Anda di halaman 1dari 13

HASIL PRESENTASI KELOMPOK 1

KERANGKA KONSEPTUAL AKUNTANSI PEMERINTAHAN SERTA


PENGEMBANGAN STANDAR AKUNTANSI

PENYUSUN:

1. Muslihat 1617104017
2. Muhammad Yogi Muslim 1617104013
3. Muhammad Ali Imron Ghozali 1617104008
4. Angerini Juanita Sari 1617122012

PERTANYAAN & JAWABAN

Pertanyaan:

1. Pertanyaan dari saudari Gia


Mengenai Pasal 7 PP No. 71 2010, apakah setiap daerah menggunakan Pasal tersebut
atau tidak ?
2. Pertanyaan dari saudara Yoli
Apakah pembuatan neraca awal untuk BPKP/ SKPD dibuat masing-masing? Serta
apakah Assets di susutkan? Metode Penyusutannya?
3. Pertanyaan dari saudara Ghifar
Penjelasan Dasar Hukum Pelaporan Keuangan & Perimbangan Keuangan Pusat dan
Keuangan Daerah !
4. Pertanyaan dari saudara Yoga
Penjelasan mengenai pencatatan Dual Basis (Basis Kas & Akrual) dalam
pemerintahan serta jelaskan pula tentang basis kas dan akrual basis dalam
pemerintahan !
5. Pertanyaan dari saudari Ratih
Penjelasan mengenai hambatan pemindahan Kas Basis ke Akrual Basis !
Jawaban:
1. PP 71 Tahun 2010 harus diterapkan di semua daerah di Indonesia karena sudah ada
PP Menteri dalam Negeri
Pasal 7
1. Penerapan SAP Berbasis Akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) dapat dilaksanakan secara bertahap dari penerapan SAP Berbasis Kas
Menuju Akrual menjadi penerapan SAP SAP Berbasis Akrual.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan SAP Berbasis Akrual secara
bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada pemerintah pusat diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan SAP Berbasis Akrual secara
bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada pemerintah daerah diatur
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

2. Pada umumnya SKPD dalam menyusun neraca aset menunggu dan menyesuaikan
dengan neraca aset yang dibuat oleh Biro/Bagian Keuangan karena neraca dari
Biro/Bagian Keuangan dianggap benar. Faktanya sering kali neraca yang dibuat oleh
Biro/Bagian Keuangan berbeda baik volume maupun nilainya dengan aset yang
dimiliki oleh SKPD. Apabila terjadi seperti ini SKPD harus menyesuaikan nilai aset
sesuai dengan angka neraca Biro/Bagian Keuangan, karena tanpa rekonsiliasi dahulu
dengan neraca aset dari Biro/Bagian keuangan. Beberapa contoh kasus yang terjadi
antara lain:
a. Biro/Bagian Keuangan dalam menyusun neraca asset berdasarkan
pertanggungjawaban belanja modal dan membukukan seluruhnya sebagai aset,
padahal seringkali belanja modal digunakan juga untuk belanja barang pakai
habis;
b. Aset milik satu SKPD tetapi dipinjam SKPD lain dalam jangka waktu lama (lebih
dari lima tahun), sehingga pengurus barang tidak mencatatnya dalam KIBnya dan
tidak mengetahui keberadaan aset tersebut, dilain pihak pemakai juga tidak
mencatat di KIBnya karena statusnya pinjam. Dengan demikian aset tersebut tidak
tercatat dalam Neraca;
c. Terdapat aset yang sudah hilang selama lima tahun lebih belum dihapuskan dari
daftar aset, sehingga masih tercatat dalam daftar inventaris;
d. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna barang milik daerah
kurang optimal dalam mengelola aset. Meskipun ada pembukuan aset dan secara
rutin menyusun dan menyampaikan Laporan Barang Pengguna Semesteran
(LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) yang berada dalam
penguasaannya kepada pengelola aset, namun tidak pernah mengecek kebenaran
dari Daftar inventaris dan laporan tersebut. Hal ini terbukti bahwa laporan yang
telah dibuat hanya berdasarkan data yang di catat oleh pengurus barang,
sedangkan yang tidak dilaporkan oleh bidang teknis yang melakukan pembelian
tidak ikut dilaporkan. Disamping itu tidak adanya koordinasi dalam pengelolaan
asset di SKPD, yaitu antara Pengurus barang, Penyimpan barang dan Seksi
Akuntansi di bagian keuangan, hal ini terlihat dari laporan mutasi asset yang
dibuat oleh ketiga petugas tersebut berbeda-beda, masing masing petugas
membuat laporan sesuai dengan data yang diterimanya.dan tidak ada pengecekan
satu sama lain.

