Oleh
• Meritryana P07124113148
• Norhayati P07124113160
• Syafiah P07124113186
TAHUN 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Emboli cairan ketuban merupakan sindrom dimana setelah sejumlah cairan ketuban
memasuki sirkulasi darah maternal, tiba-tiba terjadi gangguan pernafasan yang akut dan shock.
Sindrom cairan ketuban adalah sebuah gangguan langka dimana sejumlah besar cairan ketuban
tiba – tiba memasuki aliran darah.
Emboli cairan ketuban adalah masuknya cairan ketuban beserta komponennya ke dalam
sirkulasi darah ibu. Yang dimaksud komponen di sini ialah unsur-unsur yang terdapat di air
ketuban seperti lapisan kulit janin yang terlepas, rambut janin, lapisan lemak janin, dan
musin/cairan kental. yang dapat menghambat pembuluh darah dan mencairkan darah yang
mempengaruhi koagulasi. Dua tempat utama masuknya cairan ketuban dalam sirkulasi darah
maternal adalah vena yang dapat robek sekalipun pada persalinan normal. Ruptura uteri
meningkatkan kemampuan masuknya cairan ketuban. (dr. Irsjad Bustaman, SpOG.2009)
Emboli cairan ketuban dapat terjadi bila ada pembukaan pada dinding pembuluh darah
dan dapat terjadi pada wanita tua/ usia lebih dari 30 tahun, sindrom janin mati, Multiparitas,
Janin besar intrauteri, Insidensi yang tinggi kelahiran dengan operasi, Menconium dalam cairan
ketuban dan kontraksi uterus yang kuat. Dua puluh lima persen wanita yang menderita keadaan
ini meninggal dalam waktu 1 jam. Emboli air ketuban atau EAK (Amniotic fluid embolism)
merupakan kasus yang sangat jarang terjadi. Kasusnya antara 1 : 8.000 sampai 1 : 80.000
kelahiran. Bahkan hingga tahun 1950, hanya ada 17 kasus yang pernah dilaporkan. Sesudah
tahun 1950, jumlah kasus yang dilaporkan sedikit meningkat.
Dalam kenyataannya memang emboli cairan ketuban jarang dijumpai, namun kondisi ini
dapat mengakibatkan kematian ibu dengan cepat. Sekalipun mortalitas tinggi, emboli cairan
tidak selalu membawa kematian pada tiap kasus. 75% wanita meninggal sebagai akibat langsung
emboli. Sisanya meninggal akibat perdarahan yang tidak terkendali. Meskipun jarang terjadi,
tetapi bila edema cairan ketuban terjadi pada wanita, maka akan menyumbat aliran darah ke
paru, yang bila meluas akan mengakibatkan penyumbatan dijantung, sehinggaa iskemik dan
kematian jantung secara mendadak bisa terjadi. Karena wanita tersebut akan mengalami
gangguan penapasan, syok, hipotermi, Dyspnea, Batuk, Hipotensi perubahan pada membran
mukosa akibat dari hipoksia Cardiac arrest. Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak
adanya penjelasan lain (DIC terjadi di 83% pasien.). Risiko emboli cairan ketuban tidak bisa
diantisipasi jauh-jauh hari karena emboli paling sering terjadi saat persalinan. Dengan kata lain,
perjalanan kehamilan dari bulan ke bulan yang lancar-lancar saja, bukan jaminan ibu aman dari
ancaman EAK. Sementara bila di persalinan sebelumnya ibu mengalami EAK, belum tentu juga
kehamilan selanjutnya akan mengalami kasus serupa. Begitu juga sebaliknya.
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini :
1. Mengetahui apa yang dimaksud emboli air ketuban
2. Mengetahui penyebab timbulnya emboli air ketuban
3. Mengetahui faktor – faktor resiko dari emboli air ketuban
4. Mengetahui gejala klinis dari emboli air ketuban
5. Mengetahui diagnosis sampai penanganan emboli air ketuban
D. Faktor resiko
1. Multiparitas dan Usia lebih dari 30 tahun
Shock yang dalam yang terjadi secara tiba – tiba tanpa diduga pada wanita yang
proses persalinanya sulit atau baru saja menyelesaikan persalinan yang sulit . Khususnya
kalau wanita itu multipara berusia lanjut dengan janin yang amat besar , mungkin sudah
meningal dengan meconium dalam cairan ketuban, harus menimbulkan kecurigaan, pada
kemungkinan ini ( emboli cairan ketuban ) .
