sih?"

Levana pun kemudian menunduk dan memainkan jemari tangannya di atas meja, lalu dia
berkata sesuatu dengan lirih. "Cowok yang kayak mas Bayu..."

"Hah? Apa Lev?"

"Eh, enggak mas, enggak...!" Levana langsung menggeleng dengan cepat. "Maksud aku, emm,
cowok yang tipe aku tuh cowok yang berwibawa, berkharisma, cowok yang baik, care, sama
sayang sama aku. Iya! Itu cowok tipe aku mas!" Ujarnya.

"Ooh, kirain..." Gue membulatkan bibir seraya mengangguk pelan.

Pesanan kami berdua pun pada akhirnya tiba. Gue dan Levana kemudian memakan hidangan-
hidangan yang tersaji di atas meja itu tanpa mengeluarkan suara apapun. Tidak mengobrol, tidak
berbicara mengenai apa-apa, hanya terdengar suara-suara dari peralatan makanan yang saling
beradu, obrolan selintas dari para pelanggan yang ada di dalam sini, serta musik khas restoran
yang sayup-sayup terdengar dari speaker di sudut langit-langit sana.

Lalu sebelum sempat gue menghabiskan seluruh makanan yang ada, ujung dari penglihatan gue
menangkap sesosok wanita yang sebelumnya sedang berada pada satu lantai di bawah gue,
namun kini dia sedang berjalan memasuki pintu restoran ini sambil bergandengan mesra
bersama pacarnya, dan kemudian dia langsung melambaikan tangannya ketika dia menyadari
kehadiran gue di sini.

Oh no, double shit...

***

Waktu kini hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Setelah gue mengantar Levana pulang ke
rumahnya tadi, gue sengaja berlama-lama di jalan dan lebih memilih jalan memutar untuk
sampai ke kostan. Gue sama sekali tidak berniat untuk pulang ke sana. Gue ingin lebih memiliki
waktu untuk sendirian ketimbang harus kembali diganggu oleh Sita bersama ocehan-ocehannya.
Namun setelah beberapa lama gue berkendara, gue pun pada akhirnya memutuskan untuk
pulang karena besok pagi gue masih harus menghadiri meeting bersama pak Wisnu dan
beberapa orang atasan lainnya.

Dengan langkah yang gontai gue menaiki satu persatu dari anak tangga hingga pada akhirnya
gue tiba di lantai dua yang sepi. Dari kejauhan, gue dapat melihat kamar Sita yang tertutup rapat
dan lampu di dalamnya pun terlihat tidak menyala. Gue kemudian menghela nafas panjang
sambil memejamkan mata erat-erat, lalu gue kembali berjalan menuju pintu kamar dan
membukanya.
Gue menyimpan tas di samping meja duduk di depan televisi, lalu gue merogoh saku celana
untuk mengambil Blackberry kesayangan dan mengisi ulang baterainya. Sambil
menunggu loading screen pada handphone, gue kemudian melepaskan dasi serta satu per satu
dari kancing kemeja dan melemparnya ke dalam keranjang di samping kamar mandi.

Drrr...rrr...rrrt...

Untuk sesaat gue terdiam sejenak ketika mendengar Blackberry gue yang disimpan di atas meja
bergetar berkali-kali. Handphone gue bergetar bukan karena panggilan telepon, melainkan
bergetar karena berbagai notifikasi chat serta SMS yang baru saja masuk ke dalamnya setelah
sekian jam handphone gue itu tidak menyala, dan gue juga yakin bahwa itu semua berasal dari
Alexy.

Benar saja.

Kini gue hanya bisa terduduk lemas di atas tempat tidur sambil tetap memandangi layar
handphone yang menampilkan empat buah kata yang terasa sangat dingin sekali, empat buah
kata, yang membuat pikiran gue semakin kalut.

'Have fun sama Levananya : )'

Dumbass King

"Sit!"

Sita menoleh, lalu dia menutup pintu kamarnya secara perlahan dan berjalan menuju kamar gue.
"Ada apa Bey? Gue mau nyari makan dulu nih, laper."

"Gue mau cerita dong sama elo, plis ini mah penting banget..."

"Muka lo kok ditekuk gitu sih? Emangnya lo mau cerita tentang apa? Kerjaan?" Tanya Sita
dengan wajah heran.

"Bukaaan..." Gue pun kemudian menunduk sambil menghela nafas kasar, sebelum pada
akhirnya gue menoleh dan kembali menatap wajah Sita seraya menggumam pelan. "Cewek
gue..."

"Lexy?"

Gue mengangguk. "Plis, gue butuh saran dari lo banget, mau ya?"

Setelah Sita terdiam sejenak sambil mengalihkan pandangannya ke sudut lain, dia pun
kemudian mengangguk pelan seraya mengikuti gue untuk masuk ke dalam kamar.
***

"Elo kok dongo se-dongo-dongonya cowok sih?" Sita menatap gue dengan kesal seraya melipat
kedua tangan di depan dadanya. "Cewek lo lagi nyari duit di Bandung, tapi elo? Elo malah jalan
sama cewek lain?"

"Sit, udah gue bilang kan kalo gue sama Levana tuh cuman makan doang! That's it!"

"That's it?" Sita memberi penekanan pada setiap kalimat yang diucapkannya. "Lo jalan keluar
sama Levana tanpa mengabari cewek lo, dan lo cuman bilang 'that's it'?" Ujarnya. "Are you
dumb or what?"

"Iya, iya, gue tau gue salah, ta"

"Terus kalo lo udah tau lo salah, sekarang lo mau diem aja? Gitu?"

"Sita, tolong." Gue menatap kedua matanya dalam-dalam. "Gue tau gue udah salah banget
enggak ngabarin Lexy yang ngebikin kita berdua jadi miss communication kayak gini, tapi
please, gue cerita semuanya sama elo bukan buat di-judge asal-asalan. Gue butuh saran lo
sebagai cewek. Gue harus gimana sekarang?"

"Bay, gue bingung deh sama elo..." Sita menghela nafas panjang seraya mengusap rambutnya
ke belakang. "Lo udah punya cewek yang super cantik, super baik, super perhatian, cewek yang
perfect lah, tapi kok elo masih aja ngedeketin cewek lain sih? Gue tanya dulu deh sekarang,
maunya elo sama Levana tuh apa?"

"Gue sama Levana tuh ya cuman partner kerja doang! Ga lebih! Gue cuman butuh
mengakrabkan diri sama partner kerja gue, dan gue melakukan hal itu biar gue sama Levana
bisa makin deket dalam hal kerjaan! Apa gue salah udah kayak gitu?!"

"Dan elo ga ngabarin Lexy cuman gara-gara batere handphone lo abis?"

"Oh come on! Stop judging me! Just give me a god damn fucking advice for this fucking asshole!
Okay?!" Gue pun meremas rambut seraya memejamkan kedua mata rapat-rapat.

"Terus... Kenapa lo ga pergi ke Bandung?" Ujar Sita, yang membuat gue menoleh kepadanya
secara perlahan. "Lo tadi bilang kan kalo Lexy sama sekali ga bisa dihubungin sampe sekarang?
Kenapa elo ga nyamperin dia ke Bandung?"

"Maksud lo, besok pagi?"

"Astaga..." Sita menepuk jidatnya dan menggeleng. "Ya kapan lagi, asshole?"

"Gue besok masih kerja Sit! Gue ga bisa seenak jidat buat bolos! Bisa-bisa entar gue malah
dipotong gajinya!"

"Lo cinta kan sama Lexy?"

Gue mengangguk. "Cinta. Banget."


"Tapi elo malah lebih mementingkan gaji dibandingkan dengan cinta lo, yang sekarang entah
lagi ngapain sama Dion?" Sita pun kemudian menggeleng lemah seraya bangkit dari duduknya,
lalu dia menepuk pelan pundak gue sebelum kembali melangkah menuju pintu. "Kalo gue jadi
elo ya Bey, gue bakal kejar dia sampe gue bener-bener ngedapetin dia sebelum ada cowok lain
yang ngambil hatinya lagi." Ujarnya dingin.

"..."

"Oh, bukan Bey, maksud gue..." Sita meremas pundak gue, lalu kemudian dia tersenyum
dengan sinis seraya berbisik:

"Sebelum Dion ngambil hati dari cewek kesayangan lo..."

Throwback

Orang-orang di luar sana terlihat bergerak dengan cepat. Gue hanya dapat melihat mereka secara selintas-
selintas saja sebelum pada akhirnya mereka langsung menghilang pada sisi jendela yang lain. Gue pun
kemudian menghela nafas dengan panjang seraya menyandarkan kepala pada kursi sambil memejamkan
mata rapat-rapat, dan ternyata itu langsung membuat gue kembali memikirkan tentang Alexy yang sama
sekali tidak ada kabarnya.

Sudah hampir empat hari Alexy tidak bisa gue hubungi. SMS gue tidak pernah dibalas, chat BBM gue
hanya bertanda checklist, dan nomor teleponnya pun selalu berada di luar jangkauan. Gue sudah tidak tahu
lagi bagaimana cara untuk menghubungi Alexy karena Muthia juga berkata bahwa Alexy memang sangat
sulit sekali untuk dihubungi. Apakah Muthia berkata yang sejujurnya ataupun tidak, gue sama sekali tidak
mengetahui hal itu, tetapi gue mencoba untuk tetap berpikiran positif kepadanya.

Kereta yang gue tumpangi ini pada akhirnya melewati stasiun Purwakarta yang artinya hanya sekitar satu
jam-an lagi gue akan tiba di Bandung. Gue pun kemudian mengeluarkan Blackberry dari dalam saku jaket,
lalu gue mencoba menelpon Alexy sekali lagi sambil berharap-harap cemas bahwa Alexy akan
mengangkatnya.

Gue kemudian hanya bisa menghela nafas panjang ketika panggilan gue kembali tidak terhubung dengan
Alexy, dan pada akhirnya gue pun mencoba menelpon Anca untuk memintanya menjemput gue di stasiun
nanti.

***
"Fal, Sunken yok?"

"Yaelah Ry, lagi panas-panas kayak gini ke Sunken, emangnya elu taneman ya butuh sinar matahari buat
fotosintesis?"

"Kampret! Lo pikir gue manusia autotrof apa?" Ary tertawa.

"Ke Borju aja deh, gimana? Bosen nih gue makan di Salman mulu..." Ajak gue. "Sekalian ajak si Mamat
juga kesananya, eh iya, tapi mana ya tuh anak? Kok kagak keliatan sih?" Gue celingukan.

"Udah mati di kelas kali, keracunan sama Newton 1-2-3."

"Buseeet! Fisika Dasar emang keras men!" Gue dan Ary pun kemudian tertawa-tawa sambil berjalan
menuruni tangga bersama para mahasiswa lainnya.

'Borju' adalah sebuah nama dari kantin yang terletak di daerah gedung GKU Barat dan kantin ini juga
saling berhadapan dengan kantin GKU. Pada awalnya, gue memang tidak mau membeli makanan apapun
di kantin tersebut karena embel-embel 'borju' yang melekat pada namanya, tetapi setelah gue mendapatkan
informasi mengenai menu serta harga yang ditawarkannya, gue pun pada akhirnya mau untuk makan di
kantin tersebut walaupun harga makanannya memang sedikit lebih 'borju' dibandingkan dengan kantin-
kantin yang lain.

Gue dan Ary duduk pada salah satu meja yang kosong, lalu kemudian Ary memesan makanannya
sementara gue tetap berada di sini untuk menjaga barang bawaan sambil mengabari Rahmat melalui SMS.

"Gue barusan udah nge-sms si Mamat nih Ry, katanya dia entar nyusul kesini bareng si Devan." Ujar gue
seraya meletakkan handphone di atas meja dan menoleh kepada Ary. "Entar sore ga ada kuliah apa-apa
lagi kan?"

"Dih, ogah banget kalo ada misalkan kuliah lagi. Fisdas juga udah cukup buat hari ini." Ary tertawa, lalu
dia menolehkan kepalanya ke samping. "Walah, kayaknya bakalan lama nih makanan gue dibikininnya,
mana gue lagi laper banget lagi..."
"Yang sabar lah nyet, lo ga liat apa penuhnya kantin kayak gimana? Tapi kalo lo niat, sana gih sepik-sepik
si ibu kantinnya biar makanan lo cepet."

"Yaelah, mending gue nyepikin anak SBM daripada nyepikin emak-emak, iya ga sob?" Ary tertawa.

"Pede bener! Kayak bakal ada yang nyantol aja sama elu Ry." Ejek gue.

Lalu tidak lama berselang, handphone gue yang disimpan di atas meja bergetar beberapa kali dan
menampakkan sebuah notifikasi pesan masuk pada layarnya. Gue pun kemudian mengambil dan membaca
isi dari pesan masuk tersebut.

'Kamu dimana Fal? Aku lagi di depan kampus kamu nih...'

Gue pun mengkerutkan kening setelah membaca pesan itu, lalu gue kembali menoleh kepada Ary yang
juga sedang memainkan handphone pada tangannya. "Ry, bentar ya, gue mau ke depan dulu."

"Eh..." Ary menoleh. "Mau ngapain?"

"Cewek gue ada di depan katanya."

"Cewek lo yang namanya Aya-Aya itu bukan?"

Gue mengerlingkan mata seraya bangkit berdiri dari kursi. "Ya siapa lagi...?!"

"Dinda mungkin? Atau mau Windy? Atau mau sama yang anak sipil yang sering nanyain elo itu?"

"Yeee monyet!" Gue pun melempar tissue kepada Ary yang membuatnya terbahak-bahak, lalu gue berjalan
meninggalkannya di kantin dan menelpon Aya. "Hallo? Ay? Kamu ada dimana sekarang?"

"Hallo, aku sekarang udah di dalem nih di deket kolam Intel. Aku bingung muter-muter sendirian disini
Fal, kamu kesini dooong..."

"Iya, kamu tunggu aja dulu di situ ya, jangan kemana-mana, aku lagi jalan ke sana sekarang."

"Okkkeee, love you...!" Ujarnya dengan manja yang kemudian disusul dengan sebuah nada panggilan
terputus.

"Nih cewek, cantik-cantik tapi nyebelin banget..." Gumam gue sambil menatap ke arah layar handphone.
"Tapi kok gue mau ya jadi pacarnya dia?" Gue pun kemudian menghela nafas panjang sambil menggeleng
pelan, sebelum pada akhirnya memasukkan handphone ke dalam saku celana dan kembali melangkah
untuk menemuinya di sana.

Dari kejauhan, gue sudah dapat melihat sosoknya dengan sangat jelas karena penampilannya terlihat
kontras sekali dengan mahasiswi ITB yang berlalu lalang di sekitarnya. Wanita cantik berambut merah
kecokelatan itu terlihat sedang menyandarkan badannya pada tiang batu pada lorong di samping kolam
Indonesia Tenggelam, dan wanita itu juga sangat terlihat memesona sekali dengan balutan kemeja putih
gading serta celana jeans biru gelap yang dikenakan olehnya.

Perlahan-lahan langkah kaki gue terhenti, lalu gue berdiri mematung di tempat ini sambil tetap
memperhatikannya dari kejauhan. Gue sangat senang sekali ketika memperhatikan Aya dari tempat ini.
Gue sangat senang ketika gue melihat cara berdirinya yang anggun, melihat caranya dalam memegang
smartphone serta dompet pada tangan kirinya, melihat gerak tangannya ketika ia sedang menyimpan
rambut berwarna merah kecokelatannya di balik telinga, lalu tanpa terasa, bibir gue tiba-tiba saja
menyunggingkan sebuah senyuman kecil pada saat gue sedang memandanginya.

Aya ternyata menyadari kehadiran gue di sini. Dia pun kemudian tersenyum dengan sangat manis sekali,
yang membuat gue kembali melangkah untuk berjalan mendekatinya.

"Halo Ay." Gue tertawa cengengesan.

"Ih, kamu baru juga beberapa bulan kuliah disini udah jadi gila aja." Aya mendelik sinis sambil melipat
kedua tangan di depan dadanya.

"Gitu ya sekarang? Pacarnya dateng nyamperin bukannya seneng tapi malah diejekin."

"Apa aku harus kayak gini pas pacar aku dateng?" Aya kemudian melingkarkan tangannya pada lengan
gue secara perlahan, lalu dia pun memeluknya dengan erat sambil menggoda gue dengan senyuman
manisnya yang membuat gue menjadi kikuk.

"Ck, jangan gitu ah Aya, aku malu tau ga dilatin sama banyak orang..."

Aya tertawa. "Biarin! Lagian ini juga kan sama pacar sendiri, masa ga boleh sih?"

"Iya deh, iya, sakarepmu..." Gue mendengus kesal seraya mengajaknya berjalan menuju kantin borju di
depan sana.

"Lucu deh Fal..." Aya tertawa pelan. "Anak-anak disini statis banget ya? Kayak yang belum pernah ngeliat
orang lain lagi gandengan sama pacarnya, ngeliatinnya gitu banget."

"FYI aja ya Ay, orang-orang di sini kalo pacaran tuh jarang banget pegangan tangan, paling juga cuman
jalan sebelahan, ya jadi santai aja laaah kalo mereka pada ngeliatin kita kayak gitu." Gue tertawa.

"Jadi sekarang kamu udah gak malu nih aku peluk-peluk kayak gini?" Goda Aya yang semakin mendusel
dengan manja. "Yakiiin kamu ga malu aku giniin?"

"Ih Aya!" Gue menepis tangan Aya yang membuatnya tertawa terbahak-bahak. "Eh iya Ay, kamu kesini
sama siapa? Sendiri?"

"Enggak..." Aya menggeleng sambil merapikan poni rambutnya. "Aku kesini berdua sama Anca kok pake
mobil aku. Tadi abis dari kampus kita berdua langsung ke sini."

"Loh, terus sekarang dia ada dimana? Bukannya nanti kita baru mau keluarnya pas sore?"

"Iya, cuman tadi kakaknya nelfon buat minta dijemput di stasiun, sekarang si Anca lagi makan di Ganyang
sayang."

"Eh, Anca emangnya punya kakak?"

Aya mengangguk. "Kakaknya kerja di Jakarta, aku juga emang jarang sih ketemu sama dia. Kamu tuh
belum pernah ketemu sama kakaknya ya? Pacar kakaknya Anca tuh gila cantik banget!"

"Serius?"

"Serius!"

"Hah? Beneran? Mana coba aku liat fotonya Ay!" Ujar gue dengan semangat.

"Yakin kamu mau liat foto pacarnya mas Bayu, Fal?" Aya pun kemudian menghentikan langkah kakinya,
lalu dia menatap gue sambil menyunggingkan sebuah senyuman yang dapat membunuh gue saat ini juga.

Gue menelan ludah, lalu gue menggeleng dengan cepat dan meralat kata-kata itu.
A Place to Go

Suara khas dari bel stasiun samar-samar terdengar hingga ke dalam ketika kereta yang gue
tumpangi mulai memasuki areal stasiun. Walaupun gue tahu bahwa gue seharusnya sudah
bersiap-siap untuk turun, tetapi gue masih ingin tetap duduk di sini, memandangi foto gue
bersama Alexy yang terpampang pada layar handphone sambil berpikir keras kenapa hal ini bisa
terjadi kepada kami berdua, dan gue ingin memperbaiki semuanya.

Gue kemudian melirik jam pada tangan kiri, lalu gue menghembuskan nafas panjang seraya
menoleh ke arah jendela sambil menahan gordennya dengan menggunakan telunjuk.
Penumpang yang sebelumnya menaiki kereta ini terlihat sedang bebondong-bondong menuju
pintu keluar sambil membawa barang-barang mereka sendiri, dan tanpa terasa, hanya tinggal
gue saja yang masih berada di dalam kereta hingga ada beberapa orang petugas kebersihan
yang mulai melakukan pekerjaannya. Gue pun pada akhirnya memutuskan untuk turun dan
menemui Anca yang telah menunggu gue pada pintu keluar di depan sana.

"Dimana Ca?"

"Hallo, Anca di mobil nih A'. Mobil Aya ya."

"Hah?" Gue kemudian berhenti melangkah. "Mobil Aya yang mana?"

"Vios item, parkirnya di sebelah kiri kalo dari pintu keluar."

"Sip, otw ke sana sekarang." Gue pun kemudian mematikan telepon dan memasukan
handphone ke dalam celana, lalu gue kembali berjalan sambil memegang tas yang tersampir
pada bahu.

Tidak lama setelah gue kembali berjalan, handphone gue bergetar beberapa kali yang membuat
gue buru-buru merogoh saku celana dan mengambil handphone tersebut sambil berharap
bahwa itu adalah sebuah panggilan yang berasal dari Alexy. Namun ketika gue melihat nama
yang terpampang pada layar, gue hanya bisa menghela nafas pasrah karena ternyata bukan
Alexy yang menelpon gue.

"Ya, ada apa Sit?"

"Udah nyampe belom?"

"Baru dateng, ini juga masih di stasiun."

"Astaga Beeey, cepet jalan keluar lah sana keburu si Lexy ngilang lagi."

"Bawel lu ah, Lexy emang masih ilang kali. Sekarang gue juga lagi jalan keluar."
"Ditunggu loh ya updatenya, gue mau nyalon dulu."

"Iye gih sana, yang lama."

"Bye!" Panggilan pun ditutup dari ujung sana, lalu gue kembali melangkah dengan malas menuju
pintu keluar.

Pada awalnya gue sempat kebingungan ketika mencari Toyota Vios milik Aya karena gue tidak
melihatnya di halaman parkir terdekat dari pintu masuk. Gue pun kemudian berjalan agak
kedepan, lalu gue melihat Anca yang sedang bersandar pada bagasi mobil dan menatap ke arah
gue, lalu dia melambaikan tangannya dengan semangat.

"Tumben pulang pas lagi hari kerja." Anca menyalimi gue. "Ada apaan A'?"

Gue menghela nafas, lalu gue menggeleng pelan dan mencoba untuk menghindari tatapan
matanya yang penuh dengan tanda tanya. "Ada keperluan aja di sini. Lexy ada kabar apa-apa
ga?"

"Mbak Alexy kemaren ke rumah kok."

"HAH?! BENERAN CA???" Gue terperangah.

Anca pun kemudian menatap gue dengan heran, lalu dia mengangguk. "Beneran kok, kenapa
A'? Kok kayak yang kaget gitu?"

"Dia ngabarin kamu ga kalo mau dateng ke rumah?"

"Enggak." Anca menggeleng. "Malem sih datengnya, mbak Lexy juga kemaren dateng sama
temen kantornya."

"Siapa?"

"Siapa ya namanya? Pokoknya ada panggilan 'Yon-Yon' gitu lah, Anca lupa namanya."

"Dion bukan?"

"Nah iya bener!"

"Ooh..." Gue mengangguk paham dan langsung mengalihkan topik pembicaraan agar Anca tidak
menaruh curiga kepada gue, walaupun gue sendiri masih ingin bertanya mengenai banyak hal
tentang Alexy. "Oh iya, Aya mana?"

"Di dalem tuh sama cowoknya." Ujarnya enteng. "Ay! Dicariin sama Aa nih!"

Beberapa saat kemudian, pintu samping mobil itu terbuka, lalu muncul seorang
gadis cantik yang mengenakan balutan kemeja berwarna putih gading yang kedua lengannya
digulung hingga ke sikut, dan dia juga memberikan senyuman manisnya kepada gue. "Halo
mas." Sapa Aya hangat.

"Hai..." Gue membalas senyuman Aya, lalu gue tertawa cengengesan kepadanya. "Cieee yang
sekarang udah punya cowok cieee..."

"Ih apa sih..." Aya tersipu. "Mau kenalan sama dia mas?"

"Entar aja deh di dalem mobil, sekalian kita jalan dari sini." Ujar gue, lalu kemudian kami bertiga
pun masuk ke dalam mobil dan kebetulan gue mendapatkan tempat duduk tepat di belakang
pengemudi.

Ketika gue membuka pintu belakang, gue melihat sebuah jaket almamater yang bertuliskan
'Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan' yang tersimpan pada jok di belakang kursi
pengemudi yang membuat gue terkesima untuk sesaat, sebelum pada akhirnya seseorang di
depan gue itu membalikkan badannya dan menyapa gue. "Mas Bayu ya?"

Gue membalas senyumnya, lalu gue mengangguk seraya menjulurkan tangan. "Iya, halo."

"Halo mas, saya Naufal."

"Bayu." Balas gue. "Wih gila keren nih Naufal ternyata anak kampus gajah, angkatan berapa
Fal?"

Naufal tertawa pelan lalu kemudian dia kembali memegang kemudi dan menyalakan mesinnya.
"Baru masuk kemaren mas, belom lama kok jadi mahasiswanya juga."

"Eh? Berarti Aya kakak tingkat elu dong Fal? Kok mau sih pacaran sama yang tua-tua?"

"Ah mas Bayu mah gitu ah nyebelin banget!" Aya pun langsung merajuk serta memukuli gue
yang membuat kami semua tertawa.

"Oh iya, mau kemana kita sekarang?" Tanya Naufal.

Gue menoleh kepada Aya dan Anca secara bergantian, dan ternyata mereka berdua sedang
kompak menatap gue seakan-akan gue yang memutuskan di sini. "Pulang aja deh ke rumah Fal,
eh tapi ga ngerepotin kan?" Tanya gue.

"ENGGAK NGEREPOTIN KOK MAS, MAKASIH." Aya berkata ketus.

"Lo sensi amat sih Ay dibilang tua, emang kenyataannya kali elo udah tua tapi malah pacaran
sama brondong." Anca tertawa.

"Jaga omongan lo ya Ca! Gue buka semua aib lo di depan mas Bayu baru tau rasa lo!"

"Ah plis Ay jangan gitu plis plis plis! Entar gue traktir elo J.co deh!"

"Selusin ya?"

"Gila aja lo! Elo mau morotin gue atau apa?!"

"Mas Bayuuu... Tau ga Anca kalo di kampus kayak gimana?"

"Emang kayak gimana Ay?"


"Gini lho maaas..."

"IYA AYA IYA SELUSIN!"

"Deal!" Aya pun kemudian memasang wajah penuh dengan kemenangan sementara gue hanya
bisa tertawa melihat Anca yang memasang wajah mutung di depan gue.

***

"Tau gak A'?"

Gue menoleh, lalu gue memeras kanebo dan kembali mengelap kaca mobil yang agak terlihat
kotor. "Tau apaan?"

"Pacarnya Aya tuh sering ga modal tau, masa kalo mereka jalan kemana-mana pasti pake mobil
atau motor Aya? Kan ga etis namanya."

"Emangnya dia ga punya kendaraan sendiri atau apa gitu?"

"Enggak."

"Terus? Kalo dia gak punya, dia harus gimana?"

"Ya gimana kek, apa kek..."

Gue pun kemudian tertawa dan melemparinya dengan kanebo basah seraya membuka pintu
kemudi. "Jangan nyesel lho kalo misalkan dia udah sukses nanti. Meremehkan anak kampus
Ganesha elo ternyata Ca hahaha."

"Tapi kan at the present time-nya dia masih kayak gitu. Pergi ke sini pake mobil Aya, pergi ke
sana pake motor Aya, Anca juga ga ngerti deh kenapa dia bisa-bisanya suka sama cowok yang
ga punya apa-apa."

"Heh! Emang kakak elo sendiri kalo di Jakarta kayak gimana?" Timpal gue. "Toh kalo Aa sama
Lexy jalan-jalan juga lebih sering pake mobilnya Lexy, terus apa masalahnya? Orang Lexy
sendiri kok yang minta buat pake mobil dia."

"Ya tapi Aa kan beda. Aa kan duit di ATM udah mbrudul walaupun tampilan acak adut kayak
gini."

"Mungkin dia juga duitnya banyak walaupun at the present time-nya kayak gitu. Bener ga Ca?"
Gue pun menaikkan bibir seraya mengedipkan sebelah mata kepadanya. "Udah ah, Aa
sekarang mau pergi dulu, keburu sore di jalan."

"Mau pergi kemana sih emangnya? Niat amat sampe balik ke Bandung segala."

"Kan Lexy ada di Bandung, gimana sih..."

"Eh, emangnya mbak Lexy ga ngabarin Aa kalo dia nanti sore mau terbang ke Medan?" Anca
kemudian melirik kepada jam pada tangannya, lalu dia kembali menoleh kepada gue. "Flightnya
bentar lagi loh..."

Gue melongo untuk sesaat, lalu gue berlagak lupa sambil menepuk jidat dan memejamkan mata.
"Oh iya lupa, yaudah deh Aa cabut dulu sekarang, keburu telat jemput di kantornya." Tanpa
menghiraukan Anca yang sedang memandangi gue dengan heran, gue pun kemudian langsung
masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya.

"Lex, please kasih kesempatan Bayu-mu ini buat ketemu sama kamu dulu Lex, please..."

***

"Kadang-kadang kita hanya meminta, bukan berdoa."

Unknown

Carry Me Home

I've been stuck here for almost one hour. One fucking hour, yang terasa sangat berharga sekali
bagi gue untuk mengejar sesosok Alexy yang mungkin masih berada di bandara sana. Gue
sama sekali tidak tahu kapan waktu keberangkatan Alexy secara pasti, dan gue juga sama sekali
tidak tahu Alexy akan terbang dengan menggunakan pesawat apa serta penerbangan nomor
berapa. Yang gue tahu, Alexy akan terbang ke Medan pada sore hari ini, dan semoga saja gue
masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya sebelum dia pergi ke sana.

Drrrt...drrrt...drrrt...

Handphone yang gue simpan di sela-sela perseneling terdengar berbunyi Gue pun kemudian
buru-buru mengambil handphone tersebut, lalu gue menerima panggilannya. "Ya? Halo? Ada
apa?"

"Bey! Kok elo ga ngabarin gue sih? Gimana? Udah ketemu belom sama Lexy-nya? Lo ada di
mana sekarang?"

"Yaampun Siiit, nanya tuh satu-satu kek, gue belom ketemu sama Lexy, sekarang gue juga lagi
jalan ke bandara."

"Bandara? Ngapain?"

"Lexy lah!"

"Lexy mau kemana emangnya? Kok elo sampe ke bandara gitu?"

"Dia mau ke Medan Siiit! Lo banyak tanya banget sih?!"

"Terus sekarang lo mau nyusul ke Medan?"


"Ya lo pikir aja sendiri!" Gue pun menghela nafas kesal sambil melempar handphone pada kursi
penumpang di samping. Lalu tidak lama berselang, handphone gue itu kembali berdering yang
menandakan ada sebuah panggilan yang kembali masuk. "Ada apa lagi sih?!"

"Ih kok marah-marah sih A'?"

Gue menjauhkan handphone dari telinga dan melihat nama yang terpampang pada layar, lalu
gue kembali berbicara. "Ada apa Ca?"

"Aa di mana sekarang? Udah nyampe bandara belom?"

"Belom Ancaaa..." Ujar gue kesal. "Macetnya kayak tai banget di sini!"

"Buruan giiih! Udah mau boarding mbak Lexy-nya!"

"Iya bawel!!! Ini juga mau cepet!!!"

Gue pun hendak mematikan handphone dan kembali melemparnya pada kursi penumpang di
samping, namun gue urungkan niatan itu karena gue baru menyadari sesuatu yang menurut gue
terasa sangat aneh sekali.

"Eh Ca, kok kamu tau sih Lexy mau boarding? Terus ngapain nyuruh Aa cepet-cepet ke
bandara?"

Tut...tut...tut...

***

Gue berjalan dengan terengah-engah memasuki pelataran bandara sambil memutar kepala ke
segala arah untuk mencari keberadaan Alexy di sini. Gue pun kemudian langsung mencari ke
sisi kanan bandara, tetapi gue tidak dapat menemukannya di sana. Lalu ketika gue mencari ke
sisi kiri bandara, gue hanya bisa memegangi kepala dengan kedua tangan karena gue masih
tidak dapat menemukan sosoknya di sini.

"Please, please, please, Lex, please..." Gue menggigit bibir bawah dan memejamkan kedua
mata lamat-lamat.

Nafas gue menjadi semakin tidak karuan. Antara seluruh perasaan lelah, seluruh perasaan takut,
khawatir, semuanya bercampur aduk menjadi satu yang membuat dada gue semakin berdebar
dengan kencang. Gue pun kemudian sedikit berlari untuk melihat flight status monitor yang
tersedia, lalu gue menggeleng pelan ketika menyadari bahwa ada satu buah penerbangan
terdekat yang sudah berangkat menuju Medan.

"Fff...uck!"

Harapan gue untuk bertemu dengan Alexy pun seketika saja menjadi sirna. Gue sudah tidak
dapat berpikir lagi dengan jernih. Gue sudah tidak dapat lagi berpikir tentang apa yang harus gue
lakukan saat ini dan apa yang harus gue lakukan selanjutnya, karena seluruh pikiran gue sedang
merasa buntu dan menyesali sebuah kebodohan yang telah gue perbuat.

Andaikan saja gue dapat menukarkan semua yang gue miliki saat ini untuk memutar kembali
sang waktu ke belakang, sudah jelas, gue pasti akan melakukan hal itu demi memperbaiki apa
yang sudah terjadi. Gue pun kemudian melangkah dengan lemas menuju bangku deret terdekat,
lalu gue menjatuhkan badan di atasnya hingga menimbulkan suara berdebum yang cukup keras
dan mengganggu beberapa orang yang sedang duduk di dekat gue.
Seluruh kegiatan yang sedang terjadi di depan mata kepala gue kini terasa seperti slow
motion. Gue dapat melihat wajah-wajah milik orang lain, tetapi gue tidak bisa menatapnya
dengan jelas. Semuanya terlihat kabur di mata gue. Lalu di sisi lain, gue juga masih dapat
mendengar suara-suara bising yang terdengar, tetapi gue sama sekali tidak dapat
mendengarnya dengan jernih dan itu semua membuat gue hanya bisa duduk terbengong-
bengong dalam seluruh keputusasaan ini.

Lamunan gue kemudian tiba-tiba saja terbuyar ketika gue merasakan ada getaran berkali-kali di
dalam saku celana, lalu dengan tergesa-gesa, gue pun menggerakkan sebelah tangan untuk
mengambil handphone dan menerima panggilan telepon itu.

"Ya-ya? Halo?"

"Ketemu ga sama mbak Lexy-nya?"

Gue memejamkan mata, lalu gue menggeleng pelan sambil mengusap rambut ke belakang. "Aa
telat Ca, pesawatnya udah terbang."

"Terus jadi gimana?"

"Ga tau Ca. Aa... Aa..." Gue menunduk, dan gue menghela nafas pasrah. "Aa bingung sekarang
harus ngapain lagi..."

"Ga mau ngejer mbak Lexy ke Medan?"

Gue terkekeh pelan. "Lo pikir emangnya Medan tuh segede komplek rumah kita ya?"

"Oh God, what a coward man..." Lalu sedetik kemudian, panggilan itu pun langsung terputus dari
ujung sana yang membuat gue kembali terpaku.

Gue meremas handphone yang gue genggam dengan perasaan tidak menentu. Bingung,
takut, hopeless. Gue sudah tidak tahu lagi harus bagaimana dalam menyikapi semua hal ini.
Lalu sedetik kemudian, tiba-tiba saja handphone yang sedang gue pegang itu terasa bergetar
sesaat dan menampilkan sebuah notifikasi chat pada layarnya.

'JW Marriott, lantai sekian kamar sekian, gala dinner will be held tomorrow evening at the same
place. Jangan jadi COWOK BEGO makanya kalo mau pacaran sama cewek kayak mbak Lexy!
Anca udah tau semuanya! And don't you ever forget to thank your gorgeous sister later.'

Gue terbelalak kaget, sebelum pada akhirnya gue langsung berlari menuju loket pembelian tiket
terdekat.

***

Jam di tangan kiri gue kini sudah menunjukkan pukul delapan malam, yang artinya sudah dua
puluh empat jam lebih gue belum memakan makanan apapun jika dihitung dari makan terakhir
gue di Jakarta kemarin. Gue turun dari dalam pesawat dengan langkah kaki yang lemas. Gue
merasa sangat capek sekali, dan saat ini gue juga sangat membutuhkan makanan sekali.

