Audit Investigatif Dengan Teknik Audit Dan Perpajakan
Audit Investigatif Dengan Teknik Audit Dan Perpajakan
Oleh:
AHMAD PRIYONO
TERESIA MARIA PROTEGENTI TINI
THALITA OKA PUTRI
Kalau teknik-teknik audit itu diterapkan dalam audit umum, maka bukti audit yang
berhasil dihimpun akan mendukung pendapat auditor independent. Dalam audit investigative,
tehnik-tehnik audit tersebut bersifat eksplorative, mencari “wilayah garapan”, atau probing
(misalnya dalam reviu analitikal) maupun pedalaman (misalnya dalam confirmation dan
documentation).
Teknik-teknik audit relative sederhana untuk diterapkan dalam audit investigative.
Sederhana, namun ampuh. Tema kesederhanaan dalam pemilihan tehnik audit (termasuk audit
investigative).
TEKNIK-TEKNIK AUDIT
Ada teknik audit yang lebih dekat kepada praktek investigasi perpajakan dan organized
crime (seperti Net Worth Method dan Expenditure Method); Ada juga tehnik audit seperti
Follow the Money, yang mempunyai unsure pencucian uang dalam tindak pidananya yang
berkaitan erat dengan naluri penjahat dan sangat dipengaruhi oleh teknologi informasi dalam
pengungkapannya.
Meskipun semua (tujuh) tehnik audit yang disebutkan pembahasan akan berfokus pada
reviu analitikal.
Dari kunjungan ke lokasi yang terkena dampak semburan Lumpur panas di Porong, Sidoarjo
tahun 2006, investigator menyaksikan sendiri apa yang terjadi dan luasnya musibah. Ini salah
satu pemahaman. Investigator mempunyai “bayangan”. Pemahaman ini penting ketika
nantinya ia membaca laporan para ahli secara rinci tentang luasnya kerusakan dan besarnya
kerugian.
Dari kunjungan ke wilayah yang terkena gempa, para relawan dan petugas dari dinas Sosial
dapat menentukan jumlah kilometer jalan, rumah, sekolah, rumah ibadah, kantor, pabrik, dan
lain-lain yang rusak. Pemahaman ini lebih dalam dari “bayangan” mengenai intensitas kerugian
akibat semburan Lumpur panas tadi. Disini ada data kuantitatif.
MEMERIKSA DOKUMEN
Tehnik ini tidak memerlukan pembahasan khusus. Tak ada investigasi tanps
pemeriksaan dokumen. Hanya saja, dengan kemajuan teknologi, definisi dokumen menjadi
luas, termasuk informasi yang diolah, disimpan dan dipindahkan secara elektronis/digital.
REVIU ANALITIKAL
Dalam reviu analitikal yang penting bukannya perangkat lunaknya, tetapi semangatnya,
Pada dasarnya seorang investigator secara intuitif terobsesi dengan “sesuatu yang melenceng”
dan bahwa “something must be wrong because it appears so”. Karena itu ia memerlukan
patokan atau benchmark untuk membandingkannya dengan apa yang dihadapinya. Patokan
inilah yang dirumuskan Stringer dan Stewart sebagai results that may reasonably be expected.
Misalnya kita sedang menginvestigasi suatu bank yang berkewajiban memungut pajak
penghasilan atas bunga yang diperoleh nasabahnya. Apakah bank menyetorkan pajak
penghasilan ini sesuai ketentuan, baik dalam jumlah maupun waktu penyetoran? Apakah
investigasi ini harus dimulai di cabang-cabang atau kantor-kantor perwakilan? Menurut reviu
analitikal,tidak.
Kita mulai dengan mencocokkan angka-angka agregat. Pertama, kita tentukan jumlah
pajak penghasilan yang sudah disetorkan untuk bank secara keseluruhan (Kantor Pusat dan
Cabang-cabang), menurut pembukuan bank itu. Selanjutnya, ini adalah hasil perkalian antar
tarif pajak (misal 10 %) dengan jumlah bunga yang dibayarkan bank itu kepada kepada para
nasabahnya. Perbedaan antara data A dengan data B bisa merupakan perbedaan waktu
(timming difference) saja. Yakni, perbedaan antara saat memotong dan saat menyetor pajak
penghasilan. Timming difference ini juga mudah dialokasi.
Tetapi mungkin juga ada perbedaan yang bersifat tetap (permanent difference)
misalnya dalam hal deposan dalam negeri yang mendapat pembebasan pajak penghasilan dan
deposan di cabang-cabang luar negeri dimana bank tidak berkewajiban memungut pajak
penghasilannya. Perbedaan ini mudah diketahui karena umumnya jumlah deposan dalam
negeri yang dibebaskan, tidak banyak. Sedangkan untuk deposan di cabang-cabang diluar
negeri, kita mengabaikan seluruh data bunga luar negeri (bagian dari data B semula).