2. Plasenta akreta
a. Janin besar intrauteri
Menyebabkan rupture uteri saat persalinan, sehingga cairan ketuban pun dapat
masuk melalui pembuluh darah.
b. Robeknya rahim
c. Adanya infeksi pada selaput ketuban
Salah satu penyebab infeksi tersering adalah vaginosis bakterialis, yang terjadi akibat
ketidakseimbangan flora normal di saluran vagina.
3. Menconium dalam cairan ketuban
8. Partus presipitatus
Partus presipitatus jarang disertai dengan komplikasi maternalyagn serius jika serviks
mengadakan penipisan serta dilatasi denganmudah, vagina sebelumnya sudah teregang
dan perineum dalam keadaanlemas (relaksasi). Namun demikian, kontraksi uterus yang
kuat disertaiserviks yang panjang serta kaku, dan vagina, vulva atau perineum yangtidak
teregang dapat menimbulkan rupture uteri atau laserasi yang luas pada serviks, vagina,
vulva atau perineum. Dalam keadaan yang terakhir,emboli cairan ketuban yang langka
itu besar kemungkinannya untuk terjadi. Uterus yang mengadakan kontraksi dengan
kekuatan yang tidak lazim sebelum proses persalinan bayi, kemungkinan akan
menjadihipotonik setelah proses persalinan tersebut dan sebagai konsekuensinya,akan
disertai dengan perdarahan dari templat implantasi placenta(Sarwono, 2005).
9. Amniosentesis
Prosedur ini digunakan untuk mengambil cairan ketuban, cairan yang ada di
rahim. Ini dilakukan di tempat praktek dokter atau di rumah sakit. Sebuah jarum
dimasukkan melalui dinding perut ibu ke dalam rahim, menggunakan USG untuk
memandu jarum. Sekitar satu cairan diambil untuk pengujian. Cairan ini mengandung
sel-sel janin yang dapat diperiksa untuk tes kromosom. Dibutuhkan sekitar 2 minggu
untuk menentukan apakah janin sindrom Down atau tidak.
Amniocentesis biasanya dilakukan antara 14 dan 18 minggu kehamilan; beberapa
dokter mungkin melakukannya pada awal minggu ke-13. Efek samping kepada ibu
termasuk kejang, perdarahan, infeksi dan bocornya cairan ketuban setelah itu. Ada
sedikit peningkatan risiko keguguran: tingkat normal saat ini keguguran kehamilan
adalah 2 sampai 3%, dan amniosentesis meningkatkan risiko oleh tambahan 1 / 2 sampai
1%. Amniosentesis tidak dianjurkan sebelum minggu ke-14 kehamilan karena risiko
komplikasi lebih tinggi dan kehilangan kehamilan.
10. Suction curettahge
11. Terminasi kehamilan
12. Trauma abdomen
13. Versi luar
E. Fisiologi
Ketuban (Amnion) manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau
ke-8 perkembangan mudigah. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion, berkembang
menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal mudigah. Karena semakin
membesar, amnion secara bertahap menekan mudigah yang sedang tumbuh, yang mengalami
prolaps ke dalam rongga amnion.
Cairan ketuban (amnion) pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena adanya
campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang berasal dari lanugo, sel epitel, dan
material sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar 800 ml, atau antara
400 ml -1500 ml dalam keadaan normal. Pada kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30
ml, dan kehamilan 20 minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan 30 minggu, cairan
amnion lebih mendominasi dibandingkan dengan janin sendiri.
Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki peran tersendiri pada
setiap usia kehamilan. Pada kehamilan awal, cairan amnion sebagian besar diproduksi oleh
sekresi epitel selaput amnion. Dengan bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion
didominasi oleh kulit janin dengan cara difusi membran. Pada kehamilan 20 minggu, saat kulit
janin mulai kehilangan permeabilitas, ginjal janin mengambil alih peran tersebut dalam
memproduksi cairan amnion. Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di
sekresikan dari urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea. Pada penelitian dengan
menggunakan radioisotop, terjadi pertukaran sekitar 500 ml per jam antara plasma ibu dan cairan
amnion
F. Patofisiologi
Perjalanan cairan amnion memasuki sirkulasi ibu tidak jelas, mungkin melalui laserasi
pada vena endoservikalis selama diatasi serviks, sinus vena subplasenta, dan laserasi pada
segmen uterus bagian bawah. Kemungkinan saat persalinan, selaput ketuban pecah dan
pembuluh darah ibu (terutama vena) terbuka. Akibat tekanan yang tinggi, antara lain karena rasa
mulas yang luar biasa, air ketuban beserta komponennya kemungkinan masuk ke dalam sirkulasi
darah. Walaupun cairan amnion dapat masuk sirkulasi darah tanpa mengakibatkan masalah tapi
pada beberapa ibu dapat terjadi respon inflamasi yang mengakibatkan kolaps cepat yang sama
dengan syok anafilaksi atau syok sepsis. Selain itu, jika air ketuban tadi dapat menyumbat
pembuluh darah di paru-paru ibu dan sumbatan di paru-paru meluas, lama kelamaan bisa
menyumbat aliran darah ke jantung. Akibatnya, timbul dua gangguan sekaligus, yaitu pada
jantung dan paru-paru.