Gue pun kemudian memutuskan untuk mengambil beberapa lembar uang di ATM karena
seluruh uang cashyang sebelumnya gue persiapkan sudah habis untuk membeli tiket pesawat
tadi sebelum mendatangi sebuah tempat makan terdekat.

"Gue ada di Medan sekarang Sit."

"Hah? Lo jadi ke Medan Bey?"


"Yap." Gue mengangguk dan meminum teh manis hangat pada gelas yang sedang gue
pegang. "Sakit rasanya kalo gue kehilangan Lexy, dan gue ga mau kehilangan dia lagi di sini..."

"..."

"Halo? Sit?"

"Eh, iya-iya, tapi lo udah ketemu belum sama dia?"

"Belum..." Gue menghela nafas panjang. "Tapi gue udah tau kok sekarang dia ada di mana.
Doain gue ya biar malam ini gue ketemu sama dia."

"Pasti Bey. Best wishes for you. Gue mau cabut dulu ya sekarang."

"Eh, lo mau kemana malem-malem gini?"

"Empirica! Bye!"

Sita kemudian mematikan teleponnya dari ujung sana, lalu gue menyandarkan punggung pada
kursi sambil melihat-lihat chat pada aplikasi Blackberry Messenger dan gue baru saja menyadari
bahwa ada satu buah chat dari Levana yang belum sempat gue baca. Gue pun hanya bisa
termenung. Gue hanya bisa memain-mainkan kedua ibu jari di atas keypad sambil tetap
memandangi nama Levana yang tertera. Gue bimbang.

Gue...

Ragu...

Apakah gue harus membuka dan membaca pesan itu?

Lalu setelah gue berpikir-pikir sejenak, gue pun kemudian memutuskan untuk pergi dari kedai ini
dan mencari taksi di depan sana, tanpa membuka dan membaca pesan masuk dari Levana.

***
Gue memandang dengan takjub kepada sebuah pintu lobby dari sebuah hotel megah yang
berada di depan gue. Gue memandanginya dengan sebuah tatapan tidak percaya jika gedung
ini sedang menyimpan pemilik dari separuh hati gue, pemilik dari separuh jiwa gue, dan
juga pemilik dari separuh kebahagiaan gue yang selama ini sangat gue rindukan
keberadaannya.

Semakin dekat jarak gue dengan Alexy, jantung gue pun semakin berdegup dengan kencang.
Semangat yang sebelumnya menggebu-gebu di dalam diri gue kini menjadi sirna dan digantikan
oleh sebuah rasa takut yang aneh. Gue tidak mengerti dengan semua ini. Kenapa gue menjadi
takut, dan kenapa gue juga harus menjadi takut kepada Alexy?

Gue pun menghela nafas panjang sambil memejamkan mata, lalu gue berjalan keluar dari dalam
lift dan pergi menuju salah satu pintu kamar yang terletak di depan sana.

Lorong yang sedang gue tapaki ini terasa sangat panjang dan dingin. Walaupun ada berbagai
macam hiasan serta ornamen yang menempel pada kedua sisi dindingnya, tetapi gue merasa
bahwa lorong ini terasa sangat kosong tanpa adanya hiasan yang dapat menyemangati mood
gue, dan gue juga hanya bisa terpaku dalam memandangi sebuah pintu dari salah satu kamar
yang menjadi tujuan akhir gue saat ini.

Kini telah terjadi kembali sebuah momen yang paling mendebarkan di dalam hidup gue. Sebuah
momen dimana gue berada tepat di depan kamar Alexy, bersama seluruh perasaan aneh yang
membuat jantung gue berdegup kencang tak karuan. Gue pun kemudian mencoba untuk
mengatur nafas sejenak. Gue mencoba untuk menenangkan diri gue, gue mencoba untuk
membuat seluruh pikiran serta tubuh gue menjadi rileks, sebelum pada akhirnya gue
memberanikan diri untuk mengetuk pintu dari kamar tersebut.

Tok...tok...tok...

Hanya perlu beberapa detik saja bagi gue untuk menunggu. Gue kemudian mendengar suara
redam dari langkah kaki yang berasal dari dalam kamar di hadapan gue, lalu sesaat kemudian
pintu kamar itu pun terbuka dan menampilkan sesosok wanita yang selama ini sangat-
sangat gue rindukan adanya.

Alexy terperangah ketika dia melihat gue sedang tersenyum sambil menatapnya dengan sebuah
tatapan yang terasa sayu. Alexy, seperti apa yang selalu gue lihat, dia masih terlihat sangat
cantik sekali dan bahkan terlihat lebih cantik dari sebelumnya.

Rambut kecokelatannya, rambut kecokelatan yang dulu selalu gue sentuh dengan perasaan
bahagia, kini ia biarkan tergerai begitu saja di balik punggungnya. Wajahnya pun terlihat bersih
tanpa adanya make up apapun, dan kini dia juga sedang memakai piyama tidurnya sambil
menatap gue dengan sebuah tatapan yang terlihat tidak percaya.

"Ba...Bayu?" Alexy berkata lirih sambil menutup mulutnya dengan menggunakan kedua tangan.

Gue pun tersenyum dan mendekatkan diri kepada Alexy, lalu gue mengecup keningnya lamat-
lamat hingga ada sebutir air mata yang mengalir hangat pada permukaan pipi gue.
I want you to come back and carry me home
Away from these long, lonely nights
I'm reaching for you, are you feeling it too?
Does the feeling seem oh, so right?

Air Supply - All Out Of Love

Entwined by You

Perlahan-lahan gue melepaskan kecupan yang sedari tadi gue berikan untuk kening Alexy, lalu
gue menurunkan pandangan dan menatap kedua mata indahnya dengan sebuah senyum getir
sambil sedikit berkaca-kaca. Hening pun kemudian datang menerpa. Tidak ada lagi suara yang
terdengar di sekitar sini. Sunyi, senyap, dan bahkan gue juga hampir bisa mendengar suara
desahan nafas yang keluar melalui hidung kami berdua.

Alexy pun kemudian membalas senyuman gue dengan sebuah senyuman yang masih terlihat
sama seperti apa yang selalu gue lihat dulu. Sebuah senyuman yang selalu membuat gue
merasa damai, sebuah senyuman yang selalu membuat gue bisa merasa tenang, dan itu juga
adalah sebuah senyuman yang selalu menjadi petunjuk arah serta tujuan akhir gue untuk
pulang.

Biarlah gue menjadi seorang cowok yang terlihat cengeng di depan mata Alexy. Biarlah gue
menjadi seorang cowok yang terlihat lemah dan rapuh di depan mata Alexy, karena saat ini gue
sudah tidak dapat lagi mengungkapkan betapa bahagianya gue bisa bertemu dengan wanita
yang paling gue sayangi selain melalui air mata yang mengalir pelan pada permukaan pipi gue.

"Kok kamu nangis sayang?" Alexy berkata lirih sambil tetap mempertahankan lengkung indah
pada bibirnya.

Gue pun tersenyum, lalu gue menggeleng pelan.

Gue sudah tidak dapat berkata apa-apa lagi sekarang. Gue hanya bisa terdiam sambil terus
menatap setiap inci dari wajah putihnya lekat-lekat, menikmati sebuah momen yang terasa
sangat, entahlah, gue sama sekali tidak dapat mengutarakan seluruh perasaan campur aduk
yang sedang gue rasakan saat ini.

Alexy pun kemudian melepaskan genggaman tangannya secara perlahan, lalu dia memegang
sebelah pipi gue dan menyeka sisa-sisa dari air mata yang masih berada di sana. "Kenapa kamu
jadi cengeng gini Bay?" Tanyanya lembut.

Lagi. Gue tidak bisa menjawab kembali sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Alexy. Gue
pun kemudian memejamkan kedua mata lamat-lamat sambil menggenggam sebelah tangan
Alexy pada pipi gue, lalu gue meresapi setiap detik dari sentuhan lembut yang Alexy berikan
untuk gue, gue menikmati setiap detik dari waktu yang sedang berjalan di sekitar kami berdua,
lalu kemudian gue pun mencium punggung tangannya dengan bibir yang bergetar dan mata
yang terpejam seolah-olah gue tidak akan pernah bisa menciumi tangan itu lagi.

"Bay..." Alexy mulai terisak. "Kamu kenapa?"

Lalu tanpa bisa menahan seluruh perasaan yang bergejolak di dalam dada, tanpa bisa menahan
seluruh perasaan rindu serta kasih sayang yang gue miliki untuknya, gue pun
kemudian langsung menarik dan mendekap erat tubuh Alexy sampai tidak ada lagi jarak yang
memisahkan antara tubuh kami berdua.

"Lex..." Lirih gue di sela-sela telinga serta rambut kecokelatannya yang harum.

"Ya, sayang?"

"Apa aku harus bilang kalo aku sangat takut untuk kehilangan kamu?"

Alexy pun kemudian melepaskan pelukan gue. Kami berdua terdiam untuk sesaat dan hanya
saling menatap satu sama lainnya, sebelum pada akhirnya Alexy menarik lembut kepala gue dan
dia memberikan seluruh perasaan cinta serta kasih sayang yang ia miliki untuk gue melalui
sebuah sentuhan hangat dari bibirnya.

Satu buah sentuhan hangat, yang seketika saja dapat menguapkan seluruh rasa lelah serta rasa
takut akan kehilangan seorang wanita yang sangat gue cintai.

Aku telah jatuh cinta. Terlalu sakit, memang.


Tapi aku ingin tetap dalam kesakitan.

Moammar Emka
A Night Full of Love

Saat ini gue sedang duduk bersandar di atas sebuah sofa beludru yang membelakangi jendela
kamar sambil memandangi punggung Alexy yang sedang membuat kopi di sudut kamar sana.
Gue kemudian memiringkan kepala seraya menopang pipi dengan sebelah tangan yang
bertumpu pada sandaran kursi, lalu gue menarik nafas secara perlahan dan samar-samar gue
dapat mencium aroma khas dari parfum miliknya.

Alexy selalu bisa membuat gue terpana dan bahkan dalam situasi yang seperti ini pun
dia masih bisa membuat gue kagum akan sikap dewasa yang dimiliki olehnya. Walaupun gue
tahu bahwa Alexy masih menyimpan seluruh rasa marah serta rasa kesalnya terhadap gue,
tetapi dia mau dan dia bisa untuk mengesampingkan seluruh egonya itu demi membuat gue
tenang ketika gue tiba di sini.

Lalu tidak lama berselang, gue mendengar denting sendok dan cangkir yang saling beradu dan
Alexy pun membalikkan badannya untuk berjalan menghampiri gue.

"Ini, buat kamu." Alexy menyimpan kopi tersebut di atas meja bundar kecil di samping gue, lalu
kemudian dia duduk pada sebuah sofa yang terletak di samping meja bundar itu.

"Makasih ya." Ujar gue.

"Bay...?"

"Ya?"

"Kenapa kamu dateng jauh-jauh ke sini?" Tanya Alexy tiba-tiba, dan sejujurnya gue belum siap
untuk menjawab pertanyaan yang mendadak itu.

Ketika gue menoleh kepadanya, Alexy terlihat sedang duduk dengan tenang dan sangat anggun
sekali. Dia mencondongkan sedikit badannya ke arah gue sambil melipat kaki dan menyimpan
kedua tangan di atas pahanya, dan sikap tenangnya itu malah membuat lidah gue menjadi kelu.
Kata-kata yang telah gue susun dalam hitungan detik pun kini terasa sangat sulit sekali untuk
gue katakan kepadanya.

Gue kemudian menghela nafas pelan melalui mulut, lalu gue memberanikan diri untuk menatap
kedua matanya dalam-dalam sebelum mulai berbicara. "Apa aku perlu alasan buat ngejar
seseorang yang sangat berarti di dalam kehidupan aku?"

"Terus Levana?"

"Ada apa sama Levana?"

"Kamu malah tanya 'ada apa' sama aku Bay? Aku yang harusnya nanya sama kamu, kamu 'ada
apa' sama Levana?" Alexy bertanya dengan nada yang terdengar sangat kalem, tetapi gue
dapat merasakan sebuah getaran marah pada setiap kata-kata yang diucapkan olehnya.

"Aku sama Levana ga ada hubungan apa-apa selain temen kerja, Lex. Kamu bisa liat sendiri kan
sekarang? Aku akan ga pernah ada di sini, duduk di samping kamu, kalo
seandainya aku memang ada apa-apa sama Levana."
"Kalo gitu ceritain sama aku kenapa kalian berdua bisa ada di sana."

Gue pun mengalihkan pandangan untuk mengatur nafas sejenak, lalu sesaat kemudian gue
kembali menoleh kepadanya. "Levana sekarang masih dalam status sebagai anak buah aku di
kantor untuk beberapa waktu ke depan. Mungkin kalo yang itu, kamu udah tau awal ceritanya
kayak gimana."

"Ya." Ujarnya dingin.

"Maghrib itu, aku masih di ada dalem kantor buat ngerjain beberapa laporan yang diminta sama
atasan. Aku lagi sibuk-sibuknya di situ sampe-sampe aku ga sadar kalo batre handphone aku
udah habis dan ternyata anak-anak kantor yang lain juga udah pada pulang. Gina, Faiz,
semuanya udah pada pulang duluan. Terus mumpung kerjaan aku udah beres dan aku juga ga
ambil overtime, jadinya aku beres-beres buat pulang ke kostan."

Alexy menggumam.

"Di luar lobi ternyata lagi ujan. Aku nunggu dulu di situ biar ujan agak sedikit reda. Tapi ga lama
setelah itu, tiba-tiba ada Levana yang dateng nyamperin aku dan aku juga sama sekali ga
nyangka kalo dia ngajakin aku makan malem."

"Dan kamu mengiyakan ajakan itu." Alexy berkata dengan ketus dan dia bangkit dari duduknya.

"Lex... Lex..." Gue pun langsung berdiri dan menahan sebelah tangannya yang membuat Alexy
menoleh.

"Apa lagi sekarang?!"

"Aku tau aku udah salah buat nerima ajakan dia, tapi sejujurnya aku juga butuh ajakan malam itu
Lex." Ujar gue sambil menatap kedua matanya lekat-lekat. "Aku ga bisa serta merta cuman
berkomunikasi sama dia tentang kerjaan terus kalo di kantor. Formal banget rasanya, ga enak.
Aku butuh sesuatu yang bisa menginformalkan semua itu biar nanti kerjaan-kerjaan aku sama
dia bisa lebih lancar dan ga kaku lagi."

"Kamu dengan gampangnya ngomong gitu, tapi kamu ga ngerasain perasaan aku di sini kan?
Hah?!" Bibir Alexy bergetar pelan dan kedua matanya pun terlihat berkaca-kaca. "Aku...
Nungguin kamu dari sore sampe malem entah jam berapa, tapi apa yang aku dapet dari itu
semua?"

"..."

"Aku udah nyoba buat nelfon ke kantor kamu. Aku udah nanyain ke temen kost kamu dan
bahkan aku juga sampe nanyain Anca buat nyari kamu. Tapi ternyata..." Alexy menggeleng
pelan. "Aku malah dapet kabar dari temen aku sendiri kalo kamu lagi jalan sama cewek lain.
Coba kamu pikir deh Bay. Aku, dapet kabar itu dari orang lain dan bukan dari kamu secara
langsung, terus kamu mikirin ga sih gimana rasanya jadi aku saat itu? Hmmm? Sakit banget tau
ga Bay..."

Gue hanya bisa tertunduk lesu dan menghela nafas pasrah.

"Apa sih susahnya buat ngabarin aku? Toh kalo kamu emang niat juga pasti bakal ketemu
jalannya. Atau kamu sebenernya emang ga mau ngabarin aku sama sekali ya?!"

"Don't you ever say that..." Gue menggeleng cepat seraya mencoba menggenggam kedua
tangannya.

"Lepasin tangan aku Bayu!" Bentak Alexy.

"Lex, please dengerin aku dulu..."

"Dengerin apa lagi?!"

"Aku, ada di sini, di depan mata kepala kamu, berdiri di depan kamu dengan segenap hati dan
seluruh perasaan yang aku miliki, semuanya cuman buat kamu, Lex, cuman buat kamu
seorang..."

Alexy kemudian menoleh ke arah lain secara perlahan sambil memejamkan kedua matanya.
Bibirnya terkatup dan bergetar pelan, kedua matanya terpejam rapat, lalu sedetik kemudian tiba-
tiba gue melihat ada air mata lembut yang mengalir pada kedua pipinya. Ketika gue melihat air
mata itu, deg! Dada gue terasa mencelos. Nafas gue pun seakan-akan tercekat dan terasa sulit
sekali bagi gue untuk berbicara

"L-Lex..." Lirih gue seraya menarik tubuh Alexy dan mendekapnya perlahan.

Tanpa bisa gue tahan, ada sebutir air mata yang terasa menghangatkan pipi. Gue sangat tidak
kuasa melihat seorang wanita yang paling gue cintai malah menangis karena ulah serta
kebodohan gue sendiri. Gue pun kemudian sedikit menundukkan kepala untuk mengecup ubun-
ubunnya, lalu gue menarik nafas dalam-dalam dan mulai berkata sesuatu kepada Alexy dengan
seluruh hati serta segenap jiwa yang gue miliki untuknya.
"Aku mau minta sama kamu Lex, please, jangan pernah mau menyerah sama keadaan
walaupun seburuk apapun keadaan itu. Aku ga mau kita berdua cuman sampai di sini karena
masih banyak hal yang harus kita berdua lakukan sampe kita kakek-nenek. Kamu juga dulu
pernah bilang sama aku kan kalo kamu pengen gendong anak-anak kita nanti? So please honey,
wujudkan mimpi itu bareng-bareng. Jangan pernah berhenti berjuang untuk kita sampe Tuhan
menyuruh kita untuk berhenti. Kamu mau kan sayang?"

Tangis Alexy pun seketika pecah dan dia menangis dengan hebat sambil memeluk tubuh gue.

Erat.

Anything worth having is worth fighting for.

Susan Elizabeth Phillips

Silver Lining

"Bay..." Panggil Alexy di sela-sela isak tangisnya.

"Ya, sayang?"

Alexy melepaskan pelukannya, lalu kemudian dia menatap gue dengan sebuah tatapan yang
terlihat sayu bersama seluruh pipi serta wajahnya yang juga ikut memerah. "Promise me that
you'll never let me go..."

Gue pun kemudian tersenyum simpul sambil mengelus lembut ubun-ubunnya, sebelum pada
akhirnya gue menarik lembut kepala Alexy dan menyentuhkan keningnya pada kening gue.
"Lex..." Lirih gue sambil mengelus-elus kedua pipinya yang memerah itu. "Aku ga pernah bisa
janji apa-apa sama kamu. Tapi setelah apa yang aku buktikan sama kamu pada hari ini, semoga
itu semua menjadi sebuah keyakinan yang bisa kamu pegang untuk selamanya."

Tanpa menunggu apa-apa lagi, Alexy pun langsung mencium bibir gue dengan kedua mata yang
terpejam, dan gue juga melihat ada setitik air mata lembut yang mengalir pada pipinya.

***

Gue membuka mata secara perlahan dan langsung memincingkannya ketika gue telah sadar
bahwa hari sudah mulai beranjak siang. Gue pun kemudian menggerakkan sebelah tangan
untuk sedikit menghalau sinar matahari tersebut, lalu gue menarik nafas dalam-dalam sambil
menatap ke arah langit-langit kamar berwarna putih bersih dengan lampu yang tidak menyala
pada sisi-sisinya.

Entah sudah berapa lama gue tertidur di sini sambil berselimutkan bed cover putih tebal dan gue
juga hampirtidak bisa mengingat apa yang sebenarnya terjadi kepada gue dan Alexy semalam.
Tapi tunggu, Alexy?!

Gue pun menoleh ke kiri dan terperangah kaget ketika melihat Alexy sudah tidak ada lagi di
samping gue. Buru-buru gue langsung menyibak selimut dan turun dari atas tempat tidur untuk
mencari keberadaan Alexy dengan jantung yang berdebar-debar. Lalu hanya sedetik kemudian,
gue pun bisa bernafas dengan lega pada saat gue melihat koper miliknya yang tergeletak pada
salah satu sudut kamar beserta ransel gue yang tersimpan di sampingnya.

Untuk beberapa saat, gue hanya bisa terduduk di samping kasur sambil menggaruk-garuk
pelipis yang tidak terasa gatal dan tertawa pelan, lalu kemudian gue menghela nafas panjang
sambil mengusap rambut ke belakang.

Sebegitu takutnya kah gue akan kehilangan Alexy?

Gue kembali tertawa.

Tok...tok...tok...

Terdengar sebuah suara ketukan dari balik pintu kamar di sudut sana yang membuat gue
menoleh. Gue pun terdiam sebentar sambil tetap memandangi pintu tersebut, sebelum pada
akhirnya gue kembali mendengar suara pintu yang diketuk dari luar. "Iya sebentar..." Jawab gue
seraya melangkahkan kaki dengan lemas.

Pada saat pintu telah terbuka, rasa kantuk yang sebelumnya masih menggelayut di pelupuk
mata pun seketika saja langsung menghilang. Jantung gue terasa berhenti untuk sepersekian
detik, mencelos, lalu kemudian jantung gue itu kembali berdegup dengan ritme yang lebih cepat.
Urat di rahang gue pun ikut mengeras. Adrenalin gue terasa berpacu, dan gue juga hanya bisa
menatap seorang pria yang sedang berdiri di depan gue ini sambil meremas gagang pintu
dalam-dalam untuk menyalurkan seluruh efek dari shock therapy yang baru saja gue rasakan.

"Lex, ini nanti itinerary buat acara kita nanti si" Omongan si pria itu tiba-tiba saja terhenti. Lalu
dengan perlahan, dia menolehkan kepalanya kepada gue, dan kami berdua
pun saling melempar pandangan satu sama lainnya.

Apakah kalian pernah merasakan bagaimana rasanya ingin meninju seseorang karena perasaan
marah yang tiba-tiba muncul di dalam dada, tetapi kalian semua tidak bisa melakukan hal itu
karena satu dan berbagai macam hal lainnya?

Ya, itulah yang gue rasakan saat ini ketika gue melihat dirinya yang sedang berada tepat di
depan wajah gue.

Kami berdua saling beratatapan dalam diam. Walaupun dia tidak mengatakan sepatah kata
apapun, tetapi gue yakin bahwa pria yang sedang balik menatap gue ini juga sedang menyimpan
seluruh perasaan kaget, atau mungkin seluruh rasa marahnya terhadap gue yang datang secara
tiba-tiba dan sama sekali tidak diundang di sini.

Menyadari tensi yang semakin tinggi di antara kami berdua, gue pun kemudian menafik nafas
dalam-dalam sambil menaikkan alis kepadanya. "Ya? Ada apa mas?"

Pria ber-polo shirt putih serta bercelana khaki itu kemudian berdehem sebentar sambil
mengangkat secarik kertas yang dibawa olehnya, lalu dia mulai berbicara. "Ini, mau minta tolong
buat kasih tau sama Alexy kalo" Omongannya kembali terhenti untuk yang kedua kalinya. Dan
sedetik kemudian, dia tiba-tiba melirikkan matanya ke dalam kamar ketika kami mendengar
suara pintu yang terbuka.

Lalu pada saat gue menoleh ke belakang untuk mengikuti arah gerak matanya, gue mendapati
sesosok Alexy yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi, masih dengan mengenakan
kimono mandi beserta handuk yang dibebat pada rambutnya, dan Alexy juga terlihat sedang
menatap ke arah gue dan pria itu dengan sebuah tatapan yang terlihat kaget sebelum pada
akhirnya dia buru-buru kembali masuk ke dalam kamar mandi dan sedikit membanting pintunya.
Gue pun hanya bisa menghela nafas dengan panjang ketika melihat hal itu, lalu kemudian gue
menoleh kepada pria itu dan kembali berbicara. "Jadi gimana mas?"

"Ehm." Dia berdehem. "Saya mau minta tolong buat kasih itinerary ini aja buat Alexy. Acaranya
dimulai jam satu, terus dress code buat gala dinner nanti malem pake gaun sama dandan yang
rapi ya soalnya bakal ketemu sama bos-bos besar lainnya."

Gaun? Holy fucking fuck?!

"Oke." Gue pun menganggukkan kepala dengan malas. "Anything else?"

Pria itu kemudian memberikan itinerary-nya kepada gue, lalu tiba-tiba saja dia menepuk pelan
sebelah lengan gue yang membuat gue melirik ke arah gerakan tangannya itu. "Nope." Dia
sedikit tersenyum. "Thanks ya, emmm, sori, siapa namanya mas?"

"Bayu." Gue menjulurkan tangan sambil mengangkat sebelah bibir dengan mantap. "Pacarnya
Alexy."

"Oh, Dion." Jawabnya sambil menjabat tangan gue dengan sedikit memberi tenaga pada
genggamannya. "Head of Division-nya Alexy."

"Ooh..." Gue mengangguk pelan. "Anyway, gue mau kasih ini dulu ya sama Lexy kalo misalkan
ga ada apa-apa lagi yang mau dibicarain."

"Oh iya, silakan mas Bayu."

"Jadi ya..." Gue mengangguk kecil sambil mengangkat sebelah tangan kepadanya, yang
kemudian dibalas dengan sebuah anggukkan kepala dan dia pun membalikkan badannya untuk
pergi dari sini. "Fanculo pezzo di merda figlio di puttana..." Lirih gue.

Setelah gue menutup pintu, gue berjalan secara perlahan sambil mempelajari satu persatu dari
itinerary yang sedang gue pegang. Acara pertama pada siang hari ini akan diawali dengan
sebuah kunjungan kerja pada salah satu kantor Alexy yang berada kota ini, lalu susunan acara
itu pun akan berakhir dalam sebuah perayaan gala dinner yang akan dilaksanakan pada malam
hari nanti.

Gue kemudian merebahkan badan di atas tempat tidur dengan kedua kaki yang menggantung
sambil memegang tinggi-tinggi itinerary dengan kedua tangan, tepat di saat Alexy yang
membuka pintu kamar mandi dengan pelan dan mengintip dari baliknya.

"Dion udah pergi Bay?"

Gue pun mengangkat kepala, lalu gue mengangkat ibu jari. "Che testa di cazzo? Udah pergi
kok." Jawab gue santai.

Alexy membuka pintu kamar mandi itu lebar-lebar, dan kemudian dia berjalan mendekat ke arah
gue. "Bay..." Panggil Alexy sambil duduk di atas tempat tidur yang sama.

"Ya? Kenapa?" Gue menghela nafas cepat melalui mulut, lalu gue bangkit dari tidur dan
menoleh kepadanya.

Alexy terdiam sebentar sambil memainkan ujung-ujung dari tali kimono putihnya, lalu kemudian
dia sedikit menunduk dan mulai berkata sesuatu dengan lirih. "Dion..."

"Hah? Dion?" Gue pun tertawa kecil seraya menarik lembut ujung dagunya agar ia mau menoleh
kepada gue. "Kenapa Leeex?"
"Aku ga enak sama kamu..."

"Aku ga apa-apa kok, beneran deh Lex. Eh, tapi ya paling cuman cemburu dikit doang sih."

"Tuh kaaan!" Alexy pun langsung membenarkan posisi duduknya seraya menyelipkan jemari
tangannya di antara jemari tangan gue. "Maafin aku Bayu! Maaf maaf maaf!"

Gue tergelak. "Maaf buat apa lagi sayang?"

"For making you jealous?"

"Jealous? Ya ampuuun..." Gue pun mencubit gemas kedua pipi Alexy sambil tertawa-tawa. "Ga
usah dipikirin koook. Selama dia ga ngapa-ngapain sama kamu, aku juga bakalan santai-santai
aja. Serius deh. Mendingan sekarang kamu siap-siap gih. Sekarang udah jam berapa hayo?
Nanti kamu malah telat loh, kan kamu juga dandannya ga cukup sejam dua jam."

"Ih kamu mah mulai nyebelin lagi kan!" Alexy merengut sambil mengangkat telunjuknya kepada
gue. "Aku pokoknya bete banget sama kamu!"

Gue pun kemudian tertawa dengan geli seraya mencium sebelah pipinya.

"Let me tell you, I know you don't want to listen to your father, I didn't listen to mine, and I am
telling you you gotta pay attention this time. When life reaches out at a moment like this, it's a sin
if you don't reach back, I'm telling you, its a sin if you don't reach back!

It'll haunt you the rest of your days like a curse. You're facing a big challenge in your life right
now at this very moment, right here. That girl loves you she really really loves you. I don't know if
Nikki ever did, but she sure as shit doesn't right now. So don't fuck this up."

Pat Sr. on Silver Linings Playbook

"Time is the most precious thing in this world. Don't you ever mess that shit up, or you'll be
fucked forever."

Temptationis

"Ciiieee yang abis ngejar sang pujaan hati sampe jauh-jauh ke Medan." Faiz kemudian
menyeruput secangkir kopi pada tangannya sambil menatap gue dengan jahil.

"Loh? Kok lo bisa tau sih Iz?"

"Iya dong, gosip di sini tuh sangat sangat sangat mudah sekali untuk menyebar kayak virus
H1N1."

"Elo tau dari...?"

Faiz pun kemudian mengerlingkan matanya ke arah Gina, yang kemudian dibalas dengan dua
buah acungan jempol oleh si wanita berbadan bulat itu. "Ga enak Bay gue kalo nyimpen gosip
sendirian. Mendingan disebar luas aja biar tidak terjadi keingintahuan berlebih antar sesama
rekan kerja. Iya gak Iz?"

"Nah betul itu Gin!" Faiz tertawa.

"Salah besar kalo gue cerita apa-apa sama elo Gin, salah..." Keluh gue yang membuat Gina
tertawa.

"Eh, eh, Bey, tuh ada cewek lo yang satu lagi mau nyamperin ke sini tuh!" Ujar Faiz tiba-tiba.
"Gue cabut dulu ya! Gin! Balik gawe sono! Awas entar elo kena semprot si Lia!"

"Siap, bos!" Gina memberi gerakan hormat pada Faiz, lalu sesaat kemudian, Gina pun memutar
kursinya dan dia kembali terfokus pada komputer di depannya.

Tidak lama berselang setelah Faiz pergi, Lia kemudian datang menghampiri meja kerja gue
bersama sebundel dokumen yang ia peluk di depan dadanya, lalu dia mengambil beberapa
lembar kertas dan memberikannya kepada gue sambil tersenyum dengan lebar. "As always,
good job mas Bayu."

"Thank you mbak..." Gue tersenyum dan menerima berkas-berkas dari tangannya.

"Tapi tetep inget deadline kita ya, empat hari lagi harus selesai semua. Dan kalo bisa, zero
mistake."

"Oke mbak." Jawab gue mantap yang kemudian diberi sebuah anggukan kepalanya sebelum dia
meninggalkan meja kerja gue.

"Cie yang abis dipuji sama si tante semlohay."

Gue menoleh kepada Gina, lalu gue tertawa dengan pelan seraya melirik ke arah punggung Lia
yang terlihat sudah berada di ujung sana. "Wangi banget ya si Lia? Moga aja dia sering-sering
balik ke sini deh biar gue makin semangat kerjanya."

"Euh, ga kebayang ya kalo misalkan dia ada di kasur yang sama sama elu Bay,
terus naked pula! Sadisss!"

"Wah Gin..." Gue menggeleng. "Ancur lebur itu kasur."

Gina tertawa.

***

"So..." Gue menghela nafas dan melihat-lihat berkas yang sedang gue pegang. "What do we got
here?"

Pada sore harinya, setelah melewati jam pulang kerja. Gue masih berada di dalam ruangan kerja
bersama Levana untuk menyiapkan beberapa buah materi yang akan dikompilasikan ke dalam
sebuah presentasi Power Point dalam memenuhi permintaan pak Wisnu karena deadline
tentang proyek kami berdua yang semakin lama telah semakin dekat, dan gue
juga harus membuatnya dengan sesempurna mungkin karena ini dapat dibilang sebagai
pekerjaan yang menentukan antara hidup dan mati gue di perusahaan ini.

Lalu ketika gue menoleh kepada Levana, dia kemudian mengangkat kedua bahunya sambil
memandangi berbagai macam kertas yang sedang gue pegang. "Portfolio, laporan-laporan,
things..." Ujarnya.

"Mulai dari mana ya kira-kira Lev?"

"Coba dari sini aja mas." Levana kemudian agak sedikit mencondongkan badannya ke depan,
lalu dia mengangkat sebelah tangannya untuk menunjuk ke arah layar monitor dan samar-samar
gue pun dapat menghirup aroma parfumnya yang terasa sangat menggoda. "Nanti baru kita
lanjut masukin data-data yang udah kita compile, edit dikit, selesai."

"Emmm..." Gue menggaruk-garuk pelipis yang tidak terasa gatal dan agak sedikit menjauh dari
Levana dengan gerakan yang kikuk. "Emang enak sih to the point jadinya, tapi apa kita ga perlu
opening yang lebih panjang atau gimanaaa gitu?"

"Bridging-nya aja nanti agak dipanjangin, gimana mas?" Levana menoleh dan menatap gue.

"Engg..." Gue pun kembali menggaruk-garuk pelipis, lalu gue tertawa pelan. "Boleh tuh, paling
nanti aku panjangin di bagian awal sama pas mau pindah ke materi inti biar agak dapet juga
feelnya si bos-bos yang perutnya buncit itu."

"Didenger pak Wisnu baru tau rasa loh!" Levana tertawa dengan renyah dan dia
terlihat sangat menawan sekali pada saat dia sedang tertawa, yang juga membuat gue
tersenyum kecil dengan sendirinya.

"Udah ah sekarang kita kerja dulu, ga selesai-selesai entar kerjaannya." Ujar gue seraya kembali
memperhatikan layar monitor dan membiarkan senyuman itu tetap berada pada bibir gue.

"Wuuu! Mas Bayu sih!"

"Loh kok aku?!"

"Pokoknya salah mas Bayu! Titik!"

"Awas lho typo ngomongnya."


"Tuh kan malah bikin aku pengen ketawa lagi...!" Levana pun memukul-mukul lengan gue sambil
tertawa-tawa dengan lepas.

"Lev..."

"Hmmm...?"

Gue menoleh. "Ga balik?"

"Nanti aja ah..." Levana menggeleng. "Nungguin mas Bayu kerjain ini dulu, biar nanti sekalian
pulangnya."

"Kalo nungguin ini sih ga akan selesai sekarang. Paling selesainya besok malem atau lusa
sebelum kita presentasi." Ujar gue. "Yuk sekarang aku anterin kamu pulang, kasian kamu udah
keliatan capek gini."

Levana pun kemudian tersenyum tipis seraya menyimpan helai-helai rambut di balik telinganya,
lalu dia menarik nafas dalam-dalam dan menghelanya secara perlahan. "Aku bisa pulang sendiri
kok mas."

"Lev..." Gue tertawa kecil sambil menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas. "Kamu
udah berapa lama sih kerja sama aku? Aku kan udah pernah bilang kalo aku ga mau menerima
penolakan. Yuk, nanti kita keburu malem nyampe ke rumah kamunya."

"Mas...?"

Gue menoleh. "Ya?"

Levana mendekat, lalu sedetik kemudian, dia pun langsung meninggalkan seluruh kesadaran
gue jauh di belakang sana melalui sebuah kecupan bibirnya yang terasa manis dan juga hangat
di saat yang bersamaan.

George Benson - Nothing's Gonna Change My Love For You

Terserah

Dua porsi ketoprak pada akhirnya selesai dibuat oleh si abang-abang penjual itu setelah gue
menunggu selama beberapa buah antrian lamanya. Gue pun kemudian menyerahkan uang
dengan sejumlah harga yang diminta, sebelum pada akhirnya berbalik untuk menembus
sekerumunan manusia dan mendekati Alexy yang sedang menikmati goreng-gorengan yang
dibeli olehnya barusan.

"Makin gendut baru tau rasa lho..."


"Emangnya aku makin gendut ya?" Alexy mencubit sebelah pipinya sendiri. "Aku ga gendut kan
Bay?"

"Kamu enggak gendut kok, tapi melar!"

"Ih!" Alexy memukul-mukul lengan gue sambil tertawa.

"Udah ah, yuk balik ke rumah, aku udah laper nih."

