Anda di halaman 1dari 47

ANATOMI KULIT

ANATOMI KULIT DAN STRUKTUR PENDUKUNGNYA


Fungsi umum kulit antara lain:
1. Proteksi tubuh terhadap lingkungan, kehilangan cairan, substansi berbahaya, dan
mikroorganisme patogen.
2. Regulasi panas melalui kalenjar keringat dan pembuluh darah.
3. Sensasi (contohnya rasa nyeri), dengan adanya superficial nerve endings.
Secara umum kulit terdiri dari:
1. Epidermis, yang merupakan jaringan selular superfisial.
2. Dermis, yang merupakan deep connective tissue layer.

EPIDERMIS
Secara umum dari superfisial ke dalam terdiri dari:
1. Stratum corneum.
2. Stratum lucidum (terutama pada kulit yang tebal).
3. Stratum granulosum.
4. Stratum spinosum.
5. Stratum basale.
DERMIS
Secara umum pada lapisan dermis terdapat struktur :
1. Hair follicle. Struktur ini biasanya miring ke salah satu sisi.
2. Arrector muscle of hair. Kontraksi dari struktur ini menyebabkan berdirinya rambut.
3. Sebaceous glands. Struktur ini berfungsi mensekresikan minyak ke permukaan kulit.
4. Sweat glands. Struktur ini berfungsi dalam termoregulasi panas dengan cara evaporasi
keringat keluar permukaan kulit.
5. Collagen & Elastic fibers. Fiber ini berfungsi untuk skin tone dan juga berperan untuk
memperkeras dan memperkuat kulit.
SUBCUTANEOUS TISSUE
Secara umum pada jaringan ini terdapat:
1. Fatty conncetive tissue. Struktur ini berfungsi sebagai termoregulator, dan juga
sebagai proteksi untuk kulit terhadap jaringan di bawahnya.
2. Blood vessels. Pada lapisan dermis dan epidermis, struktur ini membentuk deep
plexus of anastomosing arteries.
3. Lymphatic tissue
4. Cutaneous Nerve. Pada bagian epidermis dan dermis, struktur ini muncul sebagai
afferent nerve endings yang sensitif terhadap sentuhan, nyeri, dan suhu.
SKIN LIGAMENTS
Struktur ini disebut juga retinacula cutis, dan berisi banyak small fibrous bands, yang
meluas dari subcutaneous tissue dan melekatkan permukaan dalam dari dermis ke deep
fascia. Struktur ini menentukan mobilitas kulit terhadap struktur lainnya yang lebih dalam.
DEEP FASCIA
Merupakan suatu struktur jaringan ikat yang padat dan terorganisasi yang
menyelubungi struktur yang lebih dalam seperti otot. Struktur ini berfungsi untuk membatasi
outward expansion dari otot yang berkontraksi.
TIPE-TIPE KULIT

 Walaupun keseluruhan kulit tubuh itu sama dalam strukturnya, tapi ada beberapa variasi
yang berkaitan dengan ketebalan dari epidermis, kekuatan, fleksibilitas, tingkatan
keratinisasi, distribusi dan tipe dari rambut, densitas dan tipe dari kelenjar, pigmentasi,
vaskularisasi (suplai darah), dan innervasi.
 Berdasarkan struktur dan fungsi, tipe kulit dibagi menjadi :
 Thin Skin  melapisi semua bagian tubuh kecuali palmar, permukaan
palmar pada jari, dan telapak kaki (soles).
 Ketebalan : 0.10 – 0.15 mm (0,004 – 0,006 in.).
 Bagian stratum lucidum tidak ada, sedangkan stratum corneum
dengan stratum spinosum relatif tipis.
 Dermal papila lebih sedikit.
 Tidak memiliki epidermal ridges.
 Thin skin  terdapat hair folikel, arrector pili muscles, sebaceous
(oil) glands, tapi sedikit ada kelenjar keringat.
 Distribusi sensory reseptor lebih sedikit dibandingkan thick skin.
 Thick skin  melapisi palmar, permukaan palmar pada jari, telapak kaki
 Ketebalan : 0.6 – 4.5 mm (0.024 – 0.18 in.).
 Bagian stratum lucidum, spinosum, corneum  tebal.
 Dermal papila pada thick skin lebih banyak.
 Memiliki epidermal ridges.
 Tidak ada hair folikel, arrector pili muscles, sebaceous glands, dan
banyak memiliki kelenjar keringat.
 Sensory receptor lebih banyak dibandingkan thin skin.

HISTOLOGI KULIT

Kulit ada 3 lapisan :


- Epidermis (lapisan epitel berasal dari ektoderm).
- Dermis (selapis jaringan ikat yang berasal dari mesoderm).
- Subcutis.
Epidermis
Didefinisikan sebagai stratified squamous epithelium / epitel berlapis gepeng dengan
lapisan tanduk. Fungsi utamanya yaitu sebagai protective barrier. Terdiri dari sel-sel yaitu
keratinosit, melanosit, langerhans cells, merkel cells.
Pada epidermis terdapat 4 lapisan :
1. Basal cell layer (stratum basale).
- Terdiri dari sel selapis kuboid / silindris basofilik yang terletak di atas lamina basalis
pada batas yang memisahkan dermis dan epidermis dengan sumbu panjangnya tegak
lurus pada basalis.
- Terdiri dari keratinosit cells :
o fungsinya memproduksi protein keratin, sebagai maturasi keratin, dan
memiliki lapisan tanduk.
o Sel-sel terdiri dari keratin tonofibril (desmosom yang mengikat erat) dan
terletak pada baseman membrane oleh hemidesmosom.
o Fungsinya ; sebagai fiibrous protein yang membantu melindungi kulit dan
melapisi jaringan dari panas, mikroba, dan kimia.
o Kulit diperbaharui kurang lebih 15-30 hari.
- Terdiri dari melanosit cells :
o Populasi 5-10 %.
o Fungsinya ; memproduksi pigmen melanin agar kulit tetap terlindungi dari
sinar ultraviolet (UV).
o Banyak terdapat pada wajah, neural crest origin.
o Pada 3 bulan pertama dari perkembangan, epidermis di invasi oleh sel-selnya
dari neural crest yang mensintesis melanin lalu ditransfer ke jaringan sel
lainnya.
- Terdiri dari merkel cells :
o Infrequently pada basal cell layer.
o Terletak pada dasar lapisan epidermis.
o Diasosiasikan dengan terminal filament dari saraf kutaneus yang berperan
dalam sensasi.
o Fungsinya ; sebagai sensasi rasa sentuh (tactile).
o Sitoplasma mengandung neuropeptide granule.
o Sebagai neuro filament dan keratin.
2. Prickle cell layer (stratum spinosum).
- Terdiri dari sel-sel kuboid, polygonal, agak gepeng, dengan inti di tengah dan
sitoplasma dengan cabang-cabang yang terisi berkas filament.
- Bentuk lapisannya polyhedral cells.
- Upwards dari basal cell layer.
- Berhubungan / dihubungkan dengan desmosome (pada mikroskop).
- Keratin tonofibril mensupport lubang dalam sel sitoplasma.
- Terdapat langerhans cells :
o Fungsi ; sel-sel yang mengaktifkan respon immune.
3. Granular cell layer (stratum granulosum).
- Terdapat 3-5 lapis sel polygonal gepeng dengan sitoplasma berisi granula basofilik
kasar (granula keratohialin).
- Sel menjadi bentuk flat, dan nuclei menjadi menghilang.
- Keratohyalin granules terlihat dalam sitoplasma bersama dengan membrane coating
granule (akan mengeluarkan lipid ke dalam intracellular space).
4. Horny layer (stratum corneum).
- Keratinosit yang sudah matang (mature ceratinocytes).
- Terdiri dari lapisan kornified polyhedral cells yang overlaping, sehingga tidak
terdapat nuclei.
- Lapisan paling tebal (telapak kaki dan tangan).
- Corneocyte cell dibatasi oleh selubung-selubung, sitoplasma digantikan oleh keratin
tonofibril dalam matrik yang dibentuk dari keratohyalin granules.
- Sitoplasma dipenuhi skleroprotein filamentosa blrefringen (keratin).
Dermis
Dermis terdiri atas jaringan ikat yang menunjang epidermis dan mengikatnya pada
lapisan di bawahnya, yaitu jaringan subkutan (hipodermis). Fungsi lainnya yaitu mensupport
matrik jaringan ikat.
Pada dermis terdapat 2 lapisan :
1. Papillary dermis.
- Lapisannya terletak antara dermis yang paling atas dan bagian bawah epidermis.
- Terdapat epidermal ridges ; batas yang tidak teratur antara dermis-epidermis karena
ada tonjolan-tonjolan / papil yang saling mengunci dengan tonjolan epidermis.
- Terdiri dari collagen.
- Termasuk jaringan ikat longgar, elastine fiber.
- Kandungan dermis :
o Fibroblast (sebagai sintesis collagen, elastine, connective tissue, GAGs).
o Dermal dendrocyte (dendrite cell, fungsinya sebagai immune).
o Mast cells.
o Macrophag.
o Limfosit.
2. Reticular dermis.
- Collagen yang kasar, collagen fiber.
- Lapisannya lebih tebal.
- Terdiri dari jaringan ikat padat, karena seratnya > daripada sel-selnya.
- Ground substance :
o Semi solid matrix (GAGs) ; glikosaminoglikans.
o Fungsinya ; sebagai fiskositas dan hidrasi.

