Anda di halaman 1dari 32

SKENARIO I

PERDARAHAN SAAT HAMIL


Seorang pasien usia 27 tahun datang ke IGD RSUD dengan keluhan nyeri pada perut
sejak 3 jam yang lalu disertai dengan keluar darah dari kemaluan. Usia kehamilan dihitung
dari haid terakhir didapatkan 34 minggu. Pasien melakukan Antenatal Care di Puskesmas
sebanyak 4 kali dan terakhir kontrol satu minggu yang lalu. Berdasarkan ANC sebelumnya
didapatkan pasien memiliki riwayat hipertensi. Pasien juga pergi ke paraji dan periksa
terakhir sebelum ke RS untuk diurut. Selama kehamilan pasien mengalami kenaikan berat
badan 10 kg dan tidak ada edema pada tungkai. Dari riwayat penyakit keluarga diketahui
tidak ada riwayat penyakit jantung, ginjal, DM, dan hipertensi dalam keluarganya. Dilakukan
pemeriksaan fisik dengan hasil pasien tampak sakit sedang dan didapatkan tekanan darah
110/70 mmHg. Frekuensi nadi 110 kali per menit, suhu 37ºC dan nafas 20 kali permenit. Dari
status obstetric didapatkan tinggi fundus uteri 28 cm, denyut jantung janin tidak jelas.
Dilakukan pemeriksaan inspekulo tampak darah warna merah kehitaman mengalir dari OUI
dan pembukaan serviks tidak ada. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang USG
dengan hasil kehamilan tunggal dengan janin presentasi kepala dan hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan protein urin negatif. Dari pemeriksaan CTG didapatkan kesan gawat
janin.

1
KATA SULIT :
1. CTG (Cardiotografi) : Pemeriksaan DJJ dan kontraksi uterus yang dilakukan pada
trimester ke 3.
2. ANC (Antenatal Care) : pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalkan kesehatan
mental dan fisik ibu hamil sehingga mampu menghadapi persalinan …. Dan
persyaratan pemberian ASI
3. Gawat Janin : jika DJJ <120 kali/menit atau >160 kali/menit, air ketuban berbau,
gerakan janin menurun.
PERTANYAAN :
1. Mengapa darahnya berwarna merah kehitaman?
2. Apa saja tanda tanda gawat janin?
3. Mengapa terjadi pada usia kehamilan 34 minggu?
4. Mengapa DJJ tidak jelas?
5. Mengapa terjadi penurunan tinggi fundus uteri?
6. Apa yang harus dilakukan jika terjadi gawat janin?
7. Berapa kali ANC dilakukan? Dan kapan?
8. Apa etiologi dari perdarahan saat kehamilan?
9. Apa diagnosis penyakit ini?
10. Apa tatalaksana awal penyakit ini?
11. Apa hubungan perdarahan saat hamil dengan riwayat hipertensi?
12. Pada usia ibu berapa biasa terjadi perdarahan saat hamil?
13. Adakah hubungan riwayat perdarahan dengan pasien datang ke paraji?
14. Mengapa pasien takikardi?
15. Mengapa pada pasien tidak terjadi pembukaan serviks?
JAWABAN :
1. Karena janin kekurangan oksigen dan darah bercampur dengan mekonium.
2. DJJ < 120 kali/menit atau >160 kali/menit, air ketuban berbau dan gerakan janin
menurun.
3. Karena terbentuknya plasenta terjadi pada usia kehamilan 22 minggu.
4. Karena janin mengalami hipoksia.
5. Karena terjadi solusio plasenta.
6. Janin harus segera dilahirkan dan secara SC.
7. Trimester ke I dan II dilakukan 1 bulan sekali, Trimester ke ≥ 3 dilakukan 1 minggu
sekali.
8. Trauma dan hipertensi.
9. Solusio plasenta.
10. Resusitasi cairan, oksigenasi, dan pada janin dilakukan terminasi.
11. Hipertensi yang lama dan tidak ditangani akan menyebabkan preeklamsi. preeklamsi
termasuk faktor resiko dari solusio plasenta.
12. Pada usia diatas 35 tahun.
13. Karena adanya kesalahan saat penanganan.
14. Terjadinya perdarahan  suplai darah ke otak berkurang  kerja jantung meningkat
 takikardi.
15. Karena bukan inpartu.

2
HIPOTESIS
Trauma dan hipertensi merupakan faktor resiko perdarahaan saat persalinan. Hal ini
dapat mengakibatkan terjadinya gawat janin karena suplai oksigen yang tidak adekuat
sehingga janin mengalami hipoksia. Gawat janin ditandai dengan DJJ <120 kali/menit atau
>160 kali/menit, air ketuban berbau dan gerakan janin menurun.
Pada Anamnesis tidak terdapat riwayat penyakit keluarga seperti penyakit jantung,
ginjal, DM, dan hipertensi dan pasien pergi ke paraji untuk diurut. Pada pemeriksaan fisik
pasien mengalami takikardi disebabkan karena terjadi perdarahan sehingga suplai darah ke
otak berkurang, kemudian jantung melakukan kompensasi dengan cara meningkatkan kerja
jantung. Tinggi fundus uteri 28 cm yang tidak sesuai dengan usia kehamilan karena terjadi
pelepasan plasenta ( solusio plasenta), terdapat darah berwarna merah kehitaman yang keluar
dari OUI karena darah bercampur dengan meconium, DJJ tidak jelas karena janin mengalami
hipoksia dan tidak terjadi pembukaan serviks karena bukan saat inpartu sehingga dokter
mendiagnosis dengan solusio plasenta yang biasanya terjadi pada usia kehamilan 34 minggu
karena terbentuknya plasenta terjadi saat usia kehamilan 22 minggu.
Tatalaksana awal pada pasien ini dengan cara resusitasi cairan, oksigenasi dan
terminasi janin. Janin harus segera dilahirkan dengan cara section, untuk mencegah terjadinya
kasus ini ibu hamil harus rajin melakukan ANC pada trimester ke satu dan dua dilakukan satu
kali dalam sebulan sedangkan pada trimester ke 3 dilakukan satu minggu sekali.

3
SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Antepartum
1.1 Definisi
Perdarahan antepartum adalah perdarahan jalan lahir setelah kehamilan 28
minggu. Karena perdarahan antepartum terjadi pada kehamilan di atas 28 minggu
maka sering disebut atau digolongkan perdarahan pada trimester ketiga.

Walaupun perdarahannya sering dikatakan terjadi pada trimester ketiga, akan


tetapi tidak jarang juga terjadi sebelum kehamilan 28 minggu karena sejak itu segmen
bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis. Dengan bertambah
tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi, dan serviks mulai
membuka. Apabila plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus, pelebaran segmen
bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat di
situ tanpa terlepasnya sebagian plasenta dari dinding uterus. Pada saat itu mulailah
terjadi perdarahan.

Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan


plasenta. Hal ini disebabkan perdarahan yang bersumber pada kelainan plasenta
biasanya lebih banyak, sehingga dapat mengganggu sirkulasi O2 dan CO2 serta
nutrisi dari ibu kepada janin. Sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada
kelainan plasenta seperti kelainan serviks biasanya relatif tidak berbahaya. Oleh
karena itu, pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu dipikirkan
bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta.

1.2 Etiologi
a.Umur
Umur yang lebih tua dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan
antepartum. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan
dan persalinan adalah 20-35 tahun. Wanita pada umur kurang dari 20 tahun memiliki
resiko yang lebih tinggi untuk mengalami perdarahan antepartum karena alat
reproduksi belum sempurna atau matang untuk hamil.Selain itu, kematangan
fisik,mental dan fungsi sosial dari calon ibu yang belum cukup menimbulkan keragu-
raguan jaminan bagi keselamatan kehamilan yang dialaminya serta perawatan bagi
anak yang dilahirkannya. Sedangkan umur di atas 35 tahun merupakan faktor yang
dapat meningkatkan kejadian perdarahan antepartum karena proses menjadi tua dari
jaringan alat reproduksi dari jalan lahir, cenderung berakibat buruk pada proses
kehamilan dan persalinannya.
Perdarahan antepartum lebih banyak pada usia di atas 35 tahun. Wanita yang
berumur 35 tahun atau lebih mempunyai resiko besar untuk terkena dibandingkan
dengan wanita yang lebih muda.

b. Pendidikan
Ibu yang mempunyai pendidikan relatif tinggi, cenderung memperhatikan
kesehatannya dibandingkan ibu yang tingkat pendidikannya rendah. Dengan
pendidikan yang tinggi, diharapkan ibu mempunyai pengetahuan dan mempunyai
kesadaran mengantisipasi kesulitan dalam kehamilan dan persalinannya, sehingga
timbul dorongan untuk melakukan pengawasan kehamilan secara berkala dan teratur

4
c. Paritas
Paritas dikelompokkan menjadi empat golongan yaitu :
1) nullipara, yaitu golongan ibu yang belum pernah melahirkan.
2) primipara, yaitu golongan ibu yang pernah melahirkan 1 kali.
3) multipara, yaitu golongan ibu yang pernah melahirkan 2-4 kali.
4) grandemultipara, yaitu golongan ibu yang pernah melahirkan ≥5 kali.
Frekuensi perdarahan antepartum meningkat dengan bertambahnya
paritas.Perdarahan antepartum lebih banyak pada kehamilan dengan paritas
tinggi.Wanita dengan paritas persalinan empat atau lebih mempunyai resiko besar
untuk terkena dibandingkan dengan paritas yang lebih rendah.
Pada paritas yang tinggi kejadian perdarahan antepartum semakin besar karena
endometrium belum sempat sembuh terutama jika jarak antara kehamilan
pendek.Selain itu kemunduran daya lentur (elastisitas) jaringan yang sudah berulang
kali direnggangkan, kehamilan cenderung menimbulkan kelainan letak atau kelainan
pertumbuhan plasenta.Akibatnya terjadi persalinan yang disertai perdarahan yang
sanngat berbahaya seperti plasenta previa dan solusio plasenta.

