hasil belajar siswa sudah tidak diragukan lagi. Sejumlah ahli pendidikan telah melakukan
penelitian tentang pengaruh kepemimpinan pembelajaran terhadap peningkatan hasil
belajar. Mereka menyimpulkan bahwa: peningkatan hasil belajar siswa sangat
dipengaruhi oleh kepemimpinan pembelajaran. Artinya, jika hasil belajar siswa ingin
dinaikkan, maka kepemimpinan yang menekankan pada pembelajaran harus diterapkan.
Untuk lebih jelasnya, berikut dibahas tentang arti, tujuan, pentingnya kepemimpinan
pembelajaran, butir-butir penting kepemimpinan pembelajaran, dan kontribusi
kepemimpinan pembelajaran terhadap hasil belajar.
Visi yang tepat bagi suatu instansi pemerintah akan menjadi accelerator
(pemercepat) kegiatan instansi pemerintah bersangkutan, meliputi perencanaan
strategi, perencanaan kinerja tahunan, pengelolaan sumber daya, pengembangan
indikator kinerja, pengukuran kinerja, dan evaluasi pengukuran kinerja instansi
tersebut.
1) Syarat perumusan visi
a) Visi bukanlah fakta, tetapi gambaran pandangan ideal masa depan yang ingin
diwujudkan.
b) Visi dapat memberikan arahan, mendorong anggota organisasi untuk menunjukkan kinerja
yang baik.
c) Dapat menimbulkan inspirasi dan siap menghadapi tantangan
d) Menjembatani masa kini dan masa yang akan datang.
e) Gambaran yang realistik dan kredibel dengan masa depan yang menarik.
f) Sifatnya tidak statis dan tidak untuk selamanya.
2) Prosedur Perumusan Visi adalah sebagai berikut :
a) Mengkaji makna visi satuan organisasi diatasnya unuk digunakan sebagai acuan;
b) Menginventarisasi rumusan tugas satuan organisasi yang tercantum dalam struktur dan
tata kerja satuan organisasi yang bersangkutan;
c) Rumusan tugas satuan organisasi tersebut dirangkum dan dirumuskan kembali
menjadi konsep rumusan visi satuan organisasi;
d) Konsep rumusan visi satuan organisasi didiskusikan dengan seluruh anggota
organisasi untuk memperoleh masukan, klarifikasi dan saran-saran;
e) Rumusan Visi Satuan Organisasi dikomunikasikan dengan seluruh stakeholders guna
memperoleh penyempurnaan;
f) Rumusan Visi Satuan Organisasi yang telah menjadi kesepakatan ditetapkan dengan
Keputusan Pimpinan Satuan Organisasi, sehingga visi tersebut menjadi milik
bersama, mendapat dukungan dan komitmen seluruh anggota organisasi.
3) Kriteria Visi
Rumusan Visi yang baik mempunyai kriteria (ciri-ciri) sebagai berikut :
a) Rumusannya singkat, padat dan mudah diingat;
b) Bersifat inspiratif dan menantang untuk mencapainya;
c) Sesuatu yang ideal yang ingin dicapai dimasa yang akan datang yang membawa
eksistensi/keberadaan suatu organisasi;
d) Menarik bagi seluruh anggota organisasi dan pihak-pihak yang terkait (stakeholders);
e) Memberikan arah dan fokus strategi yang jelas;
f) Mampu menjadi perekat dan menyatukan berbagai gagasan strategis yang terdapat dalam
suatu organisasi;
g) Memiliki orientasi terhadap masa depan, sehingga segenap jajaran organisasi ikut
berperan dalam pencapaiannya;
h) Mampu menumbuhkan komitmen seluruh anggota organisasi;
i) Menjamin kesinambungan kepemimpinan dan kebijakan organisasi serta menjembatani
keadaan masa sekarang dan masa yang akan datang;
j) Memungkinkan untuk perubahan atau penyesuaian dengan perkembangan/perubahan
tugas dan fungsi.
4) Teknik Perumusan Visi
Visi Satuan Organisasi dirumuskan dengan cara sebagai berikut :
a) Melibatkan seluruh anggota satuan organisasi dan satuan kerja untuk memberikan
partisipasi (sharing) secara maksimal sesuai dengan kemampuannya;
b) Menumbuhkan sikap rasa memiliki (melu handarbeni atau sense of belongingness)
mengenai visi yang akan dirumuskan bersama.
c) Mengakomodasi cita-cita dan keinginan seluruh anggota satuan organisasi atau
satuan kerja. Dengan pendekatan seperti ini (bottom up) akan menstimulasi
segenapkomponen yang ada dalam satuan organisasi untuk memberikan kontribusi
terbaiknya bagi pencapaian visi yang akan disepakati.
d) Rumusan Visi yang berasal dari pimpinan (top down) perlu disosialisasikan kepada
seluruh anggota organisasi dengan pendekatan yang demokratis dan terbuka untuk
penyempurnaan dan memperoleh masukan atau partisipasi dari bawah.
B. Penyusunan Misi
Misi organisasi adalah pangkal dari perencanaan strategi suatu organisasi. Misi
organisasi akan menggiring penentuan tujuan dan sasaran yang akan dicapai oleh
organisasi, untuk itu perlu dirumuskan secara cermat dan memungkinkan untuk dicapai
serta dapat diukur pencapaiannya. Perumusan misi organisasi merupakan hal yang
mendasar meskipun sulit, namun harus diupayakan. Perumusan dan penetapan misi
organisasi harus secara eksplisit menyatakan apa yang akan dicapai atau fungsi
apa yang dilaksanakan oleh organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Penetapan misi sebagai pernyataan cita-cita organisasi dan seluruh komponen yang
terkait yang akan menjadi landasan kerja yang harus diikuti oleh seluruh
komponen organisasi guna mewujudkan tujuan organisasi.
1. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan misi
Berdasarkan pengertian, teknik perumusan, prosedur perumusan dan kriteria misi
sebagaimana diuraikan di atas, terdapat hal-hal yang perlu menjadi perhatian dalam
perumusan misi yaitu :
a) Pernyataan misi harus menunjukkan secara jelas mengenai apa yang hendak dicapai
oleh sekolah.
b) Rumusan misi selalu dalam bentuk kalimat yang menunjukkan tindakan dan
bukan kalimat yang menunjukkan keadaan sebagaimana pada rumusan visi.
c) Satu indikator visi dapat dirumuskan lebih dari satu rumusan misi. Antara indikator
visi dengan rumusan misi harus ada keterkaitan atau terdapat benang merahnya
secara jelas.
d) Misi menggambarkan tentang produk atau pelayanan yang akan diberikan pada
masyarakat (siswa)
e) Kualitas produk atau layanan yang ditawarkan harus memiliki daya saing yang
tinggi, namun disesuaikan dengan kondisi organisasi.
2. Kriteria Misi
Rumusan misi yang baik mempunyai kriteria (ciri-ciri) sebagai berikut :
a) Rumusannya sejalan dengan visi satuan organisasi/satuan kerja;
b) Rumusannya jelas dengan bahasa yang lugas;
c) Rumusannya menggambarkan pekerjaan atau fungsi yang harus dilaksanakan;
d) Dapat dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu;
e) Memungkinkan untuk perubahan/penyesuaian dengan perubahan visi.
Perencanaan Dan penerimaan Peserta Didik Baru
Dalam melakukan penyusunan agenda Perencanaan dan Penerimaan Peserta Didik Baru
(PPDB) yang merupakan langkah awal dari proses penerimaan peserta didik. Langkah
awal ini sangatlah penting, sebagai penentu kinerja sekolah pada masa yang akan datang.
Agar kita dapat membuat agenda PPDB yang lebih efektif kepala sekolah wajib
membaca dan memahami dokumen-dokumen yang berkaitan dengan PPDB, antara lain:
Petunjuk Teknis PPDB yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi/
Kabupaten/ Kota khususnya tentang langkah-langkah/ prosedur Penerimaan Peserta
Didik Baru (PPDB), yang biasanya mencakup:
1. Penyusunan rencana PPDB
2. Pembentukan panitia PPDB
3. Rapat kerja dan pembagian tugas
4. Proses pendaftaran
5. Proses Seleksi
6. Proses penentuan calon terpilih
7. Proses Daftar Ulang
Terkait PPDB harus dipahami pula ketentuan mengenai Masa Orientasi Peserta Didik
Baru Di Sekolah yang saat ini mengacu pada Permendikbud Nomor 55 Tahun 2014.
Berdasarkan Pasal 1 Permendikbud Nomor 55 Tahun 2014 dinyatakan bahwa Setiap
sekolah menyelenggarakan masa orientasi peserta didik bagi peserta didik baru selama
jam belajar di sekolah pada minggu pertama masuk sekolah selama 3 (tiga) sampai
dengan 5 (lima) hari.
Dalam Pasal 2 Permendikbud Nomor 55 Tahun 2014 dinyatakan bahwa Masa orientasi
peserta didik bertujuan untuk mengenalkan program sekolah, lingkungan sekolah, cara
belajar, penanaman konsep pengenalan diri peserta didik, dan kepramukaan sebagai
pembinaan awal ke arah terbentuknya kultur sekolah yang kondusif bagi proses
pembelajaran lebih lanjut sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Sedangkan pada pasal 3 Permendikbud Nomor 55 Tahun 2014 ditegaskan bahwa (1)
Sekolah dilarang melaksanakan masa orientasi peserta didik yang mengarah kepada
tindakan kekerasan, pelecehan dan/atau tindakan destruktif lainnya yang merugikan
peserta didik baru baik secara fisik maupun psikologis baik di dalam maupun di luar
sekolah. Serta, (2) Sekolah dilarang memungut biaya dan membebani orangtua dan
peserta didik dalam bentuk apapun.
Peraturan lain yang mendukung perencanaan program sekolah ini adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
pasal 51 menyatakan, bahwa satuan pendidikan harus membuat kebijakan tentang
perencanaan program dan pelaksanaannya secara transparan dan akuntabel. Kebijakan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada pasal 51, oleh satuan pendidikan anak usia
dini, satuan pendidikan dasar, dan satuan pendidikan menengah dituangkan dalam : 1).
rencana kerja tahunan satuan pendidikan; 2). anggaran pendapatan dan belanja tahunan
satuan pendidikan; dan 3). peraturan satuan atau program pendidikan.
Evaluasi Diri Sekolah dan Madrasah adalah EDS/M adalah proses Evaluasi Diri Sekolah
dan Madrasah yang bersifat internal untuk melihat kinerja sekolah berdasarkan SPM dan
SNP yang hasilnya dipakai sebagai dasar Penyusunan Rencana Kerja Sekolah/ Madrasah
dan sebagai masukan bagi perencanaan investasi pendidikan tingkat kab/kota.Proses
Evaluasi Diri Sekolah dan Madrasah merupakan siklus, yang dimulai dengan
pembentukan Tim Pengembang Sekolah (TPS), pelatihan penggunaan instrumen,
pelaksanaan EDS di sekolah dan penggunaan hasilnya sebagai dasar penyusunan
RPS/RKS dan RAPBS/RKAS. Sekolah melakukan proses EDS setiap tahun sekali.
EDS/M dilaksanakan oleh Tim Pengembang Sekolah (TPS) yang terdiri atas: Kepala
Sekolah, wakil unsur guru, wakil Komite Sekolah, wakil orang tua siswa, dan pengawas.
Proses EDS ini secara mendasar menjawab 3 (tiga) pertanyaan kunci di bawah ini, yaitu:
1. Seberapa baikkah kinerja sekolah kita? Hal ini terkait dengan posisi pencapaian kinerja
untuk masing-masing indikator SPM dan SNP.
2. Bagaimana kita dapat mengetahui kinerja sekolah? Hal ini terkait dengan bukti apa yang
dimiliki sekolah untuk menunjukkan pencapaiannya.
