Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Konsep Dasar Masa Nifas

2.1.1

Definisi
Masa nifas adalah masa dari kelahiran plasenta dan selaput janin ( menandakan

akhir periode intrapartum) hingga kembalinya traktus reproduksi wanita pada kondisi
tidak hamil. Periode pemulihan pasca partum berlangsung sekitar 6 minggu (Varney,
2003).
Masa nifas adalah periode selama dan tepat setelah kelahiran dan 6 minggu
berikutnya saat terjadi involusi kehamilan normal (Cunningham,2004).
Masa nifas (puerperium) adalah masa dimulai saat kelahiran plasenta dan
berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil.Masa nifas
berlangsung selama kira-kira 6-8 minggu ( Sarwono, 2006).
2.1.2

Tahapan masa nifas


Menurut Sitti Saleha (2009), tahapan yang terjadi pada masa nifas dibagi
dalam 3 periode, yaitu:
1.

Periode immediate postpartum


Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam.Pada masa ini sering
terjadi banyak masalah, misalnya perdarahan karena atonia uteri.Oleh karena itu,
bidan dengan teratur harus melakukan pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran
lokhea, tekanan darah, dan suhu.

2.

Periode early postpartum (24 jam-1 minggu)


Pada fase ini bidan memastikan involusi uteri dalam keadaan normal, tidak ada
perdarahan, lokhea tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup mendapat
makanan dan cairan, serta dapat menyusui dengan baik.

3.

Periode late postpartum (1minggu-5 minggu)


Pada tahap ini bidan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari-hari serta
konseling KB.

2.1.3
1.

Perubahan fisiologis dan anatomis puerperium


Uterus

Segera setelah lahirnya plasenta, pada uterus yang berkontraksi posisi fundus uteri berada
kurang lebih pertengahan antara umbilikus dan simfisis, atau sedikit lebih tinggi. Dua

hari kemudian, kurang lebih sama dan kemudian mengerut, sehingga dalam dua minggu
telah turun masuk ke dalam rongga pelvis dan tidak dapat diraba lagi dari luar.
Tinggi fundus uteri dan berat uterus menurut masa involusi
Involusi
Bayi lahir
1 minggu
2 minggu
6 minggu
8 minggu
2.

TFU
Setinggi pusat
Pertengahan pusat simfisis
Tidak teraba diatas simfisis
Normal
Normal seperti sebelum hamil

Berat Uterus
1000 gram
750 gram
500 gram
50 gram
30 gram

Lokia

Lokia adalah istilah untuk sekret dari uterus yang keluar melalui vagina selam puerperium.
Karena perubahan warnanya, nama diskriptif lokia berubah menjadi lokia rubra, serosa
atau alba.
a.

Lokia Rubra

Berwarna merah karena mengandung darah.Ini adalah lokia pertama yang mulai keluar
segera setelah kelahiran dan terus berlanjut selama dua hingga tiga hari pertama pasca
partus lokia rubra terutama mengandung darah dan jaringan desidua.
b.

Lokia serosa

Mulai terjadi sebagai bentuk yang lebih pucat dari likia rubra, lokia ini berhenti sekitar 7
hingga 8 hari kemudian dengan warna merah muda, kuning, atau putih hingga transisi
menjadi lokia alba. Lokia serosa terutam mengandung cairan serosa, jaringan desidua,
leukosit dan eritrosit.
c.

Lokia alba

Mulai terjadi sekitar hari ke sepuluh pasca partum dan hilang sekitar pariode dua minggu.
Pada beberapa wanita, lokia ini tetap ada pada saan pemeriksaan pasca partum. Warna
lokia alba putih krem dan terutama mengandung leukosit dan sel desidua.
Lokia mempunyai karakteristik bau, Seperti aliran menstruasi. Bau lokia ini paling kuat pada
lokia serosa. Bau tersebut lebih kuat lagi jika bercampur dengan keringat dan harus
secara cermat dibedakan dengan bau tidak sedap yang mengidentifikasi adanya infeksi
(Helen Varney, 2003:960)
3.

Vagina dan perineum

Segera setelah pelahiran, vagina tetap terbuka lebar, mungkin mengalami bebrapa derajat
edema dan memar, dan celah pada introitus.Setelah satu hingga dua hari pertama
pascapartum, tonus otot vagina kembali, celah vagina tidak lebar dan vagian tidak lagi
edema.Ukurannya menurun dengan kembalinya rugae vagina sekitar minggu ketiga

pascapartum.Ruang vagina selalu sedikit lebih besar daripada sebelum kelahiran


pertama. Akan tetapi, latihan pengencangan otot perineum akan mengembalikan
tonusnya dan memungkinkan wanita secara perlahan mengencangkan vaginanya.
Pengencangan ini sempurna pada akhir puerperium dengan latihan setiap hari.
4.

