Anda di halaman 1dari 13

BAB 9

Mendeteksi Fraud

Mencegah fraud adalah bagian dari fraud audit yang bersifat proaktif, sedangkan
mendeteksi fraud adalah bagian dari fraud audit yang bersifat investigatif. Orang awam
mengharapkan suatu audit umum dapat mendeteksi segala macam froud. Di sisi lain, akuntan
publik berupaya memasang pagar-pagar yang membatasi tanggung jawabnya, khususnya
mengenai penemuan atau pengungkapkan fraud. Di antara keduanya terdapat kesenjangan. Davia
menyarankan fraud-specific examination untuk akuntani forensik.

Tindakan yang dilakukan untuk mengetahui bahwa suatu kasus kecurangan memang
benar terjadi, siapa pelakunya, siapa korbannya, serta apa yang menyebabkan kecurangan itu
terjadi. Karena ketika seorang pelaku melakukan tindakan kecurangan pastilah ada alasan atau
pendorong yang mengakibatkannya melakukan tindak kecurangan. Kunci utama pada
pendeteksian fraud adalah untuk dapat melihat adanya kesalahan dan ketidakberesan.

Fraud (kecurangan) pada hakekatnya tersembunyi dan pelakunya pada umumnya juga
akan menyembunyikan jejaknya. Oleh karena itu, pendeteksian fraud juga tidak dapat dilakukan
langsung dengan melihat jejak yang ditinggalkannya. Pendeteksian fraud dilakukan dengan
mengidentifikasi tanda- tanda atau gejala terjadinya, kemudian dianalisis apakah tanda-tanda itu
dapat menunjukkan identifikasi awal terjadinya fraud.

Terdapat beberapa langkah dalam mendeteksi fraud.


Langkah awal dari pendeteksian fraud ialah memahami aktivitas organisasi dan mengenal
serta memahami seluruh sektor usaha. Pada pemahaman itu diidentifikasi apakah organisasi telah
menerapkan pengendalian intern yang andal baik dalam rancangan struktur pengendalian
maupun dalam pelaksanaan. Langkah selanjutnya adalah dengan memahami tanda-tanda
penyebab terjadinya fraud. Tanda-tanda penyebab terjadinya fraud berupa berbagai keanehan,
keganjilan, dan penyimpangan dari keadaan yang seharusnya serta kelemahan dalam
pengendalian intern. Pendeteksian fraud terhadap gejala dan tanda-tanda fraud dapat pula
dilakukan terhadap kondisi atau situasi tertentu yang disebut bendera merah (red flags) yaitu
suatu kondisi yang memberi isyarat dini terjadinya fraud (fraud warning signs). Pendeteksian
selanjutnya dilakukan dengan critical point of auditing dan teknik analisis kepekaan. Critical
point of auditing adalah teknik pendeteksian fraud melalui audit atas catatan akuntansi yang
mengarah pada gejala atau kemungkinan terjadinya. Teknik analisis kepekaan adalah teknik
pendeteksian fraud didasarkan pada analisis dengan memandang pelaku potensial. Analisisnya
ditujukan pada posisi tertentu apakah ada peluang tindakan fraud dan apa saja yang dapat
dilakukan.

Dalam pendeteksian fraud, auditor independen mempunyai tanggung jawab untuk


melakukan deteksi atas kecurangan yang terjadi. Tidak hanya auditor independen, akan tetapi
auditor intern maupun auditor pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk mendeteksi
fraud. Tanggung jawab auditor independen untuk mendeteksi fraud diatur di dalam standar
profesinya. Dalam standar Profesional Akuntan Publik diatur tentang tanggung jawab auditor
independen untuk mendeteksi kekeliruan, ketidakberesan, dan pelanggaran hukum.

Pada standar tersebut, tidak ada jaminan penuh bahwa hasil auditor independen akan
dapat mendeteksi kekeliruan, ketidakberesan, dan pelanggaran hukum. Akan tetapi, diatur
keharusan bagi para auditor untuk dapat menemukan risiko bahwa suatu kekeliruan,
ketidakberesan, dan pelanggaran hukum yang mungkin menyebabkan laporan keuangan berisi
salah satu material. Tanggung jawab yang dimiliki auditor untuk mendeteksi kekeliruan dan
ketidakberesan mengharuskan auditor untuk memahami karakteristik dan kerumitan yang terkait
dengan berbagai karakteristik tersebut, kemudian dirancang prosedur audit yang cocok dan
hasilnya dievaluasi.