Sebelum refrormasi yang neraca awal di lakukan pemerikasaan oleh BPKP sedangkan
setelah reformasi dilakukan pemeriksaan oleh BPK.

3. Dasar Hukum terdapat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun


2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas
penyerahan urusan kepada Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows
function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan
yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masingmasing tingkat pemerintahan.
Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah mencakup
pembagian keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah secara
proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi,
kondisi, dan kebutuhan Daerah.
Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi,
fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada
umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh Pemerintah, sedangkan fungsi
alokasi oleh Pemerintahan Daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan
situasi masyarakat setempat. Pembagian ketiga fungsi dimaksud sangat penting
sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan, dan
penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara nyata dan bertanggung jawab
harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional
secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan
Daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan
akuntabilitas.
Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara efisien dan efektif
serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu
bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan penyelenggaraan pemerintahan.
Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari
APBD, sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi
tanggung jawab Pemerintah dibiayai dari APBN, baik kewenangan Pusat yang
didekonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada Pemerintah Daerah
dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka Tugas Pembantuan.
Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan Pemerintahan Daerah terdiri atas Pendapatan
Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Pendapatan Yang
Sah.
Pendapatan Asli Daerah merupakan Pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil
Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang
dipisahkan, dan Lainlain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang bertujuan untuk
memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam
pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi.
Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN yang
terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi
Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu Daerah
dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan
sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Ketiga komponen Dana
Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta merupakan
satu kesatuan yang utuh.
DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan
kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan DBH dalam
Undang-Undang ini merupakan penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam Undang-Undang ini
dimuat pengaturan mengenai Bagi Hasil penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor
pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk
bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH.
DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah yang
dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar-Daerah
melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi Daerah.
DAU suatu Daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu
Daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi
Daerah (fiscal capacity). Dalam Undang-Undang ini ditegaskan kembali mengenai
formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi Daerah yang
potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU
relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal
besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut
menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.
DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di Daerah
tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional,
khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar
masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan
pembangunan Daerah.
Undang-Undang ini juga mengatur hibah yang berasal dari pemerintah negara asing,
badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/lembaga
dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun dalam
bentuk barang dan/atau jasa termasuk tenaga ahli, dan pelatihan yang tidak perlu
dibayar kembali.
Dalam lain-lain pendapatan selain hibah, Undang-Undang ini juga mengatur
pemberian Dana Darurat kepada Daerah karena bencana nasional dan/atau peristiwa
luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi dengan dana APBD. Di samping itu,
Pemerintah juga dapat memberikan Dana Darurat pada Daerah yang mengalami krisis
solvabilitas, yaitu Daerah yang mengalami krisis keuangan berkepanjangan. Untuk
menghindari menurunnya pelayanan kepada masyarakat setempat, Pemerintah dapat
memberikan Dana Darurat kepada Daerah tersebut setelah dikonsultasikan terlebih
dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber Pembiayaan yang bertujuan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi Daerah dan meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar
agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi Keuangan Daerah sendiri serta stabilitas
ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh karena itu, Pinjaman Daerah perlu
mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi Pinjaman Daerah yang diatur
dalam Undang-Undang ini.
Dalam Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa Daerah dilarang melakukan
pinjaman langsung ke luar negeri. Pinjaman yang bersumber dari luar negeri hanya
dapat dilakukan melalui Pemerintah dengan mekanisme penerusan pinjaman.
Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan
fiskal dalam kebijakan fiskal dan moneter oleh Pemerintah. Di lain pihak, Pinjaman
Daerah tidak hanya dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana yang
menghasilkan penerimaan, tetapi juga dapat untuk membiayai proyek pembangunan
prasarana dasar masyarakat walaupun tidak menghasilkan penerimaan. Selain itu,
dilakukan pembatasan pinjaman dalam rangka pengendalian defisit APBD dan batas
kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah.
Daerah juga dimungkinkan untuk menerbitkan Obligasi Daerah dengan persyaratan
tertentu, serta mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan
memenuhi ketentuan nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang mendapatkan
persetujuan Pemerintah. Segala bentuk akibat atau risiko yang timbul dari penerbitan
Obligasi Daerah menjadi tanggung jawab Daerah sepenuhnya.
Pengelolaan keuangan dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-
undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada para pemangku kepentingan yang sudah menjadi tuntutan masyarakat. Semua
penerimaan dan pengeluaran yang menjadi hak dan kewajiban Daerah dalam tahun
anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD. Dalam
pengadministrasian Keuangan Daerah, APBD, Perubahan APBD, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
Surplus APBD digunakan untuk membiayai Pengeluaran Daerah tahun anggaran
berikutnya, membentuk Dana Cadangan, dan penyertaan modal dalam Perusahaan
Daerah. Dalam hal
anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber Pembiayaan untuk menutup
defisit tersebut.
Pengaturan Dana Dekonsentrasi bertujuan untuk menjamin tersedianya dana bagi
pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai
wakil Pemerintah. Dana Tugas Pembantuan untuk menjamin tersedianya dana bagi
pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang ditugaskan kepada Daerah.
Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pengadministrasian Dana Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan dilakukan melalui mekanisme APBN, sedangkan
pengadministrasian Dana Desentralisasi mengikuti mekanisme APBD. Hal ini
dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan dan Pemerintahan Daerah dapat
dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan Desentralisasi berdasarkan prinsip
transparansi dan akuntabilitas, diperlukan adanya dukungan Sistem Informasi
Keuangan Daerah. Sistem tersebut antara lain dimaksudkan untuk perumusan
kebijakan dan pengendalian fiskal nasional.
Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, maka pokok-pokok muatan
Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
a. Penegasan prinsip-prinsip dasar perimbangan keuangan Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah sesuai asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan;
b. Penambahan jenis Dana Bagi Hasil dari sektor Pertambangan Panas Bumi, Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh
Pasal 21;
c. Pengelompokan Dana Reboisasi yang semula termasuk dalam komponen Dana
Alokasi Khusus menjadi Dana Bagi Hasil;
d. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Umum;
e. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Khusus;
f. Penambahan pengaturan Hibah dan Dana Darurat;
g. Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme Pinjaman Daerah, termasuk Obligasi
Daerah;
h. Pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan;
i. Penegasan pengaturan Sistem Informasi Keuangan Daerah; dan
j. Prinsip akuntabilitas dan responsibilitas dalam Undang-Undang ini dipertegas
dengan pemberian sanksi.

4. Sesuai amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, pemerintah
diwajibkan menerapkan basis akuntansi akrual secara penuh atas pengakuan dan
pengukuran pendapatan dan belanja negara paling lambat tahun anggaran 2008.
Sedangkan basis akuntansi yang sekarang ini diterapkan oleh pemerintah dalam
pembuatan laporan keuangan pemerintah sesuai dengan Kerangka Konseptual
Akuntansi Pemerintahan dalam Exposure Draft Standar Akuntansi Pemerintahan (per
04 Februari 2004) adalah dual basis. Yang dimaksud dengan dual basis adalah
pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran
menggunakan basis kas, sedangkan untuk pengakuan aktiva, kewajiban, dan ekuitas
dalam Neraca menggunakan akrual basis.
Penggunaan dual basis tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah
diwajibkan membuat neraca yang hanya dapat dibuat dengan akuntansi berbasis
akrual, sedangkan di sisi lain juga wajib membuat laporan realisasi anggaran atau
yang dulu di kenal dengan nama Perhitungan Anggaran Negara (PAN) yang dibuat
dengan akuntansi berbasis kas.

