Anda di halaman 1dari 10

A.

Definisi Kolaborasi

Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk

menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Sekian

banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang beragam, namun didasari prinsip

yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggung

jawab dan tanggung gugat.. America Nurse Association (ANA) mendefinisikan

kolaborasi sebagai hubungan timbal balik dimana (pemberi pelayanan) memegang

tanggung jawab paling besar untuk perawatan pasien dalam kerangka bidang perspektif

mereka.

Partnership kolaborasi merupakan usaha yang baik sebab mereka menghasilkan

outcome yang lebih baik bagi pasien dalam mencapai upaya penyembuhan dan

memperbaiki kualitas hidup.

Dalam konsep home care kolaborasi memegang peranan yang sangat penting.

Tiap tenaga kesehatan yang terlibat dlam pelayanan kesehatan harus saling memahami

tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing sehingga fokus utama home care yaitu

kemandirian pasien dan keluarganya dapat terapai.

B. Hubungan Perawat-Pasien

Hubungan antara perawat dan pasien merupakan hubungan yang berlandaskan

atas asas kepercayaan dari pasien terhadap perawat yang dikenal dengan istilah transaksi

terapeutik. Dalam konsep home care, sangat penting untuk membedakan peikatan yang

timbul antara perawat pasien. Dalam transaksi terapeutik ini yang menjadi objek adalah

upaya penyembuhan atau yang dikenal dengan inspanning verbintennis.


Dahulu kala, hubungan antara perawat dan pasien dikenal dengan hubungan

vertikal paternalistik. Dalam hubungan ini, kedudukan pasien dan perawat tidak

sederajat. Perawat dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan

dengan penyakit dan penyembuhan. Sedangkan, pasien tidak tahu apa-apa, sehigga

menyerahkan sepenuhnya di tangan perawat. Pola hubungan ini melahirkan dampak

positif maupun negative. Dampak positif dari hubungan paternalistik ini sangat

membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya, dapat juga

timbul dampak negative, jika tindakan perawat yang berupa langkah-langkah dalam

mengupayakan penyembuhan pasien merupakan tindakan-tindakan yang membatasi

otonomi pasien.

Beberapa pakar dalam hokum kesehatan(teori Solis, teori Szasz dan Hollender),

mengemukakan tiga hubungan tenaga kesehatan dan pasien, yaitu :

1. Activity-Passivity Relation (Pola hubungan aktif-pasif)

Secara social, hubungan ini bukanlah hubungan yang sempurna karena hubungan

ini berdasarkan atas kegiatan seseorang (perawat) terhadap orangl lain (pasien)

sedemikian rupa sehingga pasien itu tidak dapat melakukan fungsi dan peran secara

aktif. Dalam keadaan tertentu , memang pasien tidak dapat berbuat sesuatu, hanya

berlaku sebagai recipient atau penerima belaka, seperti pada waktu pasien diberi

anestesi atau ketika pasien dalam keadaan tidak sadar/koma, dan pada waktu pasien

diberi pertolongan darurat karena mengalami kecelakaan.

2. Guidance-Cooperation Relation (Pola hubungan membimbing dan bekerja sama)

Pola dasar ini dtemuka pada sebagian hubungan pasien dengan perawat yaitu pada

keadaan penyakit pasien yang tidak terlalu berat. Walaupun pasien sakit, ia tetap
sadar dan memiliki perasaan dan kemauan sendiri. Karena pasien tersebut menderita

penyakit dan disertai kecemasan dan berbagai perasaan tidak enak, ia mencari

pertolongan untuk dapat menyembuhkan penyakit dan bersedia bekerja sama dengan

orang yang dapat menyembuhkannya. Demikian pula seorang perawat, yang

mempunyai pengetahuan diatas pasiennya. Namun ia tidak semata-mata menjalankan

kekuasaannya, namun mengharapkan dapat bekerja sama dengan pasien.

3. Mutual Participation Relation (Pola hubungan saling berperan serta)

Secara filosofis, pola ini berdasarkan pada pendapat bahwa semua manusia

memiliki hak dan martabat yang sama. Hubungan ini lebih berdasar pada struktur

social yang demokratis.

Secara psikologis, pola hubungan berperan serta saling bergantungan

berlandaskan proses identifikasi atau pengenalan yang amat kompleks. Kedua pihak

ini harus terbuka satu sama lain dan memandang pihak lawan sebagai diri sendiri,

agar dapat bersama-sama mempertahankan hubungan yang serasi dan sederajat.