d. Riwayat kehamilan dan persalinan terdahulu


Riwayat kehamilan dan persalinan yang dialami oleh seorang ibu juga
merupakan resiko tinggi dalam terjadinya perdarahan antepartum. Cedera dalam alat
kandungan atau jalan lahir dapat ditimbulkan oleh proses kehamilan terdahulu dan
berakibat buruk pada kehamilan yang sedang dialami. Hal ini dapat berupa
keguguran, bekas persalinan berulang dengan jarak pendek, bekas operasi (seksio
cesarea) atau bekas kuretase.
Menurut penelitian A.Wardhana dan K.Karkata di RS Sanglah Denpasar, Bali
selama tahun 2001-2002 menemukan bahwa resiko plasenta previa pada wanita
dengan riwayat abortus adalah 4 kali lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat
abortus.
Pasien dengan plasenta previa menghadapi 4-8% resiko terkena plasenta
previa pada kehamilan berikutnya.Kejadian solusio plasenta juga meningkat di
kalangan mereka yang pernah menderita solusio plasenta (rekurensi).Setiap pasien
dengan riwayat solusio plasenta harus dipertimbangkan mempunyai resiko pada setiap
kehamilan berikutnya.

e. Kadar Hb
Pada kehamilan anemia relatif terjadi karena volume darah dalam kehamilan
bertambah secara fisiologik dengan adanya pencairan darah yang disebut
hidremia.Volume darah tersebut mulai bertambah jelas pada minggu ke-16 dan
mencapai puncaknya pada minggu ke-32 sampai ke-34 yaitu kira-kira 25%.Meskipun
ada peningkatan dalam volume eritrosit secara keseluruhan, tetapi penambahan
volume plasma jauh lebih besar sehingga konsentrasi haemoglobin dalam darah
menjadi lebih rendah.

f. Tekanan darah
Hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan atau yang kronik tidak jarang
ditemukan pada wanita hamil. Hipertensi pada kehamilan adalah apabila tekanan
darahnya antara 140/90 mmHg sampai 160/100 mmHg. Hipertensi dalam kehamilan
merupakan komplikasi kehamilan sebagai salah satu trias klasik yang merupakan
penyebab kematian ibu.Selain itu, pasien dengan penyakit hipertensi kehamilan

5
memiliki resiko pelepasan plasenta prematur.

1.3 Epidemiologi
Perdarahan antepartum terjadi kira-kira 3% dari semua persalinan, yang terdiri
dari plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya.
Seperti yang dikutip oleh D.Anurogo, Insidence Rate (IR) plasenta previa di Amerika
Serikat terjadi pada 0,3-0,5% dari semua kelahiran. Menurut FG Cuningham di
Amerika Serikat (1994) ditemukan IR perdarahan antepartum yang disebabkan oleh
plasenta previa 0,3% atau 1 dari setiap 260 persalinan.
Di Indonesia, plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 diantara 200 persalinan (IR
0,5%). Menurut penelitian HR Soedarto di RSU Uli Banjarmasin tahun 1998-2001
tercatat proporsi plasenta previa 82,9% atau 92 kasus dari 111 perdarahan antepartum.
Di RS Santa Elisabeth Medan (1999-2003), ME Simbolon menemukan 90 kasus
plasenta previa dari 116 kasus perdarahan antepartum (proporsi 77,6%) dengan
kematian perinatal 4,4%.
Perdarahan antepartum yang diakibatkan solusio plasenta di Indonesia terjadi kira-
kira 1 diantara 50 persalinan (IR 2%). Menurut penelitian Gunawan di RSU Padang
(1997) dalam FR Bangun ditemukan proporsi solusio plasenta 0,48% atau 1 diantara
210 persalinan. Menurut penelitian HR Soedarto di RSU Uli Banjarmasin tahun 1998-
2001 tercatat proporsi solusio plasenta 5,4% atau 6 kasus dari 111 perdarahan
antepartum.

1.4 Klasifikasi
 Solusio Plasenta
Definisi
Terlepasnya plasenta sebelum waktunya dengan implantasi normal pada
kehamilan trimester ketiga.Terlepasnya plasenta sebelum waktunya menyebabkan
akumulasi darah antara plasenta dan dinding Rahim yang dapat menimbulkan
gangguan-gangguan penyulit terhadap ibu maupun janin.
Pada solusio plasenta, darah tersimpan dalam kavum uteri.Hal ini disebabkan
oleh lepasnya plasenta.Plasenta dapat terlepas secra komplit (20 % kasus) maupun
inkomplit (80% kasus).Apabila plasenta terlepas secara ainkomplit, darah mengalir
melalui serviks.Komplikasi pada kasus inkomplit lebih sedikit dan ringan
dibandingkan plasenta yang lepas secara komplit.
Etiologi
Penyebab utama dari solusio plasenta , masih belum diketahui dengan jelas.
Meskipun demikian , beberapa hal tersebut dibawah ini diduga merupakan faktor –
faktor yang berpengaruh pada kejadiannya, antara lain :
- Hipertensi essensialis atau preeklamsi
- Tali pusat yang pendek
- Trauma
- Tekanan oleh rahim yang membesar pada vena cava inferior
- Uterus yang sangat mengecil ( Hidramnion pada waktu ketuban pecah, kehamilan
ganda pada waktu anak pertama lahir ).
Disamping itu , ada juga pengaruh dari :
- Umur lbu yang tua
- Multiparitas
- Ketuban pecah sebelum waktunya

6
- Defisiensi asam folat
- Merokok, alkohol, kokain

Patofisiologi
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua
basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh
darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik
terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus. Biasanya
perdarahan akan berlangsung terus-menerus/tidak terkontrol karena otot uterus tidak
mampu berkontraksi untuk membantu dalam menghentikan perdarahan yang terjadi.
Hematom ini semakin membesar dan menekan jaringan plasenta sehingga bagian
plasenta yang terlepas juga semakin besar.Akhirnya hematom mencapai pinggir
plasenta dan mengalir keluar antara selaput janin dan dinding rahim.Darah dapat
berada diantara desidua dan membran yang dapat keluar melalui serviks kemudian ke
vagina (pardarahan eksternal).Jika ektravasasi darah masuk hingga miometrium dan
bagian bawah dari serosa bahkan sampai pada ligamentum latum dan melalui tuba
masuk ke rongga panggul dapat menyebabkan couvelaire uterus yakni uterus dengan
darah yang gelap kebiru-biruan, selain itu dapat menyebabkan perdarahan postpartum
karena gangguan kontraksi uterus. Akibat gangguan kontraksi pada uterus dan bekuan
retroplasenter menyebabkan pelepasan tromboplastin yang banyak ke dalam
peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler dimana-mana yang
akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada
keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan
pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya
Klasifikasi
Trijatmo Rachimhadhi membagi solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta
1. Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
2. Solusio plasenta partialis, plasenta terlepas sebagian.
3. Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.
Pritchard JA membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan
1. Solusio plasenta dengan perdarahan keluar
2. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, yang membentuk hematoma
retroplacenter
3. Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion.
Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan solusio
plasenta menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu:
1. Ringan : perdarahan <100-200 cc,uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan,
janin hidup,pelepasan plasenta <1/6 bagian permukaan,kadar fibrinogen plasma >150
mg%
2. Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan,
gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan,
kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.
3. Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati,
pelepasan plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.

Manifestasi Klinis
Gejala klinis secara klasik : perdarahan yang keluar berwarna tua melalui vagina, rasa
nyeri perut dan uterus tegang terus menerus seperti his partus prematurs.
- Solusio plasenta ringan

7
Pada keadaan sangat ringan tidak ada gejala kecuali berukuran beberapa sentimeter
terdapat pada permukaan maternal plasenta.
Rasa nyeri perut yang ringan
Darah keluar masih sedikit
Tanda vital dan keadaan umum ibu atau janin masih baik.
Pada inspeksi dan aulkultasi tidak terdapat kelainan, kecuali palpasi sedikit terasa
nyeri lokal pada daerah hematom
Perut sedikit tegang tetpi bagian janin masih dapat dikenali
Kadar fibrinogen darah masih normal yaitu 350 mg%.
- Solusio plasenta sedang
Nyeri pada perut yang terus-menerus
Denyut jantung janin telah menunjukkan gawat janin
Perdarahan peragianam berwarna hitam yang keluar tampak banyak
Takikardi
Hipotensi
Kadar fibrinogen berkurang antara 150 – 250 mg/100 ml.
Kelainan pembekuan dan gangguan fungsi ginjal
Palpasi bagian-bagian anak sukar.
Penderita mulai syok
Keadaan janin sudah gawat janin, bisa jadi telah ada deselerasi lambat.
- Solusio plasenta berat
Perut sangat nyeri dan tegang seperti papan (defance muscular0
Perdarahan pervagina, berwarna hitam
Fundus uteri lebih tinggi dari seharusnya
Auskulutasi denyut jantung janin tidak terdengar lagi.
Keadaan umum buruk disertai syok.
Hipofibrinogenemia, gangguan fungsi ginjal dan oliguria akibat disseminated
intravascular coagulation (DIC).
Kadar fibrogen < 150 mg% dan ada trombositopenia.

