Anda di halaman 1dari 10

16

TO = jumlah telur yang diovulasikan, Bg = bobot gonad (g), Bs = bobot sub


sampel gonad (g), N = jumlah telur dalam sub sampel gonad (butir).

Derajat Pembuahan (Fertilization Rate, FR) Telur Ikan Tawes


Derajat pembuahan telur merupakan persentase telur yang dibuahi dari
sejumlah telur yang dipijahkan. Telur yang dibuahi akan tampak berwarna bening
transparan, sedangkan telur yang tidak dibuahi akan berwarna putih keruh.
Derajat pembuahan telur dapat dihitung dengan rumus :
Jumlah telur yang dibuahi
FR = x 100 %
Jumlah Telur yang dipijahkan

Derajat Penetasan (Hatching Rate, HR) Ikan Tawes


Derajat penetasan pada ikan tawes ditentukan dari jumlah telur yang
menetas dibagi dengan total telur yang dibuahi dan dinyatakan dalam persen.
Derajat penetasan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Jumlah telur yang menetas
HR = x 100 %
Jumlah Telur yang dibuahi

Konsentrasi Hormon Testosteron dan Estradiol Ikan Mas


Hormon testosteron dan estradiol dianalisis dengan Enzyme Linked Immuno
Absorbent Assay (ELISA).

Parameter Kualitas Air


Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap beberapa parameter
kualitas air sebagai data penunjang seperti suhu, DO dan pH.

Analisis Data

Data dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan
gambar.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kematangan Gonad

Induk-induk ikan yang siap dipijahkan telah matang gonad. Hal ini dapat
dilihat secara visual dengan mengamati ukuran diameter telur dan posisi intinya.
Berdasarkan hasil pengamatan diameter dan posisi inti (germinal vesicle) telur
pada penelitian ini, tampak bahwa induk-induk ikan yang digunakan baik ikan
mas maupun ikan tawes telah matang gonad. Kematangan telur tersebut juga
dapat dilihat dari penampilan telur yang bulat dan seragam ukurannya.
17

Diameter Telur
Ukuran diameter telur pada masing-masing induk ikan mas dan ikan tawes
yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3 dan Lampiran 2.
Tabel 2 Ukuran diameter (mm) telur ikan mas
Perlakuan
Ulangan
A B C D E
1.30.18 1.10.11
1 1.50.12 1.50.07 1.60.08 1.20.13 1.60.14
1.80.16 1.40.17
1.20.04 1.50.10
2 1.50.14 1.40.07 1.40.10 1.50.06 1.50.10
1.70.11 1.30.10
1.50.05 1.60.08
3 1.40.05 1.50.06 1.50.09 1.60.09 1.50.09
1.60.10 1.40.10
n = 30, reratasimpangan baku

Tabel 3 Ukuran diameter (mm) telur ikan tawes


Perlakuan
Ulangan
A B C D E
1 0.70.03 0.70.04 0.70.04 0.70.04 0.70.05
2 0.70.03 0.70.05 0.70.05 0.70.05 0.70.03
3 0.70.03 0.70.04 0.70.04 0.70.03 0.70.04
n = 30, reratasimpangan baku

Semakin berkembang tingkat kematangan gonad, diameter telur yang ada


dalam gonad akan menjadi semakin besar sampai mencapai ukuran maksimum.
Secara umum, ukuran diameter telur ikan termasuk ikan mas dan ikan tawes
sangat dipengaruhi oleh umur, lingkungan, genetik, nutrisi dan siklus reproduksi.
Kematangan seksual pada ikan dicirikan oleh perkembangan diameter rata-rata
telur dan melalui distribusi penyebaran ukuran telurnya (Effendie 2002). Telur
yang matang pada ikan zebra (Brachydanio rerio) berbentuk bulat, transparan,
dan tidak terikat satu sama lain, sedangkan telur yang belum matang berwarna
buram, bentuk dan ukurannya tidak teratur dan saling menempel satu sama lain
(Chen dan Martinich 1975).
Berdasarkan kedua tabel di atas terlihat bahwa rata-rata diameter telur ikan
mas berkisar antara 0.991.96 mm, sedangkan ikan tawes berkisar antara 0.67
0.75 mm. Hasil pengukuran diameter oosit matang untuk ikan mas oleh Rottmann
et al. (1991) berkisar antara 0.91.2 mm dan Linhart et al. (1995) berkisar antara
1.24l .42 mm. Hasil penelitian Tempero et al. (2006) menunjukkan bahwa rata-
rata diameter oosit ikan mas berkisar antara 0.30 dan 1.85 mm dengan rata-rata
diameter oosit matang adalah 1.16 mm. Sementara ukuran diameter oosit matang
pada ikan tawes berkisar antara 0.68 dan 0.78 mm dengan rata-rata 0.70 mm
(Bhuiyan et al. 2006).
18

