Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak semua manusia terlahir sempurna. Beberapa di antaranya
mengalami gangguan, salah satunya adalah intellectual disability dan learning
disorder. Intellectual disability atau mental retardation adalah kondisi dimana
fungsi intelektual secara signifilkan berada di bawah rata-rata yang diiringi
dengan menurunnya perilaku adaptif dan termanifestasi selama masa
perkembangan (Weiner, 1982).
Di Indonesia sendiri, pada tahun 2000 jumlah penderita intellectual
disability mencapai 12,7% dari semua jumlah disabilitas yang ada di
Indonesia. 65,71% dari penderita tersebut berada di wilayah pedesaan (Japan
International Cooperation Agency Planning and Evaluation Department,
2002).
Kondisi penderita di Indonesia yang cukup banyak dan jauh dari pusat
kota tersebut menyebabkan anak-anak dengan intellectual disability sulit
mendapatkan perawatan dan pelatihan yang dibutuhkan. Keluarga dari anak
dengan intellectual disability juga banyak yang belum memiliki pengetahuan
mengenai intellectual disability, sehingga penerimaan dan perlakuan yang
diterima anak terkadang cukup memprihatinkan (Hendriani, Handariyati, &
Sakti, 2006).
Dari fenomena tersebut, kami mengetahui pentingnya pengetahuan
mengenai intellectual disability dan learning disorder, agar masyarakat dan
lingkungan dapat menerima dan memperlakukan penyandang dengan baik.
Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai kedua gangguan
tersebut.

B. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1) Untuk mengetahui teori konsep dari disability intelektual
2) Untuk mengetahui asuhan keperawatan disability intelektual
C. Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu :
1) Mahasiswa dapat mengetahui teori konsep dari disability intelektual
2) Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan disability
intelektual
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Intellectual Disability


1. Definisi
Intellectual disability adalah kondisi dimana individu memiliki
kemampuan kognitif di bawah normal secara signifikan (Papalia &
Martorel, 2013). Indikasi individu mengalami intellectual disability yaitu
individu tersebut memiliki skor IQ kurang dari atau sama dengan 70 dan
mengalami kekurangan dalam perilaku adaptif yang sesuai usianya
(Kanaya, Scullin, & Ceci dalam Papalia & Martorel, 2013). Intellectual
disability juga disebut sebagai mental retardation (Papalia & Martorel,
2013).
Menurut Grossman dalam Erickson (1982), mental retardation
merupakan kondisi dimana fungsi intelektual individu berada di bawah
rata-rata yang diikuti dengan penurunan perilaku adaptif dan
termanifestasi selama masa perkembangan. Hal ini juga sesuai dengan
definisi yang dikeluarkan AAMD (American Association on Mental
Deficiency) yang menjelaskan bahwa mental retardation adalah kondisi
dimana fungsi intelektual secara signifilkan berada di bawah rata-rata yang
diiringi dengan menurunnya perilaku adaptif dan termanifestasi selama
masa perkembangan (Weiner, 1982). Terdapat dua standar sebagai dalam
penentuan fungsi intelektual di bawah rata-rata. Jika mengacu pada skala
Wechser, kondisi intelektual di bawah rata-rata yaitu individu yang
memiliki skor IQ di bawah 70, sedangkan jika mengacu pada skala
Stanford-Binet, kondisi intelektual di bawah rata-rata yaitu individu yang
memiliki skor IQ di bawah 68 (Weiner, 1982).
Jika mengacu pada definisi AAMD, individu dikatakan mengalami
mental retardation apabila kondisi tersebut terjadi ketika individu berada
pada masa perkembangan, yaitu berada pada usia di bawah 18 tahun. Jadi,
apabila individu di atas usia 18 tahun mengalami penurunan skor IQ
sehingga berada di bawah rata-rata karena kerusakan otak, maka hal
tersebut tidak bisa dikatakan sebagi mental retardation (Weiner,1982).
Standar yang digunakan sebagai penentu seseorang mengalami penurunan
perilaku adaptif adalah standar usia dan budaya di lingkungan individu
tinggal (Weiner, 1982). Perilaku adaptif yang dimaksud yaitu seberapa
efektif individu dapat mengatasi tuntutan hidup, dan seberapa mampu
individu dapat hidup secara mandiri dan menyesuaikan dengan standar
komunitas (Hodapp, Thornton-Wells, & Dykens, dalam Mash & Wolfe,
2013).
Dari definisi di atas, dapat kami simpulkan bahwa seorang anak
mengalami intellectual disability ketika kemampuan intelektualnya berada
di bawah rata-rata dengan diikuti menurunnya kemampuan adaptif dan
termanifestasi selama masa perkembangan.

2. Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik anak yang mengalami intellectual disability (menurut
Erickson, 1982, dan DSM 5) di antaranya adalah :
1. Fungsi intelegensinya secara signifikan berada di bawah rata-rata
(memiliki skor IQ di bawah 70-skala Wechsler atau di bawah 68-skala
Stanford-Binet). Anak memiliki kekurangan dalam fungsi intelektual,
seperti pemikiran, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak,
penilaian (judgment), pembelajaran akademik, belajar dari
pengalaman, dan semuanya terbukti dari asesmen klinis dan tes
inteligensi yang terstandarisasi.
2. Menurunnya kemampuan adaptif anak, dimana anak tidak berperilaku
sesuai dengan usia dan budaya di lingkungan sekitar.
3. Kondisi kurangnya intelektual dan perilaku adaptif tersebut
termanifestasi pada masa perkembangan (kurang dari 18 tahun).