Dalam hubungan ini, kedua belah pihak memiliki kekuasaan yang hamper sama dan

saling membutuhkan. Kegiatan bersama itu harus menimbulkan kepuasan bersama.

Jika ketiga hal tersebut terdapat dalam suatu hubungan, berarti hubungan tersebut

merupakan hubungan yang berpola saling berperan serta.

C. Hubungan Perawat-Dokter

Selama menjalakan proses hubungan terapeutik terhadap pasien, maka akan

timbul hubungan perawat dan dokter. Hubungan antara perawat dan dokter penting dalam

meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Hubungan professional antara perawat dan


dokter yang sesuai dengan kewenangan profesi masing-masing, akan bermanfaat juga

dalam proses tindakan medis dan mengantisipasi terjadinya kekeliruan selama

menjalankan proses tersebut.

Hubungan antara perawat dan dokter selama menjalankan proses terapi

dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu persepsi dokter dalam memahami profesi perawat,

kebijaksanaan institusi tempat pelayanan kesehatan, dan karakter individu masing-masing

profesi. Hubungan yang harmonis yang didasari semangat professional akan

meningkatkan hasil pelayanan kepada pasien. Hasil yang sebaliknya, pasien tidak

mendapatkan pelayanan yang maksimal apabila interaksi professional antara perawat dan

dokter kurang harmonis baik dari segi profesionalitas pekerjaan maupun dalam segi

hubungan perilaku individual.

D. Konsep Kolaborasi

National Joint Practice Commision (NJPC), menggambarkan kolaborasi perawat-

dokter dalam tiga pola berikut ini :

Dokter

Registered Nurse

Pemberi Pelayanan Lain

Pasien
Gambar 4.1 Model Praktik Hirarkis Tipe I

Dokter

Registered Nurse Pemberi Pelayanan


Lain

Pasien

Gambar 4.2 Model Praktik Kolaboratif Tipe II

Dokter Registered Nurse

Pasien

Pemberi Pelayanan Lain

Gambar 4.3 Model Praktik Kolaborasi Tipe III

Praktik kolaborasi menggantikan pendekatan pengelompokan hirarki yang mendorong

interaksi antara sesame anggota. Gambar 4.1 sampai 4.3 membandingkan tiga buah model, satu

gambar berbentuk hirarkis dan dua gambar berbentuk kolaborasi. Pola pertama merupakan
model hirarkis, menekankan komunikasi satu arah, kontak terbatas antara pasien dan dokter, dan

dokter merupakan tokoh yang dominan. Pola kedua merupakan model praktik kolaborasi yang

menekankan komunikasi dua arah, tapi tetap menempatkan dokter pada posisi utama dan

membatasi hubungan antara dokter dan pasien. Model ketiga agak merubah pola tersebut. Pola

ini lebih berpusat pada pasien, dan emua pemberi pelayanan harus saling bekerja sama, juga

dengan pasien. Model ini tetap melingkar, menekan kontinuitas, kondisi timbal balik satu dengan

yang lain da taka da satu pemberi pelayanan yang mendoinasi secara terus menerus. Kolaborasi

yang dilakukan dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya seperti pada gambar 4.3 semua

berorientasi kepada pasien.

Dari penjabaran sifat kolaborasi dapat disimpulkan bahwa kolaborai dapat dianalisis melalui

empat buah indikator : (1) kontrol-kekuasaan, (2) lingkup praktik, (3) kepentingan bersama, (4)

tujuan bersama,

1. Kontrol-Kekuasaan

Berbagi kekuasaan atau control kekuasaan bersama dapat dibina apabila baik dokter

maupun perawat terdapat kesempatan sama untuk mendiskusikan pasien tertentu

Beberapa peneliti telah mengembangkan instrument penelitian untuk mengukur kontrol-

kekuasaan pada interaksi perawat-dokter. Feiger dan Schmitt pada tahun 1979

mengembangkan model mengukur komunikasi perawat-dokter untuk menentukan tingkat

kontrol kekuasaan melalui 12 kategori proses berikut ini :

1) Menanyakan informasi

2) Memberikan informasi

3) Menanyakan pendapat

4) Memberikan pendapat
5) Mengemukakan usul

6) Memberikan pengarahan/perintah

7) Pengambilan keputusa

8) Memberi pendidikan

9) Memberi dukungan/persetujuan

10) Menanyakan tidak setuju/tidak sependapat

11) Orietasi

12) Humor

Kecuali instrument, Jones juga meneliti jangka waktu rata-rata pertukaran

komunikasi antara perawat dengan dokter untuk tiga jenis komunikasi yaitu

komunikasi saat mengadakan pemeriksaan keliling, komunikasi saat tatap muka, dan

komunikasi melalui telpon.