Posisi Inti Telur

Keberhasilan metode Cangkringan ditandai dengan memijahnya ikan tawes


karena pengaruh pemijahan ikan mas. Keberhasilan tersebut sangat ditentukan
oleh kematangan induk ikan mas dan ikan tawes. Meskipun ukuran diameter telur
beragam, tetapi jika dilihat dari kematangan secara fisiologis, yaitu dari posisi inti
telur semua induk ikan tawes dan ikan mas yang digunakan pada setiap perlakuan
sudah berada pada kondisi siap mijah (Gambar 9 dan Lampiran 3).

(A) 1 (B) 1 (C) 1 (D) 1 (E) 1

(E) 2

(A) 2 (B) 2 (C) 2 (D) 2 (E)2

(A) 3 (B) 3 (C) 3 (D) 3 (E) 3


Gambar 9 Posisi inti telur ikan tawes, inti telur pada fase istrahat (panah putih);
inti telur bergerak ke tepi : GVM (panah hitam)

Pengamatan terhadap posisi inti telur merupakan metode yang baik untuk
menentukan perkembangan dan tingkat kematangan telur. Rottmann et al. (1991)
menyatakan bahwa diameter, penampilan dan posisi inti telur adalah indikator
visual perkembangan telur. Menurut Kucharczyk et al. (2008) posisi inti telur
sebagai tanda kematangan telur, ditentukan dalam empat tahap kematangan yaitu
tahap 1 : inti telur (GV) berada di tengah, tahap 2 : awal migrasi inti (kurang dari
setengah jari-jari telur), tahap 3 : akhir migrasi inti (lebih dari setengah jari-jari
telur), tahap 4 : inti periferal atau germinal vesicle breakdown (GVBD).
Inti telur yang terlihat lebih kecil dari ooplasma dan terletak di tengah
berada pada fase istrahat/dorman, menunggu sinyal pemijahan. Gerakan inti dari
pusat telur ke tepi (germinal vesicle migration) merupakan langkah awal untuk
ovulasi (Woynarovich dan Horvath 1980; Rottmann et al. 1991). Inti telur yang
berada pada posisi lebih dekat ke pusat dibanding ke pertengahan jari-jari telur
diklasifikasikan telah mencapai keadaan matang tahap II (Zarski et al. 2011).
Selanjutnya Yueh dan Chang (2000) menjelaskan bahwa telur yang matang
ditandai dengan ooplasma yang transparan dan inti yang bergerak menuju ke
bagian peripheral.
19

