Bab I Ii Iii Disability Intelektual Fix
Bab I Ii Iii Disability Intelektual Fix
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak semua manusia terlahir sempurna. Beberapa di antaranya
mengalami gangguan, salah satunya adalah intellectual disability dan learning
disorder. Intellectual disability atau mental retardation adalah kondisi dimana
fungsi intelektual secara signifilkan berada di bawah rata-rata yang diiringi
dengan menurunnya perilaku adaptif dan termanifestasi selama masa
perkembangan (Weiner, 1982).
Di Indonesia sendiri, pada tahun 2000 jumlah penderita intellectual
disability mencapai 12,7% dari semua jumlah disabilitas yang ada di
Indonesia. 65,71% dari penderita tersebut berada di wilayah pedesaan (Japan
International Cooperation Agency Planning and Evaluation Department,
2002).
Kondisi penderita di Indonesia yang cukup banyak dan jauh dari pusat
kota tersebut menyebabkan anak-anak dengan intellectual disability sulit
mendapatkan perawatan dan pelatihan yang dibutuhkan. Keluarga dari anak
dengan intellectual disability juga banyak yang belum memiliki pengetahuan
mengenai intellectual disability, sehingga penerimaan dan perlakuan yang
diterima anak terkadang cukup memprihatinkan (Hendriani, Handariyati, &
Sakti, 2006).
Dari fenomena tersebut, kami mengetahui pentingnya pengetahuan
mengenai intellectual disability dan learning disorder, agar masyarakat dan
lingkungan dapat menerima dan memperlakukan penyandang dengan baik.
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai kedua gangguan
tersebut.
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1) Untuk mengetahui teori konsep dari disability intelektual
2) Untuk mengetahui asuhan keperawatan disability intelektual
C. Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu :
1) Mahasiswa dapat mengetahui teori konsep dari disability intelektual
2) Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan disability
intelektual
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik anak yang mengalami intellectual disability (menurut
Erickson, 1982, dan DSM 5) di antaranya adalah :
1. Fungsi intelegensinya secara signifikan berada di bawah rata-rata
(memiliki skor IQ di bawah 70-skala Wechsler atau di bawah 68-skala
Stanford-Binet). Anak memiliki kekurangan dalam fungsi intelektual,
seperti pemikiran, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak,
penilaian (judgment), pembelajaran akademik, belajar dari
pengalaman, dan semuanya terbukti dari asesmen klinis dan tes
inteligensi yang terstandarisasi.
2. Menurunnya kemampuan adaptif anak, dimana anak tidak berperilaku
sesuai dengan usia dan budaya di lingkungan sekitar.
3. Kondisi kurangnya intelektual dan perilaku adaptif tersebut
termanifestasi pada masa perkembangan (kurang dari 18 tahun).
4. Perkembangan Psikopatologi
Perkembangan psikopatologi pada anak terjadi pada masa
perkembangan. Berikut merupakan perkembangan intellectual disability
pada anak menurut DSM V (2013). Kriteria masing-masing kategori
intellectual disability tergantung dari etiologi dan tingkat keparahan dari
disfungsi otaknya. Pada kategori severe dan profound, keterlambatan
motorik, bahasa, dan sosial terindentifikasi pada 2 tahun pertama usianya.
Sedangkan pada kategori mild, keterlambatan tersebut tidak dapat
diidentifikasi hingga anak berada di usia sekolah, ketika anak mengalami
kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah. Anak di bawah usia 5 tahun yang
teridentifikasi mengalami intellectual disability juga mengalami
keterlambatan pekembangan secara umum.
Intellectual disability merupakan gangguan yang nonprogesif,
dimana kondisinya tidak semakin parah, atau sebaliknya menjadi sembuh.
Setelah usia early childhood, gangguan ini pada umumnya akan bertahan
seumur hidup, meskipun tingkat keparahannya dapat berubah. Intervensi
dini dapat membantu meningkatkan kemampuan perilaku adaptif anak
dengan intellectual disability.