3. Jenis-Jenis Intellectual Disability


1. Keterbatasan Intelejensi
Anak disabilitas intelektual memiliki keterbatasan dalam fungsi
intelejensinya. Keterbatasan itu meliputi ketidakmampuan untuk
mempelajari informasi dan keterampilan-keterampilan menyesuaikan
diri dengan masalah-masalah dan situasi-situasi kehidupan baru,
belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat
menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi
kesulitan-kesulitan, dan ketidakmampuan untuk merencanakan masa
depan. Kapasitas belajar anak disabilitas intelektual juga sangat
terbatas. Hal ini menyebabkan kemampuan belajarnya cenderung tanpa
pengertian.
2. Keterbatasan Sosial
Keterbatasan sosial yang dimiliki anak disabilitas intelektual
adalah keterbatasan kemampuannya dalam mengurus diri sendiri
dalam masyarakat. Mereka cenderung berteman dnegan anak yang
lebih muda usianya dan memiliki ketergantungan yang sangat besar
terhadap orang tua. Selain itu, mereka juga sangat mudah dipengaruhi
dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
3. Keterbatasan Fungsi-Fungsi Mental Lainnya
Anak disabilitas intelektual memerlukan waktu lebih lama untuk
menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka
menunjukkan reaksi terbaiknya jika hal baru tersebut sudah diikutinya
secara rutin dan konsisten dalam kesehariannya. Selan itu, anak
disabilitas intelektual juga tidak mampu menghadapi suatu kegiatan
atau tugas dalam jangka waktu yang lama.

Terdapat beberapa klasifikasi gangguan ini berdasarkan skor IQ yang


dimiliki oleh anak. Klasifikasi tersebut antara lain:
1. Mild
Anak-anak dengan gangguan intellectual disability mild ini
memiliki skor IQ dalam kisaran 67-52 (berdasarkan skala Stanford-
Binet dan Cattel), atau dalam kisaran 69-55 (berdasarkan skala
Wechsler). Anak dengan kategori ini tergolong mampu didik (educable
mental retardates), ia masih dapat membaca. menulis, dan melakukan
operasi hitung sederhana (Weiner,1982). Ciri-ciri anak yang
mengalami intelegent disability pada kategori ini yaitu anak
mengalami keterlambatan dalam kemampuan sosial, motorik, dan
komunikasinya, namun biasanya baru terdeteksi ketika anak tersebut
sudah mulai masuk SD (Weiner,1982). Biasanya anak dalam kategori
ini masih dapat bersekolah hingga kelas 3 sampai 4 SD (Weiner,1982).
Di masa remaja dan dewasanya, anak dalam kategori ini masih dapat
melakukan hal-hal yang dilakukan teman-temannya, seperti berkencan,
seks, mencintai, dan menikah (Weiner,1982). Selain itu, anak dalam
kategori ini dapat hidup mandiri sampai batas tertentu (Weiner,1982).
2. Moderate
Anak-anak dengan gangguan intellectual disability moderate ini
memiliki skor IQ dalam kisaran 51-36 (berdasarkan skala Stanford-
Binet dan Cattel), atau dalam kisaran skor 54-40 (berdasarkan skala
Wechsler). Anak dengan kategori ini tergolong mampu latih (trainable
mental retardates), ia masih mampu untuk melakukan self-care dan
self-help, seperti makan, minum, dan menggunakan pakaian sendiri
(Weiner,1982). Ciri-ciri anak yang mengalami intellegent disability
kategori ini yaitu anak tersebut mengalami keterlambatan dalam
kemampuan sosial, motorik, dan komunikasinya (Weiner,1982).
Ketrelambatan kemampuan tersebut terdeteksi sebelum ia masuk SD
(Weiner,1982). Biasanya anak dalam kategori ini masih dapat dilatih
ketrampilan sederhana, namun melatihnya harus bertahap, dari tahapan
yang paling sederhana dan mudah ke tahapan yang lebih rumit dan
sulit (Weiner,1982).
3. Severe
Anak-anak dengan gangguan intellectual disability severe ini
memiliki skor IQ dalam kisaran 35-20 (berdasarkan skala Stanford-
Binet dan Cattel), atau dalam kisaran skor 39-25 (berdasarkan skala
Wechsler). Anak dengan kategori intellectual disorder severe ini
disebut juga untrainable atau custodial retardates (Weiner,1982).
Biasanya anak dengan intellectual disorder kategori ini ditempatkan di
suatu lembaga untuk mendapatkan pelatihan intensif agar dapat
melakukan kegiatan basic self-care, seperti makan dan menggunakan
baju (Weiner,1982).
4. Profound
Anak-anak dengan gangguan intellectual disability profound
memiliki skor IQ 19 ke bawah (berdasarkan skala Stanford-Binet dan
Cattel), atau dalam kisaran skor 24 ke bawah (berdasarkan skala
Wechsler). Sama dengan kategori severe, kategori intellectual disorder
ini juga tergolong untrainable atau custodial retardates
(Weiner,1982). Anak dengan intellectual disorder profound ini
membutuhkan bantuan orang lain selama kelangsungan hidupnya
(total nursing care). Hal ini disebabkan anak dalam kategori ini
memiliki batasan dalam kemampuan motoriknya, ia bahkan tidak
mampu untuk mengontrol gerak anggota tubuhnya dan tidak mampu
untuk berjalan (Weiner,1982).

