Anda di halaman 1dari 2

Produksi Industri Tekstil Turun

http://print.kompas.com/baca/2015/05/19/Produksi-Industri-Tekstil-Turun

JAKARTA, KOMPAS — Penurunan harga produk tekstil terjadi sejak enam bulan terakhir ini. Hal itu
menyebabkan omzet produksi tekstil dan produk tekstil turun 50 persen. Karena itu, pemerintah perlu
serius menangani persoalan tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat kepadaKompas, Selasa (19/5),
mengatakan, penurunan harga produk impor terjadi pada semua produk hulu hingga hilir. Produk-produk
itu, antara lain, adalah benang, bahan, dan pakaian jadi.
"Penurunan harga produk impor itu bisa dilihat di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Di sana produk-produk
impor membanjir sehingga mengalahkan produk-produk dalam negeri," ujarnya.
Menurut Ade, pada 2014, nilai ekspor tekstil dan produk tekstil Rp 12,5 miliar dan nilai penjualan dalam
negeri Rp 8 miliar. Pada tahun ini, API memperkirakan nilai ekspor tekstil turun Rp 2 miliar dan nilai
penjualan dalam negeri turun Rp 3 miliar.
"Jadi, total perdagangan tekstil dan produk tekstil pada 2014 Rp 20,5 miliar. Pada tahun ini, nilai
perdagangan produk itu kami perkirakan turun menjadi Rp 15 miliar," ujarnya.
Karena itu, lanjut Ade, API menyambut baik rencana pemerintah mengendalikan tujuh produk impor
yang berpotensi mendistorsi pasar dalam negeri. Salah satu cara yang harus dilakukan adalah menentukan
harga patokan tekstil dan produk tekstil dalam negeri sehingga bisa terkontrol.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan akan mengendalikan tujuh produk impor yang berpotensi
mendistorsi pasar dalam negeri. Produk-produk itu antara lain elektronik, telepon seluler, mainan anak,
makanan dan minuman, alas kaki, serta bahan dan garmen bermotif batik.
Pengendalian itu perlu dilakukan untuk melindungi industri dan usaha kecil menengah dalam negeri dari
gempuran produk impor dan penurunan harga produk impor.
Memang turun
Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelumnya mengakui kinerja ekonomi pemerintah turun karena semua
indikator menunjukkan demikian. Merosotnya kinerja ekonomi itu disebabkan dua hal utama, yakni
pengaruh global dan belum selesainya tahapan konsolidasi kelembagaan pemerintah.
Jusuf Kalla menyampaikan hal itu kepada wartawan di sela-sela kunjungannya di Langkawi, Malaysia,
Selasa (28/4) malam lalu. "Pelambatan ekonomi terjadi karena pengaruh global sehingga membuat harga-
harga komoditas ekspor kita menurun," katanya, seperti dimuat dalam Kompas, 29 April 2015.
Ia mencontohkan, komoditas ekspor seperti minyak sawit mentah (CPO) dan karet turun karena daya beli
masyarakat global turun akibat krisis.
Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas yang diadakan pada 7-15 April terhadap 1.200 responden,
hanya 25,4 persen responden yang puas terhadap kinerja Joko Widodo-Jusuf Kalla di bidang ekonomi.
Masyarakat menilai kondisi perekonomian kian berat. Dalam tataran kebijakan, sudah ada sejumlah
perubahan mendasar, misalnya realokasi subsidi bahan bakar minyak ke program produktif, terutama
infrastruktur, percepatan lelang, relaksasi insentif fiskal, dan pembentukan pelayanan terpadu satu pintu
di Badan Koordinasi Penanaman Modal. Namun, sejauh ini dampaknya belum dirasakan masyarakat.
Padahal, sektor riil adalah wilayah untuk memenangkan hati publik.
Pertanian, yang disebut-sebut menjadi salah satu prioritas Presiden Jokowi, gaungnya belum dirasakan.
Pembangunan infrastruktur publik juga belum banyak terdengar realisasinya.
Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, menilai akar persoalannya terletak pada aspek kelembagaan
terkait kepemimpinan Presiden-Wakil Presiden dan kinerja kabinet. Selain itu, sejumlah kebijakan dinilai
tidak melihat kondisi perekonomian saat ini, seperti penetapan target pajak yang terlalu tinggi.
Sejumlah pelaku usaha menyebutkan, persoalan mendasar yang dihadapi dunia usaha belum mampu
diselesaikan. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy mencontohkan, pelaku
industri masih dihadapkan pada tarif listrik yang tinggi. Daya saing produk industri dalam negeri kalah
dibandingkan dengan produk asing.
Merujuk survei industri besar-sedang Badan Pusat Statistik yang diolah Kementerian Perindustrian,
komponen biaya listrik pada industri manufaktur 0,8 persen-8 persen terhadap total biaya produksi.
"Selain tarifnya lebih mahal, dunia usaha pun kesulitan ketika tarif listrik disesuaikan dalam rentang
waktu pendek mengikuti fluktuasi harga minyak dan nilai tukar," ujar Ernovian.
Adapun soal nilai tukar rupiah, Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Peter Jacobs
menjelaskan, BI menjaga stabilitas nilai tukar dengan berbagai kebijakan moneter dan makroprudensial.
Hal ini didukung stabilitas sistem pembayaran.
Sejumlah peraturan sudah dibuat untuk mengurangi tekanan terhadap rupiah, antara lain mewajibkan
penggunaan mata uang rupiah untuk setiap transaksi di dalam negeri, di luar transaksi yang termasuk
dalam pengecualian dan ketentuan mengenai lindung nilai.
Kepala Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Anggito Abimanyu menuturkan, peran BI di
pasar keuangan sangat terlihat dari berkurangnya cadangan devisa 4 miliar dollar AS pada Maret lalu. Ia
meminta BI mengintervensi pasar secara terukur.

Anda mungkin juga menyukai