Anda di halaman 1dari 22

HEMODIALISIS

A. Definisi
Hemodialisis yaitu suatu mesin ginjal buatan (alat hemodialisis) terutama
terdiri dari membran semipermeabel dengan darah disatu sisi dan cairan
dialisis di sisi lain. Ada dua tipe dasar alat dialisis yang dipergunakan
sekarang, yaitu alat dialisis lempeng paralel yang terdiri dari dua lapisan
Cuprophane yang dijepit oleh dua penyokong yang kaku untuk membentuk
suatu amplop. Dua amplop atau lebih diatur secara paralel. Darah mengalir
melalui lapisan-lapisan membran, dan cairan dialisis dapat mengalir dalam
darah yang sama seperti darah, atau dengan arah berlawanan. Alat yang lebih
sering digunakan adalah hollow fiber atau capillary dialyzer terdiri dari ribuan
serabut kapilet halus yang tersusun paralel. Setiap serabut mempunyai dinding
setebal 30 µm, dan diameter dalam sebesar 200 µm, dan panjangnya 21 cm
(Sebagai bahan perbandingan, sel darah merah mempunyai diameter 7 µm).
Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan cairan
dialisis membasahi bagian luarnya. Aliran cairan dialisis berlawanan dengan
arah aliran darah. Alat dialisis ini sangat kecil dan kompak karena memiliki
permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler. Luas permukaan
internal total dari semua serabut adalah sekitar 0,5 hingga 2,0 m2.
Suatu sistem dialisis terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi
untuk cairan dialisis. Bila sistem ini bekerja, darah mengalir dari penderita
melalui tabung plastik (Jalur arteri), melalui hollow fiber pada alat dialisis dan
kembali ke penderita melalui jalur vena. Cairan dialisis membentuk sirkuit
kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh
kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur,
sehingga terbentuk dialiast atau bak dialisis. Dialisat kemudian dimasukkan
kedalam dialisis, dan cairan akan mengalir diluar serabut berongga sebelum
keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi
disepanjang membran dialisis melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Komposisi cairan dialisis diatur sedemikian rupa sehingga mendekati
komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi untuk memperbaiki
gangguan cairan dan elektrolit yang menyerah gagal ginjal. Unsur-unsur yang
umum adalah Na+ , K2, Ca++, Mg++, Cl-, aseat, dan glukosa. Urea, kreatinin,
asam urat, dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah kedalam cairan
dialisis karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam cairan dialisis. Natrium
asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam cairan dialisis, akan berdifusi
kedalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis
penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh penderita menjadi
bikarbonat. Alasan menggunakan asetat dan bukan bikarbonat adalah untuk
menghindari masalah pengendapan kalsium bikarbonat bila kalsium dan
bikarbonat ditambahkan kedalam cairan dialisis yang sama.
Sirkuit darah dari sistem dialisis mula-mula dilengkapi dengan larutan
garam atau darah sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan
darah penderita mungkin cukup untuk meluncurkan darah melalui sirkuit
diluar tubuh, atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu
aliran (sekitar 200 sampai 400ml/menit merupakan kecepatan aliran yang
baik). Heparin secara terus menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus
lambat untuk mencegah pembekuan. Perangkap bekuan darah atau gelembung
udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali
kedalam aliran darah penderita. Untuk menjamin keamanan penderita, maka
hemodialisis modern dilengkapi dengan alat pemantau yang memiliki alarm
untuk berbagai parameter. Cairan dialisis pada suhu tubuh akan meningkatkan
kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan hemodialisis
sel-sel darah merah sehingga kemungkinan penderita akan meninggal.
Hemodialisis rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama
suatu pengobatan berkisar dari 3-5 jam, bergantung pada jenis sistem dialisis
yang digunakan dan keadaan penderita.
B. Akses Vaskular Hemodialisis
Hemodialisis intermiten jangka panjang, diperlukan jalan masuk ke sistem
vaskular penderita yang dapat diandalkan. Darah harus keluar dan masuk
tubuh penderita dengan kecepatan 200-400 ml/menit. Kotak 48-3 memuat
daftar teknik askes vaskular yang diklasifikasikan sebagai eksternal (biasanya
sementara) dan internal (permanen). Akses vaskular merupakan aspek yang
paling peka pada hemodialisis karena benyak komplikasi dan kegagalannya.
Oleh karena itu, banyak metode yang dikembangkan untuk mencapai jalan
masuk vaskular dalam beberapa tahun belakangan ini.