4. Perkembangan Psikopatologi
Perkembangan psikopatologi pada anak terjadi pada masa
perkembangan. Berikut merupakan perkembangan intellectual disability
pada anak menurut DSM V (2013). Kriteria masing-masing kategori
intellectual disability tergantung dari etiologi dan tingkat keparahan dari
disfungsi otaknya. Pada kategori severe dan profound, keterlambatan
motorik, bahasa, dan sosial terindentifikasi pada 2 tahun pertama usianya.
Sedangkan pada kategori mild, keterlambatan tersebut tidak dapat
diidentifikasi hingga anak berada di usia sekolah, ketika anak mengalami
kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah. Anak di bawah usia 5 tahun yang
teridentifikasi mengalami intellectual disability juga mengalami
keterlambatan pekembangan secara umum.
Intellectual disability merupakan gangguan yang nonprogesif,
dimana kondisinya tidak semakin parah, atau sebaliknya menjadi sembuh.
Setelah usia early childhood, gangguan ini pada umumnya akan bertahan
seumur hidup, meskipun tingkat keparahannya dapat berubah. Intervensi
dini dapat membantu meningkatkan kemampuan perilaku adaptif anak
dengan intellectual disability.

5. Etiologi
Terdapat berbagai faktor penyebab (etiologi) dari gangguan intellectual
disability ini. Berbagai faktor tersebut antara lain :
a. Kelainan kromosom, terjadi pada anak yang mengalami down
syndrome atau mongolism. Kelainan kromosom biasanya
mengakibatkan anak mengalami intellectual disability pada kategori
moderete dan severe (Erickson, 1982). Kelainan pada kromosom juga
dapat terjadi di sex chromosomes, kromosom yang mengatur jenis
kelamin pada anak. Kelainan ini mengakibatkan sindrom mental
retardation lain seperti Klinefelter (XXY, anak laki-laki memiliki
kelebihan kromosom X), dan Turner (XO, anak perempuan
kekurangan satu kromosom X) (Mash & Wolfe, 2013). Pada sindrom
Klinefelter, adanya retardasi mental terjadi pada 25-50 % kasus, tetapi
biasanya mild dan tidak ada defisit lain yang khusus (Erickson, 1982).
Pada anak dengan Down syndrome, biasanya kelainan itu terjadi
karena adanya fenomena nondisjuction. Artinya adanya kegagalan
pasangan kromosom 21 dari ibu untuk berpisah ketika proses meisosis.
Kemudian pasangan kromosom 21 itu bergabung dengan satu
kromosom 21 milik ayah, yang menghasilkan adanya 3 kromosom 21
pada anak, yang disebut sebagai trisomy 21, padahal anak normal
hanya memiliki 2 kromosom 21 (Mash & Wolfe, 2013).
b. Maternal illness, berbagai masalah kesehatan yang dialami ibu selama
masa kehamilan meningkatkan resiko anak yang dikandungnya
mengalami masalah keterlambatan (Weiner,1982). Pada trimester
pertama, kondisi kehamilan masihlah labil, sehingga sering terjadi
infeksi seperti rubella (Weiner,1982). 50% anak dari ibu yang
mengalami rubella mengalami masalah mental dan kecacatan fisik.
Sebagian dari mereka mengalami ketulian dan sekitar 25% mengalami
mental retardation (Weiner,1982). Selain infeksi, nutrisi yang buruk
pada saat kehamilan juga dapat menyebabkan masalah pada
perkembangan otak anak (Weiner,1982).
c. Komplikasi pada saat kelahiran, hal ini meningkatkan resiko anak
mengalami gangguan mental dan kecacatan fisik, terutama apabila
anak terlahir prematur dan memiliki berat badan kurang dari 1500
gram (Weiner,1982). Komplikasi lain yang sering terjadi pada saat
kelahiran yaitu anoxia, merupakan kondisi dimana suplai oksigen ke
otak tidak memadai. Hal ini disebabkan karena bayi kesulitan untuk
bernafas (Weiner,1982). Suplai oksigen ke otak yang terganggu ini
menyebabkan kondisi otak mengalami masalah. Masalah pada otak
tersebut menyebabkan anak memiliki resiko mengalami intellectual
disability (Weiner,1982).
d. Harmful postnatal experiences, 9 dari 10 kasus kejadian fisik yang
berpengaruh pada perkembangan otak terjadi setelah bayi lahir
(Yannet dalam Weiner,1982). Beberapa kejadian yang menyebabkan
kerusakan otak permanen tersebut yaitu demam tinggi yang
disebabkan oleh enchepalitis dan meningitis (Weiner,1982). Selain itu,
luka pada kepala yang cukup parah juga dapat menyebabkan seorang
anak mengalami intellectual disability (Weiner,1982). Kondisi anak
yang mengalami malnutrisi pun dapat pula mengganggu
perkembangan otaknya sehingga menyebabkan terjadinya intellectual
disability (Weiner,1982).
e. Faktor Genetik, anak yang terlahir dari keluarga yang memiliki sejarah
anggota keluarga lainnya mengalami intellectual disability memiliki
resiko mengalami intellectual disability juga (Weiner,1982).
f. Faktor lingkungan, anak kurang mendapat stimulasi dari lingkungan
memiliki resiko mengalami intellectual disability (Weiner,1982). Hal
ini disebabkan karena kurangnya pengalaman anak mengenai hal-hal
di sekitarnya. Menurut culture drift hypothesis yang dikemukakan oleh
Hermstein, kebanyakan keluarga anak yang mengalami intellectual
disability adalah keluarga dari kelas sosial ekonomi menengah ke
bawah. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan sosial dan
pengetahuan (Weiner,1982).
g. Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan, karena kedua hal
tersebut saling berhubungan dalam munculnya intellectual disability.