5. Etiologi
Terdapat berbagai faktor penyebab (etiologi) dari gangguan intellectual
disability ini. Berbagai faktor tersebut antara lain :
a. Kelainan kromosom, terjadi pada anak yang mengalami down
syndrome atau mongolism. Kelainan kromosom biasanya
mengakibatkan anak mengalami intellectual disability pada kategori
moderete dan severe (Erickson, 1982). Kelainan pada kromosom juga
dapat terjadi di sex chromosomes, kromosom yang mengatur jenis
kelamin pada anak. Kelainan ini mengakibatkan sindrom mental
retardation lain seperti Klinefelter (XXY, anak laki-laki memiliki
kelebihan kromosom X), dan Turner (XO, anak perempuan
kekurangan satu kromosom X) (Mash & Wolfe, 2013). Pada sindrom
Klinefelter, adanya retardasi mental terjadi pada 25-50 % kasus, tetapi
biasanya mild dan tidak ada defisit lain yang khusus (Erickson, 1982).
Pada anak dengan Down syndrome, biasanya kelainan itu terjadi
karena adanya fenomena nondisjuction. Artinya adanya kegagalan
pasangan kromosom 21 dari ibu untuk berpisah ketika proses meisosis.
Kemudian pasangan kromosom 21 itu bergabung dengan satu
kromosom 21 milik ayah, yang menghasilkan adanya 3 kromosom 21
pada anak, yang disebut sebagai trisomy 21, padahal anak normal
hanya memiliki 2 kromosom 21 (Mash & Wolfe, 2013).
b. Maternal illness, berbagai masalah kesehatan yang dialami ibu selama
masa kehamilan meningkatkan resiko anak yang dikandungnya
mengalami masalah keterlambatan (Weiner,1982). Pada trimester
pertama, kondisi kehamilan masihlah labil, sehingga sering terjadi
infeksi seperti rubella (Weiner,1982). 50% anak dari ibu yang
mengalami rubella mengalami masalah mental dan kecacatan fisik.
Sebagian dari mereka mengalami ketulian dan sekitar 25% mengalami
mental retardation (Weiner,1982). Selain infeksi, nutrisi yang buruk
pada saat kehamilan juga dapat menyebabkan masalah pada
perkembangan otak anak (Weiner,1982).
c. Komplikasi pada saat kelahiran, hal ini meningkatkan resiko anak
mengalami gangguan mental dan kecacatan fisik, terutama apabila
anak terlahir prematur dan memiliki berat badan kurang dari 1500
gram (Weiner,1982). Komplikasi lain yang sering terjadi pada saat
kelahiran yaitu anoxia, merupakan kondisi dimana suplai oksigen ke
otak tidak memadai. Hal ini disebabkan karena bayi kesulitan untuk
bernafas (Weiner,1982). Suplai oksigen ke otak yang terganggu ini
menyebabkan kondisi otak mengalami masalah. Masalah pada otak
tersebut menyebabkan anak memiliki resiko mengalami intellectual
disability (Weiner,1982).
d. Harmful postnatal experiences, 9 dari 10 kasus kejadian fisik yang
berpengaruh pada perkembangan otak terjadi setelah bayi lahir
(Yannet dalam Weiner,1982). Beberapa kejadian yang menyebabkan
kerusakan otak permanen tersebut yaitu demam tinggi yang
disebabkan oleh enchepalitis dan meningitis (Weiner,1982). Selain itu,
luka pada kepala yang cukup parah juga dapat menyebabkan seorang
anak mengalami intellectual disability (Weiner,1982). Kondisi anak
yang mengalami malnutrisi pun dapat pula mengganggu
perkembangan otaknya sehingga menyebabkan terjadinya intellectual
disability (Weiner,1982).
e. Faktor Genetik, anak yang terlahir dari keluarga yang memiliki sejarah
anggota keluarga lainnya mengalami intellectual disability memiliki
resiko mengalami intellectual disability juga (Weiner,1982).
f. Faktor lingkungan, anak kurang mendapat stimulasi dari lingkungan
memiliki resiko mengalami intellectual disability (Weiner,1982). Hal
ini disebabkan karena kurangnya pengalaman anak mengenai hal-hal
di sekitarnya. Menurut culture drift hypothesis yang dikemukakan oleh
Hermstein, kebanyakan keluarga anak yang mengalami intellectual
disability adalah keluarga dari kelas sosial ekonomi menengah ke
bawah. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan sosial dan
pengetahuan (Weiner,1982).
g. Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan, karena kedua hal
tersebut saling berhubungan dalam munculnya intellectual disability.