4.1. Akuntansi Berbasis Kas

Dalam akuntansi berbasis kas, transaksi ekonomi dan kejadian lain diakui ketika
kas diterima atau dibayarkan. Basis kas ini dapat mengukur kinerja keuangan
pemerintah yaitu untuk mengetahui perbedaan antara penerimaan kas dan
pengeluaran kas dalam suatu periode. Basis kas menyediakan informasi mengenai
sumber dana yang dihasilkan selama satu periode, penggunaan dana dan saldo kas
pada tanggal pelaporan. Model pelaporan keuangan dalam basis kas biasanya
berbentuk Laporan Penerimaan dan Pembayaran (Statement of Receipts and
Payment) atau Laporan Arus Kas (Cash Flow Statement). Selain itu perlu dibuat
suatu catatan atas laporan keuangan atau notes to financial statement yang
menyajikan secara detail tentang item-item yang ada dalam laporan keuangan dan
informasi tambahan seperti :

1. Item-item yang diakui dalam akuntansi berbasis akrual, seperti aktiva tetap
dan utang/ pinjaman.
2. Item-item yang biasa diungkapkan dalam akuntansi berbasis akrual, seperti
komitmen, kontinjensi, dan jaminan.
3. Item-item lain, seperti informasi yang bersifat prakiraan (forecast).

Pada praktek akuntansi pemerintahan di Indonesia basis kas untuk Laporan


Realisasi Anggaran berarti bahwa pendapatan diakui pada saat kas diterima oleh
Rekening Kas Umum Negara/Daerah, dan belanja diakui pada saat kas
dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah. Secara rinci pengakuan
item-item dalam laporan realisasi anggaran, sesuai dengan Exposure Draft PSAP
Pernyataan No. 2 tentang Laporan Realisasi Anggaran adalah sebagai berikut:

1. Pendapatan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum


Negara/Daerah atau entitas pelaporan.
2. Belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari Rekening Kas Umum
Negara/Daerah atau entitas pelaporan. Khusus pengeluaran melalui pemegang
kas pengakuannya terjadi pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran
tersebut disahkan oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan
3. Dana Cadangan diakui pada saat pembentukan yaitu pada saat dilakukan
penyisihan uang untuk tujuan pencadangan dimaksud. Dana Cadangan
berkurang pada saat terjadi pencairan Dana Cadangan.
4. Penerimaan pembiayaan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum
Negara/Daerah.
5. Pengeluaran pembiayaan diakui pada saat dikeluarkan dari Rekening Kas
Umum Negara/Daerah.

4.2.Akuntansi Berbasis Akrual

Akuntansi berbasis akrual berarti suatu basis akuntansi di mana transaksi ekonomi
dan peristiwa-peristiwa lain diakui dan dicatat dalam catatan akuntansi dan
dilaporkan dalam periode laporan keuangan pada saat terjadinya transaksi
tersebut, bukan pada saat kas atau ekuivalen kas diterima atau dibayarkan.
Akuntansi berbasis akrual ini banyak dipakai oleh institusi sektor non publik dan
lembaga lain yang bertujuan mencari keuntungan. International Monetary Fund
(IMF) sebagai lembaga kreditur menyusun Government Finance Statistics (GFS)
yang di dalamnya menyarankan kepada negara-negara debiturnya untuk
menerapkan akuntansi berbasis akrual dalam pembuatan laporan keuangan.
Alasan penerapan basis akrual ini karena saat pencatatan (recording) sesuai
dengan saat terjadinya arus sumber daya. Jadi basis akrual ini menyediakan
estimasi yang tepat atas pengaruh kebijakan pemerintah terhadap perekonomian
secara makro. Selain itu basis akrual menyediakan informasi yang paling
komprehensif karena seluruh arus sumber daya dicatat, termasuk transaksi
internal, in-kind transaction, dan arus ekonomi lainnya.