6. Treatment
a. Program Edukasi
Anak-anak dengan gangguan intelektual ini biasanya terbagi
menjadi 2 golongan besar, yaitu anak-anak yang mampu didik dan
mampu latih (Erickson, 1982). Lebih lanjut menurut Erickson (1982),
dijelaskan bahwa anak-anak mampu didik yaitu anak yang skor IQnya
masih di dalam rentang mild, sedangkan anak-anak mampu latih yaitu
anak yang skor IQnya berada di rentang moderate sampai severely
retarded. Anak-anak yang tergolong mampu didik dapat dimasukkan
ke dalam sekolah berkebutuhan khusus.
b. Terapi Behavioral
Pada anak dengan gangguan intelektual, perilaku adaptifnya tidak
sesuai dengan anak seusianya. Terapi perilaku yang dibutuhkan antara
lain self-feeding, toilet training, dan kemampuan motorik dan verbal.
Anak-anak dengan gangguan intelektual biasanya sulit untuk
melakukan perilaku self-feeding atau makan sendiri. Oleh karena itu,
perilakunya harus terus dilatih dan dikoreksi (Erickson, 1982). Azrin
dan Armstrong (dalam Erickson, 1982), mengatakan bahwa cara paling
efektif untuk membantu mengajarkan perilaku self-feeding yaitu
dengan kombinasi dari backward chaining dan physical guidance.
Pada prosedur itu, tangan anak dituntun untuk mengambil sendok,
menyendok makanan, kemudian membawa sendok itu ke mulutnya,
lalu melepaskan tuntunan sesaat sebelum sendok masuk ke dalam
mulut. Physical guidance itu sedikit demi sedikit dikurangi porsinya,
dari step paling belakang, dan step terakhir yaitu membiarkan anak
mengambil sendoknya sendiri (Erickson, 1982). Akan tetapi, menurut
Mash dan Wolfe (2013), cara untuk mengajarkan anak self-feeding
yaitu dengan metode modeling dan graduated guidance. Artinya, anak
ditunjukkan bagaimana cara mengambil makanan hingga dimasukkan
ke dalam mulutnya. Kemudian, anak juga dituntun untuk melakukan
hal tersebut hingga ia bisa.
Toilet training pada anak dengan mental retarded hampir serupa
dengan melatih anak normal, yaitu dengan menempatkan anak pada
interval waktu tertentu di toilet ketika anak dianggap mau buang air
kecil atau melakukan defekasi, kemudian memberikan reward kepada
anak ketika anak berhasil, atau memberikan punishment kepada anak
jika anak tidak berhasil (Erickson, 1982).
Selanjutnya terapi untuk kemampuan motorik dan verbal. Menurut
Erickson (1982), kombinasi antara pemberian reinforcement dan
modeling merupakan cara yang efektif untuk mengajarkan kemampuan
motorik dan verbal. Pelatihan penggunaan bahasa merupakan modal
dasar sebelum anak diajarkan skill lain yang tingkatnya lebih tinggi
(Mash & Wolfe, 2013). Menurut Garcia dan De Haven (dalam
Erickson, 1982), operant conditioning merupakan prosedur yang
efektif untuk memunculkan perilaku imitative verbal dan untuk
mengajarkan functional speech dan spontaneous speech pada anak
yang belum pernah bicara atau anak yang memperlihatkan vocalization
yang sangat minim.
c. Terapi Cognitive-Behavioral
Terapi ini paling efektif bagi anak yang memiliki kemampuan bahasa
yang reseptif dan ekspresif (Mash & Wolfe, 2010). Salah satu terapi
yaitu self-instructional training, yang efektif bagi anak yang memiliki
kemampuan berbahasa, tetapi tetap sulit dalam memahami dan
mengikuti instruksi. Self-instructional training tersebut mengajarkan
anak untuk menggunakan verbal cues untuk memproses informasi,
dimana terapis mengajarkan anak untuk tetap fokus pada tugasnya dan
membuat anak memahami tugas baru yang diberikan padanya. Selain
itu, terapi lain yaitu metacognitive training, pelatihan untuk
mengembangkan kemampuan self-management melalui pembelajaran
pada berbagai situasi (Mash & Wolfe, 2010).
d. Psikoterapi
Terapi yang dapat diberikan yaitu terapi bermain bagi anak yang
masih kecil, karena kemampuan verbalnya masih belum berkembang
(Erickson, 1982). Terapi bermain dapat mengembangkan
perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa, dan personal-
social (Frankenburg & Dodds, dalam Erickson, 1982). Terapi lain
yaitu group psychotherapy, yang dapat diterapkan kepada penyandang
disabilitas yang sudah cukup dewasa, dan manfaatnya yaitu untuk
meningkatkan kesadaran peserta terapi mengenai permasalahan yang
dimiliki oleh orang lain, mengurangi perilaku mengabaikan
lingkungannya, dan membuat penyandang disabilitas tanggap terhadap
lingkungannya (Gunzburg, dalam Erickson, 1982).
e. Physical Treatment
Physical treatment yang diberikan kepada penyandang disabilitas yaitu
penggunaan berbagai obat dan diberlakukan diet khusus untuk
membantu mengontrol tingkah lakunya(Erickson, 1982).