3. Bagaimana kita dapat meningkatkan kinerja? Dalam hal ini sekolah melaporkan dan
menindaklanjuti apa yang telah ditemukan sesuai pertanyaan di nomor 2 dan
nomor 3 sebelumnya.
EDS amat diperlukan oleh sekolah karena evaluasi ini adalah evaluasi internal yang
dilakukan oleh danuntuk sekolah sendiri guna mengetahui kekuatan dan kelemahannya
sendiri , semacam cermin muka yang dapat dipakai dalam melihat kekuatan dan
kelemahannya sendiri untuk selanjutnya dipakai dasar dalam upaya memperbaiki
kinerjanya.
Bentuk instrumen EDS/M terdiri dari 8 (delapan) standar nasional pendidikan yang
dijabarkan ke dalam 26 komponen dan 60 indikator. Setiap standar terdiri atas
sejumlah komponen yang mengacu pada masing-masing standar nasional pendidikan
sebagai dasar bagi sekolah dalam memperoleh informasi kinerjanya yang bersifat
kualitatif. Setiap komponen terdiri dari beberapa indikator yang memberikan gambaran
lebih menyeluruh dari komponen yang dimaksudkan.
Setiap instrument EDS harus dilengkapi bukti fisik EDS yang digunakan sebagai bahan
dasar untuk menggambarkan kondisi sekolah terkait dengan indikator yang dinilai.
Bukti fisik tersebut misalnya catatan kajian, hasil observasi, dan hasil
wawancara/konsultasi dengan pemangku kepentingan seperti komite sekolah, orangtua,
guru-guru, siswa, dan unsur lain yang terkait.
Tahap pengembangan EDS terdiri dari 4 tahap pengembangan, dengan acuan tahap
pengembangan 1 adalah tahap terendah yang merupakan tahap dimana anda belum
memenuhi satupun indikator yang telah dirinci. Tahap 2, adalah tahapan dimana anda
baru memenuhi sedikit dari indikator yang telah dirinci. Tahap 3 adalah tahapan
dimana anda sudah memenuhi sebagian atau sebagian besar dari indikator tersebut.
Sedangkan, tahap 4 adalah tahapan dimana anda telah memenuhi semua indikator untuk
menjadi orang tua yang baik :
Tahapan pengembangan bisa berbeda dalam indikator yang berbeda pula. Hal ini
penting sebab sekolah harus menilai kinerja apa adanya. Dalam pelaksanaan EDS/M
yang dilakukan setiap tahun, sekolah mempunyai dasar nyata indikator atau komponen
atau standar mana yang memerlukan perbaikan secara terus-menerus.
Perencanaan pada intinya merupakan upaya penentuan kemana sebuah organisasi akan
menuju di masa depan dan bagaimana sampai pada tujuan itu. Di dalam lingkungan
sekolah/ madrasah, sekolah diharuskan untuk membuat Rencana Kerja Jangka
Menengah (4 tahun) dan Rencana Kerja Tahunan. Oleh karena itu, Kepala
sekolah/madrasah adalah sosok kunci yang menentukan terwujudnya berbagai standar
pengelolaan satuan pendidikan, khususnya di bidang perencanaan dan pengambilan
berbagai keputusan strategis yang menjadi prasyarat keberhasilan pengembangan
sekolah.
a) Kepentingannya:
Relevansinya terhadap misi, visi, dan tujuan strategis sekolah.
Pentingnya pengembangan sekolah dalam kaitannya dengan semua faktor konteks.
b) Keterlaksanaan (Visibilitas):
Kemampuan sekolah yang ada sekarang untuk memberikan dukungan sumber
daya manusia, keahlian, energi, waktu dan dana untuk mewujudkannya.
c) Akseptabilitas :
Komitmen sekolah saat sekarang untuk mewujudkannya.
Secara umum pemilihan prioritas ditentukan oleh pentingnya satu kegiatan dan
dampaknya bagi peningkatan mutu dan kinerja; urgensinya , ketersediaan SDM dan
pelaksananya dan tersedianya waktu serta sumber daya dan dana pendukungnya.
RKS sebaiknya dibuat bersama secara partisipatif antara pihak sekolah (KS dan guru),
bersama dengan stakeholder (pihak yang berkepentingan lainnya), misalnya: Komite
sekolah, tokoh masyarakat, dan pihak lain yang peduli pendidikan di sekitar sekolah.
Dengan melibatkan mereka, sekolah telah menunjukkan sikap terbuka dan siap
bekerjasama. Hal tersebut akan meningkatkan rasa memiliki,serta dapat mengundang
simpati sehingga masyarakat akan merasa senang memberikan dukungan atau bantuan
yang diperlukan sekolah.
Pengertian MBS
Manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang
memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar kepada sekolah,
memberikan fleksibilitas/ keluwesan keluwesan kepada sekolah, dan
mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah,
karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan
sebagainya.), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut,
sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan-
keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat
atau stakeholder yang ada. (Catatan: MBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku).
Otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan
mengurus dirinya sendiri, kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok
ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara
terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah
(sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah swa, misalnya swasembada,
swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan
sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus
didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang
terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan
memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik,
kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan
persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi
dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Dengan otonomi yang lebih besar, sekolah memiliki kewenangan dan tanggungjawab
yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan
kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang,
tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi yang dimiliki. Dengan
fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan
demokratik, di mana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua
siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya.) didorong untuk terlibat
secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan,
pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu
pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan
(berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan
mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan
bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah.
Singkatnya: makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar
rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa
tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya.
Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus
mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan
partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat,
akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah
keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya
sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah.
Kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat,
hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama
bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kompak, cerdas dan
dinamis. Akuntabilitas sekolah adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga
sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan
secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembagakan
melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak asasi manusia serta
kewajibannya dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan sekolah telah diatur dalam suatu
kelembagaan yang disebut dengan Komite Sekolah. Secara resmi keberadaan Komite
Sekolah ditunjukkan melalui Surat Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam hal pembentukannya, Komite Sekolah
menganut prinsip transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi. Komite Sekolah diharapkan
menjadi mitra sekolah yang dapat mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa
masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di sekolah.
Tugas dan fungsi Komite Sekolah antara lain mendorong tumbuhnya perhatian dan
komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; mendorong
orangtua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan
mutu dan pemerataan pendidikan; dan menggalang dana masyarakat dalam rangka
pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
Selain itu, Komite Sekolah juga dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada
sekolah tentang kebijakan dan program pendidikan, rencana anggaran pendidikan dan
belanja sekolah. Pendeknya, Komite Sekolah diharapkan berperan sebagai pendukung,
pemberi pertimbangan, mediator dan pengontrol penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah
untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal
mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih
besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus
menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan
sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam
menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan-keluwesan
yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan
yang ada.
Dengan pengertian di atas, maka sekolah memiliki kemandirian lebih besar dalam
mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana
peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi
pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah,
dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan
dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan
unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit di atasnya (Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan
merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan
peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: sifat ketergantungan rendah;
kreatif dan inisiatf, adaptif dan antisipatif/proaktif terhadap perubahan; memiliki jiwa
kewirausahaan tinggi (inovatif, gigih, ulet, berani mengambil resiko, dan sebagainya);
bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap input
manajemen dan sumberdayanya; memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja;
komitmen yang tinggi pada dirinya; dan prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.
Selanjutnya, bagi sumberdaya manusia sekolah yang berdaya, pada umumnya, memiliki
ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggungjawab, pekerjaannya memiliki
kontribusi, dia tahu posisinya di mana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan
pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah:
pemberian kewenangan, pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna,
pemecahan masalah sekolah secara teamwork, variasi tugas, hasil kerja yang terukur,
kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada
pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah,
kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumberdaya
yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang
memiliki martabat tertinggi.
Tujuan MBS
MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan
tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-
prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas,
efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan.
Dengan MBS, sekolah diharapkan makin mampu dan berdaya dalam mengurus dan
mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada koridor-koridor kebijakan pendidikan
nasional. Perlu digarisbawahi bahwa pencapaian tujuan MBS harus dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (partisipasi, transparansi, akuntabilitas,
dan sebagainya)
Manajemen Berbasis Sekolah
Karakteristik MBS
Manajemen Berbasis Sekolah memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah
yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam
menerapkan MBS, maka sejumlah karakteristik MBS berikut perlu dimiliki. Berbicara
karakteristik MBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MBS
merupakan wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh karena itu,
karakteristik MBS berikut memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang
dikategorikan menjadi input, proses, dan output.
Dalam menguraikan karakteristik MBS, pendekatan sistem yaitu input-proses-
output digunakan untuk memandunya. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah
merupakan sistem sehingga penguraian karakteristik MBS (yang juga karakteristik
sekolah efektif) mendasarkan pada input, proses, dan output. Selanjutnya, uraian berikut
dimulai dari output dan diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan
tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah
dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.
b. Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai
berikut:
1) Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi
2) Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
3) Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib
4) Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang Efektif
5) Sekolah Memiliki Budaya Mutu
6) Sekolah Memiliki Teamwork yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
7) Sekolah Memiliki Kewenangan
8) Partisipasi yang Tinggi dari Warga Sekolah dan Masyarakat
9) Sekolah Memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen
10) Sekolah Memiliki Kemauan untuk Berubah (psikologis dan pisik)
11) Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
12) Sekolah Responsif dan Antisipatif terhadap Kebutuhan
13) Memiliki Komunikasi yang Baik
14) Sekolah Memiliki Akuntabilitas
15) Manajemen Lingkungan Hidup Sekolah Bagus
16) Sekolah memiliki Kemampuan Menjaga Sustainabilitas
c. Input Pendidikan
1) Memiliki Kebijakan, Tujuan, dan Sasaran Mutu yang Jelas
2) Sumberdaya Tersedia dan Siap
3) Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
4) Memiliki Harapan Prestasi yang Tinggi
5) Fokus pada Pelanggan (Khususnya Siswa)
6) Input Manajemen
Pelaksanaan MBS
Esensi MBS adalah peningkatan otonomi sekolah, peningkatan partisipasi warga sekolah
dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan peningkatan fleksibilitas
pengelolaan sumberdaya sekolah. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan
MBS sudah sepantasnya menerapkan pendekatan idiograpik (membolehkan adanya
keberbagaian cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi menggunakan pendekatan
nomotetik (cara melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformitas untuk
semua sekolah). Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya, tidak ada satu resep
pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah. Tetapi satu hal yang
perlu diperhatikan bahwa mengubah pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi
manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya
(one-shot and quick-fix), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus
menerus dan melibatkan semua pihak yang berwenang dan bertanggungjawab dalam
penyelenggaraan sekolah. Paling tidak, proses menuju MBS memerlukan perubahan
empat hal pokok berikut:
Pertama, perlu penyempurnaan peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan, dan kebijakan-
kebijakan bidang pendidikan yang ada di daerah saat ini yang masih mendudukkan
sekolah sebagai subordinasi birokrasi dinas pendidikan dan kedudukan sekolah bersifat
marginal, menjadi sekolah yang bersifat otonom dan mendudukkannya sebagai unit
utama.
Kedua, kebiasaan (routines) berperilaku warga (unsur-unsur) sekolah perlu disesuaikan
karena MBS menuntut kebiasaan-kebiasaan berperilaku baru yang mandiri, kreatif,
proaktif, sinergis, koordinatif/kooperatif, integratif, sinkron, luwes, dan professional.
Ketiga, peran sekolah yang selama ini biasa diatur (mengikuti apa yang diputuskan oleh
birokrat diatasnya) perlu disesuaikan menjadi sekolah yang bermotivasi-diri tinggi (self-
motivator). Perubahan peran ini merupakan konsekuensi dari perubahan peraturan
perundang-undangan bidang pendidikan, baik undang-undang, peraturan pemerintah,
peraturan presiden,dan peraturan menteri.