Subcutaneous Layer
- Terdiri dari jaringan ikat longgar dan lemak yang mengikat kulit di bawahnya.
- Ketebalannya 3 cm ; terletak pada abdomen.

FUNGSI KULIT SECARA UMUM


1. Thermoregulasi
- Kulit berperan dalam thermoregulasi, yaitu regulasi homeostatis dalam suhu tubuh,
dengan 2 cara : dengan melepaskan keringat pada permukaannya dan menyesuaikan
aliran darah di dermis.
- Pada suhu lingkungan yang tinggi, terjadi evaporasi keringat dari permukaan kulit
yang akan membantu menurunkan temperature tubuh
- Respon pada suhu rendah, adalah penurunan produksi keringat yang akan menjaga
panas tubuh.
- Di dermis terdapat pembuluh-pembuluh darah , disini kulit berperan sebagai blood
reservoir.
2. Proteksi
- Keratin di kulit melindungi kulit dari mikroba, abrasi, panas, dan bahan kimia, serta
eratnya hubungan antar keratinosit mencegah invasi oleh mikroba
- Lipid yang dilepas oleh granul lamellar akan menurunkan evaporasi air dari
permukaan kulit , sehingga melindungi kulit dari terjadinya dehidrasi, dan juga
mencegah banyak air yang akan masuk melalui permukaan kulit (misal : saat mandi
ataupun berenang).
- Sebum minyak dari kelenjar sebacea juga akan melindungi kulit dan rambut dari
kekeringan dan mengandung bahan bakterisidal yang akan membunuh bakteri
permukaan.
- pH yang asam akan menghambat pertumbuhan beberapa mikroba
- Pigmen melanin, melindungi dari efek buruk sinar UV
- 2 sel akan berpengaruh terhadap imunologi, yaitu sel Langerhans epidermal , yang
akan waspada terhadap system imun akan adanya mikroba yang merugikan dengan
recognizing (mengenali) dan macrophage di dermis memfagosit bakteri dan virus
yang menembus permukaan kulit
3. Cutaneous Sensation
- Sensasinya ialah, sensasi taktil (touch, pressure, vibration & tickling) dan sensasi
thermal (panas dan dingin), juga nyeri saat terjadi kerusakan jaringan.
4. Eksresi dan Absorpi
- Disamping mengeluarkan air dan panas (dengan evaporasi), keringat juga merupakan
salah satu cara eksresi yang mengandung garam, karbondioxida, ammonia dan urea.
- Kulit dapat mengabsorpsi bahan yang lipid-soluble seperti beberapa vitamin
(A,D,E,K) , beberapa obat, gas oksigen dan karbandioksida, juga beberapa bahan
toxic (acetone, carbon tetrachloride, mercury, arsenic, dll)
5. Sintesis Vitamin D
- Sintesis Vitamin D membutuhkan aktivasi dari molekul prekursor di kulit oleh sinar
UV pada cahaya matahari, lalu enzim di liver dan ginjal akan memodifikasi molekul
yang telah teraktivasi, yang pada akhirnya menghasilkan calcitriol (bentuk paling
aktif dari vitamin D). Calcitriol ini akan membantu dalam absorpsi calcium pada
makanan di GI tract ke darah.

TIPE-TIPE LESI KULIT

Lesi Kulit Keterangan Gambar


Primer
1. Macule/ Merupakan lesi datar, berbatas, yang terlihatpunya
Makula perbedaan warna daripada kulit sekelilingnya.
Bisa : hiperpigmentasi, hipopigmentasi,
depigmentasi, erythema.
Contoh : Tinea versicolor

2. Papule/ Merupakan lesi yang solid, timbul (elevasi), dan


Papula berbatas, ukuran dari sebesar titik hingga 1 cm.
Bentuknya bisa :
-acuminate (miliaria rubra); surmounted with scale
(2ndary syphilis); dome shape (mulluscum
contagiosum); flat-topped (lichen planus) ; round;
pedunculated
Contoh : molluscum contangiosum.
3. Plaque / Papule yang lebih besar, diameter lebih dari 1 cm.
Plak
4. Nodule / Palpable, solid, lesi bulat atau oval.
Nodul 5 tipe nodul :
Epidermal, pidermal-dermal, dermal, dermal-
subdermal, subcutaneous.
Contoh : lymphoma, late syphilis
5. Tumor Istilah umum untuk adanya massa, baik jinak
ataupun ganas, dan kadang menginikasikan nodul
yang besar.
6. Wheal / Papule atau plaque yang bulat atau flat-topped
Hives/ dengan karakteristik edematous, tidak jelas dan
Urticari menghilang dalam beberapa jam.
Contoh :dermatitis herpetiform
7. Vesicle/ Lesi berbata, timbul dan mengandung cairan,
Vesikel dengan ukuran 1-10mm.
Jika pucat atau kuning  berisi serous exudates
Jika merah  berisi darah
Contoh : pemphigoid, dermatitis herpetiform

8. Bullae / Bullae aalah vesikel dengan ukurang lebih besar,


Blister/ bentuknya bisa bulat atau irregular.
Bula

9. Pustule/ Pustula, berbatas, timbul dan mengandung purulen


Pustula exudates (pus).
Contoh : rosacea, pustular psoriasis.

10. Cyst / Merupakan kantung yang berisi cairang atau


Kista bahan yang semisolid (fluid cells, dan produk sel)
Contoh : cystic adnexal tumor

11. Abscess / Danya akumulsi purulen materisl yang dalam di


Abses dermis atau jaringan subcutaneous, dimana pus --
tidak muncul ke permukaan. Lesi ini merah,
panas, dan nyeri.
12. Sinus Suatu alur yang ruang suppurative ke permukaan
kuliy, atau antara ruang cyst atau abscess. --

Lesi Kulit Keterangan Gambar


Sekunder
1. Scale / Peluruhan (shedding) abnormal atau akumulasi dari
Skuama stratum corneum.
Contoh : psoriasis