Payudara (mamae)

Pada semua wanita

yang telah melahirkan proses laktasi terjadi secara alami. Proses

menyusui mempunyai dua mekanisme fisiologis yakni produksi ASI dan sekresi ASI
(let down reflec). Selama smbilan bulan kehamilan, jaringan payudara tumbuh dan
menyiapkan fungsinya untuk menyediakan makanan bagi bayi baru lahir. Setelah
melahirkan, ketika hormon yang dihasilkan plasenta tidak lagi menghambat kerja
kelenjar pituitari akan mengeluarkan prolaktin. Sampai hari ketiga efek prolaktin bisa
dirasakan.Pembulu darah payudara menjadi bengkak terisi darah, sehingga timbul rasa
hangat, bengkak, dan sakit.
5.

Sistem pencernaan

Mual dan muntah terjadi akibat produksi saliva meningkat pada kehamilan trimester I, gejala
ini terjadi 6 minggu setelah HPHT dan berlangsung kurang lebih 10 minggu juga
terjadi pada ibu nifas. Pada ibu nifas terutama yang mengalami partus lama dan
terlantar mudah terjadi ileus paralitikus, yaitu

adanya obstruksi usus akibat tidak

adanya peristaltik usus. Penyebabnya adalah penekanan, pengaruh psikis takut BAB
akibat jahitan pada perineum.
6.

Sistem perkemihan

Pelvis ginjal dan ureter yang teregang dan berdilatasi selama kehamilan kembali normal pada
akhir minggu keempat setelah melahirkan.Pemeriksaan sistokopik segera setelah
melahirkan menunjukan tidak hanya edema dan hiperemia dinding kandung kemih,
tetapi sering kali terdapat ekstravasasi darah pada submukosa.Diuresis yang norml
dimulai segera setelah persalinan sampai hari kelima.Jumlah urin yang keluar dapat
melebihi 3000 ml per hari. Ureter dan pelvis renalis yag mengalami distensi akan
kembali normal pada 2-8 minggu setelah persalinan.
7.

Sistem muskulosketetal

Ligamen-ligamen, fasia, dan diafragma pelvis yang meregang sewaktu kehamilan dan
persalinan berangsur-angsur kembali seperti sedia kala.Tidak jarang ligamentum
rotundum mengendur, sehingga uterus jatuh ke belakang.Fasia jaringan penunjang alat
genetalia yang mengendur dapat diatasi dengan latihan tertentu.Mobilitas sendi
berkurang dan posisi lordosis kembali secara perslahan-lahan.

8.

Sistem endokrin

Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan pada sistem endokrin terutama
pada hormon-hormon yang berperan dalam proses tersebut. Oksitosin berperan dalam
pelepasan plasenta, mempertahankan kontraksi sehingga mencegah perdaarahan.Pada
masa nifas, isapan bayi saat menyusu merangsang produksi ASI dan sekresi oksitosin.
Hal tersebut membantu dalam proses involusi uterus. Menurunnya kadar estrogen
merangsang kelenjar pituitari bagian belakang untuk mengeluarkan prolaktin, hormon
ini berperan dalam pembesaran payudara untuk merangsang produksi ASI.
Diperkirakan bahwa tingkat estrogen yang tinggi memperbesar hormon antidiuretik
yang meningkatkan volume darah.Disamping itu, progesteron mempengaruhi otot halus
yang mengurangi perangsangan dan peningkatan pembuluh darah.
9.
a.

Perubahan tanda-tanda vital


Suhu. Suhu tubuh wanita postpartum tidak lebih dari 37,2 0 C. Setelah partus dapat
naik kurang lebih 0,5 0 C dari keadaan normal. Setelah 2 jam pertama postpartum
umumnya suhu akan kembali normal. Jika suhu lebih dari 380 C kemungkinan terjadi
infeksi.

b.

Nadi dan pernapasan. Nadi berkisar 60-80 kali permenit setelah partus dan dapat terjadi
brakikardi. Bila terjadi takikardi dan suhu tidak panas kemungkinan terjadi perdarahan.
Pernapasan akan meningkat setelah persalinan dan akan normal kembali.

c.

