5372 - Pandangan Habermas Tentang Pengetahuan Dan Kepentingan Manus
5372 - Pandangan Habermas Tentang Pengetahuan Dan Kepentingan Manus
Kepentingan Manusia
(dalam Perspektif Filsafat Ilmu)
Dosen :
Dr. Abdul Rasyid Saliman bin Muhd. Arsyad Midin
1
Pandangan Habermas tentang Pengetahuan dan Kepentingan Manusia
(dalam Perspektif Filsafat Ilmu)
Pendahuluan
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam , yang memiliki segalanya
yang ada di langit dan di bumi, sumber pengetahuan, shalawat serta salam semoga
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi yang mulia, manusia terpilih yang telah di
utus untuk seluruh umat manusia di muka bumi.
Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, kian disadari bahwa ilmu pengetahuan
berkembang menjadi bagian bahkan membentuk dunia kehidupan modern. Tak bisa
dipungkiri hal demikian memberi pengaruh kepada manusia baik secara positif maupun
negatif; temuan-temuan ilmiah yang kontroversial; teknologi dengan dunia semakin
cepat, dimana orang berkejaran dengan perubahan, pengetahuan cepat usang, juga
keterampilan, makna hidup bahkan manusia dengan krisis identitas; ideologi yang
melahirkan kekejaman; sistem politik, ekonomi, hukum, sosial budaya dan bahkan militer
yang secara dominan meruntuhkan paradigma pilihan rasional yang dipicu oleh hasrat
libidinal manusia yang serakah. Seperti apa yang dikatakan Hobbes: homo homini lupus,
dimana kondisi asali manusia merupakan konflik antar individu tak berkesudahan,
masyarakat ibarat arena pertarungan kepentingan; bahkan kekuasaan/otoritas
menciptakan konflik antara yang mau mempertahankan dan yang menuntut redistribusi.
Hal yang demikian tentu saja menimbulkan kecemasan-kecemasan dan kebingungan-
kebingunan yang berkepanjangan bagi manusia-manusia itu sendiri. Kenyataan-
kenyataan tersebut melahirkan berbagai pertanyaan yang bersumber dari kebutuhan
manusia untuk merefleksikan kegiatan-kegiatannya yang mendasar dan hakiki.
Untuk membantu manusia dalam merefleksikan disiplin ilmu yang digeluti dan
dengan demikian semakin kritis dalam sikap ilmiahnya. Maka fungsi filsafat ilmu
pengetahuan yang memadai sangat diperlukan, hal ini penting dalam rangka mengkaji
hubungan antara ilmu pengetahuan dan masyarakat, serta implikasi sosial dan etis dari
ilmu pengetahuan itu sendiri, dimana relevansi ilmu pengetahuan dengan dunia
kehidupan adalah sebuah dunia manusia yang dapat dibahasakan melalui bahasa ilmu
pengetahuan, sehingga gejala yang semula tersebar tidak saling berhubungan dapat
2
dimengerti, dunia kehidupan menjadi intelligible, disinilah tantangan bagi filsafat
bagaimana menemukan cara memadai untuk menangkap paradoks sentral ilmu
pengetahuan, di satu sisi, pengetahuan merupakan produk sosial hasil aktivitas manusia,
sebagai produk, ilmu pengetahuan tidak berbeda dengan komoditas lain yang terus
mengalami reproduksi dan transformasi, lengkap dengan para ahli dan standarnya . Jika
pun pengetahuan mau dilihat sebagai dunia-tiga; komunitas ilmiah, masyarakat dan
kelompok kepentingan, sebagaimana di katakan Popper, letaknya bukan di dalam dunia
itu, melainkan di dalam komunitas ilmiah. Di sisi lain, pengetahuan adalah pengetahuan
tentang hal-hal tidak semua bergantung pada aktifitas manusia. Sebagaimana Habermas
dengan triade ; pengetahuan, kepentingan dan tindakan-tindakan. Hal inilah yang
menjadi telaahan kritis Habermas dalam melihat kepentingan-kepentingan manusia
terhadap ilmu pengetahuan.
Dari latar belakang dan uraian tersebut di atas, maka perumusan masalahnya
adalah :
1. Apakah faktor yang memungkinkan ilmu pengetahuan berkembang?, bagaimana
dimensi konstitutifnya berjalin dengan dimensi kontekstualnya?
2. Sejauhmana pengaruh kepentingan-kepentingan manusia terhadap ilmu
pengetahuan?
3. Mengapa teori kritis dengan paradigma komunikasi Habermas perlu
dikembangkan ?
3
membersihkan pengetahuannya dari unsur yang berubah-ubah agar dapat menembus
hakekat kenyataan atau idea-idea. Pada jalur kedua berdiri Aristoteles yang
mengutamakan peranan abstraksi. Baginya pengetahuan sejati adalah hasil pengamatan
empiris, pengetahuan bersifat aposteriori, maka tugas manusia adalah mengamati unsur
yang berubah-ubah dan melakukan abstraksi atas unsur itu sehingga dari yang partikular
diperoleh yang universal. Untuk melakukan abstraksi inipun manusia harus
membersihkan diri dari unsur yang berubah-ubah.