2. Crust / Pengerasan dari adanya deposit serum, darah, atau


Krusta purulen exudat mongering di permukaan kulit.
Jika :
Kuning  serous crusta/krusta serosa
Hijau atau hijau kekuningan  krusta pustulosa
atau
Darah  haemoraggic crust/ krusta sanguinolenta)
Contoh ; infeksi jamur superficial (Trichophyton
schoenleinii)
3. Erosion / Lesi menjorok (depressed). Berbatas, merupakan
Erosi akibat dari hilangnya seluruh atau sebagian dari
epidermis.
Contoh : variola, vaccinia
4. Excoriation Merupakan ekscavasi superficial di epidermis
/ Ekskoriasi berupa titik atau abrasi linear yang diakibatkan
mekanis, biasanya hanya melibatkan epidermis dan --
jarang mencapai dermis (lapisan papilla layer).
Contoh : atopic eczema
5. Fissure / Celah linear atau retakan di kulit dan bisa terasa
Fisura nyeri. Fissure ini bisa bersifat kering maupun
lembab, merah, lurus, irregular ataupun bercabang.
Terjadi umumnya ketika kulit menebal dan tidak
elastis alibat inflamasi atau kekeringan.
Contoh : perianal psoriasis
6. Ulcer / Lubang di kulit dimana terjadi destruksi dari
Ulkus epidermis atau setidaknya hingga bagian atas
dermis (papillary dermis).
Contoh : terjadi pada nodul-nodul ganulomatous
atau neoplastic.
7. Scar / Scar terdiri dari jaringan ikat baru (proliferasi
Sikatrik kolagen) yang menggantikan substansi hilang di
dermis atau bagian yang lebih dalam sebagai akibat
dari adanya injury ataupun penyakit.
Pada luka atau ulcer yang telah diambil atau di-
A. Scar
remove ini adalah pola dari penyembuhannya.
hipertrophic
Tipe :
B. Scar Atrophic
Hypertrophic(timbul) ; Atrophic, dan Eutrophic
Contoh : pada acne, herpes
8. Lichenificat Di kulit terlihat adanya peneblan plaque . Terjadi
ion / akibat proliferasi dari keratinosit dan stratum
Liknefikasi corneum, dengan kombinasi perubahan collagen di
bawah dermis.
9. Sclerosis / Merupakan pengerasan kulit yang jelas batasnya
Sklerosis atau diffuse, dan bisa diketahui dengan mudah jika
di palpasi.
Merupakan akibat dari edema dermis atau
--
subcutaneous, infiltrasi selullar, atau proliferasi
collagen.
Contoh : chronic statis dermatitis,chronic
lympedema,dll.
10. Atrophy / Adanya penegcilan ukuran sel, jaringan, organ atau
Atrofi bagian dari tubuh.
Tipe :
 Epidermal atrophy
 Dermal atrophy
 Pannicular atrophy (terjadi di panninculus)
Contoh : striae pada khamilan,adanya depresi
terlokalisasi pada kulit, dll.

HIPERSENSITIVITAS

Terjadi ketika respon imun adaptive terjadi secara berlebihan atau bentuknya tidak
cocok sehingga menghasilkan kerusakan jaringan. Hypersensitivity adalah karakter individu
dan di manifestasi pada kontak kedua dengan antigen khusus yang mengakibatkan
hipersensitivity.
Ketidakcocokan respon imun bisa saja terjadi karena:
1. Exaggerasi terhadap antigen linkungan  allergy.
2. Misdirected terhadap sel host sendiri  autoimun.
3. Directed terhadap beneficial foreign tissue (contoh: transfuse/transplant)  alloimunity.
4. Insufficient untuk melindungi host  defisiensi imun.
Reaksi hypersensitivity membutuhkan sensitisasi terhadap antigen khusus yang
merupakan hasil dalam primary respon imun. Gejalanya terlihat setelah adekuat secondary
respon imun terjadi. Reaksi yang terjadi bisa immediate atau delayed.
 Immediate hypersensitivity reaction: reaction that occur within minutes to few hours
after exposure to antigen.
 Delayed hypersensitivity reaction: takes several hours to appear and are at maximum
severity days after re-exposure to the antigen.
NEW TERMONILOGY:

Hypersensitivity

Allergic Non-allergic

Antibody mediated Cell mediated


(Humoral) (Cellular)

IgE mediated Non-IgE mediated Contact allergy

Non-atopic Atopic

Insects
Parasites
Drugs

Klasifikasi Hypersensitivity oleh Coombs dan Gell:


1. Tipe I, Immediate Hypersensitivity ( Ig-E Mediated Reaction)
Terjadi ketika respon Ig-E secara langsung terhadap innocuous antigen.
2. Tipe II, Antibody Dependent Cytotoxic Hypersensitivity ( tissue Spesific)
Terjadi ketika antibody berikatan terhadap antigen dalam sel dan mengakibatkan
phagositosis, killer cell activity atau complement mediated lysis.
3. Tipe III, Immune Complex Mediated Hypersensitivity
Berkembang ketika complex terbentuk dalam kuantitas besar atau tidak dapat dibersihkan
secara kuat oleh reticuloendotel system.
4. Tipe IV, Delayed tipe Hypersensitivity (DTH)
Manifestasi yang serius ketika antigen (cth: Tubercle Bacilli) terperangkap dalam
makrofag, tidak dapat dibersihkan.
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I

Dikarakteristik oleh reaksi allergy yang secara segera diikuti dengan contak terhadap
antigen yang disebut allergen. Dimediasi oleh antigen spesifik Ig-E dan produk tissue mast
cell. Hipersensitivity tipe I sering disebut allergi

Role IgE
 Pengulangan exposure terhadap dosis besar allergen biasanya dibutuhkan untuk
merangsang cukup IgE sehingga seseorang menjadi sensitisasi.
 Saat awal kontak alergen diikuti dengan mukosa dengan tahapan yang kompleks
sebelum IgE diproduksi dan sebelum allergic symptom terjadi setelah kontak kedua
dengan allergen yang sama.
 Respon IgE adalah local event yang terjadi pada pemasukan allergen ke tubuh
permukaan mukosa dan atau local lymph node.
 IgE secara relatif short lifespan dalam darah sebab secara cepat berikatan dengan Fc
reseptor pada membran mast cell.
 Produksi IgE oleh sel B melibatkan antigen presentating via antigen presentating cell
(APC), T cell Helper dan stimulasi B cell untuk menghasilkan IgE.
 Secara lokal IgE yang diproduksi akan first sensitize local pada mast cell dan spill
over IgE untuk masuk sirkulasi dan berikatan terhadap reseptor basofil yang
bersirkulasi dan tissue fixed mast cell.

Pada hipersensitivity tipe ini terdapat 2 phase:


1. Sensitization Phase
 Exposure terhadap antigen atau allergen.
Allergen diabsorpsi melalui kulit, GI tract dan Respiratory mucous. Kemudian
makrofag mengambil allergen tersebut, memprosesnya dan memunculkannya
pada T-Lymphocyte.
 B limfosit terekspos terhadap allergen yang dipengaruhi oleh T limfosit untuk
matang menjadi allergen spesifik IgE immunoglobulin secreting plasma cell.
Plasma cell mensintesis dan mensekresikan antigenspesifik IgE
 Pengikatan IgE pada mast cell
Antigen specific IgE memiliki property biologi yang unik sehingga dapat
berikatan dengan mast cell untuk sekitar 6 minggu. IgE berikatan dengan
reseptor pada mast cell yang spesifik untuk regio Fc pada epsilon heavy chain
(FcεR).

2. Allergen Stimulation Mediator release


 terjadi reeksposure terhadap allergen yang sama
 interaksi antigen-IgE
allergen diabsorpsi dan cross link dengan spesifik IgE antibody pada mast cell
yang sensitisasi. Crosslinking 2 atau lebih mast cell berikatan dengan molekul
IgE oleh antigen reexposure yang menginisiasi stimulasi pada sinyal transmit
pada sel interior yang mengaktivasi second messanger system pada cyclic
nucleotida ( cyclic AMP) sehingga menyebabkan peningkatan rasio cGMP
terhadap cAMP, aktivasi proesterase dan influk ion kalsium kedalam sel.
 Pelepasan mediator
Ion kalsium yang influx menginisiasi pelepasan mdiator (degranulasi) dan
sintesis newly formed mediator
 Aksi mediator tersebut pada target organ:
o Immediate phase reaction dengan mengeluarkan mediator
o Long term phase reaction dengan sintesis newly formed mediator

REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II

Sel spesifik atau jaringan adalah target respon imun tersebut. Terdapat 5 mekanisme:
1. Complement-mediated lysis
Antibody berikatan dengan tissue spesifik antigen atau antigen yang berikatan dengan
jaringan khusus