Tekanan darah. Pada beberapa kasus akan ditemukan keadaan hipertensi postpartum
dan akan menghilang dengan sendirinya apabila tidak terdapat penyakit penyerta dalam
bulan tanpa pengobatan.

10.

Sistem hematologi dan kardiovaskular

Leukositosis adalah meningkatnya jumlah sel-sel darah putih sampai sebanyak 15.000 selama
persalinan. Leukosit akan tetap tinggi jumlahnya selama beberapa hari pascapersalinan.
Jumlah hemoglobion dan hematokrit serta eritrosit akan sangat bervariasi pada awal
masa nifas sebagai akibat dari volume darah, plasma, dan sel darah yang berubah. Jika
hematokrit pada hari pertama atau kedua lebih rendah dari titik 2% atau lebih tinggi dari
pada saat persalinan awal, maka klien dianggap kehilangan darah yang cukup banyak. 2
% tersebut sama dengan 500 ml darah.
2.1.4

Proses Adaptasi Psikologis

Menurut Sitti (2009), periode adaptasi psikologis masa nifas yang dikemukakan oleh Reva
Rubin terjadi pada tiga tahap, sebagai berikut:
1.

Taking in period

Timbul pada hari 1 sampai 2 hari post partum ibu masih sangat pasif dan bergantung pada
orang lain, fokus perhatian terhadap tubuhnya, ibu lebih mengingat pengalaman
persalinan yang dialaminya, serta kebutuhan tidur dan nafsu makan meningkat.
2.

Taking Hold period

Berlangsung 3-4 hari post partum. Ibu lebih berkonsentrasi pada kemampuannya dalam
menerima tanggung jawab sepenuhnya terhadap peraawatan bayi.Pada masa ini ibu
menjadi sangat sensitive sehingga membutuhkan bimbingan dan dukungann perawat
untuk mengatasi kritkan yang dialami ibu.
3.

Letting go period

Dialami setelah ibu dan bayi tiba di rumah.Ibu mulai secara penuh menerima tanggung jawab
dan menadari atau merasa kebutuhan bayi sangat bergantung pada dirinya.
2.1.7

Patologi Masa Nifas

Masa nifas merupakan masa rawan yang rawan bagi ibu. Menurut Sitti (2009) Patologi yang
sering terjadi pada masa nifas adalah sebagai berikut:
1.

Infeksi masa nifas

Adalah infeksi pada traktus genetalia setelah persalinan, biasanya dari endometrium bekas
insersi plasenta.
2.

Perdarahan dalam masa nifas

Penyebab perdarahan dalam masa nifas adalah sebagai berikut:


a)

Sisa plasenta dan polip plasenta

b)

Endometritis puerperalis

c)

Sebab-sebab fungsional

d)

Perdarahan luka

3.

Infeksi saluran kemih

Kejadian infeksi saluran kemih pada masa nifas relative tinggi dan hal ini dihubungkan
dengan hipotoni kandung kemih akibat trauma kandung kemih waktu persalinan,
pemeriksaan dalam yang terlalu sering, kontaminasi kuman dari perineum, atau
kateterisasi yang sering.
4.

Patologi menyusui

Masalah menyusui pada umumnya terjadi dalam dua minggu pertama masa nifas. Berikut
adalah masalah-masalah yang biasanya terjadi dalam pemberian ASI:
a)

Putting susu lecet

b)

Payudara bengkak

c)

Saluran susu tersumbat

d)

Mastitis

e)

Abses payudara

2.2

Konsep Dasar Asma Bronchiale

2.2.1

Pengertian
Asma Bronchiale adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten reversibel

dimana trakea dan bronki berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli
tertentu (Smeltzer & Suzanne, 2001)
asma didefinisikan suatu keadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya
penyempitan bronkus yang berulang namun reversibel. (Price, 1994)
Asma merupakan suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang
bersifat reversible, ditandai dengan adanya periode bronkospasme, peningkatan respon
trakea dan bronkus terhadap bebrbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan
nafas.
2.2.2

Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkhial
a.

Faktor predisposisi

Genetik
Dimana diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat
mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain
itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
b.