Tingkah Laku Pemijahan

Tingkah laku induk-induk ikan pada semua perlakuan hampir sama sesaat
setelah dimasukkan ke dalam bak pemijahan. Pada perlakuan A, B dan C (),
induk-induk ikan mas baik jantan maupun betina berenang secara perlahan
mengelilingi bak pemijahan dengan arah berbeda satu sama lain. Induk ikan akan
membelokkan badannya ketika bertemu dengan ikan mas lainnya. Demikian pula
pada perlakuan D dan E (), induk-induk ikan berenang perlahan, beriringan,
terkadang berlawanan arah kemudian berbelok, sesekali kepalanya menyundul
kakaban atau diam bergerombol di dasar memperhatikan ikan tawes. Hal yang
sama terjadi pula pada ikan tawes, dimana induk-induk ikan tawes () pada
semua perlakuan berenang perlahan sesaat setelah dimasukkan ke dalam bak
pemijahan. Kadang terlihat berenang di bawah kucuran air, terkadang berenang
perlahan mengitari pinggiran sekat hapa kemudian diam memperhatikan ikan mas.
Pada perlakuan B dan C, aktifitas induk-induk ikan mas mulai terlihat aktif
setelah penyuntikan kedua. Ketika mereka aktif secara seksual, ikan mas jantan
mengejar dan menyentuh bagian urogenital ikan mas betina. Terkadang berenang
disamping ikan betina, menempelkan badannya dan mendorong ikan betina
sambil mengitari bak pemijahan. Kadang-kadang ikan akan berenang ke atas
kakaban, untuk mengevaluasi manfaatnya dalam oviposisi (Kobayashi et al.
2002). Selanjutnya pemijahan terjadi, ditandai dengan ikan jantan semakin agresif
mengejar ikan betina, memastikan dirinya selalu berada di samping ikan betina.
Kadang-kadang ikan tersebut menyembulkan kepalanya ke permukaan air.
Gerakan-gerakan ini semakin agresif sehingga menimbulkan percikan-percikan air
ke permukaan. Ikan betina terlihat membalikkan badannya tepat di bawah
kakaban untuk oviposisi. Pada saat itulah ikan jantan berenang cepat melepaskan
sperma untuk membuahi telur. Selama masa pemijahan ikan jantan dan betina
secara langsung menyamakan tingkah lakunya untuk mencapai pelepasan gamet
yang serempak (terkoordinasi) seperti oviposisi dan pelepasan sperma (Liley dan
Stacey 1983). Setelah terjadi pemijahan, air terlihat seperti berminyak, berbusa
dan berbau amis.
Hal yang sama juga terjadi pada ikan tawes. Ketika ikan mas terlihat agresif,
ikan tawes juga mulai menunjukkan perilaku agresif. Ikan-ikan tawes jantan
menempelkan badannya ke badan ikan tawes betina, berputar-putar dan berusaha
untuk menggiring ikan tawes betina dari satu tempat ke tempat lain dengan
gerakan yang cepat disertai suara gaduh berupa dengungan.
Perilaku yang sama juga terjadi pada perlakuan D dan E. Jika waktu untuk
memijah telah tiba, maka perilaku agresif dan kejar-kejaran juga terjadi walaupun
tanpa ikan mas jantan. Namun yang terlihat beda dengan perlakuan lain adalah
ikan tawes lebih dahulu menunjukkan perilaku agresif baru diikuti ikan-ikan mas
betina. Meskipun demikian, ikan tawes tidak mendahului ikan mas untuk
memijah. Ikan tawes memijah mengikuti pemijahan ikan mas dengan interval
waktu antara 51 menit sampai 31 jam 19 menit, dimana pemijahan alami terjadi
dengan interval waktu antara 6 jam 55 menit sampai 8 jam 5 menit (Tabel 4).
Pascapemijahan, induk-iduk ikan mas berenang perlahan. Kadang terlihat
memakan telur-telur yang menempel pada kakaban atau sekat hapa. Oleh karena
itu, ketika kakaban terlihat sudah dipenuhi telur, perlu di pindahkan ke bak
penetasan dan diganti dengan kakaban yang baru.
20

Imbas Pemijahan Ikan Mas Terhadap Ikan Tawes

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ikan tawes dapat memijah secara
alami atau melalui stripping karena rangsangan ikan mas yang memijah baik
disuntik maupun tidak disuntik ovaprim (Tabel 4 dan Lampiran 4).
Tabel 4 Jumlah ikan mas dan tawes yang mijah, waktu ikan mas mencapai
ovulasi (WOM), waktu ikan tawes mencapai ovulasi (WOT), dan derajat
pemijahan (DP) ikan tawes
Pemijahan ikan Pemijahan
DP
mas ikan tawes WOM WOT
Perlakuan Ulangan tawes
Ala Strip Ala Strip (jam) (jam)
(%)
mi ping mi ping
A ( 1 + - - + td 7.23 **
tidak 2 - - - - - - 0
disuntik) 3 - - - - - -
1 + - - + 6.15 51
B (
2 + - - + 8.2 26.3 100
disuntik)
3 + - + - 5 6.55
C ( 1 + - - - * -
disuntik 2 + - - - 18.24 - 33.33
tidak 3 + - + - 5.13 8.5
disuntik)
Induk ke
1 + - 8.33
D1 (
2 - - - - - -
disuntik)
3 - + 11.06
1 - - -
D2 ( 66.67
2 + - - + 2.57 31.19
disuntik)
3 + - 2.57
1 + - 18
D3 (
2 - - - + - 13.53
disuntik)
3 + - 18
E1 ( 1 - - -
tidak 2 + - - + td 12.2
disuntik) 3 + - td
E2 ( 1 + - td
tidak 2 + - - - td - 66.67
disuntik) 3 + - td
E3 ( 1 + - td
tidak 2 + - + - td 6.58
disuntik) 3 - - -
* Mijah sesaat sebelum penyuntikan kedua.
** Mijah alami tanpa penyuntikan, tidak dihitung sebagai kontrol negatif.
td Perlakuan tanpa penyuntikan, waktu pencapaian ovulasi tidak terdeteksi.
21