6. Treatment
a. Program Edukasi
Anak-anak dengan gangguan intelektual ini biasanya terbagi
menjadi 2 golongan besar, yaitu anak-anak yang mampu didik dan
mampu latih (Erickson, 1982). Lebih lanjut menurut Erickson (1982),
dijelaskan bahwa anak-anak mampu didik yaitu anak yang skor IQnya
masih di dalam rentang mild, sedangkan anak-anak mampu latih yaitu
anak yang skor IQnya berada di rentang moderate sampai severely
retarded. Anak-anak yang tergolong mampu didik dapat dimasukkan
ke dalam sekolah berkebutuhan khusus.
b. Terapi Behavioral
Pada anak dengan gangguan intelektual, perilaku adaptifnya tidak
sesuai dengan anak seusianya. Terapi perilaku yang dibutuhkan antara
lain self-feeding, toilet training, dan kemampuan motorik dan verbal.
Anak-anak dengan gangguan intelektual biasanya sulit untuk
melakukan perilaku self-feeding atau makan sendiri. Oleh karena itu,
perilakunya harus terus dilatih dan dikoreksi (Erickson, 1982). Azrin
dan Armstrong (dalam Erickson, 1982), mengatakan bahwa cara paling
efektif untuk membantu mengajarkan perilaku self-feeding yaitu
dengan kombinasi dari backward chaining dan physical guidance.
Pada prosedur itu, tangan anak dituntun untuk mengambil sendok,
menyendok makanan, kemudian membawa sendok itu ke mulutnya,
lalu melepaskan tuntunan sesaat sebelum sendok masuk ke dalam
mulut. Physical guidance itu sedikit demi sedikit dikurangi porsinya,
dari step paling belakang, dan step terakhir yaitu membiarkan anak
mengambil sendoknya sendiri (Erickson, 1982). Akan tetapi, menurut
Mash dan Wolfe (2013), cara untuk mengajarkan anak self-feeding
yaitu dengan metode modeling dan graduated guidance. Artinya, anak
ditunjukkan bagaimana cara mengambil makanan hingga dimasukkan
ke dalam mulutnya. Kemudian, anak juga dituntun untuk melakukan
hal tersebut hingga ia bisa.
Toilet training pada anak dengan mental retarded hampir serupa
dengan melatih anak normal, yaitu dengan menempatkan anak pada
interval waktu tertentu di toilet ketika anak dianggap mau buang air
kecil atau melakukan defekasi, kemudian memberikan reward kepada
anak ketika anak berhasil, atau memberikan punishment kepada anak
jika anak tidak berhasil (Erickson, 1982).
Selanjutnya terapi untuk kemampuan motorik dan verbal. Menurut
Erickson (1982), kombinasi antara pemberian reinforcement dan
modeling merupakan cara yang efektif untuk mengajarkan kemampuan
motorik dan verbal. Pelatihan penggunaan bahasa merupakan modal
dasar sebelum anak diajarkan skill lain yang tingkatnya lebih tinggi
(Mash & Wolfe, 2013). Menurut Garcia dan De Haven (dalam
Erickson, 1982), operant conditioning merupakan prosedur yang
efektif untuk memunculkan perilaku imitative verbal dan untuk
mengajarkan functional speech dan spontaneous speech pada anak
yang belum pernah bicara atau anak yang memperlihatkan vocalization
yang sangat minim.
c. Terapi Cognitive-Behavioral
Terapi ini paling efektif bagi anak yang memiliki kemampuan bahasa
yang reseptif dan ekspresif (Mash & Wolfe, 2010). Salah satu terapi
yaitu self-instructional training, yang efektif bagi anak yang memiliki
kemampuan berbahasa, tetapi tetap sulit dalam memahami dan
mengikuti instruksi. Self-instructional training tersebut mengajarkan
anak untuk menggunakan verbal cues untuk memproses informasi,
dimana terapis mengajarkan anak untuk tetap fokus pada tugasnya dan
membuat anak memahami tugas baru yang diberikan padanya. Selain
itu, terapi lain yaitu metacognitive training, pelatihan untuk
mengembangkan kemampuan self-management melalui pembelajaran
pada berbagai situasi (Mash & Wolfe, 2010).
d. Psikoterapi
Terapi yang dapat diberikan yaitu terapi bermain bagi anak yang
masih kecil, karena kemampuan verbalnya masih belum berkembang
(Erickson, 1982). Terapi bermain dapat mengembangkan
perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa, dan personal-
social (Frankenburg & Dodds, dalam Erickson, 1982). Terapi lain
yaitu group psychotherapy, yang dapat diterapkan kepada penyandang
disabilitas yang sudah cukup dewasa, dan manfaatnya yaitu untuk
meningkatkan kesadaran peserta terapi mengenai permasalahan yang
dimiliki oleh orang lain, mengurangi perilaku mengabaikan
lingkungannya, dan membuat penyandang disabilitas tanggap terhadap
lingkungannya (Gunzburg, dalam Erickson, 1982).
e. Physical Treatment
Physical treatment yang diberikan kepada penyandang disabilitas yaitu
penggunaan berbagai obat dan diberlakukan diet khusus untuk
membantu mengontrol tingkah lakunya(Erickson, 1982).