Faktor presipitasi

Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan

Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan,
musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga
dan debu.
Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itujuga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul
harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu
diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum
diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.
Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas
tersebut.
2.2.3

Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkhiolus yang
menyebabkan sukar bernafas. Penyebab umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus
terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga
terjadi dengan cara: seseorang alergi membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
reaksi alergi. Pada asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat
pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkhiolus dan bronkhus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka antibodi IgE orang tersebut meningkat,
alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan
sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis
yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrien), faktor kemotaktik eosinofilik, dan

bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada
dinding bronkhiolus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkhiolus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan
saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkhiolus berkurang selama ekspirasi daripada selama
inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan
bagian luar bronkhiolus. Bronkhiolus sudah tersumbat sebagian maka sumbatan
adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama
selama ekspirasi.pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik
dan adekuat tetapi hanya sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan
dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat
meningkat selama serangan asma akibat kesulitan mengeluarkan udara ekspirasi dari
paru. Hal in dapat menyebabkan barrel chest.
2.2.4

Klasifikasi
Asma diklasifikasikan kedalam 6 tipe (Nettinna, 1996) yaitu:
1.

Asma ekstrinsik yang disebabkan oleh alergen inhalasi (misalnya debu, embun
berdebu, jamur, serbuk, buhi dan rontokan bulu binatang dan diobati dengan
imunologlobin E (IGE),

2.

Asma intrinsik yang disebabkan oleh infeksi (sering virus) dan rangsangan
lingkungan (seperti polusi udara),

3.

Asma campuran dimana reaktivitas tipe I (segera) tanpa kombinasi dengan faktor
intrinsik ,

4.

Asma akibat aspirin dan zat yang sejenis,

5.

Asma akibat latihan dimana gejala pernafasan terjadi dalam 5 sampai 20 menit
setelah latihan.

6.

Asma okupasi yang disebabkan oleh asap industri, debu dan gas.

klasifikasi asma dibagi menjadi 3 yaitu :


1.

Asma ekstrinsik adalah asma anak-anak, berhubungan dengan atropi (atopi

diatesis alergika familial, bermanifestasi sebagai eksema dan hay fever saat anakanak) sering kali sembuh pada saat memasuki usia remaja, walaupun bisa timbul
kembali pada saat dewasa.
2.

Asma intrinsik, berkembang dalam tahap kehidupan selanjutnya, lebih jarang

disebabkan oleh alergi, bisa lebih progresif dan respon terhadap terapi tidak begitu
baik.

3.

Asma berhubungan dengan pekerjaan, bila berhubungan dengan alergen industri

/ tempat kerja misalnya bahan fotokopi dan lain-lain.


2.2.5

Manifestasi Klinis
Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispenea, dan mengi. Pada beberapa
keaadaan batuk merupakan satu-satunya gejala, serangan asma sering kali terjadi pada
malam hari. (Smeltzer & Suzanne, 2001)
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala
klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah,
duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja
dengan keras.
Gejala klasik: sesak nafas, mengi (wheezing), batuk, dan pada sebagian penderita
ada yang merasa nyeri di dada. Pada serangan asma yang lebih berat, gejala yang
timbul makin banyak, antara lain: silent chest, sianosis, gangguan kesadaran,
hiperinflasi dada, takikardi, dan pernafasan cepat-dangkal. Serangan asma sering
terjadi pada malam hari.

2.2.6

Pemeriksaan Penunjang
a.

Pemeriksaan radiologi

Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah
dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila
terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
Bila disertai dengan bronkhitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah
Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah.
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneutoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
b.

Pemeriksaan tes kulit

Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
c.

Elektrokardiografi

Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3


bagian dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru, yaitu:

Perubahan aksis jantung, pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise
rotation
Terdapat tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right
Bundle branch Block)
Tanda-tanda hipoksemia, yaitu terdapatnya sinus takikardia, SVES, dan VES atau
terjadinya depresi segmen ST negatif.
d.

Scanning Paru

Dapat diketahui bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh
pada paru-paru.
e.

Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversibel. Pemeriksaan spirometri


tdak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan.
2.2.7

Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul (vietha, 2009)adalah:
1.

Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi

berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan
dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang
intensif.
2.

Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat

penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang
sangat dangkal.
3.

Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen

4.

Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan

kolapsnya paru.
5.

Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan

(obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara


berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.
2.2.8

Pengobatan non farmakologik


Dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan, menghindari factor pencetus,
pemberian cairan, fisioterapi, dan pemberian O2 bila perlu.