Pencapaian interval waktu imbas tercepat pada pemijahan ikan tawes secara
alami karena pengaruh pemijahan ikan mas terjadi pada perlakuan B3 (K+), yaitu
6 jam 55 menit, kemudian perlakuan E3 yaitu 6 jam 58 menit, dan C3 yaitu 8 jam
5 menit. Begitu pula hasil pengamatan pada jumlah induk ikan tawes yang mijah
karena pengaruh imbas ikan mas, hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan B yaitu
sebesar 100%, kemudian diikuti oleh perlakuan D dan E yang memberikan hasil
yang sama yaitu 66.7%. Hasil terendah diperoleh pada perlakuan C sebesar 33.3%
dan perlakuan A (K-) sebesar 0% (Tabel 4).
Perlakuan B memberikan interval waktu imbas tercepat dan derajat
pemijahan tertinggi, diduga karena penyuntikan ovaprim pada semua induk ikan
mas baik jantan maupun betina pada perlakuan ini membantu meningkatkan
konsentrasi LH. Akibat kerja LH, lapisan teka akan mensintesis hormon 17-
hidroksiprogesteron yang kemudian di lapisan granulosa akan diubah oleh enzim
20-hidroxysteroid dehidrogenase (20-HSD) menjadi 17,20-P yang beraksi
sebagai maturation inducing steroid (MIS) (Zairin 2003; Nagahama et al. 2005;
Nagahama dan Yamashita 2008). Steroid ini akan mendorong inisiasi meiosis inti
dan pematangan folikel serta ovulasi pada betina. Pada jantan steroid ini juga
menginisiasi pembelahan meiosis spermatogonium dan mengendalikan
pematangan spermatozoa serta spermiasi (Mylonas dan Zohar 2001; Yaron dan
Levavi-Sivan 2011). Steroid 17,20-P dalam bentuk bebas dan konjugatnya
berfungsi sebagai feromon (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).
Selama proses ovulasi dan spermiasi, terjadi perubahan tingkah laku ikan
mas yang menjadi lebih agresif. Perubahan tingkah laku tersebut menyebabkan
banyaknya urin yang dikeluarkan oleh ikan mas yang mengakibatkan banyaknya
feromon yang dilepaskan ke air melalui urin tersebut (Appelt dan Sorensen 2007).
Feromon yang dilepaskan ke air merupakan stimulasi dari ikan mas yang memicu
terjadinya pemijahan pada ikan tawes. Isyarat-isyarat feromon ini pada ikan dapat
masuk melalui organ penciuman (olfactory bulb), kemudian di teruskan ke sistem
syaraf pusat, selanjutnya mengaktifkan poros hipothalamus-pituitari-gonad
(Zielinski dan Hara 2007).
Selanjutnya pada perlakuan D yang juga diinjeksi ovaprim terdapat dua
pasang ikan tawes yang mijah, yaitu pada ulangan ke-2 dan ke-3 dengan jumlah
ikan mas yang memijah masing-masing sebanyak 2 ekor, tetapi pada ulangan ke-1
tidak terjadi pemijahan pada ikan tawes. Hal ini diduga karena feromon yang
dikeluarkan ikan mas betina pada ulangan ini tidak cukup untuk mengimbas
tawes, karena ketiadaan ikan mas jantan. Selain itu hanya terdapat 1 ekor induk
ikan mas yang memijah yang berperan sebagai pengimbas.
Hasil yang sama ditunjukan pada perlakuan E dimana induk-induk ikan
mas tidak diinjeksi ovaprim, namun karena terjadi pemijahan pada ikan mas
sehingga terdapat 2 pasang ikan tawes yang mijah yaitu pada ulangan ke-1 dan
ke-3. Namun demikian pada ulangan ke-2 tidak terjadi pemijahan pada ikan tawes
walaupun semua ikan mas (3 ekor) mijah pada ulangan ini. Diduga telur ikan
tawes pada perlakuan ini belum benar-benar matang. Dugaan lain adalah terdapat
kelebihan metabolit dalam air yang dilepaskan ikan mas pada saat ovulasi yang
menyebabkan ikan tawes tidak terangsang untuk melakukan pemijahan. Aksi
feromon dan metabolitnya yang dikeluarkan pada saat ovulasi mungkin dapat
mengaktifkan atau menonaktifkan poros hipothalamus-pituitari-gonad (Chen dan
Martinich 1975). Sifat kimia dari metabolit penghambat pemijahan tersebut belum
22

