Mendeteksi Fraud
Mencegah fraud adalah bagian dari fraud audit yang bersifat proaktif, sedangkan
mendeteksi fraud adalah bagian dari fraud audit yang bersifat investigatif. Orang awam
mengharapkan suatu audit umum dapat mendeteksi segala macam froud. Di sisi lain, akuntan
publik berupaya memasang pagar-pagar yang membatasi tanggung jawabnya, khususnya
mengenai penemuan atau pengungkapkan fraud. Di antara keduanya terdapat kesenjangan. Davia
menyarankan fraud-specific examination untuk akuntani forensik.
Tindakan yang dilakukan untuk mengetahui bahwa suatu kasus kecurangan memang
benar terjadi, siapa pelakunya, siapa korbannya, serta apa yang menyebabkan kecurangan itu
terjadi. Karena ketika seorang pelaku melakukan tindakan kecurangan pastilah ada alasan atau
pendorong yang mengakibatkannya melakukan tindak kecurangan. Kunci utama pada
pendeteksian fraud adalah untuk dapat melihat adanya kesalahan dan ketidakberesan.
Fraud (kecurangan) pada hakekatnya tersembunyi dan pelakunya pada umumnya juga
akan menyembunyikan jejaknya. Oleh karena itu, pendeteksian fraud juga tidak dapat dilakukan
langsung dengan melihat jejak yang ditinggalkannya. Pendeteksian fraud dilakukan dengan
mengidentifikasi tanda- tanda atau gejala terjadinya, kemudian dianalisis apakah tanda-tanda itu
dapat menunjukkan identifikasi awal terjadinya fraud.
Pada standar tersebut, tidak ada jaminan penuh bahwa hasil auditor independen akan
dapat mendeteksi kekeliruan, ketidakberesan, dan pelanggaran hukum. Akan tetapi, diatur
keharusan bagi para auditor untuk dapat menemukan risiko bahwa suatu kekeliruan,
ketidakberesan, dan pelanggaran hukum yang mungkin menyebabkan laporan keuangan berisi
salah satu material. Tanggung jawab yang dimiliki auditor untuk mendeteksi kekeliruan dan
ketidakberesan mengharuskan auditor untuk memahami karakteristik dan kerumitan yang terkait
dengan berbagai karakteristik tersebut, kemudian dirancang prosedur audit yang cocok dan
hasilnya dievaluasi.
Sejak permulaan, profesi audit yang dijalankan akuntan publik menolak mengambil
tanggung jawab dalam menemukan fraud. Dalam dasawarsa terakhir, perubahan lebih banyak
dalam retorika ketimbang substansi.
Dalam bulan November 1974, AICPA menujuk suatu komisi independen yang dikenal
dengan nama “the Cohen Commission”, komisi itu dinamakan demikian sesuai dengan nama
ketuanya, Manuel F. Cohen. Profesi akuntansi sedang mendapat sorotan keras dari Kongres AS.
Sejalan dengan sorotan tadi, Komisi Cohen pada awal tahun 1978 melaporkan tujuan
penujukkan komisi itu sebagai berikut :
Tidak ada keraguan bahwa masih tetap ada kesenjangan komunikasi antara harapan
pemakai laporan keuangan dan apa yang dipraktikkan auditor independen. Para auditor
independen masih berkutat pada Statement on Auditing Procedure No. 1 (tahun 1939) yang
hanya sedikit dimodifikasi dalam Codification of Statements on Auditing Procedure (1951) yang
masih dihayati para auditor independen.
Gagasan bahwa audit umum tidak dirancang untuk mengungkapkan kecurangan, sampai
saat ini tercermin dari praktik audit yang peduli dengan kecurangan yang menyebabkan laporan
keuangan tidak disajikan secara wajar. Yang tidak dipedulikan auditor independen adalah
kategori fraud berupa pencurian atau kehilangan aset.
Dalam banyak konstruksi kejahatan korporasi dimana bentuk perseroan terbatas yang dipilih,
direksinya malah menjadi boneka. Tidak jarang direksi terdiri dari mantan pejabat militer dan
sipil yang KTP-nya dipinjam untuk membuat akte, padahal mereka tidak mengerti bisnis sama
sekali. Fraudulent financial reporting ini dimanfaatkan untuk “mengelola” pinjaman bank.
Mengenalkan Standar Audit Untuk Menemukan Fraud
Kalau auditor independen bekerja tanpa standar audit, ia menempatkan dirinya dalam
posisi yang sangat lemah. Terutama ketika ia memberikan audit yang diharapkan menemukan
fraud. Maka diperlukan fraud-spesific examination.