2.2.9

Pengobatan farmakologik
Perubahan-perubahan fisiologis yang diketahui berpengaruh terhadap
perjalanan Asma Bronkiale antara lain perubahan-perubahan berupa membesarnya

uterus, elevasi diagfragma, hormonal, perubahan-perubahan pada mekanik paru-paru


dan lain-lain.
Insiden hiperemesis, perdarahan, toksemia gravidarum, induksi persalinan
dengan komplikasi dan kematian ibu secara bermakna lebih sering terjadi
dibandingkan dengan ibu-ibu hamil tanpa penyakit Asma Bronkiale.
Bermacam-macam obat-obatan yang dipakai didalam penatalaksanaan ibu
dengan Asma Bronchiale. Sebagian diantaranya tidak mempunyai pengaruh yang
merugikan terhadap kehamilan, namun sebagian lagi diantaranya dapat memberikan
pengaruhyang sebaiknya sehingga pemakaiannya harus hati-hati dan hanya atas
indikasi-indikasi tertentu saja.
Penjelasan mengenai penyakit asma, bagi pasien sangat berpengaruh besar
terhadap kesehatan ibu dan bayinya. Pemberian asuhan kebidanan sendiri diseduaikan
dengan tingkatan penyakit asma yang dideritanya.
Asmamerupakan penyakit alergi, hal terpenting untuk menghindarinya adalh
menghindari factor pencetus alergi tersebut, siapkan selalu obat anti asma. Pada
umumnya penderita Asma dapat melahirkan pervaginam. Jenis pertolongannya sendiri
harus berkolaborasi dengan dokter spesialis untuk menentukan tindakan segera
apabila ada.
2.3 Pengaruh Ashma Bronkiale pada Masa Nifas
Penanganan asma post partum dimulai jika secara klinik diperlukan. Perjalanan
dan penanganan klinis asma umumnya tidak berubah secara dramatis setelah post partum.
Pada wanita yang menyusui tidak terdapat kontra indikasi yang berkaitan dengan
penyakitnya ini.
Teofilin bisa dijumpai dalam air susu ibu, tetapi jumlahnya kurang dari 10% dari
jumlah yang diterima ibu. Kadar maksimal dalam air susu ibu tercapai 2 jam setelah
pemberian, seperti halnya prednison, keberadaan kedua obat ini dalam air susu ibu masih
dalam konsentrasi yang belum mencukupi untuk menimbulkan pengaruh pada janin.
Teofilin adalah suatu metilxantin, dan garam-garamnya bersifat vasodilator dan
mungkin anti inflamasi. Beberapa turunannya dianggap bermanfaat sebagai terapi
rumatan oral untuk pasien rawat jalan yang tidak berespons secara optimal terhadap
kortikosteroid dan agonis-b inhalan. Preparat teofilin lepas lambat juga mungkin
bermanfaat untuk digunakan sebelum tidur alam pada wanita dengan gejala nocturnal.

Selain itu langkah penanganan ashma bronchiale pada masa nifas bisa juga
melalui:
1. Fisioterapi untuk membantu pengeluaran mucus paru
2. Latihan pernapasan untuk mencegh atau meminimalisasi atelektasis
3. Memulai pemberian terapi maintenance.
4. Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu mendapat obat
antiasma termasuk prednisone.
Asuhan di masa puerperium pada ibu penderita asma tidak berbeda dengan
penatalaksanaan kebidanan normal. Namun, perhatian tertentu harus diberikan untuk
mencegah infeksi pada ibu yang menggunakan kortikosteroid oral, karena ia mungkin
mengalami penurunan imun yang disebabkan oleh kerja obat ini.
Menyusui dianjurkan untuk semua ibu tetapi memberikan ASI eksklusif memiliki
keuntungan yang berbeda pada bayi yang ibunya menderita asma, karena dianggap
menurunkan insidensi bayi menderita asma. Tidak ada bukti bahwa obat yang digunakan
secara rutin pada terapi asma berbahaya pada bayi yang diberi ASI.
Terjadinya asma mempunyai komponen genetic dan lingkungan. Oleh karena itu
bayi dari seorang wanita penderita asma beresiko tinggi mengalami asma. Menyusui
member beberapa perlindungan terhadap penyakit ini. Namun, terjadi peningkatan bukti
yang menunjukkan bahwa janin menjadi sensitive terhadap allergen in utero, dan
beberapa bayi menunjukkan peningkatan kadar IgE dalam darah tali pusat saat lahir
(Warner,2004). Studi lain menunjukkan peningkatan asma yang dikaitkan dengan
beberapa pekerjaan ibu atau asupan rendah vitamin E pada maternal selama kehamilan.
Sumber:
Cunningham, F. Gary. 2006. Obstetric Williams. Ed. 21. Vol. 2. EGC
Wylie, Linda. 2010. Manajemen Kebidanan: Gangguan Medis Kehamilan Dan Persalinan.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai