Anda di halaman 1dari 8

Senandung Muharram

Besok adalah deadline terakhir pengumpulan cerpen lomba dalam rangka merayakan tahun baru
Islam. Namun, belum ada sedikitpun ide untuk menulis, sampai kertas halaman dokumen di
laptopku masih putih bersih sekarang. Kuhela nafasku entah untuk yang ke berapa kalinya dalam
satu jam ini. Kutatap sendu layar laptopku. Ya Rabb, sesungguhnya hambamu ini membutuhkan
sedikit saja ide agar bisa menuntaskan amanat dari kawan-kawan.

Assalammualaikum
Suara salam membuyarkan lamunanku. Kutengokkan kepalaku saat sebuah tangan menepuk
ringan bahuku. Kulihat seorang lelaki muda berperawakan tinggi tersenyum ke arahku. Membuat
pipiku terasa panas sekarang. Rasa malu hinggap di diriku.
Waalaikumsalam. Siapa ya? tanyaku padanya.
Ia tak menjawab. Malah duduk di depanku dan tersenyum lagi ke arahku.
Saya Alim. Dulu kita pernah berjumpa di Toronto. Kamu ingat?
Alim siapa? tanyaku bingung. Aku tak memiliki gambaran siapa lelaki yang berada di depanku
kini. Apa betul kita pernah bertemu? Atau hanya berpapasan saja? Tapi jika berpapasan, tidak
mungkin dia mengenalkan dirinya padaku. Ah, sungguh pelupa sekali diriku ini.
Hahaha tawanya terdengar merdu di telingaku. Wajar kamu lupa. Pertemuan kita memang
sudah lama sekali.
Maaf ucapku tulus.
Sudah tak masalah. Kamu terlihat sedang kalut. Ada yang bisa kubantu?
Ah ini, besok hari terakhir pengumpulan cerpen untuk lomba tapi aku belum menemukan ide
Memang apa temanya?
Muharram
Ia tersenyum miring mendengar kata Muharram. Aku mengerutkan dahi melihat responnya.
Apa ia bisa memberiku sedikit ide?

Aku mempunyai sebuah kisah yang terjadi di bulan Muharram. Hanya kisah sederhana. Jika
kamu mau menuliskannya, aku akan berterima kasih namun jika tidak, itu bukan masalah besar
ucapnya. Senyuman masih terlukis di wajahnya. Kenapa lelaki ini tak berhenti tersenyum? Apa
ia berniat membuatku malu terus-terusan? Astaghfirullah. Apa yang kupikirkan ya Rabb.
Alhamdulillah jika kamu mau membantu. Bisa ceritakan padaku bagaimana kisahnya? tanyaku
sembari mempersiapkan jari-jariku ke atas keyboard laptop.
Ketiklah dengan kata-kata indah setiap yang kuceritakan ucapnya.

Sepi sekali malam tahun baru ini, kang. Berbeda dengan malam pergantian tahun yang
biasanya ucap Rayhan sembari menatap sendu langit Toronto yang berhiaskan bintang itu.
Jelas lah, Ray. Kita kan sedang berada di negeri orang yang mayoritasnya adalah non islam.
Jadi nggak mungkin kita merasakan malam tahun baru Islam seperti di pesantren dulu sahut
Alim.

Rayhan menghela nafasnya. Hatinya menangis. Betapa ia merindukan suasana malam tahun baru
di Pondok Pesantren Gontor beberapa tahun lalu. Merindukan ayat-ayat suci Allah yang
dilantunkan dengan merdu. Merindukan makan bersama dengan wadah nampan di masjid besar.
Ia merindukan semuanya.
Berada di negeri orang untuk menuntut ilmu bukanlah hal yang mudah. Apalagi, mereka berada
di negeri yang mayoritasnya adalah orang non islam. Masjid pun bermil-mil jauhnya dari tempat
mereka tinggal. Butuh waktu beberapa jam untuk sampai ke masjid itu. Di tempat mereka kuliah
pun, tempat ibadah antar agama dijadikan satu tempat.