7. Aksesibilitas
Aksesibilitas bagi penyandang cacat berarti kemudahan yang
diberikan atau disediakan bagi penyandang cacat bukan sebagai
pengistimewaan, melainkan untuk meminimalisir keterbatasan mereka
sebagai akibat hilangnya atau kurang berfungsinya salah satu atau
beberapa fungsi anggota tubuhnya. Aksesibilitas meliputi aksesibilitas
fisik dan aksesibilitas non fisik. Aksesibilitas fisik itu seperti landaian,
handrail (susuran tangan, biasa terdapat di tangga-tangga), lebar pintu
yang memenuhi standar universal disain yang berarti dapat dilalui oleh
pemakai kursi roda secara mandiri, suara atau audio serta huruf braille
bagi penyandang tunanetra, serta bahasa isyarat dan tulisan bagi
penyandang tunarungu. Sedangkan aksesibilitas non fisik itu meliputi
terbangunnya persepsi positif masyarakat terhadap keberadaan
penyandang cacat bahwa penyandang cacat adalah sama dengan warga
negara lain dalam hal kebutuhan pemenuhan segala aspek kehidupan dan
penghidupan. Oleh karena itu, masyarakat harus mendorong penyandang
cacat agar berpartisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara termasuk dalam hal ini adalah hak untuk
membina keluarga dan mempunyai keturunan.
8. Prognosa
Berdasarkan DSM V (2013), dijelaskan bahwa gangguan
intellectual disability tidak bersifat progresif. Terapi-terapi yang dilakukan
bertujuan untuk memaksimalkan potensi yang dimilki anak dan untuk
melatih anak dalam perilaku adaptifnya sehingga tingkat keparahannya
bisa berkurang, meskipun tidak dapat sembuh total.
B. Asuhan Keperawatan
Formulir Pengkajian Keperawatan Kesehatan Jiwa
A. IDENTITAS KLIEN
1. Inisial : Tn.D (L)
2. Umur : 8 th
3. Pendidikan :-
4. Pekerjaan :-
5. Informan :-
6. Status perkawinan :-
7. No.RMK :-
8. Tanggal Pengkajian : 14 November 2017
9. Diagnosa Medis : Disability Intelektual
B. ALASAN MASUK
Biasanya pasien dan keluarga datang dengan alasan adanya kelainan pada
anak nya seperti adanya keterlambatan dalam kognitif dan perkembangan,
kesulitan dalam berbicara, anak sering memukul diri sendiri dan teman
terdekatnya.
E. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu ? Ya Tidak
2. Pengobatan sebelumnya Berhasil Kurang berhasil Tidak
berhasil
3. Trauma Pelaku/Usia Korban/Usia Saksi/Usia
Aniaya fisik
Aniaya seksual
Penolakan
Tindakan kriminal
Jelaskan No. 1, 2, 3 : Biasanya anak dengan gangguan disability
intelektual akan mengalami resiko perilaku kekerasan.
4. Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa Ya Tidak
Hubungan keluarga Gejala Riwayat
pengobatan/perawaran
Tidak terkaji pada kasus
G. PSIKOSOSIAL
1. Genogram
Keterangan :
Jelaskan :
__________________________________________________________________
____________
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
________________________________________________
2. Konsep diri
a Gambaran diri :-
b Identitas :-
c Peran :-
d Ideal diri :-
e Harga diri :-
3. Hubungan Sosial
a Orang yang berarti : -
b Peran serta dalam kegiatan kelompok / masyarakat : -
c Hambatan dalam berbuhungan dengan orang Lain : pasien kesulitan
dalam berkomunikasi
4. Spiritual
a Nilai dan keyakinan : -
b Kegiatan ibadah :-
H. STATUS MENTAL
1. Penampilan
2. Pembicaraan
Loghorea Echolalia
Penjelasan :-
3. Aktivitas Motorik:
Gembira berlebihan
Penjelasan : Biasanya anak dengan disability intelektual akan menunjukkan
perilaku seperti gembira berlebihan.