diketahui, namun Greene (1966) menduga bahwa metabolit tersebut adalah


amonia.
Pada kedua perlakuan D dan E di atas, tidak terdapat ikan mas jantan
namun ikan mas betina pun dapat mengimbas ikan tawes (DP = 66.7%). Hal ini
disebabkan karena ikan betina juga melepaskan feromon pada saat ovulasi
(Kobayashi et al. 2002; Lim dan Sorensen 2012). Pemijahan ikan mas yang terjadi
pada perlakuan E yang tidak disuntik ovaprim dan tanpa kehadiran ikan jantan,
diduga disebabkan oleh mekanisme stres. Mekanisme ini mengaktifkan poros
hyphothalamus-hipofisis-ginjal-gonad. Gonadotropin tampaknya merangsang
interrenal ginjal untuk memproduksi kortikosteroid yang pada gilirannya beraksi
pada oosit sebagai MIS (Sundararaj dan Goswami 1977) yang membantu gonad
membentuk maturation promoting factor (MPF) yang menyebabkan inti telur
bermigrasi ke arah mikrofil kemudian melebur (Yaron 1995).
Pada perlakuan A1 terjadi pemijahan pada induk ikan mas walaupun induk-
induk ikan mas pada perlakuan ini tidak disuntik ovaprim. Hal ini dapat diduga
bahwa gonad ikan betina sudah cukup matang dan didukung oleh kehadiran ikan
jantan sebagai lawan jenis (Woynarovich dan Horvath) dapat merangsang ikan
betina untuk ovulasi. Begitupula ikan jantan akan menunjukkan peningkatan
aktivitas berenang bila terkena bau ikan betina yang matang gonad (Sorensen dan
Stacey 2004). Peningkatan aktivitas berenang tersebut menyebabkan banyaknya
urin yang dikeluarkan oleh ikan mas jantan yang mengakibatkan banyaknya
feromon yang dilepaskan ke air melalui urin (Appelt dan Sorensen 2007).
Pelepasan feromon oleh ikan mas jantan dapat menyebabkan ovulasi pada ikan
mas betina yang selanjutnya memberikan pengaruh imbas pada pemijahan ikan
tawes.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa feromon dari ikan mas yang
berovulasi dapat menyebabkan ikan tawes mijah dan metode Cangkringan
berpotensi tinggi menjadi solusi alternatif pemijahan ikan menggantikan metode
kawin suntik yang menggunakan ekstrak kelenjar hipofisa atau hormon
gonadotropin lain yang selama ini biasa diterapkan dalam akuakultur.