Pada fase I, akibat dari menumpuknya air ketuban di paru-paru terjadi vasospasme arteri
koroner dan arteri pulmonalis. Sehingga menyebabkan aliran darah ke jantung kiri berkurang
dan curah jantung menurun akibat iskemia myocardium. Mengakibatkan gagal jantung kiri dan
gangguan pernafasan. Perempuan yang selamat dari peristiwa ini mungkin memasuki fase II.
Fase II Ini adalah fase perdarahan yang ditandai dengan pendarahan besar dengan rahim
atony dan Coagulation Intaravakuler Diseminata ( DIC ) adalah gangguan darah dimana bekuan-
bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh
darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan
perdarahan). Masalah koagulasi sekunder mempengaruhi sekitar 40% ibu yang bertahan hidup
dalam kejadian awal. Dalam hal ini masih belum jelas cara cairan amnion mencetuskan
pembekuan. Kemungkinan terjadi akibat dari embolisme air ketuban atau kontaminasi dengan
mekonium atau sel-sel gepeng menginduksi koagulasi intravaskuler.
Cotton pada tahun 1996, mengemukakan teori untuk menjelaskan kerusakan yang terjadi
dalam kasus emboli air ketuban. Secara patofisiologis, terjadi dua fase :
a. Fase pertama
Air ketuban beserta komponennya memasuki sirkulasi darah -> adanya mediator
biokimiawi yang dikeluarkan oleh tubuh -> terjadi vasospasme arteri paru-paru -> terjadi
hipertensi pembuluh darah dari paru -> kenaikan tekanan ventrikel kanan -> terjadi hipoksia ->
adanya kerusakan otot jantung dan paru-paru -> gagal jantung kiri -> terjadi kegagalan
pernafasan
b. Fase kedua
Adanya mediator biokimiawi -> gangguan pembekuan darah (DIC) -> fase perdarahan yang
ditandai dengan perdarahan dan hilangnya kontraksi rahim.
K. Pemeriksaan Diagnostik
1. Gas darah arteri : pO2 biasanya menurun.
2. Tekanan vena sentralis dapat meningkat, normal, atau subnormal tergantung pada
kuantitas hilangnya darah. Darah vena sentralis dapat mengandung debris selular cairan
amninon.
3. Gambaran koagulasi ( fibrinogen, hitung jumlah trombosit, massa protrombin, produk
pecahan fibrin. Dan massa trombo (lastin parsial ) biasanya abnormal , menunjukkan
DIC.
4. EKG dapat memperlihatkan regangan jantung kanan akut.
5. Keluaran urin dapat menurun, menunjukkan perfusi ginjal yang tidak adekuat.
6. Foto toraks biasanya tidak diagnostic tapi dapat menunjukkan infiltrate. Scan paru
dapat memperlihatkan defek perfusi yang sesuai dengan proses emboli paru.
L. Penanganan
1. Terapi awal adalah memperbaiki cardiac output dan mengatasi DIC.
2. Penatalaksanaan primer bersifat suportif dan diberikan secara agresif.
a) Terapi krusnal , meliputi : resusitasi , ventilasi , bantuan sirkulasi , koreksi defek yang
khusus ( atonia uteri , defek koagulasi )
b) Penggatian cairan intravena & darah diperlukan untuk mengkoreksi hipovolemia &
perdarahan
c) Oksitosin yang di tambahkan ke infus intravena membantu penanganan atonia uteri.
d) Morfin ( 10 mg ) dapat membantu mengurangi dispnea dan ancietas .
e) Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskular dengan menghambat
proses perbekuan
f) Amniofilin ( 250 – 500 mg ) melalui IV mungkin berguna bila ada bronkospasme .
g) Isoproternol di berikan perlahan – lahan melalui Iv untuk menyokong tekanan darah
sistolik kira – kira 100 mmHg
h) Kortikosteroid secara IV mungkin bermanfaat .
i) Oksigen selalu merupakan indikasi intubasi dan tekan akhir ekspirasi positif (PEEP)
mungkin diperlukan .
j) Untuk memperbaiki defek koagulasi dapat digunakan plasma beku segar dan sedian
trombosit.
