A. Definisi
Hemodialisis yaitu suatu mesin ginjal buatan (alat hemodialisis) terutama
terdiri dari membran semipermeabel dengan darah disatu sisi dan cairan
dialisis di sisi lain. Ada dua tipe dasar alat dialisis yang dipergunakan
sekarang, yaitu alat dialisis lempeng paralel yang terdiri dari dua lapisan
Cuprophane yang dijepit oleh dua penyokong yang kaku untuk membentuk
suatu amplop. Dua amplop atau lebih diatur secara paralel. Darah mengalir
melalui lapisan-lapisan membran, dan cairan dialisis dapat mengalir dalam
darah yang sama seperti darah, atau dengan arah berlawanan. Alat yang lebih
sering digunakan adalah hollow fiber atau capillary dialyzer terdiri dari ribuan
serabut kapilet halus yang tersusun paralel. Setiap serabut mempunyai dinding
setebal 30 µm, dan diameter dalam sebesar 200 µm, dan panjangnya 21 cm
(Sebagai bahan perbandingan, sel darah merah mempunyai diameter 7 µm).
Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan cairan
dialisis membasahi bagian luarnya. Aliran cairan dialisis berlawanan dengan
arah aliran darah. Alat dialisis ini sangat kecil dan kompak karena memiliki
permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler. Luas permukaan
internal total dari semua serabut adalah sekitar 0,5 hingga 2,0 m2.
Suatu sistem dialisis terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi
untuk cairan dialisis. Bila sistem ini bekerja, darah mengalir dari penderita
melalui tabung plastik (Jalur arteri), melalui hollow fiber pada alat dialisis dan
kembali ke penderita melalui jalur vena. Cairan dialisis membentuk sirkuit
kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh
kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur,
sehingga terbentuk dialiast atau bak dialisis. Dialisat kemudian dimasukkan
kedalam dialisis, dan cairan akan mengalir diluar serabut berongga sebelum
keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi
disepanjang membran dialisis melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Komposisi cairan dialisis diatur sedemikian rupa sehingga mendekati
komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi untuk memperbaiki
gangguan cairan dan elektrolit yang menyerah gagal ginjal. Unsur-unsur yang
umum adalah Na+ , K2, Ca++, Mg++, Cl-, aseat, dan glukosa. Urea, kreatinin,
asam urat, dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah kedalam cairan
dialisis karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam cairan dialisis. Natrium
asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam cairan dialisis, akan berdifusi
kedalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis
penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh penderita menjadi
bikarbonat. Alasan menggunakan asetat dan bukan bikarbonat adalah untuk
menghindari masalah pengendapan kalsium bikarbonat bila kalsium dan
bikarbonat ditambahkan kedalam cairan dialisis yang sama.
Sirkuit darah dari sistem dialisis mula-mula dilengkapi dengan larutan
garam atau darah sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan
darah penderita mungkin cukup untuk meluncurkan darah melalui sirkuit
diluar tubuh, atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu
aliran (sekitar 200 sampai 400ml/menit merupakan kecepatan aliran yang
baik). Heparin secara terus menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus
lambat untuk mencegah pembekuan. Perangkap bekuan darah atau gelembung
udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali
kedalam aliran darah penderita. Untuk menjamin keamanan penderita, maka
hemodialisis modern dilengkapi dengan alat pemantau yang memiliki alarm
untuk berbagai parameter. Cairan dialisis pada suhu tubuh akan meningkatkan
kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan hemodialisis
sel-sel darah merah sehingga kemungkinan penderita akan meninggal.
Hemodialisis rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama
suatu pengobatan berkisar dari 3-5 jam, bergantung pada jenis sistem dialisis
yang digunakan dan keadaan penderita.
B. Akses Vaskular Hemodialisis
Hemodialisis intermiten jangka panjang, diperlukan jalan masuk ke sistem
vaskular penderita yang dapat diandalkan. Darah harus keluar dan masuk
tubuh penderita dengan kecepatan 200-400 ml/menit. Kotak 48-3 memuat
daftar teknik askes vaskular yang diklasifikasikan sebagai eksternal (biasanya
sementara) dan internal (permanen). Akses vaskular merupakan aspek yang
paling peka pada hemodialisis karena benyak komplikasi dan kegagalannya.