Diagnosis & Diagnosis Banding


1. Anamnesis
- Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien bisa melokalisir
tempat mana yang paling sakit, dimana plasenta terlepas.
- Perdarahan pervaginam yang sifatnya bisa hebat dan sekonyong-konyong (non-
recurrent) terdiri dari darah segar dan bekuan-bekuan darah.
- Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak
tidak bergerak lagi).
- Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, pandangan berkunang-kunang, ibu
kelihatan anemis tidak sesuai dengan banyaknya darah yang keluar.
- Kadang-kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
2. Inspeksi
- Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
- Pucat, sianosis, keringat dingin.
- Kelihatan darah keluar pervaginam.
3. Palpasi
- TFU naik karena terbentuknya retroplasenter hematoma; uterus tidak sesuai
dengan tuanya kehamilan.
- Uterus teraba tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden
uterus) baik waktu his maupun diluar his.
8
- Nyeri tekan terutama di tempat plasenta tadi terlepas.
- Bagian-bagian janin susah dikenali, karena perut (uterus) tegang.
4. Auskultasi
- Sulit, karena uterus tegang. Bila denyut jantung janin terdengar biasanya diatas
140, kemudian turun dibawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas
lebih dari sepertiga.
5. Pemeriksaan dalam
- Serviks bisa telah terbuka atau masih tertutup.
- Kalau sudah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik
sewaktu his maupun diluar his.
- Kalau ketuban sudah pecah dan plasenta sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini
akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus plasenta, ini
sering dikacaukan dengan plasenta previa.
6. Pemeriksaan umum.
- Tensi semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit
vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh syok.
- Nadi cepat, kecil, dan filiformis.
7. Pemeriksaan Ultrasonography (USG).
Ultrasonography adalah suatu metode yang penting untuk mengetahui adanya
pendarahan di dalam uterus. Kualitas dan sensitifitas ultrasonografi dalam mendeteksi
solusio plasenta telah meningkat secra signifikan belakangan ini. Tetapi
bagaimanapun juga ini bukan metode yang sempurna dan sensitif untuk mendeteksi
solusio plasenta, tercatat hanya 25% kasus solusio plasenta yang ditegakkan dengan
USG. Solusio plasenta tampak sebagai gambaran gumpalan darah retroplacental,
tetapi tidak semua solusio plasenta yang di USG ditemukan gambaran seperti di atas.
Pada fase akut, suatu perdarahan biasanya hyperechoic, atau bahkan isoechoic, maka
kita bandingkan dengan plasenta. Gambaran konsisten yang mendukung diagnosa
solusio plasenta antara lain adalah; gumpalan hematom retroplasenta (hyperochoic
hingga isoechoic pada fase akut, dan berubah menjadi hypoechoic dalam satu
minggu), gambaran perdarahan tersembunyi, gambaran perdarahan yang meluas.
Manfaat lainnya adalah USG dapat dipakai untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain perdarahan antepartum.
8. Pemeriksaan laboratorium
- Urin,albumin (+); pada pemeriksaan sedimen terdapat silinder dan lekosit.
- Darah : Hb menurun (anemi), periksa golongan darah, kalau bisa cross match test.
Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah
a/hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation Test) tiap 1
jam, test kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan test kuantitatif fibrinogen (kadar
normalnya 150 mg%).
9. Pemeriksaan plasenta
Sesudah bayi dan plasenta lahir, kita periksa plasentanya. Biasanya tampak
tipis dan cekung di bagian plasenta yang terlepas (krater) dan terdapat koagulum atau
darah beku di belakang plasenta, yang disebut hematoma retroplasenter.

9
DIAGNOSIS BANDING

Solusio plasenta Plasenta previa


Kejadian Hamil tua in partu Hamil tua
Anamnesis Mendadak Perlahan tanpa disadari
Terdapat trauma Tanpa trauma
Perdarahan dengan nyeri Perdarahan tanpa nyeri
Keadaan umum Tidak sesuai dengan Sesuai dengan perdarahaan
perdarahan yang tampak
Anemis, tekanan darah,
nadi, pernapasan tidak
sesuai dengan perdarahan
Dapat disertai pre-
eklamsia/eklamsia
Palpasi abdomen Tegang, nyeri Lembek – tanpa rasa nyeri
Bagian janin sulit diraba Bagian janin mudah diraba
Pemeriksaan dalam Ketuban tegang menonjol Jaringan plasenta
Denyut jantung janin Asfiksia sampai mati Asfiksia
bergantung pada lepasnya Meninggal bila Hb < 5 g%
plasenta

Tatalaksana
1. Solusio plasenta ringan
Dengan tanda perut tegang sedikit, perdarahan tidak terlalu banyak, keadaan janin
masih baik, dapat dilakukan penanganan secara konservatif.Bila perdarahan
berlangsung terus, ketegangan makin meningkat, dengan janin yang masih baik
dilakukan seksio sesaria.Penanganan perdarahan yang berhenti dan keadaan yang baik
pada kehamilan premature dilakukan dirumah sakit.
2. Solusio plasenta sedang dan berat
Penanganannya dilakukan dirumah sakit karena dapat membahayakan jiwa penderita.
Tatalaksananya adalah pemasangan infus dan transfuse darah, memecahkan ketuban,
induksi persalinan atau seksio sesarea. Oleh karena itu, penanganan solusio plasenta
sedang dan berat harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang mencukupi.
Dalam melakukan rujukan diberikan pertolongan darurat :
 Pemasangan infus,
 Tanpa melakukan pemeriksaan dalam
 Diantar petugas yang dapat memberikan pertolongan
 Mempersiapkan donor dari masyarakat atau keluarganya
 Menyertakan keterangan tentang apa yang telah dilakukan untuk memberikan
pertolongan pertama
Pilihan metode kelahiran pada kasus ini bergantung kepada kondisi ibu serta janin,
partus pervaginam dapat dilakukan pada kondisi :
 Derajat pemisahan plasenta sedikit serta hasil CTG reassuring
 Derajat pemisahan plasenta luas tetapi janin sudah meninggal
10
Pengecualian partus pervaginam adalah apabila perdarahan tidak dapat dikontrol dan
operasi memerlukan waktu lebih lama untuk menyelamatkan nyawa ibu atau bayi.
Penanganan kasus-kasus solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya
gejala klinis, yaitu:
a. Solusio plasenta ringan
- Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan
(perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan
tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan.
- Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio plasenta makin
jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta bertambah luas),
maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria,
bila janin mati lakukan amniotomi disusul infus oksitosin untuk mempercepat
persalinan.
b. Solusio plasenta sedang dan berat
- Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di
rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu
seksio sesaria.
- Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah
terjadi sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera
diberikan.
- Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin.
Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat
implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang
mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom
subkhorionik dan terjadinya pembekuan intravaskuler dimana-mana. Persalinan
juga dapat dipercepat dengan memberikan infus oksitosin yang bertujuan untuk
memperbaiki kontraksi uterus yang mungkin saja telah mengalami gangguan.
- Gagal ginjal sering merupakan komplikasi solusio plasenta. Biasanya yang terjadi
adalah nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya masih dapat tertolong
dengan penanganan yang baik. Tetapi bila telah terjadi nekrosis korteks ginjal,
prognosisnya buruk sekali. Pada tahap oliguria, keadaan umum penderita
umumnya masih baik. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan
pengukuran pengeluaran urin yang teliti yang harus secara rutin dilakukan pada
penderita solusio plasenta sedang dan berat, apalagi yang disertai hipertensi
menahun dan preeklamsia. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah
yang hilang, pemberantasan infeksi yang mungkin terjadi, mengatasi
hipovolemia, menyelesaikan persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan
pembekuan darah.
- Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan
pengamatan pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari
bahaya hepatitis, oleh karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada
penderita yang sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan
melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah kelainan
pembekuan darah.
- Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta.
Tetapi jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan
infus oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio
sesaria.

11
- Apoplexi uteroplacenta (uterus couvelaire) tidak merupakan indikasi
histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah
dilakukan seksio sesaria maka tindakan histerektomi perlu dilakukan

Komplikasi
Komplikasi pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas
dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi adalah :
1. Perdarahan. Perdarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta
hampir tidak dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera.
Bila persalinan telah selesai, penderita belum bebas dari bahaya perdarahan
postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan
perdarahan pada kala III, dan kelainan pembekuan darah.
Kontraksi uterus yang tidak kuat itu disebabkan oleh ekstravasasi darah di anatara
otot-otot miometrium, seperti yang terjadi pada uterus Couvelaire. Apabila
perdarahan post-partum itu tidak dapat diatasi dengan kompresi bimanual uterus,
pemberian uterotonika, maupun pengobatan kelainan pembekuan darah, maka
tindakan terakhir untuk mengatasi perdarahan postpartum itu ialah histerektomia
atau pengikatan arteria hipogastrika.
2. Kelainan pembekuan darah. Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta
yang biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemi terjadi kira-kira 10%;
sedangkan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo menurut Wirjohadiwardojo
(1973) terjadi pada 46% dari 134 kasus yang diselidikinya. Terjadinya
hipofibrinogenemi diterangkan oleh Page (1951) dan Schneider (1955) dengan
masuknya tromboplastin ke dalam peredaran darah ibu akibat terjadinya
pembekuan darah retroplasenter, sehingga terjadi pembekuan darah intravaskular
di mana-mana, yang akan menghabiskan factor-faktor pembekuan darah lainnya,
terutama fibrinogen. Selain keterangan yang sederhana ini, masih terdapat banyak
keterangan lain yang lebih rumit.
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup-bulan ialah 450
mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen lebih rendah dari
100 mg%, akan terjadi gangguan pembekuan darah.
3. Oligouria dan gagal ginjal. Hanya dapat diketahui dengan pengukuran teliti
pengeluaran air kencing yang harus secara rutin dilakukan pada solution plasenta
sedang, dan berat, apalagi yang disertai perdarahan tersembunyi, pre-eklamsia,
atau hipertensi menahun. Terjadinya oligouria belum dapat diterangkan dengan
jelas. Sangat mungkin berhubungan dengan hipovolemia, dan penyempitan
pembuluh darah ginjal akibat perdarahan yang banyak. Ada pula yang
menerangkan bahwa tekanan intrauterine yang meninggi karena solution plasenta
menimbulkan refleks penyempitan pembuluh darah ginjal. Kelainan pembekuan
darah berperanan pula dalam terjadinya kelainan fungsi ginjal ini.
4. Gawat janin. Jarang kasus solusio plasenta yang dating ke rumah sakit dengan
janin yang masih hidup. Kalau pun didapatkan janin masih hidup, biasanya
keadaannya sudah demikian gawat, kecuali pada kasus solution plasenta ringan.
Selain itu ada juga :
1. Sindrom sheehan

12
Keadaan hipopituitarisme yang terjadi akibat hemorrhagae intrapartum atau
pascapartum. Dengan penurunan volume darah yang signifikan selama proses
kelahiran, aliran darah ke hipofisis anterior dapat berkurang. Gejala sindrom
sheehan yaitu agalaktore (tidak ada laktasi) dan/atau kesulitan saat laktasi.Gejala
lainnya dapat berupa amenore atau oligomenore.
2. Solusio plasenta rekuren, dilaporkan bisa terjadi pada 25% permepuan yang
pernah solusio plasenta.
3. Solusio plasenta kronik, dilaporkan terjadi dimana pembentukan hematom
retroplasenta berhenti tanpa dijelang oleh persalinan.
4. Koagulopati
5. Kegagalan fungsi ginjal
6. Uterus couvelaire
7. Perdarahan retroplasenta menerobos ke miometriu, bahkan perimetrium,
jaringan ligamentum latum, ovarium, dan bisa mengalir ke rongga peritonei.
8. Sindroma insufisiensi fungsi plasenta
Fungsi plasenta terganggu bila peredarahan darah ke plasenta terjadi
penurunan.Sirkulasi darah ke plasenta menurun bila ibu mengalami perdarahan
banyak dan syok.