Dengan contoh ini, mari kita saji definisi reviu analitikal diatas: a form of deductive
reasoning in which the propriety of the individual details is inferred from evidence of the
reasonableness of the aggregate results. Kita harus memulai dari belakang.
Pertama, evidence of the reasonbleness of the aggregate of the results; ini diperoleh
dari data B yang diadjust untuk deposan dalam negeri yang dikecualikan pemungutan pajak
penghasilannya dan bunga di cabang-cabang luar negeri.
Kedua, a form of deductive reasoning. Di sini kita membuat deduksi dari data agregat,
data global, data menyeluruh, yang dalam hal ini adalah data A dan data B. Deduksi ini
berkenaan dengan the proprierty of the individual details. Individual details disini adalah
pemungutan dan penyetoran pajak penghasilan oleh bank secara transaksi demi transaksi,
cabang demi cabang, atau mungkin per pejabat bank sesuai dengan kewenangannya. Kita
“think ananlytical first”, dan tidak langsung terjun dan menyibukkan diri dengan detailed
substantive test.
Ada bermacam-macam variasi dari tehnik reviu analitical, namun semuanya didasarkan
atas perbandingan antara apa yang dihadapi dengan apa yang layaknya harus terjadi, dan
berusaha menjawab sebabnya terjadi kesenjangan. Apakah ada kesalahan (error), fraud, atau
salah merumuskan patokannya.
MENGHITUNG KEMBALI
Menghitung kembali atau repeform tidak lain dari mencek kebenaran perhitungan (kali,
bagi, tambah, kurang, dan lain-lain). Ini prosedur yang sangat lazim dalam audit. Biasanya
tugas ini diberikan kepada seseorang yang baru mulai bekerja sebagai auditor; seorang junior
auditor di kantor akuntan.
Dalam investigatif, perhitungan yang dihadapi umumnya sangat kompleks, didasarkan
atas kontrak atau perjanjian yang rumit, mungkin sudah terjadi perubahan dan renegoisasi
berkali-kali dengan pejabat(atau kabinet) yang berbeda. Perhitungan ini dilakukan atau
disupervisi oleh investigator yang berpengalaman.
Beberapa contoh penghitungan kembali semacam itu yang berpotensi triliunan rupiah:
Kasus penyelesaian kewajiban pemegang saham menurut Keputusan Menteri Keuangan
nomor 151/KMK.01/2006 tanggal 16 Maret 2006 mensyaratkan penetapan jumlah kewajiban
berdasarkan data terakhir.
Perhitungan cost recovery oleh kontraktor bagi hasil (Production Sharing Contractor). Cost
recovery ini sangat besar jumlahnya. Kalau tidak dihitung kembali oleh counterpart PSC atau
lembaga pemeriksa independen, cost recovery rawan penyalahgunaan.
Biaya yang dikeluarkan BUMN yang mempunyai kewajiban memberikan pelayanan umum
(public Service Obligation). Keterlambatan pembayaran PSO mempunyai dampak yang besar
terhadap likuiditas BUMN yang bersangkutan.
INVESTIGATIF DENGAN TEKNIK PERPAJAKAN
Investigatif dengan teknik perpajakan menggunakan dua tehnik yang secara luas
dipraktekkan oleh IRS (Internal Revenue Services) di Amerika Serikat. Kedua teknik
investigasi ini digunakan untuk menentukan panghasilan kena pajak (PKP) yang belum
dilaporkan oleh wajib pajak dalam SPT-nya. Penerapan tehnik-tehnik ini terus berkembang,
sehingga menjadi umum digunakan dalam memerangi organized crime.
Kedua tehnik investigatif ini adalah Net Worth Method dan Expenditure Method.
Keduanya menggunakan logika pembukuan atau akuntansi yang sederhana. IRS
menggunakannya sebagai bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Teknik ini
menggeser beban pembuktian dari negara/fiskus kepada wajib pajak. Perlindungan hak wajib
pajak diperlukan karena pergeseran beban pembuktian tersebut diatas.
EXPENDITURE METHOD
Sebagaimana halnya dengan Net Worth yang dijelaskan, penerapan Expenditure
Method juga dipelopori IRS. Expenditure Method yang merupakan derivasi atau turunan dari
net worth method digunakan IRS sejak tahun 1940an. Ketika RICO Act diundangkan dalam
tahun 1970, Expenditure Method dimanfaatkan sebagai petunjuk organized crime. Expenditure
Method juga merupakan cara pembuktian tidak langsung.
Seperti Net Worth Method, Expenditure Method juga dimaksudkan untuk menentukan
unreported taxable income. Expenditure Method lebih cocok untuk para wajib pajak yang tidak
mengumpulkan harta benda, tetapi mempunyai pengeluaran-pengeluaran besar (mewah).