Para praktisi harus tahu apa yang mereka harapkan dari standar untuk pemeriksaan yang
secara spesifik ditujukan untuk menemukan fraud. Sekurang – kurangnya para praktisi harus
menyadari hal – hal berikut:
a. Mereka tidak bisa memberikan jaminan bahwa mereka bisa menemukan fraud
b. Seluruh pekerjaan didasarkan atas standar audit
c. Jumlah fee bergantung pada luasnya upaya pemeriksaan yang ditetapkan klien
d. Praktisi bersedia untuk memperluas jasanya dari tahap proactive review ke tahap
pendalaman apabila ada indikasi terjadinya fraud.
Perbedaan antara audit umum (general audit atau opinion audit) dan pemeriksaan atas
fraud dapat dilihat sebagai berikut:
Timing
Auditing : adalah proses yang dilakukan secara berulang kembali(reccuring), teratur dan
berkala, dibeberapa perusahaann proses auditing dibagi dalam 4 kwartal yang lazimnya
disebubt Q1, Q2, Q3 dan Q4. perusahaan yang menerapkan type auditing seperti ini
biasanya memiliki satuan kerja audit yang berlapis. untuk pemeriksaan terhadap kantor
cabang berdasarkan kwartal biasanya dilakukan oleh auditor daerah, dan secara random
dilakukan oleh kantor pusat.
Fraud Examination : Investigasi atau pemeriksaan fraud adalah proses pemeriksaan yang
tidak berulang kembali(non Recurring). pemeriksaan dilakukan setelah adanya indikasi
yang dilaporkan.
Scope / ruang lingkup
Auditing : ruang linkup pemeriksaan biasanya terkait dengan data keuangan. untuk proses
kredit di Bank yang memiliki unit kerja Mikro biasanya melingkupi, data kredit,
Operasional dan Collection.
Fraud Examination : Ruang lingkup pemeriksaan fraud lebih spesifik, yang berdasarkan
pada adanya indikasi, dugaan, tuduhan atau sangkaan.
Objective
Auditing : Tujuan audit adalah untuk memberikan pendapat atas kewajaran laporan
keuangan, di Bank yang memiliki unit kerja Mikro, tujuan audit adalah untuk
memastikan bahwa proses pemberian kredit, operational dan Collection sudah sesuai
dengan kebijakan internal perusahaan dan regulator.
Fraud Examination : Tujuan investigasi atau pemeriksaan fraud lebih kearah untuk
memastikan apakah indikasi Fraud yang dilaporkan benar benar terjadi atau hanya
pelanggaran prosedur biasa akibat kelalaian karyawan, serta menentukan siapakah pihak
yang bertanggung jawab terhadap kejadian fraud tersebut (bisa internal maupun
eksternal).
Relationship
Methodologi
Presumption
Dalam upaya menemukan dan memberantas kecurangan, kita perlu mengetahui profil
pelaku. Profil berbeda dari foto. Foto menggambarkan fisik seseorang, bentuk wajahnya warna
kulitnya (sawo matang, kuning, putih, hitam), bentuk hidungnya (mancung, sedang, pesek),
potongan dan warna rambutnya, maupun ciri khusus lainnya (tahi lalat, telinga lebar, dan
seterusnya). Profil tidak menunjuk secara khusus ciri – ciri satu orang, melainkan memberi
gambaran mengenai berbagai ciri (traits) dari suatu kelompok orang seperti : rentang umur,
jenjang pendidikan, kelompok sosial (kelas atas, menengah, bawah), bahkan kelompok etnis, dan
seterusnya..
PROFILING
Profiling adalah upaya untuk mengidentifikasi profil. Profiling daam memberantas
kejahatan bukanlah upaya baru. Sebagai contoh di kotak di bawah ini disajikan profil pelaku
kejahatan kerah putih. Ini adalah profiling yang dilakukan Association of Certified Fraud
Examiners di Amerika Serikat.
Ada beberapa catatan sehubungan dengan profil pada tabel tsb :
1. Dalam profil tersebut secara spesifik disebutkan bahwa profil pelaku kejahatan kerah
putih adalah orang berkulit putih. Sebaliknya, profil pelaku kejahatan perampokan,
pembunuhan dan kejahatan lain dengan kekerasan menunjuk kepada kelompok etnis
minoritas yang tidak berpendidikan dan tidak mempunyai lapangan kerja. Untuk dapat
melakukan kejahatan kerah putih, seseorang mesti menduduki jabatan “kerah putih”. Dan
melalui berbagai program pemerintah disana, kelompok minoritas seperti etnis Afro
American dan Latino, mulai memperoleh peluang menduduki jabatan kerah putih.
