PSIKOLOGI
UserTelda Anita Toar
A. Pengertian Agresif
Secara Psikologis, agresif berarti cenderung (ingin) menyerang kepada sesuatu yang
dipandang sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat (KBBI:
1995: 12).
Ada pendapat yang menyatakan bahwa perilaku agresif sinonim dengan bullying dan
violence, sementara yang lain berpendapat bahwa bullying dan violence merupakan
sub bagian (subset) dari perilaku agresif. Perdebatan konsep tersebut ditegaskan oleh
Omoore (t.t.: 1) sebagai berikut:
There is a tendency, at present, towards viewing aggression, bullying and violence as
being synonymous. While few will disagree that bullying and violence are sub-sets of
aggressive behaviour, disagreements are encountered, especially in respect of what
1 constitutes bullying and violence.
Dalam hal ini, tidak diperdebatkan apakah sebuah konsep di atas berbeda ataukah
sinomin, tetapi yang ditekankan adalah bentuk-bentuk yang tampak dari suatu perilaku
yang digolongkan sebagai perilaku agresif.
Ahli psikologi sosial, yaitu Dollard dan Miller, menerangkan dengan frustration-
aggression hypothesis (Brigham, 1991; Baron & Byrne, 2004; Nashori, 2008). Orang-
orang yang frustrasi marah terhadap orang-orang yang dianggap sebagai penyebab
atau perantara terjadinya rasa sakit. Disakiti atau dilukai perasaannya atau
kepentingannya, itulah yang dijadikan alasan oleh sementara orang untuk bertindak
agresif. Mereka frustrasi dengan apa yang terjadi, dan jadilah mereka menjarah,
membunuh, menembak, melempar batu, memukul, membacok, dan seterusnya. Di
dalam kajian psikologi, perilaku agresif mengacu kepada beberapa jenis perilaku baik
secara fisik maupun mental, yang dilakukan dengan tujuan menyakiti seseorang
(Berkowitz, 2003).
Jenis perilaku yang tergolong perilaku agresif diantaranya berkelahi (fighting), mengata-
ngatai (name-calling), bullying, mempelonco (hazing), mengancam (making threats),
dan berbagai perilaku intimidasi lainnya (Wilson, 2003). Sebagian tidak jelas
hubungannya antara perilaku yang satu dengan perilaku yang lain, sehingga istilah
perilaku agresif sulit untuk didefinisikan secara ringkas.
Definisi ini lebih menekankan pengertian agresif pada tindakannya, yang selanjutnya
2 mempunyai pengaruh negatif sebagai konsekuensi dari sebuah tindakan agresif
terhadap korban, yaitu kerugian jasmani dan mental orang lain, tanpa memandang
tujuan dilakukannya tindakan agresif itu sendiri.
Coie and Dodge, dalam Tremblay (2000: 131) mendefinisikan perilaku Agresif sebagai
berikut: Behaviour that is aimed at harming or injuring another person or persons.
Definisi ini tidak menekankan pada kemungkinan konsekuensi negatif yang ditimbulkan
oleh perilaku Agresif, tetapi lebih menekankan pada tujuan dilakukannya perilaku
agresif, yaitu kerugian atau terlukanya orang lain.
Sekarang, rumusan perilaku agresif tidak hanya dilihat dari bentuk perilakunya,
melainkan juga dilihat dari aspek tujuan atau maksud dilakukannya suatu perbuatan
agresif tersebut. Rumusan demikian sesuai dengan yang dikemukakan oleh :
Persson (2005: 81): In the present study, the definition of aggression was broadly
formulated to encompass not only acts specifically intended to hurt another person, but
also acts that result in negative consequences for a peer, although their primary aim is
to attain a personal goal,rather than to hurt a peer
Agresif terjadi pada masa perkembangan. Perilaku agresif sebenarnya sangat jarang
ditemukan pada anak yang berusia di bawah 2 tahun. Tidak hanya melihat dari efek
negative saja, melainkan ada suatu korelasi positif antara perilaku agresif dan
kreativitas.
Pada tingkat yang paling dasar sifat agresif dan kreativitas berhubungan erat satu sama
lain dan saling berkaitan sebagai proses kelangsungan hidup. Sejumlah penelitian pada
sifat agresif telah menunjukkan bahwa ketika kita ditempatkan dalam situasi yang tidak
menyenangkan dan memicu tingkat emosi yang berbeda, sehingga apabila tingkat
4 reaksi terlalu tinggi kita mulai untuk menampilkan perilaku yang agresif dan dapat
bertindak tanpa dorongan atau menahan diri.