Keempat, hubungan antar warga (unsur-unsur) dalam sekolah, antara sekolah dengan
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi perlu diperbaiki atas
dasar jiwa otonomi. Karena itu struktur organisasi pendidikan yang ada saat ini perlu
ditata kembali dan kemudian dianalisis hubungan antar unsur/pihak untuk menentukan
sifat hubungan (direktif, koordinatif atau fasilitatif).
Konsep Partisipasi
Salah satu alasan penerapan MBS adalah untuk membuat kebijakan/keputusan sekolah
lebih dekat dengan stakeholders sehingga hasilnya benar-benar mencerminkan
aspirasi stakeholders. Untuk itu, MBS mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari semua
pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah (stakeholders), baik
warga sekolah seperti guru, kepala sekolah, siswa, dan tenaga-tenaga kependidikan
lainnya, maupun warga di luar sekolah seperti orang tua siswa, akademisi, tokoh
masyarakat, dan pihak-pihak lain yang mewakili masyarakat yang diwadahi melalui
komite sekolah. Saat ini, Komite Sekolah merupakan wadah formal
bagi stakeholders untuk berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam
penyelenggaraan sekolah.
Peningkatan partisipasi dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi,
makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa
tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula tingkat
dedikasi/kontribusinya terhadap sekolah. Inilah pentingnya partisipasi bagi sekolah.
Arti Partisipasi
Partisipasi adalah proses di mana stakeholders (warga sekolah dan masyarakat) terlibat
aktif baik secara individual maupun kolektif, secara langsung maupun tidak langsung,
dalam pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan/ pengevaluasian pendidikan sekolah. Diharapkan, partisipasi dapat
mendorong warga sekolah dan masyarakat sekitar untuk menggunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/pengevaluasian yang menyangkut kepentingan
sekolah, baik secara individual maupun kolektif, secara langsung maupun tidak langsung.
Pergeseran lokus kebijakan dari pemerintah pusat dan dari dinas pendidikan ke sekolah
diharapkan proses pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan/ pengevaluasian pendidikan lebih partisipatif dan benar-
benar mengabdi kepada kepentingan publik dan bukan pada kepentingan elite birokrasi
dan politik. Dengan partisipasi aktif diharapkan mampu menjadikan
aspirasi stakeholders sebagai panglima karena dengan MBS diharapkan mampu
mengalirkan kekuasaan dari pemerintah pusat dan dinas pendidikan ke tangan para
pengelola sekolah, yang sebenarnya sangat strategis karena pada level inilah keputusan
dapat memperbaiki mutu pendidikan.
Tujuan Partisipasi
Tujuan utama peningkatan partisipasi adalah untuk: (1) meningkatkan dedikasi/
kontribusi stakeholders terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, baik dalam
bentuk jasa (pemikiran/intelektualitas, keterampilan), moral, finansial, dan
material/barang; (2) memberdayakan kemampuan yang ada pada stakeholders bagi
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; (3) meningkatkan
peran stakeholders dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, baik sebagai advisor,
supporter, mediator, controller, resource linker, and education provider, dan (4)
menjamin agar setiap keputusan dan kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan
aspirasi stakeholders dan menjadikan aspirasi stakeholders sebagai panglima bagi
penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Konsep Transparansi
Sekolah adalah organisasi pelayanan yang diberi mandat oleh publik untuk
menyelenggarakan pendidikan sebaik-baiknya. Mengingat sekolah adalah organisasi
pelayanan publik, maka sekolah harus transparan kepada publik mengenai proses dan
hasil pendidikan yang dicapai. Transparansi dicapai melalui kemudahan dan kebebasan
publik untuk memperoleh informasi dari sekolah. Bagi publik, transparansi bukan lagi
merupakan kebutuhan tetapi hak yang harus diberikan oleh sekolah sebagai organisasi
pelayanan pendidikan.
Hak publik atas informasi yang harus diberikan oleh sekolah antara lain: hak untuk
mengetahui, hak untuk menghadiri pertemuan sekolah, hak untuk mendapatkan salinan
informasi, hak untuk diinformasikan tanpa harus ada permintaan, dan hak untuk
menyebarluaskan informasi. Oleh karena itu, sekolah harus memberikan jaminan kepada
publik terhadap akses informasi sekolah atau kebebasan memperoleh informasi sekolah.
Kebebasan memperoleh informasi sekolah dapat dicapai jika dokumentasi informasi
sekolah tersedia secara mutakhir, baik kualitas maupun kuantitas
Pengembangan transparansi sangat diperlukan untuk membangun keyakinan dan
kepercayaan publik kepada sekolah. Dengan transparansi yang tinggi, publik tidak lagi
curiga terhadap sekolah dan karenanya keyakinan dan kepercayaan publik terhadap
sekolah juga tinggi. .
Arti Transparansi
Transparansi sekolah adalah keadaan di mana setiap orang yang terkait dengan
kepentingan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan keputusan dan
kebijakan sekolah. Dalam konteks pendidikan, istilah transparansi sangatlah jelas yaitu
kepolosan, apa adanya, tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka terhadap publik
tentang apa yang dikerjakan oleh sekolah. Ini berarti bahwa sekolah harus memberikan
informasi yang benar kepada publik. Transparansi menjamin bahwa data sekolah yang
dilaporkan mencerminkan realitas. Jika terdapat perubahan pada status data dalam
laporan suatu sekolah, transparansi penuh menyaratkan bahwa perubahan itu harus
diungkapkan secara sebenarnya dan dengan segera kepada semua pihak yang
terkait (stakeholders).