C. Akses Vaskular Eksternal (sementara)


Pirau arteriovenosa (AV) eksternal atau sistem kanula diciptakan dengan
menempatkan ujung kanula dari teflon dalam arteri (biasanya arteria radialis
atau tibialis posterior) dan sebuah vena yang berdekatan. Ujung-ujung kanula
kemudian dihubungkan dengan slang karet silikon dan suatu sambungan
teflon yang melengkapi pirau. Pada waktu dilakukan dialisis, maka slang pirau
eksternal dipisahkan dan dibuat hubungan dengan alat dialisis. Darah
kemudian mengalir dari jalur arteri, melalui alat dialisis dan kembali ke vena.
Kesulitan utama pirau eksternal ini adalah masa pemakaian yang pendek
akibat pembekuan dan infeksi (rata-rata 9 bulan). Akan tetepai kadang-kadang
pirau ini digunakan bila terapi dialitik diperlukan dalam jangka pendek seperti
pada dialisis karena keracunan atau kelebihan dosis obat, gagal ginjal akut dan
fase permulaan pengobatan dialitik untuk gagal ginjal kronik.
Kateter vena femoralis dan subklavia sering dipakai pada kasus-kasus
ginjal akut bila diperlukan akses vaskular sementara, atau bila teknik akses
vaskular lain tidak dapat berfungsi untuk sementara waktu seperti pada
penderita dialisis kronik. Terdapat dua tipe kateter dialisis femoralis. Kateter
Shaldon adalah kateter berlumen tunggal yang memerlukan akses kedua. Jika
digunakan dua kateter shaldon, maka dapat dipasang secara bilateral atau pada
vena yang sama dengan kateter untuk aliran keluar ditempatkan disebelah
distal dari kateter untuk aliran masuk. Tipe kateter femoralis yang lebih baru
memiliki lumen ganda, satu lumen untuk mengeluarkan darah menuju alat
dialisis dan satu lagi untuk mengembalikan darah ke tubuh penderita.
Komplikasi yang terjadi pada kateter vena femoralis adalah laserasi arteria
femoralis, perdarahan, trombosis, emboli, hematoma, dan infeksi.
Kateter vena subklavia semakin banyak dipakai sebagai alat akses
vuskular sementara karena pemasangannya mudah dan komplikasinya lebih
sedikit dibandingkan kateter vena femoralis. Kateter vena subklavia juga
mempunyai lumen ganda untuk aliran masuk dan keluar. Kateter vena
subklavia dapat digunakan sampai 4 minggu, tetapi kateter vena femoralis
biasanya dibuang setelah 1-2 hari setelah pemasangan.
Kateter yang dibiarkan pada tempatnya diantara waktu dialisis, diisi
dengan larutan salin-heparin untuk mencegah terjadinya bekuan. Jika kateter
diangkat pada akhir dialisis, harus diberikan tekanan pada tempat itu harus
diawasi selama beberapa jam sesudahnya untuk mendeteksi apakah terjadi
perdarahan kembali.
Komplikasi yang disebabkan oleh katerisasi vena subklavia serupa dengan
yang terdapat pada katerisasi vena femoralis, yang termasuk pneumotoraks,
robeknya subklavia, perdarahan, trombosis, embolus, hematoma, dan infeksi.

D. Akses Vaskular Internal (Permanen)


Fistula AV diperkenalkan oleh Cimino dan Brescia (1961) sebagai respons
terhadap banyaknya komplikasi yang ditimbulkan pirau AV. Fistula AV
dibuat melalui anastomisis arteri secara langsung ke vena (biasanya arteria
radialis dan vena sefalika pergelangan tangan) pada lengan yang tidak
dominan. Darah dipirau dai arteri ke vena, sehingga vena membesar
(“matang”) setelah beberapa minggu. Fungsi vena dengan jarum yang besar
menjadi mudah dilakukan dan mampu mencapai aliran darah pada tekanan
arterial. Hubungan dengan sistem dialisis dibuat dengan menempatkan satu
jarum di distal (garis arteri) dan sebuah jarum lain di proksimal (garis vena)
pada vena yang sudah diarterialisasi tersebut. Umur rata-rata fistula AV adalah
empat tahun dan komplikasinya lebih sedikit dibandingkan dengan pirau AV.
Masalah yang paling utama adalah rasa nyeri pada fungsi vena, terbentuknya
aneurisma, trombosis, kesulitan hemostatis pascadialisis, dan iskemia pada
tangan (steal syndrome).
Pada beberapa kasus, pembuatan fistula pada pembuluh darah pasien
sendiri tidak dimungkinkan akibat adanya penyakit, kerusakan akibat prosedur
sebelumnya, atau ukurannya kecil. Pada keadaan demikian, maka suatu tandur
AV dapat dianastomosiskan antara sebuah arteri dan vena (biasanya pada
lengan), dimana tandur ini bekerja sebagai saluran aliran darah dan tempat
penusukan jarum selama dialisis. Tandur akan membuat tonjolan dibawah
kulit dan nampaknya seperti vena yang menonjol. Tandur AV adalah sebuah
tabung prostetik yang dibuat dari bahan biologis (arteri karotis sapi, arteria tali
pusat manusia) atau bahan sintetik (Gore-Tex atau politetrafluoroetilen, materi
yang mirip Teflon). Suatu segmen Gore-Tex dapat juga dipakai untuk
menambal fistula AV yang telah mengalami stenosis atau terbentuk
aneurisma, dan iskemia tangan yang disebabkan oleh pirau darah melalui
prostesis dan jauh dari sirkulasi distal (stael syndrome).

E. Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisis pada penanganan
gagal ginjal akut dan kronik. Meskipun sudah dikenal selama 20 tahun
sebelum hemodialisis, dialisis peritoneal jarang dipakai untuk pengobatan
jangka panjang. Tetapi, berkat perkembangan teknik kedokteran akhir-akhir
ini, dialisis peritoneal makin sering dipakai sebagai alternatif hemodialisis
pada penanganan gagal ginjal kronik.
Dialisis peritoneal sangat mirip dengan hemodialisis, kecuali bahwa
peritoneum berfungsi sebagai membran semipermeabel. Akses ke rongga
peritoneal dicapai melalui perisentesis memakai trokar yang lurus dan kaku
untuk dialisis peritoneal yang akut dan lebih permanen; sedangkan untuk
dialisis peritoneal kronik dipakai kateter Tenchkoff yang lunak. Dialisis
peritoneal dilakukan dengan menginfuskan 1-2 L cairan dialisis kedalam
abdomen melalui kateter. Dialisat tetap berada dalam abdomen untuk waktu
yang berbeda-beda (waktu tinggal) dan kemudian dikeluarkan melalui gaya
gravitasi ke dalam wadah yang terletak dibawah pasien. Setelah drainase
selesai, dialisat yang baru dimasukkan dan siklus berjalan kembali.
Pembuangan zat terlarut dicapai melalui difusi, sementara ultrafiltrasi
(pembuangan air) dicapai melalui perbedaan tekanan hidrostatik seperti pada
hemodialisis. Glukosa ditambahkan pada dialisat untuk membuatnya sedikit
lebih hiperosmotik. Ultrafiltrasi dapat dipercepat dengan meningkatkan
konsentrasi glukosa sehingga akhirnya juga meningkatkan osmolalitas dialisat
(tersedia dialisat dengan kadar glukosa 1,5%, 2,5%, dan 4,5%).
Berikut adalah empat cara dialisis peritoneal yang kini banyak digunakan,
satu untuk dialisis akut dan tiga lainnya untuk dialisis kronik:
1. Manual intermittent peritoneal dialysis
2. Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD)
3. Continuous cycler-assited peritoneal dialysis (CCPD)
4. Automated intermittent peritoneal dialysis (IPD)
Sampai 15 tahun yang lalu manual intermittent peritoneal dialysis
merupakan metode yang paling sering digunakan. Sebuah kateter dipasang
pada rongga peritoneal melalui parasentesis. Pada orang dewasa, 2 L cairan
dialisis steril dibiarkan mengalir kedalam rongga peritoneal melalui kateter
selama 10-20 menit. Biasanya keseimbangan antara cairan dialisis dan
membran semipermeabel peritoneal yang banyak vaskularisasinya akan
tercapai setelah dibiarkan selama 30 menit. Cairan kemudian dibiarkan keluar
melalui daya gravitasi kedalam wadah steril dan tertutup. Siklus kemudian
diulang setelah 1-2 hari (satu siklus kira-kira berlangsung selama 1 jam).
Kelebihan utama dari metode manual adalah kesederhanaannya (tidak
membutuhkan tenaga yang sangat terampil maupun peralatan yang cangggih),
dan tidak membutuhkan akses vaskular. Kerugian dari metode ini adalah
perlunya banyak waktu perawatan, keterbatasan fisik selama prosedur
berjalan, dan risiko yang relatif cukup tingg untuk terjadinya peritonitis.
Tindakan ini kurang efisien dibandingkan dengan hemodialisis, membutuhkan
waktu kira-kira enam kali lebih banyak untuk mendapatkan hasil yang sama.
Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) adalah teknik dialisis
mandiri menggunakan 2 L dialisat penukar empat kali sehari, yang pertukaran
terakhirnya dilakukan pada jam tidur, sehingga cairan dibiarkan diam dalam
rongga peritoneal semalaman. Kantong kosong dan slang dibiarkan menempel
pada kateter dan disembunyikan dibalik pakaian selama 4 jam waktu tinggal.
Setelah itu, kantong diturunkan ke lantai sehingga dibiarkan terisi akibat
gravitasi. Keuntungan CAPD adalah keleluasan pasien ginjal stadium akhir
karena dapat dilakukan dimana saja; tidak terdapat kadar kimia darah yang
memuncak atau sangat menurun seperti halnya pada hemodialisis intermitten;
sederhana; mudah dipelajari; biayanya rendah (kira-kira separuh dari
hemodialisis). Kerugian utama dari CAPD adalah risiko peritonitis yang rata-
rata terjadi sekali dalam 40 minggu. Berbagai metode telah dikembangkan
untuk mengurangi risiko kontaminasi. Salah satunya adalah dengan
mempergunakan sinar ultraviolet untuk mensterilkan kateter dan saluran
keluar kantong dialisis. Kerugian lain dari CAPD adalah infeksi saluran
kateter, kehilangan cukup banyak protein, hiperkolesterolemia,
hipertrigliseridemia, obesitas (kelebihan kalori dari absorpsi glukosa), dan
hernia inguinalis dan abdominalis
Continuous cycler-assisted peritoneal dialysis (CCPD) adalah variasi dari
CAPD dengan suatu mesin siklus yang secara otomatis melakukan pertukaran