Prognosis
Terhadap ibu
Mortalitas menurut kepustakaan 5-10%, sedangkan di RS Pringadi Medan
dilaporkan 6,7%. Hal ini dikarenakan adanya perdarahan sebelum dan sesudah partus,
toksemia gravidarum, kerusakan organ terutama nekrosis korteks ginjal dan infeksi.
Prognosis ibu tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus,
banyaknya perdarahan, derajat kelainan pembekuan darah, ada tidaknya hipertensi
menahun atau preeklampsia, tersembunyi tidaknya perdarahan, jarak waktu antara
terjadinya solutio plasenta dan pengosongan uterus.
Terhadap anak
Mortalitas anak tinggi menurut kepustakaan 70-80%, sedangkan di RS
Pringadi Medan 77,7%. Hal ini tergantung pada derajat pelepasan dari plasenta, bila
yang terlepas lebih dari 1/3 maka kemungkinan kematian anak 100%. Selain itu juga
tergantung pada prematuritas dan tindakan persalinan.
Prognosis janin pada solutio plasenta berat hampir 100% mengalami
kematian.Pada solutio plasenta ringan dan sedang, kematian janin tergantung dari
luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus dan tuanya kehamilan.Perdarahan
lebih dari 2000 mL biasanya menyebabkan kematian janin.
Terhadap kehamilan berikutnya
Biasanya bila telah menderita penyakit vaskuler dengan solusio plasenta, maka
pada kehamilan berikutnya sering terjadio solusio plasenta yang lebih berat dengan
partus prematurus atau immaturus.

Pencegahan
 Hindari minuman beralkohol, merokok, atau penggunaan obat-obatan narkotika dan
psikotropika selama kehamilan
 Pemeriksaan kehamilan ke dokter atau bidan sejak awal diketahui adanya kehamilan
dan secara teratur selama masa kehamilan
 Mengenali dan mengatasi adanya masalah kesehatan pada ibu hamil seperti diabetes
dan tekanan darah tinggi dapat menurunkan resiko terjadinya solusio plasenta.

13
 Plasenta previa
Definisi
Plasenta yang terimplantasi dekat atau pada ostium serviks interna. Ada
beberapa letak plasenta previa :
- Plasenta previa total : ostium serviks interna tertutup seluruhnyaa oleh plasenta.
- Plasenta previa parsial : ostium serviks interna tertutup sebagian oleh plasenta
- Plasenta previa marginalis : ujung plasenta berada pada tepi ostium serviks interna
Menurut Wiknjosastro (2002), Placenta Previa adalah plasenta yang letaknya
abnormal yaitu pada segmen bawah uterus sehingga menutupi sebagian atau seluruh
pembukaan jalan lahir. Manuaba (1998) mengemukakan bahwa plasenta previa adalah
plasenta dengan implantasi di sekitar segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi
sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Plasenta previa adalah plasenta yang
berimplantasi pada segmen bawah rahim dan menutupi sebagian atau seluruh osteum
uteri internum (Saifuddin, 2002).

Klasifikasi
Pembagian plasenta previa menurut tingkatannya :
1. Tinkat 1 , plasenta previa letak rendah (pada pembukaan 4 cm ujung jari dapat
meraba tepi plasenta)
2. Tingkat II, plsenta previa marginalis, tepi plasenta berimpitan dengan tepi
pembukaan, dulu digunakan pembukaan 4 cm.
3. Tingkat III, plasenta previa parsialis, plasenta menutupi sebagian pembukaan
4 cm.
4. Tingkat IV, plasenta previa totalis, seluruh ostium uteri internum tertutup oleh
plasenta, pada pembukaan 4 cm.
Menurut Chalik (2002) klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan
plasenta melalui pembukaan jalan lahir :
a. Plasenta Previa Totalis, yaitu plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri
internum.
b. Plasenta Previa Partialis, yaitu plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri
internum.
c. Plasenta Previa Marginalis, yaitu plasenta yang tepinya agak jauh letaknya dan
menutupi sebagian ostium uteri internum.

14
Gambar 1. Klasifikasi plasenta previa
Menurut De Snoo yang dikutip oleh Mochtar (1998), klasifikasi plasenta previa
berdasarkan pada pembukaan 4 – 5 cm yaitu :
a. Plasenta Previa Sentralis, bila pembukaan 4 – 5 cm teraba plasenta menutupi
seluruh ostium.
b. Plasenta Previa Lateralis, bila pada pembukaan 4 – 5 cm sebagian pembukaan
ditutupi oleh plasenta, dibagi 3 yaitu : plasenta previa lateralis posterior bila
sebagian menutupi ostium bagian belakang, plasenta previa lateralis bila
menutupi ostium bagian depan, dan plasenta previa marginalis sebagian kecil
atau hanya pinggir ostium yang ditutupi plasenta.
Penentuan macamnya plasenta previa tergantung pada besarnya pembukaan, misalnya
plasenta previa totalis pada pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi plasenta
previa parsialis pada pembukaan 8 cm, penentuan macamnya plasenta previa harus
disertai dengan keterangan mengenai besarnya pembukaan (Wiknjosastro, 2002).
Faktor resiko
1. Usia penderita
 Umur muda karena endometrium masih belum sempurna
 Umur diatas 35 tahun karena tumbuh endometrium yang kurang subur.
2. Paritas
Pada paritas yang tinggi kejadian plasenta previa makin besar karena
endometrium belum sempat tumbuh.
3. Endometrium yang cacat
 Bekas persalinan berulang dengan jarak pendek
 Bekas operasi, bekas kuretase atau plasenta manual
 Perubahan endometrium pada mioma uteri atau polip
 Pada keadaan malnutrisi.
4. Kebiasaan merokok
Faktor Risiko Plasenta Previa
a. Faktor predisposisi
Menurut Manuaba (1998), faktor – faktor yang dapat meningkatkan kejadian
plasenta previa adalah umur penderita antara lain pada umur muda < 20 tahun
dan pada umur > 35 tahun, paritas yaitu pada multipara, endometrium yang
cacat seperti : bekas operasi, bekas kuretage atau manual plasenta, perubahan
endometrium pada mioma uteri atau polip, dan pada keadaan malnutrisi karena
plasenta previa mencari tempat implantasi yang lebih subur, serta bekas
persalianan berulang dengan jarak kehamilan < 2 tahun dan kehamilan ≥ 2
tahun. Menurut Mochtar (1998), faktor – faktor predisposisi plasenta previa

15
yaitu: 1) Umur dan paritas Pada paritas tinggi lebih sering dari paritas rendah, di
Indonesia, plasenta previa banyak dijumpai pada umur muda dan paritas kecil.
Hal ini disebabkan banyak wanita Indonesia menikah pada usia muda dimana
endometrium masih belum matang. 2) Endometrium yang cacat Endometrium
yang hipoplastis pada kawin dan hamil muda, endometrium bekas persalinan
berulang – ulang dengan jarak yang pendek (< 2 tahun), bekas operasi, kuratage,
dan manual plasenta, dan korpus luteum bereaksi lambat, karena endometrium
belum siap menerima hasil konsepsi. 3) Hipoplasia endometrium : bila kawin
dan hamil pada umur muda.
b. Faktor pendukung
Menurut Sheiner yang dikutip oleh Amirah Umar Abdat (2010), etiologi
plasenta previa sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun ada
beberapa teori dan faktor risiko yang berhubungan dengan plasenta previa,
diantaranya : 1) Lapisan rahim (endometrium) memiliki kelainan seperti :
fibroid atau jaringan parut (dari previa sebelumnya, sayatan, bagian bedah
Caesar atau aborsi). 2) Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium
belum siap menerima hasil konsepsi. 3) Tumor-tumor, seperti mioma uteri,
polip endometrium. Menurut Sastrawinata (2005), plasenta previa juga dapat
terjadi pada plasenta yang besar dan yang luas, seperti pada eritroblastosis,
diabetes mellitus, atau kehamilan multipel. Sebab – sebab terjadinya plasenta
previa yaitu : beberapa kali menjalani seksio sesarea, bekas dilatasi dan
kuretase, serta kehamilan ganda yang memerlukan perluasan plasenta untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi janin karena endometrium kurang subur (Manuaba,
2001).

c. Faktor pendorong
Ibu merokok atau menggunakan kokain, karena bisa menyebabkan perubahan
atau atrofi. Hipoksemia yang terjadi akibat karbon monoksida akan
dikompensasi dengan hipertrofi plasenta. Hal ini terjadi terutama pada perokok
berat (lebih dari 20 batang sehari) Sastrawinata,(2005).

Patofisiologi
Implantasi plasenta di segmen bawah Rahim sehingga menutupi kanalis
servikalis dan mengganggu proses persalinan dengan terjadi perdarahan. Implantasi
plasenta di segmen bawah Rahim dapat disebabkan oleh endometrium di fundus uteri
belum siap menerima implantasi, endometrium yang tipis sehingga diperlukan
perluasan plasenta untuk mampu memberikan nutrisi janin, villi korealis pada korion
leave yang persisten.
Manifestasi klinis
 Perdarahan tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya jarang dalam jumlah banyak
melainkan terus berkurang. Sesekali perdarahan juga berulang. Bisa pada saat
tidur atau sedang melakukan aktivitas.
 Plasenta previa biasanya berasosiasi dengan implantasi plasenta yang
abnormal :
1. Plasenta akreta : vili-vili plasenta menempel pada myometrium
2. Plasenta inkreta : vili-vili plasenta menginvasi miometrum
3. Plasenta perkreta : vili-vili plasenta menembus melewati myometrium