Andai dulu aku mendaftar ke Al-Azhar ya, kang. Mungkin tidak seperti ini rasanya
Hush. Nggak baik berandai-andai seperti itu. Nggak bersyukur ya kamu ucap Alim tegas. Tak
lupa tangannya memukul kepala Rayhan yang sedang melankolis itu.
Astaghfirullah, maafkan hamba ya Rabb
Sudahlah. Ayo kita masuk ke dalam saja daripada disini terus kamu malah melankolis nggak
jelas
Alim beranjak dari tempatnya dan menarik tangan Rayhan. Mereka beriringan memasuki pintu
apartemen dan berjalan menuju ke kamar mereka tinggal.

Kang, sholat hajjat terus tadarus yok ajak Rayhan sesampainya mereka di kamar. Alim
tersenyum mendengar penuturan Rayhan. Tumben anak ini ngajak begituan, biasanya sholat aja
harus diingetin dulu, batin Alim.
Ayo ayo sahut Alim semangat.

Mereka pun bersama merayakan malam tahun baru Islam dengan yang seharusnya umat muslim
lakukan. Ayat-ayat suci Al-Quran dilantunkan secara bersahutan dari mulut keduanya. Air mata
tak terbendungkan dari mata mereka berdua. Mereka bersyukur karena masih diberi umur
panjang sehingga akan melewati hari-hari di tahun baru dalam ketaatan kepada yang Maha
Agung.

Rayhan dan Alim sedang berbaring sembari menatap langit-langit kamar mereka. Di kasur yang
terpisah mereka memikirkan hal yang berbeda. Alim memikirkan tugas yang belum juga kelas
padahal deadline sudah lusa sedangkan Rayhan masih dalam pikiran rindunya pada Pondok
Pesantren. Suara handphone Rayhan membuyarkan lamunan mereka. Rayhan bergegas
membuka handphonenya dan membaca pesan yang masuk. Iapun terduduk saking senangnya
setelah membaca pesan yang masuk.

Kang! Tanggal 10 Muharram nanti komunitas Love Allah dari perkumpulan muslim di
kampus bakal ngadain acara amal ucap Rayhan pada Alim.
Alim memiringkan badannya dan berkata, Acara amal apa?
Kita bakal ke masjid yang ada di ujung selatan Toronto ini. Tau kan, kang?
Widih, apa nggak kejauhan tuh?
Ya nggak tau kang. Soalnya cuma masjid itu satu-satunya yang ada panti asuhan sekaligus
asrama tahfidz bagi orang muslim di Toronto
Alim mengangguk paham.
Akang ikut kan? tanya Rayhan penuh harap.
Nggak tau ya. Kalau nggak sibuk sih jawab Alim sembari kembali menatap langit-langit
kamarnya.
Ayolah kang! Masa akang mau melewatkan acara seperti ini
Kamu kan tau, Ray. Aku sedang diburu tugas sekarang
Ah akang, jadi sekarang akang menomor duakan Allah? ucap Rayhan sarkastik.
Alim bangun dan duduk di kasurnya. Ia mengusap wajahnya lalu menghela nafas. Selalu saja
Rayhan pintar memojokkannya seperti ini.
Bukan begitu, Ray. Aku
Alah sudahlah, kang. Lama di negeri orang jadi gini kau, kang. Padahal biasanya akang nomer
pertama di acara amal saat di Pesantren cibir Rayhan.
Ia pun membanting handphonenya ke sebelah bantal.
Astaghfirullah, Ray. Bukan begitu maksudku sergah Alim.
Sudahlah kang, tak usah mengelak. Aku ngantuk

Rayhan membaringkan kembali badannya dan menutup mukanya dengan bantal. Ia merasa kesal
dengan sahabat seperjuangannya itu. Bisa-bisanya sahabatnya itu masih mempertimbangkan
acara penting seperti ini. Padahal ia yang sering lupa sholat dan bersedekah. Tapi yang menomor
duakan acara amal malah sahabatnya. Dunia ini memang membingungkan.

Apakah kisahnya sesederhana ini? tanyaku setelah menghentikan jari-jariku menari di atas
keyboard.
Alim menyesap minumannya dan tersenyum lagi. Lelaki ini sungguh tidak pegal daritadi
tersenyum terus.
Ya memang sesederhana itu. Kenapa? Apa kisah ini tak bisa membawamu pada kemenangan?
tanya Alim.
Hm, bukan seperti itu. Hanya saja
Ayo lanjutkan. Aku tak sabar menceritakan bagian selanjutnya
Alim mengusap cangkir kopinya dan menatapku intens. Senyuman tak luntur dari wajahnya. Aku
yang ditatap begitu hanya bisa menunduk menatap layar laptopku dan mulai mendengarkan
kembali kisah Alim di Toronto.