Oleh karena itu, banyak metode yang dikembangkan untuk mencapai jalan
masuk vaskular dalam beberapa tahun belakangan ini.
E. Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisis pada penanganan
gagal ginjal akut dan kronik. Meskipun sudah dikenal selama 20 tahun
sebelum hemodialisis, dialisis peritoneal jarang dipakai untuk pengobatan
jangka panjang. Tetapi, berkat perkembangan teknik kedokteran akhir-akhir
ini, dialisis peritoneal makin sering dipakai sebagai alternatif hemodialisis
pada penanganan gagal ginjal kronik.
Dialisis peritoneal sangat mirip dengan hemodialisis, kecuali bahwa
peritoneum berfungsi sebagai membran semipermeabel. Akses ke rongga
peritoneal dicapai melalui perisentesis memakai trokar yang lurus dan kaku
untuk dialisis peritoneal yang akut dan lebih permanen; sedangkan untuk
dialisis peritoneal kronik dipakai kateter Tenchkoff yang lunak. Dialisis
peritoneal dilakukan dengan menginfuskan 1-2 L cairan dialisis kedalam
abdomen melalui kateter. Dialisat tetap berada dalam abdomen untuk waktu
yang berbeda-beda (waktu tinggal) dan kemudian dikeluarkan melalui gaya
gravitasi ke dalam wadah yang terletak dibawah pasien. Setelah drainase
selesai, dialisat yang baru dimasukkan dan siklus berjalan kembali.
Pembuangan zat terlarut dicapai melalui difusi, sementara ultrafiltrasi
(pembuangan air) dicapai melalui perbedaan tekanan hidrostatik seperti pada
hemodialisis. Glukosa ditambahkan pada dialisat untuk membuatnya sedikit
lebih hiperosmotik. Ultrafiltrasi dapat dipercepat dengan meningkatkan
konsentrasi glukosa sehingga akhirnya juga meningkatkan osmolalitas dialisat
(tersedia dialisat dengan kadar glukosa 1,5%, 2,5%, dan 4,5%).
Berikut adalah empat cara dialisis peritoneal yang kini banyak digunakan,
satu untuk dialisis akut dan tiga lainnya untuk dialisis kronik:
1. Manual intermittent peritoneal dialysis
2. Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD)
3. Continuous cycler-assited peritoneal dialysis (CCPD)
4. Automated intermittent peritoneal dialysis (IPD)
Sampai 15 tahun yang lalu manual intermittent peritoneal dialysis
merupakan metode yang paling sering digunakan. Sebuah kateter dipasang
pada rongga peritoneal melalui parasentesis. Pada orang dewasa, 2 L cairan
dialisis steril dibiarkan mengalir kedalam rongga peritoneal melalui kateter
selama 10-20 menit. Biasanya keseimbangan antara cairan dialisis dan
membran semipermeabel peritoneal yang banyak vaskularisasinya akan
tercapai setelah dibiarkan selama 30 menit. Cairan kemudian dibiarkan keluar
melalui daya gravitasi kedalam wadah steril dan tertutup. Siklus kemudian
diulang setelah 1-2 hari (satu siklus kira-kira berlangsung selama 1 jam).
Kelebihan utama dari metode manual adalah kesederhanaannya (tidak
membutuhkan tenaga yang sangat terampil maupun peralatan yang cangggih),
dan tidak membutuhkan akses vaskular. Kerugian dari metode ini adalah
perlunya banyak waktu perawatan, keterbatasan fisik selama prosedur
berjalan, dan risiko yang relatif cukup tingg untuk terjadinya peritonitis.
Tindakan ini kurang efisien dibandingkan dengan hemodialisis, membutuhkan
waktu kira-kira enam kali lebih banyak untuk mendapatkan hasil yang sama.
Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) adalah teknik dialisis
mandiri menggunakan 2 L dialisat penukar empat kali sehari, yang pertukaran
terakhirnya dilakukan pada jam tidur, sehingga cairan dibiarkan diam dalam
rongga peritoneal semalaman. Kantong kosong dan slang dibiarkan menempel
pada kateter dan disembunyikan dibalik pakaian selama 4 jam waktu tinggal.
Setelah itu, kantong diturunkan ke lantai sehingga dibiarkan terisi akibat
gravitasi. Keuntungan CAPD adalah keleluasan pasien ginjal stadium akhir
karena dapat dilakukan dimana saja; tidak terdapat kadar kimia darah yang
memuncak atau sangat menurun seperti halnya pada hemodialisis intermitten;
sederhana; mudah dipelajari; biayanya rendah (kira-kira separuh dari
hemodialisis). Kerugian utama dari CAPD adalah risiko peritonitis yang rata-
rata terjadi sekali dalam 40 minggu. Berbagai metode telah dikembangkan
untuk mengurangi risiko kontaminasi. Salah satunya adalah dengan
mempergunakan sinar ultraviolet untuk mensterilkan kateter dan saluran
keluar kantong dialisis. Kerugian lain dari CAPD adalah infeksi saluran
kateter, kehilangan cukup banyak protein, hiperkolesterolemia,
hipertrigliseridemia, obesitas (kelebihan kalori dari absorpsi glukosa), dan
hernia inguinalis dan abdominalis
Continuous cycler-assisted peritoneal dialysis (CCPD) adalah variasi dari
CAPD dengan suatu mesin siklus yang secara otomatis melakukan pertukaran
beberapa kali dalam semalam, dan satu siklus tambahan pada pagi harinya.
Disiang hari, dialisat tetap berada dalam abdomen sebagai salah satu siklus
panjang. Baik CAPD maupun CCPD mengharuskan abdomen yang terus
menerus terisi dialisat. CCPD mungkin lebih cocok pada beberapa pasien,
tetapi harus dilakukan dirumah ataupun dipusat dialisis, sedangkan CAPD
dapat dilakukan dimana saja.
Sebagai pilihan dari CAPD atau CCPD adalah automated intermittent
peritoneal dialysis yang memungkinkan “masa-masa kering” ketika abdomen
dalam keadaan kosong. Teknik ini biasanya dilakukan setiap malam dengan
bantuan peralatan otomatis (cycler-assisted) dan rongga peritoneal dibiarkan
kosong selama siang hari.
F. Cara-cara Baru Pembuangan Zat Terlarut
Jenis dan luas permukaan membran dialisis merupakan penentu penting
dalam ultrafiltrasi dan bersihan zat terlarut serta respons imunologik pasien.
Dialisis konvensional menggunakan membran dialisis beraliran lambat tetap
merupakan cara pengobatan primer untuk CRF. Membran dialisis tradisional
yang tersusun atas Cuprophan (Cupra-ammonium cellophane) atau selulosa
asetat memiliki pori-pori yang kecil (beraliran lambat). Membran ini memiliki
kemampuan ultrafiltrasi dan difusi yang rendah serta kurang biokompatibel.
Akibatnya, pengobatan dialisis kurang efisien, membutuhkan sekitar 12 jam
perminggu dan molekul-molekul yang besar (beberapa diantaranya mungkin
toksin uremik) tidak dibuang.
Beberapa metode digunakan terutama untuk pengobatan gagal ginjal akut
atau untuk membuang toksin dalam kasus keracunan akut.
Dialisis high flux, high efficiency (HFHE) menggunakan beberapa
membran sintetis yang lebih baru, seperti polisulfon, polimetilmetakrilat
(PMMA), atau poliakrilonitirl (PAN) yang tidak hanya lebih biokompatibel
dibandingkan dengan membran yang berasal dari selulosa, tetapi juga lebih
permeabel terhadap zat terlarut dan air. Ginjal buatan yang terbuat dari bahan-
bahan ini (HFHE) telah digunakan untuk memperpendek waktu dialisis; alat
ini juga memperkuat bersihan molekul-molekul yang kecil (misal, urea),
molekul-molekul sedang, dan mempercepat pembuangan cairan dihilangkan
dengan dialisis konvensional. Membran HFHE digunakan sehubungan dengan
lebih tepatnya (dibandingkan dengan alat tradisional) aliran masuknya darah
dan keluarnya darah dari alat dialisis (500 hingga 800ml/menit) dan untuk
aliran dialisat yang cepat (800 ml/menit). Alat dialisis HFHE mahal harganya
dan tidak setiap unit memiliki kemampuan melakukan jenis dialisis ini
sehingga metode ini tidak rutin dilakukan.