Sel dihancurkan oleh antibody dan complement

Antibody IgM dan IgG bereaksi dengan antigen present pada permukaan sel

Aktivasi complement cascade melalui classical pathway

Formasi membrane attack compleks (MAC) (C5-C9) merusak membrane

Sel lisis

2. Phagocytosis
Antibody berikatan dengan antigen pada sel

Aktivasi complement cascade

Terbentuk deposisi C3b pada permukaan sel

Reseptor pada makrofag mengenalinya dan mengikat opsonin pada permukaan sel (antibody
atau C3b)

Phagocytosis

3. Neutrophli-mediated damage
Soluble antigen masuk sirkulasi terlepas dari sel dalam tubuh atau dari agent infeksius

Antigen terdeposit pada permukaan jaringan dimana berikatan dengan antibody

menginisiasi complement cascade

Pelepasan C3a dan C5a (chemotaxis untuk meutrofil) dan deposisi complement componen
C3b

Neutrofil tertarik berikatan dengan jaringan lewat Fc Reseptor atau untuk C3b

Phagocytose the tissue

Karena jaringan terlalu besar, sehingga fagositosis tidak dapat diselesaikan secara sempurna,
oleh karena itu neutrophild melepaskan granulnya ke jaringan yang sehat

Damage the tissue

4. ADCC ( antibody-dependent cell mediated cytotoxicity)


Antibodi pada target sel derecognize oleh reseptor Fc pada NK sel yang melepas
substansi toxic yang menghancurkan sel target.

5. Antireceptor antibodies
Mekanisme ini tidak menghancurkan sel tetapi menyebabkannya malfungsi
Antibodi bereaksi dengan reseptornya pada permukaan sel target

Memodulasi fungsi reseptor dengan mencegah interaksi dengan normal ligand

Mengganti ligand

Inappropiate stimulating receptor or destroying receptor
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE III

Disebabkan oleh antigen-antibody (immune) compleks yang dibentuk dalam sirkulasi


dan terdeposit kemudian dalam dinding pembuluh darah atau extravascular tissue. Normalnya
antigenantibody compleks dibersihkandari sirkulasi oleh sistem fagosit atau beberapa sel
dalam RES, tetapi ketika complex yang dibentuk berlebihan dalam sirkulasi tidak dapat
dibersihkan, deposisi complex dalam jaringan atau vaskular endotel megakibatkan aktivasi
komplemen, anaphylatoxin (C3a,C5a) generation, chemotaxis PMN, fagositosis dan immune
complex mediated tissue injury.

Immune complex deposition



Complement activation

Generation of chemotactic factors for neutrophils

Neutrophils binds to antibody and C3b in complexes

Attempt to ingest the immune complexes (phagocytosis)

Unsuccessful because the complexes bound to large areas of tissue

Large quantities of lysosomal enzymes released (instead of phagilysosome)

Tissue damage

REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV

Disebut juga delayed type hypersensitivity (DTH), merupakan tipe hipersensitivitas yang
diperantarai oleh sel T yang berperan dalam imunitas seluler, dapat berupa CD4+ (umum)
atau CD8+ (jarang).
Kebanyakan DTH membentuk granulomatosis di jaringan target, maka sering disebut juga
hipersensitivitas granulomatosis. Secara garis besar, DTH terbagi menjadi 2 fase, yaitu :
1. Fase sensitasi,
terjadi pada pajanan pertama alergen dimana bakteri atau alergen seluler akan dikenali
APC dan berikatan dengan sel T naif yang kemudian sel T naif tersebut akan berproliferasi
dan berdiferensiasi menjadi sel TDTH yang akan terdeposisi di organ serta jaringan limfoid
dan pembuluh darah.
2. Fase efektor / elisitasi,
terjadi pada pajanan alergen yang ke-2 dan seterusnya, dimana sel TDTH yang sudah
terbentuk melalui proses sensitasi akan mengeluarkan sitokin seperti IFN-γ dan TNF-β
yang berfungsi dalam ekstravasasi monosit (24-48 jam) serta sel inflamasi lain terutama
neutrofil (dini-6 jam) serta aktivasi makrofag. Selain itu dihasilkan juga sitokin IL-3 dan
GM-CSF yang dapat menginduksi hematopoiesis lokal terutama untuk granulosit dan
monosit.
Makrofag yang teraktivasi pada fase efektor akan menghasilkan sitokin IL-12 dan IL-18 yang
berperan dalam meningkatkan atau mengaktivasi Th1, dimana Th1 ini akan menghasilkan
sitokin IFN-γ yang juga berfungsi dalam aktivasi makrofag, induksi inflamasi dan menekan
sel Th2.

Manifestasi klinis
1. Dermatitis Kontak
Melalui CD4+ terjadi raksi DTH, biasanya apabila terjadi kontak dengan bahan-bahan
seperti nikel, formaldehid, antihistamin topikal, anastesi topikal, steroid topikal, neomisin,
etilendinamide.
Gambar sensitivitas kontak

2. Hipersensitivitas tuberkulin
Terjadi juga melalui CD4+, dimana merupakan alergi bakterial spesifik tehadap produk
filtrat biakan M.tuberkulosis. pada tes PPD, ditemukan kemerahan dan indurasi di tempat
suntikan (12-24 jam) serta kulit bengkak (7-10 hari).
3. Reaksi Jones Mote
Antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil di bawah dermis (kutan),
merupakan reaksi lemah dan tampak beberapa hari setelah pajanan, namuntidak terjadi
nekrosis. Biasanya terjadi karena diinduksi oleh antigen larut sepeti olvalbumin dengan
ajuvan Freund.
4. T-cell mediated cytolisis
Terbatas pada beberapa organ, terbukti juga berperan dalam proses autoimun (self-
antigen) dan penyakit virus hepatitis, dimana virus hepatitis sendiri tidak merusak
hepatosit, namun reaksi dari CD8+ justru melisiskan atau menyerang hepatosit tersebut.
DERMATITIS

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh
faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa
efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan
gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa
(oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.