Tujuan Transparansi
Pengembangan transparansi ditujukan untuk membangun kepercayaan dan keyakinan
publik kepada sekolah bahwa sekolah adalah organisasi pelayanan pendidikan yang
bersih dan berwibawa. Bersih dalam arti tidak KKN dan berwibawa dalam arti
profesional. Transparansi bertujuan untuk menciptakan kepercayaan timbal balik antara
sekolah dan publik melalui penyediaan informasi yang memadai dan menjamin
kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat.
Upaya-Upaya Peningkatan Transparansi
Transparansi sekolah perlu ditingkatkan agar publik memahami situasi sekolah dan
dengan demikian mempermudah publik untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam kerangka meningkatkan
transparansi sekolah kepada publik antara lain melalui pendayagunaan berbagai jalur
komunikasi, baik secara langsung melalui temu wicara, maupun secara tidak langsung
melalui jalur media tertulis (brosur, leaflet, newsletter, pengumuman melalui surat kabar)
maupun media elektronik (radio dan televisi lokal).
Upaya lain yang perlu dilakukan oleh sekolah dalam meningkatkan transparansi adalah
menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi, bentuk informasi
yang dapat diakses oleh publik ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia,
bagaimana cara mendapatkan informasi, durasi waktu untuk mendapatkan informasi, dan
prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada publik.
Sekolah perlu mengupayakan peraturan yang menjamin hak publik untuk mendapatkan
informasi sekolah, fasilitas database, sarana informasi dan komunikasi, dan petunjuk
penyebarluasan produk-produk dan informasi yang ada di sekolah maupun prosedur
pengaduan.
Indikator Keberhasilan Transparansi
Keberhasilan transparansi sekolah ditunjukkan oleh beberapa indikator berikut: (a)
meningkatnya keyakinan dan kepercayaan publik kepada sekolah bahwa sekolah adalah
bersih dan wibawa, (2) meningkatnya partisipasi publik terhadap penyelenggaraan
sekolah, (3) bertambahnya wawasan dan pengetahuan publik terhadap penyelenggaraan
sekolah, dan (4) berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku di sekolah.
Konsep Akuntabilitas
MBS memberi kewenangan yang lebih besar kepada penyelenggara sekolah yaitu
kewenangan untuk mengatur dan mengurus sekolah, mengambil keputusan, mengelola,
memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak sewenang-
wenang dalam menyelenggarakan sekolah, maka sekolah harus bertanggungjawab
terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu, sekolah berkewajiban
mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan sebagai
konsekwensi dari mandat yang diberikan oleh publik/ masyarakat. Ini berarti,
akuntabilitas publik akan menyangkut hak publik untuk memperoleh
pertanggungjawaban penyelenggara sekolah. Publik sebagai pemberi mandat dapat
memberi penilaian terhadap penyelenggara sekolah apakah pelaksanaan mandat
dilakukan secara memuaskan atau tidak. Dalam kaitannya dengan akuntabilitas, publik
mempunyai hak untuk memberikan masukan, hak diinformasikan, hak untuk komplain,
dan hak untuk menilai kinerja sekolah.
Arti Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk
menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan penyelenggara organisasi kepada pihak
yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau
pertanggjawaban. Pertanggung jawaban penyelenggara sekolah merupakan akumulasi
dari keseluruhan pelaksanaan tugas-tugas pokok dan fungsi sekolah yang perlu
disampaikan kepada publik/stakeholders. Akuntabilitas kinerja sekolah adalah
perwujudan kewajiban sekolah untuk mempertanggungjawabkankeberhasilan/kegagalan
pelaksanaan rencana sekolah dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan
melalui alat pertanggungjawaban secara periodik.
Akuntabilitas meliputi pertanggungjawaban penyelenggara sekolah yang diwujudkan
melalui transparansi dengan cara menyebarluaskan informasi dalam hal: (a) pembuatan
dan pelaksanaan kebijakan serta perencanaan, (b) anggaran pendapatan dan belanja
sekolah, (c) pengelolaan sumberdaya pendidikan di sekolah, dan (d) keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan rencana sekolah dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan.
Menurut jenisnya, akuntabilitas dapat dikategorikan menjadi 4: (1) akuntabilitas
kebijakan, yaitu akuntabilitas pilihan atas kebijakan yang akan dilaksanakan, (2)
akuntabilitas kinerja (product/quality accountability), yaitu akuntabilitas yang
berhubungan dengan pencapaian tujuan sekolah, (3) akuntabilitas proses, yaitu
akuntabilitas yang berhubungan dengan proses, prosedur, aturan main, ketentuan,
pedoman, dan sebagainya., dan (4) akuntabilitas keuangan (kejujuran) atau sering
disebut (financial accountability), yaitu akuntabilitas yang berhubungan dengan
pendapatan dan pengeluaran uang (cash in and cash out). Sering kali istilah cost
accountability juga digunakan untuk kategori akuntabilitas ini.
Tujuan Akuntabilitas
Tujuan utama akuntabilitas adalah untuk mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja
sekolah sebagai salah satu prasyarat untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya.
Penyelenggara sekolah harus memahami bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan
hasil kerja kepada publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah untuk menilai kinerja
sekolah dan kepuasan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh
sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan, dan
untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan kepada publik.
Untuk mengukur kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas.
Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil evaluasi harus dipublikasikan dan apabila
terdapat kesalahan harus diberi sanksi. Sekolah dikatakan memiliki akuntabilitas tinggi
jika proses dan hasil kinerja sekolah dianggap benar dan sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan sebelumnya.
Keberhasilan akuntabilitas dapat diukur dengan beberapa indikator berikut, yaitu: (a)
meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah, (b) tumbuhnya
kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap penyelenggaraan pendidikan di
sekolah, (c) berkurangnya kasus-kasus KKN di sekolah, dan (d) meningkatnya
kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di
masyarakat.
I. TENAGA ADMINISTRASI SEKOLAH
Permendiknas Nomor 24 Tahun 2008 berisi Standar Kompetensi Tenaga
Administrasi Sekolah, isinya meliputi Kompetensi Pribadi, Kompetensi Sosial,
Kompetensi Teknis Administrasi Sekolah, dan Kompetensi Manajerial Tenaga
Administrasi Sekolah.