Sedangkan definisi berpikir kreatif adalah adanya pemikiran yang berbeda yang dapat
digunakan untuk mengatasi situasi yang sulit menjadi lebih mudah. Hal ini
dimungkinkan bahwa kemampuan berpikir divergen dapat dimobilisasi di bawah
tekanan situasi dimana agresi verbal atau bahkan fisik yang digunakan secara teknis
menutup area otak yang berhubungan dengan berpikir kreatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara agresi verbal dan
kefasihan verbal, fleksibilitas dan orisinalitas. Dengan kata lain, Orang yang terlibat
dalam agresi verbal dan ancaman agresi fisik memiliki skor tertinggi pada pengukuran
orisinalitas fleksibilitas verbal dan figural. Hasil ini tidak sepenuhnya bertentangan
dengan apa yang diketahui tentang agresifitas kimia otak. Menjadi agresif tidak
menyebabkan inaktivasi korteks otak yang mengurangi kemampuan kita untuk berpikir
kreatif. Tapi tingkat agresi juga memainkan peranan apakah ada atau tidak ketika kita
kehilangan kemampuan untuk berpikir kreatif dalam situasi stres.
Jenis situasi stres yang diamati selama studi oleh Tacher dab Readdick ( 2006 )yang
cukup ringan menurut standar adalah ketika situasi ini melibatkan agresivitas antara lain
ketika anak-anak berkelahi satu sama lain untuk mendapatkan posisi terbaik dan
berjuang untuk sebuah pengakuan dikelompok bermain. Ketika anak-anak mengancam
orang lain dalam situasi stres, mereka datang dengan kognitif bagaimana caranya
untuk menghentikan lawan, membuat sikap tubuh untuk mengusir serangan dan
menggunakan kemampuan verbal mereka untuk menghentikan perilaku agresif.
kegiatan kognitif tersebut merupakan ciri khas berpikir divergen, meskipun satu atau
mungkin lebih berpikir agresivitas ini kurang relevan. penggunaan ancaman di
kelompok usia ini adalah sesuai dengan tahapan perkembangan.
5 Di sisi lain, ketika anak memasuki usia 3-7 tahun, perilaku agresif menjadi bagian dari
tahapan perkembangan mereka dan sering kali menimbulkan masalah, tidak hanya di
rumah tetapi juga disekolah. Diharapkan setelah melewati usia 7 tahun, anak sudah
lebih dapat mengendalikan dirinya untuk tidak menyelesaikan masalah dengan perilaku
agresif. Tetapi, bila keadaan ini menetap, maka ada indikasi anak mengalami gangguan
psikologis.
Dampak utama dari perilaku agresif ini adalah anak tidak mampu berteman dengan
anak lain atau bermain dengan teman-temannya. Keadaan ini menciptakan lingkaran
setan, semakin anak tidak diterima oleh teman-temanya, maka makin menjadilah
perilaku agresif yang ditampilkannya. Maka dari itu kita harus mampu mengetahui factor
penyebab anak berperilaku agresif.
Perilaku agresif biasanya ditunjukkan untuk menyerang, menyakiti atau melawan orang
lain, baik secara fisik maupun verbal. Hal itu bisa berbentuk pukulan, tendangan, dan
perilaku fisik lainya, atau berbentuk cercaan, makian ejekan, bantahan dan
semacamnya
1. Bentuk perilaku luar biasa, bukan hanya berbeda sedikit dari perilaku yang biasa.
Misalnya, memukul itu termasuk perilaku yang biasa, tetapi bila setiap kali ungkapan
tidak setuju dinyatakan dengan memukul, maka perilaku tersebut dapat diindikasikan
sebagai perilaku agresif. Atau, bila memukulnya menggunakan alat yang tidak wajar,
misalnya memukul dengan menggunakan tempat minum.
6 2. Masalah ini bersifat kronis, artinya perilaku ini bersifat menetap, terus-menerus, tidak
menghilang dengan sendirinya.