beberapa kali dalam semalam, dan satu siklus tambahan pada pagi harinya.
Disiang hari, dialisat tetap berada dalam abdomen sebagai salah satu siklus
panjang. Baik CAPD maupun CCPD mengharuskan abdomen yang terus
menerus terisi dialisat. CCPD mungkin lebih cocok pada beberapa pasien,
tetapi harus dilakukan dirumah ataupun dipusat dialisis, sedangkan CAPD
dapat dilakukan dimana saja.
Sebagai pilihan dari CAPD atau CCPD adalah automated intermittent
peritoneal dialysis yang memungkinkan “masa-masa kering” ketika abdomen
dalam keadaan kosong. Teknik ini biasanya dilakukan setiap malam dengan
bantuan peralatan otomatis (cycler-assisted) dan rongga peritoneal dibiarkan
kosong selama siang hari.
F. Cara-cara Baru Pembuangan Zat Terlarut
Jenis dan luas permukaan membran dialisis merupakan penentu penting
dalam ultrafiltrasi dan bersihan zat terlarut serta respons imunologik pasien.
Dialisis konvensional menggunakan membran dialisis beraliran lambat tetap
merupakan cara pengobatan primer untuk CRF. Membran dialisis tradisional
yang tersusun atas Cuprophan (Cupra-ammonium cellophane) atau selulosa
asetat memiliki pori-pori yang kecil (beraliran lambat). Membran ini memiliki
kemampuan ultrafiltrasi dan difusi yang rendah serta kurang biokompatibel.
Akibatnya, pengobatan dialisis kurang efisien, membutuhkan sekitar 12 jam
perminggu dan molekul-molekul yang besar (beberapa diantaranya mungkin
toksin uremik) tidak dibuang.
Beberapa metode digunakan terutama untuk pengobatan gagal ginjal akut
atau untuk membuang toksin dalam kasus keracunan akut.
Dialisis high flux, high efficiency (HFHE) menggunakan beberapa
membran sintetis yang lebih baru, seperti polisulfon, polimetilmetakrilat
(PMMA), atau poliakrilonitirl (PAN) yang tidak hanya lebih biokompatibel
dibandingkan dengan membran yang berasal dari selulosa, tetapi juga lebih
permeabel terhadap zat terlarut dan air. Ginjal buatan yang terbuat dari bahan-
bahan ini (HFHE) telah digunakan untuk memperpendek waktu dialisis; alat
ini juga memperkuat bersihan molekul-molekul yang kecil (misal, urea),
molekul-molekul sedang, dan mempercepat pembuangan cairan dihilangkan
dengan dialisis konvensional. Membran HFHE digunakan sehubungan dengan
lebih tepatnya (dibandingkan dengan alat tradisional) aliran masuknya darah
dan keluarnya darah dari alat dialisis (500 hingga 800ml/menit) dan untuk
aliran dialisat yang cepat (800 ml/menit). Alat dialisis HFHE mahal harganya
dan tidak setiap unit memiliki kemampuan melakukan jenis dialisis ini
sehingga metode ini tidak rutin dilakukan.
Hemofiltrasi (HF), atau hemofiltrasi arteriovenosa kontinu (CAVH)
merupakan bentuk lain dari terapi ekstrakorporeal (diluar tubuh) yang dapat
digunakan dibangsal dalam ruang perawatan intensif untuk mengobati gagal
ginjal akut. Teknik HF berdasarkan pada prinsip konveksi dan bukan difusi
serta lebih analog dengan fungsi glomerulus dibandingkan dengan
hemodialisis konvensional. HF tidak menggunakan cairan dialisat; hemofilter
memiliki jalan masuk dan jalan keluar darah dan jalan masuk tunggu untuk
kompartemen ultrafiltrat. Tidak terdapat perbedaan konsentrasi pada konveksi
sehingga hanya terjadi filtrasi cairan, dan elektrolit dibatasi sejalan dengan
ditariknya dan dibuang dari cairan. Membran beraliran cepat (pori-pori besar)
digunakan dalam hemofiller. Hasilnya adalah ultrafiltrasi yang mengandung
zat terlarut yang tidak diinginkan dan ditolak.
Hemodiafiltrasi, atau hemodiafiltrasi arteriovenosa kontinu (CAVHD)
memiliki banyak gambaran CAVH, tetapi mencakup keuntungan perbedaan
konsentrasi untuk mempermudah pembuangan urea yang lebih cepat karena
digunakan dialisat menggunakan prosedur ini. Oleh karena itu, HDF
merupakan kombinasi hemofiltrasi (pembuangan zat terlarut dan cairan
melalui konveksi) dan hemodialisis (pembuangan zat terlarut melalui difusi).
Keuntungan utama HF dan HFD adalah tidak menyebabkan perpindahan
cairan yang cepat, tidak membutuhkan mesin dialisis atau ahli pelaksana
dialisis untuk menjalankan prosedur ini, dan dapat dilakukan secara cepat di
unit perawatan intensif. Hemoperfusi (HP) digunakan untuk pembuangan
racun atau zat berbahaya dari darah. Pada HP, darah dipompa melalui suatu
alat (cartridge) mengandung arang aktif yang lapisi dengan zat biokompatibel
dan kemudian dikembalikan ke pasien. Arang mengikat sebagian besar obat
dan racun. HP terutama digunakan untuk mengobati keracunan akut. (Wilson,
2003)

G. Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Hemodialisis


Hemodialisis berasal dari kata hemo=darah, dan dialisis=pemisahan atau
filtrasi. Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialisis yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut
ataupun secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut.
Terapi ini dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin yang dilengkapi
dengan membran penyaring semipermeabel (ginjal buatan). Hemodialisis
dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera dikeluarkan untuk
mencegah kerusakan permanen atau menyebabkan kematian. Tujuan dari
hemodialisis adalah untuk memindahkan produk-produk limbah yang
terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan kedalam mesin dialisis.
Pada klien GGK, tindakan hemodialisis dapat menurunkan risiko
kerusakan organ-organ vital lainnya akibat akumulasi zat toksik dalam
sirkulasi, tetapi tindakan hemodialisis tidak menyembuhkan atau
mengembalikan fungsi ginjal secara permanen. Klien GGK biasanya harus
menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya (biasanya tiga kali seminggu
selama paling sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi) atau sampai mendapat ginjal
baru melalui transplantasi ginjal.
Indikasi dilakukan hemodialisis: Hemodialisis dilakukan jika gagal ginjal
menyebabkan beberapa kondisi, seperti ensefalopati uremik, perikarditis,
asidosis yang tidak memberikan respons terhadap pengobatan lainnya, gagal
jantung dan hiperkalemia.
Prinsip hemodialisis: Seperti pada ginjal, ada tiga prinsip yang mendasari
kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmisis, dan ultrafiltrasi.
1. Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan
kadar di dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat.
2. Proses osmosisi adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi
yaitu perbedaan hidrostatik didalam darah dan dialisat.
Luas permukaan membran dan daya saring membran memengaruhi jumlah
zat dan air yang berpindah. Pada saat dialisis, pasien , dialiser, dan rendaman
dialisat memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi berbagai
komplikasi yang dapat terjadi (hipotensi, kram, muntah), pembesaran darah,
kontaminasi, dan komplikasi terbentuknya pirau atau fistula.
Perawat dalam unit dialisis memiliki peranan yang penting dalam
memantau, serta memberikan dukungan kepada klien dan untuk
melaksanakan program pengkajian dan pendidikan pasien yang berkelanjutan.
Untuk memudahkan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
pasien dengan hemodialisis yang komprehensif, berikut adalah pedoman
dalam melakukan pengkajian keperawatan praprosedur hemodialisis.
Intervensi Rasional/Implikasi Klinik
Pengkajian Anamnesis
Kaji identitas klien Memudahkan kelengkapan asuhan
Kaji adanya program dokter tentang Sebagai peran kolaboratif untuk
pelaksanaan hemodialisis melaksanakan intervensi
keperawatan yang sesuai dengan
program dokter.
Kaji kondisi psikologis, mekanisme Mekanisme koping meladaptif
koping dan adanya kecemasan terutama kali divonis untuk cuci
praprosedur darah dapat memengaruhi
pelaksanaan. Peran perawat sangat
penting untuk membantu pasien
dalam mencari mekanisme koping
yang positif. Prosedur kecemasan
merupakan hal yang paling sering
dialami pasien yang pertama kali
dilakukan hemodialisis. Peran
perawat memberikan dukungan
dan penjelasan yang ringkas dan
mudah dimengerti agar bisa
menurunkan kecemasan pasien.
Kaji pengetahuan pasien tentang Untuk menentukan tingkat
prosedur hemodialisis kooperatif dan sebagai materi
dasar untuk memberikan
penjelasan prosedur hemodialisis
sesuai dengan tingkat