16
Adanya plasenta akreta, inkreta, atau perkreta akan menyebabkan perdarahan
yang lebih hebat. Kemungkinan infeksi makin tinggi sampai perforasi uterus.
 Bentuk perdarahan dapat sedikit atau banyak dan menimbulkan penyulit pada
janin maupun ibu. Penyulit pada ibu dapat menimbulkan anemia sampai syok.
Sedangkan pada janin dapat menimbulkan asfiksia sampai kematian janin
dalam Rahim.
 Implantasi plasenta di segmen bawah Rahim menyebabkan bagian terendah
tidak mungkin masuk pintu atas panggul atau menimbulkan kelainan letak
janin dalam Rahim.
Diagnosis dan diagosis banding
1. Anamnesis plasenta previa
 Terjadi perdarahan dari uterus pada kehamilan sekitar > 20 minggu
 Sifat perdarahan (tanpa rasa sakit terjadi secara tiba-tiba, tanpa sebab
yang jelas, dapat berulang, perdarahan menimbulkan penyulit pada ibu
maupun janin dalam rahim)
2. Pada inspeksi dijumpai :
 Perdarahan pervaginam cair sampai menggumpal
 Pada perdarahan yang banyak ibu tampak anemis
3. Pemeriksaan fisik ibu
 Dijumpai keadaan bervariasi dari keadaan normal sampai syok.
 Kesadaran penderita bervariasi dari kesadaran baik sampai koma.
 Pada pemeriksaan dapat dijumpai : tekanan darah, tekanan nadi,
pernafasan dalam batas normal. Tekanan darah turun, nadi dan
pernafasan meningkat, tampak anemis.
4. Pemeriksaan khusus kebidanan
 Pemeriksaan palpasi abdomen (janin belum cukup bulan, tinggi fundus
uteri sesuai dengan usia kehamilan. Karena plasenta di segmen bawah
Rahim, maka dapat dijumpai kelainan letak janin di dalam Rahim dan
bagian terendah masih tinggi).
 Pemeriksaan denyut jantung janin bervariasi dari normal sampai
asfiksia dan kematian dalam Rahim.
 Pemeriksaan dalam dilakukan diatas meja operasi dan siap untuk
segera mengambil tindakan. Tujuan pemeriksaan dalam : untuk
menegakkan diagnosis pasti, mempersiapkan tindakan untuk
melakukan operasi persalinan atau hanya memecahkan ketuban. Hasil
pemeriksaan dalam teraba plasenta sekitar ostium uteri internum.
 Pemeriksaan penunjang (pemeriksaan ultrasonografi, mengurangi
pemriksaan dalam, menegakkan diagnosis)
Pemeriksaan standar baku untuk plasenta previa adalah dengan USG,
baik USG transabdominal, trasvaginal maupun transperineal.
USG transvaginal dan transperineal dapat membantu diagnosis
plasenta previa yang letaknya posterior.
Diagnosis banding
Gejala dan tanda Faktor Penyulit lain Diagnosis
predisposisi
* Perdarahan tanpa * multipara * Syok Plasenta

17
nyeri, usia gestasi >28 * mioma uteri * perdarahan setelah previa
minggu * usia lanjut koitus
* Darah segar *kuretase * Tidak ada kontraksi
*Perdarahan dapat berulang uterus
terjadi setelah miksi * bekas SC * Bagian terendah janin
atau defekasi, aktivitas * merokok tidak masuk PAP
fisik, kontraksi braxton *Bisa terjadi gawat
hicks atau koitus janin
* Perdarahan dengan * Hipertensi * Syok yang tidak Solusio
nyeri intermitten atau * versi luar sesuai dengan jumlah plasenta
menetap *Trauma darah (tersembunyi)
* Warna darah abdomen * anemia berat
kehitaman dan cair, * Polihidramnion * Melemah atau
tapi mungkin ada * gemelli hilangnya denyut
bekuan jika solusio * defisiensi gizi jantung janin
relatif baru * gawat janin atau
* Jika ostium terbuka, hilangnya denyut
terjadi perdarahan jantung janin
berwarna merah segar. * Uterus tegang dan
nyeri
* Perdarahan * Riwayat seksio *Syok atau takikardia Ruptur
intraabdominal sesarea *Adanya cairan bebas uteri
dan/atau vaginal *Partus lama atau intraabdominal
* Nyeri hebat sebelum kasep *Hilangnya gerak atau
perdarahan dan syok, *Disproporsi denyut jantung janin
yg kemudian hilang kepala /fetopelvik *Bentuk uterus
setelah terjadi *Kelainan abnormal atau
regangan hebat pada letak/presentasi konturnya tidak jelas.
perut bawah (kondisi *Persalinan * Nyeri raba/tekan
ini tidak khas) traumatik dinding perut dan
bagian2 janin mudah
dipalpasi
*Perdarahan berwarna * solusio plasenta * perdarahan gusi Gangguan
merah segar. * janin mati * gambaran memar pembekuan
* Uji pembekuan darah dalam rahim bawah kulit darah
tidak menunjukkan * eklamsia * perdarahan dari
adanya bekuan darah * emboli air tempat suntikan jarum
setelah 7 menit ketuban infus
* Rendahnya faktor
pembekuan darah,
fibrinogen, trombosit,
fragmentasi sel darah

Tatalaksana
1. Semua pasien dengan kecurigaan plasenta previa dirujuk ke spesialis obstetric
dan ginekologi untuk diagnosis serta tata laksana. Pilihan tata laksana
bergantung pada usia kehamilan :
 Apabila perdarahan terjadi pada masa kehamilan lebih awal, biasanya
diberikan transfuse dan tokolitik sampai usia kehamilan 32-34 minggu.

18
 Pada usia 34 minggu, dipertimbangkan antara resiko perdarahan dalam
maturasi kandungan.
 Waktu kelahiran biasanya ditentukan tingkat kematangan paru janin.
Maturasi paru dilakukan dengan pemberian deksametason 2X12 mg
IM dalam jarak 24 jam atau deksametason 4X6 mg per oral selama 2
hari.
Pilihan cara kelahiran :
 Seksio sesarea merupakan cara kelahiran terpilih pada kasus plasenta
previa.
 Kelahiran per vaginam dapat dilakukan pada kasus plasenta previa
marginalis dengan presentasi kepala. Pada cara ini, selaput ketuban
biasanya dipecahkan terlebih dahulu untuk merangsang kelahiran.
Bentuk pertolongan pada plasenta previa adalah :
1. Segera lakuka operasi persalinan untuk menyelamatkan ibu dan anak atau
untuk mengurangi kesakitan dan kematian.
2. Memecahkan ketuban di atas meja operasi selanjutnya pengawasan untuk
dapat melakukan pertolongan lebih lanjut.
3. Bidan yang menghadapi perdarahan plasenta previa dapat mengambil sikap
melakukan rujukan ke tempat pertolongan yang mempunyai fasilitas yang
cukup.
Tatalaksana
Terapi atau tindakan terhadap gangguan ini dilakukan di tempat praktik. Pada
kasus perdarahan yang banyak, pengobatan syok adalah dengan infuse Macrodex,
Periston, Haemaccel, Plasmagel, Plasmafudin. Pada kasus pasien gelisah, diberikan
10 mg valium (diazepam) IM atau IV secara perlahan.

Komplikasi
 Maternal : perdarahan, syok, kematian, infeksi, emboli, solusio plasenta
 Fetus : premature, kematian, perdarahan janin
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu hamil dengan plasenta previa, adalah :
a. Perdarahan dan syok.

19
b. Infeksi.
c. Laserasi serviks.
d. Prematuritas atau lahir mati
Prognosis
Prognosis maternal biasanya baik. Prognosis bayo bergantung pada usia kehamilan.
Pada kasus premature, plasenta previa menjadi penyebab utama kematian perinatal.

2. Memahami dan Menjelaskan Hipertensi dalam Kehamilan


2.1 Definisi
Hipertensi dalam kehamilan adalah adanya tekanan darah 140/90 mmHg atau
lebih setelah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensif, atau
kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan distolik 15 mmHg di atas nilai
normal.

2.2 Etiologi
Penyebab primer belum diketahui pasti, namun ada beberapa faktor yang menjadi
predisposisi
1. Faktor kardio-reno-vaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia.
Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus
solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi tersebut mempunyai
penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan.

2. Faktor trauma
 Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.
 Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas,
versi luar atau tindakan pertolongan persalinan
 Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
3. Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Beberapa penelitian
menerangkan bahwa makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan
endometrium.

4. Faktor usia ibu


Makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun.

5. Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio


plasenta apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomyoma.
6. Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan
pelepasan katekolamin yang bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh
darah uterus dan berakibat terlepasnya plasenta. Namun, hipotesis ini belum terbukti
secara definitive.

20
7. Faktor kebiasaan merokok.
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta
sampai dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat
diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan
beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya.
8. Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio
plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak memiliki riwayat solusio
plasenta.
9. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena
cava inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dan lain-
lain.
2.3 Epidemiologi
Angka Kematian Ibu (AKI) Berdasarkan data resmi Survei Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2007, terus mengalami penurunan. Pada tahun 2004 yaitu
270 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2005 yaitu 262 per 100.000 kelahiran hidup,
tahun 2006 yaitu 255 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2007 menjadi 228 per
100.000 kelahiran hidup. Menurut Profil Kesehatan Indonesia (2010), walaupun
sudah terjadi penurunan AKI di Indonesia, namun angka tersebut masih menempatkan
Indonesia pada peringkat 12 dari 18 negara ASEAN dan SEARO (South East Asia
Region, yaitu: Bangladesh, Bhutan, Korea Utara, India, Maladewa, Myanmar, Nepal,
Timor Leste, dan lain-lain).
Negara- negara didunia memberikan perhatian cukup besar terhadap AKI
sehingga menempatkan kesehatan ibu diantara delapan tujuan yang tertuang dalam
Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai sebelum 2015, AKI di
Indonesia harus mencapai 125 per 100.000 kelahiran hidup. Komitmen yang ditanda
tangani 189 negara pada September 2000, pada prinsipnya bertujuan meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan manusia (Yustina, 2007).
Angka Kematian Ibu di Provinsi Sumatera Utara dalam 4 tahun terakhir
menunjukkan kecenderungan penurunan, dari 320 per 100.000 kelahiran hidup, pada
tahun 2006 menjadi 315 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2007 menjadi 275
per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2008 sebesar 260 per 100.000 kelahiran
hidup dan pada tahun 2009 sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup (Dinkes Propsu,
2009).
Angka Kematian Ibu di Kabupaten Langkat pada tahun 2010 yaitu 238 per
100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu di Indonesia masih disebabkan oleh
trias klasik (perdarahan, infeksi dan eklamsi), dan non medis (status gizi, faktor
ekonomi, sosial budaya).
Salah satu kasus dari komplikasi kehamilan sebagai penyumbang AKI di
Indonesia adalah hipertensi dalam kehamilan. Menurut Cunningham, dkk (1995)
kehamilan dapat menyebabkan hipertensi pada wanita yang sebelumnya dalam
keadaan normal atau memperburuk hipertensi pada wanita yang sebelumnya telah
menderita hipertensi. Hipertensi sebagai penyulit dalam kehamilan sering ditemukan
dan merupakan salah satu dari tiga besar, selain pendarahan dan infeksi, yang terus
menjadi penyebab utama sebagian besar kematian ibu di Amerika serikat. Menurut
Bobak (2004), hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7% sampai 10%
seluruh kehamilan.