3. Perilaku tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan norma sosial atau budaya.
Untuk itu, untuk dapat mengetahui anak berperilaku kita harus dapat mengenali gejala
serta karakteristik anak yang berperilaku agresif. Perilaku agresif juga dapat ditampilkan
oleh anak individu (agresif tipe soliter) maupun secara berkelompok ( agresif tipe
group). Pada perilaku agresif yang dilakukan berkelompok/grup, biasanya ada anak
yang merupakan ketua kelompok dan memerintahkan teman-teman sekelompoknya
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Pada tipe ini, biasanya anak-anak yang
bergabung mempunyai masalah yang hampir sama lalu memberikan kesempatan yang
sama pada salah satu anak untuk menjadi ketua kelompok. Pada tipe ini sering terjadi
perilaku agresif dalam bentuk fisik.
Sedang pada tipe soliter, perilaku agresif dapat berupa fisik maupun verbal, biasanya
dimulai oleh seseorang yang bukan bagian dari tindakan kelompok. Tidak ada usaha si
anak untuk menyembunyikan perilaku tersebut. Anak tipe ini sering kali menjauhkan diri
dari orang lain sehingga lingkungan juga menolak keberadaannya.
Tidak jarang anak-anak ini, baik secara individual atau berkelompok, membuat anak
lain mengikuti kemauan mereka dengan cara-cara yang agresif. Akibatnya, ada anak
atau sekelompok anak yang menjadi korban dari anak lain yang berperilaku agresif.
Secara umum, yang dimaksud dengan gangguan emosi dan perilaku adalah
ketidakmampuan yang ditunjukan dengan respons emosional atau perilaku yang
berbeda dari usia sebayanya, budaya atau norma sosial. Ketidakmampuan tersebut
akan mempengaruhi prestasi sekolah yaitu prestasi akademik, interaksi sosial dan
ketrampilan pribadinya. Ketidakmampuan ini sifatnya menetap dan akan lebih tampak
7 bila sang anak berada dalam situasi yang dirasakan menegangkan olehnya
Gangguan emosi dan perilaku dapat saja muncul bersama gangguan psikologis lain,
misalnya ADD ( Attention Deficit Disorder) yaitu gangguan pemusatan pikiran (GPP)
atau ADHD ( Attention Dificit and Hyperactive Disorder)yaitu gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas ( GPPH) ataupun retardasi mental.
Karakteristik dari masalah perilaku dan emosional ini sangat bervariasi. Berikut ini akan
digambarkan karakteristik perilaku agresif menurut Masykouri (2005) :
Bersifat verbal biasanya lebih tergantung pada situasional bersifat nonverbal yakni
perilaku agresif yang merupakan respons dari keadaan frustasi, takut atau marah
dengan cara mencoba menyakiti orang lain.
Bentuk-bentuk perilaku agresif ini yang paling tampak adalah memukul, berkelahi,
mengejek, berteriak, tidak mau mengikuti perintah atau permintaan, menangis atau
merusak. Anak yang menunjukan perilaku ini biasanya kita anggap sebagai
pengganggu atau pembuat onar. Sebenarnya, anak yang tidak mengalami masalah
emosi atu perilaku juga menampilkan perilaku seperti yang disebutkan diatas, tetapi
tidak sesering atau seimpulsif anak yang memiliki masalah emosi atau perilaku. Anak
dengan perilaku agresif biasanya mendapatkan masalah tambahan seperti tidak terima
oleh teman-temannya (dimusuhi, dijauhi, tidak diajak bermain) dan dianggap sebagai
pembuat masalah oleh guru. Perilaku agresif semacam itu biasanya diperkuat dengan
didapatkan penguatan dari lingkungan berupa status, dianggap hebat oleh teman
8
sebaya, atau didapatkannya sesuatu yang diinginkan, termasuk melihat temannya
menangis saat dipukul olehnya.
Perilaku anti social sendiri mencakup berbagai tindakan seperti tindakan agresif.
Ancaman secara verbal terhadap orang lain, perkelahian, perusakan hak milik,
pencurian, suka merusak ( vandalis ), kebohongan, pembakaran, kabur dari rumah,
pembunuhan dan lain-lain. Menurut buku panduan diagnostik (dalam Masykouri, 2005:
12.4) untuk gangguan mental, seseorang dikatakan mengalami gangguan perilaku
antisosial ( termasuk agresif ) bila tiga di antara daftar perilaku khusus berikut terdapat
dalam seseorang secara bersama-sama paling tidak selama enam bulan. Perilaku
tersebut sebagi berikut.