pengetahuannya.
Beri penjelasan prosedur Hemodialisis dapat menimbulkan
pemasangan dan lakukan komplikasi. Klien perlu diberi
penandatanganan informed consent penjelasan dan menyatakan
persetujuannya melalui surat
persetujuannya melalui surat
persetujuan tindakan.
Kaji adanya riwayat dilakukan Untuk memantau reaksi pasca-
hemodialisis sebelumnya hemodialisis
Kaji pemakaian obat-obatan Klien yang minum obat-obatan
sebelumnya (preparat glikosida) harus dipantau
dengan ketat untuk memastikan
agar kadar obat-obat ini dalam
darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan
akumulasi toksik. Beberapa obat
akan dikeluarkan dari darah pada
saat dialisis, oleh karena itu,
penyesuaian dosis oleh dokter
mungkin diperlukan. Obat-obat
yang terikat dengan protein tidak
akan dikeluarkan selama dialisis.
Apabila seorang pasien menjalani
dialisis, merupakan salah satu
contoh dimana komunikasi,
pendidikan, dan evaluasi dapat
memberikan hasil yang berbeda.
Pasien harus mengetahui kapan
minum obat dan kapan
menundanya. Contoh: jika obat
antihiperternsi diminum pada hari
yang sama dengan saat menjalani
hemodialisis, efek hipotensi dapat
terjadi selama hemodialisis dan
menyebabkan tekanan darah
rendah yang berbahaya
Pemeriksaan Fisik
Timbang berat badan pasien Sebagai pengukuran standar
sebelum dilaksanakan
hemodialisis. Berat badan akan
menurun pada saat prosedur
selesai dilaksanakan
Periksa TTV Sebelum dilakukan prosedur
hemodialisis. Denyut nadi dan
tekanan darah biasanya diatas
rentang normal. Kondisi ini harus
diukur pada saat selesai prosedur
dengan membandingkan hasil pra
dan sesudah prosedur
Kaji adanya akses vaskular Pengkajian akses vaskular
diperlukan dalam pengkajian
praprosedur
- Subklavia dan femoralis Akses segera kedlam sirkulasi
darah pasien pada hemodialisis
darurat dicapai melalui katerisasi
subklavia untuk pemakaian
sementara. Kateter dwi-lumen atau
multi lumen dimasukkan kedalam
vena subklavia. Meskipun metode
akses vaskular ini memiliki risiko
seperti hematom, infeksi,
trombosis vena subklavia dan
aliran darah yang tidak adekuat.
Katerisasi femoralis dapat
dimasukkan kedalam pembuluh
darah femoralis untuk pemakaian
segera dan sementara
- Fistula arteri-vena Fistula yang lebih permanen
dibuat melalui pembedahan (yang
biasanya dilakukan pada lengan
bawah) dengan cara
menghubungkan atau
menyambung (anastomosis
pembuluh arteri dengan vena
secara side to side (dihubungkan
antar sisi) atau end to-side
(dihubungkan antara ujung dan sisi
pembuluh darah).
- Fistula arteri-vena Fistula tersebut memerlukan waktu
4 hingga 6 minggu untuk menjadi
“matang” sebelum siap digunakan.
Segmen arteri fistula digunakan
untuk aliran darah arteri dan
segmen vena digunakan untuk
memasukkan kembali (reinfus)
darah yang sudah didialisis. Untuk
menampung aliran darah ini,
segmen arteri vena fistula tersebut
harus lebih besar daripada
pembuluh darah normal.
- Shunt/Tandur Dalam menyediakan lumen
sebagai tempat penusukkan jarum
dialisis, sebuah tandur dapat dibuat
dengan cara menjahit sepotong
pembuluh arteri atau vena dari
sapi, material Gore-Tex atau
tandur vena safena dari pasien
sendiri. Tandur biasanya dipasang
pada lengan bawah, lengan atas
atau paha bagian atas.
Pengkajian Penunjang
Kaji pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium menjadi
parameter untuk dilakukan
hemodialisis, meliputi: Hb,
hematokrit, kadar albumin, BUN,
kreatinin, dan elektrolit
Konfirmasi pemeriksaan HBSag dan Preventif perawat dalam menjaga
status HIV atau mempertahankan universal
precaution dan mencegah
penularan
Kaji adanya peningkatan kadar Menilai keterlihatan hati dengan
SGOT/PT melihat peningkatan enzim serum
hati