Alhamdulillah kang, akhirnya akang mau ikut juga ucap Rayhan sembari merangkul bahu
Alim. Alim hanya membalas ucapan itu dengan senyuman.
Mereka berjalan beriringan keluar dari kampus menuju ke tempat ibadah. Di sana sudah
berkumpul banyak mahasiswa muslim, dari Indonesia maupun dari Negara lain.

Assalammualaikum kata Rayhan mengucapkan salam dengan suara keras. Semua mata tertuju
ke arah mereka. Membuat Alim merasa malu namun hanya di pendamnya dan diperlihatkannya
senyumannya.
Waalaikumsalam sahut mereka.
Jam berapa kita akan berangkat? tanya Rayhan pada ketua panitia acara amal ini, Axel.
Hm, sekarang. Sebenarnya tinggal menunggu kalian saja jawab Axel membuat Rayhan merasa
kaget.
Astaghfirullah, maaf membuat kalian menunggu ucap Rayhan kepada Axel. Mungkin kalian
berfikir bahwa Axel adalah seorang bule. Namun nyatanya memang benar, ia seorang bule yang
memiliki ayah orang Indonesia. Jadi jangan heran jika ia bisa berbicara bahasa Indonesia.
Ayo kita berangkat

Seluruh rombongan berjalan menuju ke bus yang sudah disiapkan. Barang-barang yang akan
disumbangkan untuk anak yatim disana sudah disiapkan di dalam bagasi. Di dalam bus, mereka
melantunkan sholawat bersama. Bahkan, canda tawa juga tak terelankan diantara mereka. Rasa
kekeluargaan terasa sangat kental. Walau mereka dari jurusan yang berbeda-beda namun agama
mempersatukan mereka. Membuat mereka terjalin dalam ukhuwah.

Butuh waktu 7 jam sampai akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Sekarang sudah jam 2 siang di
Toronto bagian selatan. Merekapun turun dan menyiapkan barang-barang yang akan diberikan
pada pihak panti asuhan dan masjid tersebut. Mereka jalan berbondong-bondong masuk ke
dalam masjid dan disambut oleh banyak anak yatim serta tahfidz sudah duduk di dalam masjid.
Begitu pula pengasuh-pengasuh anak-anak tersebut.

Usai menaruh barang-barang tersebut di tengah. Acara penyambutan dan pengajian kecilpun di
mulai. Acara ini dipimpin oleh ketua panitia serta seorang pengasuh tempat tersebut. Ayat-ayat
suci Al-Quran di lantunkan dari mulut mungil para tahfidz di tempat tersebut. Doa-doa juga
dipimpin oleh anak-anak disana. Subhanallah, sungguh betapa indahnya ciptaan Allah.

Ssst kang bisik Rayhan pada Alim setelah doa selesai.


Apa? sahut Alim.
Cantik sekali wanita itu kang ucap Rayhan dengan mata berbinar membuat Alim mengerutkan
dahinya.
Yang mana?
Itu tunjuk Rayhan pada salah satu wanita bule berjilbab besar di ujung barat. Wanita itu
berperawakan kecil dan hidungnya sangat mancung.
Keliatan dia mualaf
Iya ya kang. Jadi ingin meminang rasanya
Hush. Jangan ngawur
Alim memukul pelan kepala Rayhan. Membuat Rayhan mengaduh kesakitan.
Akang ini, hobi sekali memukul kepalaku. Makin bodoh nanti aku bagaimana protes Rayhan.
Sudah ayo berdiri ajak Alim ketika ia melihat kawan-kawannya yang lain berdiri. Ah, ini acara
salam-salaman dengan anak-anak.

Anak-anak pun berputar menyalami satu persatu mahasiswa yang datang kesana. Para
mahasiswa itu tak melewatkan hal tersebut untuk mengelus rambut mereka. Seperti yang
disunnahkan oleh Rasulullah SAW. Bahwa baik adanya mengelus rambut anak yatim di bulan
Muharram.
Acara tersebut berlangsung sampai bada isya. Mereka melewatkan buka bersama serta sholat
jamaah maghrib dan isya disana. Acaranya berlanngsung lancer dan menyenangkan. Setelah
acara usai, Axel bergegas menyuruh kawan-kawannya untuk berpamitan ke pengasuh dan anak-
anak di sana.

