Refrat Persalinan Preterm
Refrat Persalinan Preterm
PERSALINAN PRETERM
Disusun Oleh
Rima Novalia
04.45411.00201.09
Pembimbing
dr. Novia Fransiska Ngo, Sp.OG
2
BAB I
PENDAHULUAN
2. 1 Definisi
Diagnosis persalinan preterm dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang
dari 37 minggu mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit,
yang dapat berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. 2 Pendapat
lain mengatakan persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada usia
kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (AJOG 1995).7
Namun, batas bawah usia kehamilan yang digunakan untuk membedakan persalinan
preterm dengan abortus spontan bervariasi menurut lokasi.8 Himpunan Kedokteran
Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan preterm
adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.7
2. 2 Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada persalinan preterm antara lain: (1)
persalinan atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun
seksio sesarea; (2) persalinan preterm spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3)
persalinan preterm dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan
pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari persalinan preterm
berdasarkan indikasi, 40-45% persalinan preterm terjadi secara spontan dengan
selaput amnion utuh, dan 25-30% persalinan preterm yang didahului ketuban pecah
dini.4,8
Konstribusi penyebab persalinan preterm berbeda berdasarkan kelompok etnis.
Persalinan preterm pada wanita kulit putih lebih umum merupakan persalinan preterm
spontan dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum
didahului ketuban pecah dini sebelumnya. Persalinan preterm juga bisa dibagi
menurut usia kehamilan: sekitar 5% persalinan preterm terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia
kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 32-
4
33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia kehamilan 34-36 minggu
(near term). Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka kejadian persalinan
preterm, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah kelahiran
preterm atas indikasi.8
5
2. 3 Etiologi
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab persalinan preterm multifaktorial
dan sesuai dengan usia kehamilan. Diantaranya ialah:
1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),
2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau
polihidramnion),
3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),
5. Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau trikomonas),
6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus
genitourinaria atau infeksi sistemik),
7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-
adrenal, baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau
janin), dan
8. Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I, penyalahgunaan
obat, merokok, atau konsumsi alkohol).6,7,8
Tabel 2.1 Etiologi dan alur persalinan preterm yang diakui secara umum9
2. 4 Faktor Risiko
Meskipun patofisiologi persalinan preterm kurang dapat dipahami, namun
terdapat banyak faktor risiko yang diketahui berperan pada persalinan preterm, dan
pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan
terjadinya persalinan preterm.1,7 Namun sayangnya upaya untuk menilai faktor risiko
6
tersebut tidaklah mudah, karena lebih dari setengah dari persalinan preterm terjadi
pada wanita yang tidak memiliki faktor risiko yang jelas.3
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya persalinan preterm:
Faktor risiko mayor
1. Kehamilan multipel
2. Polihidramnion
3. Anomali uterus
4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu
5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua
6. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop
electrosurgical excision procedure)
8. Penggunaan cocaine atau amphetamine
9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu
10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor; atau
dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.3,10
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan
adalah tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status
sosioekonomi yang rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan lainnya
(seperti infeksi maternal, preeklamsia-eklamsia, plasenta previa, kehamilan yang
diperoleh melalui bantuan medikasi, terlambat atau tidak melakukan asuhan
antenatal). Merupakan langkah penting dalam pencegahan persalinan preterm adalah
7
bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian memberikan asuhan prenatal
serta penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan.1,7
2. 5 Patogenesis
Penyebab persalinan preterm multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu
sama lain. Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada persalinan preterm:11
8
Gambar 2.2 Alur yang umum terjadi pada persalinan preterm11
9
signifikan dapat memprediksi besarnya peningkatan CRH ibu di antara pertengahan
kehamilan dan setelahnya.9,11
Data ini menunjukan bahwa hubungan antara stres psikologis ibu dan
prematuritas dimediasi oleh peningkatan prematur dari ekspresi CRH plasenta. Pada
persalinan term, aktivasi CRH plasenta sebagian besar didorong oleh aksis HPA janin
dalam suatu feedback positif pada pematangan janin. Pada persalinan preterm, aksis
HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH plasenta. Stres pada ibu, tanpa adanya
penyebab persalinan preterm lainnya, seperti infeksi akan menyebabkan peningkatan
efektor biologi dari stres termasuk kortisol dan epinefrin, yang mengaktifkan ekspresi
CRH plasenta. CRH plasenta, pada gilirannya, dapat menstimulasi janin untuk
mensekresi kortisol dan dehydroepiandrosterone synthase (DHEA-S) (melalui
aktivasi aksis HPA janin) dan menstimulasi plasenta untuk mensintesis estriol dan
prostaglandin, sehingga mempercepat persalinan preterm.9,11
Stres dapat berkonstribusi pada peningkatan angka kejadian persalinan
preterm di antara orang Afrika-Amerika di Amerika serikat. Asfiksia dapat mewakili
hasil akhir yang umum pada berbagai alur yang meliputi stres, perdarahan,
preeklampsia, dan infeksi. Asfiksia memainkan peranan penting dalam persalinan
preterm, bayi lahir mati, dan perkembangan neonatal yang merugikan. Asfiksia
kronik yang berhubungan dengan insufisiensi sirkulasi uteroplasenta dapat terjadi
pada infeksi plasenta seperti malaria, atau penyakit ibu (seperti diabetes, preeklamsia,
hipertensi kronik), dan ditandai oleh aktivasi aksis HPA janin dan berikutnya
kelahiran preterm.9,11
10
arakidonat dari selaput amnion janin, sehingga asam arakidonat bebas meningkat
untuk sintesis prostaglandin. Selain itu, endotoksin (lipopolisakarida) bakteri dalam
cairan amnion akan merangsang sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan
prostaglandin yang dapat menginisiasi proses persalinan. Berbagai sitokin, termasuk
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumour necrosis factor (TNF) adalah
produk sekretorik yang dikaitkan dengan persalinan preterm. Sementara itu, platelet
activating factor (PAF) yang ditemukan dalam cairan amnion terlibat secara sinergik
pada aktivasi jalinan sitokin tadi. PAF diduga dihasilkan oleh paru dan ginjal janin.
Oleh karenanya, janin tampaknya memainkan suatu peran yang sinergik untuk inisiasi
kelahiran preterm yang disebabkan oleh infeksi bakterial. Secara teleologis, hal ini
kemungkinan menguntungkan bagi janin yang ingin melepaskan dirinya dari
lingkungan yang terinfeksi.7,8,10,12
Endotoksin mikroba dan proinflammantori sitokin akan merangsang produksi
prostaglandin, mediator inflammatory lainnya, serta matrix-degrading enzymes.
Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus, dan berperan dalam mengatur
metabolisme matriks ekstraselular yang terkait dengan pematangan serviks saat
dimulainya persalinan, sedangkan degradasi dari matriks ekstraselular pada membran
amnion akan menyebabkan ketuban pecah dini yang kemudian menyebabkan
persalinan preterm.8,13
Endotoksin mikroba akan merangsang produksi progesteron melalui pemecahan
asam arakidonat, dan bersama sitokin akan meningkatkan ekspresi PGHS-2
(prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin
dehydrogenase). Meningkatnya PGHS-2 akan menstimulasi sintesis prostaglandin.
Sedangkan downregulation PGDH akan meningkatkan ratio prostaglandin (PG)
terhadap prostaglandin metabolite (PGM), yang akan meningkatkan aktivitas uterus,
pematangan serviks, dan rupturnya membran amnion.13
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi infeksi
intrauterin, infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria asimptomatik,
dan periodontitis ibu.11 Mikroorganisme yang umum dilaporkan pada rongga amnion
adalah genital Mycoplasma spp, dan Ureaplasma urealyticum. Beberapa
11
mikroorganisme yang umum pada saluran genitalia bawah, seperti Streptococcus
agalactiae, jarang tampak pada rongga amnion sebelum selaput amnion pecah.
Rongga amnion biasanya steril dari bakteri, dan adanya bakteri yang jumlahnya
cukup signifikan pada membran amnion diduga melalui mekanisme sebagai berikut:
1. Secara ascending dari vagina dan serviks
2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta
3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif
4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.
Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah
penyebaran secara ascending dari vagina dan serviks.8,12 Hal ini dapat ditunjukkan
oleh suatu kondisi yang disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah kondisi
ketika flora normal vagina predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen
peroksida digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies
Mobilunkus, atau Mycoplasma hominis. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan
ketuban pecah dini, persalinan preterm, dan infeksi amnion, terutama bila pada
pemeriksaan pH vagina lebih dari 5,0.7
12
2.5.3 Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)
Perdarahan desidua dapat menyebabkan persalinan preterm. Lesi vaskular dari
plasenta biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah dini.
Lesi plasenta dilaporkan 34% dari wanita dengan persalinan preterm, 35% dari
wanita dengan ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini
dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari arteri
spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan mekanisme yang
menghubungkan lesi vaskular dengan persalinan preterm ialah iskemi uteroplasenta.
Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin diperkirakan memainkan
peran utama.9,11
Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease
multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan otot
halus miometrium. Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot polos
longitudinal miometrium, secara in vitro. Baru-baru ini, observasi in vitro mengenai
trombin dan kontraksi miometrium yang diperkuat oleh penelitian in vivo
menunjukan bahwa kontraksi miometrium secara signifikan menurun dengan
pemberian heparin yang diketahui merupakan inhibitor trombin. Penelitian in vitro
dan in vivo memberikan penjelasan kemungkinan mekanik mengenai peningkatan
aktivitas uterus secara klinis yang diamati pada abrupsi plasenta serta persalinan
preterm yang mengikuti perdarahan pada trimester pertama dan kedua.9,11
Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban pecah dini.
Matrix metaloproteinase (MMPs) memecah matriks ekstraseluler dari membran janin
dan choriodesidua, serta terlibat terhadap KPD, seperti dibahas di bawah ini. Secara
in vitro, trombin meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan MMP-9 pada
sel-sel desidua dan membran janin yang dikumpulkan dari kehamilan term tanpa
komplikasi. Trombin juga menimbulkan peningkatan IL-8 desidua, sebuah sitokin
yang bertanggung jawab terhadap recruitment neutrofil. Abrupsi plasenta terbuka,
sebuah contoh ekstrim dari perdarahan desidua, ditandai infiltrasi neutrofil pada
desidua, sumber yang kaya protease dan MMPs. Ini mungkin melengkapi mekanisme
ketuban pecah dini (KPD) pada perdarahan desidua.9,11
13
2.5.4 Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)
Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai
persalinan preterm yang berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion,
dan makrosomia. Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang
dibantu oleh tekhnologi (assisted reproduction technologies (ART)), termasuk
induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan merupakan satu dari penyebab yang paling
penting dari persalinan preterm di negara-negara maju. Di Amerika Serikat misalnya,
ART merupakan 1% dari semua kelahiran hidup, tetapi 17% dari semua kehamilan
multipel; 53% neonatus hasil dari ART pada tahun 2003 merupakan anak kembar.
Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan persalinan
preterm masih belum jelas. Namun diketahui, peregangan rahim akan menginduksi
ekspresi protein gap junction, seperti connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta
menginduksi protein lainnya yang berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor
oksitosin. Pada penelitian in vitro, regangan miometrium juga meningkatkan
prostaglandin H synthase 2 (PGHS-2) dan prostaglandin E (PGE). Regangan otot
pada segmen menunjukan peningkatan produksi IL-8 dan kolagen, yang pada
gilirannya akan memfasilitasi pematangan serviks. Namun, penelitian eksperimental
pada hewan mengenai uterine overdistension hingga saat ini belum ada, dan
penelitian pada manusia sepenuhnya hanya berdasarkan observasi.9
14
Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization; (4) kerusakan yang
bersifat traumatis; dan (5) infeksi.9
Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan
cervical cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan
kasus insufisiensi serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan pemendekan
serviks prematur dari proses patofisiologi lainnya yang mana cerclage mungkin tidak
selalu tepat dan lebih baik diprediksi oleh panjang serviks yang ditentukan
menggunakan ultrasonografi transvaginal. Panjang serviks yang diukur dengan
menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding terbalik dengan risiko
persalinan preterm. Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari
kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan persalinan preterm dengan panjang
serviks pada kehamilan berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat
obstetri dari insufisiens serviks dan panjang serviks pada kehamilan berikutnya.9
Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan
pemendekan serviks lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling serviks
prematur, hasil dari proses patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin memainkan
peranan penting dalam pemendekan dan dilatasi serviks prematur. Lima puluh persen
dari pasien dievaluasi dengan amniosintesis sehubungan dengan dilatasi serviks
asimptomatik pada trimester kedua, dan 9% dari pasien memiliki panjang serviks <
25 mm tetapi tanpa dilatasi serviks terbukti mengalami infeksi intraamnion. Data ini
menunjukan suatu peranan penting infeksi intraamnion yang menyebar secara
ascending.9
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko persalinan preterm juga
meningkat pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko persalinan preterm pada
wanita yang merokok sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan
kimia dalam batang rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian besar
tidak diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon monoksida merupakan
vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta serta
15
menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada
terhambatnya pertumbuhan janin dan persalinan preterm.8
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran darah
uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis hypothalamic
pituitaryadrenal (HPA) janin, yang ditunjukkan dengan peningkatan corticotrophin-
releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus, yang kemudian memacu sekresi
adrenocorticotrophic hormone (ACTH) oleh hipofisis anterior. ACTH pada
gilirannya akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol dari korteks adrenal.
Kortisol kemudian meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H synthase), dan
menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase).13
Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik yang
juga dianggap dapat meningkatkan risiko persalinan preterm, melalui peningkatan
produksi sitokin.8
16
2.6.1 Skoring risiko
Metode skoring risiko ini dirancang oleh Papiernik dan dimodifikasi oleh
Creasly dkk. Pada metode ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam
faktor risiko, antara lain sosioekonomi, riwayat obstetri, kebiasaan hidup, serta
penyulit kehamilan yang dihadapi saat ini. Wanita dengan skor 10 atau lebih
dianggap berisiko tinggi mengalami persalinan preterm.1,4,12 Meskipun Creasy dkk.
serta Covington dkk. melaporkan bahwa dengan metode skoring yang disertai
program pencegahan dengan penyuluhan, akan memberikan hasil yang baik.12 Pada
prakteknya, penerapan metode ini belum terbukti berguna. Dan karena metode ini
sangat bergantung dengan riwayat obstetri sebelumnya, maka metode ini tidak sesuai
untuk nulipara. Oleh karena itu, metode ini tidak menawarkan keuntungan lebih dari
penilaian klinis lainnya, dan tidak dapat direkomendasikan.1
2.6.2 Uji kontraksi uterus ambulatorik atau Home uterine activity monitoring
Metode ini didasarkan pada prinsip tokodinamometer, yang dicobakan pada
wanita yang berisiko mengalami persalinan preterm. Metode ini melibatkan
pencatatan telematika dari kontraksi rahim, dengan menggunakan alat sensor
kontraksi yang diikatkan disekitar abdomen, dan dihubungkan dengan sebuah
perekam elektronik kecil yang dipasang dipinggang, kemudian hasil aktivitas uterus
akan dihantarkan ke beberapa monitor senter. Dari hasil pemantauan tersebut, para
praktisi kesehatan akan memberikan saran serta dukungan setiap harinya terhadap
pasien tersebut melalui telepon.4,12
Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan aktivitas
uterus di rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah persalinan preterm, baik pada
wanita yang berisiko rendah atau wanita yang berisiko tinggi. Bahkan penggunaan
metode ini akan meningkatkan kunjungan diluar jadwal asuhan prenatal yang
dianjurkan serta menyebabkan peningkatan yang signifikan terhadap terapi obat
tokolisis profilaktik pada wanita hamil.1,4,12 Selain itu metode ini membutuhkan biaya
yang cukup besar dalam pelaksanaannya.12 Oleh karena itu, metode ini tidak
direkomendasikan pada praktek klinis rutin.4
17
2.6.3 Estriol saliva
Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan
konsentrasi estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm.12 Hal ini dapat dijelaskan
melalui penelitian mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukan peranan
aksis hipotalamo-pitutari-adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan peningkatan
produksi estriol dari plasenta pada saat dimulainya persalinan. Diperkirakan pada
kehamilan manusia, aktivasi prematur dari aksis HPA pada persalinan preterm akan
meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu, dan ini dapat menjadi
perediktor dimulainya persalinan preterm.4 Telah dilaporkan bahwa peningkatan
estriol akan dimulai sejak 3 minggu sebelum dimulainya persalinan pada wanita yang
mengalami persalinan preterm atau aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan
tingkat estriol dalam serum ibu, dan estriol saliva digunakan untuk menilai risiko
persalinan preterm dengan atau tanpa gejala.1
Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif dalam
memprediksi persalinan preterm dibandingkan metode skoring risiko. Namun, tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan memiliki tingkat
positif palsu yang sangat tinggi, yang dapat meningkatkan biaya perawatan kehamilan
karena intervensi yang tidak perlu.4 Tingkat estriol saliva dapat diukur secara akurat
dengan menggunakan radioimmunoassay. Heine dkk. menunjukan bahwa tingkat
estriol saliva positif satu ( 2,1 ng/ml) dapat memprediksikan suatu peningkatan
risiko persalinan preterm 3-4 kali lipat pada wanita dengan resiko rendah maupun
tinggi. Jika dua kali secara berturut-turut hasil tes positif, ini menunjukan
peningkatan akurasi prediksi yang signifikan, tetapi masih memiliki sedikit
penurunan sensitivitas. Tes estriol saliva menunjukan beberapa keunggulan yaitu
merupakan tindakan yang tidak invasif, sampel saliva yang mudah didapatkan, dan
dapat memberikan hasil positif beberapa minggu sebelum dimulainya persalinan.1
Namun, adanya variasi diurnal dari tingkat estriol saliva ibu, serta pemberian
betametason untuk produksi surfaktan yang dapat menekan tingkat estriol saliva ibu,
dapat mempersulit interpretasi hasil.4 Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut
mengenai intervensi dan pengobatan yang potensial pada wanita dengan peningkatan
18
kadar estriol saliva yang tinggi, sebelum penggunaannya direkomendasikan secara
luas pada populasi obtetrik.1
19
2.6.5 Skrining fibronektin janin atau fetal fibronectin (fFN)
Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk
molekul yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas,
fibroblast, sel endotel, dan amnion janin. Glikoprotein ini terdapat dalam konsentrasi
tinggi di darah ibu dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan peranan pada
adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap implantasi serta dalam mempertahankan
adhesi plasenta ke desidua.12 Fibronektin janin diukur dengan menggunakan enzyme
linked immunosorbent assay.12 Normalnya, fibronektin janin terdeteksi pada sekret
serviks sampai usia kehamilan 16-20 minggu. Pada kehamilan 24 minggu atau lebih,
kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih dianggap sebagai hasil positif dan
mengindikasikan risiko persalinan preterm.7,12
Lockwood dkk. (1991) yang melaporkan bahwa penemuan fibronektin janin
pada sekret servikovagina sebelum selaput amnion pecah dapat menjadi suatu
pertanda adanya ancaman persalinan preterm.12 Berdasarkan teori, peningkatan kadar
fibronektin janin pada vagina, serviks dan cairan amnion memberikan indikasi adanya
gangguan pada hubungan antara korion dan desidua.7
Fibronektin janin dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada kehamilan
normal aterm dengan selaput amnion utuh, dan tampaknya memperlihatkan
remodeling stroma serviks sebelum persalinan. Cox dkk. (1996) menemukan bahwa
dilatasi serviks lebih bermakna untuk mendeteksi fibronektin daripada untuk
meramalkan kelahiran preterm.12 Namun demikan, banyak penelitian telah
menunjukan adanya peningkatan risiko persalinan preterm, jika fFN positif pada
sekret serviks setelah usia kehamilan 24 minggu, dan sebaliknya terdapat penurunan
risiko jika didapatkan fFN negatif.4
Spesifisitas dari tes fibronektin janin untuk memprediksi persalinan preterm
dalam 1 dan 2 minggu kemudian ialah 89%, sedangkan untuk memprediksi
persalinan preterm dalam 3 minggu kemudian ialah 92%. Sensitivitas dari tes ini,
dalam memprediksi dimulainya persalinan preterm dalam 1 minggu dan 3 minggu
kemudian, masing-masing ialah 71% dan 59%.4
20
Perlu diketahui, faktor-faktor lain seperti manipulasi serviks dan infeksi
peripartum dapat merangsang pelepasan fibronektin janin. Serupa dengan hal
tersebut, Jackson dkk. (1996) memperlihatkan bahwa sel amnion manusia in vitro
menghasilkan fibronektin janin bila dirangsang oleh produk-produk radang yang
dicurigai mengawali persalinan preterm akibat infeksi.12
21
pemeriksaan rutin. Namun, dapat dilakukan pada kehamilan dengan risiko tinggi atau
dalam kombinasi dengan test fFN.4
Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam
memprediksi risiko terulangnya persalinan preterm4
Risiko terulangnya persalinan preterm
Panjang serviks
fFN positif fFN negatif
< 25 mm 65% 25%
25-35 mm 45% 14%
> 35 mm 25% 7%
2. 7 Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan
preterm. Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit
dilakukan sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri
dapat menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan
sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak
sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam
penegakan diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang, wanita yang melahirkan
22
sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons
Hicks, yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.7,12
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan preterm,
yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-
8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa
tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau
telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.3,7,10
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis
persalinan preterm ialah sebagai berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau
delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.12
2. 8 Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan persalinan preterm ialah,
apakah ini memang persalinan preterm. Selanjutnya mencari penyebabnya dan
menilai kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun
ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion,
persentasi dan keadaan janin/kelainan kongenital.7
23
Bila proses persalinan preterm masih tetap berlangsung atau mengancam, meski
telah dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter spesialis
kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm, atau berapa
persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma
gawat nafas.
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan
bayi preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.
5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan
rencana perawatan intensif neonatus.7
2.8.1 Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak
ada yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu
dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan
serviks pada kehamilan preterm.
26
2.8.2 Akselerasi pematangan fungsi paru
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru
janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS), mencegah perdarahan
intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya
menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia
kehamilan kurang dari 35 minggu.7,12
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian steroid
ini tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus
tunggal kortikosteroid ialah:
1. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
2. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.7
2.8.3 Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang
tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum.9
Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya
infeksi, seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah
eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg
selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak
dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.7
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun
anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman. Setelah
itu dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko persalinan preterm, bila
tidak ada kontra indikasi, diberi tokolisis.10
27
2.8.4 Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti:
apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama
pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk
melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis
yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin presentasi kepala maka
diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar dan perlindungan forseps
terutama pada bayi < 35 minggu.7,10
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan
merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk
melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik.7
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan
sebagainya).10
2. 9 Komplikasi
Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi
sehingga mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi.10
Sedangkan bagi bayi, persalinan preterm menyebabkan 70% kematian prenatal atau
neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka pendek maupun jangka panjang.
Morbiditas jangka pendek diantaranya ialah respiratory distress syndrome (RDS),
perdarahan intra/periventrikular, necrotising enterocolitis (NEC), displasia bronko-
pulmoner, sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun morbiditas jangka panjang
yang meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure
28
disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, juga dapat terjadi disfungsi
neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik.3,7
2. 10 Pencegahan
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan persalinan preterm dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
2.10.1 Pencegahan primer
Ditujukan untuk semua wanita, sebelum atau selama kehamilan untuk
mencegah dan mengurangi risiko. Berikut beberapa intervensi yang dapat dilakukan
sebagai pencegahan primer:
Pencegahan primer sebelum pembuahan dan selama kehamilan
1. Memberikan pendidikan: kepada semua wanita usia reproduksi diberikan
pendidikan mengenai faktor-faktor risiko dari persalinan preterm. Sehingga
faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti pengambilan keputusan
mengenai prosedur invasif (kuretase uterus dan biopsi endometrium),
kehamilan yang dibantu oleh teknologi, dan merokok dapat dihindari.
2. Kebijakan publik: terdapat kebijakan yang diterapkan oleh suatu pemerintahan
dalam melindungi wanita yang sedang hamil, seperti menerapkan waktu cuti
minimal 14 minggu pada wanita hamil yang bekerja, memberikan izin bagi
wanita yang berkerja untuk menghadiri asuhan prenatal, menghindarkan
wanita hamil dari jam kerja malam, serta perlindungan wanita hamil terhadap
bahaya lingkungan kerja.
3. Mengkonsumsi suplemen nutrisi: wanita yang sedang merencanakan
kehamilan disarankan untuk mulai mengkonsumsi berbagai suplemen nutrisi,
hingga selama kehamilan untuk mengurangi risiko masalah kehamilan.
Berdasarkan penelitian, morbiditas respiratori menurun pada bayi yang
dilahirkan oleh wanita yang mengkonsumsi tambahan vitamin.
4. Menghentikan konsumsi rokok sejak direncanakannya kehamilan, mengingat
adanya hubungan antara merokok dengan persalinan preterm.
29
5. Melakukan asuhan prenatal. Berdasarkan hasil penelitian, wanita yang
melakukan asuhan prenatal yang adekuat memiliki angka kejadian persalinan
preterm yang lebih rendah dibanding mereka yang melakukan asuhan prenatal
tidak memadai, atau yang tidak melakukan asuhan prenatal.
6. Melakukan perawatan periodontal. Risiko kelahiran preterm berhubungan
dengan keparahan penyakit periodontal, dan risiko meningkat ketika penyakit
periodontal berkembang selama kehamilan, tetapi dasar mengenai hubungan
ini masih belum jelas. Peningkatan risiko persalinan preterm ini dapat
disebabkan oleh penyebaran secara hematogen dari mikroba pathogen rongga
mulut ke organ genital, atau lebih mungkin karena respon inflamasi terhadap
mikroba pada rongga mulut dan traktus genitalis.