Kesenjangan Antara Kenyataan Dan Harapan

Sejak permulaan, profesi audit yang dijalankan akuntan publik menolak mengambil
tanggung jawab dalam menemukan fraud. Dalam dasawarsa terakhir, perubahan lebih banyak
dalam retorika ketimbang substansi.

Dalam bulan November 1974, AICPA menujuk suatu komisi independen yang dikenal
dengan nama “the Cohen Commission”, komisi itu dinamakan demikian sesuai dengan nama
ketuanya, Manuel F. Cohen. Profesi akuntansi sedang mendapat sorotan keras dari Kongres AS.
Sejalan dengan sorotan tadi, Komisi Cohen pada awal tahun 1978 melaporkan tujuan
penujukkan komisi itu sebagai berikut :

“Menarik kesimpulan dan memberikan rekomendasi mengenai tanggungjawab yang tepat


dari auditor independen. Komisi harus mempertimbangkan kemungkinan adanya kesenjangan
antara harapan atau kebutuhan masyarakat dan apa yang seharusnya dapat diharapkan dari
auditor untuk memenuhinya. Kalau seandainya kesenjangan tadi memang perlu ada perlu dikaji
bagaimana cara memecahkan disparitas itu “

Tidak ada keraguan bahwa masih tetap ada kesenjangan komunikasi antara harapan
pemakai laporan keuangan dan apa yang dipraktikkan auditor independen. Para auditor
independen masih berkutat pada Statement on Auditing Procedure No. 1 (tahun 1939) yang
hanya sedikit dimodifikasi dalam Codification of Statements on Auditing Procedure (1951) yang
masih dihayati para auditor independen.

Gagasan bahwa audit umum tidak dirancang untuk mengungkapkan kecurangan, sampai
saat ini tercermin dari praktik audit yang peduli dengan kecurangan yang menyebabkan laporan
keuangan tidak disajikan secara wajar. Yang tidak dipedulikan auditor independen adalah
kategori fraud berupa pencurian atau kehilangan aset.

Fraudulent financial reporting diartikan sebagai “intentional or reckless conduct,


wheteher act or omission, that result in materially misleading financial statement”.
(“kesengajaan atau kecerobohan dalam melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan, yang menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan secara
material”).

Penyebab fraudulent financial reporting:


1. Keserakahan
2. Tekanan yang dirasakan oleh manajemen

Dalam banyak konstruksi kejahatan korporasi dimana bentuk perseroan terbatas yang dipilih,
direksinya malah menjadi boneka. Tidak jarang direksi terdiri dari mantan pejabat militer dan
sipil yang KTP-nya dipinjam untuk membuat akte, padahal mereka tidak mengerti bisnis sama
sekali. Fraudulent financial reporting ini dimanfaatkan untuk “mengelola” pinjaman bank.
Mengenalkan Standar Audit Untuk Menemukan Fraud

Kalau auditor independen bekerja tanpa standar audit, ia menempatkan dirinya dalam
posisi yang sangat lemah. Terutama ketika ia memberikan audit yang diharapkan menemukan
fraud. Maka diperlukan fraud-spesific examination.

Para praktisi harus tahu apa yang mereka harapkan dari standar untuk pemeriksaan yang
secara spesifik ditujukan untuk menemukan fraud. Sekurang – kurangnya para praktisi harus
menyadari hal – hal berikut:
a. Mereka tidak bisa memberikan jaminan bahwa mereka bisa menemukan fraud
b. Seluruh pekerjaan didasarkan atas standar audit
c. Jumlah fee bergantung pada luasnya upaya pemeriksaan yang ditetapkan klien
d. Praktisi bersedia untuk memperluas jasanya dari tahap proactive review ke tahap
pendalaman apabila ada indikasi terjadinya fraud.