Expenditure Method lebih populer dari Net Worth Method, karena Expenditure Method
lebih mudah dibuat atau dihitung, dan juga lebih mudah dimengerti oleh orang awam.
Mahkamah Agung di Amerika Serikat tidak menetapkan Expenditure Method secara khusus
sebagai alat pembuktian, karena Expenditure Method dianggap derivasi atau turunan dari Net
Worth Method. Seorang akuntan harusnya mampu menghitung unreported taxable income
berdasarkan Net Worth Method akan mengkonversikannya ke Expenditure Method.
Expenditure Method harusnya digunakan untuk kasus-kasus perpajakan apabila
kondisi-kondisi berikut sangat kuat atau dominan:
1. Wajib pajak tidak menyelenggarakan pembukuan atau catatan.
2. Pembukuan dan catatan wajib pajak tidak tersedia, misalnya karena terbakar.
3. Wajib pajak menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak memadai.
4. Wajib pajak menyembunyikan pembukuan.
5. Wajib pajak tidak mempunyai assets yang terlihat atau dapat diidentifikasi.
Expenditure Method harusnya digunakan untuk kasus-kasus organized crime apabila kondisi-
kondisi berikut sangat kuat atau dominan:
1. Tersangka kelihatannya tidak membeli asset seperti rumah, tanah, saham, perhiasan, mobil
atau kapal mewah, dan seterusnya.
2. Tersangka mempunyai gaya hidup mewah dan agaknya diluar kemampuannya.
3. Tersangka diduga mengepalai jaringan kejahatan, atau semua saksi yang memberatkan dia
adalah para penjahat yang sudah dijatuhi hukuman.
4. Illegal income harus ditentukan untuk menghitung denda (misalnya dalam kejahatan
penebangan hutan ilegal), menghitung kerugian negara (dalam kasus korupsi), dan
pungutan negara lainnya.
Expenditure Method adalah derivasi dari Net Worth Method. Namun, perlakuan
terhadap asset dan liabilities-nya berbeda. Misalnya, dalam Net Worth Method penyidik akan
mencantumkan saldo akhir kas dan bank. Dalam Expenditure Method, hanya perubahannya
yang diambil (kenaikan atau penurunan kas dan bank). Hal yang sama juga berlaku untuk
persediaan barang, piutang, utang, dan pinjaman bank. Depresiasi, amortisasi, deplesi, deffered
gains, dan semacamnya juga diabaikan dalam Expenditure Method ini sebenarnya merupakan
hal yang elementer untuk seorang akuntan.
CONTOH KASUS
Kasus Audit Kas / Teller Laporan Fiktif Kas di Bank BRI Unit TapungRaya
Kepala Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Tapung Raya, Masril (40) ditahan polisi. Ia
terbukti melakukan transfer uang Rp1,6 miliar dan merekayasa dokumen laporan keuangan.
Perbuatan tersangka diketahui oleh tim penilik/pemeriksa dan pengawas dari BRI Cabang
Bangkinang pada hari Rabu 23 Februari 2011 Tommy saat melakukan pemeriksaan di BRI
Unit Tapung. Tim ini menemukan kejanggalan dari hasil pemeriksaan antara jumlah saldo
neraca dengan kas tidak seimbang. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan cermat,
diketahu iadanya transaksi gantung yaitu adanya pembukuan setoran kas Rp 1,6 miliar yang
berasal BRIUnit Pasir Pengaraian II ke BRI Unit Tapung pada tanggal 14 Februari 2011 yang
dilakukanMasril, namun tidak disertai dengan pengiriman fisik uangnya.Kapolres Kampar
AKBP MZ Muttaqien yang dikonfirmasi mengatakan, Kepala BRI Tapung Raya ditetapkan
sebagai tersangka dan ditahan di sel Mapolres Kampar karenamentransfer uang Rp1,6 miliar
dan merekayasa laporan pembukuan.Kasus ini dilaporkan oleh Sudarman (Kepala BRI Cabang
Bangkinang dan Rustian).
Martha pegawai BRI Cabang Bangkinang. “Masril telah melakukan tindak pidana
membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan maupun
dalam dokumen laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening Bank (TP Perbankan).
Tersangka dijerat pasal yang disangkakan yakni pasal 49 ayat (1) UU No. 10 tahun 1998
tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan dangan ancaman hukuman 10
tahun,” kata Kapolres. Polres Kampar telah melakukan penyitaan sejumlah barang bukti
dokumen BRI serta melakukan koordinasi dengan instansi terkait, memeriksa dan menahan
tersangka dan 6 orang saksi telah diperiksa dan meminta keterangan ahli.