Fekunditas, Derajat Pembuahan (FR) dan Derajat Penetasan Telur (HR)

Hasil perhitungan fekunditas ikan tawes menunjukkan bahwa ikan tawes


yang mijah karena pengaruh imbas ikan mas yang disuntik (perlakuan B, C dan
D) memberikan fekunditas yang tinggi dibanding dengan yang tidak disuntik
(perlakuan A dan E) (Tabel 5 dan Lampiran 5). Fekunditas tertinggi diperoleh
pada perlakuan B, C dan D yaitu masing-masing sebanyak 71 460, 35 730 dan
32 752 butir telur. Hal ini diduga bahwa pengaruh pemberian ovaprim
mengakibatkan tingginya konsentrasi gonadotropin pada induk-induk ikan mas
pada perlakuan ini sehingga feromon yang diberikan cukup kuat untuk
merangsang ikan tawes mijah. Feromon sebagai hormon eksternal, membantu
menaikkan konsentrasi gonadotropin internal ikan tawes sehingga peluang telur
matang dalam gonad semakin tinggi untuk diovulasikan.
23

Tabel 5 Bobot tubuh, fekunditas, derajat pembuahan (FR) dan derajat penetasan
(HR) ikan tawes
Bobot ikan Fekunditas rata-rata
Perlakuan FR (%) HR (%)*
betina (Kg) (butir)
A 0.25 11 910 0 0
B 0.56 71 460 79.3 96.7
C 0.31 35 730 81.3 93.4
D 0.49 32 752 0 0
E 0.42 20 247 81.7 94.7
* Dihitung dari jumlah telur yang terbuahi.

Derajat pembuahan dan penetasan telur ikan tawes memberikan hasil yang
tinggi dan hampir sama pada semua perlakuan hasil permijahan alami (perlakuan
B, C dan E) masing-masing berkisar antara 79.381.7% dan 93.496.7% (Tabel
5). Nilai yang hampir sama yang ditunjukkan pada perlakuan-perlakuan tersebut
diduga terjadi karena terdapat pasangan induk ikan tawes dalam jumlah yang
sama pula baik jantan maupun betina pada setiap perlakuan. Namun pada
perlakuan D dan A dimana ikan tawes memijah dengan cara distripping, tidak
terdapat telur yang menetas karena tidak terbuahi.
Derajat pembuahan sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas sperma
yang dipengaruhi oleh nutrisi, musim, temperatur, frekuensi pemakaian jantan dan
hereditas. Banyaknya jumlah sperma yang dikeluarkan dari seekor ikan jantan
bergantung pula kepada umur, ukuran dan frekuensi ejakulasi. Selain itu, tingkat
pembuahan juga dipengaruhi oleh kondisi kematangan telur yang berkaitan
dengan proses vitelogenesis sebelum telur diovulasikan (Zairin et al. 2005).
Derajat penetasan dipengaruhi oleh faktor internal berupa kerja hormon dan
volume kuning telur serta faktor eksternal berupa suhu, oksigen terlarut dan
intensitas cahaya (Affandi dan Tang 2002). Rendahnya derajat pembuahan dan
penetasan pada perlakuan yang memijah secara stripping diduga sangat
dipengaruhi oleh kesalahan manusia.
Telur ikan tawes yang terbuahi berwarna bening transparan dan embrio
berbentuk huruf koma. Telur-telur tersebut umumnya akan menetas selama 23
hari setelah masa inkubasi. Larva yang hidup terlihat transparan, berukuran sangat
kecil dan aktif berenang mencari makan, sedangkan larva yang mati berwarna
putih keruh dan melayang di kolom air atau tenggelam di dasar kolam.

Profil Hormon Testosteron (T) dan Estradiol (E 2 ) Ikan Mas

Berdasarkan hasil analisis hormon testosteron dan estradiol pada plasma


ikan mas, diperoleh hasil bahwa nilai T dan E 2 ikan mas berhubungan erat dengan
status pemijahan ikan tawes (Tabel 6 dan Lampiran 6).
24

Tabel 6 Konsentrasi hormon testosteron (T) dan estradiol (E 2 ) ikan mas


Konsentrasi
Status
Konsentrasi hormon pada betina hormon pada
pemijahan
Perlakuan jantan
ikan
E 2 (ng mL-1) T (ng mL-1) T (ng mL-1)
tawes
Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir
B3 0.22 0.89 0.27 6.76 1.59 10.19
Alami C3 0.13 0.62 5.44 3.76 1.23 7.91
E3 0.39 0.86 1.04 1.79 - -
A1 1.40 1.46 1.82 0.79 3.21 2.26
B1 1.45 1.35 2.55 2.67 2.55 2.44
Alin/
B2 0.37 0.28 td td 3.22 0.79
Stripping
D2 0.51 0.40 2.46 0.69 - -
D3 1.06 1.13 td td - -
E1 0.46 1.01 0.82 2.66 - -
A2 0.72 0.72 td td 2.48 0.53
Tidak A3 0.48 3.55 2.95 >16.8 2.01 12.83
mijah C1 2.70 0.96 8.19 1.40 1.66 td
C2 0.11 3.23 td td 1.35 0.98
td tidak terdeteksi