2. Lingkup Praktik

Lingkungan praktik menunjukkan kegiatan dan tanggung jawab masig-masing pihak.

Meskipun perawat dan dokter memiliki bidang praktik yang terpisah sesuai dengan

peraturan praktik perawat dan dokter, tapi ada tugas-tugas tertentu yang dibina bersama.

Weis dan Davis pada tahun 1993 telah mengembangkan suatu instrument yang disebut

Health Role Expectation Index yang mengukur persepsi kolaborasi hubungan antara

perawat, dokter, dan pasien. Sarana yang terdiri dari 16 pokok tersebut dibentuk dari

skala likert 5 hal yang membentuk 4 skala terpisah :

1) Tanggung jawab dokter

2) Tanggung jawab perawat

3) Tanggung jawab pemakai


4) Egalitarianisme.

Semakin tinggi skore total semakin besar kemungkinan pelaksanaan tanggung

jawab bersama antara para anggota perawatan kesehatan. Weiss dan David

mengusulkan agar instrument tersebut digunakan untuk 1) menilai kecenderungan

seeorang untuk berkolaborasi, 2) menentukan kesesuaian antara harapan para pemberi

perawatan kesehatan dan pasien yang mereka layani, 3) mengevaluasi perubahan

sikap dan ketepatan waktu tertentu.

3. Kepentingan Bersama

Para teoris ini menjabarkan kepentingan bersama secara operasional menggunakan

istilah tingkat ketegasan masing-masing (usaha untuk memuaskan sendiri) dan faktor

kerja sama (usaha untuk memuaskan kepentingan pihak lain). Thomas dan Kilmann pada

tahun 1974 telah merancang model untuk mengukur pola managemen penanganan

konflik, yaitu :

1) Bersaing

2) Berkolaborasi

3) Berkompromi

4) Menghindar

5) Mengakomodasi

4. Tujuan Bersama

Tujuan manajemen penyembuhan sifatnya lebih terorientasi kepada pasien dan dapat

membantu menentukan bidang tanggung jawab yang erat kaitannya dengan prognosis

pasien. Ada tujuan yang sepenuhnya menjadi tenggung jawab perawat, ada yang
dianggap sebagai tanggung jawab sepenuhnya dari dokter , ada pula tujuan yang

merupakan tanggung jawab bersama antara dokter dan perawat.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak aspek positif yang dapat timbul jika

hubungan kolaborasi dokter-perawat berlangsung baik. American Nurses Credentialing

Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 rumah sakit melaporkan bahwa hubungan

dokter perawat bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga berdampak langsung pada

hasil yang dialami pasien. Terdapat hubungan korelasi positif antara kualitas hubungan

dokter-perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.

Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat professional

dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama

ketidaksesuaian yang membatasi pendirian professional dala aplikasi kolaborasi. Inti

sesungguhnya dari konflik perawat dan dokter terletak pada perbedaan sikap professional

mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi diantara keduanya.

Kepercayaan adalah konsep umum semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa percaya,

kerjasama tidak aka nada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab,

terganggunya komunikasi. Otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak akan terjadi.

Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama tim multidisipliner dapat digunakan untuk

mencapai tujuan kolaborasi tim :

a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan

keahlian unik professional.

b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efisiensi sumber daya

c. Peningkatan profesionalisme dan kepuasan kerja dan loyalitas

d. Meningkatnya kohesifitas antar professional


e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar professional

f. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan memahami

orang lain

Pertemuan professional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak terjadi

dalam lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat menjadi fasilitator

demi terjalinnya hubungan kolaborasi seperti dengan menerapkan system atau kebijakan

yang mengatur interaksi diantara berbagai profesi kesehatan. Pencatatan terpadu data

kesehatan pasien, ronde bersama, dan pengembangan tingkat pendidikan perawat dapat

juga dijadikan strategi untuk mencapai tujuan bersama tersebut.

Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan kesenjangan

professional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan. Peningkatan pengetahuan

dan keterampilan dapat dilakukan melalui pendidikan formal sampai kejenjangan

spesialis atau minimal pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian perawat.

Anda mungkin juga menyukai