AUDIT UMUM DAN PEMERIKSAAN FRAUD

Perbedaan antara audit umum (general audit atau opinion audit) dan pemeriksaan atas
fraud dapat dilihat sebagai berikut:
Timing

 Auditing : adalah proses yang dilakukan secara berulang kembali(reccuring), teratur dan
berkala, dibeberapa perusahaann proses auditing dibagi dalam 4 kwartal yang lazimnya
disebubt Q1, Q2, Q3 dan Q4. perusahaan yang menerapkan type auditing seperti ini
biasanya memiliki satuan kerja audit yang berlapis. untuk pemeriksaan terhadap kantor
cabang berdasarkan kwartal biasanya dilakukan oleh auditor daerah, dan secara random
dilakukan oleh kantor pusat.
 Fraud Examination : Investigasi atau pemeriksaan fraud adalah proses pemeriksaan yang
tidak berulang kembali(non Recurring). pemeriksaan dilakukan setelah adanya indikasi
yang dilaporkan.
Scope / ruang lingkup

 Auditing : ruang linkup pemeriksaan biasanya terkait dengan data keuangan. untuk proses
kredit di Bank yang memiliki unit kerja Mikro biasanya melingkupi, data kredit,
Operasional dan Collection.
 Fraud Examination : Ruang lingkup pemeriksaan fraud lebih spesifik, yang berdasarkan
pada adanya indikasi, dugaan, tuduhan atau sangkaan.

Objective

 Auditing : Tujuan audit adalah untuk memberikan pendapat atas kewajaran laporan
keuangan, di Bank yang memiliki unit kerja Mikro, tujuan audit adalah untuk
memastikan bahwa proses pemberian kredit, operational dan Collection sudah sesuai
dengan kebijakan internal perusahaan dan regulator.
 Fraud Examination : Tujuan investigasi atau pemeriksaan fraud lebih kearah untuk
memastikan apakah indikasi Fraud yang dilaporkan benar benar terjadi atau hanya
pelanggaran prosedur biasa akibat kelalaian karyawan, serta menentukan siapakah pihak
yang bertanggung jawab terhadap kejadian fraud tersebut (bisa internal maupun
eksternal).

Relationship

 Auditing : Sifat dari Audit adalah tidak bermusuhan (non Adversarial)


 fraud Examination : Sifat dari pemeriksaan fraud adalah bermusuhan (affix blame)
karena pada ahirnya investigator atau pemeriksa harus menentukan siapakah pihak yang
bertanggung jawab atau bersalah atas kejadian fraud tersebut.

Methodologi

 Auditing : Audit terutama dilakukan terhadap data keuangan


 Fraud Examination : Pemeriksaan fraud dilakukan dengan memeriksa dokumen,
menganilasa data external, pada perbankan mikro misalnya (surat pernyataan debitur,
data debitur, Surat keterangan usaha berupa SIUP/TDP dll) serta proses
interview/interogasi terhadap karyawan internal, instansi terkait maupun pihak ketiga
lainnya.

Presumption

 Auditing : Seorang auditor melakukan tugasnya dengan Profesional Skepiticism


 Fraud Examination : seorang investigator/pemeriksa fraud melakukan tugasnya dengan
cara mengumpulkan dan mengorganisir seluruh bukti untuk mendukung atau membantah
indikasi yang dilaporkan, yang meliputi dugaan, tuduhan dan sangkaan atas fraud yang
terjadi.

Pelajaran dari Report to the Nation

Beberapa pelajaran dari Report to the Nation , mengenai deteksi fraud :


1. Rata-rata (median) berlngsungnya fraud sebelum dideteksi adalah lebih dari satu tahun.
2. Bagaimana fraud terungkap? Hampir separuhnya (46,2%) diketahui karena ada yang
“membocorkan” (tip).
3. Bahkan kalua fraud dilakukan oleh majikan atau pemilik, lebih dari separuhnya (51,7%)
terungkap karena tip.
Data di atas adalah untuk Amerika Serikat. Di Indonesia belum ada penelitian berskala
nasional pengungkapan fraud . Akan tetapi, kalua temuan dalam Report to the Nation dapat
menjadi petunjuk, kita mempunyai berita baik dan berita buruk.
Berita baiknya ialah bahwa dengan desain sistem yang tepat, ada peluang dan insentif
untuk terjadinya pembocoran mengenai fraud yang sudah, sedang, atau akan terjadi. Berita
buruknya adalah, di negara maju seperti Amerika Serikat saja, dibutuhkan lebih dari satu tahun
sampai hampir tiga tahun untuk mendeteksi fraud. Berita buruk lainnya adalah bahwa fraud
terdeteksi secara “kebetulan” ( by accident ).
Teknik Pemeriksaan Fraud