"Laper? Laper aja apa laper banget?"

"Bodo."

Alexy tertawa.

Pada pagi hari di Sabtu minggu ini, gue terpaksa mengorbankan seluruh waktu tidur pagi
yang sangat berharga sekali untuk menemani Alexy berbelanja kebutuhan bulanan siang nanti di
supermarket. Hal ini sudah menjadi sebuah kegiatan rutin yang sering gue dan Alexy lakukan
karena kami ingin lebih memilliki quality time bersama dan alhasil pekerjaan yang biasanya
dilakukan oleh bu Kad dan pak Tono pun kini menjadi rutinitas kami berdua.

"Bay, nanti kamu nanti beli shaver, shaving cream, sama aftershave-nya juga ya."

Gue menyimpan sendok dalam keadaan terbalik di atas piring, lalu kemudian menoleh
kepadanya seraya mengelap ujung bibir dengan menggunakan tissue. "Buat apa?"

"Kumis sama jenggot kamu tuh! Geli tau pas kemaren aku dicium-dicum sama kamu!"

"Heh! Gini-gini juga elu tuh cinta ya sama gue!"

"Ah, kata siapa?" Alexy pun kembali memasang wajah tengilnya sembari menopang sebelah pipi
dengan menggunakan tangan. "Gue cinta sama Bayu yang wajahnya bersih tanpa kumis dan
jenggot ya! Bukan cinta sama Bayu yang kumisnya udah mulai tebel sama jenggotnya yang
kayak embe gitu, wleee!"

"Kumis sama jenggot ini tuh keren tau ga Lex? Jantan aja gitu rasanya."

"Iya! Jantan! Kayak kambing jantan!" Alexy tertawa. "Eh Bay..."

"Hmmm...?"

"Abisin dooong..." Alexy pun kemudian menyodorkan piring berisi ketopraknya kepada gue
seraya memasang wajah memelas. "Aku takut gendut, entar kamu malah ga cinta lagi sama aku,
hehehe..."

***

Saat ini, gue sedang berpikir keras sambil memegang dagu dengan sebelah tangan dan
menatap lekat-lekat kepada sebuah laptop yang terpampang jelas pada display desk di depan
gue. Harganya yang cukup miring serta spesifikasi yang disuguhinya pun membuat gue
mempertimbangkan untuk membelinya mengingat laptop yang gue miliki saat ini sudah
memasuki masa pensiun dan harus diganti dengan laptop yang baru.

"No new laptop for you, honey." Alexy tiba-tiba saja berlalu di balik punggung gue bersama
sebuah trolley yang ia dorong, dan sepertinya dia juga sudah mengetahui apa yang sedang gue
pikirkan saat ini.

"Mbak..." Gue memanggil seorang pramuniaga. "Kalo laptop yang ini berapa ya harga pasnya?"

"Oh, kalo yang ini harganya tiga juta sekian mas, selain itu, mas juga nanti bakal dapet beberapa
keuntungan jika membayar dengan menggunakan kartu kredit dari bank tertentu seperti..."

Gue pun mendengarkan si pramuniaga itu secara seksama dan mencoba untuk menimang-
nimang apakah gue memang harus membelinya ataukah tidak. Tetapi tidak lama setelah itu, ada
seorang wanita yang melingkarkan tangannya pada lengan gue, dan dia dengan halusnya
berbicara kepada si pramuniaga itu bahwa gue hanyabertanya-tanya saja, yang sekaligus
membuat gue gondok pada saat dia menarik tangan gue untuk menjauh dari counter elektronik.

"Jangan kayak anak kecil deh, kita kan niatnya mau belanja bulanan, bukan jajan yang lain!"
Alexy mencubiti lengan gue.

"Yah, Lex, mumpung lagi murah tuh harganya..."

"Oke deh, gini Bay." Alexy menghentikan langkah kakinya, lalu dia berdiri di hadapan gue sambil
tersenyum. Gue pun kemudian menjadi ikut senyam-senyum sendiri karena gue telah melihat
sebuah aura perizinan darinya. "Kamu boleh beli laptop itu..."

"Yesss!"

"Aku belum selesai ngomongnya ih!" Ujar Alexy ketus. "Kamu boleh beli laptop itu, tapi kamu
jangan ketemu ataupun kontak-kontakan sama aku selama satu bulan."

Alexy pun kemudian mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum dengan sangat manis
sekali, sebelum pada akhirnya dia berbalik dan kembali mendorong trolley itu seraya melihat-
lihat ke samping, meninggalkan gue yang masih terbengong-bengong di sini bersama wangi
parfumnya yang samar-samar masih tersisa di udara.

***

Gue mengubek-ubek dashboard mobil milik Alexy, dan seketika saja gue melongo pada saat
mendapati satu buah CD Album milik Avenged Sevenfold. Album yang sedang gue pegang ini
kemudian gue bolak-balikkan dan melihatnya secara detail karena barangkali album ini bukan
dimiliki Alexy, tetapi gue tidak menemukan adanya sesuatu yang aneh di situ.

"Bay kamu lagi ngapain? Duduknya gitu banget." Alexy melongokkan kepalanya ke dalam
melalui pintu samping mobil yang terbuka.

"Aneh." Gue mengangkat CD Album yang sedang gue pegang. "Kamu kok cantik-cantik gini
demennya sama lagu Avenged Sevenfold sih?"
Alexy tertawa. "Itu punya Babang aku, tapi kadang-kadang aku juga sering dengerin di jalan kalo
lagi macet."

"Cadas ya kamu!" Gue mencubit gemas pipinya.

Setelah Alexy masuk ke dalam mobil, dia kemudian melepas ikatan pada rambut kecokelatannya
serta sedikit menurunkan resleting pada cardigan biru tua yang dikenakan olehnya hingga
sebatas dada, lalu dia menoleh kepada gue. "Aku kayaknya salah deh Bay muter-muter di
supermarket pake heels. Kaki aku jadi pegel-pegel semua."

Gue pun mengerlingkan mata kepadanya seraya tersenyum dengan geli. "I told ya..."

Jalanan ibu kota terlihat cukup ramai pada hari ini. Walau sampai kapanpun gue tahu bahwa
Sudirman pastiakan selalu ramai seperti sekarang, tetapi entah kenapa gue malah menjadi
senang ketika sedang berada di tengah-tengah keramaian seperti ini. Selalu ada hal-hal kecil
dan tidak penting yang bisa gue perhatikan. Entah apakah itu seperti ekspresi para pengemudi
kendaraan bermotor yang terlihat di balik jendela, atau bahkan hanya sekedar berbagai macam
jenis sticker yang tertempel pada kaca belakang mobil pun selalu gue perhatikan dan itu semua
kadang-kadang menjadi hiburan kecil bagi gue sendiri.

"Nanti Papa sama Mama aku mau ke Jakarta loh."

"Oya? Kapan?"

"Mana mulut kamu?" Alexy bertanya seraya menyodorkan sendok es krim pada tangannya.
"Paling nanti awal bulan, soalnya mereka baru dateng ke rumah Bude kemaren."

"Mmm..." Gue mengemut es krim tersebut hingga terasa meleleh seluruhnya, lalu gue menoleh
kepada Alexy. "Bude yang di Bali itu ya?"

Alexy mengangguk antusias. "He-eh, nanti kita jemput mereka di bandara ya?"

"Boleh." Ujar gue seraya memutar arah kemudi.

Tidak lama berselang, Blackberry yang gue simpan di sela-sela perseneling terdengar bergetar
secara konstan yang menandakan adanya sebuah panggilan masuk. Pada awalnya gue hendak
melihat dan mengangkat panggilan telepon tersebut, tetapi gue mengurungkan niatan itu seiring
dengan jalan yang menjadi lowong.

"Siapa Bay?" Tanya Alexy.

"Ga tau..." Gue mengangkat kedua bahu. "Tolong liatin dong Lex."

"Siapa Lia Bay?"

"Eh, itu atasan aku, sini-sini." Gue mengangkat tangan ke samping dan menerima telepon dari
Alexy, lalu kemudian gue pun langsung mengangkat panggilan dari Lia itu. "Halo, selamat siang
mbak Lia."
"Selamat siang juga mas Bayu, bisa ke kantor sekarang ga mas?"

Gue tertegun. "Sekarang juga mbak?"

"Iya, client kita tiba-tiba ada yang wanprestasi. Pak Wisnu tadi udah calling saya buat panggil
orang-orang buat rapat siang ini juga di kantor."

"Waduh, bisa sih mbak, tapi saya ga mungkin buat ganti baju dulu kalo mau rapat sekarang.
Saya lagi enggak di rumah soalnya.

"Ga apa-apa mas, saya juga ga pake setelan kantor kok. Mas Bayu sekarang ada di mana?"

"Saya ada di daerah Sudirman mbak, deket kok sama kantor."

"Kalo gitu langsung ke kantor aja ya sekarang, sama siapin data-data client yang wanprestasi
itu."

Gue pun menghela nafas pelan seraya melirik ke arah Alexy yang terlihat sedang melipat kedua
tangan di depan dadanya. "Oke mbak."

"Oke, saya tunggu di kantor secepatnya ya mas Bayu."

"Oke." Lalu kemudian panggilan itu ditutup dari ujung sana, yang seketika membuat gue menarik
nafas dalam-dalam seraya menoleh kepada Alexy. "Lex."

Alexy menoleh, lalu dia menatap gue dengan sebuah tatapan yang terasa dingin. "Jadi kamu
mau ke kantor sekarang? Terus acara kita hari ini batal semua? Gitu?"

"Lex, ini kan sama sekali di luar rencana aku. Aku sama sekali ga tau kalo tiba-tiba hari ini aku
dipanggil ke kantor."

"Kamu ngerti dong Bay! Kita tuh jarang banget punya quality time buat kita berdua! Tapi pas
sekalinya kita punya waktu kenapa kamu tiba-tiba ga bisa?!"

"Aduh Lex..." Gue mengusap wajah dan menggelengkan kepala. "Aku bilang ini di luar rencana
aku tapi itu juga merupakan kewajiban aku Lex! Aku ga bisa ninggalin kewajiban aku begitu aja!"

"Terserah deh Bay, aku lagi ga mau debat sama kamu hari ini..."

"Lex please..." Gue mencoba menggenggam tangan Alexy, namun ia menepisnya dengan kasar
yang membuat gue menjadi sedikit emosi.

"Aku bilang terserah!" Alexy menatap gue tajam. "Kamu ngerti kan Bay apa arti terserah itu?!"

Dismayed
"Mau tunggu di sini apa ke meja aku di atas?"

Alexy menggeleng pelan. "Aku tunggu di sini aja."

Gue pun kemudian tersenyum kecil seraya mengangguk pelan, sebelum pada akhirnya
mengecup sebelah pipi Alexy dan berbalik menuju lift di belakang sana.

Kami berdua sempat beradu argumen di dalam mobil beberapa saat yang lalu hingga gue perlu
menepi ke pinggir jalan. Gue terus bertahan dengan opini gue sendiri dan Alexy juga
pun selalu kekeuh dengan keinginannya bahwa kami harus tetap memiliki quality time bersama.
Hampir tidak dapat ditemukan titik terang di antara permasalahan yang kami berdua hadapi
karena masing-masing dari gue dan Alexy yang sama-sama ingin mempertahankan apa yang
menurut kami benar.

Walaupun gue yakin bahwa Alexy masih marah terhadap gue karena hal tersebut, but at least
this is the best I can do. Gue tahu bahwa kami tidak akan pernah menemukan solusi bagi
masalah ini jika masing-masing di antara kami tidak ada yang mau mengalah. Gue pun pada
akhirnya meminta kepada Alexy untuk ikut dan menunggu gue di sini, lalu kami berdua akan
kembali melanjutkan acara-acara yang sempat tertunda dan gue juga sama sekali tidak akan
menolak apapun yang Alexy inginkan selanjutnya.

Ding! Pintu lift terbuka.

Ruangan kerja gue tampak sepi. Hampir tidak ada orang lain lagi di sini selain gue bersama
beberapa orang lainnya yang gue asumsikan sebagai peserta dari rapat tersebut. Sambil
menunggu komputer untuk menyala seluruhnya, gue mengeluarkan Blackberry dari dalam saku
celana dan mengirimkan beberapa chat kepada Alexy untuk sekedar menemaninya dari sini.

Tidak lama berselang, samar-samar gue dapat menghirup sebuah aroma parfum yang
terasa sangat familiar sekali yang membuat gue agak sedikit bangkit dari duduk, lalu gue
melongok ke arah sebuah meja yang terletak tidak jauh dari cubicle ini.

Di sana, di depan sebuah meja kantor lengkung berwarna cokelat terang, gue mendapati
seorang wanita yang mengenakan balutan dress kantor pendek berwarna abu-abu cerah beserta
stiletto berwarna senada dengan dress yang digunakan olehnya. Rambut hitam panjang milik si
wanita itu pun terlihat ditata dengan rapi yang tergerai di balik punggungnya, dan dia juga
sedang melakukan hal yang sama dengan apa yang sedang gue sekarang lakukan di depan
komputer miliknya.

Setelah gue melihat seorang wanita yang sangat gue kenali itu, gue pun kemudian menghela
nafas dengan kasar seraya melempar badan ke atas kursi sambil memejamkan kedua mata
rapat-dapat.

Kenapa di saat yang sedang hectic seperti ini, Levana harus berada di tempat yang sama
dengan gue?

Gue tidak tahu kenapa dia tiba-tiba ada di kantor. Gue tidak tahu ada hubungan apa antara
Levana dengan rapat mendadak yang akan dimulai beberapa saat lagi, dan gue juga sama
sekali tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika seandainya Alexy melihat, atau mungkin
hanya sekedar mengetahui bahwa gue dan Levana ada di sini saat ini.

Gue meremas rambut.

"Mas Bayu..."

"Eh, mbak Lia?" Gue terlonjak kaget.


Lia pun kemudian sedikit mengkerutkan keningnya seraya menatap gue dengan heran, lalu dia
menyodorkan beberapa lembar kertas pada tangannya. "Mas Bayu kayaknya emang ga siap
deh buat dipanggil ke kantor."

"Engg, maaf mbak..." Gue membenarkan posisi duduk seraya menerima dokumen-dokumen itu.
"Saya kaget aja tiba-tiba dipanggil ke kantor, soalnya jarang-jarang kan ada kasus yang kayak
gini..."

"Oh iya, presentasi tentang proyek itu udah siap?"

"Kalo gak salah sih udah siap semua mbak..." Gue menggaruk pelipis dengan canggung.
"Tinggal nunggu kapan aja pak Wisnu bisa rapatnya."

"Kok kayak yang ga yakin gitu sih mas jawabnya?"

"Emmm, soalnya..." Gue mengigit bibir bawah seraya menatap ke arah lain. "Levana yang saya
kasih tugas buat ngedit semua susunan presentasi itu mbak." Ujar gue, yang sedetik kemudian
membuat gue tersadar akan sesuatu.

Holy shit. Kini gue sudah mengetahui kenapa Levana bisa berada di sini, saat ini juga, karena
kemungkinan kami berdua akan menyampaikan presentasi mengenai apa yang sudah kami
kerjakan sebelumnya.

"Lev..." Lia memanggil Levana seraya memainkan telunjuknya.

Levana pun kemudian datang bersama beberapa bundel dokumen yang sangat gue kenali sekali
pada tangannya. "Iya mbak?"

"Bawa apa yang saya minta?"

"Bawa mbak, ada di sini semua." Levana mengangkat dokumen-dokumen tersebut.

"Oke jadi nanti kalian berdua langsung presentasi setelah rapat ini selesai. Bisa kan?"

Gue pun menoleh kepada Levana untuk meminta pendapatnya, namun sepertinya Levana juga
menyerahkan seluruh keputusan itu kepada gue melalui ekspresi wajahnya itu. "Oke deh, bisa
mbak." Jawab gue pada akhirnya.

"Perfect!" Lia tersenyum puas. "Saya tunggu di ruang rapat sekarang."

Beberapa saat setelah Lia meninggalkan gue dan Levana di sini, kami berdua masih tidak
mengeluarkan suara apa-apa dan kami juga hanya bisa saling terdiam bersama berjuta pikiran
yang mungkin sedang melayang-layang di dalam benak kami berdua.

Gue sangat tidak mempermasalahkan apapun mengenai presentasi yang akan gue berikan
bersama Levana di depan pak Wisnu nanti, tetapi gue sangat mempermasalahkan
perasaan apa yang sedang gue rasakan kepada seorang wanita cantik yang sedang berdiri di
depan hadapan gue.

"Mas..."

"Ya, Lev?"

"Soal yang waktu itu..." Levana sedikit menundukkan kepalanya. "Maaf..."

"Lev..." Gue menghela nafas secara perlahan seraya menoleh kepadanya. "Menurut aku,
sekarang kayaknya bukan timing yang pas buat ngobrolin hal itu. Masih ada something yang
harus lebih kita prioritaskan saat ini dan kayaknya kita juga bisa ngobrol lebih jauh tentang hal itu
di lain hari. Bukan di sini, bukan di kantor, tapi di suatu tempat yang mungkin bisa membuat kita
berpikir lebih jernih lagi dari sebelumnya. Gimana?"

Levana menengadahkan kepala, lalu dia tersenyum tipis seraya menyimpan helai-helai rambut di
balik telinganya. "Makasih ya mas..."

"Makasih buat...?"

Levana pun menggeleng pelan sambil tetap memperlihatkan senyuman pada bibirnya, sebelum
pada akhirnya dia berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya sendiri bersama sebundel
dokumen yang sedang ia peluk di depan dadanya.

***

Ini adalah sebuah rapat yang sangat menguras tenaga sekali. Setelah gue dan Levana
mempresentasikan hasil pekerjaan kami barusan, ternyata rapat ini masih berlangsung dan
dilanjutkan oleh para bos besar lainnya yang secara bergantian berbicara di depan sana sambil
menunjuk-nunjuk ke arah layar proyektor dengan menggunakan laser pointer berwarna merah.

Gue sudah tidak bisa lagi fokus dalam memperhatikan bos-bos besar itu karena pikiran gue
sudah sangat inginsekali meninggalkan ruangan rapat dan menemui Alexy di bawah sana
mengingat bahwa hari sudah mulai beranjak sore melalui jendela-jendela besar di sekeliling gue
yang ditutupi oleh gorden vertical blinds berwarna putih keemasan karena diterpa oleh sinar
mentari sore di luar sana.

Gue pun menghela nafas panjang secara perlahan seraya memain-mainkan pulpen di atas
kertas dan mencoba untuk kembali mendapatkan konsentrasi penuh agar gue bisa
memperhatikan mereka yang sedang berbicara di depan, tetapi sayangnya gue masih belum
bisa mendapatkan konsentrasi tersebut. Entah kenapa. Gue hanya tidak bisa berkonsentrasi
dengan penuh pada rapat hari ini.

Rekan-rekan kerja gue yang lain pun sepertinya sedang merasakan hal yang sama dengan gue.
Mereka semua sudah mulai terlihat tidak fokus, dan bahkan sepertinya mereka juga sudah
merasa bosan dan ingin segera mengakhiri rapat yang sangat melelahkan ini. Tetapi diantara
sekian banyak orang-orang yang sudah tidak bisa memusatkan perhatiannya lagi, ternyata
masih ada seorang wanita yang sedari tadi masih memiliki konsentrasinya.

Levana, pada saat gue menoleh kepadanya, dia terlihat masih memiliki tenaga untuk mengikuti
jalannya rapat. Sesekali Levana menunduk untuk mencatat beberapa poin penting yang
menurutnya penting untuk dicatat, lalu dia kembali memperhatikan bos-bos itu sambil memasang
wajah serius. Tidak heran jika Levana cepat mendapatkan promosi kerja karena sikapnya yang
menurut gue memang terasa sangat profesional sekali dalam menjalani pekerjaannya.

Mungkin karena dia merasa sedang ditatap oleh seseorang, Levana kemudian menolehkan
kepalanya ke arah gue, lalu dia tersenyum dan mengangguk kecil kepada gue. Gue pun mau
tidak mau membalas senyumannya itu dengan kikuk seraya membenarkan posisi duduk,
sebelum pada akhirnya gue mengalihkan pandangan dan mencoba untuk menghiraukan Levana
untuk sejenak seraya menghela nafas pelan dengan panjang.

Sepertinya, gue memang harus menghiraukannya untuk sejenak, dan gue juga harus bisa
berdamai dengan sebuah perasaan aneh yang tiba-tiba saja muncul dengan sendirinya, tepat
pada saat setelah Levana yang dengan spontannya mencium gue pada sore hari yang sepi itu.

Ya.
Sepertinya gue harus...

Enya - Deora Ar Mo Chro

Too Young To Know

Malam ini sang rembulan terlihat bersinar terang di atas sana bersama beberapa buah bintang
yang juga ikut berkerlap-kerlip di sekelilingnya. Sambil menyunggingkan sebuah senyuman tipis,
gue pun kemudian menurunkan pandangan dan berjalan menjauh dari dinding pembatas, lalu
gue masuk ke dalam kamar dan duduk di atas kasur sambil menggenggam Blackberry seraya
menatap ke arah Sita yang sedang asyik bersama laptop beserta berlembar-lembar kertas revisi
yang berceceran di sekitarnya.

"Apa kabar skripsi lo Sit?"

"Diem...!" Sita mengangkat sebelah telunjuknya tanpa menoleh. "Gue lagi asik revisian nih,
kapan lagi coba gue bisa anteng kayak gini?!"

"Yaudah..."

Tanpa ingin mengganggu Sita yang sepertinya memang sedang terlihat serius, gue kemudian
memutuskan untuk kembali berjalan keluar dari kamar dan merokok pada kursi plastik di depan.
Di saat gue sedang mencoba untuk menyalakan korek api kayu, berkali-kali sang angin pun
berhembus dengan agak kencang yang seketika saja membuat api pada ujung korek tersebut
mati.
"Fuck...!" Lirih gue pelan.

Alexy sepertinya memang benar-benar melarang gue untuk kembali merokok walaupun
itu hanya untuk satu batang saja, yang kadang-kadang membuat gue menjadi kesal sendiri.
Tidak lama setelah itu, gue mendengar suara pintu kamar yang berdecit, lalu gue menoleh ke
samping dan mendapati Heri yang sudah siap bersama seragam kerjanya dan dia juga terlihat
sedang duduk di ambang pintu sambil mengikat tali pada sepatunya.

"Shift malem lagi pak?"

Heri menoleh, lalu dia mengangguk. "Iya, orderan gue banyak banget soalnya."

"Lagi ngejar target ya kantor elu?"

"Aaah..." Heri bangkit berdiri. "Iya nih Bay. Lumayan lah buat nambah-nambah uang jajan
bulanan." Ujarnya, lalu dia menoleh ke arah kamar gue dan sepertinya Heri juga melihat Sita di
dalam sana yang membuat dia mengangkat sebelah tangannya dengan semangat. "Neng Sita!
Abang gawe dulu ya!"

"Bodo amat Her! Gue ga peduli...!" Jawab Sita dengan cuek yang membuat gue terkekeh pelan.

"Itu cewek pasti jadi PMS Her kalo lagi skripsian."

"Ooh dia lagi skripsian toh ternyata..." Heri pun mengangguk kecil seraya tersenyum dengan jahil
ke arah gue, lalu dia berbicara sesuatu dengan agak sedikit berteriak. "KAPAN ELO LULUSNYA
SIT?!"

"WOI KAMPRET...!"

Lalu sedetik kemudian, ada sebuah bantal tidur yang melayang keluar dari dalam kamar gue.

***

Alexy, jika dia sedang hangout bersama teman-teman wanitanya, sepertinya dia akan sangat
sulit sekali untuk dihubungi. Gue pun kemudian menghela nafas dengan kasar seraya
membaringkan badan di atas tempat tidur, masih bersama Sita yang masih terlihat anteng
bersila di atas lantai beserta skripsinya yang entah sudah sampai bab berapa.

"Yak! Selesaiii yeay!" Sita pun bertepuk tangan kecil yang membuat gue menoleh. "Nanti pagi
tinggal gue print, terus gue kasih ke dosbim, terus gue sidang deeeh!"

"Akhirnya yaaa setelah sekian lama, skripsi lo bisa kelar juga malem ini." Gue tersenyum simpul.

"Gue capek Bey kuliah lama-lama, udah hampir lima taun coba gue kuliah." Ujarnya berapi-api.
"Temen-temen satu geng gue udah mulai pada lulus semua, masa gue mau tinggal sendirian sih
di kampus?"

"Eh tapi udah berapa cowok yang lo ambil keperjakaannya selama lima taun lo kuliah Sit?"

"Heh!" Sita pun tertawa terbahak-bahak seraya memukul-mukul gue dengan modul tebal yang ia
sedang pegang pada tangannya hingga gue meringis kesakitan. "Uuh, sakit ya Bey?"

"Menurut LO?!"

"Menurut gue, gue baru ngambil beberapa keperjakaan aja kok!"


"Buset lo Sit, anak orang diperawanin juga." Gue terkekeh pelan.

"Tapi perawan elo belom gue ambil deh Bay, gimana dong?"

Gue mengangkat sebelah bibir, lalu pun gue menatapnya dengan nakal. "Wanna try?"

"Sorry ye, gue lagi palang merah!" Sita menjulurkan lidahnya, yang sektika saja sukses membuat
gue menunduk dan tertawa kecil sambil menggaruk-garuk pelipis yang padahal tidak terasa
gatal.

"Eh, Sit, nanti abis skripsi lo selesai, elo bakal terus ada di sini, atau..." Gue pun mengangkat
kepala seraya menoleh kepadanya dengan gerakan yang lambat, lalu gue kembali meneruskan
sebuah pertanyaan itu yang sebelumnya sempat terhenti untuk sejenak. "Elo bakalan balik ke
Bali...?"

Ada sebuah jeda selama beberapa detik setelah gue bertanya mengenai hal itu kepada Sita. Dia
kemudian bangkit dan membereskan kertas serta buku-buku yang berceceran di sekitar laptop
dan menumpuknya di salah satu sudut kamar, lalu dia kembali duduk bersila dan memandangi
gue sambil memiringkan kepalanya, yang membuat gue menjadi kikuk ketika ditatap oleh Sita
dengan sebuah tatapan mata yang seperti itu.

"Kenapa lo tiba-tiba tanya kayak gitu?"

"Ya..." Gue mengalihkan pandangan. "Gue cuman nanya doang sih."

"Sejujurnya, gue ingin terus tinggal di Jakarta Bey." Ujarnya kemudian. "Gue lebih 'sreg' tinggal
di sini daripada di Bali. Walaupun gue emang terlahir sebagai orang Bali tulen, tapi gue ngerasa
kalo rumah gue tuh di sini, bukan di Bali sana..."
"..."

"Kayak gimana ya rasanya, gue cuman ngerasa lebih cocok aja buat tinggal di sini. Tapi kalo
misalkan ternyata takdir harus berkata lain, ya berarti..." Sita pun menghela nafasnya, lalu dia
tersenyum dengan sangat manis sekali seraya mengangkat kedua bahunya dengan pelan.

"...gue sepertinya emang ga akan pernah bisa untuk melawan takdir."

Oh God...

Kamar di sebelah gue terdengar sepi tanpa suara. Tidak ada suara musik EDM ataupun
American Pop dengan volume rendah yang terdengar seperti biasanya, karena Sita memang
sudah pergi pagi-pagi sekali untuk menghadiri sebuah acara pesta ulang tahun dari salah
seorang temannya pada sebuah villa di daerah Puncak, Bogor, dan alhasil gue pun kini hanya
bisa bermalas-malasan sendiri di dalam kamar sambil menonton beberapa film yang kemarin
sudah gue download di kantor.

Satu buah film pada akhirnya selesai gue tonton dan masih ada list-list judul film lainnya yang
masih belum gue lihat, namun sepertinya gue tidak bisa menontonnya pada saat ini. Perut gue
mulai keroncongan. Gue lapar. Lalu setelah gue menimang-nimang sebentar, gue pun kemudian
memutuskan untuk pergi menuju warteg terdekat untuk mengisi perut yang semenjak tadi pagi
memang belum diisi oleh apapun.

Butuh sekitar 5 menit bagi gue untuk berjalan kaki menuju warteg itu karena memang letaknya
yang berada di ujung jalan dan agak dekat dengan jalan utama. Namun sayangnya, tidak pernah
ada menu makanan yang baru di warteg ini. Semuanya selalu sama dengan hari-hari
sebelumnya dan itu membuat gue menjadi tidak bernafsu untuk makan karena gue terlalu bosan
dengan semua menu yang disajikan.

Telur dadar, tempe kering, ayam goreng, sayur jamur, ikan goreng, semuanya tidak ada yang
bisa menggugah selera makan. Gue pun pada akhirnya memutuskan untuk kembali pulang ke
kostan dengan tangan yang hampa, dan tentunya gue juga tetap membiarkan perut yang sedang
kosong kelaparan.

Kriiuuuk...

"Ow shit..." Lirih gue seraya memegang perut yang dilatari dengan suara bising dari knalpot
motor.

Sudah terlalu telat bagi gue untuk membeli sarapan yang biasanya ada di sekitar sini karena
waktu yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang dan tidak ada lagi warung makanan yang
ada di sini selain warteg tersebut. Gue pun menjadi bingung sendiri. Gue tidak bisa mengajak
Alexy untuk pergi keluar karena dia sedang ada sebuah meeting bersama clientnya, dan
kadang-kadang itu juga bisa memakan waktu yang sangat lama sekali hingga gue menjadi bete
sendiri karena menunggunya.

Gue pun menarik nafas, lalu menghembuskannya dengan cepat dan menggeleng pelan.

Yah, sepertinya memang tidak ada salahnya jika gue berjalan-jalan sendiri pada sebuah pusat
perbelanjaan untuk sekedar mencari makan sekaligus menyegarkan pikiran di Sabtu siang yang
terik ini.

***

Tiba-tiba saja gue menjadi kangen dengan masakan Italia, dan rasa kangen itu jugalah yang
membawa gue menginjakkan kaki di sini untuk kembali merasakan makanan bercita rasa khas
Italia Utara. Setelah menunggu selama beberapa saat, akhirnya pesanan yang gue minta pun
datang. Risotto yang terlihat rich and creamy ini langsung menggugah selera makan gue dan
risotto itu juga langsung menarik ingatan gue untuk melompat jauh ke belakang. Melompat jauh,
pada saat gue masih berkuliah di Italia dulu.

Ada satu buah kota kecil bernama Biella yang pernah menjadi salah satu destinasi getaway gue
dan kawan-kawan lainnya untuk menghabisi summer holiday serta libur pergantian semester.
Kami semua pada saat itu pergi dengan menggunakan VW Kombi berwarna biru cerah dengan
atap berwarna putih gading milik Migul, dan gue juga masih dapat mengingat dengan jelas
bahwa Kombi miliknya itu memiliki sebuah logo 'Peace' berwarna hitam pylox pada sisi kanan
dan kirinya.

Lalu ketika kami memasuki wilayah Biella, gue pun hanya bisa tercengang pada saat melihat
apa yang sedang gue lihat saat itu. Biellese Alps yang tergabung sebagai rangkaian
pegunungan Alpen yang puncaknya selalu ditutupi oleh salju, bangunan-bangunan khas Italia
yang berarsitektur 'jadul' yang memukau, dan, oh my god,dengan seorang sexy blonde yang kini
sedang tertidur pulas di atas paha gue?

It's called perfect.

Setelah kami memasuki pintu masuk kota tersebut, Migul pun membawa kami menuju
rumahnya yang terletak agak di ujung dan jauh dari hiruk pikuk suasana pusat kota. Kami semua
kemudian langsung disambut oleh seorang ibu-ibu berusia 50an pada pekarangan rumahnya
dan dia juga masih mengenakan apron berwarna putih polos beserta sepasang kitchen
glove yang menyembul keluar dari saku apron tersebut.

Aroma harum masakan pun langsung tercium oleh indera penciuman ketika kami memasuki
rumahnya yang minimalis itu. Lalu pada saat gue bertanya kepada si ibu dengan bahasa Italia
yang masih seadanya, gue sudah tahu, ketika si ibu memberitahu nama masakan apa yang
dimasak olehnya, gue mulai jatuh cinta dengan sebuah menu masakan yang bernama risotto.

"Ini bill-nya mas..."

Lamunan gue pun terbuyar secara tiba-tiba, lalu gue menoleh dan mengangguk kecil kepada si
pramusaji itu. "Makasih ya mbak."

Tidak berselang lama, senyuman pada bibir gue seketika berubah menjadi sebuah tawa kecil
ketika gue melihat sejumlah angka yang tertera pada tagihan tersebut. Gue pun mengusap-usap
kening seraya menggeleng pelan. Semahal itukah harga yang harus gue bayar untuk seporsi
kenangan?

Setelah gue terdiam sebentar, gue pun pada akhirnya menandatangani tagihan itu dan kembali
menyerahkannya kepada si pramusaji yang juga terlihat sedang menahan tawa pada bibirnya.

"Kenapa mbak? Kok ketawa-tawa sendiri?" Tanya gue, masih dengan sedikit tertawa, dan kini
gue juga menatapnya dengan sebuah tatapan geli.

"Eh, maaf mas..." Si pramusaji itu terlihat kikuk. "Ga ada apa-apa kok..."

"Oh yaudah kalo gitu, ini bill-nya."


"T-terima kasih ya mas sudah makan di restoran kami."

Gue pun kemudian bangkit dari duduk, lalu gue menepuk pelan lengan dari si pramusaji itu
seraya tertawa pelan. Gue bukan menertawakan kekikukan sikapnya, melainkan menertawakan
harga makanan yang nominal angkanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari gue
selama hampir satu minggu ke depan.

***

Hari sudah mulai beranjak sore ketika gue tiba di sini. Setelah gue berkeliling kota Jakarta tanpa
arah dan tujuan sehabis dari restoran Italia tadi, tiba-tiba saja gue ingin menemui Alexy pada
sebuah restoran di bilangan Senopati yang menjadi tempat meetingnya tanpa memberitahukan
kepada Alexy terlebih dahulu. Bukan apa-apa, gue hanya ingin tahu, dan gue juga hanya ingin
sekedar melihat aktivitas Alexy bersama clientnya.

Dan juga aktivitasnya bersama Dion, tentunya.

Oke, oke! Gue kadang-kadang masih merasa insecure ketika Alexy sedang menjalankan
aktivitas sehari-harinya bersama Dion walaupun itu semua masih dalam konteks pekerjaan.
Walaupun Dion memang atasan dari Alexy, tetapi mau bagaimanapun juga, Dion telah menaruh
rasa kepada Alexy yang hingga saat ini masih belum bisa gue tebak jumlah besarannya.

Sedikitkah? Sebanyak dengan seluruh perasaan cinta dan sayang yang gue miliki kepada Alexy-
kah?

Atau bahkan lebih?

Well, I have no fucking idea about that.

Aroma makanan barat yang khas pun langsung tercium ketika gue membuka pintu masuk, tetapi
itu semua tidak membuat gue tergoda dan gue malah menyapu pandangan ke seisi ruangan
untuk mencari keberadaan Alexy. Di sana, di salah satu sudut ruangan yang agak di dalam, gue
dapat melihat sosok Alexy, dan gue juga dapat melihat dengan jelas punggung dari seorang
Dion yang sedang duduk di seberangnya.

Mereka berdua terlihat asyik berbicara mengenai sesuatu bersama beberapa hidangan makanan
yang tersaji di atas meja. Gue pun terus memperhatikannya dari sini. Bukan memperhatikan
Dion, tetapi gue memperhatikan Alexy, satu-satunya kekasih hati yang sangat gue cintai.

Gue melihat gerak bibir Alexy yang samar-samar dapat terlihat dari sini, gue melihat seluruh
gesture tubuh Alexy, menikmati guratan senyum pada bibirnya, dan gue juga hanya bisa
mengkerutkan kening dalam-dalam pada saat gue melihat Dion yang mengambil serbet dan
menyentuh salah satu sudut dari bibir Alexy, yang untungnya saja ditepis pelan olehnya.

Well, I'm such a stalker...