Maaf tunggu sebentar


Alim menghentikan langkahnya yang hendak naik ke atas bus. Ia menoleh ke belakang saat
dirasa seseorang menepuk bahunya. Alim terpana melihat wanita yang memanggilnya. Ia
terdiam cukup lama sebelum wanita itu akhirnya berkata,
Ini milikmu kan? tanyanya sembari menyodorkan sebuah handphone pada Alim. Alim hanya
bisa mengangguk pelan karena masih terkagum dengan ciptaan indah Allah yang berada di
depannya.
Ini ambil
Alim mengambil handphonenya dan wanita itu langsung melenggang pergi. Alim secara tak
sadarpun berteriak, Tunggu! Siapa namamu?
Salwa sahut wanita itu.
Salwa. Aku alim teriak Alim namun wanita itu keburu masuk ke dalam panti asuhan. Hatinya
berdegup kencang tiba-tiba saat wanita itu meneriakkan namanya.
Kang, ayo masuk tegur Rayhan pada Alim yang masih terdiam di pintu bus.
Eh iya, ayo ayo

Aku menghentikan jariku yang menari di atas keyboard. Aku terdiam setelah Alim menceritakan
bagian ini. Sekarang aku ingat siapa Alim ini. Mendadak hatiku berdegup kencang mengingat
kejadian yang sudah 2 tahun berlalu itu.

Kenapa berhenti? tanya Alim.


Aku sekarang ingat siapa kamu jawabku tanpa berani menatapnya.
Dari sudut mataku, kulihat ia tersenyum lalu meletakkan cangkir kopinya setelah menyesap air
kopi tersebut.
Kalau begitu, tanpa aku pandu, kamu bisa meneruskan sendiri cerpen tersebut kan?
Aku terdiam. Memang betul aku bisa meneruskan jika yang diceritakan adalah kisahku. Namun,
yang diceritakan di sini adalah kisahnya. Jadi aku tak bisa.
Sebenarnya aku menghampirimu hanya untuk memberi ini
Alim mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dari tasnya dan memberikannya padaku. Aku
mengambil amplop tersebut dan hendak membukanya namun suara Alim menahanku.
Bukalah setelah aku pergi dari sini ucapnya. Ia menutup tasnya dan menggendongnya lalu
beranjak dari kursi itu.
Assalammualaikum ucapnya kemudian ia melenggang pergi begitu saja.
Waalaikumsalam jawabku pelan.
Aku meraba amplop itu. Menimang-nimang dan berfikir apakah isi dari amplop tersebut.
Sebenarnya aku terlalu takut melihat. Aku takut jika itu ternyata surat undangan pernikahan atau
sejenisnya. Kenapa aku takut? Kalian bisa menebak sendiri bagaimana perasaanku. Namun
akhirnya, dengan mengucapkan basmalah aku membuka amplop tersebut. Isinya bukan surat
undangan namun kertas yang diatasnya ditulis dengan tulisan tangan. Aku membacanya dengan
seksama dan tanpa kusadari air mata menetes dari sudut mataku.
Alim Lirihku.

Teruntuk Salwa,
Assalammualaikum Salwa. Aku yakin jika kau lupa denganku. Aku sudah menunggu dua tahun
untuk bisa bertemu denganmu lagi. Mungkin kau memang tak mengenalku tapi aku sudah
banyak mencari tau tentangmu. Namun, aku masih ragu untuk menghubungimu sekalipun aku
memiliki kontakmu. Aku masih terlalu takut dan malu. Hari ini aku tak sengaja melihatmu dari
sudut caf dan kutulis surat ini untukmu.
Salwa, aku hanya ingin mengatakan. Maukah kau menjadi pelengkap agamaku?

Alim

Cerpen Karangan: Ayodhea Wibowo


Blog: frappeoreo.blogspot.com

Cerpen Senandung Muharram merupakan cerita pendek karangan Ayodhea Wibowo, kamu
dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru
buatannya.

Anda mungkin juga menyukai