Kedua jalur itu menampakkan diri kembali di dalam filsafat modern. Pada jalur
pertama tampil aliran rasionalisme yang dirintis oleh Rene Descartes, Malebrache,
Spinoza, Leibniz, dan Wolff. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan sejati dapat
diperoleh dalam ratio sendiri dan bersifat apriori. Pengetahuan apriori semacam itu
disebut pengetahuan transendental karena mengatasi pengamatan empiris yang bersifat
khusus dan berubah-ubah. Pengetahuan manusia dipandang universal dan transhistoris.
Pada jalur lainnya tampil aliran empirisme dan para pemikir seperti Hobbes, Locke,
Berkeley, dan Hume. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh
hanya lewat pengamatan empiris dan karenanya bersifat aposteriori. Pengetahuan
semacam ini disebut pengetahuan empiris karena mendasarkan diri pada pengalaman.
Baik rasionalisme maupun empirisme berusaha keras memperoleh teori-teori yang
bersifat ilmiah. Rasionalisme memandang teori semacam itu dapat dihasilkan dari
pengetahuan apriori dalam bentuk pernyataan-pernyataan logis dan matematis, sedangkan
empirisme menganggap teori ilmiah semacam itu dapat diperoleh melalui evidensi
pengamatan inderawi. Dengan demikian, meskipun pangkal perolehan pengetahuan
keduanya berbeda, keduanya sama-sama berkeyakinan bahwa suatu teori murni mungkin
diperoleh dengan jalan membersihkan pengetahuan dari dorongan-dorongan dan
kepentingan-kepentingan manusia.
Perkembangan selanjutnya sejak Francis Bacon (1561-1625), pengetahuan
empiris-analitis yang kemudian menjadi ilmu-ilmu alam direfleksikan secara filosofis
sebagai pengetahuan yang sahih tentang kenyataan. Melalui rasionalisme dan empirisme,
ilmu-ilmu alam itu memperkembangkan konsep teori murni. Dengan mengambil sikap
teoritis murni, ilmu-ilmu alam dapat membebaskan diri dari kepentingan-kepentingan.
Dari arus perkembangan filsafat sendiri lahirlah positivisme yang dirintis Auguste Comte
4
(1798-1857). Positivisme adalah puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan dan
awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori
yang dipisahkan dari praxis hidup manusia. Positivisme menganggap pengetahuan
mengenai fakta objektif sebagai pengetahuan yang sahih. Dengan menyingkirkan
pengetahuan yang melampaui fakta, positivisme mengakhiri riwayat ontologi atau
metafisika, karena ontologi menelaah apa yang melampaui fakta inderawi. Sungguhpun
demikian darah sang ibu, ontologi, tetap mengalir dalam diri si anak, positivisme.
Positivisme tak sanggup melepaskan diri sungguh-sungguh dari ontologi. Kaitan
keduanya nampak dalam konsep teori yang dianut, yaitu teori yang bebas dari
kepentingan-kepentingan manusia.
Positivisme melahirkan sosiologi, dalam ilmu-ilmu sosial atau ilmu historis-
hermeneutis yang menyoroti bidang-bidang intersubjektif yang berubah-ubah, apa yang
terjadi dalam pergaulan manusia dalam masyarakat bukanlah fakta mati melainkan
hanyalah pendapat-pendapat orang ats interaksi mereka, yang dicapai sebenarnya adalah
pemahaman timbal balik, akan tetapi dalam semangat positivisme, ilmu-ilmu historis-
hermeneutis mengklaim diri sebagai ilmu yang ilmiah dengan bersandar pada model
teori ilmu-ilmu alam. Di sini sikap teoritis murni menjadi tuntutan bagi sang ilmuwan
sosial. Dengan demikian ilmu-ilmu sosial menjadi positivistis.
Sikap positivistis yang dianut oleh ilmu-ilmu sosial mengandung tiga
pengandaian yang saling berkaitan, antara lain :
1. Bahwa prosedur-prosedur metodelogis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung
diterapkan pada ilmu-ilmu sosial, gejala-gejala subjektifitas manusia, kepentingan
maupun kehendak manusia, tidak mengganggu objek pengamatan, yaitu tingkah
laku sosial manusia. Dengan cara ini objek pengamatan disejajarkan dengan dunia
alamiah.
2. Hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum , seperti
dalam ilmu-ilmu alam.
3. Ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang
bersifat instrumental murni, yaitu pengetahuan harus dapat dipakai untuk
keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi
politis manusia. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu-ilmu alam, bersifat netral, bebas
dari nilai.