Apa yang gue lakukan saat ini ternyata harus berakhir ketika ada seorang pramusaji yang
datang bersama sebuah buku menu yang ia peluk di depan dadanya. Karena gue memang tidak
berniat untuk makan di sini, gue pun kemudian hanya memesan beberapa menu take away saja
untuk memakannya di kostan nanti. Sambil menunggu pada salah satu meja yang dekat dengan
pintu keluar, gue pun kemudian mengeluarkan Blackberry dari dalam saku celana, lalu gue mulai
mengetikkan sebuah pesan untuk bertanya tentang sesuatu kepada Alexy.

Beberapa saat setelah gue mengirimkan pesan itu, gue melihat Alexy yang langsung
mengalihkan pandangannya ke arah handphone yang ternyata ia simpan di atas meja, lalu ia
mengambilnya dan kemudian ia juga terlihat mengetikkan sesuatu di situ.
"Aku sekarang masih di resto sayang, lagi makan dulu sama Dion, mumpung lagi dibayarin
sama client akuuu hehehe. Nanti malem kita jalan keluar yuk?"

Itu adalah sebuah chat yang Alexy kirimkan kepada gue, yang membuat gue sedikit
menundukkan kepala dan menatap ke arah layar handphone sambil tersenyum kecil. Gue
sangat bersyukur sekali ketika gue mengetahui bahwa Alexy sama sekali tidak berbohong dan
menutup-nutupi tentang apa yang terjadi pada hari ini, dan secara otomatis itu pun membuat gue
merasa semakin mencintai Alexy melebihi dari apapun.

Tidak ada lagi alasan bagi gue untuk cemburu. Tidak ada lagi alasan bagi gue
untuk insecure dan tidak percaya kepada Alexy, karena Alexy telah membuktikan seluruhnya
kepada gue. Saat ini, di sini, dan di depan mata kepala gue sendiri. Gue hanya bisa merasa
bodoh dan tolol jika gue masih menaruh rasa cemburu kepada setiap lelaki yang berusaha
mendekatinya, termasuk rasa cemburu terhadap Dion.

Lalu setelah gue keluar dari restoran ini sambil menenteng kantong plastik yang berisi makanan
yang telah gue pesan, gue pun kemudian membalas chatnya itu sambil merasakan sebuah
perasaan lega yang teramat sangat.

"Aku kebetulan lagi deket sama daerah Sudirman, kalo kamu udah selesai nanti kita langsung
ketemuan di fx aja yaaa."

"Oke sayang."

"Cinta kamu, Lex..."

***

Gue menyeruput secangkir caff latte secara perlahan dan menikmati sisa-sisa dari whip
cream yang masih menempel pada bibir, lalu gue menyimpan cangkir tersebut pada sebuah
meja bundar berwarna cokelat gelap di depan sambil menyandarkan punggung pada kursi.
Sudah hampir satu jam lebih gue berada di sini. Terduduk sendirian bersama secangkir caff
latte kedua, dan gue juga hanya bisa terbengong-bengong sambil menunggu Alexy untuk datang
menemui gue di sini.

Gue sama sekali tidak tahu apa yang menghambat Alexy yang membuat dia menjadi telat. Jika
Alexy sudah mengatakan 'ya', dia pasti akan datang walaupun kadang-kadang jam
kedatangannya bisa berubah seenak jidatnya sendiri dengan berbagai alasan. Make up yang
kurang pas lah, rambut yang belum dicatok lah, ini lah, itu lah, dan lain sebagainya.

Saat gue memperhatikan sekitar, ternyata terdapat banyak sekali pasangan muda-mudi yang
sedang menikmati malam minggunya di sini. Bercanda tawa berdua, mengobrol mengenai
berbagai macam hal, berangkulan dan bergandengan mesra, dan itu semua kadang-kadang
membuat gue ingin tertawa sendiri. Masih teringat jelas bagaimana perasaan gue pada saat itu
ketika gue belum berpacaran dengan Alexy.

Rasa iri memang ada, rasa ingin dicintai seseorang juga pasti ada, tetapi gue juga merasakan
sebuah perasaan geli yang teramat sangat ketika gue melihat banyak pasangan yang saling
mengumbar kemesraannya di depan publik.

Back then, i was like, apa sih maksudnya kayak gitu di depan umum?

Lalu setelah gue bertemu dengan Alexy, setelah gue berpacaran dengan Alexy, gue pun
sekarang hanya bisa menertawai pola pikir gue di masa lalu ketika gue sedang
mempertontonkan kemesraan kami berdua di depan umum, karena ternyata memang ada
sebuah kepuasan tersendiri ketika melakukan hal-hal yang dulu sempat gue tertawakan.
Belum habis perasaan geli yang gue rasakan, tiba-tiba saja semua itu harus menghilang dengan
seketika pada saat gue melihat seorang wanita yang sangat gue kenali sekali, dan dia berjalan
melewati pintu masuk bersama rekan wanitanya, lalu wanita itu juga langsung membuat gue
terdiam mematung pada saat pandangan kami berdua saling beradu dalam satu garis lurus.

Oh, God...

"Stuck in reverse..."

Coldplay on Fix You

Middle-Life Intersection

Suasana pada parkiran motor ini terasa cukup sepi walaupun di kanan dan kiri gue berjajar
banyak sekali motor-motor yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang entah sedang berada di
mana. Gue pun kemudian turun dari atas motor dan melepas helm, lalu gue agak sedikit
membungkukkan badan untuk mengencangkan tali pada running shoes di kedua kaki

Sambil berjalan menuju tempat penitipan barang, gue mengeluarkan handphone dari balik saku
jaket, lalu gue membaca sebuah pesan yang dikirimkan oleh salah seorang teman dekat gue
sekitar 30 menit yang lalu.

"Gue udah di Saraga, langsung kesini aja nyusul Mas."


Gue pun menghela nafas pelan, sebelum pada akhirnya memasukkan handphone ke dalam tas
dan memberikannya kepada petugas penjaga loker yang sedang tersenyum ramah kepada gue.

Running track di depan sana terlihat ramai oleh orang-orang yang sedang berlari. Ada banyak
sekali orang-orang yang berlari dengan cuek sambil mendengarkan lagu melalui earphonenya,
ada yang berlari sambil terlihat mengobrol dengan rekan di sampingnya, dan karena faktor dari
banyak orang itu jugalah gue menjadi tidak dapat menemukan keberadaannya yang katanya
sudah berada di sini.

Gue pun memutuskan untuk melakukan peregangan otot-otot yang entah sudah berapa lama
tidak pernah gue gunakan untuk olah raga. Setelah dirasa cukup, gue pada akhirnya mulai
berjalan memasuki sisi lintasan, dan perlahan-lahan gue pun menambah kecepatan sambil
mengatur ritme nafas.

Plak...

Punggung gue ditepuk oleh seseorang yang secara reflek membuat gue menoleh ke samping
dan melihat kepada seseorang yang menepuk punggung gue itu. Naufal terlihat sedang
menaikkan sebelah bibirnya kepada gue dengan nafas yang agak terengah-engah, dan dia juga
terlihat sudah basah kuyup oleh keringat yang memenuhi wajah serta lehernya.

"Dua puter lagi ya Mas." Ujarnya semangat, lalu dia pun langsung berlari mendahului gue yang
kemudian mencoba untuk mengikuti kecepatan berlarinya.

***

Gue menyerah. Gue hanya bisa berlari sebanyak empat putaran saja, sementara Naufal katanya
sudah berlari sebanyak dua belas putaran yang diiringi oleh derai tawa karena melihat gue yang
sepertinya terlihat sangat kelelahan.

"Kita duduk disitu aja deh, adem." Ajak Naufal, dan gue pun mengangguk tanpa menolak.

"Abis dari kampus lo?"

Naufal menoleh. "Iya."

"Eh, betewe elo skripsi kapan?"

"Insyaallah semester depan kalo misalkan ga ada halangan mah."

"Terus elo lulusnya kapan?"

"Nah ini nih, gue skripsi aja belom mulai tapi udah ditanya-tanya kapan lulus segala."

Gue pun tertawa seraya merangkul bahunya. "Terus elo mau nikah kapan? Enak loh, halal mau
ngapa-ngapain."

"Bangke lo Mas!" Naufal meninju perut gue yang membuat kami berdua saling tertawa bersama-
sama.

Gue duduk di atas bangku kayu sambil mengurut kedua betis yang terasa pegal karena telah
berlari selama sekian lama, sementara Naufal terlihat sedang bersandar sambil meregangkan
kedua tangannya di udara. Kami berdua terdiam untuk beberapa saat sambil menikmati angin
semilir yang menyentuh wajah, melihat sekerumunan orang-orang yang sedang berlari-lari di
depan sana, sebelum pada akhirnya Naufal yang membuka pembicaraan terlebih dahulu.

"What brings you here anyway? Bukannya elo nanti minggu depan mau cabut ke US ya?"
"Gue cuman mau berterimakasih aja sama elo..." Gue menoleh kepadanya secara perlahan.
"Tanpa bantuan elo dan Aya, mungkin, sekarang gue belum dan ga akan pernah pake cincin di
jari manis ini." Ujar gue seraya memperlihatkan cincin ka-win gue kepadanya, yang membuat dia
tersenyum simpul seraya mengangguk pelan.

"Mungkin itu namanya udah takdir kali. Who knows juga kan?"

"Tapi kadang-kadang malah takdir yang ngasih kita pilihan. Either it is good or bad, semuanya
diserahkan kepada kita."

"Maksudnya?"

"Like, you know, setelah saat itu, bisa dibilang gue stuck dalam menentukan pilihan."

"Yang...?" Naufal mengkerutkan keningnya sebentar, lalu dia mengangguk paham sesaat
setelahnya. "Oke, gue ngerti yang mana."

"Sebenernya sih, waktu itu tuh yang kedua kalinya gue ga bisa menentukan pilihan. Ada satu
kejadian sebelumnya yang ngebuat gue jadi stuck. Cuman pada saat itu, ada seorang wanita
yang setia membantu gue untuk keluar dari zona abu-abu itu." Gue memalingkan wajah dan
tersenyum seraya menatap ke arah langit jingga senja di atas sana.

"Gue... Gue masih ga ngerti mas."

Gue pun menurunkan pandangan dan kembali menoleh kepada Naufal. "Ga ngerti gimana Fal?"

"Kalo tentang stuck yang kedua, gue masih bisa ngerti karena waktu jaman SMA dulu gue juga
pernah ngalamin hal yang sama kayak apa yang pernah elo alamin pada saat itu. Jadi gue
sedikit-sedikit bisa tau gimana rasanya. Tapi kalo untuk yang pertama itu..." Naufal menggeleng.
"Gue masih ga ngerti tentang apa yang lo alamin. Would you mind telling me?"

"Singkatnya gini." Gue membenarkan posisi duduk, lalu gue menguncupkan kedua telapak
tangan di depannya. "Lo dihadapkan dengan dua buah pilihan yang sama pentingnya. Kalo lo
milih pilihan A, lo bakal kehilangan B. Kalo lo pilih B, lo bakal kehilangan A, dan masing-masing
dari pilihan itu punya resikonya tersendiri. Pilihan A punya resiko ini, dan pilihan B juga punya
resiko yang gak kalah pentingnya sama A, tapi mereka berdua saling bertolak belakang."

"Terus?"

"Terus, pilihan apa yang bakal lo pilih?"

"Misalnya kayak gimana?"

"Lo bakal pilih Aya atau Hanif..."

"Look who's talking here!"

"Bentaaar, gue belum selesai ngomong." Gue terkekeh. "Lo bakal pilih Aya atau Hanif jika
seandainya mereka berdua masing-masing punya peran yang sangat penting di dalam
kehidupan lo, tapi mereka berdua juga saling bertolak belakang?"

"Ga ada pilihan lain ya emangnya? Kenapa perbandingannya harus pake pacar sama mantan
pacar gue?"

Gue pun akhirnya tertawa pada saat melihat Naufal yang langsung cemberut setelah gue
bertanya seperti itu. "Cuman seandainya doang koook."
"Ya jelas gue pasti milih Aya lah!"

"Oke, oke, gini deh. Ibaratkan kalo Aya bukan cewek lo dan Hanif juga bukan mantan atau
cewek lo. Jadi, lo bakal pilih yang mana?"

Naufal pun terlihat bingung dengan pertanyaan gue itu. Dia kemudian memalingkan wajahnya
untuk sejenak, berpikir, lalu dia kembali menatap ke arah gue sambil mengangguk pelan. "Gue
ambil dua-duanya lewat win-win solution."

"Dan win-win solution lo itu...?"

"Making them as my friends, of course."

"Too bad, you can't do that." Gue tersenyum dan menggeleng pelan. "Ada kalanya dimana lo
harus rela untuk memilih satu buah pilihan dan melepaskan pilihan lainnya walaupun dua buah
pilihan itu sama pentingnya. Mungkin bukan sekarang, tapi nanti, pada saat lo menemui apa
yang gue sebut dengan middle-life intersection."

"Gue... Gue masih ga ngerti Mas, beneran deh."

Gue pun menghela nafas pelan, sebelum pada akhirnya menepuk bahu Naufal dan berdiri untuk
meregangkan kedua tangan di udara.

***

Gue berjalan menyusuri jalanan kompleks rumah sambil menggenggam sekaleng susu dingin
serta memakan roti sobek cokelat yang sebelumnya sudah gue beli pada minimarket di depan
sana. Pada persimpangan jalan, gue berbelok ke kiri, dan tidak jauh dari situ gue dapat melihat
rumahnya yang terlihat sepi tanpa penghuni karena memang sedang ditinggalkan oleh
penghuninya selama beberapa hari.

Tidak jauh dari rumah yang terlihat sepi itu, gue kembali berbelok di ujung jalan, dan pada
akhirnya gue pun sampai di depan rumah yang selama beberapa tahun ke belakang telah
menjadi sebuah tempat untuk gue tinggal, menjadi sebuah tempat yang telah menyimpan
seluruh kenangan manis dan pahit gue selama tinggal di sini, dan rumah ini jugalah yang telah
menjadi saksi bisu atas apa yang telah gue lalui selama gue tinggal di kota yang penuh akan
cerita ini.

Adzan maghrib sayup-sayup terdengar berkumandang dari arah masjid yang terletak tidak jauh
dari rumah saat gue membuka pintu gerbang yang tidak dikunci, dan ternyata di dalam garasi ini
sudah terparkir sebuah motor yang sangat familiar sekali. Ini adalah sebuah motor matic
yang selalu setia menemani kami berdua untuk menjelajahi kota dalam menjalin hubungan yang
telah berlangsung selama tiga tahun setengah.

Sekelebat memori tentang kami berdua pun berputar cepat di dalam kepala ketika gue
mengingat tahun-tahun yang penuh akan kebahagiaan itu. Canda, tawa, derai air mata,
semuanya telah bersatu menjadi kesatuan utuh yang tak terpisahkan, menjadi kesatuan utuh
yang telah membentuk kami berdua, dan gue pun menjadi tersenyum kecil setelah
mengingatnya secara selintas.
"Assalamualaikum." Gue mengucapkan salam, lalu sesaat kemudian bibi terlihat muncul dari
balik pintu.

"Waalaikumsalam cep. Nembe uwih?"

"Muhun Bi..." Jawab gue seraya membuka ikatan pada tali sepatu. Karena gue sudah menetap
di kota ini selama bertahun-tahun, pada akhirnya gue pun sudah bisa menguasai bahasa Sunda
walaupun belum sepenuhnya lancar.

"Itu cep, di dalem udah ada neng Aya."

"Oh, udah lama dia Bi disininya?"

"Dari jam dua tadi cep."

"Hmmm..." Gue mengangguk pelan. "Bibi mau pulang ya?"

"Iya. Di meja udah bibi siapin makanan kalo misalkan acep laper."

"Kalo gitu makasih ya Bi." Gue tersenyum.

"Punteun cep, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Dan bibi pun menghilang setelah pintu pagar tertutup.

"Ehm..."

Gue mengalihkan pandangan dari arah pagar, lalu gue menoleh secara perlahan ke arah pintu
rumah di belakang sana yang membuat gue tersenyum simpul pada saat melihatnya.

Ada seorang wanita yang sangat cantik sekali yang sedang bersandar pada kusen pintu sambil
melipat kedua tangan di depan dadanya, dan wanita itu juga terlihat sedang menyunggingkan
sebuah senyuman termanisnya kepada gue. Terlihat ada helai-helai rambut berwarna merah
kecokelatan yang menjuntai di samping keningnya, dan pada sore hari itu rambutnya sedang
dikuncir kuda di bagian belakang kepalanya.

Sambil tetap menyunggingkan senyuman pada bibir, gue pun bangkit dari duduk, lalu gue
langsung berjalan cepat untuk segera menggenggam erat kedua tangannya yang selama ini
tidak dapat gue sentuh karena terpisahkan oleh jarak.

"I kinda miss you..." Lirihnya pelan sambil menatap kedua mata gue dalam-dalam. "Do you ever
miss me when I wasn't here for such a long time?"

Gue tersenyum. "Always, honey. Always..."

Lalu dia pun langsung mendekap tubuh gue, erat, yang juga gue balas dengan sepenuh hati.
"Gimana Jakarta?" Tanya gue seraya mengelus pelan rambutnya yang harum.

"Bikin capek, bete ga ada kamu, aku kan jadi kangen terus bawaannya."

Gue tertawa. "Kita masuk aja dulu yuk? Aku pegel nih bawa tasnya."

Aya pun menengadah untuk menatap gue, sebelum pada akhirnya dia tersenyum dan
mengangguk dengan mantap. Gue kemudian beranjak menuju kamar untuk menyimpan tas
serta melepaskan jaket dan menggantungkannya di balik pintu, lalu gue kembali ke ruang tengah
dan duduk di samping Aya yang terlihat sedang memainkan smartphone pada tangannya.

"Kamu udah makan Ay?"

Aya mengangguk tanpa menoleh. "Udah kok, tadi udah makan masakan buatan bibi."

"Ooh..."

"Kamu tadi katanya abis ketemuan sama mas Bayu ya?" Aya menyimpan smartphonenya di atas
meja, lalu dia membenarkan posisi duduknya untuk menghadap ke arah gue. "Ngomongin apa
aja sih? Lama banget deh perasaan."

Gue menghela nafas dengan santai sambil sambil memejamkan mata, lalu gue menoleh dan
mencubit gemas sebelah pipinya. "Kita maghriban aja dulu yuk? Nanti aku ceritain abis kita
shalat. Wudhu duluan gih sana sama tolong siapin juga sajadahnya, nanti kita shalat bareng di
kamer aku."

Aya pun kemudian tersenyum dan mengangguk pelan, sebelum pada akhirnya dia mengecup
sebelah pipi gue dengan singkat dan dia beranjak menuju kamar, meninggalkan gue yang masih
terduduk sendirian sambil menyandarkan kepala pada sofa, merenungkan tentang apa yang
telah gue dan mas Bayu bicarakan beberapa saat yang lalu yang sampai saat ini belum bisa gue
ambil makna dari apa yang telah kami bicarakan sebelumnya.

At The Coffee Shop


Waktu di sekililing gue serasa melambat selama beberapa detik. Suara-suara bising di sekitar
gue menjadi hampir tidak terdengar, pandangan gue menjadi terfokus kepada satu titik di depan
sana, dan gue pun hanya bisa memandangi Levana dari atas sofa kulit ini tanpa berkutik. Hanya
butuh sepersekian detik saja bagi gue untuk mengenali sosoknya, sesosok wanita berparas
cantik yang mengenakan celana jeans biru cerah serta tank top putih polos berlengan pendek,
tetapi gue masih membutuhkan waktu yang lebih lama lagi untuk memahami kenapa kami
berdua bisa dipertemukan di tempat ini seolah-olah kebetulan tidak pernah mau untuk
meninggalkan gue sendirian.

Sewaktu di kantor gue minggu yang lalu, Alexy hampir saja bertemu dengan Levana di lobby
andaikan gue tidak meminta tolong kepada Alexy untuk mengambilkan sesuatu di mobil yang
juga kebetulan tertinggal di sana, sedangkan gue selalu mencoba untuk menolak Levana secara
halus walaupun dia terus menawarkan dirinya untuk menemani gue turun menuju mobil.

Gue tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya kepada gue jika pada saat
itu Alexy melihat gue bersama Levana, dan lebih bodohnya lagi, saat ini, gue malah
terus menatap kedua mata Levana seraya bangkit dari duduk, meninggalkan seluruh barang
bawaan serta secangkir caff latte yang masih tersisa setengahnya di atas meja, lalu gue pun
melangkahkan kaki secara perlahan untuk berjalan mendekat ke arahnya tanpa sedikitpun
memikirkan sesuatu tentang Alexy.

Semuanya terasa terjadi seperti itu saja. Kaki gue terasa ringan. Tidak ada pikiran apapun, tidak
ada beban yang menghalangi, dan hanya ada Levana saja satu-satunya yang menjadi perhatian
gue saat ini.

"Hei..." Sapa gue ketika kami berdua telah saling berdiri secara berhadapan. "Main ke sini juga?"

"Hallo mas..." Levana tersenyum, lalu kemudian dia mengangguk pelan. "Aku kebetulan abis
nyari sesuatu di sini sama temen, terus dia ngajakin aku buat nongkrong di sini."

"Ooh..."

"Eh iya, ini kenalin temen aku mas."

Gue pun kemudian menoleh kepada seorang perempuan yang berdiri di samping Levana, lalu
gue tersenyum simpul seraya menjulurkan tangan kepadanya. "Hallo, saya Bayu."

"Atria." Kami berdua saling berjabatan. "Temen kantornya Levana ya mas?"

"Iya." Gue mengangguk. "Kalo mbak Atria sendiri?"

"Sama mas, cuman saya temen kantornya yang dulu."

"Ooh..." Gue membulatkan bibir. "Sekarang mbak Atria kerja di mana?"

"Sekarang saya kerja di"

"Ehm." Levana berdehem pelan, yang membuat kami berdua menoleh. "Jadi gue dilupain nih
Tri?"

Atria tertawa. "Iya deh sori-sori. Eh, tapi gue ganggu ga nih? Males ah gue kalo entar jadi obat
nyamuk."

"Tri, plis..."

"Hehehe sori-soriii." Atria nyengir kuda. "Mas Bayu, saya mau ke toilet sebentar ya?"

"Oh iya silakan."

"Lev, tolong pesenin gue minuman yang biasa satu." Belum sempat Levana berbicara, Atria pun
langsung memotongnya sambil mengerlingkan matanya dengan jahil ke arah gue. "Entar gue
balik lagi kok, tenang."

"Awas lo kalo lama-lama!" Ancam Levana.

"Daaah...!"

"Temen kamu kayaknya semangat banget ya Lev?"

Levana menoleh, lalu kemudian dia menggeleng kesal. "Biarin aja deh, emang gitu dia mah
orangnya. Mas Bayu duduk aja duluan, aku mau pesen minuman dulu bentar."

"Kamu tau kan dimana mejanya?"

Levana pun menangguk, sebelum pada akhirnya dia berjalan menuju antrian di samping sana.

Sambil berjalan menuju meja, kini gue berharap suatu kebetulan lainnya. Semoga saja Alexy
kebetulan terjebak dalam kemacetan di tengah jalan sehingga dia bisa lebih lama lagi untuk
sampai di sini, agar gue bisa sedikit mengulur-ulur waktu untuk menunggu Levana dan
temannya itu pergi dari sini dan kembali meninggalkan gue sendirian.

Tetapi jika kebetulan itu tidak kembali datang...

Gue pun menyandarkan punggung pada kursi sambil menghela nafas pelan dan memejamkan
mata rapat-rapat, hingga beberapa saat kemudian gue dapat menghirup wangi dari sebuah
aroma parfum secara sekilas dan suara berdecit dari seseorang yang duduk pada kursi di
seberang, yang membuat gue membuka mata dan tersenyum ke arahnya.

"Lagi nunggu seseorang mas?"

Gue mengangguk seraya menaikkan sebelah bibir. "Iya, kebetulan aja lagi janji di sini."

"Jadi aku ganggu dong ya?"

"Ah, enggak kok, lagian dia juga belum dateng."

"Ooh..."

Dan kemudian percakapan kami berdua pun seolah-olah menemui sebuah dinding besar yang
menghalanginya. Gue dan Levana menjadi terdiam seribu bahasa. Terdiam, membiarkan
seluruh suara dari hiruk pikuk yang berada di sekitar kami mengisi kekosongan yang
menggelayut di udara. Sempat terlintas di dalam benak gue untuk berbicara
mengenai sesuatu tentang kami berdua lebih jauh lagi, namun gue mengurungkan niatan itu.

Gue tidak mau.

Dan gue tidak berani.

Gue tidak peduli jika gue dihadapkan dengan seorang cowok yang memiliki fisik lebih besar
daripada gue. Gue lebih memilih memeras keringat bersama cowok tersebut ketimbang harus
dihadapkan dengan seorang wanita bersama seluruh permasalahan tentang perasaan dan isi
hati yang dimiliki olehnya. Gue terlalu lemah dalam hal tersebut, dan oleh karena itu juga gue
menjadi tidak berani berkata-kata yang menyinggung soal hati dan perasaan.

"Mas..." Panggil Levana, yang kemudian membuat gue menoleh.

"Ya, Lev?"

Levana terlihat memainkan jemarinya untuk beberapa saat, sebelum pada akhirnya dia menoleh
dan menatap gue seraya menyimpan beberapa helai rambut di balik telinganya. "Tentang apa
yang terjadi sama kita waktu itu..."

"..."

Levana pun menggigit bibir bawahnya, dan kini dia juga menatap gue dengan penuh
harap. "...bisa kita obrolin sekarang, Mas?"
Falling Leaves of Autumn

Gue mengalihkan pandangan untuk sejenak, menatap ke arah lantai parket berwarna cokelat tua yang
memantulkan cahaya dari lampu gantung berwarna kekuningan pada langit-langit di atasnya, lalu gue
menghela nafas pelan dengan panjang.

Hhhhh...

What should I do now?

"Mas...?"

"Y-ya?" Jawab gue seraya menoleh kepada Levana dengan kikuk, dan gue melihat bahwa Levana sedang
menjulurkan tangannya melewati meja untuk menyerahkan handphonenya kepada gue. "Ini buat apa?"

Dia tidak menjawab pertanyaan itu. Levana hanya tersenyum dengan manisnya kepada gue, bersama
dengan dua buah bola mata yang juga ikut menatap gue dengan tenang, menatap gue dengan teduh, dan
juga, entahlah, menatap gue dengan sebuah perasaan yang lebih?

Dengan tanpa berharap apapun, gue mengambil handphone itu dari tangannya, lalu gue menatap lekat-
lekat dan membaca sesuatu yang tertulis pada layarnya, yang seketika saja membuat dada gue terasa
mencelos pada tarikan nafas selanjutnya.

'Mi piace molto...'

"Lev... Kamu..." Gue menoleh. "Kamu tau ini artinya apa kan?"
Levana tersenyum, lalu kemudian dia melipat kedua tangannya di atas meja seraya mencondongkan
badannya ke arah gue, dan dia mengangguk dengan pelan. "I really like you, Mas, I really do..."

Gue tertegun.

Oh, God, what should I fucking do now?

Ini sangat di luar pikiran gue. Ini sudah sangat di luar apa yang gue bayangkan sebelumnya.

Sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba meredam seluruh perasaan campur aduk di dalam
dada, gue bangkit dari kursi, lalu gue berpindah untuk duduk di sebelah Levana tanpa bisa berkata apapun.
Satu detik, dua detik, dan untuk beberapa detik setelahnya, kami berdua masih terdiam dan hanya saling
menatap lurus kepada meja kayu di depan kami, sebelum pada akhirnya gue mencoba untuk memecahkan
keheningan itu dengan berjuta perasaan.

"Lev..." Panggil gue, yang membuat dia menoleh dan tersenyum.

"Ya?"

"Boleh aku tau kenapa?"

Levana kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain, yang memberi gue waktu selama beberapa saat
untuk bisa memperhatikan keadaan di sekitar sini. Pada salah satu sudut di luar caf, di antara
sekerumunan orang yang sedang berlalu lalang bersama barang bawaan mereka masing-masing, gue dapat
melihat seorang Atria yang entah sudah berapa lama berdiri di situ.

Dia tetap terdiam di sana walaupun kedua mata kami telah saling beradu, memperhatikan gue dan Levana
yang berada di dalam sini sambil melipat kedua tangan di depan dadanya, lalu secara perlahan, tiba-tiba
saja dia menangkupkan kedua belah telapak tangannya di bawah dagu sambil mengangguk pelan seolah-
olah dia sedang berharap akan sesuatu.

"Aku enggak tau harus nyalahin siapa sekarang mas..."

Gue menoleh ke arah Levana yang masih belum mau mengalihkan pandangannya.

"Apa aku sebenernya harus nyalahin waktu karena semuanya terjadi saat ini, atau aku sebenernya harus
nyalahin semua perasaan aku yang tiba-tiba aja selalu ngerasa nyaman kalo aku lagi deket atau lagi
bareng-bareng sama mas Bayu?" Levana menoleh dengan cepat dan dia pun menatap kedua mata gue
dalam-dalam.

Ini adalah saat-saat yang paling emosional di dalam diri gue. Melihat seorang wanita yang pada
kesehariannya selalu terlihat kuat ketika menerima berbagai macam pekerjaan yang menumpuk di atas
mejanya, melihat seorang wanita yang selalu tersenyum kepada siapapun yang membuat sebagian besar
pria di kantor gue menjadi jatuh hati walaupun gue tahu bahwa dia baru saja kena tegur oleh alasannya,
tetapi kini?

Kedua matanya terlihat sedikit berkaca-kaca. Mulutnya bergetar pelan, dan tarikan nafasnya pun terdengar
berat pada saat Levana sedang mengatakan hal-hal itu. Gue tidak pernah melihat seorang Levana menjadi
seseorang yang seperti ini seolah-olah dia sudah tidak sanggup lagi untuk menahan semua beban itu.
Levana terlihat rapuh, rapuh sekali, dan seperti tanpa pertahanan apapun.

"Jadi selama ini... Kamu...?"

"Iya mas, aku udah suka sama mas Bayu semenjak kita jadi partner kerja dulu, dan aku juga udah bisa
pastiin kalo perasaan ini tuh bukan cuma sekedar perasaan 'suka' doang, tapi perasaan ini udah lebih, mas.
Aku udah sayang sama mas Bayu..."
Dan pada detik itu juga, gue melihat ada setetes air mata yang mengalir lembut pada sebelah pipinya.

Gue dapat merasakan ada beberapa buah pasang mata yang tertuju kepada kami berdua, tetapi gue sama
sekali tidak menghiraukan tatapan-tatapan aneh itu karena gue lebih mempedulikan seorang Levana yang
kini sedang berada dalam masa-masa tersulitnya. Gue tidak bisa berbuat apa-apa lagi di sini. Gue sama
sekali tidak bisa. Gue tidak ingin mengkhianati Alexy dengan apa yang akan gue katakan selanjutnya
kepada Levana, dan itu semua malah membuat gue menjadi berpikir keras tentang apa yang harus gue
ucapkan selanjutnya sambil tetap memandangi kedua mata sembabnya dalam-dalam, tanpa berkedip, tanpa
bergeming.

"Lev..." Ujar gue seraya menggenggam erat kedua telapak tangannya yang terasa lemas secara perlahan.
"Aku mau bilang terima kasih sama kamu karena udah suka dan sayang sama aku. Ga pernah ada saat-saat
yang bisa ngebuat aku lebih bahagia lagi dari ini." Gue tersenyum.

"..."

"Tapi sebelumnya, aku juga mau minta maaf sama kamu."

"Minta maaf buat apa, mas?"

"Maafin aku, Lev, karena saat ini..." Gue pun memejamkan mata, gue menarik nafas dalam-dalam, lalu gue
kembali menatap kedua matanya lekat-lekat. "Aku belum bisa ngebales rasa sayang itu buat kamu, dan
mungkin ga akan pernah bisa aku bales untuk waktu yang entah sampai kapan."

Levana pun kemudian langsung menundukkan kepalanya sambil mengeluarkan isak tangis yang tertahan.
Walaupun kedua tangannya yang sedang gue genggam ini terasa semakin melemah, gue tidak mau untuk
melepas gengaman tangan kami berdua karena gue tahu bahwa Levana sedang membutuhkan seseorang
yang bisa untuk menguatkan dirinya, walaupun hanya untuk sesaat.

Di sela-sela isak tangisnya yang masih tertahan, Levana mendongak dan menatap gue dengan kedua
matanya yang sudah terlihat basah, lalu kemudian dia menggerakkan bibirnya yang terlihat bergetar itu dan
mencoba untuk mengatakan sesuatu. "A-apa, kita ga bisa coba hubungan i-ni dulu, m-mas?"

"Aku... Aku takut kalo aku enggak bisa." Gue tersenyum seraya menggeleng pelan. "Ada hati dan perasaan
milik seseorang yang harus aku jaga dengan sepenuh hati, dan aku ga mau untuk kehilangan orang itu di
kehidupan aku karena aku udah cinta sama orang itu, melebihi dari apapun."

Levana menggeleng pelan. Bibirnya terkatup rapat. Bulir-bulir air mata mengalir deras pada kedua
pipinya, dan seketika saja tangis Levana pun pecah. Dada gue terasa sesak pada saat melihat Levana
menangis seperti ini, melihat seorang wanita yang kembali menangis karena gue, dan gue malah tidak bisa
memberi sesuatu dengan lebih selain menarik dan mendekap erat tubuh Levana.

Ada sesuatu yang membuat gue merasa lega dan juga merasa terluka di saat yang bersamaan. Gue bisa
merasakan sebuah kelegaan pada saat gue mendekap tubuh Levana seperti ini, yang semoga saja dapat
mengakhiri apa yang telah kami berdua awali sebelumnya. Namun di satu sisi juga, gue justru
merasa sangatterluka karena gue menjadi seseorang yang membuat Levana menangis seperti ini.

Gue tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain memeluk serta mengelus pelan punggungnya yang terasa hangat
dan tetap membiarkan Levana menangis di dalam pelukan gue. Lalu sesaat setelah gue mendongak untuk
menatap ke arah jendela caf untuk mencari keberadaan Atria dan gue tidak menemukannya, gue malah
melihat ada seorang wanita yang berjalan cepat sambil menunduk seraya menutup bibirnya dengan sebelah
tangan.

Gue tertegun, dan dada gue kembali terasa mencelos.

Wanita yang mengenakan kemeja hitam berlengan panjang serta rok putih selutut itu, dia adalah Alexy.
Itu adalah Alexy, dan kini dia sudah menghilang dari pandangan gue.

It's not about making the right choice.


It's about making a choice and making it right.

J.R. Rim

Before our hearts decide


It's time to love again
Before too late, before too long
Let's try to take it back
Before it all went wrong

The Script - Before The Worst

Love of My Life

Gue...

Gue...

Ya Tuhan...

Badan gue menjadi terasa kaku dan sangat sulit sekali untuk digerakkan. Kedua mata gue masih
menatap jauh ke sana, menatap ke arah di mana terakhir kalinya gue melihat sosok Alexy, tanpa
berkedip, dan tanpa bisa berkata apapun. Alexy, gue yakin dia telah melihat apa yang terjadi di
sini. Gue sangat yakin sekali, karena tidak mungkin jika Alexy tidak melihatnya.

Perlahan-lahan, gue mencoba untuk melepaskan pelukan Levana sambil mencerna apa yang
baru saja terjadi, lalu gue duduk termenung sambil menggenggam sebelah tangannya yang
masih terasa lemas walaupun kini gue juga menjadi sama lemasnya.

Gue tidak bisa semena-mena begitu saja meninggalkan Levana di sini sendirian untuk mengejar
Alexy. Meninggalkan Levana dalam keadaan menangis tanpa seseorang yang berada di
sampingnya sama saja membuat gue menjadi seorang lelaki bodoh karena meninggalkan
seorang wanita yang sedang dalam keadaan seperti ini tanpa penjagaan. Mau tidak mau, gue
pun harus menunggu Atria hingga dia kembali bersama kami berdua.

Entah sudah berapa lama gue terduduk di sini bersama degup jantung yang tak karuan, lalu
pada akhirnya gue pun dapat menoleh secara perlahan ke samping sambil menatap lemah
kepada Atria yang kini sudah berdiri di depan meja kami, lalu gue melepaskan genggaman
tangan Levana dan bangkit dari duduk seraya tersenyum getir.

"Titip Levana ya..."

Tanpa menunggu respons dari Atria yang terlihat terkejut, gue pun membungkuk secara
perlahan untuk mengambil dompet serta handphone yang tergeletak di atas meja, sebelum pada
akhirnya gue berlari keluar dari caf untuk mengejar Alexy, mengejar seorang wanita
yang sangat-sangat berarti sekali di kehidupan gue, walaupun kini gue sudah tidak tahu lagi
apakah gue masih berarti di dalam kehidupannya.

***

"Lex... Kamu dimana...?"

Gue menggigit bibir bawah seraya celinguk kanan dan kiri sambil terengah-engah, lalu gue
kembali berlari menuju eskalator untuk turun ke lantai bawah dan kembali mencari Alexy di sana
untuk yang kedua kalinya.

Entah sudah berapa lama gue berlari mengelilingi pusat perbelanjaan ini untuk mencari sosok
Alexy dan gue juga harus berkali-kali meminta maaf karena menepuk seseorang yang mirip
dengan Alexy. Gue yakin dia masih berada di sini. Gue sangat yakin sekali bahwa Alexy masih
berada di sini. Gue hanya perlu mencarinya lebih keras lagi, gue hanya perlu mencarinya lebih
lama lagi, dan gue juga hanya perlu mencarinya lebih teliti lagi.

Hampir satu persatu dari tenant yang gue lewati, gue pasti menyempatkan diri untuk masuk ke
dalam dan bertanya kepada salah seorang pramuniaganya. "Maaf mbak, liat cewek pake kemeja
hitam sama rok putih pendek selutut, terus tingginya sekitar se-pipi saya nggak ya?"

Dan pertanyaan yang selalu gue lontarkan itu ternyata harus selalu mendapatkan sebuah
jawaban yang sama, yaitu sebuah jawaban yang mau tidak mau membuat gue rela untuk
kembali menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum tipis, sebelum pada akhirnya gue kembali
berlari keluar untuk mencari Alexy di tempat lain.

Gue sudah capek, dan gue juga sudah kehabisan akal harus mencari Alexy ke mana lagi. Nafas
gue sudah semakin terengah-engah, jantung gue sudah semakin berdegup dengan cepat karena
lelah dan juga karena sebuah perasaan takut untuk kehilangan Alexy, dan gue juga sudah tidak
mau lagi ditanyai oleh para petugas keamanan yang menarik gue ke pos penjagaan terdekat
karena mereka mengira bahwa gue adalah seorang pencuri pada pusat perbelanjaan ini untuk
yang kedua kalinya.

Badan dan pikiran gue kini sudah sama lelahnya, tetapi masih ada satu buah tempat yang sama
sekali belum gue cari, yaitu basement parkir dari pusat perbelanjaan ini. Lalu setelah gue
beristirahat untuk menarik nafas sejenak sambil menyandarkan tubuh yang berkeringat pada
pembatas kaca, gue pun memejamkan kedua mata lamat-lamat, sebelum pada akhirnya gue
memutuskan untuk berlari menuju basement sambil tetap menelpon Alexy yang tak kunjung di
angkat olehnya.

"Fuck..." Gumam gue pelan seraya meremas rambut dengan kedua tangan yang basah oleh
keringat.

Basement parkir ini ternyata sangat luas. Terlihat banyak sekali mobil-mobil mewah yang hilir
mudik untuk parkir dan juga untuk keluar dari pusat perbelanjaan ini, dan sepertinya kesempatan
gue untuk menemukan Alexy di sini pun terbilang sangat kecil sekali yang seketika
saja hampir membuat gue menyerah dalam mencari keberadaan dirinya.

Tetapi, gue tidak bisa menyerah saat ini.

Gue tidak bisa menyerah saat ini.

Dengan sisa-sisa tenaga yang masih tersisa beserta seluruh energi yang sudah terkuras melalui
bulir-bulir keringat pada permukaan kulit, gue pun mulai berjalan dengan cepat sambil terengah-
engah dan mencari keberadaan mobil Alexy di sini.

"Lex, please..."

Gue menelan ludah, lalu gue terbatuk-batuk. Udara di bawah sini terlalu pengap karena
pengaruh dari karbon monoksida yang dikeluarkan oleh kendaran bermotor dan kadar oksigen di
sini pun terasa sangat tipis sekali yang membuat tubuh gue semakin lelah dan juga membuat
kedua mata gue berkunang-kunang.

Tubuh gue sudah tidak bisa berkompromi lagi.

Gue sudah lelah.

Jika gue terus melakukan hal ini, di sini, saat ini, dapat dipastikan bahwa gue akan pingsan
dalam waktu yang cepat tanpa bisa menemukan sosok Alexy di sini. Gue pun kemudian
memutuskan untuk bersandar pada salah satu sisi mobil, lalu gue menundukkan kepala seraya
menarik nafas dalam-dalam bersama degup jantung yang semakin berdetak tak karuan.

Lalu setelah gue beristirahat selama beberapa menit dan melihat ke arah jam yang melingkar
pada tangan kiri, gue pun menghela nafas dengan panjang melalui mulut, sebelum pada
akhirnya gue berjalan dengan gontai ke arah parkiran motor.

Ya.
Sepertinya rumah Alexy adalah satu-satunya harapan terakhir yang gue miliki saat ini.

***

Perlahan-lahan, motor yang gue kendarai berhenti pada salah satu sisi jalan yang berjarak tidak
terlalu jauh dari rumah Alexy di depan sana. Rumahnya itu terlihat bersinar temaram karena
disinari oleh berbagai macam lampu yang menghiasi dinding rumahnya, yang entah kenapa bisa
membuat gue tersenyum tipis di tengah-tengah himpitan masalah yang sedang menghampiri
gue.

Sekilas gue dapat melihat bayang-bayang kami berdua di depan rumahnya, tepat pada saat gue
yang untuk pertama kalinya mengantarkan Alexy pulang ke rumah itu. Gue dapat melihat
bayang-bayang kami yang sedang mengobrol berdua, melihat senyum Alexy yang sangat terlihat
tulus, dan gue juga dapat melihat kami berdua yang sedang tertawa lepas seperti tidak ada yang
salah di antara hubungan kami.

Semuanya terasa sangat membahagiakan sekali, hingga pada akhirnya gue yang merusak
kebahagiaan itu, yang seketika saja membuat gue tersadar bahwa kini gue harus melakukan
sesuatu untuk memperbaiki hal itu kembali ke sedia kala.

Gue pun kemudian berjalan secara perlahan menuju pintu pagar besi tersebut, lalu gue
memencet bel rumahnya yang kemudian dibukakan oleh bu Kad. "Mas Bayu...?"

"Assalamualaikum bu..." Gue tersenyum. "Alexy ada di dalem?"

"Non Lexy belum pulang dari tadi pagi mas..." Ujarnya seraya menggeser pintu gerbang, yang
membuat gue kembali menghela nafas dengan panjang. "Masuk mas, nanti bibi buatin minum."

"Iya bu..."

Setelah beliau mempersilakan gue untuk masuk, bu Kad pun berjalan meninggalkan gue yang
masih mematung di ambang pintu gerbang ini. Sebagian di dalam diri gue bertanya-tanya,
apakah gue masih diterima di rumah ini setelah apa yang gue lakukan kepada Alexy tadi?

Gue menghela nafas, lalu gue menggeleng pelan dan melangkah masuk ke dalam. Gue tidak
berani untuk masuk lebih jauh lagi dari ini. Gue pun memutuskan untuk duduk bersila pada teras
rumahnya, menunggu kehadiran Alexy untuk datang ke rumah ini dan langsung menjelaskan
seluruh titik permasalahan itu kepadanya.

Angin malam terasa berhembus secara perlahan yang membuat tubuh gue agak sedikit bergidik
kedinginan. Gue pun kemudian menarik kedua kaki dan melipatnya di depan dada, lalu gue
memeluknya erat-erat seraya membenamkan dagu di antara kedua lutut.

Pikiran gue seketika saja menjadi kosong. Pandangan gue terus menatap ke arah rumput hijau
yang diterpa oleh lampu berwarna oranye lembut di depan sana, tanpa berkedip, hingga pada
akhirnya ada sebuah suara deru mesin mobil yang berhenti tepat di depan pintu gerbang yang
membuyarkan lamunan gue.

Gue pun tertegun, dan jantung gue kembali berdegup dengan kencang.
Apa itu...

Alexy...?

Badan gue tiba-tiba saja menjadi kaku. Seluruh persendian pada tubuh gue menjadi terasa
sangat sulit sekali untuk digerakkan walaupun itu hanya untuk bangkit berdiri saja. Semuanya
terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang menghalangi gue untuk bangkit dan
menghampirinya di depan sana.

Lalu setelah suara mesin mobil itu tidak terdengar lagi, pintu gerbang pun terbuka secara
perlahan, dan sedetik kemudian, muncullah sesosok wanita cantik yang sangat gue cintai
dengan segenap hati yang gue miliki untuknya.

Dada gue terasa mencelos pada saat gue melihat keberadaan dirinya yang berjarak kurang dari
tiga meter dari tempat dimana gue berada, dan Alexy pun terlihat sama kagetnya dengan gue.
Dia hanya bisa berdiam diri di sana, menatap gue bersama kedua mata sembabnya, tanpa
berbicara sepatah kata apapun, tanpa bergerak sedikitpun.

Perasaan gue langsung terasa bercampur aduk. Antara senang, bahagia, takut, semuanya
bercampur menjadi satu yang membuat gue semakin sulit untuk bergerak. Lalu dengan
mencoba untuk mengerahkan seluruh tenaga yang masih tersisa di dalam diri gue, gue pun
bangkit dari duduk, lalu gue berjalan dengan gemetaran ke arahnya walaupun gue sendiri sudah
tidak tahu lagi apakah gue masih memiliki kesempatan untuk menggenggam dengan erat kedua
tangannya seperti apa yang selalu gue lakukan dulu.

"Lex..." Panggil gue lirih. "Lex..."

Alexy, dia tidak menghiraukan gue. Dia hanya menutup bibirnya yang bergetar pelan dengan
sebelah tangan, kedua matanya terpejam rapat, dan gue pun dapat melihat ada air mata lembut
yang mengalir pada kedua pipinya yang terlihat memerah itu.

"Lex, maafin aku Lex..."

Tanpa berkata apa-apa, Alexy pun berjalan dengan cepat ke arah pintu rumahnya sambil
menggelengkan kepala, yang membuat gue mencoba untuk meraih sebelah tangannya
yang selalu ia tepis.

"Lexy..."

"Enggak, Bay." Alexy memunggungi gue seraya menggenggam handle pintu rumahnya.
"Mendingan kamu pulang sekarang."

"Lex, please, dengerin aku dulu..."

"BAYU!" Ujarnya tegas seraya membalikkan badannya untuk menghadap ke arah gue.

Dan...

Dan...
DEG!

Ya Tuhan...

Dada gue terasa mencelos sekali pada melihat wajahnya, melihat wajah cantiknya yang terlihat
sembab karena menangis, dan dia menangis karena gue yang telah membuatnya seperti itu.
Tidak ada sebuah momen yang paling membuat gue sakit selain melihat seorang wanita
yang sangat gue cintai menangis karena satu buah perbuatan bodoh gue yang bisa mengubah
segalanya.

Setelah kami berdua saling bertatapan dalam diam, Alexy pun kemudian menundukkan
kepalanya, dan dia mendorong pelan tubuh gue ke belakang. "Please, Bay, aku ga mau
ngomong ini sama kamu, aku ga mau ngambil keputusan apa-apa saat ini..."

"Tapi dengerin aku dulu Lex..."

"Bay, pulang..." Alexy menggeleng lemah. "Please, jangan sampe aku ngomong ini sama kamu,
aku ga mau Bay..."

"Lex..."

"PULANG!"

Sambil menahan isak tangisnya, Alexy pun kemudian langsung masuk ke dalam dan
membanting pintu rumahnya, yang membuat gue bertekuk lutut di sini bersama sebuah
perasaan yang hancur berkeping-keping.

Dead Man Walking

Kepala gue terasa sangat pusing sekali yang hampir membuat gue jatuh terduduk di depan pintu
rumah Alexy, tetapi untungnya saja gue masih sempat berpegang erat pada handle pintu
rumahnya sehingga gue tidak terjatuh secara keras. Ucapan Alexy barusan yang terdengar
sangat tegas itu memiliki imbas yang sangat besar sekali bagi gue.

Gue kini merasa bahwa...

Gue...

Uh...

Ini adalah sesuatu yang sudah sangat melampaui batas gue. Gue tidak pernah menyangka
sebelumnya bahwa semua niat baik yang gue lakukan itu ternyata malah berakhir menjadi
seperti ini. Gue sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi sekarang. Pikiran gue terasa buntu,
kepala gue terasa pusing, dan bahkan hanya untuk bangkit berdiri saja rasanya sangat sulit.

Gue pun kemudian menghela nafas panjang, lalu gue memejamkan kedua mata rapat-rapat
sambil menggeleng pelan.

Siapapun, tolong, bantu gue sekarang...

Regret swallows broken men whole.

Sarah Noffke

***

"Ya jadi aku harus gimana Mut?!"

Sore ini, setelah pulang kantor tadi, gue memang sengaja mengajak Muthia untuk bertemu dan
memberitahukan seluruh masalah ini kepadanya. Gue sama sekali tidak menutup-nutupi apapun
di sini. Gue sudah menceritakan semua masalah yang terjadi di antara gue dan Alexy kepada
Muthia, semuanya, tetapi dia malah men-judge gue asal-asalan.

"Oke, aku tau kamu pasti emosi banget denger semua hal itu, tapi kamu pernah ga sih Mut
nyobain jadi ada posisi aku saat itu?"

"Kamu juga kan harusnya tau kalo kamu tuh lagi nungguin Lexy di situ, tapi kenapa kamu malah
pake acara peluk-peluk si Levana segala? Udah lupa ya sama masalah kalian berdua pas Lexy
lagi ga di Jakarta dulu? Aku padahal cuman ngasih tau doang kalo aku ketemu sama kamu pas
kamu lagi makan di luar, dan ternyata Lexy sampe marah kayak gitu sama kamu. Udah lupa ya
Bay sama masalah itu?"

Gue pun kemudian menarik nafas dalam-dalam dan menghelanya secara perlahan sambil
mencoba untuk meredam setiap emosi yang sedari tadi sudah meningkat pada saat Muthia
sedang berkata hal tersebut. "Mut, gini, kalo misalkan kamu ngeliat temen deket kamu lagi
nangis, kamu bakal apain dia?"

"Aku coba nenangin dia lah! Masa aku diemin? Ga mungkin juga kan aku ngediemin dia?"

"Caranya?"

"Ya pasti aku peluk langsung."

"See?" Gue tersenyum. "Aku pada saat itu lagi nyoba buat jadi temen deketnya Levana, Mut.
Aku lagi nyoba memposisikan diri aku sendiri sebagai seorang teman yang kenal secara dekat
dengan Levana seperti wanita pada umumnya, dan berarti aku ga salah kan kalo udah nyoba
nenangin dia pake cara kayak itu?"

"Tapi kamu waktunya yang salah Bay! Ga gitu juga caranya!"

"Oke, oke, gini, daripada kita muter-muter terus di situ, jadi menurut kamu sekarang aku harus
kayak gimana buat ngehadepin masalah ini? Aku udah nyoba buat chat sama SMS dia, tapi ga
pernah dibales. Telefon aku juga ga pernah diangkat sama dia. Terus pas aku dateng ke
rumahnya, dia ga pernah mau buat ketemu sama aku." Ujar gue pasrah. "Jadi, sekarang aku
harus kayak gimana Mut?"

"Hhhhh..." Muthia pun menghela nafasnya seraya bersandar pada kursi, lalu kemudian dia
kembali menoleh ke arah gue dengan sebuah tatapan yang terlihat sayu. "Kamu tau Bay?"

"Apa?"

"Mantannya Lexy yang jadi pacar dia sebelum kamu, kasusnya sama kayak kamu sekarang."

DEG!!!

"Jadi lebih baik, kamu jangan kontak-kontakan sama Lexy dulu dalam waktu dekat ini ga apa-
apa ya? Biar aku yang coba buat ngebujuk dia."

Lalu setelah dia berkata seperti itu, Muthia pun bangkit dari duduknya, tersenyum, sebelum pada
akhirnya pergi meninggalkan gue di sini, sendirian, bersama sebuah pikiran di dalam kepala
yang semakin membuat perasaan gue terasa kalut.

Throw Me Your Words

Sang waktu kini sudah menunjukkan pukul sebelas malam di mana para penghuni kost lainnya
mulai terlelap di atas kasur empuk mereka, sementara gue masih di sini, terduduk di depan
laptop bersama setumpuk pekerjaan yang belum gue kerjakan seluruhnya, dan gue merasa
bahwa gue tidak bisa mengerjakan semua pekerjaan tersebut karena setiap gue mencoba untuk
mengerjakannya, pikiran gue selalu berakhir kepada sosok Alexy yang sudah selama beberapa
hari ke belakang tidak dapat gue ketahui kabarnya.

Gue memang sudah mencoba untuk tetap mengikuti saran dari Muthia yang menyarankan gue
untuk stay awayterhadap Alexy, tetapi sampai kapan?

Ada jeda yang cukup lama setelah gue berpikir tentang hal tersebut. Pikiran gue terasa kosong,
pandangan gue hanya terpaku ke salah satu sudut kamar, tanpa berkedip, tanpa bergerak
sedikitpun, hingga pada akhirnya gue mendengar ada suara decit pelan dari arah pintu yang
membuat gue menoleh.

"Belom tidur Bey?" Tanya Sita.

Gue tersenyum, lalu gue menggeleng dengan lemah. "Belum. Masuk sini Sit..."

Sita pun kemudian membuka pintu kamar gue lebar-lebar, sebelum pada akhirnya dia menutup
pintu itu dan ikut duduk di samping gue. "Nih buat lo, gue tau elo pasti belom makan kan? Dari
tadi abis maghrib elo ga keluar-keluar dari kamer soalnya."

"Wih, apaan tuh?" Gue menatap bingung ke arah sebuah kantong kresek hitam yang sedang
dipegang olehnya. "Bukan racun kan?"
Sita tertawa. "Kalo gue mau ngeracunin elo sih dari dulu juga udah gue racunin kali Bey."

"Hehehe, thanks ya betewe, tau aja lo kalo gue lagi laper." Ujar gue seraya menerimanya. "Gue
makan sekarang boleh gak?"

"Nggak, nanti aja makannya pas gue udah jadi mantu presiden!"

Gue tertawa.

***

Bungkus kertas berwarna cokelat bekas nasi goreng yang sebelumnya diberikan oleh Sita kini
sudah menjadi sebuah gumpalan tak berbentuk yang baru saja gue buang pada tong sampah
yang terletak di sudut kamar. Setelah gue mencuci tangan dan mengelapnya dengan handuk
sampai kering, gue pun kembali duduk di samping Sita yang sedang memainkan handphonenya
dengan malas di atas tempat tidur.

"Bey..."

"..."

"Bey!" Sita menepuk pelan paha gue yang membuat gue sedikit terkaget.

"Ya-ya? Kenapa Sit?"

"Elo kenapa?"

"Kenapa... Apanya?"

"Enggak, maksud gue, elo kenapa bengong?"

Sejujurnya, beberapa saat yang lalu, pikiran gue sedang mengawang-awang kepada Alexy.
Entah kenapa. Gue selalu saja seperti itu ketika gue tidak sedang melakukan sesuatu
atau bahkan ketika gue sedang melakukan sesuatu pun, gue pasti memikirkan sosok Alexy di
dalam benak dan pikiran gue. Tidak pernah sedikitpun bagi gue untuk tidak memikirkannya.
Pikiran gue selalu mengarah kepada Alexy, Alexy, dan Alexy lagi.

"Bey?"

"Eh, iya Sit." Gue menggaruk pelipis. "Gue ga kenapa-napa kok..."

"Lexy ya?"

Deg!

Cepat atau lambat, Sita pasti akan bertanya mengenai hal tersebut. Semenjak gue dan Alexy
merenggang selama beberapa hari ke belakang, gue sudah tidak pernah lagi bercerita apapun
mengenai Alexy kepada Sita. Gue hanya tidak ingin ada orang lain yang tahu mengenai
masalah-masalah yang sedang gue hadapi bersama Alexy selain gue, Alexy sendiri, dan juga
Muthia tentunya.

Entahlah... Gue merasa bahwa Sita tidak perlu untuk mengetahui tentang masalah ini karena
gue tahu bahwa Sita sebentar lagi akan melaksanakan yudisiumnya sehingga gue tidak ingin
memberi beban lebih kepada Sita melalui masalah-masalah gue dengan Alexy. Tetapi
sepertinya, saat ini, sudah saatnya bagi Sita untuk mengetahui masalah apa yang sebenarnya
sedang gue alami.
Gue pun kemudian memejamkan kedua mata, lalu gue mengangguk dengan pelan. "Iya
Sit, Lexy..."

"Lo berdua kenapa lagi?"

"Sebelumnya, gue mau minta satu hal sama elo, boleh?"

"Apa?"

"Please, gue ga mau di judge asal-asalan tentang masalah ini, ya?"

Sita mengangguk, dan gue pun mulai bercerita.

***

Sita menarik nafasnya dalam-dalam sambil memundurkan badannya sedikit hingga dia
bersandar pada tembok, menatap gue lekat-lekat dengan tatapannya yang terlihat tajam, lalu
kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Bullshit Bey." Ujarnya dingin.

"Kok..." Gue terbengong-bengong.

"Iya, bullshit banget semua cerita lo." Sita mendelik sinis kepada gue. "Lo kena masalah yang
sama, masih dengan orang yang sama, dan akhirnya Lexy jadi gitu gara-gara kebegoan elo
yang untuk kedua kalinya. Lo sadar gak sih Bey sama kesalahan lo sendiri?!"

Walaupun gue sangat tidak mengharapkan jawaban itu yang terucap dari mulut Sita, tetapi mau
tidak mau, gue harus menerimanya karena gue telah sadar bahwa ini memang kesalahan gue
sendiri. "Iya Sit, gue udah sadar."

"Gue juga masih ga habis pikir deh Bey. Ini udah hampir seminggu elo disuruh diem sama
Muthia biar ga kontak-kontakan lagi sama cewek lo. Tapi kenapa lo mau aja disuruh kayak gitu?
Kok elo bego sih Bey mau-maunya disuruh sama Muthia? Emangnya dia itu siapanya elo sampe
dia nyuruh-nyuruh kayak gitu segala? Lo enggak mau buat perbaikin ini semua? Lo gak mau
hubungan lo sama cewek lo balik lagi kayak dulu?"

"Ya gue harus gimana lagi Sit?!" Gue menepuk paha. "Gue chat Lexy ga dibales, telepon ga
diangkat, terus pas gue dateng ke rumahnya juga dia ga pernah mau buat ketemu gue!"

"Tapi kenapa elo malah nurut sama Muthia?"

"Terus, sekarang elo mau nyalahin gue udah nurut sama Muthia, gitu?"

"YA IYALAH DONGO! KALO LO SAYANG SAMA CEWEK LO, YA ELO USAHA TERUS LAH
BUKANNYA MALAH DIEM KEK GINI! ELO MAU GUE GOBLOK-GOBLOKIN KAYAK MANTAN
GUE HAH?! HARUSNYA ELO EMANG HARUS DIGITUIN BEY KARENA ELO UDAH
TERMASUK KE DALAM TAHAP SELINGKUH! NGERTI?!"

"..." Gue pun menunduk, lalu gue menggeleng sambil menghela nafas secara perlahan.

"Serius deh Bey gue masih ga habis pikir sama elo. Mana seorang Bayu yang dulu semangat
buat ngedapetin Lexy? Mana seorang Bayu yang dulu setiap cerita tentang Lexy pasti selalu
semangat? Kok dia sekarang malah kek yang males gitu sih buat mertahanin apa yang udah dia
dapet? Dia udah dapet the perfect woman Alexy loh padahal. Banci banget tuh cowok yang
namanya Bayu Alfian."

"Watch your mouth, lady." Dengan spontannya gue langsung mengangkat telunjuk ke arah
wajah Sita seraya menatapnya dalam-dalam.

"Udahlah, capek gue ngomongin yang kayak ginian." Sita mengibaskan tangannya di udara,
sebelum pada akhirnya dia bangkit berdiri sambil merapikan kaos yang dikenakan olehnya. "Gue
saranin, lo datengin Lexy ke rumahnya kalo lo memang bener-bener sayang sama dia."

Dan setelah dia berkata seperti itu, dia menatap gue secara sekilas, lalu kemudian dia kembali
menggeleng dengan pelan dan pergi meninggalkan kamar ini bersama wangi parfumnya yang
khas beserta seluruh kalimat pedasnya yang masih terngiang-ngiang pada telinga.

***

Minggu malam itu, gue baru saja tiba di rumah setelah menempuh perjalanan panjang selama
kurang lebih tiga jam dari kota Latrobe untuk menyaksikan sebuah festival cokelat tahunan
bernama Chocolate Winterfest yang diadakan di sana. Ini adalah kali kedua bagi gue untuk
datang dan menikmati festival itu, dan sepertinya gue tidak akan kapok untuk kembali ke sana
lagi di tahun depan.

Setelah menutup pintu mobil dengan menggunakan kaki, gue berjalan masuk ke dalam rumah
sambil membawa dua buah kantong belanja berukuran besar dan menyimpannya pada meja di
dapur.

"Aaay..." Panggil gue. "Cake ultah dari Mrs. Bennet yang kemaren disimpen di kulkas udah abis
ya?"

Tidak lama berselang, Aya pun kemudian berjalan ke arah dapur, masih dengan mengenakan
pakaian jalan-jalannya bersama rambut berwarna merah kecokelatannya yang kini sedang
digerai, lalu kemudian dia melongok sedikit ke dalam lemari pendingin sambil memegang
sebelah pundak gue. "Iya deh udah abis kayaknya, tapi kamu pas tadi di sana udah beli cemilan
kan buat kamu sendiri?"
"Udah sih, yaudah deh buat entar malem aku bikin roti aja."

"Mau aku buatin?"

Gue tersenyum, lalu gue menggeleng pelan seraya mengelus lembut sebelah pipinya. "Aku aja
Ay, mending kamu sekarang bersih-bersih dulu gih, nanti aku juga buatin kamu satu."

Aya pun membalas senyuman gue, sebelum pada akhirnya dia membalikkan badan dan berjalan
menuju kamar.

Gue kemudian berkacak pinggang di depan lemari pendingin yang terbuka lebar sambil
menimang-nimang apakah gue harus menggunakan Nutella atau hanya menggunakan meises
saja untuk membuat roti nanti, tetapi tiba-tiba saja handphone yang masih tersimpan di dalam
saku celana gue terasa bergetar beberapa kali yang menandakan ada beberapa buah chat yang
masuk ke dalamnya, dan ternyata itu semua berasal dari Bayu.

"Part 90-91 udah dikirim, sori nih agak lama gue ngasihnya, ribet banget sama kerjaan." Ujarnya
yang kemudian disusul dengan sebuah emoticon beserta satu buah chat lanjutan darinya. "So
far, 91 yang paling susah buat gue tulis sampe sekarang."

"Oke sip, kenapa berat?" Tanya gue.

"Pas elo baca nanti, lo juga tau deh wkwkwk."

"Yaudah, kalo gitu gue mau baca sekarang yak!"

"Siiip, thank you Fal!"

Gue pun mengangguk pelan, lalu gue kembali memasukkannya ke dalam saku celana.

Buru-buru gue membuka laptop dan menyimpannya di atas meja makan, lalu gue menarik kursi
ke belakang dan duduk di atasnya. Sambil menunggu loading screen yang bergambar apel
dengan sebuah lingkaran yang berputar di bawahnya, gue menyempatkan untuk membalas
chat-chat lain yang belum sempat gue balas, lalu kemudian gue kembali terfokus kepada laptop
karena gue sudah kelewat penasaran tentang cerita kehidupan dari seorang Bayu Alfian
selanjutnya.

Paragraf demi paragraf pun sudah gue baca dengan teliti, hingga pada akhirnya gue sampai
pada beberapa paragraf akhir, yang tiba-tiba saja langsung membuat gue terkaget-kaget pada
saat membaca setiap kalimat yang ditulis oleh Bayu, sang pemilik dari cerita ini.

Six Degrees

Gue menarik nafas dalam-dalam, lalu gue menghelanya secara perlahan sambil mengetuk-ketuk
pulpen di atas berkas yang menumpuk sembari mendengarkan beberapa orang atasan yang
sedang berbicara di depan sana. Ini adalah sebuah meeting yang entah sudah keberapa kalinya
untuk hari ini dan gue sudah merasa jenuh dengan semuanya. Gue sangat ingin sekali untuk
segera pergi meninggalkan ruangan dan kembali menyegarkan pikiran yang terasa penat,
namun sayangnya gue tidak bisa.

Levana tidak ikut serta dalam meeting kali ini dan selama beberapa hari ke belakang pula kami
berdua sudah hampir tidak berkomunikasi sama sekali selain dalam konteks pekerjaan. Gue
mengerti dengan situasi kami saat ini. Gue sangat mengerti sekali. Levana sedang
membutuhkan waktunya sendiri, dan gue pun memang sedang membutuhkan waktu milik gue
sendiri.

Dan ya. Kami berdua kini dalam tahap membutuhkan waktu sendirinya masing-masing.

Drrrt...drrrt...drrrt...

Handphone yang tersimpan di dalam saku celana terasa bergetar beberapa kali yang langsung
membuat jantung gue berdegup dengan kencang. Entah sudah berapa lama gue tidak
berkomunikasi dengan Alexy dan setiap kali handphone gue bergetar, gue selalu berharap
bahwa itu adalah sebuah notifikasi yang berasal dari Alexy, tetapi gue hanya bisa tersenyum
getir, seperti saat ini.

Karena pada saat gue melihatnya, ternyata notifikasi itu bukanlah sebuah notifikasi yang berasal
dari Alexy.

***

"Lo yakin ini bakalan berhasil Sit?" Gue memandang ke arah pantulan wajahnya melalui cermin,
sementara Sita yang sedang berdiri tepat di belakang gue hanya bisa tersenyum sekenanya
saja.

"Gue ga tau ini bakal berhasil apa enggak, tapi ya..." Dia mengangkat kedua bahunya.
"Seenggaknya elo udah mau berusaha dan gak diem kayak kemaren-kemaren lagi."

"Iya juga sih, tapi gimana ya, kok perasaan gue kayak yang ga yakin sama apa yang bakal gue
lakuin sekarang?"

"Ga yakin gimana?"

Gue membalikkan badan, lalu gue menghela nafas dengan pelan. "Kalo ternyata gue nanti
diputusin sama Lexy?"

"Udahlah Bey..." Sita menggeleng sambil memejamkan kedua matanya. "Lo jangan mikir ke
sana terus deh, lo emang ga mau apa hubungan lo berdua balik lagi kayak dulu?"

"Ya mau sih..."

"Terus apa lagi sekarang masalahnya?"

"Lo pasti tau kan kalo gue udah salah banget sama Lexy gara-gara hal ini? Apa dia masih
ngasih kesempatan buat gue? Kalo dia ngasih, kenapa dia sama sekali ga mau buat ngebales
semua komunikasi dari gue? Telepon? SMS? Chat? Apa yang dia bales?"

"Tapi bukannya dengan kalian berdua lost contact kayak sekarang tanpa adanya kata putus,
berarti dia masih ngasih elo kesempatan kan walaupun jadinya kerasa ngegantung?"

Lagi-lagi gue hanya bisa tertunduk pasrah sambil mengangguk dengan pelan, menyetujui apa
yang baru saja dikatakan oleh Sita barusan. Tetapi, gue masih takut dengan segala
kemungkinan yang ada. Terlebih lagi bahwa ini adalah sebuah kesalahan yang
sudah sangat fatal sekali mengingat Muthia pernah berkata jika ini merupakan sebuah masalah
yang hampir sama dengan apa yang pernah Alexy alami dulu.

"Bey..." Sita memegang kedua pundak gue. "Gue tau sekarang lo lagi bimbang sama semua ini,
tapi lo harus percaya sama diri lo sendiri kalo lo bisa ngebuat ini semua balik lagi jadi semula
dan gue juga yakin kalo lo pasti bisa."

Sambil dengan memberikan senyuman termanisnya kepada gue, Sita kemudian mendekatkan
kepalanya, dan dia mengecup pipi gue dengan lembut, lama sekali, hingga gue dapat
merasakan ada sebutir air mata hangat yang mengalir pada pipinya.

***

Selama menempuh perjalanan dari sebuah florist di bilangan Jakarta Selatan menuju rumah
Alexy, perasaan gue masih saja terasa tidak menentu. Seluruh perasaan bimbang, takut, tidak
percaya diri, semuanya bercampur aduk menjadi satu yang membuat gue kalut dan pada
akhirnya gue pun tidak berani untuk membawa motor ini dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Terlalu banyak pikiran yang berada di dalam kepala sehingga gue tidak bisa berkonsentrasi
penuh terahadap apa yang sedang gue lakukan saat ini, dan gue tidak mau untuk mengambil
resiko.

Selain masalah yang gue miliki dengan Alexy, gue juga masih memiliki satu buah masalah yang
belum gue selesaikan secara tuntas, yaitu Levana. Levana seolah-olah menarik diri dari gue dan
komunikasi kami berdua pun langsung menurun drastis semenjak saat itu. Setiap kali kami
berdua berpapasan pada lorong ataupun di kantin, Levana selalu menghindari gue melalui jalan
yang memutar dan dia juga tidak pernah mau untuk menatap gue lama-lama ketika kami berdua
sedang melakukan suatu pekerjaan dalam tim yang sama. Entah kenapa.

Mungkin, saat ini, Levana sedang memerlukan sedikit waktu lebih banyak untuk memulihkan
perasaannya agar bisa kembali ke sedia kala sebelum dia merasa lebih kuat untuk kembali
menjalin komunikasinya lagi dengan gue.

Sang rembulan hampir tidak terlihat di atas sana. Sinarnya sedikit tertutupi oleh awan-awan
pekat yang menggelayut di kaki langit, dan keadaan ini bisa dikatakan sama dengan apa yang
sedang gue alami saat ini. Lalu tanpa terasa, kumandang adzan Isya kini mulai sayup-sayup
terdengar di udara udara seiring dengan gue yang semakin dekat dengan kompleks rumah
Alexy.

Laju kecepatan motor yang gue kendarai pun perlahan-lahan mulai berkurang pada saat gue
berbelok pada persimpangan jalan di depan. Gue melihat ada sebuah mobil mewah yang
terparkir tepat di depan pintu gerbang rumah Alexy, sebuah mobil mewah
yang mungkin harganya berjumlah puluhan kali lipat dibanding dengan motor matic yang sedang
gue kendarai saat ini, tetapi pertanyaannya, siapa pemilik dari mobil tersebut?

Dion kah?

Ah, gue tidak yakin jika itu adalah mobil milik Dion. Gue tidak tahu secara persis mobil apa yang
selalu Dion kendarai karena gue memang belum pernah melihat mobil miliknya secara langsung.
Atau mungkin gue pernah melihatnya, tetapi gue lupa?

Gue menggeleng.

Tetapi jika itu memang Dion...

Gue menepikan motor tepat di belakang mobil itu sambil mencoba untuk melihat ke dalam
halaman rumah Alexy yang pintu pagarnya terbuka setengahnya dan ternyata pintu ruang
tamunya pun sedang terbuka lebar. Dari sini, gue berasumsi bahwa Alexy sedang menerima
tamu pada rumahnya yang seketika saja dapat membuat gue bisa untuk bernafas dengan lega,
karena gue yakin bahwa itu bukanlah Dion.