7. Aksesibilitas
Aksesibilitas bagi penyandang cacat berarti kemudahan yang
diberikan atau disediakan bagi penyandang cacat bukan sebagai
pengistimewaan, melainkan untuk meminimalisir keterbatasan mereka
sebagai akibat hilangnya atau kurang berfungsinya salah satu atau
beberapa fungsi anggota tubuhnya. Aksesibilitas meliputi aksesibilitas
fisik dan aksesibilitas non fisik. Aksesibilitas fisik itu seperti landaian,
handrail (susuran tangan, biasa terdapat di tangga-tangga), lebar pintu
yang memenuhi standar universal disain yang berarti dapat dilalui oleh
pemakai kursi roda secara mandiri, suara atau audio serta huruf braille
bagi penyandang tunanetra, serta bahasa isyarat dan tulisan bagi
penyandang tunarungu. Sedangkan aksesibilitas non fisik itu meliputi
terbangunnya persepsi positif masyarakat terhadap keberadaan
penyandang cacat bahwa penyandang cacat adalah sama dengan warga
negara lain dalam hal kebutuhan pemenuhan segala aspek kehidupan dan
penghidupan. Oleh karena itu, masyarakat harus mendorong penyandang
cacat agar berpartisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara termasuk dalam hal ini adalah hak untuk
membina keluarga dan mempunyai keturunan.

8. Prognosa
Berdasarkan DSM V (2013), dijelaskan bahwa gangguan
intellectual disability tidak bersifat progresif. Terapi-terapi yang dilakukan
bertujuan untuk memaksimalkan potensi yang dimilki anak dan untuk
melatih anak dalam perilaku adaptifnya sehingga tingkat keparahannya
bisa berkurang, meskipun tidak dapat sembuh total.
B. Asuhan Keperawatan
Formulir Pengkajian Keperawatan Kesehatan Jiwa

Ruangan Rawat : Ruang Anak


Tanggal Dirawat : 14 November 2017

A. IDENTITAS KLIEN
1. Inisial : Tn.D (L)
2. Umur : 8 th
3. Pendidikan :-
4. Pekerjaan :-
5. Informan :-
6. Status perkawinan :-
7. No.RMK :-
8. Tanggal Pengkajian : 14 November 2017
9. Diagnosa Medis : Disability Intelektual

B. ALASAN MASUK
Biasanya pasien dan keluarga datang dengan alasan adanya kelainan pada
anak nya seperti adanya keterlambatan dalam kognitif dan perkembangan,
kesulitan dalam berbicara, anak sering memukul diri sendiri dan teman
terdekatnya.

C. KELUHAN/KEADAAN KLIEN SAAT INI


Biasanya pasien dan keluarga datang mengeluhkan adanya kelainan pada
anak nya seperti adanya keterlambatan dalam kognitif dan perkembangan,
kesulitan dalam berbicara, anak sering memukul diri sendiri dan teman
terdekatnya.
D. FAKTOR PRESIPITASI
Terdapat berbagai faktor presipitasi dari gangguan intellectual disability
ini. Berbagai faktor tersebut antara lain kelainan kromosom, komplikasi
pada saat kelahiran, faktor Genetik, dan faktor lingkungan.

E. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu ? Ya Tidak
2. Pengobatan sebelumnya Berhasil Kurang berhasil Tidak
berhasil
3. Trauma Pelaku/Usia Korban/Usia Saksi/Usia
Aniaya fisik

Aniaya seksual

Penolakan

Kekerasan dalam keluarga

Tindakan kriminal
Jelaskan No. 1, 2, 3 : Biasanya anak dengan gangguan disability
intelektual akan mengalami resiko perilaku kekerasan.
4. Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa Ya Tidak
Hubungan keluarga Gejala Riwayat
pengobatan/perawaran
Tidak terkaji pada kasus

5. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan


Tidak ada pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan karena disabilitas
intelektual biasanya berawal dari kelainan kromosom.
F. PEMERIKSAAN FISIK
1. Tanda vital : TD : __________ N : ________ R : _________ T :
_______________
2. Ukur : TB : __________ BB : ________
3. Keluhan fisik : Ya Tidak
Jelaskan : Pada anak dengan disabilitas biasanya menguluhkan
adanya kelainan fisik dari anak biasanya.