Hemofiltrasi (HF), atau hemofiltrasi arteriovenosa kontinu (CAVH)
merupakan bentuk lain dari terapi ekstrakorporeal (diluar tubuh) yang dapat
digunakan dibangsal dalam ruang perawatan intensif untuk mengobati gagal
ginjal akut. Teknik HF berdasarkan pada prinsip konveksi dan bukan difusi
serta lebih analog dengan fungsi glomerulus dibandingkan dengan
hemodialisis konvensional. HF tidak menggunakan cairan dialisat; hemofilter
memiliki jalan masuk dan jalan keluar darah dan jalan masuk tunggu untuk
kompartemen ultrafiltrat. Tidak terdapat perbedaan konsentrasi pada konveksi
sehingga hanya terjadi filtrasi cairan, dan elektrolit dibatasi sejalan dengan
ditariknya dan dibuang dari cairan. Membran beraliran cepat (pori-pori besar)
digunakan dalam hemofiller. Hasilnya adalah ultrafiltrasi yang mengandung
zat terlarut yang tidak diinginkan dan ditolak.
Hemodiafiltrasi, atau hemodiafiltrasi arteriovenosa kontinu (CAVHD)
memiliki banyak gambaran CAVH, tetapi mencakup keuntungan perbedaan
konsentrasi untuk mempermudah pembuangan urea yang lebih cepat karena
digunakan dialisat menggunakan prosedur ini. Oleh karena itu, HDF
merupakan kombinasi hemofiltrasi (pembuangan zat terlarut dan cairan
melalui konveksi) dan hemodialisis (pembuangan zat terlarut melalui difusi).
Keuntungan utama HF dan HFD adalah tidak menyebabkan perpindahan
cairan yang cepat, tidak membutuhkan mesin dialisis atau ahli pelaksana
dialisis untuk menjalankan prosedur ini, dan dapat dilakukan secara cepat di
unit perawatan intensif. Hemoperfusi (HP) digunakan untuk pembuangan
racun atau zat berbahaya dari darah. Pada HP, darah dipompa melalui suatu
alat (cartridge) mengandung arang aktif yang lapisi dengan zat biokompatibel
dan kemudian dikembalikan ke pasien. Arang mengikat sebagian besar obat
dan racun. HP terutama digunakan untuk mengobati keracunan akut. (Wilson,
2003)
H. Diagnosis Keperawatan
1. Kelebihan produk sisa metabolit pada sirkulasi b.d ketidakmampuan ginjal
dalam mengekresikan keluar tubuh, ketidakmampuan dalam pembentukan
urine.
2. Kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine, retensi cairan dan
natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR.
3. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit b.d ketidakmampuan ginjal dalam
mengatur reabsorpsi dan ekresi elektrolit.
4. Aktual/risiko tinggi terjadi cedera b.d tindakan invaisf hemodialisis,
gangguan faktor pembekuan, peningkatan kerapuhan vaskular.
5. Risiko tinggi infeksi b.d adanya port de enter respons sekunder dari
tindakan invasif hemodialisis.
6. Kurangnya pengetahuan tentang prosedur tindakan hemodialisis b.d
tindakan hemodialisis yang pertama kali.
7. Gangguan konsep diri b.d penurunan fungsi tubuh, tindakan dialisis,
koping maladaptif.
8. Kecemasan b.d prognosis penyakit dan tindakan hemodialisis yang
pertama kali.