2. Pelaku kejahatan kerah putih di Amerika Serikat berasal dari kelompok berpenghasilan
menengah ke atas. Karena sering dihubungkan dengan ketamakan.
3. Sejalan dengan argumen yang menjelaskan profil etnis dan kelompok penghasilan
menengah ke atas, kita dapat memaklumi profil pendidikan mereka.
Profiling penting dan bermanfaat, hanya kita perlu memahami makna dari profil yang
dihasilkan. Di pasar uang dan pasar modal, profil pelaku fraud sering kali mengagumkan.
Mereka cerdas, mempunyai track record yang luar biasa, pekerja keras dan cenderung menjadi
informal leader dengan kharisma yang melampaui wewenang yang diberikan jabatan. Nick
Lesson dalam kasus Barings Bank merupakan profil pelaku fraud yang bersifat spekulatif di
bursa valuta asing.
Sarbanes Oxley Act didasarkan atas profiling dari para auditor yang tidak independen, yang
membuat audit mereka tumpul. Dari sinilah disyaratkan ketentuan rotasi partner, batasan
mengenai pemberian jasa non audit, persyaratan ketat jika seseorang pindah dari KAP ke
kliennya dan sebaliknya.
George A. Manning, seorang akuntan forensik dari kantor pajak Amerika Serikat menulis
mengenai profile dari organisasi yang melakukan kejahatan yang terorganisasi.
Dalam masyarakat dengan beraneka ragam etnis seperti di Amerika Serikat, profiling
dilakukan dari segi budaya atau kebiasaan etnis yang bersangkutan. Manning juga membahas
beberapa ciri penjahat dari etnis Asia yaitu :
1. Menyepelekan dan tidak menganggap penegak hukum sebagai abdi masyarakat. Di Asia,
penegak hukum berfungsi untuk melindungi merea yang berkuasa dan pertai meraka.
2. Menciptakan “mata uang bawah tanah” dengan mempertukarkan komoditas. Mata uang
bawah tanah ini memungkinkan mereka menghilangkan jejak dokumen dan melakukan
penyelundupan pajak. Biasanya mereka menanamkan uang mereka dalam emas, permata,
intan dan berlian.
3. Menyelenggarakan “perkumpulan simpan pinjam” yang sangat informal. Terdiri atas 10-
20 orang, umumnya wanita. Terjadi tawar menawar untuk penggunaan uang dalam
periode tertentu. Pemenangnya adalah penawar tertinggi.
4. Setiap pejabat dapat dibeli dengan penyuapan yang biasa terjadi di Asia.
Di zaman Hindia Belanda, penjajah membuat semacam profil dari pembukuan pedagang
Tionghoa, India, Arab dan Jepang. Praktik-praktik pembukuan ini didokumentasikan oleh
Jawatan Pajak pada waktu itu pada tahun 1937.
Para pelepas uang, dan kemudian para bankir, juga membuat profil dari pedagang-pedagang
Tionghoa dari berbagai etnis. Profil ini menjelaskan bidang spesialisasi perdagangan dan industri
masing-masing etnis; gejala adanya overcrowding karena kelompok etnis cenderung meniru
bidang usaha sesama mereka; kondisi gagal bayar; ciri-ciri khas dalam berdagang dan
pemanfaatan serta penyelesaian pinjaman.
Profil Korban Fraud
Profiling umumnya dilakukan terhadap pelaku kejahatan tetapi dapat juga dapat
dilakukan untuk korban kejahatan. Tujuannya berbeda. Kalau profiling terhadap pelaku
kejahatan dimaksudkan untuk memudahkan menangkap pelaku, maka profiling terhadap korban
kejahatan dimaksudkan untuk memudahkan target penyebaran informasi. Ini adalah bagian dari
disiplin ilmu yang disebut viktimologi.
Surat-surat kabar sering memberitakan orang yang “mudah” menjadi korban kejahatan
tertentu, seperti Ponzi scheme yang disebut juga pyramid scheme.
Dalam gambar tersebut berisi surat, yang sering dikenal sebagai surat Nigeria. Surat-surat
ini menjanjikan “durian runtuh” yang ditinggalkan orang penting yang kaya, tapi untuk
mencairkannya dibutuhkan dana. Tidak berbeda dari pesan-pesan sms yang berisi korban
mendapatkan hadiah, dan korban menyetorkan uang tanpa mengenal si pemberi pesan, dan
tentunya tanpa pernah menerima “hadiah”-nya.
Profiling dapat juga dilakukan dalam upaya mengenal perbuatannya atau cara
melaksanakan perbuatannya (modus operandi). Profil dari fraud disebut juga tipologi fraud.