G. PSIKOSOSIAL
1. Genogram
Keterangan :
Jelaskan :
__________________________________________________________________
____________
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
________________________________________________

2. Konsep diri
a Gambaran diri :-
b Identitas :-
c Peran :-
d Ideal diri :-
e Harga diri :-
3. Hubungan Sosial
a Orang yang berarti : -
b Peran serta dalam kegiatan kelompok / masyarakat : -
c Hambatan dalam berbuhungan dengan orang Lain : pasien kesulitan
dalam berkomunikasi
4. Spiritual
a Nilai dan keyakinan : -
b Kegiatan ibadah :-

H. STATUS MENTAL
1. Penampilan

Tidak rapi Penggunaan pakaian Cara berpakaian tidak


seperti
tidak sesuai biasanya
Penjelasan : Pada kasus tidak terkaji

2. Pembicaraan

Cepat Keras Gagap Inkoheren

Apatis Lambat Membisu Tidak mampu


memulai
Pembicaraan

Loghorea Echolalia
Penjelasan :-

3. Aktivitas Motorik:

Lesu Tegang Gelisah Agitasi

TIK Grimasen Tremor Kompulsif


Penjelasan : tidak terkaji pada kasus
4. Alam perasaaan

Sedih Ketakutan Putus asa Khawatir

Gembira berlebihan
Penjelasan : Biasanya anak dengan disability intelektual akan menunjukkan
perilaku seperti gembira berlebihan.
5. Afek


Datar Tumpul Labil Tidak sesuai
Penjelasan : Biasanya anak dengan disability intelektual akan menunjukkan
afek seperti afek datar dan labil.
6. lnteraksi selama wawancara


bermusuhan Tidak kooperatif Mudah tersinggung

Kontak mata (-) Defensif Curiga

Penjelasan : Biasanya pasien dengan disability intelektual kurang mengerti


dengan apa yang di tanyakan perawat saat wawancara.
7. Persepsi

Pendengaran Penglihatan Perabaan

Pengecapan Penghidu

Penjelasan :-

8. Proses Pikir

sirkumtansial tangensial kehilangan asosiasi


flight of idea blocking pengulangan
pembicaraan/persevarasi

Neologisme
Penjelasan : -
9. Isi Pikir

Obsesi Fobia Hipokondria

depersonalisasi ide yang terkait pikiran magis

Waham

Agama Somatik Kebesaran Curiga

nihilistic sisip pikir Siar pikir Kontrol pikir

Penjelasan :-

10. Tingkat kesadaran

bingung sedasi stupor

Disorientasi

waktu tempat orang


Penjelasan : -

11. Memori

Gangguan daya ingat jangka panjang gangguan daya ingat jangka
pendek

gangguan daya ingat saat ini konfabulasi

Penjelasan : pada kasus tidak terkaji

12. Tingkat konsentrasi dan berhitung

mudah beralih tidak mampu konsentrasi Tidak mampu


berhitung sederhana
Penjelasan : Biasanya anak dengan disability akan mengalami gangguan
dalam konsentrasi dan berhitung.

13. Kemampuan penilaian

Gangguan ringan gangguan bermakna


Penjelasan : pada kasus tidak terkaji

14. Daya tilik diri

mengingkari penyakit yang diderita menyalahkan hal-hal diluar


dirinya
Penjelasan : pada kasus tidak terkaji

I. KEBUTUHAN PERSIAPAN PULANG


1. Makan
Bantuan minimal Bantuan total
Penjelasan : pada kasus tidak terkaji

2. BAB/BAK

Bantuan minimal Bantual total

Penjelasan : pada kasus tidak terkaji

3. Mandi

Bantuan minimal Bantuan total


Penjelasan : pada kasus tidak terkaji

4. Berpakaian/berhias

Bantuan minimal Bantual total


Penjelasan : pada kasus tidak terkaji

5. Istirahat dan tidur

Tidur siang lama : .s/d

Tidur malam lama : s/d

Kegiatan sebelum / sesudah tidur


Penjelasan : pada kasus tidak terkaji

6. Penggunaan obat


Bantuan minimal Bantual total
Penjelasan :-

7. Pemeliharaan Kesehatan

Perawatan lanjutan Ya tidak

Perawatan pendukung Ya tidak

Penjelasan : pada kasus tidak terkaji

8. Kegiatan di dalam rumah

Mempersiapkan makanan Ya tidak

Menjaga kerapihan rumah Ya tidak

Mencuci pakaian Ya tidak

Pengaturan keuangan Ya tidak


Penjelasan : pada kasus tidak terkaji

9. Kegiatan di luar rumah

Belanja Ya tidak

Transportasi Ya tidak

Lain-lain Ya tidak
Penjelasan :-

J. MEKANISME KOPING
Adaptif Maladaptif

Bicara dengan orang lain Minum alkohol

Mampu menyelesaikan masalah reaksi lambat/berlebih

Teknik relaksasi bekerja berlebihan

Aktivitas konstruktif menghindar

Olahraga mencederai diri

Lainnya _______________ Lainnya : terkadang


melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya
Penjelasan : biasanya pasien dengan disability intelektual mekanisme
kopingnya yaitu resiko mencederai diri, dan reaksinya terkadang berlebihan
K. MASALAH PSIKOSOSIAL DAN LINGKUNGAN:
Masalah dengan dukungan kelompok, spesifik