SINONIM
Sinonim dermatitis ialah ekzem. Ada yang membedakan antara dermatitis dan ekzem, tetapi
pada umumnya menganggap sama.
ETIOLOGI
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan kimia (contoh: detergen,
asam, basa, oli, semen), fisik (contoh: sinar, suhu), "mikro-organisme (bakteri, jamur);
dapat pula dari dalam (endogen), misalnya dermatitis atopik. Sebagian lain tidak
diketahui etiologinya yang pasti.
PATOGENESIS
Banyak dermatitis yang belum diketahui dengan pasti patogenesisnya, terutama yang
penyebabnya faktor endogen. Yang telah banyak dipelajari adalah tentang dermatitis kontak
(balk tipe alergik maupun iritan), dan dermatitis atopik.
GEJALA KLINIS
Pada umumnya penderita dermatitis mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada stadium
penyakit, batasnya sirkumskrip, dapat pula difus. Penyebarannya dapat setempat,
generalisata, clan universalis.
Pada stadium akut kelainan kulit berupa eritema, edema, vesikel atau bula, erosi dan
eksudasi, sehingga tampak basah (madidans). Stadium subakut, eritema clan edema
berkurang, eksudat mengering menjadi krusta. Sedang pada stadium kronis lesi tampak
kering, skuama, hiperpigmentasi, papul, clan likenifikasi, mungkin juga terdapat erosi atau
ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu berurutan, bisa saja suatu
dermatitis sejak awal memberi gambaran klinis berupa kelainan kulit stadium kronis.
Demikian pula jenis efloresensi tidak selalu harus polimorfik, mungkin hanya oligomorfik.
TATA NAMA (NOMENKLATUR) DAN KLASIFIKASI
Hingga kini belum ada kesepakatan internasional mengenai tatanama dan klasifikasi
dermatitis, tidak hanya karena penyebabnya yang multi faktor, tetapi juga karena seseorang
dapat menderita lebih dari satu jenis dermatitis pada waktu yang bersamaan atau bergantian.
Ada yang memberi nama berdasarkan etiologi (contoh: dermatitis kontak, radiodermatitis,
dermatitis medikamentosa), mortologi (contoh: dermatitis papulosa, dermatitis vesikulosa,
dermatitis madidans, dermatitis eksfoliativa), bentuk (contoh: dermatitis numularis),
lokalisasi (contoh: dermatitis tangan, dermatitis intertriginosa), dan ada pula yang ber-
dasarkan stadium penyakit (contoh: dermatitis akut, dermatitis kronis).
HISTOLOGI
Perubahan histologik dermatitis terjadi pada epidermis dan dermis, bergantung pada
stadiumnya.
Pada stadium akut kelainan di epidermis berupa spongiosis, vesikel atau bula, edema
intrasel, dan eksositosis terutama sel mononuklear. Dermis sembab, pembuluh darah
melebar, sebukan sel radang terutama sel mona nuklear, kadang eosinofil juga ditemukan,
bergantung pada penyebab dermatitis.
Perubahan histologik pada stadium subakut hampir seperti stadium akut, spongiosis,
jumlah vesikel berkurang, epidermis mulai menebal (akantosis ringan), tertutup krusta,
stratum komeum mengalami parakeratosis setempat; eksositosis berkurang; edema di dermis
berkurang, vasodilatasi masih jelas, sebukan sel radang masih jelas, fibroblas mulai
meningkat junilahnya.
Epidermis pada stadium kronis menebal (akantosis), stratum korneum menebal (hiper-
keratosis dan parakeratosis setempat), rete ridges memanjang, kadang ditemukan spongiosis
ringan, tidak lagi terlihat vesikel, eksositosis sedikit, pigmen melanin terutama di sel
basal bertambah. Papila dermis memanjang (papilomatosis), dinding pembuluh darah
menebal, dermis bagian atas terutama sekitar pembuluh darah bersebukan sel radang
mononuklear, jumlah fibroblas bertambah, kolagen menebal.
PENGOBATAN
Pengobatan yang tepat didasarkan kausa, yaitu menyingkirkan penyebabnya. Tetapi, seperti
diketahui penyebab dermatitis multi faktor, kadang juga tidak diketahui dengan pasti. Jadi
pengobatan bersifat simtomatis, yaitu dengan menghilangkan/mengurangi keluhan dan
gejala, clan menekan peradangan.
Sistemik
Pada kasus ringan dapat diberikan antihistamin. Pada kasus akut dan berat dapat
diberikan kortikosteroid.
Topikal
Prinsip umum terapi topikal sebagai berikut :
1. Dermatitis akut/basah (madidans) diobati secara basah (kompres terbuka), Bila subakut,
diberi losio (bedak kocok), krim,pasta, atau linimentum (pasta pendingin). Krim diberikan
pada daerah yang berambut, sedang pasta pada daerah yang tidak berambut. Bila
kronik diberi salap.
2. Makin berat atau akut penyakitnya, makin rendah persentase obat spesifik.

DERMATITIS KONTAK

DEFINISI

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel
pada kulit.

JENIS

Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan clan dermatitis kontak
alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis.

Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit
terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik
terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen.

DERMATITIS KONTAK ALERGIK (DKA)


EPIDEMIOLOGI

Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit, karena hanya
mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka (hipersensitif). Diramalkan bahwa
jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk
yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun informasi
mengenai prevalensi dan insidens DKA di masyarakat sangat sedikit, sehingga berapa
angka yang mendekati kebenaran belum didapat.

Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA 20%,
tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa dermatitis
kontak akibat kerja karena alergi ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50 dan 60
persen. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga
kali lebih sering daripada DKA akibat kerja.

ETIOLOGI
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (<
1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik,
sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel epidermis di
bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya,
potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan,
oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu,
misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan
epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari).

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respons imun yang
diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV, suatu
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan
fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat menderita DKA.
GEJALA KLINIS
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis clan
lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas
kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosi clan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak
mata, penis, skrotum, eritema clan edema lebih dominan daripada vesikel. Pada yang
kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi clan mungkin juga fisur, batasnya
tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin
penyebabnya juga campuran.
DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara autosensitisasi. Skalp, telapak
tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA.

Berbagai lokasi terjadinya DKA

Tangan. Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di tangan,
mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan untuk
melakukan pekerjaan sehari-hari. Penyakit kulit akibat kerja, sepertiga atau lebih
mengenai tangan. Tidak jarang ditemukan riwayat atopi pada penderita. Pada pekerjaan
yang basah (`wet work), misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pengatur rambut
di salon, angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi.
Etiologi dermatitis tangan sangat kompleks karena banyak sekali faktor yang berperan di
samping atopi. Contoh bahan yang dapat menimbulkan dermatitis tangan, misalnya
deterjen, antiseptik, getah sayuran, semen, clan pestisida.

Lengan. Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan (nikel),
sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di ketiak dapat disebabkan oleh
deodoran, antiperspiran, formaldehid yang ada di pakaian.

Wajah. Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik, spons
(karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kaca mata), semua
alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka, kelopak mata, dan leher
pada waktu menyeka keringat. Bila di bibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh
lipstik, pasta gigi, getah buahbuahan, Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat
kuku, cat rambut, maskara, eye shadow, obat tetes mata, salap mata.

Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak pada
telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut,' hearing-aids,
gagang telepon.

Leher. Penyebab kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari), parfum,
alergen di udara, zat warna pakaian.

Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna, kancing
logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.
Genitalia. Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut wanita,
alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Bila mengenai daerah
anal, rrwngkin disebabkan oleh obat antihemoroid.

Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet,
kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada kaki dapat
disebabkan oleh deterjen, bahan pembersih lantai.

Dermatitis kontak sistemik. Terjadi pada individu yang telah tersensitisasi secara topikal oleh
suatu alergen, selanjutnya terpajan secara sistemik, kemudian timbul reaksi terbatas pada
tempat tersebut. Walaupun jarang terjadi, reaksi dapat meluas bahkan sampai eritroderma.
Penyebabnya, misalnya nikel, formaldehid, balsam Peru,

DIAGNOSIS
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat clan pemeriksaan klinis yang teliti.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang ditemukan.
Misalnya, ada kelainan kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah
penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat clad logam
(nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat
topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang
bersangkutan maupun keluarganya.

Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan melihat lokasi clan pola kelainan kulit
sering kali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, di ketiak oleh
deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal.
Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk
melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.

DIAGNOSIS BANDING
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas, dapat
rnenyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis.
Diagnosis banding yang terutama ialah dengan DKI. Dalam keadaan ini pemeriksan uji
tempel perfu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak
alergi.
UJI TEMPEL (PATCH TEST)
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel
diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik, misalnya Finn Chamber
System Kit clan TRUE Test, keduanya buatan Amerika Serikat. Terdapat juga antigen standar
bikinan pabrik di Eropa clan negara lain. Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan
standar, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal
dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian bahan ini yang
bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau walaupun jarang dapat memberikan efek toksik
secara sitemik. Oleh karena itu, bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan
bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang
tidak diketahui.

Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila
dipakai untuk uji tempel, dapat langsung digunakan apa adanya (as is). Bila menggunakan
bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi,
harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau
dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan,
misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian,
sepatu,' atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan
dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak
dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di Wit dengan memakai Finn chamber,
dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen
bukan standar perlu kontrol ( 5 sampai 10 orang), untuk menyingkirkan kemungkinan karena
iritasi.

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel :

1. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau berat dapat
terjadi reaksi 'angry back' atau 'excited skin', reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya makin memburuk.
2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid sistemik
dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian
prednison kurang dari 20 mg/had atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain), sebab dapat
menghasilkan reaksi negatif palsu. Pemberian kortikosteroid topikal di punggung
dihentikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum tes dilaksanakan. Luka bakar sinar
matahari (sun burn) yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat memberi hasil
negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga
karena urtikaria kontak.

3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua dilakukan pada
hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.

4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi longgar
(tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga
dilarang mandi sekurangkurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu
kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.

5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang mempunyai
riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate uticarial type), karena dapat menimbulkan
urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam ini dilakukan tes
dengan prosedur khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan pertama dilaku-
kan 15 - 30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang
atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut:
1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan: hanya makula eritematosa (?) 5 = iritasi: seperti terbakar,
pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah aplikasi, biasanya 72 atau
96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan
antara respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respons
positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu
perlu dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu
setelah aplikasi.

Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi dilakukan setelah
pembacaan kedua. Respons alergik biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu
dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo),
sedangkan respons iritan cenderung menurun (reaksi tipe decrescendo). Bila ditemukan
respon positif terhadap suatu alergen, perlu ditentukan relevansinya dengan keadaan
klinik, riwayat penyakit, dan sumber antigen di lingkungan penderita. Mungkin respon
positif tersebut berhubungan dengan penyakit yang sekarang atau penyakit masa lalu
yang pernah dialami, atau mungkin tidak ada hubungannya (tidak diketahui). Reaksi
positif klasik terdiri atas eritema, edem, dan vesikel-vesikel kecil yang letaknya
berdekatan.

Reaksi positif palsu dapat terjadi antara lain bila konsentrasi terlalu tinggi, atau bahan
tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup (oklusi), efek pinggir uji tempel,
umumnya karena iritasi, bagian tepi menunjukkan reaksi lebih kuat, sedang dibagian
tengahnya reaksi ringan atau sama sekali tidak ada. IN disebabkan karena
meningkatnya konsentrasi iritasi cairan di bagian pinggir. Sebab lain oleh karena efek
tekan, terjadi bila menggunakan bahan padat.

Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya konsentrasi terlalu rendah, vehikulum tidak
tepat, bahan uji tempel tidak melekat dengan baik, atau longgar akibat pergerakan, kurang
cukup waktu penghentian pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal poten yang lama
dipakai pada area uji tempel dilakukan.

PENGOBATAN
 Pencegahan exposure lebih lanjut terhadap allergen
 Jika penyakitnya telah merespon secara sistemik harus segera diberikan corticosteroid
 Pada area luka yang masih kecil dan terlokalisasi diberikan topical steroid cream
 Pada lesi akut dapat diberikan cream dingin yang mengandung Burrow’s solution
(aluminum acetat)
 Chronic Lichenified dermatitis dibutuhkan potent fluorinated steroid ointment dengan
occlusive dressing
 Extensive area of involvement or severe bullous lesions harus ditreatment dengan
brief oral brust pada high-dose prednisone atau dengan intramuscular triamcinolone
atau methylprednisolone
 Antibiotik diindikasikan untuk secondary infections
 Antihistamin secara umum tidak efektif untuk mengontrol pruritus

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya pencegahan
terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit
yang timbul. Kortikosteroid dapat -diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi
peradangan pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta
eksudatif (madidans), misalnya prednison 30 mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan
mereda setelah beberapa had. Sedangkan kelainan kulitnya cukup dikompres dengan
larutan garam faal atau larutan air salisil 1:1000.

Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan
kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid atau makrolaktam (pimecrolimus
atau tacrolimus) secara topikal.

Deksametason
- Lebih kurang 6x lebih kuat dari kortisol.
- Menekan adrenal relatif kuat, maka resiko insufisiensi juga agak besar.
- Sering digunakan untuk menentukan hiperfungsi adrenal.
- Secara topical digunakan sebagai tetes mata/telinga (fosfat 0,1%), juga
dikombinasikan dengan antibiotika (Sofradex). Perbandingan efeknya : 0,65 mg
deksametason = 20 mg hidrokortison.
- Dosis : oral semula 0,5-9 mg sehari sesudah makan pagi, pemeliharaan 0,5-1 mg
sehari.
Pada shock i.v. 100-300 mg larutan Na-fosfat.
- Termasuk dalam golongan kortikosteroid dengan masa kerja lama yaitu waktu
paruhnya sekitar > 36 jam.

PROGNOSIS

 Pasien diharapkan sembuh pada case acute contact dermatitis jika allergen telah
diketahui dan dihindari
 Pemaparan allergen yang sama dapat menyebabkan reccurrence
 Chromate allergy cenderung menjadi kronis
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis
kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh faktor
endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau terpajan oleh alergen
yang tidak mungkin dihindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang
terdapat di lingkungan penderita.

DERMATITIS KONTAK IRITAN (DKI)


EPIDEMIOLOGI
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras,
dan jenis kelamin.
Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak, terutama yang berhubungan dengan pe-
kerjaan (DKI akibat kerja), namun angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini
disebabkan

antara lain oleh banyak penderita dengan kelainan ringan tidak datang tierobat, atau
bahkan tidak mengeluh.

ETIOLOGI
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan
pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang
terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan
vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu: lama kontak,
kekerapan (terus menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih
pemeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga
ikut berperan.
Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan ketebalan kulit di
berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak di bawah 8 tahun dan
usia lanjut lebih mudah teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih); jenis
kelamin (insidens DKI lebih banyak pada wanita); penyakit kulit yang pernah atau sedang
dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik.
PATOGENESIS
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui
kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya Rat air kulit.
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak (lipid membrane) keratinosit,
tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau
komponen inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam
arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet activating factor = PAF), dan inositida
(IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT
menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga
mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai
kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mas melepaskan
histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskular.
DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein,
misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocytemacrophage colony stimulatunf factor
(GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-penolong mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi
reseptor IL-2, yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel-1 (ICAM-1).
Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFa, suatu sitokin proinflamasi
yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul
adesi sel dan pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya
kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah
akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan
stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan
fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.

GEJALA KLINIS
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan. Iritan kuat
memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga banyak
faktor yang mempengaruhi sebagaimana yang telah disebutkan, yaitu faktor individu
(misalnya, ras, usia, lokasi, atopi, penyakit kulit lain), faktor lingkungan (misalnya, suhu
dan kelembaban udara, oklusi).
Berdasarkan penyebab dan pengaruh fator-faktor tersebut ada yang mengklasifikasi DKI
menjadi sepuluh macam, yaitu: DKI akut, lambat akut (acute delayed ICD ), reaksi iritan,
kumulatif, traumateratif, eksikasi ekzematik, pustular dan akneformis, noneritematosa,
dan subyektif. Ada pula yang membaginya menjadi dua kategori yaitu kategori mayor
terdiri atas DKI akut termasuk luka bakar kimiawi, dan DKI kumulatif. Kategori lain terdiri
atas : DKI lambat akut, reaksi iritasi, DKI traumatik, DKI eritematosa, dan DKI
subyektif.
DKI akut

Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan akut.
Penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat clan asam hidroklorid
atau basa kuat, misalnya natrium clan kaliurn hidroksida. Biasanya terjadi karena
kecelakaan, dan reaksi segera timbul. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan
lamanya kontak dengan iritan, terbatas pada tempat kontak Kulit terasa pedih, panas, rasa
terbakar, kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir
kelainan kulit berbatas tegas, clan pada umumnya asimetris.
DKI akut lambat
Gambaran klinis clan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru muncul 8 sampai 24 jam
atau lebih setelah kontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI akut lambat,
misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida, benzalkonium klorida, asam
hidrofluorat. Contohnya ialah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang
pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih esok harinya, pada
awalnya terlihat eritema clan sore harinya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
DKI kumulatif
Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi; nama lain ialah DKI kronis.
Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (Faktor fisis, misalnya
gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin; juga bahan, misalnya
deterjen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air) (lihat gambar). DKI kumulatif mungkin
terjadi karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup
kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru mampu bila bergabung dengan faktor lain.
Kelainan baru nyata setelah kontak bermingguminggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-
tahun kemudian, sehingga waktu clan rentetan kontak merupakan faktor penting. Gejala
klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis) dan
likenifikasi, difus. Bila kontak terus berlang-sung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris
(fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan
deterjen. Keluhan penderita umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisur). Ada
kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan
oleh penderita. Setelah dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian.
DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak ditemu-
kan di tangan dibandingkan dengan di bagian lain tubuh. Contoh pekerjaan yang berisiko
tinggi untuk DKI kumulatif yaitu: tukang cuci, kuli bangunan, montir di bengkel, juru
masak, tukang kebun, penata rambut.
Reaksi iritan
Reaksi iritan merupakan dermatitis iritan subklinis pada seseorang yang terpajan dengan
pekerjaan basah, misalnya penata rambut clan pekerja logam dalam beberapa bulan
pertama pelatihan. Kelainan kulit monomorf dapat berupa skuama, eritema, vesikel,
pustul, dan erosi. Umumnya dapat sembuh sendiri, menimbulkan penebalan kulit (skin
hardening), kadang dapat berlanjut menjadi DKI kumulatif.
DKI traumatik
Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi. Gejala seperti
dermatitis numularis, penyembuhan lambat, paling cepat 6 minggu. Paling sering tedadi di
tangan.
DKI noneritematosa
DKI noneritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai perubahan fungsi sawar
stratum korneum tanpa disertai kelainan klinis.
DKI subyektif
Juga disebut DKI sensori; kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita merasa seperti
tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah kontak dengan bahan kimia tertentu,
misalnya asam laktat.
HISTOPATOLOGIK