Setelah melepas helm dan merapikan sedikit rambut di depan kaca spion, gue memandang
dengan penuh harap kepada sebuah buket bunga yang sedang gue pegang dengan kedua
tangan, sebuah buket bunga yang sebagian besar isinya dipenuhi oleh bunga-bunga kamboja
berwarna putih kekuningan, yang memang sengaja gue pesan secara khusus sebagai wujud dari
permintaan maaf gue untuk Alexy.

Will you forgive me...?

Will you forgive me, Lex...?

Lalu sambil menarik nafas dalam-dalam, gue memberanikan diri untuk masuk ke dalam halaman
rumah Alexy, sekali lagi, dan semoga saja kali ini Alexy mau untuk bertemu dengan gue.

Sayup-sayup suara obrolan dari dalam sana dapat gue dengar pada saat gue semakin
mendekat ke arah pintu rumahnya, dan tiba-tiba saja gue pun berhenti melangkah. Obrolan dari
dalam sana memang tidak dapat gue tangkap dengan jelas, tetapi gue dapat mendengar
bahwa itu adalah suara milik Alexy yang sedang mengobrol dengan seorang pria.

Gue hanya bisa terdiam mematung pada teras rumahnya sambil mempererat genggaman
tangan pada sebuket bunga ini dengan degup jantung yang semakin lama semakin tidak
beraturan. Gue sudah rindu dengan suara itu. Gue sudah teramat rindu sekali dengan suara
indah itu hingga kini gue dapat merasakan dengan jelas bahwa bibir gue sedang bergetar pelan
dan kemudian bibir gue itu pun tersenyum dengan sendirinya.

Beberapa saat kemudian, suara dari obrolan tersebut terhenti seketika, yang membuat gue
kembali tersadar bahwa kini gue masih harus melakukan sesuatu di sini. Lalu pada saat gue
kembali melangkah dan berdiri tepat di depan pintu rumah Alexy, gue terbelalak.

"Yon, please..." Alexy terlihat mencoba untuk mendorong bahu dari seorang pria yang dipanggil
'Yon' tersebut, lalu dia menggeleng pelan sambil menutup bibirnya yang baru saja dicium oleh
pria tersebut dengan sebelah tangannya. "Aku ga cinta sama kamu, aku cinta sama Bay"

Dan tepat di saat Alexy yang sudah menyadari kehadiran gue di sini, gue sudah tidak dapat
membendung lagi seluruh perasaan campur aduk yang sedari tadi sudah menggenang di
pelupuk mata.

Pain can kill, all on its own.


The body goes into shock and shuts down.

Teri Terry
The Script - Six Degrees of Separation

Is This The End?

Pandangan gue terasa berkunang-kunang, kepala gue mulai terasa berat, bibir gue bergetar,
dan gue hanya bisa terus berdiri di ambang pintu ini sambil dengan merasakan semua perasaan
sedih serta marah yang seketika saja memenuhi seluruh tubuh gue, hanya sesaat setelah
melihat Dion yang mencium Alexy, kekasih hati yang sangat gue sayangi, di depan mata kepala
gue sendiri.

Inikah apa yang namanya dengan hukum karma?

Inikah apa yang harus gue tebus atas semua kesalahan gue?

Gue tidak bisa berpikir secara jernih lagi saat ini, tetapi hanya ada satu buah pikiran yang sedari
tadi memenuhi isi dari kepala gue, dan gue yakin bahwa gue harus melakukannya sekarang
juga. Setelah sebuket bunga yang gue genggam sudah gue jatuhkan ke atas lantai, nafas gue
mulai memburu, kepalan tangan gue semakin mengeras, dan gue pun langsung berjalan cepat
untuk menghampiri Dion yang masih mematung di atas sofa.

BUGGGHHH...!

"Baaayuuu jangaaan!" Alexy berteriak kepada gue bersamaan dengan Dion yang tersungkur di
atas lantai.

Lalu pada saat gue akan kembali menghajarnya, gue dapat merasakan bahwa ada seseorang
yang memeluk tubuh gue dari belakang, menahan tubuh gue agar gue tidak kembali
menghampiri Dion yang kini mencoba untuk bangkit berdiri.

"Bay please, jangan..." Lirih Alexy yang semakin mempererat cengkeraman tangannya pada
tubuh gue.

"Lepasin aku Lex..."

Gue sudah tidak kuasa lagi untuk menahan seluruh perasaan emosi ini dan
gue ingin melampiaskan semuanya kepada seorang cowok brengsek itu, kepada seorang cowok
brengsek yang berani-beraninya ingin merebut Alexy dari tangan gue, namun gue tidak akan
pernah membiarkan hal itu terjadi.

Dan ketika cengkeraman Alexy dapat gue lepaskan dengan paksa, gue pun langsung maju ke
depan untuk menarik kerah dari kemeja Dion dan kembali meninju wajahnya.

"Udah puas lo ngerayu cewek gue jing?!"

BUGGGHHH!!!

Sebuah bogem mentah mendarat telak di atas perutnya yang membuat Dion meringis, dan gue
pun menjadi lengah. Dion, tanpa bisa gue perkirakan sebelumnya, dia langsung menubruk tubuh
gue hingga gue terjatuh ke atas lantai dengan debuman yang cukup keras, punggung dan
kepala gue pun terbentur di atas lantai keramik yang dingin, dan kini giliran Dion yang membalas
apa yang sudah gue lakukan kepadanya tadi.

Pipi kiri gue menjadi sasaran tinjunya.

Lalu wajah gue.

Lalu...

"Selingkuh di depan Lexy? Hah..."

DEG!!!

Dion tersenyum sinis kepada gue dan dia pun kembali melayangkan pukulannya dengan keras.

Omongan yang baru saja dilontarkan oleh Dion bersama bogemnya itu langsung membuat gue
tersadar. Gue memang sudah salah dengan apa yang telah gue lakukan kepada Alexy dengan
cara memeluk Levana di tempat umum walaupun itu hanya untuk menenangkan dirinya saja. Ya,
Dion benar. Gue akui, gue memang telah salah karena sudah melakukan hal itu kepada Levana
dan kini gue hanya bisa pasrah terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tepat pada saat gue yang sudah bersiap untuk menerima pukulan dari Dion lagi, tiba-tiba
terdengar suara langkah derap kaki yang mendekati kami berdua dan pak Tono pun langsung
menarik punggung Dion agar dia menjauh dari gue. Nafas gue terengah-engah, rahang gue
terasa kaku, berdenyut, dan juga terasa sulit untuk digerakkan pada saat Alexy berlutut di
samping gue dengan air mata yang sudah membasahi kedua pipinya.

"Yon, kamu pulang sekarang."

"Cowok kayak gini masih kamu bela Lex?" Dion menunjuk ke arah gue. "Cowok sampah macem
gini masih kamu bela?"

"PULANG!!!"

Alexy berteriak dengan nyaring sambil menatap Dion dengan sebuah tatapan yang terlihat tajam
sekali. Lalu sambil dengan menggeleng dan tertawa sinis, Dion pun mengambil kunci mobilnya
yang tergeletak di atas meja, sebelum pada akhirnya dia membanting pintu rumah dan pergi
meninggalkan kami bertiga di sini.

"Pak, tolong ambilin kotak P3K ya pak..." Pinta Alexy kepada pak Tono dengan nada suara yang
bergetar. Pak Tono terlihat kebingungan dengan ekspresi wajah yang ditunjukkan olehnya itu,
tetapi dia tetap pergi dan berlari ke dalam untuk mengambil apa yang diminta oleh Alexy.

Alexy kemudian membantu gue untuk bangkit dari lantai, dan tepat pada saat itu juga, ada air
mata yang mengalir dengan sendirinya pada kedua pipi gue.

"Lex..." Lirih gue sambil dengan sekuat tenaga mencoba untuk tetap tersenyum kepadanya.
"Kamu kenapa ga bilang kalo kamu ingin putus sama aku? Aku minta maaf Lex, aku emang
salah udah ngelakuin hal itu di depan kamu, tapi kenapa kamu harus pake cara kayak gini buat
ngungkapinnya...?"

"Enggak Baaay, aku ga mau putus sama kamu, aku bahagia sama kamu, aku selalu seneng
kalo sama kamu..."Alexy menggelengkan kepalanya sambil tetap menangis di depan gue.

"Kalo kamu emang ga bahagia sama aku, ngomong sama aku langsung Lex, jangan kayak gini
caranya, aku ga kuat ngeliatnya..."

"Bay, please jangan ngomong kayak gitu, dengerin aku dulu Bay..."

Gue pun kemudian menyimpan telunjuk di depan bibir Alexy sambil mencoba untuk tetap
tersenyum kepadanya, menggeleng, sebelum pada akhirnya gue menarik kepala Alexy secara
perlahan dan mencium keningnya dengan segenap hati dan jiwa yang gue miliki, hanya
untuknya, hanya untuk dirinya, hanya untuk Alexy seorang.
"Aku rela buat ngelepasin kamu asalkan kamu lebih bahagia sama dia, Lex, aku rela..."

"Enggak Baaay, jangan ngomong gitu please..."

Alexy menggeleng hebat, dan dia pun memeluk tubuh gue bersama seluruh air mata yang sudah
tidak dapat kami tahan lagi.

I think about you. But I don't say it anymore.

Marguerite Duras

End Where I Begin

Ive had my run


Baby, Im done
I gotta go home...

Michael Bubl on Home

Pada siang itu, di suatu hari yang cerah pada tahun 2013.
Gue menundukkan kepala, menatap ke arah lantai parket kayu berwarna cokelat terang yang
jika diinjak akan sedikit mengeluarkan decit pelan, lalu gue menghela nafas secara perlahan
sambil mengembangkan sedikit senyuman pada bibir.

Sang waktu berputar dengan sangat lambat sekali rasanya. Walaupun gue tahu bahwa jarak
antara dermaga dengan cottage kayu di atas laut ini sangatlah dekat, tetapi tetap saja, gue tetap
menunggu kehadirannya di sini dengan degup jantung yang entah kenapa terasa sangat
mendebarkan sekali.

Sebuah cottage kayu yang dibangun di atas air laut yang sudah didekorasi menjadi sedemikian
rupa dengan berbagai macam hiasan oleh dua orang sahabat gue ini, semoga saja akan
menjadi sebuah tempat yang sangat memiliki sejarah bagi gue, bagi kami berdua, dan juga akan
menjadi saksi bisu tentang apa yang akan terjadi selanjutnya di sini.

Gue kemudian menaikkan kepala, menoleh ke atas tempat tidur yang telah bertabur mawar
merah dengan rupa-rupa hiasan romantis yang menempel pada dindingnya serta berbagai
macam balon warna-warni yang menghiasi lantai kayu di sekitar tempat tidur itu, lalu gue pun
mengalihkan pandangan dan menatap dengan penuh harap kepada sebuah kotak kecil
berwarna merah hati yang terbuat dari beludru halus yang sedang gue genggam dengan kedua
tangan.

Ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. Ini adalah sebuah kesempatan yang sama
sekali tidak akan gue sia-siakan, karena ini telah menjadi sebuah titik di mana gue sudah sangat
yakin dengan apa yang akan gue lakukan selanjutnya, dan juga gue sudah sangat mantap sekali
dengan niatan gue pada hari ini.

Tidak lama berselang, engsel pintu di depan sana terdengar berdecit pelan, sebelum pada
akhirnya muncullah dua orang sahabat gue bersama seorang wanita cantik yang kini sedang
terbelalak kaget sambil menutup mulut dengan kedua tangannya pada saat dia telah menyadari
keberadaan gue yang sedang berdiri pada salah satu sudut kamar, tersenyum dengan penuh arti
kepadanya, bersama dengan sebuah harapan yang telah gue gantung setinggi langit.

Lalu setelah kedua sahabat gue itu memberikan senyuman bahagianya untuk kami, mereka
berdua pun kemudian menutup kembali pintu itu, meninggalkan gue di dalam
sebuah cottage kayu kecil yang terletak di pantai Ora, hanya berdua saja dengannya, dan juga
bersama sebuah cincin pernikahan yang akan gue sematkan pada jari manis lentiknya, yang
semoga saja akan mengikat tali hubungan kami untuk selamanya.

It is a truth universally acknowledged, that a single man in possession of a good fortune,


Must be in want of a wife...

Jane Austen

Kita
"Gue tau sekarang muka gue lagi keliatan bengep, tapi elo jangan nanya apa-apa sama gue,
oke?" Gue mengacungkan telunjuk kepada Gina yang masih terbengong-bengong di atas
kursinya pada saat gue baru saja tiba di sini. "Oke Gin?"

"Muka lu kenapa bengep Bay?"

Gue mengusap wajah.

Ini adalah hari pertama gue untuk kembali masuk ke kantor setelah 'bolos' selama dua hari
kemarin. Aftermath-nya baru terasa ketika gue sudah selesai diobati oleh Alexy dan alhasil
hampir seluruh badan gue pun terasa pegal, terlebih lagi pada bagian punggung dan kepala.
Hingga kini, kepala gue kadang-kadang masih terasa berdenyut di bagian belakang, tetapi hari
ini sudah jauh terasa lebih baik dari sebelumnya.

"Gawean elu udah gue backup dikit nih ngomong-ngomong." Gina memberikan sebundel
dokumen kepada gue. "Jangan lupa entar traktir gue Lomie seporsi ye."

"Gampang itu mah, thank you ya." Gue tersenyum.

***

Adzan dzuhur terdengar berkumandang pada saat gue sedang membayar makanan yang baru
saja gue habiskan tadi. Lalu setelah gue berpamitan dengan kawan-kawan lainnya yang baru
saja tiba pada warung makan ini, gue pun kemudian langsung kembali ke dalam kantor untuk
menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.

Gue terduduk di atas bangku deret kosong yang hanya diisi oleh gue dan juga dua orang laki-laki
lainnya sambil melepas sepatu serta kaos kaki yang gue kenakan, sebelum pada akhirnya gue
menggulung lengan baju dan mengambil air wudhu di belakang mushala.

Wajah gue kadang-kadang masih terasa sakit jika gue sentuh dengan keras, dan alhasil gue pun
masih belum bisa berwudhu secara normal seperti biasanya. Kadang-kadang gue hanya
mencipratkan airnya saja atau hanya sekedar menempelkan kedua tangan yang basah kepada
wajah secara perlahan agar gue tidak terlalu merasakan sakit yang berdenyut-denyut itu.

Pada saat gue hendak berjalan memasuki mushala, gue melihat ada seorang wanita yang
sedang berjalan ke arah mushala ini bersama sebuah mukena ungu yang ia peluk pada
dadanya, dan sesaat kemudian, pandangan kami berdua pun saling beradu.

Levana terlihat ragu untuk berjalan ke sini. Langkah kakinya sedikit diperlambat, tetapi dia tetap
berjalan ke arah mushala kecil ini dengan langkah kaki yang bisa dibilang cukup pelan. Lalu
sambil dengan menarik nafas dalam-dalam, gue pun kemudian mencoba untuk tersenyum dan
menyapanya terlebih dahulu.

"Baru mau shalat Lev?"

Levana mengalihkan pandangannya, lalu dia mengangguk. "Iya mas."

"Udah makan siang?"


"Belum." Gelengnya.

Yah, sepertinya Levana memang belum mau untuk berbicara kepada gue, tetapi kami harus
segera menyelesaikan sebuah masalah kompleks yang sedang terjadi di antara kami berdua,
sesegera mungkin, dan juga secepat mungkin.

"Emmm, Lev...?" Panggil gue, sebelum Levana kembali melangkahkan kakinya.

"Ya, mas?" Levana menoleh. "Kenapa?"

"Jumat nanti abis pulang dari kantor, kamu free?"

Levana terlihat menggigit bibir bawahnya dengan lembut. Kedua matanya berkedip pelan sambil
melirik ke samping, tidak berani untuk menatap gue yang sedang menatapnya dengan penuh
tanya, sebelum pada akhirnya dia menggeleng. "Ga tau, kenapa?"

"I think we should do some dinner together." Ujar gue. "Ya ga usah mahal-mahal juga, di McD
atau KFC juga boleh."

"Liat entar aja deh ya, nanti aku kabarin lagi."

Dan setelah Levana berkata seperti itu, dia pun kemudian tersenyum dengan singkat seraya
berjalan melewati gue yang masih mencoba untuk memaklumi sikap dinginnya kepada gue.

***

Gue menaikkan resleting jaket hingga menutupi leher dan membenarkan tali masker pada
telinga, lalu gue mengambil tas laptop yang tergeletak di atas meja dan berpamitan kepada
beberapa orang rekan yang masih berada di sini. Untuk beberapa hari kedepan, gue sepertinya
memang harus selalu mengenakan masker pada wajah untuk menghindari tatapan-tatapan aneh
yang selalu mengarah kepada gue selama berada di angkutan umum, karena saat ini gue juga
sedang enggan untuk membawa kendaraan bermotor sendiri.

Pada saat gue menoleh ke arah meja Levana, mejanya sudah terlihat rapi. Tidak ada berkas
apapun yang terlihat di sana, dan sepertinya Levana juga sudah pulang terlebih dahulu
dibanding dengan gue.

"Hhhhh..." Gue menghela nafas pelan.

Beberapa saat setelah gue keluar dari lift dan hendak berjalan menuju lobby kantor, gue dapat
melihat seorang wanita yang sedang duduk dengan anggunnya pada salah satu kursi sofa
beludru berwarna kuning keemasan di sudut sana, masih dengan mengenakan blazer serta
stiletto hitam pada kedua kaki jenjangnya, dan pada akhirnya dia pun tersenyum dengan
sangat manis sekali pada saat dia telah menyadari kehadiran gue di dekatnya.

"Kok udah pulang?" Tanya gue.

Lalu sambil dengan menyunggingkan sebuah senyuman yang terlihat sedikit dipaksakan serta
menghela nafas dengan berat, Alexy pun kemudian memberikan sebuah amplop berwarna
cokelat tua kepada gue. "Aku tadi baru selesai meeting sama klien aku, terus aku langsung
kesini buat jemput kamu."

"Terus ini apa?" Gue mengangkat amplop tersebut.

"Nanti aja deh kamu bacanya di mobil."

Pertanyaan demi pertanyaan pun bermunculan di dalam benak dan pikiran, tetapi gue tidak
terlalu memusingkan hal tersebut dan memutuskan untuk berjalan di samping Alexy menuju
mobilnya.

Ya, kami berdua masih dalam status berpacaran. Walaupun kami berdua tahu bahwa kami
masih merasa sulit untuk saling menerima seluruh kekurangan serta semua kesalahan yang
telah kami perbuat, tetapi gue dan Alexy sudah memutuskan untuk tetap berjuang bersama-
sama seperti apa yang selalu kami berdua lakukan sebelumnya, dan semoga saja ini semua
tidak akan pernah berubah sampai Tuhan berkata sesuatu yang lain.

Gue kemudian menyimpan tas laptop pada bangku di belakang dan melepas masker pada
wajah, lalu gue pun masuk ke dalam mobil dan menarik nafas dalam-dalam. "Aaah, enak banget
rasanya ga pake masker. Jadi ga ngerasa susah buat nafas."

"Suruh siapa bengep? Jadi ribet sendiri kan kemana-mana harus pake masker?!" Alexy tertawa.

"Eh, ngomong-ngomong amplopnya aku buka sekarang ya?"

Tanpa menolehkan kepalanya, Alexy kemudian mengangguk dengan pelan seraya menyalakan
mesin mobilnya, sementara gue mulai membuka tali yang mengikat amplop tersebut. Lalu pada
saat gue sudah mengambil secarik kertas yang berada di dalamnya, gue pun
kemudian langsung menoleh kepada Alexy dengan berjuta pertanyaan yang begitu saja muncul
di dalam kepala.

"Ini beneran Lex?"

Alexy menoleh, lalu dia mengangguk. "Iya. Aku udah mikirin tentang hal itu mateng-mateng, dan
sepertinya aku ga bisa lama-lama jadi bawahan dia terus."

"Tapi kamu kan ga harus resign juga Lex, ga gini caranya buat nyelesain masalah..."

"Ga apa-apa..." Alexy menggeleng pelan. "Kalo ternyata jalan aku emang bukan di situ, kenapa
harus dipaksakan? Lagian, aku juga udah apply ke beberapa perusahaan lain kok Bay."

"Kamu beneran udah mikirin ini mateng-mateng?"

"Udah Bayu sayang, udah..."

"Tapi bukan karena aku kan?"

Alexy terdiam sebentar, lalu dia menggeleng. "Bukan."

"Terus?"
"Kita..." Alexy tersenyum.

Promoted

Gue menarik nafas dalam-dalam, lalu gue menghelanya dengan cepat sambil mengetuk-ketuk
jari di depan dagu dan memiringkan kepala. "Apa ya enaknya Lex?"

"Kamu maunya apa?"

"Ga tau..." Gue menggeleng dan menoleh kepadanya. "Kamu?"

Sessaat setelah itu, Alexy menoleh kepada gue yang membuat kami berdua saling bertatapan
untuk beberapa saat, lalu kemudian dia pun tersenyum dengan lebar dan menggeleng. "Ga tau
juga."

Gue tertawa.

Untung saja masih terdapat beberapa orang yang sedang mengantri di depan kami sehingga
gue dan Alexy bisa saling menertawakan kebodohan kami berdua dalam memilih menu
makanan cepat saji hingga pada akhirnya antrian tersebut pun berakhir. Gue saat ini lebih
memilih untuk memakan burger dibanding dengan apa yang dipesan oleh Alexy, yaitu paket nasi
dan ayam.

"Aku ambil sedotan sama sambel dulu ya." Ujarnya seraya pergi menuju salah satu sudut
restoran di sana, dan sedetik kemudian, gue pun dapat dengan leluasa memperhatikan
beberapa orang laki-laki yang kedua matanya terus mengikuti gerak langkah kaki Alexy yang
membuat gue ingin tertawa geli.

Gue menarik kursi dengan menggunakan sebelah kaki seraya menyimpan baki di atas meja, lalu
gue duduk di atasnya dan membuka masker yang sedari tadi masih gue kenakan, sebelum pada
akhirnya Alexy terlihat berjalan mendekat yang tertangkap oleh sudut mata gue bersama
beberapa buah pisin plastik kecil berisi saus sambal dan juga dua buah sedotan pada sela-sela
jemarinya.

"Lex..." Panggil gue. "Kamu ngerasa ga sih daritadi ada yang ngeliatin kamu terus?"

Alexy menoleh, dan dia terlihat menahan garis senyuman pada bibirnya. "Satu laki-laki di situ..."
Ujarnya seraya memberi isyarat melalui gerakan mata, lalu kemudian dia pun melakukan hal
yang sama ke salah satu sudut restoran lainnya. "Sama ada juga yang di situ, bener ga Bay?"

"Gila ya kamu bisa tau yang mana-yang mananya." Gue tertawa. "Gimana sih rasanya diliatin
kayak gitu sama banyak cowok? Aku soalnya belum pernah digituin sih Lex."

"Ya iya laaah kamu mah belom pernah, masa kamu mau diliatin sama banyak cowok sih? Berarti
kalo gitu aku sekarang lagi pacaran sama homo dong? Hiiiy..."

"Yeee bukan gituuu dodol!" Gue tertawa.

"Terus gimana ya rasanya?" Alexy pun kemudian mencomot kentang goreng dan memakannya
seraya memasang ekspresi polos. "Ya biasa aja sih..."

Gue melongo.

***

"Bay..." Gina menepuk pundak gue, yang membuat gue menoleh sambil menaikkan kedua alis.
"Udah tau belom kalo si Kumis mau dimutasi?"

Gue terbelalak. "SERIUS LO?!"

"Yeee dongo! Denger dulu! Maksud gue, dia bakalan pindah tempat kerjanya."

"Iya, gue tau kalo dia bakal pindah tempat kerja, tapi dia emang bakal dipindahin kemana?"

"U.S."

"U.S? United States? Amerika? Lo serius Gin? Denger dari mana lo beritanya? Lo lagi enggak
nyebar gosip ga penting kan sekarang?"

"Emang lo ga sadar apa ya sekarang si Lia jadi lebih sering ngilang buat gantiin job si Kumis?"

"Ya jelas wajar lah kalo dia sering ngilang mah, jabatannya juga cuman setitik di bawah si
Kumis, tapi emang si Kumis kemana?"

"Lo tau kan tentang seminar yang di Bali itu?"

"Hmmm..." Gue mengkerutkan kening. "Yang banyak bos-bos regional itu ya? Kenapa?"

"Nah! Gue abis dapet info kalo si Kumis udah dipromosiin di situ! Gila! Amerika Bay, Amerika!"

Dan entah kenapa, setelah Gina berkata seperti itu, gue malah tertegun.

Amerika...?

***

Pihak kantor memang belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai hal tersebut, tetapi
kabar burung sudah semakin kencang berhembus bahwa pak Wisnu akan segera berangkat ke
Amerika dan melanjutkan pekerjaannya di sana. Jika pak Wisnu memang benar akan bekerja di
Amerika sana, secara otomatis posisinya pun akan digantikan oleh Lia. Lalu pertanyaannya
adalah: siapa yang akan menggantikan posisi yang saat ini masih dipegang oleh Lia?

Gue memainkan bibir dengan malas dan menarik nafas panjang-panjang, sebelum pada
akhirnya gue melihat ada salah seorang petinggi perusahaan yang sudah terlihat berumur maju
ke depan dengan didampingi oleh salah seorang asistennya, berdiri di samping Lia yang baru
saja selesai mempresentasikan pekerjannya, lalu beliau pun mulai berbicara dengan nada yang
terdengar kalem.

"Saya sebelumnya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Lia yang selama hampir
lima tahun sudah memperlihatkan hasil kinerjanya yang selalu bisa membuat para dewan direksi
berdecak kagum, termasuk saya juga."

Lia tersenyum dan mengangguk kecil.

"Saya yakin bahwa kalian semua sudah mendengar kabar bahwa pak Wisnu akan segera
dipindahtugaskan ke Amerika. Maka dari itu, saat ini saya akan memberikan sebuah klarifikasi
mengenai hal tersebut karena memang benar bahwa pak Wisnu sudah mendapatkan sebuah
posisi di sana dan sekarang kita hanya perlu menunggu surat keputusannya saja yang akan
segera diberikan oleh pihak kantor pusat kepada beliau dalam waktu dekat."

Lalu semua orang yang berada di ruangan meeting ini pun bertepuk tangan sambil tersenyum
sumringah setelah mendengar kabar baik itu.

"Bersamaan dengan surat keputusan yang akan keluar nanti, kami para dewan direksi sudah
mengadakan rapat internal dan kami juga telah setuju bahwa posisi pak Wisnu di kantor ini akan
segera digantikan oleh ibu Liani Nurul Elsani, atau yang lebih akrab disapa dengan panggilan ibu
Lia."

Semua orang di ruangan meeting ini kembali bertepuk tangan, dan kali ini kami semua bertepuk
tangan sambil berdiri dengan tegap dan tersenyum kepada Lia yang juga sedang tersenyum
bahagia kepada kami semua.

"Dan setelah ibu Lia menggantikan posisi pak Wisnu nanti, maka secara otomatis posisi yang
saat ini masih dipegang oleh ibu Lia pun pasti akan mengalami power vacuum untuk sementara.
Oleh karena itu, para dewan direksi juga sudah memutuskan, bahwa yang akan menggantikan
posisi ibu Lia nanti adalah..." Pak Dirganthoro menoleh, lalu beliau menunjuk gue sambil
tersenyum mantap.

"Saya ucapkan selamat kepada bapak Bayu Alfian atas terpilihnya bapak untuk menggantikan
posisi ibu Lia."

***

"Aku ga bisa ambil posisi itu Lex!" Gue menepuk bantal. "Masih banyak kerjaan aku yang
hasilnya belum bisa bikin atasan-atasan aku puas, masih ada kerjaan-kerjaan yang belum aku
selesain sekarang, terus belum lagi kewajiban sama tanggung jawab aku bakalan jadi lebih
besar kalo misalkan aku emang ambil posisi itu. Kamu sendiri tau kan gimana 'gila'-nya kerjaan
aku yang sekarang? Apalagi nanti coba pas aku udah dipromosiin?!"

"Loh, bagus dong, berarti tandanya mereka udah percaya sama kamu buat nempatin posisi itu
kan walaupun kamu ngerasa kalo kerjaan kamu masih banyak kekurangannya?"

"Tapi aku sendiri belum siap sama semua tanggung jawabnya Lex! Aku belum siap!"
Ada jeda yang mengisi kekosongan di udara setelah gue berkata seperti itu. Suara jangkrik yang
terdengar dari sudut taman rumah Alexy tedengar dengan nyaring. Kami berdua kini hanya bisa
saling berdiam diri sambil menatap ke arah kolam renang yang terlihat berkilau keemasan
karena diterpa oleh lampu di sekitarnya.

"Bay..." Panggil Alexy, yang membuat gue menoleh.

"Ya?"

Kedua tangan Alexy kemudian perlahan-lahan memasuki sela-sela jemari tangan gue dan dia
pun menggenggamnya dengan erat, tersenyum, sebelum pada akhirnya dia menatap kedua
mata gue dengan sebuah tatapan yang terasa sangat dalam sekali.

"Kamu bisa, Bay, percaya sama aku ya?"

The Choices

Pagi itu, menjelang siang.

Gue baru saja terbangun dengan kepala yang terasa berat sekali karena gue baru saja tiba pada
kamar kost sekitar pukul sebelas malam dan gue baru bisa tidur sekitar pukul satu dini hari.
Pekerjaan demi pekerjaan yang belum gue selesaikan pun pada akhirnya dapat gue selesaikan
sebelum pada waktunya mengingat gue akan segera mendapatkan sebuah posisi baru dengan
pekerjaan yang juga baru.

Walaupun atasan-atasan gue sudah menyarankan untuk membagi pekerjaan tersebut kepada
rekan-rekan yang lain, tetapi gue bersikeras untuk tetap menyelesaikan sendiri karena itu adalah
'hutang' yang masih gue miliki kepada perusahaan.

Gue merenung.

"Promosi ya..." Gumam gue pelan seraya menutup mata dengan kedua lengan.

***

"Bey-bey-bey-bey-bey!" Sambil dengan tesenyum sumringah Sita berlari-lari kecil menghampiri


gue yang sedang duduk pada kursi plastik di depan kamar. "Coba tebak ini apa yang gue
bawa?"

Setelah menyimpan bungkusan kripik di atas lantai, gue pun kemudian merubah posisi duduk
untuk menghadap kepadanya, lalu gue agak sedikit memiringkan kepala. "Kondom super
besar?"

"Dongo ih! Ini baju toga gueee!!!"


"Alhamdulillaaah akhirnya ya elo wisuda juga Sit. Udah tobat nih jadinya ga nyari-nyari cowok
one night stand lagi?"

"Ih! Lo ngeselin abis sih!" Sita pun memukuli pundak gue sambil tertawa-tawa dengan keras,
sebelum pada akhirnya dia ikut duduk di samping gue seraya menatap ke arah langit-langit dan
pandangannya pun terlihat menerawang. "Gue abis ini harus kemana ya Bey?"

Tawa yang sedari tadi terdengar menghiasi suasana, kini perlahan-lahan mereda dan kemudian
tawa itu pun digantikan oleh senyuman yang terukir pada bibir kami berdua.

Dulu, gue dan beberapa orang teman lainnya pernah saling menanyakan tentang hal yang sama
seperti apa yang baru saja Sita tanyakan, lalu dengan naifnya kami semua memilih pilihan kami
masing-masing dan seolah-olah tidak memikirkan masalah yang akan datang di kemudian hari.

Ada yang berkata ingin kembali melanjutkan studinya ke luar negeri, ada yang ingin mengambil
jeda waktu untuk sejenak sebelum menentukan pilihannya, dan bahkan ada juga seorang teman
yang lebih memilih untuk kembali ke kampung halaman dan meneruskan usaha keluarga tanpa
memikirkan gelar sarjana yang baru saja kami terima.

Memang betul bahwa hidup itu penuh dengan pilihan, tetapi bagi gue pada saat itu, sepertinya
dunia tidak mau memberikan pilihan apapun kepada gue selain pilihan untuk mendapatkan
sebuah pekerjaan. Sesegera mungkin gue harus mendapatkan sebuah pekerjaan yang tetap
karena mengingat bahwa ibu gue sudah semakin memasuki usia senjanya dan adik perempuan
gue juga masih membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk biaya studinya.

"Bey!" Sita menyenggol lengan gue. "Kok malah diem sih?"

Gue menggaruk tengkuk, lalu gue menoleh ke samping. "Emang elo sendiri maunya kemana?"

"Kalo gue sendiri siiih..." Sita kemudian terdiam, dan dia menggelengkan kepalanya. "Ga tau..."

"Nggak kangen sama rumah?"

"..."

Ya, gue yakin bahwa sudah lama sekali Sita tidak kembali pulang ke rumahnya di Bali sana,
yang sampai saat ini masih belum gue ketahui kenapa Sita tidak mau pulang dan gue juga tidak
perlu mengetahui privasinya lebih jauh lagi. Gue pun terus memperhatikan Sita yang kini sedang
termenung, sebelum pada akhirnya dia menoleh seraya tersenyum kepada gue.

"Kalo kangen, itu pasti. Tapi kayaknya, gue belum bisa pulang sekarang deh." Gelengnya.

"Kenapa?"

"Entahlah..." Sita pun menaikkan kedua bahunya dengan malas. "Kayak ada sesuatu yang
belum selesai di sini, tapi gue juga ga tau apa."

Gue menghela nafas panjang, lalu gue membiarkan Sita untuk kembali menatap ke arah langit-
langit sambil mengayunkan kedua kakinya.
Semilir angin berhembus secara perlahan sambil membawa alunan musik yang berasal dari
kamar kost di bawah. Musik tersebut terasa sangat menyejukkan sekali pada siang hari ini, dan
sepertinya Sita juga merasakan hal yang sama dengan gue karena kepalanya pun terlihat ikut
bergerak dengan seirama.

"Bey..." Panggil Sita, yang membuat gue menoleh.

"Hmmm?"

"Elo jadi ngambil promosi itu?"

"Yah..." Gue menaikkan kedua bahu. "Kayaknya sih... Kenapa?"

"Kalo lo emang jadi dipromosiin, berarti elo bakal pindah dari sini dong ya?"

"Kenapa emangnya?"

"Yaaa, dulu kan elo pernah cerita kalo si Lia dapet fasilitas apartment dari kantor."

"Ooh, itu..." Gue tertawa pelan. "Gue belum berani mikir sampe sana Sit, kejauhan kalo buat gue
mikir sampe sana mah. Lagian, gue naik jabatan aja belom resmi..."

"Tapi kalo misalkan ternyata elo emang dapet fasilitas itu, elo pasti bakal pindah dari kost ini
kan?"

Gue terdiam.

Tidak dapat gue pungkiri, mendapatkan sebuah fasilitas yang terbilang cukup mewah seperti itu
memang menjadi salah satu keinginan gue. Tetapi di satu sisi juga, gue merasa bahwa tempat
ini sudah menjadi 'rumah' selama gue bekerja di Jakarta.

Gue sudah hafal betul dengan semua penghuni kost ini. Sita dan Heri yang berada tepat di
samping kamar gue, mas Yono dengan istrinya, mbak Laras yang masih single, serta beberapa
orang penghuni kamar kost di bawah lainnya yang tidak dapat gue sebutkan satu persatu. Belum
lagi dengan para warga sekitar yang bisa dibilang cukup gue kenal secara pribadi.

Dan ya.

Sekali lagi, hidup kembali memberikan pilihan-pilihannya kepada gue, yang kini dapat gue pilih
dengan sebebas-bebasnya tanpa ada halangan.

"Yah, Bey, dari diemnya elo sekarang, kayaknya gue udah punya jawaban deh gue harus
kemana setelah wisuda nanti."

Gue menoleh. "Ke mana?"

"Pulang." Jawabnya enteng seraya tersenyum dengan manis kepada gue. "Emangnya gue
punya pilihan apa lagi selain itu?"
Damai

Yap.

Another farewell, I guess...

Selama beberapa hari terakhir ketika gue melewati ruangan pak Wisnu, gue menjadi lebih sering
memperhatikannya secara teliti dan ternyata barang-barang yang dulu selalu tersimpan rapi
pada tempatnya kini sudah mulai menghilang satu persatu yang kemudian digantikan oleh
sebuah ruangan kosong dan gelap tanpa penghuni.