Teknik pemeriksaan fraud meliputi:


a. Penggunaan teknik-teknik audit yang dilakukan oleh internal maupun external auditor
dalam mengudit laporan keuangan.
b. Pemanfaatan teknik audit investigatif dalam kejahatan terorganisir dan penyelundupan
pajak penghasilan.
c. Penelusuran jejak-jejak arus uang.
d. Penerapan teknik analisis dalam bidang hukum.
e. Penggunaan teknik audit investigative untuk mengungkapkan fraud dalam pengadaan
barang. 6. Penggunaan computer forensics.
f. Penggunaan teknik interogasi.
g. Penggunaan operasi penyamaran.
h.Pemanfaatan whistleblower.
BAB 10
Profil Pelaku, Korban, Dan Perbuatan Fraud

Dalam upaya menemukan dan memberantas kecurangan, kita perlu mengetahui profil
pelaku. Profil berbeda dari foto. Foto menggambarkan fisik seseorang, bentuk wajahnya warna
kulitnya (sawo matang, kuning, putih, hitam), bentuk hidungnya (mancung, sedang, pesek),
potongan dan warna rambutnya, maupun ciri khusus lainnya (tahi lalat, telinga lebar, dan
seterusnya). Profil tidak menunjuk secara khusus ciri – ciri satu orang, melainkan memberi
gambaran mengenai berbagai ciri (traits) dari suatu kelompok orang seperti : rentang umur,
jenjang pendidikan, kelompok sosial (kelas atas, menengah, bawah), bahkan kelompok etnis, dan
seterusnya..

PROFILING
Profiling adalah upaya untuk mengidentifikasi profil. Profiling daam memberantas
kejahatan bukanlah upaya baru. Sebagai contoh di kotak di bawah ini disajikan profil pelaku
kejahatan kerah putih. Ini adalah profiling yang dilakukan Association of Certified Fraud
Examiners di Amerika Serikat.
Ada beberapa catatan sehubungan dengan profil pada tabel tsb :

1. Dalam profil tersebut secara spesifik disebutkan bahwa profil pelaku kejahatan kerah
putih adalah orang berkulit putih. Sebaliknya, profil pelaku kejahatan perampokan,
pembunuhan dan kejahatan lain dengan kekerasan menunjuk kepada kelompok etnis
minoritas yang tidak berpendidikan dan tidak mempunyai lapangan kerja. Untuk dapat
melakukan kejahatan kerah putih, seseorang mesti menduduki jabatan “kerah putih”. Dan
melalui berbagai program pemerintah disana, kelompok minoritas seperti etnis Afro
American dan Latino, mulai memperoleh peluang menduduki jabatan kerah putih.
2. Pelaku kejahatan kerah putih di Amerika Serikat berasal dari kelompok berpenghasilan
menengah ke atas. Karena sering dihubungkan dengan ketamakan.
3. Sejalan dengan argumen yang menjelaskan profil etnis dan kelompok penghasilan
menengah ke atas, kita dapat memaklumi profil pendidikan mereka.

Profiling penting dan bermanfaat, hanya kita perlu memahami makna dari profil yang
dihasilkan. Di pasar uang dan pasar modal, profil pelaku fraud sering kali mengagumkan.
Mereka cerdas, mempunyai track record yang luar biasa, pekerja keras dan cenderung menjadi
informal leader dengan kharisma yang melampaui wewenang yang diberikan jabatan. Nick
Lesson dalam kasus Barings Bank merupakan profil pelaku fraud yang bersifat spekulatif di
bursa valuta asing.
Sarbanes Oxley Act didasarkan atas profiling dari para auditor yang tidak independen, yang
membuat audit mereka tumpul. Dari sinilah disyaratkan ketentuan rotasi partner, batasan
mengenai pemberian jasa non audit, persyaratan ketat jika seseorang pindah dari KAP ke
kliennya dan sebaliknya.

PROFILING DAN KEJAHATAN TEROGANISASI

George A. Manning, seorang akuntan forensik dari kantor pajak Amerika Serikat menulis
mengenai profile dari organisasi yang melakukan kejahatan yang terorganisasi.
Dalam masyarakat dengan beraneka ragam etnis seperti di Amerika Serikat, profiling
dilakukan dari segi budaya atau kebiasaan etnis yang bersangkutan. Manning juga membahas
beberapa ciri penjahat dari etnis Asia yaitu :
1. Menyepelekan dan tidak menganggap penegak hukum sebagai abdi masyarakat. Di Asia,
penegak hukum berfungsi untuk melindungi merea yang berkuasa dan pertai meraka.
2. Menciptakan “mata uang bawah tanah” dengan mempertukarkan komoditas. Mata uang
bawah tanah ini memungkinkan mereka menghilangkan jejak dokumen dan melakukan
penyelundupan pajak. Biasanya mereka menanamkan uang mereka dalam emas, permata,
intan dan berlian.
3. Menyelenggarakan “perkumpulan simpan pinjam” yang sangat informal. Terdiri atas 10-
20 orang, umumnya wanita. Terjadi tawar menawar untuk penggunaan uang dalam
periode tertentu. Pemenangnya adalah penawar tertinggi.
4. Setiap pejabat dapat dibeli dengan penyuapan yang biasa terjadi di Asia.