Sukses gemilang yang berhasil dicapai oleh metode ilmu-ilmu alam dalam
menjelaskan fakta membawa serta keyakinan bahwa ilmu pengetahuan merupakan satu-
satunya bentuk pengetahuan yang sejati. J.Habermas mengatakan bahwa kepercayaan
5
semacam itu merupakan saintisme. Saintisme adalah sciences belief in itself, yaitu kita
tak lagi dapat memahami ilmu pengetahuan sebagai salah satu bentuk pengetahuan,
melainkan menyamakan pengetahuaan dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan
merupakan aktivitas, proses, kemampuan dan bentuk kesadaran manusiawi, sedangkan
ilmu pengetahuan merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang direfleksikan secara
metodis. Bilamana pengetahuan dan ilmu pengetahuan membeku menjadi delusi atau
kesadaran palsu yang merintangi praxis sosial manusia untuk merealisasikan kebaikan,
kebenaran, kebahagiaan dan kebebasannya, keduanya telah berubah menjadi ideologis.
Teori kritis berkepentingan untuk membebaskan sekaligus menyembuhkan masyarakat
yang mendekam dalam kungkungan ideologi itu melalui kritik ideologi.
6
saintisme atau positivisme. Pada taraf teori sosial, kritik itu dibidikkan ke arah berbagai
bentuk penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang
refresif. Ke dalam situasi ideologis itulah teori kritis membawa misi emansipatoris untuk
mengarahkan masyarakat menuju masyarakat yang lebih rasional melalui refleksi diri. Di
sini teori mendorong praxis hidup politis manusia.
Teori kritis Habermas merupakan usaha memperbaharui teori kritis Mazhab
Frankfurt yang mengalami jalan buntu. Tanpa meninggalkan keprihatinan para
pendahulunya, untuk mengadakan perubahan-perubahan struktural secara radikal,
Habermas merumuskan keprihatinan itu secara baru. Perubahan itu tak dapat dipaksakan
secara revolusioner melalui jalan kekerasan, juga tak dapat dipastikan datangnya
seperti gerhana matahari. Memaksakan perubahan revolusioner melalui kekerasan
hanyalah akan mengganti penindas lama dengan penindas baru, seperti terjadi pada rejim
Stalin. Menurut Habermas, dan inilah gagasan orisinalnya, transformasi sosial perlu
diperjuangkan melalui dialog-dialog emansipatoris. Hanya melalui jalan komunikasi
dan bukan melalui jalan dominasi inilah di utopikan terwujudnya suatu masyarakat
demokrasi radikal, yariu masyarakat yang berinteraksi dalam suasana komunikasi bebas
dari penguasaan. Dengan demikian usaha mencari pertalian teori dean praxis
ditempuhnya dengan jalan konsensus dan komunikasi, suatu jalan yang berlawanan
dengan gagasan-gagasan Marxisme pada umumnya yang menempuh jalan konflik
revolusioner. Usaha menyegarkan kembali teori historische materialische ditempuh
Habermas dengan memasukkan unsur komunikasi di dalamnya sebagai kategori
antropologis dan genetis dari perkembangan masyarakat.
Hal yang menarik dari hasil pemikiran Habermas adalah makna kritik-ideologi
sebagaimana terumus secara konsisten dalam pemikiran yang dapat memberikan
sumbangan paradigma bagi ilmu-ilmu sosial yang sedang tumbuh dalam masyarakat kita.
Di tengah derap pembangunan, kontraddiksi-kontradiksi yang diakibatkan oleh
perubahan-perubahan sosio-kultural menghasilkan tidak hanya kemajuan, tetapi juga
kemajuan yang timpang. Keadilan sosial bukan hanya fakta yang diusahakan
perbaikannya melainkan pula suatu keadaan yang terlestarikan secara tersamar dan
menjadi suatu iklim. Situasi semacam itu tidak hanya memerlukan penanganan teknis-
praktis, melainkan juga perlu menerima terang teoritis yang bersifat kritis untuk
7
mengoyak selubung ideologis yang menggelapkan pengetahuan masyarakat mengenai
realitas sosialnya. Dalam situasi semacam itulah diperlukan kritik ideologi, baik terhadap
ilmu-ilmu yang melukiskan fakta sosial itu maupun terhadap masyarakat itu sendiri.
8
Teori tidak selalu menjelaskan. Teori juga berperan sebagai wahana untuk
membangkitkan kembali pengalaman reproduktif, mengalihkan objektivasi mental
kembali ke pengalaman reproduktif. Ilmu-ilmu manusia memang perlu langkah
metodologis komplementer, serta membuang beberapa langkah; hermeneutika,
fenomenologi dan dekonstruksi. Habermas menamakannya kepentingan kognitif praktis,
sebagai lawan dari kepentingan teknis. Kelompok terakhir dari ilmu-ilmu filsafat,
psikoanalisis, sosiologi dan seterusnya ada dan penting, karena dari pengalaman setiap
hari kita mengetahui bahwa gagasan-gagasan sering berfungsi untuk melengkapi
tindakan-tindakan kita dengan menjustifikasi motif-motif di tempat yang nyata. Apa yang
dinamakan rasionalisasi pada level ini disebut ideologi pada tingkat tindakan kolektif.
9
perantaraan kerja, perantaraan bahasa dari hambatan
teori:rancangan ideologis melalui
teknis unk perantaraan
mengontrol alam kekuasaan
DAFTAR PUSTAKA
10