Kompetensi kepribadian tenaga administrasi sekolah meliputi: integritas dan
ahlak mulia, etos kerja, pengendalian diri, percaya diri, fleksibilitas, ketelitian, disiplin,
kreatifitas dan inovasi, serta tanggung jawab.
Kompetensi sosial tenaga administrasi sekolah meliputi kegiatan: membangun
kerjasama Tim, mengutamakan pelayanan prima, kesadaran berorganisasi,
membangun komunikasi efektif, dan membangun hubungan kerja antar tenaga
administrasi sekolah.
Kompetensi teknis administrasi sekolah meliputi administrasi: Kepegawaian;
Keuangan Sekolah, Sarana Prasarana Sekolah, Humas, Persuratan dan Pengarsipan,
Kesiswaan, Kurikulum, Layanan Khusus; dan Penggunaan ICT (Teknologi Informasi
dan Komunikasi) untuk kelancaran administrasi sekolah.
Sedangkan kompetensi manajerial tenaga administrasi sekolah meliputi:
dukungan pada pengelolaan SNP/EDS; menyusun program dan laporan kerja
sekolah, mengorganisir staf, mengembangkan staf, mengambilan keputusan,
menciptakan iklim kerja yang kondusif, mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya,
mengelola konflik, merencanakan kegiatan administrasi sekolah, dan menyusun laporan
kinerja sekolah.
Mengingat :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara
Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004
mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia bersatu sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 31/P Tahun 2007;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR
TENAGAADMINISTRASI SEKOLAH/ MADRASAH
Pasal 1
1. Standar tenaga administrasi sekolah/madrasah mencakup kepala tenaga
administrasi, pelaksana urusan, dan petugas layanan khusus sekolah/madrasah.
2. Untuk dapat diangkat sebagai tenaga administrasi sekolah/madrasah, seseorang
wajib memenuhi standar tenaga administrasi sekolah/madrasah yang berlaku
secara nasional.
3. Standar tenaga administrasi sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum pada Lampiran Peraturatn Menteri ini.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 11 Juni 2008
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 24
TAHUN 2008 TANGGAL 11 JUNI 2008 STANDAR TENAGA ADMINISTRASI
SEKOLAH/ MADRASAH
A. KUALIFIKASI
Tenaga administrasi sekolah/madrasah terdiri atas kepala tenaga administrasi
sekolah/madrasah, pelaksana urusan, dan petugas layanan khusus.
Dalam dua dasawarsa terakhir ini, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
mengalami perkembangan yang amat pesat dan secara fundamental telah membawa
perubahan yang signifikan dalam percepatan dan inovasi penyelenggaraan pendidikan
di berbagai negara. Bahkan terdapat tekanan TIK yang sangat besar terhadap sistem
pendidikan secara global karena: (i) teknologi yang berkembang menyediakan
kesempatan yang sangat besar untuk mengembangkan manajemen pendidikan dan proses
pembelajaran di sekolah, (ii) hasil belajar siswa yang spesifik dapat diidentifikasi dengan
pemanfaatan teknologi baru tersebut, dan (iii) TIK memiliki potensi yang sangat besar
untuk mentransformasikan seluruh aspek di dalam pendidikan di sekolah dan
memanfaatkan
A. Pengertian TIK
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) mencakup dua aspek, yaitu Teknologi
Informasi dan Teknologi Komunikasi. Teknologi Informasi meliputi segala hal yang
berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan
informasi. Teknologi komunikasi mencakup segala hal yang berkaitan dengan
penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentrasfer data dari perangkat yang satu
ke lainnya. Karena itu, penguasaan TIK berarti kemampuan memahami dan
menggunakan alat TIK secara umum termasuk komputer ( Computer literate) dan
memahami informasi ( Information literate ).
Fase kedua (akhir 1980an awal 1990an) adalah fase computer based training (CBT)
with multimedia (latihan berbasis komputer dengan multimedia). Fase ini adalah era
keemasan CD-ROM dan komputer multimedia. Penggunaan CD-ROM dan komputer
multimedia ini diharapkan memberikan dampak signifikan terhadap proses
pembelajaran, karena kemampuannya menyajikan kombinasi teks, gambar, animasi,
dan video. Konsep pedagogis yang mendasari kombinasi kemampuan ini adalah
bahwa manusia memiliki perbedaan. Sebagian bias belajar dengan baik kalau
mempergunakan indra penglihatan, seperti menonton filem/animasi, sebagian lainnya
mungkin lebih baik kalau mendengarkan atau membaca.
Fase ketiga (awal 1990an) adalah fase Internet-based training (IBT) (latihan berbasis
internet. Pada fase ini, internet digunakan sebagai media pembelajaran. Hanya saja,
pada saat itu, masih terbatas pada penyajian teks dan gambar. Penggunaan animasi,
video dan audio masih sebatas ujicoba, sehingga dirasakan pemanfaatannya belum
maksimal untuk dapat menfasilitasi pembelajaran.
Fase keempat (akhir 1990an awal 2000an) adalah fase e-learning yang merupakan
fase kematangan pembelajaran berbasis internet. Sejak itu situs web yang
menawarkan e-learning semakin bertambah, baik berupa tawaran kursus dalam bentuk e-
learning maupun paket LMS (learning management system ). Bahkan saat ini sudah
cukup banyak paket seperti itu ditawarkan secara gratis dalam bentuk open source.
Konsep pedagogik yang mendasari adalah bahwa pembelajaran membutuhkan interaksi
sosial antara siswa dan siswa dan antara siswa dan guru. Dengan perangkat lunak LMS,
siswa dapat bertanya kepada temannya atau kepada guru apabila dia tidak memahami
materi yang telah dibacanya.