Gambaran histopatologik dermatitis kontak iritan tidak karakterisrik. Pada DKI akut (oleh
iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuclear di sekitar
pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis clan edema
intrasel, dan akhirnya terjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat kerusakan epidermis
dapat menimbulkan vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit dan
neutrofil.

DIAGNOSIS
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat clan pengamatan gambaran klinis. DKI
akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada
umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, DKI kronis
timbulnya lambat serta mempunyai varisai gambaran klinis yang luas, sehingga
adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergik. Untuk ini diperlukan uji
tempel dengan bahan yang dicurigai.

PENGOBATAN
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, balk
yang bersifat mekanik, fisis maupun kimiawi, serta menyingkirkan faktor yang
memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi,
maka DKI tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin
cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal,
misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan
kortikosteroid yang lebih kuat.
Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan
iritan, sebagai salah satu upaya pencegahan.

PROGNOSIS
Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna,
maka prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang
penyebartya multi faktor, juga pada penderita atopi.

ADRENOCORTICOSTEROID

Steroid-steroid hormon dapat diklasifikasikan menjadi: steroid yang memiliki efek penting
dalam metabolisme perantara (glucocorticoid), steroid yang mempunyai aktivitas utama pada
retensi garam (mineralocorticoid), dan steroid yang memiliki aktivitas androgenik atau
esterogenik.

Glucocorticoid Alami; Cortisol (Hydrocortisone)


 Cortisol memiliki beragam efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme perantara,
fungsi kardiovascular, pertumbuhan, dan imunitas.
 Cortisol disintesis dari cholesterol
 Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg cortisol setiap hari, tanpa adanya
stress
 Pada plasma, cortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Corticosteroid-binding
globulin (CBG) suatau globulin-α2 yang disintesis oleh hati mengikat 90% hormon
dalam sirkulasi pada kondisi normal. Sedangkan 5-10% bersifat bebas atau terikat
lemah pada albumin 5% dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target.
 Waktu paruh cortisol dalam sirkulasi, normalnya 60-90 menit; waktu paruh dapat
meningkat apabila hydrocortisone diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat
terjadi stress, hipotiroidisme, atau penyakit hati.
 Hanya 1% cortisol diekskresi tanpa perubahan di urine sebagai cortisol bebas; sekitar
20% cortisol diubah menjadi cortisone.
 Glucocorticoid mempunyai banyak efek, seperti efek metabolik, katabolik dan
antiinflamasi dan imunosupresif
 Efek-efek Antiinflamasi dan Imunosupresif: Glucocorticoid dapat mengurangi
manifestasi inflamasi. Hal tersebut disebabkan oleh efeknya yang besar terhadap
konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer: dan juga disebabkan oleh efek
supresifnya terhadap cytokyne dan chemokine inflamasi dan serta mediator inflamasi
lipid dan glukolipid lainnya. Glucocorticoid juga menghambat fungsi makrofag
jaringan dan sel penyebab antigen lainnya. Glucocortycoid mempengaruhi reaksi
inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin, leukotrien dan platelet-
activating factor yang dihasilkan dari aktivasi phospholipase A2. Glucocorticoid dapat
menyebabkan vasokonstriksi apabila digunakan langsung pada kulit, yang diduga
terjadi dengan menekan degranulasi sel mast. Glucocorticoid juga menurunkan
permeabilitas kapiler dengan menurunkan jumlah histamine yang dirilis oleh basofil
dan sel mast.

Corticosteroid Sintesis
Glucocorticoid dan, pada tingkatan yang lebih kecil, ACTH telah menjadi agen penting yang
digunakan dalam pengobatan berbagai inflamasi, alergi, hematologi, dan lain-lain.
Beberapa corticosteroid dan sintesis yang banyak digunakan:
Glucocorticoid kerja singkat hingga sedang
Hydrocortisone(cortisol)
Cortisone
Prednisone
Prednisolone
Methylprednisolone
Medprednisone
Glucocorticoid kerja menengah
Triamcinolone
Paramethasone
Fluprednisolone
Glucocorticoid kerja lama
Betamethasone
Dexamethasone
Minerolcorticoid
Fludrocortisone
Desoxycortisone acetate

Beberapa indikasi terapeutik untuk penggunaan glucocorticoid pada kelainan


nonadrenal
Gangguan Contoh-contoh
Reaksi-reaksi Alergi Edema angioneurotik, asma, sengatan lebah, dermatitis
kontak, reaksi-reaksi obat, rinitis alergika, serum sickness,
urtikaria
Gangguan kolagen- Arteritis sel raksasa (giant), eritematous lupus, sindroma
vascular jar.ikat campuran, polimiositis, reumatika polimialgia,
artritis reumatoid, arteritis temporal
Penyakit mata Uveitis akut, konjungtivitis alergika, koroiditis, neuritis
otika
Penyakit gastrointestinal Penyakit usus besar inflamatorik, sprue nontropis, nekrosis
hati subakut
Gangguan nhematologis Anemia hemolitik didapat, purpura alergika akut,
leukemia, anemia hemolitik autoimun, purpura
trombositopenik idiopatik, mieloma multiple
Infeksi-infeksi Sepsikemia gram-negative; terkadang bermanfaat untuk
menekan inflamasi yang berlebihan
Kondis-kondis inflamasi Artritis, bursitis, tenosinovitis
tulang dan sendi
Gangguan neurologis Edema serebri, sklertosis multiple
Transplantasi organ Pencegahan dan pengobatan penolakan (imunosupresi)
Penyakit paru Pneumonia aspirasi, asma bronkhia; pencegahan sindroma
susah nafas pada bayi, sarkoidosis
Gangguan ginjal Sindroma nefrotik
Penyakit kulit Dermatitis atopik, dermatosis, lichen simplex chronicus,
mikosis fungoides, penfigus, dermatitis seboroik, xerosis
Penyakit tiroid Eksoftalmus maligna, tiroiditis subakut

Kontraindikasi dan peringatan


 Pencegahan khusus: Pasien yang mendapat obat-obatan tersebut harus dipantau
dengan cermat untuk mengetahui terjadinya hiperglikemia, glikosuria retensi natrium
dengan edema atau hipertensi hipoglikemia, ulkus peptikum osteoporosis, dan infeksi
yang tersembunyi
 Kontraindikasi: Obat-obatan tersebut harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan ulkus peptikum, sakit jantung atau hipertensi dengan gagal jantung kongestif,
infeksi, psikosis, diabetes, osteoporosis, glaukoma, atau infeksi herpes simplek.

ANTIHISTAMIN

 1937-1971 : beratus-ratus antihistamin ditemukan dengan efek yang sama, tapi tidak
menghambat sekresi asam lambung. Contoh : antergen, neoantergen, difenhidramin, dan
tripelenamin untuk mengobati udem, eritema, pruritus. Biasa disebut Antihistamin
Inhibitor 1 (AH1).
 >1972 : antihistamin baru ditemukan dengan efek menghambat sekresi asam
lambung, biasa disebut Antihistamin Inhibitor 2 (AH2).

Antagonis Reseptor H1
 Struktur Kimia :

Dengan Ar = aril dan X dapat diganti dengan N, C, atau –C-O-. Pada struktur AH1
ini terdapat gugus etilamin yang juga ditemukan pada rumus bangun histamin.