Beberapa kebijakan KPK yang merupakan kewajiban bagi pimpinan KPK :

1. Memberitahukan kepada pimpinan lain mengenai pertemuan dengan pihak lain.


2. Menolak dibayari makan, biaya akomodasi dan bentuk kesenangan lain oleh siapa pun.
3. Membatasi pertemuan di ruang publik.
4. Memberitahukan kepada pimpinan lain mengenai keluarga, kawan, dan pihak lain yang
secara intensif masih berkomunikasi.

SEMACAM PROFILING : CONTOH PERPAJAKAN DI ZAMAN PENJAJAHAN


BELANDA

Di zaman Hindia Belanda, penjajah membuat semacam profil dari pembukuan pedagang
Tionghoa, India, Arab dan Jepang. Praktik-praktik pembukuan ini didokumentasikan oleh
Jawatan Pajak pada waktu itu pada tahun 1937.
Para pelepas uang, dan kemudian para bankir, juga membuat profil dari pedagang-pedagang
Tionghoa dari berbagai etnis. Profil ini menjelaskan bidang spesialisasi perdagangan dan industri
masing-masing etnis; gejala adanya overcrowding karena kelompok etnis cenderung meniru
bidang usaha sesama mereka; kondisi gagal bayar; ciri-ciri khas dalam berdagang dan
pemanfaatan serta penyelesaian pinjaman.
Profil Korban Fraud

Profiling umumnya dilakukan terhadap pelaku kejahatan tetapi dapat juga dapat
dilakukan untuk korban kejahatan. Tujuannya berbeda. Kalau profiling terhadap pelaku
kejahatan dimaksudkan untuk memudahkan menangkap pelaku, maka profiling terhadap korban
kejahatan dimaksudkan untuk memudahkan target penyebaran informasi. Ini adalah bagian dari
disiplin ilmu yang disebut viktimologi.

Surat-surat kabar sering memberitakan orang yang “mudah” menjadi korban kejahatan
tertentu, seperti Ponzi scheme yang disebut juga pyramid scheme.
Dalam gambar tersebut berisi surat, yang sering dikenal sebagai surat Nigeria. Surat-surat
ini menjanjikan “durian runtuh” yang ditinggalkan orang penting yang kaya, tapi untuk
mencairkannya dibutuhkan dana. Tidak berbeda dari pesan-pesan sms yang berisi korban
mendapatkan hadiah, dan korban menyetorkan uang tanpa mengenal si pemberi pesan, dan
tentunya tanpa pernah menerima “hadiah”-nya.

Profiling Terhadap Perbuatan (Kejahatan, Fraud, dan Lain-lain)

Profiling dapat juga dilakukan dalam upaya mengenal perbuatannya atau cara
melaksanakan perbuatannya (modus operandi). Profil dari fraud disebut juga tipologi fraud.

Direktorat Jenderal Pajak mengkompilasi tipologi kejahatan perpajakan. Bank Indonesia


melakukan hal yang sama untuk kejahatan perbankan. PPATK melakukannya untuk kasus-kasus
pencurian uang.

Dengan mengumpulkan tipologi fraud lembaga-lembaga ini, misalnya, dapat


mengantisipasi jenis fraud yang memanfaatkan perusahaan di Negara surga pajak (tax heaven
countries). Atau komisaris bank yang aktif menjalankan usahanya, atau pemegang saham tidak
tercatat sebagai pemegang saham, atau pegawai rendahan yang menjadi pemegang saham
boneka.
Dalam gambar ini disajikan dokumentasi dari Jawatan Pajak di zaman Hindia Belanda
mengenai pembukuan dari berbagai bangsa atau latar belakang etnis. Pembukuan dari orang
Tionghoa, Jepang, India, Inggris, dan Arab yang diterbitkan pada tahun 1937.

Anda mungkin juga menyukai