"Bey..."

Ada sebuah rasa kehilangan yang sangat terasa di dalam dada ketika gue sudah semakin sadar
bahwa pak Wisnu kini tidak akan lagi bekerja di tempat yang sama dengan gue. Tidak akan ada
lagi pak Wisnu yang memanggil gue ke ruangannya, tidak akan ada lagi omelan pedas serta
kritik-kritik membangun mengenai hasil kinerja gue yang tidak dapat membuatnya puas, tidak
akan ada lagi seseorang dengan kumis hitam lebatnya yang ikut bergerak naik ketika sedang
tersenyum, tidak akan ada lagi suara tawa yang khas ketika kami berdua sedang berdiskusi
ringan, tidak akan ada lagi pak Wisnu di sini.

"Bayu...!"

"Aw!" Gue meringis dan menoleh ke belakang. "Apaan sih Gin nyubit-nyubit?"

"Elu gue panggil malah kagak nyaut, kesambet setan baru tau rasa lu!"

"Hus! Ngomongnya dijaga!"

"Ya elu bikin gue kesel sih!"

"Iya deh iya sori, ada apaan?"

"Mau minta data yang kemaren elu kerjain dong, flashdisk gue ketinggalan di rumah soalnya."

"Bentar ya, gue emailin aja deh sekalian sama file yang baru itu..." Ujar gue seraya membuka
tab email pada browser dan mengirimkannya kepada Gina, tepat pada saat Blackberry yang
tersimpan di samping layar monitor tiba-tiba saja terlihat menyala dan menampilkan satu buah
notifikasi panggilan masuk.

Alexy.

Setelah menyambar Blackberry yang masih bergetar itu, gue pun kemudian bangkit dari kursi
dan beranjak keluar dari cubicle tanpa menghiarukan Gina yang memanggil nama gue berkali-
kali. "Ya? Halo? Kenapa Lex?"
"Udah istirahat sayang?"

"Belum nih." Gue melirik pada jam di tangan. "Bentar lagi istirahatnya, kenapa?"

"Ooh, enggak, aku mau tanya aja kalo nanti malem jadi apa enggak acaranya?"

"Jadi..."

***

Malam ini bukanlah sebuah malam dimana gue diundang oleh pak Wisnu untuk merayakan
berhasilnya proyek yang pernah gue kerjakan bersama Lia dulu.

Malam ini bukanlah sebuah malam dimana suara tawa terdengar memenuhi udara hingga
menutupi suara musik dari live acoustic yang nyaris tidak terdengar, karena malam ini adalah
sebuah malam dimana kami semua sedang berkumpul pada sebuah ruang serba guna yang
telah disulap menjadi sedemikian rupa, berdiri secara berdampingan dan memperhatikan pak
Wisnu yang sedang berbicara di atas podium sana sambil memberikan senyuman terbaiknya
kepada kami semua, yang entah kenapa malah membuat dada gue agak sedikit mencelos
karena itu akan menjadi sebuah ucapan perpisahan terakhir bagi kami semua.

Memang pak Wisnu hanyalah seorang atasan yang kebetulan bekerja pada perusahaan yang
sama dengan kami, tetapi kedekatan diantara pak Wisnu dan rekan-rekan kerja yang lain pun
dapat dibilang sangat erat sekali hingga membuat para karyawan wanita yang berada di sini
terus memperhatikan beliau sambil menutup mulut dengan sebelah tangannya, dan tak
terkecuali juga Levana.

Levana, dia bisa dibilang baru bekerja di kantor ini bersama pak Wisnu dengan waktu yang
singkat, tetapi sepertinya dia telah merasakan sebuah 'ikatan' yang terlebih dulu sudah terjalin di
antara kami semua bersama pak Wisnu.

Gue pun kemudian terus memperhatikannya dari tempat dimana gue berdiri saat ini. Gue terus
memperhatikan senyuman Levana yang terlihat bergetar pelan pada bibirnya, gue melihat gerak
tangannya pada saat ia sedang menyimpan helai-helai rambut di balik telinganya, gue melihat
kedip pelan matanya, dan gue juga melihat tatap wajahnya pada saat pandangan kami berdua
saling beradu.

Ingin sekali rasanya buru-buru memalingkan wajah dan kembali memperhatikan pak Wisnu yang
masih berbicara di depan sana, tetapi gue merasa ada sesuatu yang menahan kepala gue agar
tidak berpaling darinya dan gue malah memberikan sebuah senyuman kecil seraya mengangguk
pelan kepada Levana.

"Ga usah lirik-lirik lah Bey, lo udah punya cewek sendiri juga..." Fahmi berbisik-bisik di samping
gue, yang membuat gue tertawa dengan pelan. "Mending elo liatin si Kumis aja sono, besok kan
dia udah ga kerja bareng kita lagi..."

"Ya elah Mi, tenang aja sih, gue ga akan jadi saingan elo buat ngedapetin dia kok, serius deh."

Fahmi tertawa.
Tidak lama berselang, terdengar suara riuh tepuk tangan dari para rekan kerja gue yang lain dan
disusul oleh pak Wisnu yang turun dari atas podium. Beliau pun kemudian menyalami para
dewan direksi yang sedang berbaris di dekatnya dengan sebuah jabat tangan yang terlihat
sangat mantap sekali, sebelum pada akhirnya beliau berjalan untuk menyalami kami semua
hingga beliau berdiri tepat di depan wajah gue, lalu kami berdua pun saling berjabat tangan
dengan mantap seraya tersenyum dengan lebar.

"Terima kasih, pak Wisnu..."

***

Alexy memaksa untuk menjemput gue setelah acara pada malam hari ini selesai. Walaupun gue
sudah memintanya untuk tidak datang menjemput karena waktu sudah semakin larut malam dan
acara ini juga masih belum selesai, tetapi tetap saja gue tidak bisa melawan keinginannya itu.

"Ya udah deh hati-hati di jalannya ya Lex, kasih tau kalo udah nyampe sini."

"Okeyyy...!"

Dan panggilan telepon pun ditutup secara sepihak yang membuat gue menghela nafas dengan
panjang.

Ada beberapa orang rekan kerja yang sudah terlebih dahulu meninggalkan ruangan untuk
pulang ke rumahnya masing-masing, dan Gina adalah salah satunya. Dia beralasan bahwa dia
sedang merasa tidak enak badan, tetapi gue sangat yakin sekali bahwa Gina telah mengantuk
karena dia sudah menguap berkali-kali dan kedua matanya pun terlihat sayu.

Musik yang terdengar pelan melalui speaker di sudut-sudut ruangan ini sudah semakin tidak
terdengar karena suara obrolan dari para rekan-rekan kerja yang masih berada di sini. Walaupun
hari sudah semakin larut malam, tetapi sepertinya orang-orang belum mau beranjak untuk
pulang, termasuk gue. Setelah menghabiskan kue-kuean pada piring putih kecil, gue pun
kemudian bangkit berdiri untuk berjalan menuju salah satu stand makanan yang tidak terlalu
dipenuhi oleh antrian.

Dan pada saat gue sudah mendekati stand makanan tersebut, langkah kaki gue pun semakin
lama semakin gue perlambat. Bukan karena makanan pada stand itu tidak menggugah selera
gue, bukan, tetapi karena gue melihat ada seorang Levana yang juga sedang berada di tempat
tersebut.

Ada sebuah perasaan ragu untuk mendekat ke arahnya. Kami berdua bisa dibilang masih sangat
jarang untuk mengobrol dan kecanggungan itu juga masih selalu terasa ketika salah satu di
antara kami mencoba untuk berbicara walaupun itu dalam konteks pekerjaan.

Belum sempat gue membalikkan badan untuk berpaling arah dari Levana dan pergi menuju
tempat yang lain, namun sepertinya gue sudah terlambat karena kini Levana telah mendapati
gue yang mau tidak mau membuat gue kembali berjalan mendekatinya.

"Hei." Sapa gue. "Belum pulang?"

Lame line, I guess...


Levana tersenyum, lalu dia menggeleng. "Belum mas, kalo pulang jam segini juga pasti masih
macet di jalannya."

"Ooh, iya juga sih pasti macet jam segini mah..."

Dan topik pembicaraan pun seketika saja menghilang.

Gue benci dengan situasi seperti ini. Gue benci dengan sebuah situasi dimana seharusnya
gue dapat membuka sebuah pembicaraan ringan dengan segala topik yang gue kuasai di dalam
kepala, tetapi gue malah tidak bisa berkata apa-apa. Saat ini, gue membutuhkan sebuah
percakapan yang dapat membuka sebuah obrolan tak berujung. Atau setidaknya, gue dapat
membuka sebuah topik obrolan yang dapat membawa kami berdua kepada sebuah topik yang
sedari dulu ingin gue utarakan.

"Lev..."

Levana menoleh. "Ya?"

"Can we...ngg..." Gue mengiggit bibir bawah. "Talk?"

"Are we not talking right now?" Levana tertawa pelan.

"Ngg, maksud aku..."

"..."

"You know what I mean right?" Jawab gue pada akhirnya.

Levana pun kemudian terdiam sebentar. Walaupun ia terlihat mengalihkan kedua pandangannya
ke arah yang lain, tetapi bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman tipis dan dia pun
mengangguk dengan pelan.

Kami berdua berjalan menuju salah satu sudut ruangan yang tidak terlalu ramai. Levana berjalan
di depan gue bersama gelas berisi jus yang sedari tadi masih ia pegang pada tangannya,
sementara gue mengekor di belakangnya dengan mengantongkan kedua tangan ke dalam saku
celana.

Langkah kaki gue pun ikut terhenti pada saat Levana berhenti melangkah. Aroma pafum yang
dikenakan olehnya itu dapat gue hirup dengan sangat jelas sekali pada saat dia sedang
membalikkan badannya, dan itu malah membuat gue menjadi 'freezing' untuk sepersekian detik
dan menikmati aromanya yang menggoda itu.

Kami berdua masih saling berdiam diri tanpa ada satupun yang berbicara, sebelum pada
akhirnya gue menarik nafas dalam-dalam sambil menatap kedua matanya. "Maaf..."

"Maaf buat...?"

"Semuanya." Jawab gue. "Aku mau minta maaf sama kamu buat semua yang udah terjadi di
antara kita. Mungkin aku bisa dibilang ga serius minta maafnya, but I mean it, Lev, I am really
sorry and I mean it..."

"Ini jadi ciri khas mas Bayu banget ya." Levana tersenyum. "Kalo mau ngomong sesuatu tuh ga
pernah pake basa-basi, pasti aja langsung to the point terus. Ini yang ngebuat aku suka sama
mas Bayu."

Deg!

"Entahlah mas, kalo dipikir-pikir lagi sebenernya mas Bayu tuh ga salah apa-apa. Sama sekali
ga ada. Mungkin bukan cuman aku doang yang ngerasain efek dari nurturance yang mas Bayu
kasih buat temen-temen di kantor, tapi mungkin juga cuman aku doang yang ngerasa ge-er
sama pembawaan mas Bayu yang satu itu."

"..."

"Aku juga mau minta maaf ya mas sama sikap aku belakangan ini, kayaknya ga profesional
banget deh jadi kekanak-kanakan gitu cuman gara-gara masalah sepele. Ngediemin mas Bayu,
terus kalo ditanya apa-apa jawabnya dingin terus..."

"Jadi..." Gue menggaruk pelipis. "Sekarang kita....damai?"

"Damai? Serius tuh namanya harus 'damai'? Ga ada nama yang lain apa?"

"Yaaa, emangnya mau apa lagi?"

Levana tertawa, dan gue pun ikut tertawa bersamanya.

Safe and Sound

Semilir angin malam berhembus dengan cukup kencang dan menyentuh permukaan kulit yang
membuat badan gue menjadi bergidik. Gue pun kemudian mempercepat langkah kaki sambil
memasukkan sebelah tangan ke dalam saku jaket sementara tangan gue yang satunya lagi
menenteng dompet serta plastik berisi nasi goreng yang baru saja gue beli barusan.

Sesampainya di depan pintu kost dan hendak membuka handle pintu, gue terdiam sebentar, lalu
gue menoleh ke samping. Pintu kamar yang berwarna putih itu kini sedang tertutup rapat. Lampu
di dalamnya pun terlihat tidak menyala, yang membuat gue berasumsi bahwa Sita memang
sudah pergi tidur sebelum gue sempat bertemu dengannya setelah gue pulang kerja pada pukul
sepuluh malam tadi.

Beberapa hari yang lalu, Sita baru saja melaksanakan prosesi wisudanya dan kini dia telah
mendapatkan sebuah gelar sarjana yang secara resmi tersemat pada nama belakangnya.
Melalui wisuda itu juga, Sita berarti hanya tinggal menghitung hari saja sebelum dia kembali
pulang ke kampung halamannya di Bali.

Gue pun menghela nafas dengan panjang dan menggeleng pelan sambil memejamkan kedua
mata, sebelum pada akhirnya gue masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya secara
perlahan, yang entah kenapa terasa berat sekali bagi gue ketika akan menutupnya.

***

"Cewek lo ga marah Bey kalo kita lagi jalan kek gini?"

Gue melirikkan mata kepadanya secara sekilas, lalu gue menyuap sendok ke dalam mulut
seraya menggeleng. "Enggak, kenapa emang?"

"Yaaa... Gapapa..." Sita menaikkan kedua bahunya. "Barangkali aja entar dia cemburu sama
gue."

"Ya ampuuun..." Gue tertawa. "Tenang aja kali Sit. Dia kan udah kenal sama elo, terus gue juga
udah bilang kalo hari ini mau jalan sama lo. Lexy fine-fine aja tuh ga kenapa-napa, malah
katanya dia pengen nitip makanan juga. Keren kan cewek gue?!"

"Pantes aja ngebolehin, itu sih dia emang ada maunyaaa!" Sita tertawa.

Jakarta pada sore hari itu terasa sangat ramah sekali. Orang-orang yang berlalu lalang di depan
sana selalu mengembangkan senyuman pada bibirnya, dan bahkan ada juga orang yang
tertawa-tawa ketika mereka melintasi restoran tempat dimana gue dan Sita berada, yang
membuat gue menjadi tersenyum karenanya.

"Bey...?" Panggil Sita.

"Hmmm?" Gue menoleh. "Apaan?"

"Elo pindah kapan?"

"Pindah?"

Sita mengangguk. "Iya, pindah dari kostan ke apartment baru lo."

"Ooh, itu..." Gue menghela nafas dalam-dalam seraya menyandarkan punggung pada kursi, lalu
gue menggaruk pelipis. "Gue sih harusnya kemaren udah pindah ke sana, cuman gue belum
beres-beres apa-apa, jadi untuk sementara ya gue tinggal dulu di kosan. Paling seminggu atau
dua minggu lagi gue pindahnya, kenapa?"

Sita, dia terlihat tersenyum simpul untuk sesaat, lalu dia sedikit menundukkan kepala dan
memain-mainkan sendok yang sedang ia pegang. "Terus, nanti kita bakal gimana ya kalo udah
ga ada di satu kost yang sama?"

Deg!

Gue mendengar sebuah nada suara yang terasa berat sekali ketika Sita mengucapkan hal itu.
Entahlah, gue merasa bahwa Sita memang tidak ingin mengucapkan kata-kata tersebut, tetapi
dia tetap memaksakan diri untuk bertanya kepada gue.

Gue tahu, cepat atau lambat, kami berdua pasti akan bertemu pada titik seperti ini di mana
masing-masing dari gue dan Sita akan kembali melanjutkan kehidupan kami dalam jalan yang
telah ditakdikan oleh Tuhan untuk kami berdua. Gue tidak tahu secara pasti kapan Sita akan
pulang ke Bali, tetapi dia pernah berkata bahwa dia akan segera pulang dalam waktu dekat dan
dalam waktu dekat itu pula lah yang kini masih kami miliki untuk saling bersama sebelum
waktunya tiba.

Ada sebuah perasaan sedih pada saat gue memikirkan hal tersebut. Gue merasa sedih karena
gue akan segera meninggalkan kehidupan lama gue di kost-kostan yang murah itu bersama
Sita, dan tentunya gue juga akan merasa kehilangan sosok seorang teman yang sangat dekat
sekali yang selalu ada di samping gue ketika gue sedang membutuhkan dirinya, dan juga
sebaliknya.

Entahlah, gue hanya merasa bahwa gue dan Sita memang akan selalu ada ketika kami sedang
membutuhkan apapun dan juga di dalam kondisi apapun.

Lalu setelah kami berpisah nanti...

Ah, gue tidak bisa berpikir sampai ke sana.

"Bey..." Panggil Sita. "Kok bengong?" Dan tanpa gue sadari, kini Sita sedang menatap gue
sambil agak sedikit memiringkan kepalanya.

"Eh... Enggak..." Gue menggaruk tengkuk seraya mengalihkan pandangan. "Kalo misalkan kita
udah ga ada di satu kost yang sama yaaa... Life must go on, bisa jadi kalo itu bakalan jadi awal
yang baru buat elo atau buat gue walaupun kita sendiri ga tau yang baru itu apa. Hidup itu penuh
kejutan Sit, jadi ya let the rivers flow aja." Gue tertawa.

"Gue ga ngerti deh Bey sama elo, Elo tuh mikirnya kadang-kadang kompleks, tapi kadang-
kadang juga santai kayak sekarang. Otak lo isinya apaan sih?"

"Hmmm, pasir?"

"Yeee! Dodol!" Sita tertawa.

***

Setelah gue mengantar titipan milik Alexy ke rumahnya barusan, gue kembali pulang ke kostan
sambil membawa satu buah tupperware berisi kue-kuean. Alexy kini sedang belajar untuk
membuat kue, dan ia memiliki sebuah rencana untuk membuka usaha kecil-kecilan melalui kue-
kue tersebut yang tentunya gue dukung secara penuh.
Suasana di sini terasa ramai sekali walaupun hari ini adalah hari Sabtu yang biasanya selalu
sepi karena ditinggal bermalam mingguan oleh anak-anak kost bersama pasangan mereka
masing-masing. Ada bang Tito yang sedang bermain gitar bersama beberapa orang lainnya, ada
mbak Tia yang sedang menggendong anaknya dengan menggunakan selendang batik cokelat
sambil memperhatikan bang Tito yang sedang bemusik, dan tidak lupa juga ada Heri yang
ternyata sedang ikut bercengkrama dengan mereka semua di sini.

"Weh, Bayu!" Bang Tito melambaikan sebelah tangannya ketika dia sudah menyadari kehadiran
gue. "Sini lah ikut nyanyi-nyanyi bareng."

Heri pun menoleh ke belakang, dan dia ikut melambaikan tangannya ke arah gue dan memberi
isyarat agar mendekat. Lalu sambil dengan tersenyum, gue mengangguk kecil dan langsung
berjalan mendekati mereka semua yang sedang 'berpesta' kecil-kecilan.

"Nih, kebetulan gue bawa kue, makan aja kalo pada mau." Gue membuka tutup tupperware
tersebut dan menyimpannya di tengah-tengah bersama beberapa camilan lainnya yang sudah
terlihat berantakan.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, tangan-tangan yang gesit itu langsung terjulur ke depan
dan mengambil satu persatu kue yang diberikan oleh Alexy dan mereka pun memberi komentar
bahwa kue tersebut sangatlah enak. Gue hanya bisa tertawa sambil garuk-garuk kepala pada
saat mereka meminta kue gratis lagi.

"Sita kemana?" Gue bertanya kepada Heri di sela-sela permainan gitar bang Tito.

"Dia tadi ke depan, tapi gue lupa dia mau ngapain, paling juga beli makanan lah."

"Ooh..." Gue mengangguk.

Kami berdua kemudian kembali larut kepada permainan gitar bang Tito yang menurut gue
sangat keren. Denting dawai-dawai yang khas dari lagu milik salah satu grup band lokal itu telah
berhasil membuat suasana pada malam hari ini terasa hidup, dan entah kenapa ini semua
membuat gue menjadi merasa berat untuk meninggalkan apa yang sudah gue miliki di sini.

Teman-teman satu kost yang sudah sangat akrab, suasana yang khas ketika sedang
bercengkrama dan bernyanyi-nyanyi seperti ini, suara tangisan dari anak mbak Tia ketika digoda
oleh Heri , dan juga masih banyak lagi hal-hal yang tentunya akan sangat gue rindukan ketika
gue sudah tidak berada lagi di sebuah tempat yang kini telah gue panggil dengan sebutan
'rumah' di tengah kerasnya kehidupan kota Jakarta.

Kreeeek...

Terdengar pintu pagar yang terbuka dari arah belakang, yang membuat gue dan beberapa orang
lainnya menoleh. Sita terlihat sedang berjalan ke arah kami semua sambil menenteng satu buah
plastik berukuran besar berlogo salah satu mini market yang sudah cukup terkenal di Indonesia
bersama celana jeans pendek selututnya serta jaket parasit yang kebesaran pada tubuhnya.

Lalu ketika dia sudah menyadari kehadiran gue di sini, Sita pun tersenyum, sebelum pada
akhirnya dia mempercepat langkah kakinya untuk mendekat ke arah kami.
Sekarang, gue hanya ingin menikmati malam hari yang sangat menyenangkan ini. Menikmati
seluruh atmosfer bahagia yang tercipta dengan sendirinya, dan juga gue ingin menikmatinya
tanpa perasaan takut atau beban apapun mengenai apa yang akan terjadi di dalam kehidupan
gue selanjutnya.

Ya, izinkanlah gue untuk melewati malam hari ini dengan sebuah perasaan yang damai tanpa
adanya beban pikiran apapun...

Sound of the Mind

Waktu, gue tidak tahu kenapa, mereka semua terasa sangat cepat sekali berlalunya. Hari demi
hari gue lewati dengan berbagai macam kegiatan serta aktivitas baru di kantor yang sangat
menyita perhatian sehingga gue sering melupakan banyak sekali hal kecil yang seharusnya
dapat gue perhatikan secara penuh.

Termasuk tanggal kepulangan Sita ke Bali yang ternyata jatuh tepat pada hari ini.

Pagi ini, gue terbangun dengan sebuah perasaan kosong yang terasa menyesakkan dada. Gue
tidak tahu kenapa gue merasa seperti itu, tetapi sebisa mungkin gue mencoba untuk
menghiraukan hal tersebut dan tidak bertanya-tanya kenapa gue merasakannya. Perlahan-
lahan, gue menyibak selimut dan duduk bersila di tepi kasur sambil memejamkan kedua mata
lamat-lamat, sebelum pada akhirnya gue menarik nafas dalam-dalam dan menoleh ke arah pintu
kamar yang masih tertutup dengan rapat.

Gue tidak ingin membuka pintu itu. Gue hanya ingin terus terdiam di sini sambil menatap ke arah
pintu kamar, berharap bahwa pintu tersebut akan terbuka secara paksa dan muncul seorang
wanita yang selalu membuat gue naik darah ketika dia berteriak untuk memanggil nama gue
ataupun tingkah menyebalkannya yang selalumengambil alih tempat tidur ini ketika gue sedang
asyik mengerjakan sesuatu pada laptop.

Tetapi gue sadar.

Kini, hal-hal tersebut tidak akan pernah terulang kembali.

Gue berjalan dengan langkah kaki yang amat sangat pelan sekali, lalu gue memegang handle
pintu dan menggenggamnya dengan berjuta perasaan yang bercampur aduk di dalam dada.
Kalau boleh, gue ingin berharap bahwa gue akan diberikan satu hari lebih lama, atau setidaknya
satu jam lebih lama, agar gue bisa menikmati sisa-sisa waktu yang tersisa di antara gue dan Sita
sebelum dia benar-benar meninggalkan Jakarta.

Angin pagi hari berhembus secara perlahan dan menyisir rambut gue dengan lembut,
menyentuh wajah gue dengan sebuah sensasi dingin yang terasa sangat khas, dan angin pagi
ini juga lah yang akan menjadi teman sehari-hari ketika gue membuka mata nanti, bukan lagi
gedoran dari luar pintu ataupun suara melengking yang nyaring demi membuat gue terjaga
seutuhnya.

Gue pun menghela nafas, lalu melangkah keluar kamar dan menoleh ke samping.

Kamar Sita terlihat masih tertutup rapat, tetapi kali ini lampunya menyala terang di antara kamar-
kamar lainnya yang masih terlihat gelap. Sayup-sayup terdengar suara alunan musik pelan yang
berasal dari kamar Sita, dan gue yakin bahwa kini dia sedang berganti pakaian karena gue
sudah sangat hafal sekali dengan kebiasaannya itu ketika dia sedang menyalakan musik di pagi
hari seperti ini.

Gue terkekeh.

Sehafal itukah gue dengan kebiasaan Sita, dan kini gue baru saja menyadari hal itu?

Cklek...

"Bey...?" Panggil seseorang, yang membuat gue menatap ke arah pemilik dari suara tersebut.

Sita, entahlah, dia terlihat berbeda sekali pada hari ini. Tidak ada lagi Sita yang selalu
menggunakan hot pants, tidak ada lagi Sita yang selalu mengenakan kaos yang kebesaran, dan
tidak ada lagi Sita yang selalu mengikat rambutnya ketika dia baru bangun tidur. Tidak ada lagi
Sita yang seperti itu hari ini. Tidak ada.

Dia hanya berdiri di situ, menatap gue dengan sebuah tatapan yang hanya dimiliki olehnya,
bersama kemeja putih polos yang lengannya digulung hingga ke sikut serta celana jeans biru
langit yang entah kapan terakhir kalinya gue ingat Sita mengenakan celana jeans tersebut.

"Bey?" Panggilnya sekali lagi, yang membuat gue menaikkan kedua alis. "Anterin gue ya?"

Gue tersenyum, lalu gue menganggukkan kepala.

***

Sita tidak membawa banyak barang-barang dari kostan. Ketika gue bertanya kepadanya, dia
ternyata sudah terlebih dahulu mengepak seluruh barang bawaan miliknya dan mengirimkan
seluruh barang tersebut ke Bali sehingga kini dia hanya membawa sebuah ransel kecil bersama
tas selempang yang selalu ia bawa kemana-mana.

Kami berdua tiba di bandara lebih awal dari jam keberangkatan karena Sita ingin lebih lama
menikmati waktu di sini, karena dia sendiri tidak tahu kapan lagi akan bisa menikmati suasana
bandara di Jakarta selain sekarang, yang entah kenapa membuat dada gue terasa mencelos
untuk sepersekian detik setelah dia berkata seperti itu.

"Kok diem terus sih dari tadi?" Tanya Sita, ketika kami berdua sedang duduk secara
bersampingan pada bangku deret yang kosong.

"Ah, enggak pa-pa..." Gue memainkan bibir. "Masih ngantuk aja kali ya?"

"Ga mungkiiin!" Sita meninju bahu gue sambil tertawa. "Elo ga mungkin masih ngantuk kalo tadi
pagi udah nongkrong di depan kamer Bey! Elo kan orangnya kalo bangun pagi-pagi di hari libur
tuh biasanya emang ga ada kerjaan, terus elo pasti ga bisa tidur lagi sampe malem. Gue kan
udah tau banget kebiasaan lo yang itu, jadi ya makanya gue ajak aja ke sini, itung-itung jalan-
jalan terakhir bareng gue. Kapan lagi coba? Iya kan?"

Gue terkekeh. "Terserah lo aja deh."

Kami berdua pun larut ke dalam sebuah obrolan yang membicarakan banyak sekali kenangan-
kenangan lama yang pernah terjadi selama kami tinggal di tempat kost itu. Mulai dari ketika
pertama kalinya Sita menginjakkan kaki di sana, memindahkan barang-barang bawaan dari
kostnya yang lama, dan masih banyak lagi cerita tentang kenangan-kenangan itu.

Gue tidak berbicara banyak di sini. Gue lebih senang mendengarkan Sita yang kini masih
bercerita dengan panjang lebar sambil tak henti-hentinya tersenyum ataupun tertawa ketika ia
menceritakan sebuah hal yang menurutnya lucu, dan tentunya juga gue mendengarkan seluruh
cerita itu sambil mengamati seorang Sita lebih dalam lagi.

Wajahnya yang hanya dibalut oleh make up tipis itu terlihat sangat cantik sekali. Rambut Sita
yang kini telah berwarna merah gelap itu pun sudah ditata menjadi sedemikian rupa dan
menyisakan sedikit curly pada ujung-ujung rambutnya, lalu ditambah dengan sebuah jam tangan
yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya, itu semua sudah membuat Sita
terlihat sangat dewasa sekali di mata gue.

Guratan senyum yang terlukis pada wajahnya itu perlahan-lahan menghilang seiring dengan
suara pengumuman yang memberitahu bahwa pesawat yang akan membawa Sita pulang kini
sudah dapat dinaiki. Kami berdua pun berjalan menuju terminal bandara tanpa berbicara apa-
apa. Sita hanya terdiam sambil memegang strap tas selempangnya, dan gue hanya bisa
berjalan sambil termenung seraya membawa ransel miliknya. Kami berdua larut dalam sebuah
keheningan yang panjang di tengah ramainya suasana bandara.

Langkah demi langkah yang sudah kami lewati di tempat ini pun mau tidak mau harus sampai
pada ujungnya. Sita menghentikan langkah kakinya sambil menatap lurus ke depan, menatap ke
arah sebuah gate yang mulai dipenuhi oleh orang-orang yang bertujuan sama dengan dirinya,
sebelum pada akhirnya dia menoleh kepada gue sambil menyunggingkan sebuah senyuman
simpul.

"Baik-baik ya di sini kalo udah ga ada gue." Bibirnya bergetar. "Jangan tidur malem terus, jangan
kebanyakan ngopi kalo misalkan lo dapet banyak kerjaan, jangan lupa jemur bantal sama
handuk lo biar ga bau, lo bisa sendiri kan Bey? Ga harus gue ingetin terus kan?"

Sambil memejamkan kedua mata dan mencoba untuk tersenyum kepadanya, gue
menganggukkan kepala dengan mantap. "Emangnya gue anak kecil ya sampe harus diingetin
terus sama elo?"

Lalu setelah kami berdua saling menertawakan hal tersebut, kami terdiam, dan kami berdua pun
saling berpelukan dengan erat untuk yang terakhir kalinya sebelum burung besi itu terbang di
udara.
The story of life is quicker than the wink of an eye,
the story of love is hello and goodbye...until we meet again.

Jimi Hendrix

Moving On
Gue masih tetap berada di tempat yang sama, menatap lurus kepada sebuah titik dimana yang
untuk terakhir kalinya gue melihat punggung Sita, sebelum ia menghilang di antara kerumunan
orang-orang lainnya. Ya, Sita kini sudah pergi. Kini Sita memang sudah benar-benar pergi dari
kota ini untuk kembali pulang ke kampung halamannya, dan gue tidak tahu kapan lagi Sita akan
kembali ke Jakarta.

Ada sebuah perasaan aneh yang kini sedang gue rasakan, tetapi gue sendiri tidak tahu apa
sebenarnya yang sedang gue rasakan. Sedih? Gue tidak yakin bahwa gue sedang
merasakannya. Senang? Kenapa gue harus senang? Kenapa gue harus senang dengan sebuah
perpisahan ini?

Tetapi, ah, sepertinya gue sudah tahu apa yang sedang gue rasakan sekarang.

Ya. Kosong. Mungkin itu adalah sebuah kata yang paling dekat untuk menggambarkan perasaan
gue saat ini.

Entah sudah berapa lama gue terdiam sambil tetap memandang lurus ke depan, gue pun
menghela nafas dengan panjang, sebelum pada akhirnya gue membalikkan badan untuk
meninggalkan bandara, meninggalkan tempat ini dengan sebuah perasaan yang sesungguhnya
tidak dapat gue ungkapkan melalui kata-kata.

***

Suara derap langkah kaki terdengar lumayan nyaring dan memecah keheningan suasana. Anak
tangga demi anak tangga pun terlewati hingga gue menginjak anak tangga terakhir, dan ternyata
lorong di depan gue juga masih terlihat sepi. Tidak ada satupun penghuni dari lantai dua yang
menampakkan dirinya selain gue, dan gue juga tidak tahu di mana keberadaan mereka semua.
Gue pun kemudian berjalan lurus ke depan dengan langkah yang terasa sangat pelan. Tidak
seperti biasanya yang selalu berjalan dengan cepat karena ingin buru-buru kembali ke dalam
kamar dan merebahkan badan di atas kasur empuk yang beralaskan tikar di bawahnya, tetapi
untuk kali ini, gue sangat tidak bersemangat sekali dalam melakukan hal tersebut.

Entahlah, gue sepertinya sedang tidak bersemangat dalam melakukan apapun sekarang.

Ketika gue berada tepat di depan kamar Sita, langkah kaki gue tiba-tiba saja terhenti secara
otomatis dan gue pun menoleh untuk menatap ke arah pintu kamar itu. Ada sebuah perasaan
bimbang ketika gue berdiri tepat di depan kamar Sita. Ingin sekali rasanya gue membuka kamar
itu, tetapi gue sendiri tidak yakin terhadap apa yang akan gue lakukan selanjutnya. Gue belum
siap untuk menerima semua ini. Gue belum siap untuk menerima sebuah kenyataan bahwa
ketika gue membuka pintu tersebut, tidak akan ada lagi sebuah teriakan nyaring yang selalu
menyambut kehadiran gue, karena Sita sudah tidak ada lagi di sini selain menyisakan sebuah
ruangan kosong yang tak berpenghuni.

Ah...

Sambil dengan menggelengkan kepala secara cepat, gue pun pada akhirnya memasukkan kunci
ke dalam lubangnya untuk membuka pintu tersebut, dan seketika saja nafas gue tertahan untuk
beberapa detik.

Kamar ini masih terlihat sama seperti sebelum ditinggal oleh pemiliknya. Sisa-sisa wangi yang
terasa khas dari kamar Sita yang menggoda indera penciuman pun ternyata masih dapat gue
nikmati dengan jelas. Lalu ada cat temboknya yang terlihat sedikit mengelupas karena langit-
langit yang bocor di sudut sana, beberapa barang milik pribadi yang sepertinya memang sengaja
ditinggal oleh Sita, dan masih banyak lagi hal-hal lainnya yang tidak dapat gue sebutkan satu
persatu.

Kamar ini masih terasa sama seperti pada saat kami berdua berbicara untuk yang terakhir
kalinya di sini, saling bercanda tawa, saling melontarkan ejekan yang tidak penting, ataupun
hanya sekedar saling duduk terdiam tanpa mengeluarkan suara apapun dan hanya menikmati
heningnya suasana malam. Gue masih ingat betul dengan apa saja yang pernah terjadi pada
kami berdua, dan gue pun menjadi tersenyum tipis saat mengingat kenangan-kenangan
tersebut.

Memang kamar ini masih terasa sama dan hampir tidak ada yang berubah sama sekali, tetapi
gue tidak dapat merasakan hal yang sama seperti apa yang selalu gue rasakan sebelumnya.
Ada sebuah perasaan yang terasa aneh ketika gue menyapu pandangan ke setiap sudut
ruangan. Ada sebuah kekosongan yang terasa menyesaki dada pada saat gue menatap ke arah
kamar yang kosong tak berpenghuni ini, dan gue sangat tidak menyukai perasaan itu.

"Bey, udah lah..." Gue menoleh ke belakang, dan gue mendapati Heri yang sedang merokok
dengan mengenakan pakaian santainya sambil bersandar pada dinding pembatas. "Sita udah
cabut dari sini, bentar lagi lo juga bakal cabut dari sini. Terus, gue sama siapa dong nanti?"

Gue terkekeh. "Masih banyak kok anak-anak yang lain, santai aja lah, entar juga pasti bakal ada
orang yang ngisi kamer ini sama kamer gue. Life must go on, bener kan?"

"Iya." Heri mengangguk. "Lo jadinya bakal cabut kapan dari sini?"
Gue terdiam sebentar, sebelum pada akhirnya gue tersenyum seraya menepuk pelan bahunya.
"Mungkin, malem ini gue bakal langsung pindah. Bantu gue packing ya?"