 Farmakologi
1. Antagonisme terhadap histamin, terutama pada pembuluh darah dan otot polos
khususnya bronkus.
1) Otot polos : menghambat kontriksi otot polos terutama di bronkus, tetapi tidak
bersifat bronkodilator.
2) Pembuluh darah : menurunkan permeabilitas kapiler dan udem.
3) Reaksi anafilaksis dan alergi : menghambat hipersensitifitas yang bergantung pada
gejala yang ditimbulkan.
4) Kelenjar eksokrin : menghambat sekresi kelenjar eksokrin seperti saliva dan
kelenjar eksokrin lainnya kecuali lambung.
5) Sistem saraf pusat : memiliki efek perangsangan berupa insomnia dan gelisah atau
efek menghambat berupa mengantuk, kewaspadaan menurun, dan rekasi lambat.
Tetapi terdapat AH nonsedatif yang tidak menembus sawar darah otak sehingga
tidak menimbulkan ganggua SSP, yaitu loratadin, akrivastrin, terfenadin, dll.
6) Anastesi lokal, tetapi dosis harus ditinggikan beberapa kali. Contoh : prometazin
dan pirilamin.
7) Antikolinergik : mulut kering, sulit BAK, dan impotensi.

2. Farmakokinetik
- Secara oral, parenteral, topikal, IM, IV, atau subkutan.
- Efek muncul 15-30 menit dengan waktu maksimal 1-2 jam setelah pemberian
obat.
- Lama kerja 4-6 jam atau dapat 8-12 jam (klorsiklizin)
- Dieliminasi dalam waktu 4 jam.
- Di metabolisme di hati, paru-paru, dan ginjal.
3. Efek samping
- Paling sering berupa mengantuk terutama antihistamin generasi 1 atau non
sedatif.
- SSP : vertigo, tinitus, lelah, inkoordinasi, insomnia, dan tremor.
- GI : nafsu makan menurun, mual, muntah, konstipasi, dan diare.
- Mungkin ditimbulkan mulut kering, sulit BAK, palpitasi, hipotensi, sakit
kepala, dan lemah.
4. Perhatian : berikan perhatian pada supir, pekerja, atau orang-orang beraktivitas tinggi
karena menimbulkan efek sedatif (untuk AH sedatif), serta beri perhatian pada orang-
orang yang mengkonsumsi alkohol dan obat penenang.
5. Indikasi : alergi
6. Untuk kasus anafilaksis, diberikan epinefrin untuk pilihan obat utama. Setelah gejala
membaik, berikan obat tambahan berupa AH1. Epinefrin diberikan terlebih dahulu
dikarenakan memiliki efektifitas dan kecepatan lebih baik dari AH1, serta epinefrin
merupakan antihistamin fisiologik tubuh.
 Penggolongan obat :

Ket : Generasi 2 berada pada golongan AH nonsedatif.


PP Cetirizine hydrochloride

 Indikasi : kondisi alergi


 Administrasi : Oral
 Dosis : Dewasa : 10mg 1dd atau 5mg bid., anak-anak 6 bulan-2 tahun :
2,5mg 1dd (max 2,5mg unutk anak diatas 12 bulan), 2-5 tahun : 5 mg 1dd, pada orang
dengan gangguan ginjal dan hati gunakan setengah dosis dari biasanya.
 Kontraindikasi : hipersensitif, laktasi
 Perhatian khusus : gangguan hati dan ginjal, pasien dengan pekerjaan yang
membutuhkan kewaspadaan (supir atau masinis), ibu hamil.
 Efek samping : somnolence, insomnia, malaise, sakit kepala, pusing, gangguan GI,
mulut kering, sakit abdominal, diare, mual, muntah, kadang hipersensitifitas, epistaxis,
faringitis, bronkospasme.
 Interaksi obat : dengan warfarin meningkatkan INR dan epistaksis, serta menekan
SSP jika bereaksi dengan obat depresan dan antikolonergik.
 MOA : bekerja secara antagonis pada reseptor histamin 1 pada saluran GI,
pembuluh darah, dan saluran pernafasan. Absorpsi cepat secara oral tapi berubah jika
disertai makanan. Distribusi dapat memasuki air susu di payudara, melewati BBB, dan
berikat kuat dengan protein. Ekskresi melalui urin.

PP Loratadin

 Indikasi : rhinitis alergi, rasa gatal dan terbakar di mata, tanda dan gejala urtikaria
kronis, dan penyakit alergi dermatologi.
 Dosis : Dewasa dan anak-anak >12 tahun : 1 tab/1tsp 1dd
Anak-anak 2-12 tahun, BB > 30kg : 1 tab/2tsp 1dd
Anak-anak 2-12 tahun, BB < 30kg : ½ tab/1tsp 1dd
 Administrasi : dengan atau tanpa makanan secara oral
 Perhatian khusus : ibu hamil dan menyusui
 Efek samping : letih, sakit kepala, somnolence, mulut kering, gangguan GI
Antagonis Reseptor H2
Obat Farmakodinamik Farmakokinetik Efek Samping Sediaan
Simetidin, Menghambat Absorpsi simetidin Nyeri kepala, Oral : tab
Ranitidin sekresi asam diperlambat oleh pusing, malaise, 150/300mg,
lambung, makanan, mialgia, mual, sirup 15mg/ml
mengurangi bioavalaibilitas diare, konstipasi, Parenteral :
volume sekresi ora 70% untk pruritus, impoten 0,5;25mg/ml
lambung, dan simetidin dan 50% atau disfungsi untuk suntik
konsentrasi pepsin. untuk ranitidin. seksual, dan
ginekomastia.
Famotidin 3 kali lebih poten Bioavalaibilitas Ringan atau Oral : Tab 20,
dari ranitidin, 20 40-50% jarang. 40 mg bubuk
kali lebih poten Indikasi : tukak Sakit kepala, untuk suspensi
dari simetidin. duodenum, tukak pusing, 40mg/5ml
lambung, tukak konstipasi. Dosis oral : 20-
stres, sindrom 40mg oral,
zollinger-ellison 20mg/12 jam IV
Nizatidin Kurang lebih sama Bioavalaibilitas Jarang Oral : tab 150,
dengan ranitidin. oral >90%, tidak Ringan pada 300mg
dipengaruhi saluran Dosis dewasa
makanan. pencernaan 300mg 1dd,
150mg 2dd
REFERENCE

1. Junquira LC, Carneiro J, Kelley RO.1997. Histologi Dasar edisi ke-8.


2. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Guyton & Hall Edisi 9.
3. Tortora GJ, Garbowski SR. 2003. Principles of Anatomy & Physiology 10th ed. New
Jersey. John Wiley & Sons, Inc.
4. Robbins and Cottran Pathologic Basis of Disease, 7th edition.
5. McCance and Huether Pathophysiology the Biologic Basis for Diseases in Children and
Adult, 5th edition.
6. Parslow TG, Stites DP, Terr AI, Imboden JB. Medical Immunology. 10th Edition. Mc
Graw-Hill Co, Appleton & Lange. 2003.
7. Roitt I, Brostoff J, Male D (eds). Immunology, 6th Edition. London, Mosby Company.
2006.
8. Freedberg EM, Eissen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, Fitzpatrick TB.
1999. Dermatology in General Medicine, 5th ed. New York. Mc Graw Hill.
9. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin FKUI Edisi Kelima Tahun 2007
10. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Edisi keenam, cetakan ke 1:2007.
11. Bickley, Lynn S. Bates’ Guide to Physical Examination and History taking 9th Edition
2007 by Lippincott Williams & Wilkins.
12. Henry JB. Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 21th edition.
2001: WB Saunders Company.
13. Gorczynski, Reginald, Stanley, Jacqueline. Vademecum Clinical Immunology. 1999:
Austin USA. Landes Bioscience
14. Adelman. Manual of Allergy and Immunology: Diagnosis and Theraphy. March 15th.
2002: Lippincott William & Wilkin Publishers

Anda mungkin juga menyukai