Mencuri tanpa menyerang korban lebih dari satu kali.
Kabur dari rumah semalam paling tidak dua kali selama tinggal di rumah orang tua.
Sering berbohong.
Dengan sengaja melakukan pembakaran.
Sering bolos sekolah.
Memasuki rumah, kantor, mobil, orang lain tanpa izin.
Mengonarkan milik oranglain dengan sengaja.
Menyiksa binatang.
Menggunakan senjata lebih dari satu kali dalam perkelahian.
Sering memulai berkelahi.
Mencuri dengan menyerang korban.
Menyiksa orang lain.
Meskipun dari ciri-ciri tersebut tampaknya sangat jarang dilakukan anak usia sekolah,
namun sebagai orang tua khususnya pendidik, perlu mewaspadai agar perilaku-perilaku
tersebut jangan sampai muncul ketika anak beranjak remaja atau masa perkembangan
9 remaja. Jadi seorang pendidik perlu lebih teliti untuk mengenali gejala perilaku yang
tidak umum pada anak didiknya sedini mungkin, sehingga kasus tersebut dapat
ditangani lebih awal
10 Perilaku agresif siswa di sekolah sudah menjadi masalah yang universal (Neto, 2005),
dan akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat. Berita tentang terlibatnya para siswa
dalam berbagai bentuk kerusuhan, tawuran, perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya
semakin sering terdengar. Perilaku agresif siswa di sekolah sangat beragam dan
kompleks. Persoalan perilaku agresif siswa semakin kompleks manakala perilaku
agresif akhir-akhir ini juga dipertontonkan oleh guru, ada guru yang memukul siswanya,
bahkan ada yang sampai menganiaya/membunuh siswanya.
Contoh yang lebih konkrit adalah
Perilaku agresif yang terjadi di lingkungan pendidikan jika tidak segera ditangani, di
samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa
cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Situasi demikian akan
membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif
siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas.
Dalam pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan
sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given), tetapi merupakan perilaku
yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan. Dengan demikian, siswa yang
11 mempunyai perilaku agresif, melalui pengalaman dan pendidikan perilakunya dapat
diubah menjadi perilaku yang lebih positif. Banyak penelitian yang menyimpulkan
bahwa munculnya perilaku agresif terkait dengan rendahnya keterampilan sosial anak,
di samping itu juga terkait dengan rendahnya kemampuan anak dalam mengatur/
mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui pembelajaran keterampilan sosial dan
emosional, perilaku agresif siswa di sekolah diharapkan dapat direduksi.
Sekolah, seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, tempat yang aman dan
sehat, tempat di mana para siswa dapat mengembangkan berbagai potensi yang
mereka miliki dengan sepenuhnya. Namun, masuk ke dalam lingkungan sekolah bagi
seorang siswa ternyata tidak selalu menyenangkan, mungkin malah sebaliknya bisa
membuat mereka stress, cemas dan takut. Bayangan akan terjadinya tindak kekerasan
saat memasuki lingkungan sekolah sering menghantui siswa.
Menurut Todd, Joana, dkk. (dalam Nataliani, 2006), kekerasan dalam bentuk fisik
maupun verbal di kalangan siswa telah menjadi sebuah masalah serius yang ada di
berbagai negara di seluruh dunia. Perilaku agresif siswa telah menimbulkan dampak
negatif, baik bagi siswa itu sendiri maupun bagi orang lain. Anak yang mengalami
kekerasan akan mengalami masalah di kemudian hari baik dalam hal kesehatan juga
kehidupanya.
Sehubungan dengan perilaku agresif siswa di sekolah, Wilson, et al. (2003: 136)
menyatakan: These behaviors, even when not overtly violent, may inhibit learning and
create interpersonal problems for those involved. Selanjutnya, dengan mengutip
pendapat Goldstein, Harootunian, & Conoley, (1994), Wilson, et al. (2003) menyatakan:
In addition, minor forms of aggressive behavior can escalate, and schools that do not
effectively counteract this progression may create an environment in which violence is
normatively acceptable. Dengan demikian, jika perilaku agresif yang terjadi di
lingkungan sekolah tidak segera ditangani, di samping dapat menggangu proses
12 pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk beradaptasi pada
kebiasaan buruk tersebut. Semakin sering siswa dihadapkan pada perilaku agresif,
siswa akan semakin terbiasa dengan situasi buruk tersebut, kemampuan siswa untuk
beradaptasi dengan perilaku agresif akan semakin tinggi, dan akan berkembang pada
persepsi siswa bahwa perbuatan agresif merupakan perbuatan biasa-biasa saja,
apalagi jika keadaan ini diperkuat dengan perilaku sejumlah guru yang cenderung
agresif pula ketika menghadapi murid-muridnya. Situasi demikian akan membentuk
siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di
sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas.