***

Alexy, gue tidak memberitahu kepadanya bahwa gue akan pindah pada hari ini juga karena
sebelumnya Alexy sudah memberitahu kepada gue bahwa hari ini dia sudah memiliki acara
bersama teman-temannya dan gue tidak mau mengganggu acara itu.

Setelah gue selesai menyisir rambut di depan cermin dan mengenakan Seiko Diver yang selalu
gue kenakan pada tangan kiri, gue pun memainkan bibir sebentar, lalu gue menghela nafas
dengan panjang dan menoleh ke belakang.

Hanya tinggal beberapa menit lagi gue berada di kamar ini. Hanya tinggal beberapa saat lagi
sebelum gue meninggalkan kamar ini beserta seluruh kenangan yang pernah terjadi di
dalamnya. Gue pun menoleh ke salah satu sudut ruangan, lalu gue tersenyum simpul karena
gue teringat bahwa Sita pernah terpeleset di situ yang membuat gue tertawa terbahak-bahak.
Lalu ketika gue membalikkan badan untuk menoleh ke arah pintu, gue pun memiringkan kepala
seraya memainkan kunci kamar pada telunjuk.

Pada saat gue melewati pintu itu nanti, gue tahu, gue tidak akan bisa lagi untuk kembali
melangkah ke belakang. Gue tidak bisa lagi terus berdiam diri di sini, karena mungkin akan ada
sesuatu yang tidak gue ketahui secara pasti yang sudah menunggu gue di ujung jalan sana, dan
sedikit banyak dari hati kecil gue yang telah berharap bahwa gue akan kembali bertemu dengan
Sita suatu saat nanti.

Gue pun menundukkan kepala, lalu gue menghela nafas dengan perlahan dan kembali menoleh
ke seisi ruangan untuk yang terakhir kalinya. Gue pasti akan merindukan kamar yang kecil ini.
Pasti. Setiap sudut ruangannya, setiap suasana hening pada malam hari ketika gue sedang
mengerjakan banyak pekerjaan, semuanya akan gue rindukan.

Gue pun tersenyum, sebelum pada akhirnya gue mulai melangkahkan kaki untuk keluar dari
kamar ini, meninggalkan seluruh kenangan pahit manis yang pernah gue ukir di sini, dan juga
meninggalkan seluruh kenangan pahit manis yang pernah gue ukir bersama Sita di sini.

Letting go means to come to the realization that some people are a part of your history,
but not a part of your destiny.

Steve Maraboli

Seriously, Bay?
"Shit..." Gumam gue pelan pada saat melihat noda saus yang membekas pada ujung lengan
jaket, lalu gue pun menghela nafas pelan seraya menggelengkan kepala.

Ding!

Pintu lift terbuka.

Gue kemudian berjalan keluar dari dalam lift lalu berbelok ke kiri sambil menenteng dua buah
plastik berisi beberapa jenis makanan milik gue dan Alexy serta beberapa barang keperluan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk satu buah potongan sisa dari beef burger yang
sebelumnya mengotori lengan jaket gue.

Ini adalah hari ke-2 bagi gue untuk tinggal di sini. Kemarin, gue memang belum sempat untuk
membereskan apapun selain beberapa potong pakaian kerja yang sudah gue susun rapi pada
lemari untuk gue kenakan pada keesokan harinya, dan hari ini Alexy juga sudah berjanji bahwa
dia akan membantu gue untuk membereskan seluruh barang-barang yang gue bawa. Maka dari
itu, selain gue memang belum sempat untuk beres-beres serta bersih-bersih apartment, gue juga
sengaja untuk tidak membereskan beberapa barang yang seharusnya sudah dapat gue
bereskan dengan mudah agar dapat kami bereskan bersama.

Gue tidak membawa terlalu banyak barang dari kostan sebelum pindah ke sini. Gue hanya
membawa seluruh pakaian dari dalam lemari, dua buah ransel, satu buah tas laptop beserta
isinya, dan juga beberapa barang milik pribadi agar gue tidak perlu repot-repot ketika akan
membereskan seluruh barang bawaan tersebut. Untuk sisa-sisa barang yang masih terdapat di
kost seperti lemari, tv tabung dan lain-lain, gue sudah memberikan semua itu kepada Heri yang
entah akan ia apakan.

Tok...tok...tok...

"Lex...?" Panggil gue seraya mengetuk pintu. Lalu tidak lama berselang, pintu di depan gue pun
terbuka dan Alexy langsung menyambut gue dengan senyuman manis miliknya. Walaupun ia
berniat datang ke sini untuk membantu gue beres-beres, tetapi gaya dalam penampilannya itu
tidak pernah membuat gue bosan untuk selalumengaguminya.

Celana jeans biru gelap, kaos hitam polos berlengan pendek dan juga rambut berwarna
kecokelatan yang ia biarkan tergerai di depan dadanya, entahlah, Alexy masih terlihat stylish
dan sangat cantik sekali di depan mata gue.

Oh God, can I just hug her forever? Like, forever and ever?

Gue pun mencubit pelan sebelah pipinya, yang membuat Alexy tersenyum lebar sambil
mengiggit bibir bawahnya.

Apartment ini bukanlah sebuah apartment yang luas. Hanya terdapat satu buah pintu utama
yang langsung mengarah kepada sebuah dapur modern minimalis, satu buah kamar utama dan
kamar tamu, living room yang menyatu dengan ruang makan, serta satu buah toilet yang terletak
di samping kamar tamu.

Setelah gue menyimpan kunci mobil milik Alexy serta seluruh barang bawaan di atas pantry, gue
pun tertegun, lalu gue menoleh ke belakang pada saat gue telah menyadari sesuatu.

"Kok... Jadi rapi banget sih?" Gue terbengong-bengong.

Jaket kulit cokelat kesayangan yang sebelumnya terakhir gue ingat gue simpan pada sofa di
depan sana, kini sudah tergantung dengan rapi pada stand hanger yang terletak pada sudut
ruangan. Begitupun juga dengan sepatu-sepatu gue. Sneakers, pantofel, semuanya sudah
tersusun rapi pada rak sepatu, plus gue juga melihat ada sebuah mesin vacuum cleaner yang
sepertinya baru saja selesai digunakan dan itu semua malah membuat gue menjadi garuk-garuk
kepala sendiri.

"Ini semua kamu yang beresin Lex?"

Sambil dengan tersenyum sumringah, Alexy pun kemudian mengangguk antusias seraya
menarik kursi pada meja makan dan duduk di atasnya. "Iya dong aku sendiri yang beresinnya!
Gimana? Enak kan keliatannya udah rapi gini?"

"Tapi... Katanya tadi kan kita mau beresin bareng-bareng?" Gue menggaruk pelipis. "Tapi yaaa...
Ada yang masih harus aku beresin ga?"

"Perasaan sih masih ada deh... Oh iyaaa! WC tuh belum aku sikat Bay! Kamu aja yang sikat
ya?"

"Ya ampun Leeex, giliran yang itu aja ya baru dikasihin ke aku..."

Alexy tertawa.

Setelah berganti sepatu dengan menggunakan sandal rumah, gue pun kemudian berjalan
menuju kamar sambil meregangkan kedua tangan di udara dan meninggalkan Alexy yang kini
sedang asyik memakan makanan yang sebelumnya sudah gue bawa.

Kamar utama yang gue pilih untuk menjadi tempat tidur ini tidaklah terlalu luas dan
bahkan nyaris berukuran lebih kecil dari kamar kost gue yang dulu. Kamar yang berpenerangan
lampu berwarna keemasan pada keempat sisi langit-langit ini hanya cukup untuk memuat satu
buah lemari berukuran sedang, satu buah tempat tidur ganda, serta satu buah meja kerja yang
sudah gue susun letaknya menjadi sedemikian rupa agar menjadi muat tetapi tidak memberi
kesan sempit pada kamar ini.
Di hari pertama setelah pulang kerja kemarin malam, gue langsung mengatur posisi meja kerja
tersebut di depan kaca jendela yang besar setelah gue bersusah payah menggeser tempat tidur
untuk menjauh dari kaca. Gue memang sengaja mengatur posisi meja tersebut di sini karena jika
gorden kaca itu dibuka, maka gue pun akanlangsung disuguhi oleh pemandangan kota Jakarta
dari ketinggian lantai 15.

Sambil berjalan dengan lambat, gue pun kemudian berjalan mendekati meja kerja itu, membelai
kursinya dengan gerakan yang halus, lalu gue menoleh ke arah jendela yang sedikit terbuka,
dan gue pun tersenyum. Ternyata, seluruh kerja keras yang selama ini sudah gue lakukan,
semuanya tidak terbuang sia-sia karena kini gue sedang menikmati salah satu cita-cita yang
semenjak dulu telah gue inginkan.

Bagi sebagian orang, atau mungkin untuk banyak orang, ini bukanlah cita-cita yang mereka
impikan. Tetapi bagi gue, berdiri di depan sebuah kaca yang besar dan tebal, memandangi
kerlap-kerlip lampu perkotaan dari ketinggian sekian puluh meter beserta lampu-lampu
kendaraan yang terlihat di bawah sana, ini semua telah menjadi sesuatu yang sangat gue impi-
impikan sekali.

"Hey..."

"Eh..." Gue terhenyak kaget, lalu gue menoleh ke belakang dan tersenyum kepada Alexy. "Ya?"

Alexy pun kemudian berjalan mendekat, dan dia langsung memeluk punggung gue dari belakang
sambil menyandarkan kepalanya pada bahu. "Beautiful view, isn't it? Selamat ya sayang kamu
udah dipromosiin..." Ujarnya hangat seraya mengecup pelan sebelah pipi gue.

Gue tidak bisa berkata apa-apa lagi selain menyunggingkan sebuah senyuman tipis yang tak
henti-hentinya tersungging pada kedua ujung bibir, dan tentunya gue juga sangat bersyukur
kepada Tuhan atas segala kenikmatan yang sedang gue miliki saat ini. Dari salah satu kitab suci
yang pernah gue baca, ada satu buah ayat suci yang berbunyi kurang lebih seperti ini: 'maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?'

Kini, gue benar-benar tidak bisa untuk membantah ayat tersebut karena saat ini
gue sedang diberi sebuah kenikmatan yang belum tentu dimiliki oleh orang lain.

Kami berdua masih saling berdiam diri untuk menikmati suasana yang tercipta dengan
sendirinya sambil tetap memandang ke arah jalanan di bawah sana, hingga pada akhirnya
Blackberry gue yang tersimpan di atas meja di samping laptop itu terlihat menyala dan
mengeluarkan sebuah nada panggilan masuk.

"Anca tuh Bay kayaknya, tadi pas kamu pergi ga bawa handphone juga dia nanyain kamu terus
ke aku."

"Tadi Anca nelfon?"

Alexy mengangguk. "Katanya sih tadi mau nelfon lagi, angkat gih telfonnya."

Dengan berat hati, gue pun kemudian melepaskan pelukan Alexy dan mengambil handphone itu
lalu duduk di atas tempat tidur yang juga diikuti oleh Alexy yang ikut duduk di samping gue.
Setelah gue melihat ke arah layarnya secara sekilas dan ternyata itu memang Anca, gue pun
langsung menerima panggilan telepon tersebut.

"Halo, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, A'?"

"Kenapa Ca?"

"Sabtu jadi pulang kan? Jangan lupa loh, nanti Minggu kan ada acara syukuran."

"Iya, Aa nanti pulang kok." Gue menoleh kepada Alexy, dan sepertinya dia terlihat bingung pada
saat gue berkata seperti itu. "Mau dibawain apa nanti dari sini?"

"Bershka."

"Lo mau ngajakin gue miskin Ca?!"

Dan tawa Anca pun terdengar dari ujung sana. "Bawain makanan aja deh. Eh, jangan lupa
pacarnya Aa dibawa ya pas pulang nanti."

"Siaaap!" Gue terkekeh.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam..." Lalu setelah gue mematikan telepon, gue menoleh kepada Alexy, dan gue
pun menaikkan kedua alis. "Kenapa?"

"Nanti kamu mau pulang ke rumah Bay?"

"Iya." Gue mengangguk. "Mama mau bikin syukuran buat aku hari Minggu nanti, Anca tuh yang
paling heboh pas aku ngasih kabar kalo aku dipromosiin."

Alexy tertawa. "Terus, kamu mau pulangnya kapan?"

"Paling Sabtu sih, kalo enggak pagi ya siangnya, nanti kamu juga ikut pulang sama aku ya?
Sekalian ketemu keluarga aku juga..."

"Aku?" Alexy menunjuk ke arah dadanya.

Gue mengangguk polos. "Iya."

"Kamu serius Bay mau ngenalin aku sama keluarga besar kamu?"

Dan gue pun tertawa seraya mencubit gemas sebelah pipinya. "Iya lah Alexy sayang, kan kamu
udah pernah ketemu Mama sama Anca, nah berarti sekarang giliran keluarga besar aku yang
ketemu sama kamu. Mau ya?"

Ekspresi Alexy, gue tidak dapat menjelaskannya secara jelas. Gue tidak tahu apa yang sedang
ia rasakan saat ini. Wajanya terlihat menunjukkan sebuah ekspresi yang terlihat tidak percaya,
tetapi dia juga seperti yang ingintertawa namun ia juga terlihat menahan tawanya itu.
"Jadi gimana? Mau kan?" Tanya gue sekali lagi.

"Bay..."

"Ya?"

Alexy pun kemudian menatap gue sambil terlihat mesem-mesem sendiri, yang entah kenapa
membuat gue ikut menjadi mesem-mesem sendiri pada saat menatap wajahnya itu.

Avalon Nights

Rintik hujan di sore hari itu menyambut kedatangan gue di Bandung bersama Alexy yang kini
sedang tertidur pulas di samping gue. Seperti biasa, jika gue tiba di Bandung pada hari Sabtu
sore dan terlebih lagi pada saat ini sedang turun hujan, gue pasti langsung terjebak oleh
kemacetan yang sering membuat gue menjadi kesal sendiri karena memakan waktu yang lebih
lama lagi untuk bisa sampai di rumah.

Langit di atas sana terlihat berwarna abu-abu pekat. Hujan yang turun pun sepertinya tidak akan
berhenti dalam waktu dekat dan mungkin baru akan mereda pada malam hari nanti. Selain bunyi
dari air hujan yang bertabrakan dengan kaca mobil, sesekali terdengar juga suara gemuruh petir
dari balik awan di sela-sela bunyi wiper yang bergerak seirama untuk menyapu air dari bagian
kaca depan.

"Hmmmhhh..."

Gue pun menolehkan kepala ke arah Alexy secara reflek, lalu gue tersenyum kecil pada saat
melihat ekspresi wajahnya yang baru bangun itu. "Enak ya tidur lagi ujan-ujan gini?"

"Belum berenti ujannya?" Tanyanya sambil dengan memasang ekspresi polos khas dari orang
yang baru saja bangun tidur.

"Belum, mana macet lagi, ga tau deh kita bakal nyampenya kapan..."

"Yah, padahal aku udah laper nih Bay, gimana dong?"

"Di belakang masih ada makanan ga sih? Apa udah abis ya?"

"Bentar..." Alexy melepas sabuk pengamannya, lalu kemudian dia agak sedikit mencondongkan
badannya ke belakang untuk mencari-cari sesuatu di situ. "Ga ada makanan apa-apa selain
minuman doang..."

"Oh iya bener, tadi kan makanannya aku abisin pas kamu tidur."

"IH KAMU MAH!" Alexy pun kemudian menonjok bahu gue yang membuat gue tertawa-tawa.
"Ya kan aku juga laper Lex, mana makanannya cuman ciki-cikian doang pula ga ada makanan
beratnya, yaudah deh aku abisin semua."

"Kan biasanya juga aku cuman pengen ngemil doang kalo lagi jalan jauh kayak gini."

"Tapi sekarang baru kerasa kan pas lagi laper?!"

"Iya juga sih..."

"Jadi siapa yang salah?"

"Kamu."

"LOH KOK AKU?!" Gue menoleh ke arahnya sambil memasang ekspresi kaget.

"Kan kamu yang ngabisin."

"Ck, terserah aja lah..."

"Yesss! Aku menang!!!" Alexy tertawa.

***

Awan pekat masih terlihat menggantung pada langit malam hari ini, namun hujan yang sedari
tadi mengguyur kota Bandung kini sudah semakin mereda dan hanya menyisakan sedikit gerimis
yang tidak terlalu deras. Setelah gue dan Alexy makan pada salah satu restoran fast food di
bilangan Pasir Kaliki barusan, akhirnya kami berdua pun tiba pada kompleks perumahan gue.

"Omegad, penuh banget..." Gumam gue pelan.

Gue pun langsung memperlambat laju mobil ketika kami sudah memasuki pelataran rumah. Gue
tidak tahu harus parkir di mana lagi selain di sini. Garasi rumah gue sudah diisi oleh mobil milik
almarhum Papa, dan di depan gerbang rumah pun sudah terparkir dua buah mobil yang setelah
gue ingat-ingat kembali merupakan mobil milik saudara gue.

"Parkir di mana ya kita sekarang Lex?" Tanya gue, namun Alexy tidak merespon panggilan gue
itu yang membuat gue menoleh kepadanya.

Alexy terlihat sedang menggenggam kedua tangannya sendiri. Wajahnya menyiratkan sebuah
ekspresi kecemasan. Bibir bawahnya pun terlihat ia gigit dengan lembut yang menandakan
bahwa Alexy kini memang sedang merasa cemas, yang entah kenapa malah membuat gue
tersenyum geli kepadanya.

"Serius deh Lex, kamu tuh gemesin banget kalo lagi kayak gini."

"Aku beneran nervous tau Bay, orang-orang di rumah kamu banyak banget lagi! Duh dandanan
aku udah rapi belum ya...?" Sekonyong-konyong Alexy pun langsung menyalakan lampu interior
lalu melihat ke arah cermin di dalam mobil dan menyisir rambutnya dengan menggunakan jari.
"Duh rambut aku harus dicatok lagi nih... Lipstick mana lipstick?!"
Gue menjadi tertawa-tawa sendiri pada saat melihat dirinya menjadi 'rusuh' seperti ini. Dengan
cepat dia mengacak-acak tas make up yang ia bawa, lalu dengan gerakan yang cepat pula dia
menemukan lipstick yang ia cari dan langsung ia kenakan pada bibirnya. "Gimana Bay? Aku
udah cantik belum?"

Lalu setelah gue mematikan lampu interior, gue menarik lembut kepala Alexy, dan gue pun
mengecup pelan bibirnya selama beberapa detik sambil menikmati wangi harum dari parfum
Alexy yang sangat terasa memanjakan sekali.

"Mmm, Bay?" Alexy menatap gue polos. "Kayaknya aku ga pake lipstick kissproof deh..."

"Shit!"

Gue pun langsung mengelap permukaan bibir dengan menggunakan telapak tangan yang
membuat Alexy tertawa-tawa dengan puas.

Setelah selesai berurusan dengan segala tetek bengek mengenai lipstick, make up, dan lain
sebagainya, gue memutuskan untuk memarkirkan mobil agak jauh dari pelataran rumah karena
gue sama sekali tidak dapat menemukan lokasi yang menurut gue cocok untuk dijadikan tempat
parkir.

Kami berdua pun kemudian berjalan secara bersisian menuju rumah gue di depan sana. Gue
berjalan sambil memayungi kami berdua dengan tangan yang satunya lagi sedang membawa
satu buah kantong plastik berukuran besar, sementara Alexy masih saja terdengar sibuk sendiri
bersama ocehan 'aaah aku ga sempet kan buat nyatok rambut dulu...'-nya itu yang membuat
gue tertawa pelan.

"Lex..." Gue menghentikan langkah kaki untuk menatap kedua matanya dalam-dalam, yang
seperti biasa selalu dapat membuat Alexy menjadi kikuk pada saat gue menatapnya seperti ini.
"Walaupun rambut kamu ga dicatok dulu, tapi kamu tetep cantik kok. Cantik banget malah kalo
menurut aku. Kamu tuh mau gimana juga masih tetep cantik, Lex, kayak misalnya sekarang.
Dandanan kamu simple. Kamu cuman pake blouse putih, celana jeans biru cerah, sama high
heels doang, tapi kan pas tadi kita lagi makan juga masih banyak cowok yang ngeliatin kamu.
Aku juga yakin kok keluarga aku nanti bakal terpesona sama kamu kayak cowok-cowok
desperate itu..."

"..." Alexy tertawa kecil.

"Jadi, jangan nervous ya?"

Lalu setelah kami berdua saling bertatapan untuk sesaat di bawah lampu penerangan yang
seadanya, Alexy tersenyum, lalu dia pun mengangguk seraya menggenggam jemari tangan gue
pada gagang payung dan kami berdua kembali melanjutkan berjalan menuju rumah yang
jaraknya hanya tinggal beberapa meter lagi.

"Assalamualaikum..." Ucap gue seraya langsung masuk ke dalam ruang tamu, karena pintu
pagar rumah gue memang sedang terbuka lebar.

"Naaah, ini nih yang ditunggu-tunggu akhirnya dateng juga."


Suara riuh pun langsung terdengar ketika gue masuk ke dalam rumah. Om gue, tante, sepupu,
semuanya tersenyum sumringah untuk menyambut kehadiran gue di sini. Keponakan-
keponakan gue yang lain pun bahkan ada yang langsung berlari dengan gemas dan memeluk
kaki gue. Lalu sambil dengan menggendong salah satu keponakan yang masih berumur empat
tahun, gue tersenyum, dan gue pun menoleh ke belakang.

"Eh yang lain pada kenalan dulu dong sama Alexy, pacarnya Bayu nih!"

Dan seketika saja suara 'cieee' pun langsung menggema ke seisi ruangan bersama Alexy yang
kini sedang tersenyum malu dalam menanggapi hal itu.

A smile is the universal welcome...

Max Eastman

Why?

"Oh, it's you again!"

Sapa Caroll ketika gue membuka pintu cafenya, dan gue pun langsung membalas senyuman
kecilnya itu. "A table for two please."

"Bringing a friend here?" Jawabnya hangat seraya menarik sebuah kursi tidak jauh dari tempat
kami berada dan mempersilakan kami berdua untuk duduk. "Want to order now?

"I'll call you later Caroll, thank you."

Setelah Caroll memberikan dua buah buku menu kepada kami, dia pun pamit undur diri dan
meninggalkan kami berdua di sini. Bayu kemudian terlihat membolak-balikan halaman dari buku
menu itu, sementara gue menghela nafas sambil menopang dagu dan menatap ke luar jendela.

Awan cerah masih menggantung di kaki langit. Beberapa orang pun terlihat berjalan santai
sambil menenteng barang bawaannya masing-masing bersama mobil-mobil yang berlalu lalang
pada jalan di sisi mereka, dan gue pun kembali mengalihkan pandangan ke arah Bayu yang
sepertinya terlihat bingung akan memesan apa.

"Lentil Soup aja udah, enak kok. Kuahnya kentel, creamy-creamy gitu rasanya."

"Bingung gue mau pesen apa Fal..." Bayu menggelengkan kepalanya seraya menutup buku
menu yang sedang ia pegang. "Yaudah, Lentil Soup juga boleh deh, atau disamain sama elo
juga gapapa."

"Tapi jangan banyak-banyak ya pesennya, kan Aya juga masak di rumah."

"Iya."

Gue kemudian kembali memanggil Caroll dan memberitahukan kepadanya mengenai pesanan
kami. Lalu setelah dia memastikan bahwa pesanan kami sudah ditulis dengan benar, dia pun
pada akhirnya tersenyum dan beranjak dari meja ini.

"Abis ini kita mau kemana?"

Gue menoleh. "Spion Kop Lookout."

"Spion Kop?"

"Iya." Gue mengangguk. "Bukit kecil deket Latrobe St., enak tuh kalo nongkrong disitu sambil
ngeliatin sunset, spot fotonya juga bagus buat panoramic view."

"Yeh Fal, mana gue tau itu ada di mana, yang penting entar gue dapet foto bagus pokoknya."

Gue tertawa. "Udahlah gampang, entar lo ngikut aja sama gue."

Siang hari pada pertengahan Desember 2015 yang cerah itu, hanya sekitar satu minggu lebih
menjelang Natal, Bayu memberitahu gue bahwa dia sedang berada di Sydney untuk urusan
pekerjaannya. Bayu juga memberitahu bahwa dia juga berencana untuk mengunjungi gue di sini
sebelum kembali ke US sehingga kami bisa pergi secara bersama-sama menuju negeri Paman
Sam, dan tentunya kami berdua juga akan pergi bersama pasangan kami masing-masing.

Lalu setelah merasa cukup kenyang dan membayar makanan yang sudah kami makan, gue dan
Bayu pun berjalan keluar dari cafe ini dan langsung masuk ke dalam mobil yang terparkir di
seberang jalanan yang lengang.

Gue membelokkan mobil dan melewati persimpangan jalan Hunter St. dan Orr St. di antara
bangunan-bangunan tua bergaya klasik yang masih berdiri megah untuk terus melaju ke arah
Bowes St. di depan sana, sebelum pada akhirnya gue akan memberhentikan mobil pada Latrobe
St. dan berjalan kaki menuju Spion Kop Lookout. Di sepanjang perjalanan menuju Spion Kop itu,
kami berdua saling mengobrol kecil, dan sesekali gue juga mendapati Bayu yang sedang
menatap ke arah sekelilingnya dengan sebuah tatapan yang terlihat, entahlah...

Aneh?

"Kenapa Mas?"

"Ini kota apa desa sih...?!"

Gue pun tertawa dalam menanggapi pertanyaannya itu. "Dibilang desa iya, dibilang kota juga
iya. Intinya tuh ya cuman kayak mining town gitu, bisa diliat kan penduduk-penduduknya jarang
keliatan sama mobil-mobil yang ada juga cuman diparkir doang di halaman rumah?"

"Iya juga sih." Bayu mengangguk. "Lo betah tinggal di sini?"

Gue menaikkan kedua bahu. "Mungkin karena gue seneng sama tempat yang kayak gini kali ya,
jadinya ya gue betah-betah aja. Ga harus kena macet, ga harus sesak nafas gara-gara asep
knalpot, kemana-mana deket, enak kan? Ya palingan ga ada mall aja sih, itu malah yang
ngebuat gue bingung pas Aya dateng ke sini buat yang pertama kalinya. Secara, idup dia tiap
hari nge-mall mulu di sana."

Bayu tertawa.

Mobil yang gue kendarai di atas jalanan beraspal seadanya ini pun pada akhirnya tiba pada
sebuah parkiran kecil di persimpangan antara Bowes St. dan Latrobe St. yang sudah diisi oleh
satu buah minivan tua berwarna putih usang. Setelah gue memarkirkan mobil di samping
minivan itu dan membiarkan Bayu untuk turun terlebih dahulu, gue pun memberitahu kabar kami
berdua kepada Aya dan mungkin baru akan pulang sekitar satu atau dua jam-an lagi.

Tok...tok...

Bayu mengetuk kaca mobil, yang membuat gue keluar dari dalam dan menaikkan alis
kepadanya. "Kenapa?"

"Sekarang kemana jalannya?"

"Tuh, jalan kecil yang nanjak, tinggal lurus doang kalo dari situ mah." Ujar gue seraya menunjuk
ke arah jalan setapak kecil menanjak yang di sebelah kanan dan kirinya ditumbuhi oleh semak-
semak belukar hijau serta pepohonan tinggi yang tumbuh subur di sekeliling semak-semak itu.

"Oke, bentar ya gue ambil kamera dulu."

Gue mengangguk.

Matahari musim panas masih bersinar terang di atas sana walaupun kini angka pada jam tangan
hitam pemberian dari seseorang ini sudah menunjukkan pukul tiga sore. Memang sudah wajar
jika jam segini matahari masih bersinar terang, karena sang mentari baru akan terbenam pada
pukul delapan nanti.

Suara gemerisik dari semilir angin pun terdengar oleh telinga. Angin yang berhembus pelan ini
pun terasa sangatmenyejukkan sekali yang membuat gue langsung menghirup oksigen dalam-
dalam seraya menikmati keadaan sekitar, yang ternyata tampak terlihat sepi dari lalu-lalang
orang-orang yang tinggal di sekitar sini selain suara dedaunan yang beradu di belakang gue.

"Yuk."

Gue menoleh ke arah Bayu yang kini sedang menenteng tripod serta Nikon pada tangan
kanannya, lalu gue pun mengangguk dan kami berdua mulai berjalan. "Jadi, gimana kelanjutan
lo sama mbak Lexy pas dia udah dikenalin sama keluarga besar lo?"

Bayu pun kemudian memperlambat langkah kakinya yang membuat gue ikut mengimbangi
kecepatannya dalam melangkah, dan dia juga terlihat menyunggingkan sebuah senyuman yang
mengembang tipis pada bibirnya sambil agak sedikit menundukkan kepalanya. "Di atas nanti
ada tempat buat duduk-duduk kan?"

"Ada."

"Pas di atas aja deh ya ceritanya, gue pegel kalo ngomong sambil bawa tripod ginian."

Dan gue pun kemudian tertawa-tawa seraya mengulurkan tangan untuk meringankan beban
yang dibawa olehnya itu.

***
Alexy kini sedang ikut bercengkrama bersama dengan beberapa orang sanak saudara gue di
ruang tamu, sementara gue masuk ke dalam sambil menenteng satu buah kantong plastik
berukuran besar yang berisi beberapa titipan Ibu dan Anca. Setelah gue menyimpan kantong
plastik tersebut di dapur, gue pun kemudian masuk ke ruang tengah dan menemui Anca yang
sedang asyik membaca komik dengan beberapa sepupunya yang masih kecil.

"Mamah mana Ca?"

Tanpa menoleh ke arah gue, Anca menunjuk ke arah kamar utama yang pintunya sedang
tertutup dengan menggunakan dagunya. "Di dalem tuh sama tante Uwi."

Jika Ibu gue sudah bersama tante Dewi yang lebih akrab dipanggil dengan panggilan 'Uwi' oleh
gue dan Anca, dapat dipastikan bahwa mereka berdua sedang bergosip ria mengenai apapun.
Yah, walaupun mereka sudah tidak muda lagi, tetapi tetap saja, a girl will always be a girl.

"Mah...?" Gue membuka pintu, dan seketika saja tante Uwi pun langsung beranjak dari atas
kasur untuk mendekat ke arah gue.

"Nah ini nih! Mana Bay cewek kamu? Katanya sih cantik kalo kata Mamah mah, dia ikut ke sini
kan sekarang?"

Gue pun menjadi cengengesan sendiri sambil menggosok-gosok hidung seraya mengangguk
antusias. "Ada tuh orangnya, di depan lagi ngobrol sama yang lain. Kenapa emang?"

"Awas aja lo Bay kalo ga cantik, nanti tante jitak ya!"

"Siapa takuuut!" Gue tertawa. Lalu tanpa menunggu apa-apa lagi, tante Uwi pun kemudian
berjalan melewati gue untuk keluar dari dalam kamar dan sepertinya tante gue
yang sangat doyan bergosip itu juga langsung menuju ruang tamu di depan sana. "Kebiasaan
banget sih Mah si tante Uwi..."

"Kamu kayak yang ga tau aja si Uwi tuh kayak gimana..." Ujarnya sambil tertawa pelan.

"Apa kabar Mah? Sehat?" Gue menyalimi tangannya.

"Alhamdulillah." Beliau tersenyum seraya mengelus ubun-ubun gue dengan lembut, dan kalo
boleh jujur, gue sangat menikmati belaian tangannya pada kepala gue yang sangat gue rindukan
ini. "Gimana kerjaan baru kamu di sana?"

"Wah... Mah..." Gue menggeleng. "Fasilitasnya sih enak dapet ini itu, tapi kerjaannya bikin ga
pernah bisa tidur mulu!"

Ibu tertawa. "Yaudah gih sekarang sana bersih-bersih dulu, nanti kamu sama Anca keluar ya
buat beli sesuatu, Mamah ada yang lupa nitip sama kamu kemaren..."

"Oh yaudah, mau beli apaan emang?"

"Listnya udah ada di Anca kok."

"Oke."

Sesaat setelah gue selesai mencuci muka untuk sekedar membersihkan diri, gue pun kemudian
kembali menuju ruang tamu untuk menemui Alexy yang ternyata sedang 'diinterogasi' oleh
keluarga gue, yang membuat gue menjadi senyam-senyum sendiri pada saat melihatnya. Alexy
menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh om dan tante gue dengan luwes.
Ekspresinya terlihat santai dalam menjawab pertanyaan-pertanyaannya itu, walaupun gue tahu
bahwa Alexy sedang merasa gugup dengan semua pertanyaan tersebut.

Mungkin karena Alexy sudah menyadari kehadiran gue di sini, dia pun kemudian langsung
menoleh dan tersenyum ke arah gue seraya menyiratkan sebuah senyuman 'help me' yang
semakin membuat gue ingintertawa.

"Lex, sini deh." Dan pada akhirnya gue pun memanggil Alexy sambil cengengesan sendiri.
"Bentar yaaa, Alexy-nya mau dipinjem dulu."

Lalu setelah Alexy berpamitan sambil tersenyum manis kepada beberapa orang keluarga gue,
gue pun kemudian mengedipkan sebelah mata kepada tante Uwi yang juga sedang senyam-
senyum sendiri, sebelum pada akhirnya gue menggenggam erat sebelah tangan Alexy menuju
halaman belakang rumah.

Alexy kemudian melepaskan genggamannya dari tangan gue secara perlahan ketika kami
berdua sudah tiba di sini. Bibirnya terlihat menyunggingkan sebuah senyuman tipis, dan dia pun
menoleh ke arah gue sambil memberikan tatapan teduhnya yang membuat kami berdua saling
bertatapan dalam diam. Gue tidak tahu apa yang ia pikirkan saat ini, tetapi gue tahu
bahwa kini kami berdua sedang mencoba untuk menyerap sisa-sisa kenangan manis yang
masih berada di tempat ini, mencoba untuk menyerap seluruh aura dari suasana yang seketika
saja terasa menjadi melankolis.
"Sayang banget ya pohon Kambojanya lagi ga berbunga." Ujarnya sambil masih dengan
menyunggingkan sebuah senyuman tipis pada bibirnya. "Bay, aku boleh nanya?"

"Boleh." Gue mengangguk, sebelum pada akhirnya gue duduk di atas sebuah kursi rotan dan
Alexy pun mengikutinya. "Mau tanya apa?"

"Kamu kok tiba-tiba bisa kepikiran buat nembak aku pake bunga Kamboja itu Bay?"

"..."

Ada sebuah jeda selama beberapa saat setelah Alexy bertanya seperti itu. Gue pun
memalingkan pandangan dari arah Alexy menuju sebuah pohon yang memiliki berjuta kenangan
masa lalu gue bersama almarhum bokap, dan tentunya pohon itu juga kini telah memiliki sebuah
kenangan yang sangat manis sekali di antara gue dengan Alexy.

"Ga tau..." Gue menaikkan kedua bahu sambil tersenyum, lalu gue pun menoleh ke samping.
"Ga ada rencana apa-apa, ga mikirin harus ngomong apa dulu sebelum nembak kamu, ya
spontan aja jadinya." Gue tertawa. "Tau ga sih, euforianya kadang-kadang masih aku rasain
sampe sekarang kalo aku nginget lagi tentang momen itu? Bahagia banget rasanya..."

Alexy membenarkan posisi duduknya menjadi agak sedikit menyamping, lalu dia pun tersenyum
seraya memiringkan sedikit kepalanya hingga membuat rambut berwarna kecokelatannya itu
menjuntai ke samping. "Kok bisa?"

"Cause if someone asks me what's the happiest moment I've ever experienced in my whole
damn life, I will surely answer: it's you."

Dan kemudian Alexy pun tersenyum, manis sekali, hingga gue tidak ingin melewati setiap
momen yang terjadi di antara kami berdua. "Eh iya Lex, aku lupa, aku sekarang langsung
nganterin kamu ke hotel aja ya? Sekalian aku sama Anca juga mau keluar buat beli barang di
supermarket."

"Yuk, aku juga mau sekalian istirahat, nanti besok jangan lupa jemput aku lagi ya?"

Gue tersenyum, dan gue pun mengangguk seraya bangkit dari kursi.

Anda mungkin juga menyukai