2. Bila anak belum lahir, lakukan Sectio Caesar dengan catatan dilakukan setelah keadaan
umum ibu stabil
3. X ray torak memperlihatkan adanya edema paru dan bertambahnya ukuran atrium kanan
dan ventrikel kanan.
4. Laboratorium : asidosis metabolik ( penurunan PaO2 dan PaCO2)
5. Terapi tambahan :
a) Resusitasi cairan
b) .Infuse Dopamin untuk memperbaiki cardiac output
c) Adrenalin untuk mengatasi anafilaksis
d) .Terapi DIC dengan fresh froozen plasma
e) Terapiperdarahan pasca persalinandenganoksitosin
f) Segera rawat di ICU
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Emboli air ketuban merupakan masuknya cairan ketuban dan komponen-
komponenya kedalam sirkulasi darah ibu, komponen tersebut berupa unsur- unsur yang ada
dalam air ketuban misalnya lapisan kulit janin yang terlepas, rambut janin , lapisan lemak
janin, dan mosin atau cairan kental,
Tanda dan gejala :
• Hipotensi ( syok ), terutama disebabkan reaksi anapilactis terhadap adanya bahan –
bahan air
• ketuban dalam darah terutama emboli meconium bersifat lethal.
• Gawat janin ( bila janin belum dilahirkan )
• Edema paru atau sindrom distress pernafasan dewasa.
• Henti kardiopulmoner
• Sianosis
• Koagulopati
• Dispnea / sesak nafas yang sekonyong – konyongnya
• Kejang, kadang perdarahan akibat KID merupakan tanda awal.
Cotton pada tahun 1996, mengemukakan teori untuk menjelaskan kerusakan yang terjadi
dalam kasus emboli air ketuban. Secara patofisiologis, terjadi dua fase :
a. Fase pertama
Air ketuban beserta komponennya memasuki sirkulasi darah -> adanya mediator
biokimiawi yang dikeluarkan oleh tubuh -> terjadi vasospasme arteri paru-paru -> terjadi
hipertensi pembuluh darah dari paru -> kenaikan tekanan ventrikel kanan -> terjadi hipoksia
-> adanya kerusakan otot jantung dan paru-paru -> gagal jantung kiri -> terjadi kegagalan
pernafasan
b. Fase kedua
Adanya mediator biokimiawi -> gangguan pembekuan darah (DIC) -> fase
perdarahan yang ditandai dengan perdarahan dan hilangnya kontraksi rahim.
B. SARAN
Untuk mencegah terjadinya emboli air ketuban Sedapat mungkin lakukan proses kelahiran
normal. Makin sedikit pembuluh darah yang luka atau sobek, semakin kecil risiko menderita
emboli. Dalam operasi, pembuluh darah yang luka sangat banyak sehingga peluang terjadinya
emboli semakin besar. Ibu hamil harus rutin kontrol dan periksa kandungan. Frekuensi menjadi
makin sering saat sudah mendekati hari perkiraan kelahiran (HPL), sedikitnya seminggu sekali.
Konsultasikan dengan bidan maupun dokter kandungan mengenai proses kelahiran apa yang
sebaiknya dijalani, tentunya dengan memperhitungkan, antara lain, ukuran panggul ibu dan
lingkar kepala bayi.
DAFTAR PUSTAKA
Heller luz, 1997. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri, Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta
Hk Joseps dan M. Nugroho S, 2011. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (Obsgyn), Nuha
Medika: Yogyakarta
Anonim. Obsetri dan Ginekologi, 1984. Obstetri Patologi, Fakultas Kedokteran: Bandung
http://chellious.wordpress.com/2014/02/07/emboli-air-ketuban-atau-emboli-cairan-amnion-
eca/#more-1770 diakses pada tanggal 27 oktober 2014, pukul 15.30 wita
http://bidanku.com/waspadai-emboli-ketuban-penyumbatan-sirkula si-darah-pasca-melahirkan
diakses pada tanggal 27 oktober 2014, pukul 18.40 wita