Topik-topik di dalam kajian bidang psikologi dapat ditinjau melalui berbagai sudut
pandang yang berbeda-beda. Perbedaan sudut pandang tersebut tergantung pada teori
masing-masing yang mendasarinya, antara lain:
Dari sudut pandang ethologi (ilmu tentang perilaku hewan), agresi adalah insting
berkelahi dalam rangka mempertahankan hidup dari ancaman spesies lain.
13
Penggunaan teori frustrasi berpandangan bahwa setiap perilaku manusia memiliki
tujuan tertentu, jika seseorang gagal dalam mencapai tujuannya maka akan timbul
perasaan frustrasi, selanjutnya, keadaan frustrasi akan dapat menimbulkan agresi, dan
intensitas frustrasi yang ter-gantung pada besarnya ambisi individu dalam mencapai
tujuan, banyaknya penghalang, dan berapa banyak frustrasi yang pernah dialami
sebelumnya.
Para ahli teori belajar sosial (Social Learning Theory) memberikan sumbangan yang
lebih optimis mengenai kejadian perilaku agresif.
Dalam pandangannya Bandura, Dorothea Ross dan Sheila Ross (1961), perilaku
agresif merupakan perilaku yang dipelajari, baik melalui observasi maupun melalui
pengalaman langsung, bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di dalam diri
manusia (not innately given). Bandura berpendapat bahwa perilaku agresif timbul
karena adanya pengalaman observasi terhadap model yang terjadi tanpa disadari
(modelling atau imitasi).Perilaku akan ditiru bila orang yang ditiru dikagumi dan meniru
menimbulkan perasaan bangga (menimbulkan penguatan emosional).
Oleh karena itu, untuk memahami sumber-sumber perilaku agresif dapat dimulai
dengan mempelajari kondisi-kondisi di luar diri individu daripada memperhatikan faktor
individu itu sendiri.
Pendekatan Bandura adalah suatu perluasan dari behaviorisme yang pada dasarnya
memandang perilaku manusia dibentuk oleh pengalaman-pengalaman hidup mereka,
perilaku manusia terbentuk oleh ganjaran dan hukuman-hukuman yang dialaminya
setiap hari. Bandura mencoba mengembangkan konsep-konsep yang digunakan pada
operant dan classical cond-tioning untuk menjelaskan perilaku sosial manusia yang
kompleks. Konsep utamanya adalah penguatan dan imitasi.
14
Dalam memandang perilaku agresif, Bandura menyatakan bahwa jika anak-anak
menjadi saksi yang pasif pada sebuah tayangan yang agresif, mereka akan meniru
perilaku agresif tersebut jika ketika diberi kesempatan (Bandura, Dorothea Ross dan
Sheila Ross, 1961).
Proses sosialisasi, yaitu transfer nilai dan norma dari orangtua ke anak, berpengaruh
secara langsung pada perilaku anak. Tujuan utama dari proses sosialisasi orangtua dan
anak adalah menumbuhkan kepatuhan atau kesediaan mengikuti keinginan atau
peraturan tertentu. Anak akan melakukan keinginan orangtua bila ada kelekatan yang
aman di antara mereka. Tujuan kedua proses sosialisasi adalah menumbuhkan self
regulation (pengaturan diri), yaitu kemampuan mengatur perilakunya sendiri tanpa perlu
diingatkan dan diawasi oleh orangtua. Dengan adanya self regulation ini, anak akan
mengetahui dan memahami perilaku seperti apa yang dapat diterima oleh orangtua dan
lingkungannya (Hetherington&Parke1999).
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya mempengaruhi perilaku anak adalah pola asuh
orangtua. Menurut Baumrind, Maccoby dan Martin (dalam Hetherington & Parke, 1999).