Masalah berhubungan dengan lingkungan, spesifik


tidak bersedia diajak berkomunikasi
Masalah dengan pendidikan, spesifik
Masalah dengan pekerjaan, spesifik
Masalah dengan perumahan, spesifik
tidak mau keluar rumah,
Masalah ekonomi, spesifik
Masalah dengan pelayanan kesehatan, spesifik
Masalah lainnya, spesifik

L. ANALISA DATA
Data Maladaftif Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Hambatan komunikasi
- Orang tua pasien mengatakan kesulitan verbal
dalam berbicara
DO:
- Pasien tampak kesulitan dalm
berkokunikasi
Data Maladaftif Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Risiko Perilaku
- Orang tua pasien mengatakan anak kekerasa
sering memukul diri sendiri dan teman
terdekatnya.
DO:
- Tangan pasien tampak mengepal
tangan dan wajah tampak merah
Data Maladaptif Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Ketidakefekti
- Orang tua pasien mengeluhkan adanya
kelainan pada anak nya seperti adanya
keterlambatan dalam kognitif dan
perkembangan
DO:
- Pasien tampak

M. DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN


1. Risiko perilaku kekerasan
2. Hambatan komunikasi
3.
N. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko perilaku kekerasan
2. Hambatan komunikasi
3.
O. POHON MASALAH
Effect
Resiko perilaku kekerasan

Care Problem

Causa

Genetik, Kelainan
kromosom, Lingkungan

Banjarbaru, 14 November 2017


Pelaksana Pengkajian

...........................................

Intervensi Keperawatan Berdasarkan Strategi Pelaksanaan


Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Strategi Pelaksanaan
Keperawatan
Risiko Pasien mampu : Setelah dilakukan SP PASIEN:
Perilaku 1. Mengidentifikasi pertemuan pasien SP 1
Kekerasan penyebab PK dapat : 1. Identifikasi penyebab, tanda
2. Mengidentifikasi 1. Mengidentifika dan gejala perilaku kekerasan
Tanda dan gejala si penyebab PK yang dilakukan dan akibat
3. Membuat jadwal 2. Mengidentifika perilaku kekerasan
kegiatan latihan si cara yang 2. Jelaskan cara mengontrol
dapat dilakukan perilaku kekerasan : fisik, obat,
untuk verbal dan spritual
mengontrol PK 3. Latihan cara mengontrol
perilaku kekerasan secara fisik :
tarik napas dalam dan pukul
kasur dan bantal
4. Masukkan pada jadwal kegiatan
untuk latihan fisik
Setelah dilakukan SP 2
pertemuan pasien 1. Evaluasi kegiatan latihan fisik,
dapat : beri pujian
1. Menyebutkan 2. Latih cara mengontrol perilaku
kegiatan yang kekerasan dengan obat (6 benar
sudah obat, guna, dosis, frekuensi,
dilakukan cara, kontinuitas minum obat,
Melakukan akibat jika obat tidak diminum
kegiatan latihan sesuai program, akibat putus
2. Mengidentifikas obat)
i cara yang 3. Masukkan pada jadwal kegiatan
dapat dilakukan untuk latihan fisik dan minum
untuk obat
mengontrol PK
Setelah dilakukan SP 3
pertemuan pasien 1. Evaluasi kegiatan latihan fisik
dapat : dan obat, serta beri pujian
1. Menyebutkan 2. Latih pasien mengontrol
kegiatan yang perilaku kekerasan secara
sudah verbal (3 cara, yaitu :
dilakukan mengungkapkan, meminta,
2. Mengidentifika menolak dengan benar)
si cara yang 3. Masukan pada jadwal kegiatan
dapat untuk latihan fisik, minum obat
dilakukan dan verbal
untuk
mengontrol PK

Setelah dilakukan SP 4
pertemuan pasien 1. Evaluasi kegiatan latihan fisik, obat
dapat : dan verbal, beri pujian
2. Latih pasien mengontrol perilaku
1. Menyebutkan
kekerasan secara spiritual (2 kegiatan)
kegiatan yang
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk
sudah latihan fisik, minum obat, verbal dan
dilakukan spritual
2. Mengidentifika
si cara yang
dapat
dilakukan
untuk
mengontrol PK
Setelah dilakukan SP 5
pertemuan pasien 1. Evaluasi kegiatan latihan fisik
dapat: 1&2, minum obat, verbal dan
1. Menyebutkan spritual, beri pujian
kegiatan yang 2. Nilai kemampuan yang telah
sudah mandiri
dilakukan 3. Nilai apakah Perilaku
2. Mengidentifika Kekerasan terkontrol
si cara yang
dapat
dilakukan
untuk
mengontrol PK