5. Afek
Datar Tumpul Labil Tidak sesuai
Penjelasan : Biasanya anak dengan disability intelektual akan menunjukkan
afek seperti afek datar dan labil.
6. lnteraksi selama wawancara
bermusuhan Tidak kooperatif Mudah tersinggung
Pengecapan Penghidu
Penjelasan :-
8. Proses Pikir
Neologisme
Penjelasan : -
9. Isi Pikir
Waham
Penjelasan :-
Disorientasi
11. Memori
Gangguan daya ingat jangka panjang gangguan daya ingat jangka
pendek
2. BAB/BAK
3. Mandi
4. Berpakaian/berhias
6. Penggunaan obat
Bantuan minimal Bantual total
Penjelasan :-
7. Pemeliharaan Kesehatan
Belanja Ya tidak
Transportasi Ya tidak
Lain-lain Ya tidak
Penjelasan :-
J. MEKANISME KOPING
Adaptif Maladaptif
L. ANALISA DATA
Data Maladaftif Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Hambatan komunikasi
- Orang tua pasien mengatakan kesulitan verbal
dalam berbicara
DO:
- Pasien tampak kesulitan dalm
berkokunikasi
Data Maladaftif Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Risiko Perilaku
- Orang tua pasien mengatakan anak kekerasa
sering memukul diri sendiri dan teman
terdekatnya.
DO:
- Tangan pasien tampak mengepal
tangan dan wajah tampak merah
Data Maladaptif Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Ketidakefekti
- Orang tua pasien mengeluhkan adanya
kelainan pada anak nya seperti adanya
keterlambatan dalam kognitif dan
perkembangan
DO:
- Pasien tampak
Care Problem
Causa
Genetik, Kelainan
kromosom, Lingkungan
...........................................
Setelah dilakukan SP 4
pertemuan pasien 1. Evaluasi kegiatan latihan fisik, obat
dapat : dan verbal, beri pujian
2. Latih pasien mengontrol perilaku
1. Menyebutkan
kekerasan secara spiritual (2 kegiatan)
kegiatan yang
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk
sudah latihan fisik, minum obat, verbal dan
dilakukan spritual
2. Mengidentifika
si cara yang
dapat
dilakukan
untuk
mengontrol PK
Setelah dilakukan SP 5
pertemuan pasien 1. Evaluasi kegiatan latihan fisik
dapat: 1&2, minum obat, verbal dan
1. Menyebutkan spritual, beri pujian
kegiatan yang 2. Nilai kemampuan yang telah
sudah mandiri
dilakukan 3. Nilai apakah Perilaku
2. Mengidentifika Kekerasan terkontrol
si cara yang
dapat
dilakukan
untuk
mengontrol PK
SP 3 :
1. Evaluasi kegiatan keluarga
dalam merawat / melatih pasien
fisik 1&2 dan memberikan obat,
berikan pujian
2. Latih keluarga cara
membimbing : cara berbicara
yang baik
3. Latih keluarga cara
membimbing kegiatan spritual
SP 4 :
1. Evaluasi kegiatan keluarga
dalam merawat / melatih pasien
fisik 1 & 2, memberikan obat,
cara bicara yang baik dan
kegiatan spritual. Beri pujian.
2. Jelaskan follow up ke RSJ /
PKM, tanda kambuh dan
rujukan.
3. Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal dan berikan
pujian.
SP 5 :
1. Evaluasi kegiatan keluarga
dalam merawat / melatih pasien
fisik 1&2, memberikan obat,
cara bicara yang baik dan
kegiatan spritual dan follow up.
Beri pujian.
2. Nilai kemampuan keluarga
merawat pasien
3. Nilai kemampuan keluarga
melakukan kontrol ke RSJ /
PKM
Evaluasi
Tgl /Jam Diagnosa Evaluasi Paraf
Keperawatan
Risiko Perilaku S: Pasien mengatakan tidak melamun dan
Kekerasan mengurung diri lagi .
O:Pasien terlihat tidak menunduk dan menatap
wajah perawat
A: Masalah teratasi SP 1
P: Lanjutkan SP 2, 3, 4 dan 5
Hambatan S: keluarga mengatakan sudah mulai mau
komunikasi berkomunikasi
verbal O: pasien tampak menatap wajah perawat saat
berkomunikasi dan tidak menunduk
A: SP 1 Teratasi
P: Lanjutkan SP 2,3,4 dan 5