21
Lebih lanjut data kejadian hipertensi pada kehamilan juga diungkapkan oleh
WHO yang dikutip oleh Khan dan rekan dalam Boestari (1998) bahwa secara
sistematis, 16% kematian ibu di negara-negara maju di seluruh dunia disebabkan
karena hipertensi. Persentase ini lebih besar dari tiga penyebab utama lainnya yaitu
perdarahan 13 %, aborsi 8 %, dan sepsis 2 %. Di Amerika Serikat pada tahun 1991-
1997, Berg dan rekan dalam Cuningham (1995) melaporkan bahwa hampir 16 % dari
3.201 kematian ibu berasal dari komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan
kehamilan.
Dalam Profil Kesehatan Indonesia (2008) diketahui bahwa eklampsia (24%)
adalah persentase tertinggi kedua penyebab kematian ibu setelah perdarahan (28%).
Kejang bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak
terkontrol saat persalinan. Hipertensi ini dapat terjadi karena kehamilan dan akan
kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun, ada juga yang tidak kembali
normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah
diderita ibu sebelum hamil.
Menurut Zweifel dalam Manuaba (2007) mengungkapkan bahwa cukup banyak
teori tentang bagaimana hipertensi pada kehamilan dapat terjadi sehingga disebut
sebagai “disease of theory”. Beberapa landasan teori yang dikemukakan yaitu teori
genetik, teori immunologis, teori iskemia region uteroplasenter, teori kerusakan
endotel pembuluh darah, teori radikal bebas, teori trombosit dan teori diet. Ditinjau
dari teori yang telah disebutkan di atas, maka teori diet merupakan salah satu faktor
risiko yang dapat dikendalikan dengan melakukan upaya pencegahan oleh ibu hamil.
Faktor gizi yang sangat berhubungan dengan terjadinya hipertensi melalui
beberapa mekanisme. Aterosklerosis merupakan penyebab utama terjadinya hipertensi
yang berhubungan dengan diet seseorang. Konsumsi lemak yang berlebih,
kekurangan konsumsi zat gizi mikro (vitamin dan mineral) sering dihubungkan pula
dengan terjadinya ateroklerosis, antara vitamin C, vitamin E dan vitamin B6 yang
meningkatkan kadar homosistein. Tingginya konsumsi vitamin D merupakan factor
terjadinya asteroklerosis dimana terjadi deposit kalsium yang menyebabkan rusaknya
jaringan elastis sel dinding pembuluh darah (Kurniawan, 2002).
Berbagai faktor defesiensi gizi juga diperkirakan berperan sebagai penyebab
eklampsia. Banyak saran yang diberikan untuk menghindarkan hipertensi misalnya
dengan menghindari konsumsi daging berlebihan, protein, purine, lemak, hidangan
siap saji (snack), dan produk-produk makanan instan lain. Hasil penelitian
Sastrawinata, dkk (2003) bahwa faktor gizi memiliki hubungan dengan kejadian
hipertensi pada ibu hamil karena disebabkan kekurangan kalsium, protein, kelebihan
garam natrium, atau kekurangan asam lemak tak jenuh “Poly Unsaturated Fatty Acid
(PUFA)” dalam makanannya. John, dkk (2002) dalam Rozikhan, (2007) menemukan
bahwa diet buah dan sayur banyak mengandung aktivitas non-oksidan yang dapat
menurunkan tekanan darah. Zhang, dkk (2002) dalam Rozikhan, (2007) menemukan
kejadian pre-eklampsia pada pasien dengan asupan vitamin C harian kurang dari 85
mg dapat meningkat menjadi 2 kali lipat.
Menurut Blum dalam Notoatmojo (2007) bahwa status kesehatan
individu/masyarakat sangat dipengaruhi oleh lingkungan, perilaku, pelayanan
kesehatan dan herediter/keturunan. Berdasarkan teori tersebut dapat dikatakan bahwa
status kesehatan ibu hamil dapat dipengaruhi oleh perilaku ibu dalam
memelihara/merawat kesehatan selama hamil. Dalam program perawatan kehamilan
(antenatal care) terdapat beberapa perilaku sehat yang dianjurkan agar ibu hamil dan
janin sehat selama kehamilan dan persalinan. Perilaku sehat tersebut antara lain
pemeriksaan kehamilan, kebiasaan makan, aktivitas fisik dan senam hamil. Kebiasaan

22
makan ibu hamil sangat mempengaruhi kondisi fisik ibu maupun janinnya. Gizi yang
baik membantu ibu mengurangi terjadinya kesulitan dalam kehamilan dan kelelahan
yang biasanya akan menyebabkan ketegangan dan bertambahnya rasa sakit pada
proses persalinan.
Hal tersebut serupa dengan yang diungkapkan oleh Manuaba, (2004), bahwa salah
satu hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan antenatal care adalah gizi saat
hamil yang dapat memperburuk kehamilan. Untuk mengetahui keterkaitan antara
faktor gizi ibu hamil dengan kejadian komplikasi kehamilan seperti hipertensi pada
kehamilan dapat dijelaskan oleh Sastrawinata, dkk (2003) bahwa faktor nutrisi
memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi pada ibu hamil karena disebabkan
kekurangan kalsium, protein, kelebihan garam natrium, atau kekurangan asam lemak
tak jenuh “Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA)” dalam makanannya.
Berdasarkan hasil penelitian Paramitasari (2005) dalam Rozikhan, (2007) tentang
hubungan antara gaya hidup selama masa kehamilan dan kejadian pre-eklampsia
diketahui bahwa pola makan sebagai salah satu bentuk dari gaya hidup yang memiliki
hubungan signifikan dengan kejadian pre-eklampsia pada ibu hamil. Untuk itu, perlu
disarankan pada ibu hamil agar memastikan pola makannya memenuhi kebutuhan gizi
yang dianjurkan.
Faktor predisposisi lain yang berhubungan dengan kejadian pre-eklampsia
diantaranya adalah primigravida, obesitas, dan kenaikan berat badan yang berlebihan.
Menurut Husaini (1992) kenaikan berat badan yang dianggap baik untuk orang
Indonesia ialah 9 kg. Kenaikan berat badan ibu tidak sama, tetapi pada umumnya
kenaikan berat badan tertinggi adalah pada umur kehamilan 16–20 minggu, dan
kenaikan yang paling rendah pada 10 minggu pertama kehamilan.
Dalam penelitian Riestyawati (2004) menjelaskan tentang pengaruh jumlah
kehamilan, pertambahan berat badan dan tingkat kecukupan gizi (protein,kalsium)
terhadap kejadiaan preklampsia pada kehamilan yaitu ada pengaruh yang signifikan
antara jumlah kehamilan dan pertambahan berat badan dengan kejadian pre-
eklampsia. Dari uji hubungan asosiasi diperoleh hasil bahwa jumlah kehamilan dan
pertambahan berat badan merupakan faktor risiko terhadap kejadian pre-eklampsia.
Kegemukan disamping menyebabkan kolesterol tinggi dalam darah juga
menyebabkan kerja jantung lebih berat, oleh karena jumlah darah yang berada dalam
badan sekitar 15% dari berat badan, maka makin gemuk seorang makin banyak pula
jumlah darah yang terdapat di dalam tubuh yang berarti makin berat pula fungsi
pemompaan jantung, sehingga dapat menyumbangkan terjadinya pre-eklampsia
(Rozikhan, 2007).
Salah satu penilaian status gizi secara langsung adalah antropometri (ukuran tubuh
manusia). Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi berhubungan erat
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berat badan (BB) merupakan salah satu
ukuran yang sering digunakan untuk pengukuran antropometri (selain lingkar lengan
atas/LILA, tinggi badan/TB dan tebal lemak bawah kulit). Berat badan
mengambarkan jumlah dari protein, lemak air dan mineral pada tubuh dan menjadi
parameter yang baik untuk melihat perubahan massa tubuh akibat perubahan-
perubahan konsumsi makanan dan perubahan kesehatan (Supariasa, 2001).
Berdasarkan hasil survei pendahuluan di RSU. Tanjung Pura Kabupaten Langkat pada
tahun 2010 diketahui bahwa dari 970 orang ibu yang melakukan pemeriksaan
kehamilan di RS tersebut terdapat 107 orang ibu mengalami hipertensi yang ditandai
dengan kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di

23
atas nilai normal (11,0%), 7 orang ibu hamil (6,54%) diantaranya sudah terdiagnosa
menderita pre-eklampsia dan 4 orang ibu hamil (3,73%) menderita eklampsia.

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the National
High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in
Pregnancy tahun 2001, ialah:
1. Hipertensi kronik
2. Preeclampsia-eklamsia
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia
4. Hipertensi gestasional.

Penjelasan pembagian klasifikasi


1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20
minngu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20
minggu dan hipertensi menetapsampai 12 minggu persalinan.
2. Preeklamsia adalah hypertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
dengan proteinuria
3. Eklamsia adalah preeklamsi yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau koma
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia adalah hipertensi kronik
disertai tanda-tanda preeklamsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria
5. Hipertensi gestasional( disebut juga transient hypertension) adalah hipertensi yang
timbul pada kehamilan tanpa disertai dengan proteinuria dan hypertensi
menghilang setelah 3 bulan pasca persalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda
preeklamsia tetapi tanpa proteinuria.

2.5 Patofisiologi
a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas

Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam kehamilan
terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”, dengan akibat plasenta mengalami iskemia.
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (disebut juga
radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima electron atau
atom/molekul yang mempunyai electron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting
yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis,
khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan
pada manusia adalah suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk
perlindungan tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah, maka dulu hipertensi dalam
kehamian disebut “toxaemia”. Radikal hidroksil akan merusak membrane sel, yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak
selain akan merusak membrane sel, juga akan merusak nucleus, dan protein sel endotel.
Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan
produksi anti oksidan.

b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya
peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, missal vitamin E pada hipertensi dalam

24
kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relative
tinggi. Perksidan lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar
diseuruh tubuh daam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel
endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung
berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam
lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah
menjadi peroksida lemak.
c. Disfungsi sel endotel

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel
endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel
endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel
endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel.

2. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G.


Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam
desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur
sehingga memudahkan terjadinaya reaksi inflamasi.
3. Teori adaptasi kardiovaskular

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan


vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor.
Artinya daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehinggapembuluh
darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipert ensi dalam
kehamilan sudah terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan pada
kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada
kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya
hipertensi dalam kehamilan.
4. Teori defisiensi gizi

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan


dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian yang penting yang pernah dilakukan
di inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu sebelum
pecahnya Perang Dunia ke II. Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan
perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir
membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termaksud minyak hati halibut dapat
mengurangi risiko preeclampsia.
5. Teori inflamasi

Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah
debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga msih dalam batas
normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana ada preeklampsia
terjadi peningkatan stresoksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas
juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada
hamil ganda, maka reaksi stress oksidatif kan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris
trofobls juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam
darah ibu menjadi juh lebih besar, dibanding reaksi inflamsi pada kehamilan normal. Respons

25
inflamasi ini akan mengaktifasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar
pula, sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala pada
preeklampsia pada ibu.
 Terpajan ke villus korion pertama kali
 Terpajan ke villus korion dalam jumlah yang sangat besar
 Sudah mengidap penyakit vascular
 Secara genetik rentan terhadap hipertensi yang timbul saat hamil
Menurut Sibai (2003) terdapat beberapa penyebab potensial :
 Invasi trophoblas abnormal
 Faktor imunologis
 Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular dan peradangan dari kehamilan
normal
 Faktor nutrisi.
 Faktor genetik.

2.6 Manifestasi Klinik


Gejala dan tandanya dapat berupa :
1. Hipertensi
Hipertensi merupakan kriteria paling penting dalam diagnosa penyakit preeklampsia.
Hipertensi ini sering terjadi sangat tiba-tiba. Banyak primigravida dengan usia muda
memiliki tekanan darah sekitar 100-110/60-70 mmHg selama trimester kedua.
Peningkatan diastolik sebesar 15 mmHg atau peningkatan sistolik sebesar 30 mmHg
harus dipertimbangkan (William obstetri, 2010).
2. Hasil pemeriksaan laboratorium Proteinuria merupakan gejala terakhir timbul.
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3 gr/liter dalam
urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukan (+1 sampai 2+ dengan metode
dipstik) atau > 1 gr/liter melalui proses urinalisis dengan menggunakan kateter atau
midstream yang diambil urin sewaktu minimal dua kali dengan jarak waktu 6 jam
(Wiknjosastro, 2006). Hemoglobin dan hematokrit meningkat akibat
hemokonsentrasi. Trombositopenia biasanya terjadi. Terjadi peningkatan FDP,
fibronektin dan penurunan antitrombin III. Asam urat biasanya meningkat diatas 6
mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada preeklampsia
berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat dehidrogenase bisa
sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan elektrolit pada pasien
preeklampsia biasanya dalam batas normal. Urinalisis ditemukan proteinuria dan
beberapa kasus ditemukan hyaline cast.
3. Edema Edema pada kehamilan normal dapat ditemukan edema dependen, tetapi jika
terdapat edema independen yang djumpai di tangan dan wajah yang meningkat saat
bangun pagi merupakan edema yang patologis. Kriteria edema lain dari pemeriksaan
fisik yaitu: penambahan berat badan > 2 pon/minggu dan penumpukan cairan didalam
jaringan secara generalisata yang disebut pitting edema > +1 setelah tirah baring 1
jam.

2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding


DIAGNOSIS
1. HG-Hipertensi Gestasional

26
TD-Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg terjadi pertama kali dalam kehamilan. Tidak
terdapat Proteinuria, Tekanan darah kembali normal dalam waktu < 12 minggu pasca
persalinan. Diagnosa akhir hanya dapat ditegakkan pasca persalinan. Dapat disertai
dengan gejala PE Berat : nyeri epgastrium atau trombositopenia.
2. PE-Preeclampsia
KRITERIA MINIMUM
a. TD ≥ 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu
b. Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ dispstick
c. PRE-EKLAMPSIA BERAT ( PE disertai dengan satu atau lebih gejala berikut
dibawah ini) : TD ≥ 160/110 mmHg pada kehamilan > 20 minggu, Proteinuria 2.0
g/24 jam ≥ 2+ (dispstick), Serum Creatinine > 1.2 mg/dL (kecuali bila
sebelumnya sudah abnormal ), Trombosit < 100.0000 / mm3, Microangiopathic
hemolysis ( increase LDH ), Peningkatan ALT atau AST, Nyeri kepala atau
gangguan visual persisten, Nyeri epigastrium.

DIAGNOSIS BANDING
1. Eklampsia
Eklampsia adalah gejala preeklampsia berat yang disertai dengan kejang tonik
klonik generalisata atau menyeluruh bahkan koma.
2. Superimposed Preeklampsia ( pada hipertensi kronik ).
Penderita tidak mengalami aura dan mengalami serangan kejang dengan interval
tidak sadar yang bervariasi. Permulaan kejang tonik ditandai dengan gerakan kejang
twitching dari otot – otot muka khususnya sekitar mulut, beberapa detik disusul
kontraksi otot – otot tubuh menegang sehingga seluruh tubuh kaku. Pada kondisi ini,
wajah penderita mengalami distorsi, bola mata menonjol, kedua lengan fleksi, tangan
menggenggam, dan kedua tungkai posisi inverse. Setelah berlangsung selama 15 – 30
detik, kejang tonik segera disusul kejang klonik.
Kejang klonik ditandai terbukanya rahang secara tiba – tiba dan tertutup kembali
dengan kuat, terbuka dan tertutupnya kelopak mata kemudian diikuti kontraksi
intermitten otot – otot muka maupun seluruh tubuh. Gejala – gejala yang lain yaitu
wajah membengkak karena kongesti, bintik – bintik perdarahan pada konjungtiva,
mulut mengeluarkan liur berbusa disertai bercak – bercak darah, dan lidah tergigit
akibat kontraksi otot rahang terbuka dan tertutup. Setelah lebih kurang 1 menit,
kejang klonik berangsur melemah, diam dan penderita terjadi koma. Setelah kejang
berakhir, frekuensi pernapasan meningkat cepat mencapai 50 kali per menit sebagai
respon terjadinya hiperkarbia akibat asidemia laktat, asidosis respiratorik, dan
hipoksia. Terjadinya demam dengan suhu 390 C, merupakan tanda yang sangat buruk
akibat manifestasi perdarahan dari sistem saraf pusat.
Proteinuria “new onset” ≥ 300 mg / 24 jam pada penderita hipertensi yang tidak
menunjukkan adanya proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu. Atau Peningkatan
TD atau kadar proteinuria secara tiba tiba atau trombositopenia < 100.000/mm3 pada
penderita hipertensi dan proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
3. Hipertensi Kronis
a. TD ≥ 140 / 90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan
tidak terkait dengan penyakit trofoblas gestasional
b. HT terdiagnosa pertama kali setelah kehamilan 20 minggu dan menetap sampai >
12 minggu pasca persalinan.

27
c. ALT = Alanin aminotranferase AST = Aspartate aminotranferase
d. LDH = Lactate Dehydrogenase

2.8 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan pre-eklampsia
1) melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2) mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3) mengatasi atau menurunkan risiko janin (solusio plasenta, pertumbuhan janin terhambat,
hipoksia sampai kematian janin)
4) melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan cepat sesegera mungkin setelah matur,
atau imatur jika diketahui bahwa risiko janin atau ibu akan lebih berat jika persalinan ditunda
lebih lama.

Penatalaksanaan pre-eklampsia ringan


1) dapat dikatakan tidak mempunyai risiko bagi ibu maupun janin
2) tidak perlu segera diberikan obat antihipertensi atau obat lainnya, tidak perlu dirawat kecuali
tekanan darah meningkat terus (batas aman 140-150/90-100 mmHg).
3) istirahat yang cukup (berbaring / tiduran minimal 4 jam pada siang hari dan minimal 8 jam
pada malam hari)
4) pemberian luminal 1-2 x 30 mg/hari bila tidak bisa tidur
5) pemberian asam asetilsalisilat (aspirin) 1 x 80 mg/hari.
6) bila tekanan darah tidak turun, dianjurkan dirawat dan diberi obat antihipertensi : metildopa 3
x 125 mg/hari (max.1500 mg/hari), atau nifedipin 3-8 x 5-10 mg/hari, atau nifedipin retard 2-
3 x 20 mg/hari, atau pindolol 1-3 x 5 mg/hari (max.30 mg/hari).
7) diet rendah garam dan diuretik TIDAK PERLU
8) jika maturitas janin masih lama, lanjutkan kehamilan, periksa tiap 1 minggu
9) indikasi rawat : jika ada perburukan, tekanan darah tidak turun setelah 2 minggu rawat jalan,
peningkatan berat badan melebihi 1 kg/minggu 2 kali berturut-turut, atau pasien menunjukkan
tanda-tanda pre-eklampsia berat. Berikan juga obat antihipertensi.
10) jika dalam perawatan tidak ada perbaikan, tatalaksana sebagai pre-eklampsia berat. Jika
perbaikan, lanjutkan rawat jalan
11) pengakhiran kehamilan : ditunggu sampai usia 40 minggu, kecuali ditemukan pertumbuhan
janin terhambat, gawat janin, solusio plasenta, eklampsia, atau indikasi terminasi lainnya.
Minimal usia 38 minggu, janin sudah dinyatakan matur.
12) persalinan pada pre-eklampsia ringan dapat dilakukan spontan, atau dengan bantuan ekstraksi
untuk mempercepat kala II.

Penatalaksanaan pre-eklampsia berat


Dapat ditangani secara aktif atau konservatif.
Aktif berarti : kehamilan diakhiri / diterminasi bersama dengan pengobatan medisinal.
Konservatif berarti : kehamilan dipertahankan bersama dengan pengobatan medisinal.
Prinsip : Tetap pemantauan janin dengan klinis, USG, kardiotokografi

1) Penanganan aktif.
Penderita harus segera dirawat, sebaiknya dirawat di ruang khusus di daerah kamar bersalin.
Tidak harus ruangan gelap.
Penderita ditangani aktif bila ada satu atau lebih kriteria ini :
- ada tanda-tanda impending eklampsia
- ada HELLP syndrome
- ada kegagalan penanganan konservatif
- ada tanda-tanda gawat janin atau IUGR
- usia kehamilan 35 minggu atau lebih
(Prof.Gul : 34 minggu berani terminasi. Pernah ada kasus 31 minggu, berhasil, kerjasama
dengan perinatologi, bayi masuk inkubator dan NICU)

28
JANGAN LUPA : OKSIGEN DENGAN NASAL KANUL, 4-6 L / MENIT
Pengobatan medisinal : diberikan obat anti kejang MgSO4 dalam infus dextrose 5% sebanyak
500 cc tiap 6 jam. Cara pemberian MgSO4 : dosis awal 2 gram intravena diberikan dalam 10
menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan sebanyak 2 gram per jam drip infus (80 ml/jam
atau 15-20 tetes/menit).
Syarat pemberian MgSO4 :
- frekuensi napas lebih dari 16 kali permenit
- tidak ada tanda-tanda gawat napas
- diuresis lebih dari 100 ml dalam 4 jam sebelumnya - refleks patella positif.
MgSO4 dihentikan bila : - ada tanda-tanda intoksikasi - atau setelah 24 jam pasca persalinan -
atau bila baru 6 jam pasca persalinan sudah terdapat perbaikan yang nyata. Siapkan antidotum
MgSO4 yaitu Ca-glukonas 10% (1 gram dalam 10 cc NaCl 0.9%, diberikan intravena dalam 3
menit).
Obat anti hipertensi diberikan bila tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg atau tekanan
darah diastolik lebih dari 110 mmHg. Obat yang dipakai umumnya nifedipin dengan dosis 3-4
kali 10 mg oral. Bila dalam 2 jam belum turun dapat diberi tambahan 10 mg lagi.
Terminasi kehamilan : bila penderita belum in partu, dilakukan induksi persalinan dengan
amniotomi, oksitosin drip, kateter Folley, atau prostaglandin E2. Sectio cesarea dilakukan bila
syarat induksi tidak terpenuhi atau ada kontraindikasi partus pervaginam. Pada persalinan
pervaginam kala 2, bila perlu dibantu ekstraksi vakum atau cunam.

2) Penanganan konservatif
Pada kehamilan kurang dari 35 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia
dengan keadaan janin baik, dilakukan penanganan konservatif.
Medisinal : sama dengan pada penanganan aktif. MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda preeclampsia ringan, selambatnya dalam waktu 24 jam. Bila sesudah 24 jam tidak
ada perbaikan maka keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan dan harus segera
dilakukan terminasi.
JANGAN LUPA : OKSIGEN DENGAN NASAL KANUL, 4-6 L / MENIT
Obstetrik : pemantauan ketat keadaan ibu dan janin. Bila ada indikasi, langsung terminasi.

2.9 Pencegahan
Mengetahui bahaya hipertensi tersebut, ibu hamil diharapkan untuk menjaga
kehamilannya. Berikut ini beberapa hal yang bisa Anda lakukan untuk menghindari
terkena hipertensi.
1. Perhatikan pola makan.
Kehamilan yang sehat membutuhkan asupan nutrisi yang cukup dari berbagai
makanan yang Anda konsumsi. Penuhi kebutuhan gizi Anda setiap hari dan pastikan
kebutuhan protein, mineral, karbohidrat, vitamin, dan serat tercukupi. Perbanyak
mengonsumsi sayuran, ikan, buah-buahan, serta minum air putih. Kurangi
mengonsumsi makanan yang mengandung hidrat arang dan garam.

2. Konsumsi makanan yang mampu menurunkan tekanan darah.


Ikan, cokelat, pisang, dan jeruk dapat membantu menurunkan tekanan darah
Anda. Bahkan, kandungan nutrisi yang ada dalam bahan makanan tersebut dapat
menunjang pertumbuhan dan perkembangan janin secara maksimal.
3. Terapkan pola hidup sehat.
Kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol dapat memicu timbulnya
hipertensi. Bahkan, dampak negatif dari gaya hidup yang tidak sehat ini berdampak
buruk pada kesehatan janin.
4. Rajin olahraga.

29
Olahraga bermanfaat melancarkan sirkulasi darah dan oksigen dalam tubuh.
Dengan rajin berolahraga ringan, seperti jalan kaki, renang, yoga, dan lain-lain dapat
membantu menurunkan tekanan darah Anda.
5. Hindari stress.
Stres dapat memicu naiknya tekanan darah Anda. Karena itu, usahakan agar
pikiran Anda tetap tenang dan gembira agar tekanan darah Anda tetap normal.
6. Hindari kelelahan.
Kelelahan dan kurang istirahat pada ibu hamil juga dapat menyebabkan tekanan
darah tiggi.
7. Rajin kontrol ke dokter.
Rajinlah memeriksakan kondisi kehamilan Anda pada dokter kandungan atau
bidan. Lakukan pengecekan secara rutin terhadap tekanan darah Anda.

2.10 Komplikasi
Akibat Preeklampsia pada ibu
Akibat gejala preeklampsia, proses kehamilan maternal terganggu karena terjadi
perubahan patologis pada sistem organ, yaitu :
1. Jantung Perubahan pada jantung disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload
akibat hipertensi dan aktivasi endotel sehingga terjadi ekstravasasi cairan
intravaskular ke ekstraselular terutama paru. Terjadi penurunan cardiac preload
akibat hipovolemia.
2. Otak Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi.
Jika autoregulasi tidak berfungsi, penghubung penguat endotel akan terbuka
menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah keluar ke ruang ekstravaskular.
3. Mata Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada satu
atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina
yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan
berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Skotoma, diplopia
dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan gejala yang menunjukan
akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan aliran darah
pada pusat penglihatan di korteks serebri maupun didalam retina (Wiknjosastro,
2006).
4. Paru Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat yang
mengalami kelainan pulmonal maupun non-pulmonal setelah proses persalinan.
Hal ini terjadi karena peningkatan cairan yang sangat banyak, penurunan tekanan
onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai
pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang diproduksi oleh hati.
5. Hati Pada preeklampsia berat terdapat perubahan fungsi dan integritas hepar,
perlambatan ekskresi bromosulfoftalein, dan peningkatan kadar aspartat
aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum
disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta. Pada
penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk, dengan menggunakan sonografi
Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika.
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar menyebabkan
terjadinya peningkatan enzim hati didalam serum. Perdarahan pada lesi ini

30
dapatmengakibatkan ruptur hepatika, menyebar di bawah kapsul hepar dan
membentuk hematom subkapsular (Cunningham, 2005).
6. Ginjal Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama glomeruloendoteliosis,
yaitu pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan
penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya
meningkat terutama pada preeklampsia berat. Pada sebagian besar wanita hamil
dengan preeklampsia, penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus
tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar kreatinin
plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil
(sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus preeklampsia berat, kreatinin
plasma meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau
berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini disebabkan perubahan intrinsik ginjal akibat
vasospasme yang hebat (Cunningham, 2005).
Kelainan pada ginjal biasanya dijumpai proteinuria akibat retensi garam dan air.
Retensi garam dan air terjadi karena penurunan laju filtrasi natrium di glomerulus
akibat spasme arteriol ginjal. Pada pasien preeklampsia terjadi penurunan
ekskresi kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus
(Cunningham,2005). Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa glomerulopati,
terjadi karena peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan
berat molekul tinggi, misalnya: hemoglobin, globulin, dan transferin. Protein –
protein molekul ini tidak dapat difiltrasi oleh glomerulus.
7. Darah Kebanyakan pasien preeklampsia mengalami koagulasi intravaskular
(DIC) dan destruksi pada eritrosit (Cunningham, 2005). Trombositopenia
merupakan kelainan yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari
150.000/μl ditemukan pada 15 – 20 % pasien. Level fibrinogen meningkat pada
pasien preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah
normal. Jikaditemukan level fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia,
biasanya berhubungan dengan terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental
abruption). Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dapat terjadi HELLP
syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati
dan jumlah platelet rendah.
8. Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit Pada preeklampsia, sekresi
renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang, proses sekresi aldosteron pun
terhambat sehingga menurunkan kadar aldosteron didalam darah. Pada ibu hamil
dengan preeklampsia kadar peptida natriuretik atrium juga meningkat. Hal ini
terjadi akibat ekspansi volume yang menyebabkan peningkatan curah jantung dan
penurunan resistensi vaskular perifer. Pada pasien preeklampsia terjadi
pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial yang disertai peningkatan
hematokrit, protein serum, viskositas darah dan penurunan volume plasma. Hal
ini mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.
Akibat preeklampsia pada janin
Penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta.
Hal ini mengakibatkan hipovolemia, vasospasme, penurunan perfusi uteroplasenta
dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta sehingga mortalitas janin
meningkat (Sarwono prawirohardjo, 2009). Dampak preeklampsia pada janin, antara
lain: Intrauterine growth restriction (IUGR) atau pertumbuhan janin terhambat,
oligohidramnion, prematur, bayi lahir rendah, dan solusio plasenta.
2.11 Prognosis

31
Prognosis selalu dipengaruhi oleh komplikasi yang menyertai penyakit
tersebut. Prognosis untuk hipertensi dalam kehamilan selalu serius. Penyakit ini
adalah penyakit paling berbahaya yang dapat mengenai wanita hamil dan janinnya.
Angka kematian ibu akibat hipertensi ini telah menurun selama 3 dekade terakhir ini
dari 5% -10% menadi kurang dari 3% kasus.

DAFTAR PUSTAKA
Ayu I, Bagus I, et al 2012.Ilmu kebidanan Penyakit Kandungan, Dan KB Ed 2.Jakarta : EGC,
2010.
Cris T, Frans L, et al 2014. Kapita selekta kedokteran Ed. 4.Jakarta : Media Aesculapius.
Cunningham, Garry F., M. D. et al: Antepartum Assesment, Williams Obstetrics, 22nd ed,
Connecticut: Appleton & Lange, 2002.
Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam : Ilmu Bedah
Kebidanan, edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2006.
Hanifa Wiknjosastro, Abdul Bari Saifudin, Trijatmo Rachimhadhi, dalam : Ilmu Kebidanan,
edisi pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010.
Saifuddin, A B. 2010. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawihardjo Ed 4. Jakarta : PT Bina
Pustaka.

32

Anda mungkin juga menyukai