Pola asuh orangtua yang permisif dan tidak mau terlibat berhubungan dengan
karakteristik anak yang impulsif, agresif dan memiliki keterampilan sosial yang rendah.
Sedangkan anak yang orangtuanya otoriter cenderung menunjukkan dua kemungkinan,
berperilaku agresif atau menarik diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Chamberlain, dkk
(dalam Yanti, 2005) yang menyebutkan bahwa pola asuh orangtua yang berhubungan
dengan gangguan perilaku pada anak adalah penerapan disiplin yang keras dan tidak
konsisten, pengawasan yang lemah, ketidakterlibatan orangtua, dan penerapan disiplin
yang kaku.
Di sisi lain, lingkungan di luar keluarga yang cukup berperan bagi perkembangan
perilaku anak adalah teman sebaya, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
15 Anak-anak yang ditolak dan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan teman
sebaya cenderung menjadikan agresivitas sebagai strategi berinteraksi (Dishion,
French & Patterson, 1995 dalam Yanti, 2005). Sementara, anak-anak yang agresif dan
memiliki perilaku antisosial akan ditolak oleh teman sebaya dan lingkungannya
sehingga mereka memilih bergabung dengan teman sebaya yang memiliki perilaku
sama seperti mereka, yang justru akan memperparah perilaku mereka
(Jimerson,dkk,2002).
Munculnya perilaku agresif juga terkait dengan keterampilan sosial anak, yaitu
kemampuan anak mengatur emosi dan perilakunya untuk menjalin interaksi yang efektif
dengan orang lain atau lingkungannya (Cartledge & Milburn, 1995). Mereka cenderung
menunjukkan prasangka permusuhan saat berhadapan dengan stimulus sosial yang
ambigu mereka sering mengartikannya sebagai tanda permusuhan sehingga
menghadapinya dengan tindakan agresif (Crick & Dodge dalam Yanti, 2005). Mereka
juga kurang mampu mengontrol emosi, sulit memahami perasaan dan keinginan orang
lain, dan kurang terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial (Lochman,
dkk. dalam Yanti, 2005). Rendahnya keterampilan sosial ini membuat anak kurang
mampu menjalin interaksi secara efektif dengan lingkungannya dan memilih tindakan
agresif sebagai strategi coping. Mereka cenderung menganggap tindakan agresif
sebagai cara yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan sosial dan mendapatkan
apa yang mereka inginkan. Akibatnya, mereka sering ditolak oleh orangtua, teman
sebaya, dan lingkungannya.
Penolakan oleh orangtua, teman sebaya, dan lingkungannya justru semakin berdampak
buruk bagi anak. Jaringan sosial dan kualitas hubungan mereka dengan lingkungan
menjadi rendah, padahal kedua kondisi ini merupakan media yang paling dibutuhkan
anak untuk mengembangkan keterampilan sosialnya. Anak juga menjadi lebih suka
bergaul dengan temannya yang memiliki karakteristik yang sama dengan mereka.
Seolah-olah seperti lingkaran setan. Hal ini akan membuat keterampilan sosial anak
tetap rendah dan gangguan perilaku mereka semakin parah yang pada akhirnya akan
membuat mereka semakin dijauhi oleh lingkungan.
Keterampilan sosial bukanlah suatu kemampuan yang dibawa individu sejak lahir (not
17 innately given), tetapi diperoleh melalui proses belajar, baik belajar dari orangtua
sebagai figur yang paling dekat dengan anak maupun belajar dari teman sebaya dan
lingkungan masyarakat. Michelson, dkk (dalam Yanti 2005) menyebutkan bahwa
Goleman (1996) menyatakan bahwa dari beberapa hasil penelitian dalam menangani
perilaku agresif siswa di sekolah, program pembelajaran keterampilan sosial dan
emosional ternyata menunjukkan hasil yang positif. Siswa yang terlibat dalam program
tersebut semakin berkurang sikap agresifnya. Goleman (1996: 274) menyatakan:
and the longer they had been in the program, the less aggressive they were as
teenagers.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, perilaku agresif siswa dapat direduksi melalui
program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional. Sulit untuk menyusun daftar
yang lengkap tentang keterampilan sosial apa yang harus dimiliki anak agar selalu
berhasil dalam interaksi sosialnya, karena sebagaimana kehidupan sosial itu sendiri,
kesempatan untuk berhasil secara sosial juga dapat berubah sesuai waktu, konteks,
dan budaya. Namun demikian, menurut Schneider dkk (dalam Rubin, Bukowski &
Parker, 1998),agar seseorang berhasil dalam interaksi sosial,maka secara umum
dibutuhkan beberapa keterampilan sosial yang terdiri dari pengaturan emosi,dan
perilaku yang tampak yaitu:
a.Memahami pikiran, emosi, dan apa yag dimaksudkan oleh orang lain.