Fase kelima (akhir 2000) adalah fase social software + free and open content. Fase ini
ditandai dengan banyaknya bermunculan perangkat lunak pembelajaran dan konten
pembelajaran gratis yang mudah diakses baik oleh guru maupun siswa, yang
selanjutnya dapat diedit dan dimanipulasi sesuai dengan kebutuhan. Konsep
pedagogik yang mendasari fase ini adalah teori kontstruktivis sosial. Dalam konteks ini,
pembelajaran melalui komputer terjadi tidak hanya menerima materi dari internet saja
misalnya, tapi dimungkinkan dengan membagi gagasan dan pendapat.
1. Tahap pertama meliputi (a) merancang sistem jaringan yang mencakup jaringan internet,
yang menghubungkan sekolah-sekolah dengan pusat data dan aplikasi, serta jaringan
internet sebagai sarana dan media komunikasi dan informasi di sekolah, (b) merancang
dan membuat aplikasi database, (c) merancang dan membuat aplikasi manajemen untuk
pengelolaan pendidikan di pusat, daerah, dan sekolah, dan (d) merancang dan membuat
aplikasi pembelajaran berbasis web, multimedia, dan interaktif.
Pendekatan Emerging dicirikan dengan pemanfaatan TIK oleh sekolah pada tahap
permulaan. Pada pendekatan ini, sekolah baru memulai membeli atau membiayai
infrastruktur TIK, baik berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Kemampuan
TIK guru-guru dan staf administrasi sekolah masih berada pada tahap memulai
eksplorasi penggunaan TIK untuk tujuan manajemen dan menambahkan TIK pada
kurikulum. Pada tahap ini sekolah masih menerapkan sistem pembelajaran
konvensional, akan tetapi sudah ada kepedulian tentang bagaimana pentingnya
penggunaan TIK tersebut dalam konteks pendidikan.
Dalam konteks belajar mengajar dan kaitannya dengan keempat pendekatan yang
disebutkan sebelumnya, terdapat pula 4 tahap yang berkaitan dengan bagaimana guru
dan peserta didik mempelajari dan menemukan percaya diri mereka dalam
menggunakan TIK. Keempat tahap tersebut adalah menemukan/mengenali
(discovering), belajar bagaimana (learning how ), mengerti bagaimana dan kapan
(understanding how and when), dan menjadi ahli (specializing) dalam penggunaan
perangkat TIK.
Konsep perencanaan pada unit produksi dan jasa sebagai sumber belajar perlu disusun
perencanaan pembelajaran yang mengacu pada visi, misi, dan tujuan unit produksi
dan jasa sekolah yang akan dibentuk. Visi akan dijadikan cita-cita bersama warga
sekolah dan segenap pihak, mampu memberikan inspirasi, motivasi, dan kekuatan
pada warga sekolah dan segenap pihak yang berkepentingan, serta ditinjau dan
dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan dan tantangan di
masyarakat.
Misi memberikan arah dalam mewujudkan visi unit produksi dan jasa sekolah sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional, merupakan tujuan yang akan dicapai dalam kurun
waktu tertentu, serta dirumuskan berdasarkan masukan dari semua pihak. Sedangkan
tujuan pengelolaan unit produksi dan jasa sekolah merupakan gambaran tingkat mutu
yang perlu dicapai dalam jangka menengah (empat tahunan).Faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam menyiapkan rencana unit produksi dan jasa sekolah antara lain :
(1) pelajari pasar anda (membaca peluang bisnis), (2) teliti perilaku pasar di masa
datang, (3) memilih lokasi usaha, (4) mempersiapkan rencana usaha, (5)
mempersiapkan rencana organisasi, (6) mempersiapkan rencana keuangan, (7) studi
kelayakan usaha bisnis, (8) cara memilih bentuk usaha, (9) serta cara memulai unit
produksi dan jasa sekolah.
Beberapa petunjuk dalam merencanakan unit produksi dan jasa sekolah, antara lain:
1) Temukan ide untuk memulai bisnis pada unit produksi sekolah antara lain melalui:
(a) menginventarisir hobi/ minat siswa/ guru yang relevan dengan usaha yang akan
dikembangkan,
(b) menginventarisasi kompetensi dan pengalaman yang dimiliki siswa/ guru yang dapat
dikembangkan menjadi kegiatan usaha,
(c) lakukan survey ke sekolah dan lingkungan tertentu untuk menemukan kebutuhan yang
mendesak dalam lingkungan tersebut,
(d) menginventarisir keluhan-keluhan siswa atau orang-orang yang mengkonsumsi produk
tertentu melalui penugasan guru dan siswa,
(e) melakukan curah gagasan/ brainstorming dengan siswa, guru, maupun stakeholders
sebagai upaya merancang gagasan yang tepat dalam menentukan bentuk usaha dan cara
pengelolaannya.
2) Setelah ditemukan ide untuk memulai bisnis, maka perlu dilakukan pembahasan oleh tim
di sekolah untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut: dimana posisi kita sekarang, ke
mana kita akan menjalankan usaha unit produksi dan jasa sekolah, dan bagaimana kita
mencapai usaha seperti yang diharapkan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka
dilakukan analisis SWOT untuk melihat peluang usaha di sekolah.
Untuk lebih memantapkan perencanaan unit produksi, maka dalam pembentukannya
perlu diawali juga dengan langkah-langkah Rencana Bisnis (Bisnis Plan). Sistematika
Rencana Bisnis meliputi :
(a) ringkasan eksekutif,
(b) pernyataan visi,
(c) analisis lingkungan bisnis,
(d) gambaran produksi/jasa,
(e) analisis persaingan,
(f) strategi harga,
(g) gambaran kebijakan kredit usaha,
(h) gambaran keunggulan kompetitif unit produksi dan jasa sekolah,
(i) gambaran metode segmentasi pasar yang digunakan,
(j) gambaran lokasi,
(k) gambaran rencana promosi,
(l) identifikasi manajemen dan personil,
(m) pertimbangan adanya badan hukum,
(n) identifikasi persyaratan asuransi,
(o) identifikasi pemasok,
(p) dan identifikasi resiko yang tidak dapat diramalkan.