Keluarga mampu Setelah dilakukan SP KELUARGA:


berperan serta pertemuan SP 1 :
mengenal masalah keluarga mampu : 1. Diskusikan masalah yang
perilaku kekerasan, 1. Mendiskusikan dirasakan dalam merawat
mengotrol perilaku masalah yang pasien
kekrasan, dirasakan dalam 2. Jelaskan pengertian, tanda dan
memodifikasi merawat pasien gejala dan proses terjadinya
lingkungan yang 2. Mengidentifika Perilaku kekerasan (gunakan
mendukung pasien si pengertian, booklet)
berinteraksi dengan tanda dan gejala 3. Jelaskan cara merawat pasien
orang lain serta proses Perilaku kekerasan
memanfaatkan terjadinya 4. Latih satu cara merawat PK
fasilitas pelayanan perilaku dengan melakukan kegiatan
kesehatan. kekerasan dan fisik : tarik nafas dalam dan
mengambil pukul bantal / kasur
keputusan 5. Anjurkan untuk membantu
merawat pasien. sesuai jadwal kegiatan dan
memberikan pujian.
SP 2 :
1. Evaluasi kegiatan keluarga
dalam merawat / melatih pasien
cara fisik, beri pujian
2. Jelaskan 6 benar cara
memberikan obat
3. Latih cara memberikan /
membimbing minum obat
4. Anjurkan membantu sesuai
jadwal kegiatan dan
memberikan pujian

SP 3 :
1. Evaluasi kegiatan keluarga
dalam merawat / melatih pasien
fisik 1&2 dan memberikan obat,
berikan pujian
2. Latih keluarga cara
membimbing : cara berbicara
yang baik
3. Latih keluarga cara
membimbing kegiatan spritual
SP 4 :
1. Evaluasi kegiatan keluarga
dalam merawat / melatih pasien
fisik 1 & 2, memberikan obat,
cara bicara yang baik dan
kegiatan spritual. Beri pujian.
2. Jelaskan follow up ke RSJ /
PKM, tanda kambuh dan
rujukan.
3. Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal dan berikan
pujian.
SP 5 :
1. Evaluasi kegiatan keluarga
dalam merawat / melatih pasien
fisik 1&2, memberikan obat,
cara bicara yang baik dan
kegiatan spritual dan follow up.
Beri pujian.
2. Nilai kemampuan keluarga
merawat pasien
3. Nilai kemampuan keluarga
melakukan kontrol ke RSJ /
PKM

Intervensi keperawatan dengan NANDA NIC NOC


No Diagnosa NOC NIC Rasional
1. Hambatan Adaptasi terhadap Peningkatan
Komunkasi disabilitas fisik komunikasi:
Verbal Setelah dilakukan kurang bicara
tindakan keperawatan 1. Monitor kognitif,
selama 4x24jam anatomis dan
diharapkan pasien fisiologi terkait
dapat beradaptasi dengan kemampuan
terhadap tantangan berbicara (misalnya:
terkait dengan akibat memori,
terjadinya disabilitas pendengaran dan
fisik dengan kriteria bahasa)
hasil: 2. Instruksikan
1. Menyempaikan pasien atau keluarga
secara lisan untuk menggunakan
penyesuaian terhadap proses kognitif,
disabilitas (skala 1 ke anatomi dan
3) fisiologi yang
2. Beradaptasi terhadap terlibat dalam
keterbatasan secara kemampuan
fungsional (skala 1 ke berbicara
3) 3. Sediakan metode
3. Menerima akan alternatif menulis
bantuan fisik (skala 1 atau membaca
ke 3) dengan cara yang
Keterangan: tepat
1: tidak pernah 4. Ulangi apa yang
dilakukan disampaikaan pasien
3: kadang-kadang untuk menjamin
akurasi
5. Instruksikan
pasien untuk bicara
pelan,
6. kolaborasi
bersama keluarga
dan ahli atau terapis
bahasa patologis
untuk
mengembangkan
rencana agar bisa
berkomunikasi
secara efektif
7. Gunakan
penerjemah jika
8. Sediakan
penguatan positif
dengan cara yang
tepat

Evaluasi
Tgl /Jam Diagnosa Evaluasi Paraf
Keperawatan
Risiko Perilaku S: Pasien mengatakan tidak melamun dan
Kekerasan mengurung diri lagi .
O:Pasien terlihat tidak menunduk dan menatap
wajah perawat
A: Masalah teratasi SP 1
P: Lanjutkan SP 2, 3, 4 dan 5
Hambatan S: keluarga mengatakan sudah mulai mau
komunikasi berkomunikasi
verbal O: pasien tampak menatap wajah perawat saat
berkomunikasi dan tidak menunduk
A: SP 1 Teratasi
P: Lanjutkan SP 2,3,4 dan 5

Ketidakefektifan S: keluarga mengatakan sudah mulai mau


Koping berkomunikasi
O: pasien tampak sudah mau
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi Dilanjutmya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Disabilitas intelektual atau disebut juga mental retardation
merupakan gangguan yang ditandai oleh tingkat kecerdasan yang berada di
bawah rata-rata dan memiliki kekurangan dalam perilaku adaptif yang
tidak sesuai dengan anak seusianya yan terdeteksi sebelum usia 18 tahun.
Terdapat 4 kategori, yaitu mild, moderete, severe, dan profound. Etiologi
dari gangguan ini diantaranya adalah faktor genetis, faktor lingkungan,
faktor sebelum kelahiran, sesudah kelahiran, ataupun adanya interaksi
antara faktor lingkungan dan genetik. Terdapat beberapa penanganan atau
treatment yang dapat diberikan, antara lain edukasi, terapi behavioral,
terapi cognitif-behavioral, psikoterapi, dan terapi fisik.

Anda mungkin juga menyukai