H. Diagnosis Keperawatan
1. Kelebihan produk sisa metabolit pada sirkulasi b.d ketidakmampuan ginjal
dalam mengekresikan keluar tubuh, ketidakmampuan dalam pembentukan
urine.
2. Kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine, retensi cairan dan
natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR.
3. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d ketidakmampuan ginjal dalam
mengatur reabsorpsi dan ekresi elektrolit.
4. Aktual/risiko tinggi terjadi cedera b.d tindakan invaisf hemodialisis,
gangguan faktor pembekuan, peningkatan kerapuhan vaskular.
5. Risiko tinggi infeksi b.d adanya port de enter respons sekunder dari
tindakan invasif hemodialisis.
6. Kurangnya pengetahuan tentang prosedur tindakan hemodialisis b.d
tindakan hemodialisis yang pertama kali.
7. Gangguan konsep diri b.d penurunan fungsi tubuh, tindakan dialisis,
koping maladaptif.
8. Kecemasan b.d prognosis penyakit dan tindakan hemodialisis yang
pertama kali.
(Kumala, 2011)
I. Klasifikasi Komplikasi Akut Intradialisis
Komplikasi akut hemodialisis yang sering terjadi dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Komplikasi kardiovaskular
1) Hipotensi (20-30%)
Merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari hemodialisis,
hipotensi didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai
munculnya gejala spesifik mulai dari asimtomatik sampai dengan syok
sehingga perlu penanganan tim medis/perawat. Gambaran klinis hipotensi
pada dialisis adalah penurunan tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah
90 mmHg atau paling tidak 20 mmHg diikuti dengan gejala klinis berulang,
perasaan tidak nyaman pada perut, menguap, mual muntah, otot terasa kram,
gelisah, pusing dan kecemasan. Penyebabnya dari umur, diabetes,
kardiomiopati, anemia, penggunaan obat-obat antihipertensi. Penyebab lain
yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat terjadi akibat instabilitas
hemodinamik yaitu sesi hemodialisis yang pendek, laju ultrafiltrasi yang
tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi sodium dialisat yang
rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari membran dan lain-lain.
Dalam tindakan prevensi dan penatalaksanaan hipotensi intradialisis dapat
dilakukan hal sebagai berikut:
a) Edukasi asupan makanan (restriksi garam)
b) Gunakan mesin HD yang dapat mengendalikan UF
c) Pengukuran BB kering
d) Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialisis
e) Penggunaan temperatur dialisat 35-36,5°C
f) Periksa dosisi dan waktu pemberian obat antihipertensi
g) Evaluasi performa jantung
h) Memperpanjang waktu dialisis dan atau frekuensi dialisis
i) Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1,50 mmol/L Na>140 mmol
2) Aritmia (5-75%)
Aritmia adalah komplikasi yang sering diamati pada pasien hemodialisis
yang umumnya terjadi selama dan setelah dialisis. Etiologi dari aritmia terkait
hemodialisis adalah multifaktorial. Hal ini terjadi karena perubahan komposisi
cairan dalam tubuh, PH dan konsentrasi panas dan elektrolit. Pasien dengan
GGK rentan terhadap aritmia karena mereka biasanya memiliki pemberat
iskemik penyakit jantung, hipertrofi, ventrikel kiri atau neuropati otonom.
3) Nyeri dada (2-5%)
Mortalitas terkait jantung terjadi 10-20 kali lebih banyak dalam kelompok
pasien HD dibandingkan dengan populasi normal. Terapi dialisis sendiri dapat
menyebabkan iskemia miokard subklinis dan pada EKG terlihat ST depresi
selama hemodialisis atau dapat juga terjadi akibat program HD yang terlalu
cepat sehingga terjadi iskemia karena hipovolemi, adanya reaksi anafilaktik
atau hemolisis atau juga kedisiplinan pasien yang kurang untuk minum obat
jantung. Peningkatan prevalensi nyeri dada terjadi pada pasien koroner dengan
stadium akhir gagal ginjal dan diikuti dengan terjadinya miokard infark (MI)
Penanganan nyeri dada intradialisis dapat dilakukan langkah sebagai berikut:
a) Turunkan Qb, UF, dan laporkan untuk kemungkinan program SLED
b) Edukasi teknik relakasasi, pengaturan asupan cairan jika nyeri dada akibat
UF
c) Pasang dan rekam EKG monitor 12 led
d) Kolaborasi untuk pemberian terapi dan program dialisis
e) Hindari dialisis menggunakan asetat
4) Komplikasi terkait peralatan hemodialisis
a) Salah satu komplikasi yang fatal yang sangat ditakuti dari terapi
hemodialisis adalah emboli udara. Ada detektor udara ultrasonografi
dalam mesin hemodialisis yang menangkap gelembung udara untuk