c.Menggunakan berbagai cara yang dapat digunakan untuk memulai komunikasi atau
interaksi dengan orang lain, memeliharanya,dan mengakhiri-nya dengan cara yang
positif.
d.Memahami konsekuensi dari sebuah tindakan sosial, baik bagi diri sendiri maupun
bagi orang lain atau tujuan tindakan tersebut.
e.Membuat penilaian moral yang matang yang dapat mengarahkan tindakan sosial.
Beberapa contoh program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional yang dapat
dilakukan untuk mereduksi perilaku agresif siswa di sekolah, antara lain adalah sebagai
berikut:
Pembelajaran dan pelatihan di atas penting diberikan, sebab perilaku agresif sering kali
muncul karena adanya penafsiran yang salah terhadap sejumlah isyarat sosial dari
orang lain yang cenderungan selalu dianggap sebagai isyarat permusuhan. children
with aggressive behavior more often make errors interpreting intent in ambiguous social
situations and attend selectively
d. Melatih skill berbicara dan belajar meminta maaf. Latihan ini penting didasarkan pada
asumsi bahwa perilaku agresif terjadi karena orang tidak bisa atau kurang dapat
berkomunikasi dengan baik, sebagaimana dikatakan oleh Shields & Cicchetti (dalam
Bohnert, et al., 2003: 2): Aggressive symptoms were associated with decreased ability
to verbally express negative feelings, exhibit empathy towards others, and display a
range of emotion
Perilaku agresif siswa akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, baik bagi
siswa itu sendiri maupun bagi orang lain. Anak yang mengalami kekerasan akan
mengalami masalah di kemudian hari baik dalam hal kesehatan maupun kesejahteraan
hidupnya.
Dalam pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan
sendirinya ada di dalam diri manusia, tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui
pengalaman dan pendidikan yang diperoleh seseorang dalam kehidupannya. Dengan
demikian, siswa yang mempunyai agresif, melalui pengalaman dan pendidikan
perilakunya dapat diubah menjadi perilaku yang lebih positif.
Nature VS Nurture
Melihat uraian-uraian Anderson & Bushman bahwa manusia tidak lahir dengan
sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan
cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi
tingkah laku manusia lainnya. Menurut penulis, individu yang tidak mempunyai sifat
agresif cenderung akan menampilkan perilaku agresif jika ia telah mempelajarinya dari
lingkungannya. Sebaliknya, individu yang mempunyai sifat agresif cenderung tidak akan
menampilkan perilaku agresif jika lingkungannya tidak mendukung atau mengajarinya
berperilaku agresif. Hal ini dibuktikan melalui eksperimen klasik dengan boneka Bobo
yang dilakukan oleh Bandura & Ross (Bandura, Ross, & Ross, 1961). Dalam
eksperimen ini, pada kelompok murid TK yang pertama ditampillkan video yang berisi
perilaku agresif (memukul, menendang, membanting boneka Bobo) sedangkan pada
kelompok murid TK yang kedua ditampilkan video yang tidak berisi perilaku agresif.
Hasilnya, kelompok murid TK yang pertama berperilaku jauh lebih agresif dibandingkan
dengan kelompok murid TK yang kedua bahkan mereka meniru adegan-adegan yang
terdapat dalam video yang berisi perilaku agresif.
Selain itu, penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa pada hewan yang lebih rendah,
banyak respons yang selama ini dianggap instinctive murni ternyata sebenarnya adalah
respons yang dipelajari. Contoh: seekor kucing muda memburu tikus bukan karena
instingnya tetapi karena mereka mempelajari perilaku itu dengan melihat kucing lain
yang lebih tua (Kuo, 1930). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif
lebih merupakan perilaku yang dipelajari dari lingkungan (nurture) daripada perilaku
yang diwariskan (nature).
21