Konsentrasi T ikan mas jantan sebesar 2.2610.19 ng mL-1 pada akhir


pemijahan dapat memberikan pengaruh pemijahan baik secara stripping maupun
secara alami pada ikan tawes (perlakuan B1, A1, B3 dan C3). Testosteron maupun
steroid C19 lainnya diketahui dapat menginduksi peleburan inti pada konsentrasi
yang tinggi (Nagahama dan Yamashita 2008) dan konjugat testosteron yang
dilepaskan ke air bertindak sebagai feromon seks (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).
Konsentrasi E 2 ikan mas betina cenderung meningkat dari pemijahan alami
ikan tawes ke tidak memijah. Pada pemijahan alami, terlihat konsentrasi berada di
bawah 1 ng mL-1. Pada pemijahan alin konsentrasi meningkat di atas nilai
1 ng mL-1 pada 66.7% data yang dimiliki. Sedangkan pada ikan tawes yang tidak
memijah, didapatkan informasi nilai konsentrasi meningkat hingga 3 ng mL-1
yang ditunjukkan oleh 50% data yang ada. Konsentrasi E 2 ikan mas betina yang
rendah pada pemijahan alami menunjukkan bahwa konsentrasi steroid C21
terutama 17,20-P tinggi (Kobayashi et al. 2002) karena terjadi penurunan
aktivitas enzim aromatase P450 sedangkan aktivitas enzim 20-HSD meningkat
(Nagahama dan Yamashita 2008). Steroid 17,20-P dalam bentuk bebas dan
konjugatnya berfungsi sebagai feromon (Yaron dan Levavi-Sivan 2011).
Konsentrasi T yang terlalu rendah (kurang dari 1 ng mL-1 ; perlakuan A2
dan C2) atau terlalu tinggi (12.83 ng mL-1 pada ikan mas jantan dan
>16.8 ng mL-1 pada ikan mas betina ; perlakuan A3) tidak memberikan pengaruh
pemijahan pada ikan tawes. Hasil yang sama dilaporkan Simanjuntak (2013)
bahwa konsentrasi T yang tinggi (10.4215.46 ng mL-1) pada ikan mas jantan
pada akhir pemijahan tidak memberikan pengaruh pemijahan pada ikan tawes.
25

Kualitas air

Dalam penelitian ini kualitas air yang diukur meliputi pH, oksigen terlarut
dan suhu. Nilai pH, oksigen terlarut dan suhu air selama penelitian berada pada
kisaran yang dapat ditoleransi oleh ikan mas dan ikan tawes, yaitu suhu
2527 oC, oksigen terlarut 6.106.75 mg L-1 dan pH 6.5. Kondisi ini masih pada
kisaran optimum bagi ikan mas dan ikan tawes (Tabel 7).
Tabel 7 Nilai parameter kualitas air selama penelitian
Nilai Nilai
Parameter kualitas air Pustaka
pengukuran optimum
Suhu (o C) 2527 2530
Oksigen terlarut (mg L-1) 6.106.75 >5 SNI 1999
pH 6.5 6.58.5

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ikan mas betina yang berovulasi, baik secara alami maupun dengan suntikan
ovaprim dapat memberikan pengaruh imbas pada pemijahan ikan tawes. Pengaruh
tersebut dapat disebabkan baik berpasangan dengan jantan (heteroseks: )
maupun pasangan monoseks betina () saja. Namun keberadaan ikan mas
jantan memberikan pengaruh yang lebih kuat.

Saran

Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui organ yang berperan


melepaskan feromon pada ikan mas dan organ yang menerima sinyal feromon
pada ikan tawes.

Anda mungkin juga menyukai