7. Melakukan skrining wanita risiko rendah. Skrining dan terapi bakteriuria
asimptomatik telah dilaporkan menurunkan tingkat persalinan preterm.
Namun, skrining dan protokol terapi yang optimum dalam mencegah
persalinan preterm masih belum jelas benar. Pencegahan persalinan preterm
sebagian besar didasarkan pada riwayat persalinan preterm sebelumnya dan
adanya faktor risiko kehamilan seperti kehamilan multipel dan perdarahan,
tetapi lebih dari 50% persalinan preterm terjadi pada kehamilan tanpa faktor
risiko yang jelas. Sebagian besar faktor risiko yang didasarkan pada riwayat
persalinan sebelumnya ini, memiliki sensitivitas yang rendah dalam
memprediksi persalinan preterm. Namun, Goldenberg dkk melaporkan bahwa
jumlah dan usia persalinan preterm sebelumnya, merupakan faktor risiko
persalinan preterm yang kuat, begitu juga dengan adanya fibronektin janin
pada cairan servikovaginal, panjang serviks, dan vaginosis bacterial, juga
merupakan faktor risiko persalinan preterm spontan yang kuat.15
30
(misalnya, persalinan preterm sebelumnya atau adanya anomali uterus) atau adanya
risiko kehamilan saat ini (misalnya kehamilan multipel atau perdarahan). Pencegahan
ini memerlukan identifikasi dan penurunan faktor risiko, yang keduanya terbukti sulit
dilakukan.15
Beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan sekunder
diantaranya ialah:
1. Pencegahan sekunder sebelum konsepsi: koreksi anomali duktus Mullerian,
pemberian progesteron profilaksis, mengontrol penyakit-penyakit seperti
diabetes, seizures, asma atau hipertensi.
2. Pencegahan sekunder setelah konsepsi:
a. Modifikasi aktivitas ibu (tirah baring, pembatasan kerja, dan menurunkan
aktivitas seksual, sering disarankan untuk menurunkan kemungkinan
persalinan preterm)
b. Pemberian suplemen nutrisi (omega-3 polyunsaturated fatty acids dianggap
dapat menurunkan konsentrasi proinflammasi sitokin)
c. Peningkatan perawatan bagi wanita yang berisiko (asuhan prenatal yang
intensif, meliputi dukungan sosial, kunjungan ke rumah, serta pendidikan pada
wanita hamil)
d. Terapi antibiotik (masih kontroversial, memberikan antibiotik pada wanita
yang mengalami persalinan preterm sebelumnya dengan dugaan dikarenakan
bakterial vaginosis)
e. Pemberian progesteron (progesteron dianggap sebagai antagonis oksitosin,
sehingga menyebabkan relaksasi otot, selain itu progesteron memelihara
integritas serviks, dan memiliki efek antiinflamasi).15
31
persalinan preterm ke rumah sakit yang dilengkapi perawatan bayi preterm dalam
sistem regionalisasi, yang memberikan pelatihan dan pengembangan keterampilan
dan perawatan fasilitas, pemberian terapi tokolisis, kortikosteroid antenatal, antibiotik
dan persalinan preterm atas indikasi pada waktu yang tepat.15
32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37
minggu dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas perintal
di seluruh dunia.7 Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya bervariasi
antara 6% sampai 15% dari seluruh persalinan.4 Patogenesis dari persalinan preterm
masih belum dimengerti dengan benar.8 Namun, infeksi tampaknya menjadi
penyebab tersering dan paling penting dalam persalinan preterm.1,8 Meskipun
patofisiologi persalinan preterm kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak
faktor risiko yang diketahui berperan pada persalinan preterm, dan pengetahuan
terhadap adanya faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan terjadinya
persalinan preterm.1,7
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama
untuk mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah menghambat
proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis, akselerasi pematangan fungsi
paru janin dengan kortikosteroid, dan bila perlu dilakukan pencegahan terhadap
infeksi.7 Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami persalinan preterm dan/atau
menunjukan tanda-tanda persalinan preterm perlu dilakukan intervensi untuk
meningkatkan neonatal outcomes.7 Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan persalinan preterm dapat
diklasifikasikan menjadi pencegahan primer, sekunder, dan tersier.15
33