mencegah emboli udara. Penyebab paling umum adalah udara yang masuk
dari bagian pra-pompa dimana sistem tekanan negatif dan jalur akses
jarum ke arteri. Gejala-gejala dari emboli tergantung pada posisi pasien
pada saat itu. Jika dalam duduk, komplikasi neurologis terjadi karena
embolus akan masuk ke sistem otak sedangkan gejala seperti sesak napas
dan nyeri dada terjadi ketika emboli msuk ke paru-paru diposisi terlentang.
Langkah pertama dalam pengobatan adalah untuk menjepit tabung vena
dan menghentikan pompa. Pasien kemudian berbaring ke arah kiri dengan
kepalanya dan dada menghadap kebawah dan 100% oksigen harus
diberikan. Jika emboli ada didalam hati, dapat dihilangkan dengan jarum
perkutan dan terapi oksigen hiperbarik.
b) Komplikasi Terkait Membran
c) Hipoksemia
Terkait hemodialisis dapat terjadi. Selama hemodialisis, Pa O2 turun
sekitar 10-20 mmHg, penurunan tersebut tidak akan menyebabkan masalah
klinis yang signifikan pada pasien dengan oksigenasi normal, namun dapat
menjadi masalah pada pasien dengan oksigenasi kurang.
5) Komplikasi Terkait Sistem Air
Pasien dengan hemodialisis akan terpapar 18.000-36.000 L air/tahun selama
hemodialisis. Proses dialisat melibatkan pemurnian air, distribusi air murni
untuk mesin hemodialisis, konsentrasi konsetrat asam dan basa dan akhirnya
mencampur konsentrat dengan air yang dimurnikan. Permasalahan terkait
sistem air dapat menyebabkan komplikasi akut dan jangka panjang. Pada
komplikasi akut dapat terjadi sepsis yang disertai dengan gejala demam,
gemetaran, mual, nyeri otot, nyeri kepala, hipotensu sampai syok jika terpapar
bakteri atau endotoksin dalam jumlah banyak.
6) Komplikasi Neurologi
Komplikasi neurologis terjadi pada pasien gagal ginjal stadium akhir
akibat gangguan metabolisme yang disebabkan oleh penyakit ginjal kronis dan
karena prosedur dialisis. Komplikasi ini dapat muncul dalam bentuk
penurunan kesadaran, sakit kepala, mual, muntah, mioklonus, tremor, fokus
dan kejang umum, serebrovaskular event (infark dan perdarahan) dan sindrom
disequilibrium.
a) Sindrom Disequilibrium
Teori penyebabnya adalah pembersihan urea cepat. Menurut teori ini,
pembersihan cepat kadar urea dari plasma pada pasien yang baru memulai
terapi hemodialisis akan menciptakan osmotic gradien antara sel-sel otak dan
plasma dan cairan memasuki sel-sel otak karena osmotic gradien tersebut.
Untuk mencegah sindrom ini, sesi dialisis awal mungkin dilakukan dengan
aliran lambat dan dalam waktu yang lebih singkat, kadar natrium dapat
dinaikkan pada dialisat.
b) Nyeri Kepala
The international headache society ICHD tahun 2004 memasukkan nyeri
kepala hemodialisis dalam klasifikasi sakit kepala. Untuk dapat disebut
sebagai sakit kepala hemodialisis, sakit kepala harus muncul setidaknya
setengah dari sesi hemodialisis, terdapat 3 serangan sakit kepala akut saat sesi
hemodialisis dan sakit kepala harus teratasi dalam waktu 72 jam setelah
hemodialisis. Faktor pemicu sakit kepala mungkin disebabkan hipertensi,
hipotensi, tingkat rendah natrium, penurunan osmolaritas serum, tingkat
rendah renin plasma, kadar BUN sebelum dan sesudah dialisis dan rendahnya
magnesium.
Penanganan sakit kepala terkait hemodialisis:
1) Kecilkan QB
2) Observasi TTV terutama TD dan Nadi
3) Kolaborasi dengan dokter jika TD tinggi atau hipertensi emegensi
4) Kompres dan massge ringan area leher dan kepala
5) Mencari penyebab lain sakit kepala untuk menentukan intervensi
selanjutnya
b. Komplikasi terkait terapi antikoagulan
- Diathesis perdarahan
c. Komplikasi lainnya seperti mual, muntah, gatal, kram.
7) Komplikasi Terkait Terapi Antikoagulan
a) Bleeding Diasthesis
Penderahan adalah faktor yang paling penting yang membatasi
penggunaan heparin pada hemodialisis, dengan angka kejadian perdarahan 10-
15%. Penggunaan terapi antikoagulan pada pasien yang menjalani
hemodialisis meningkatkan kecenderungan perdarahan. Pendekatan yang tepat
untuk mencegah komplikasi hemoragik selama hemodialisis adalah dengan
pembatasan atau menghindari antikoagulan selama hemodialisis.
8) Komplikasi Lainnya
a) Mual dan muntah
b) Gatal
c) Kram
d) Demam menggigil
(Herlan Suherman, 2017)
DAFTAR PUSTAKA

Herlan Suherman, S. (2017). Penatalaksanaan Komplikasi Akut Pasien HD. Malang:


Ikatan Perawat Dialisis Indonesia.

Kumala, A. M. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:


Salemba Medika.

Wilson, S. A. (2003). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta:


EGC.

Anda mungkin juga menyukai