Basis akuntansi ini meliputi pengakuan beberapa aktiva, namun tidak seluruhnya,
seperti aktiva fisik, dan pengakuan beberapa kewajiban, namun tidak seluruhnya,
seperti utang pensiun. Contoh bervariasinya (modifikasi) dari akuntansi akrual,
dapat ditemukan dalam paktek sebagai berikut ini :

1. pengakuan seluruh aktiva, kecuali aktiva infrastruktur, aktiva pertahanan dan


aktiva bersejarah/warisan, yang diakui sebagai beban (expense) pada waktu
pengakuisisian atau pembangunan. Perlakuan ini diadopsi karena praktek yang
sulit dan biaya yang besar untuk mengidentifikasi atau menilai aktiva-aktiva
tersebut.
2. pengakuan hampir seluruh aktiva dan kewajiban menurut basis akrual, namun
pengakuan pendapatan berdasar pada basis kas atau modifikasi dari basis kas
3. pengakuan hanya untuk aktiva dan kewajiban finansial jangka pendek
4. pengakuan seluruh kewajiban dengan pengecualian kewajiban tertentu seperti
utang pensiun.

Beberapa penyusun standar telah mengidentifikasi kriteria atas waktu pengakuan


pendapatan dengan akuntansi berbasis akrual, sebagai contoh Pemerintah Kanada
mengakui pendapatan dalam periode di mana transaksi atau peristiwa telah terjadi
ketika pendapatan tersebut dapat diukur (measurable). Pemerintah Federal
Amerika Serikat (State) mengakui pendapatan pajak dalam periode akuntansi di
mana pendapatan tersebut menjadi susceptible to accrual (yaitu ketika pendapatan
menjadi measurable dan available untuk mendanai pengeluaran). Available berarti
dapat ditagih dalam periode sekarang atau segera setelah terjadi transaksi.

Basis akuntansi mana yang dipakai oleh suatu pemerintah tertentu, tergantung
pada kebijakan dan kondisi yang ada. Masing-masing basis akuntansi tersebut
mempunyai kelebihan dan kekurangan, basis akuntansi akrual memberikan
manfaat yang lebih banyak dibandingkan dengan basis akuntansi yang lain, baik
bagi pemerintah sendiri sebagai penyusun laporan keuangan maupun bagi
pengguna laporan keuangan (user). Pemerintah Indonesia, sesuai dengan Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, sudah harus menerapkan
basis akuntansi akrual secara penuh paling lambat tahun 2008. Pada tahun 2010
masih memakai cash toward accrual sampai dengan 2015 contohnya untuk biaya
telepon dan listrik untuk bulan desember dibayar di bulan januari untuk itu harus
ada pencatatan kembali atas transaksi itu untuk akrual sendiri baru terlaksana
penuh pada tahun 2016.

5. Hambatan penerapan akuntansi berbasis akrual di pemerintahan


Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Sistem Akuntansi dan Information Technology (IT) Based System
Adanya kompleksitas implementasi akuntansi berbasis akrual, dapat dipastikan
bahwa penerapan akuntansi berbasis akrual di lingkungan pemerintahan
memerlukan sistem akuntansi dan IT based system yang lebih rumit. Selain itu
perlu juga dibangun sistem pengendalian intern yang memadai
untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi
melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan,
pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-
undangan. Hal tersebut telah diamanatkan oleh Undang-Undang No 1 tahun
2004 pasal 58 ayat 1yang menyatakan:
“Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintah mengatur
dan menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern di lingkungan
pemerintahan secara menyeluruh.”
2. Komitmen dari Pimpinan
Dukungan yang kuat dari pimpinan merupakan kunci keberhasilan dari suatu
perubahan. Salah satu penyebab kelemahan penyusunan Laporan Keuangan
pada beberapa Kementerian/Lembaga adalah lemahnya komitmen pimpinan
satuan kerja khususnya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) penerima dana
Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan. Diundangkannya tiga paket keuangan
negara serta undang-undang pemerintahan daerah menunjukkan keinginan
yang kuat dari pihak eksekutif dan legislatif untuk memperbaiki sistem
keuangan negara, termasuk perbaikan atas akuntansi pemerintahan. Yang
menjadi ujian sekarang adalah peningkatan kualitas produk akuntansi
pemerintahan dalam pencatatan dan pelaporan oleh kementerian/lembaga di
pemerintah pusat dan dinas/unit untuk pemerintah daerah. Sistem akuntansi
pemerintah pusat mengacu pada pedoman yang disusun oleh menteri keuangan.
Sistem akuntansi pemerintah daerah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota
dengan mengacu pada peraturan daerah tentang pengelolaan keuangan daerah.
Sistem akuntansi pemerintah pusat dan sistem akuntansi pemerintah daerah
disusun dengan mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Kejelasan perundang-undangan mendorong penerapan akuntansi pemerintahan
dan memberikan dukungan yang kuat bagi para pimpinan kementerian/lembaga
di pusat dan Gubernur/Bupati/Walikota di daerah.
3. Harus Tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) yang Kompeten
Laporan keuangan diwajibkan untuk disusun secara tertib dan disampaikan
masing-masing oleh pemerintah pusat dan daerah kepada Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) selambatnya tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Selanjutnya, selambatnya enam bulan setelah tahun anggaran berakhir, laporan
keuangan yang telah diperiksa oleh BPK tadi diserahkan oleh Pemerintah
Pusat kepada DPR dan oleh Pemerintah Daerah kepada DPRD. Penyiapan dan
penyusunan laporan keuangan tersebut memerlukan SDM yang menguasai
akuntansi pemerintahan. Pada saat ini, kebutuhan tersebut sangat terasa dengan
semakin kuatnya upaya untuk menerapkan akuntansi pemerintahan berbasis
akrual. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah perlu secara serius menyusun
perencanaan SDM di bidang akuntansi pemerintahan. Termasuk di dalamnya
memberikan sistem insentif dan remunerasi yang memadai untuk mencegah
timbulnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) oleh SDM yang
terkait dengan akuntansi pemerintahan. Di samping itu, peran dari perguruan
tinggi dan organisasi profesi tidak kalah pentingnya untuk memenuhi
kebutuhan akan SDM yang kompeten di bidang akuntansi pemerintahan.
4. Resistensi Terhadap Perubahan
Sebagai layaknya untuk setiap perubahan, bisa jadi ada pihak internal yang
sudah terbiasa dengan sistem yang lama dan enggan untuk mengikuti
perubahan. Untuk itu, perlu disusun berbagai kebijakan dan dilakukan berbagai
sosialisasi kepada seluruh pihak yang terkait, sehingga penerapan akuntansi
pemerintahan berbasis akrual dapat berjalan dengan baik tanpa ada resistensi.
5. Lingkungan/ Masyarakat
Apresiasi dari masyarakat sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan
penerapan akuntansi pemerintahan. Masyarakat perlu didorong untuk mampu
memahami laporan keuangan pemerintah, sehingga dapat mengetahui dan
memahami penggunaan atas peneriamaan pajak yang diperoleh dari
masyarakat maupun pengalokasian sumber daya yang ada. Dengan dukungan
yang positif, masyarakat mendorong pemerintah untuk lebih transparan dan
akuntabel dalam menjalankan kebijakannya.

Anda mungkin juga menyukai