(Kumala, 2011)
I. Klasifikasi Komplikasi Akut Intradialisis
Komplikasi akut hemodialisis yang sering terjadi dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Komplikasi kardiovaskular
1) Hipotensi (20-30%)
Merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari hemodialisis,
hipotensi didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai
munculnya gejala spesifik mulai dari asimtomatik sampai dengan syok
sehingga perlu penanganan tim medis/perawat. Gambaran klinis hipotensi
pada dialisis adalah penurunan tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah
90 mmHg atau paling tidak 20 mmHg diikuti dengan gejala klinis berulang,
perasaan tidak nyaman pada perut, menguap, mual muntah, otot terasa kram,
gelisah, pusing dan kecemasan. Penyebabnya dari umur, diabetes,
kardiomiopati, anemia, penggunaan obat-obat antihipertensi. Penyebab lain
yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat terjadi akibat instabilitas
hemodinamik yaitu sesi hemodialisis yang pendek, laju ultrafiltrasi yang
tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi sodium dialisat yang
rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari membran dan lain-lain.
Dalam tindakan prevensi dan penatalaksanaan hipotensi intradialisis dapat
dilakukan hal sebagai berikut:
a) Edukasi asupan makanan (restriksi garam)
b) Gunakan mesin HD yang dapat mengendalikan UF
c) Pengukuran BB kering
d) Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialisis
e) Penggunaan temperatur dialisat 35-36,5°C
f) Periksa dosisi dan waktu pemberian obat antihipertensi
g) Evaluasi performa jantung
h) Memperpanjang waktu dialisis dan atau frekuensi dialisis
i) Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1,50 mmol/L Na>140 mmol
2) Aritmia (5-75%)
Aritmia adalah komplikasi yang sering diamati pada pasien hemodialisis
yang umumnya terjadi selama dan setelah dialisis. Etiologi dari aritmia terkait
hemodialisis adalah multifaktorial. Hal ini terjadi karena perubahan komposisi
cairan dalam tubuh, PH dan konsentrasi panas dan elektrolit. Pasien dengan
GGK rentan terhadap aritmia karena mereka biasanya memiliki pemberat
iskemik penyakit jantung, hipertrofi, ventrikel kiri atau neuropati otonom.
3) Nyeri dada (2-5%)
Mortalitas terkait jantung terjadi 10-20 kali lebih banyak dalam kelompok
pasien HD dibandingkan dengan populasi normal. Terapi dialisis sendiri dapat
menyebabkan iskemia miokard subklinis dan pada EKG terlihat ST depresi
selama hemodialisis atau dapat juga terjadi akibat program HD yang terlalu
cepat sehingga terjadi iskemia karena hipovolemi, adanya reaksi anafilaktik
atau hemolisis atau juga kedisiplinan pasien yang kurang untuk minum obat
jantung. Peningkatan prevalensi nyeri dada terjadi pada pasien koroner dengan
stadium akhir gagal ginjal dan diikuti dengan terjadinya miokard infark (MI)
Penanganan nyeri dada intradialisis dapat dilakukan langkah sebagai berikut:
a) Turunkan Qb, UF, dan laporkan untuk kemungkinan program SLED
b) Edukasi teknik relakasasi, pengaturan asupan cairan jika nyeri dada akibat
UF
c) Pasang dan rekam EKG monitor 12 led
d) Kolaborasi untuk pemberian terapi dan program dialisis
e) Hindari dialisis menggunakan asetat
4) Komplikasi terkait peralatan hemodialisis
a) Salah satu komplikasi yang fatal yang sangat ditakuti dari terapi
hemodialisis adalah emboli udara. Ada detektor udara ultrasonografi
dalam mesin hemodialisis yang menangkap gelembung udara untuk
mencegah emboli udara. Penyebab paling umum adalah udara yang masuk
dari bagian pra-pompa dimana sistem tekanan negatif dan jalur akses
jarum ke arteri. Gejala-gejala dari emboli tergantung pada posisi pasien
pada saat itu. Jika dalam duduk, komplikasi neurologis terjadi karena
embolus akan masuk ke sistem otak sedangkan gejala seperti sesak napas
dan nyeri dada terjadi ketika emboli msuk ke paru-paru diposisi terlentang.
Langkah pertama dalam pengobatan adalah untuk menjepit tabung vena
dan menghentikan pompa. Pasien kemudian berbaring ke arah kiri dengan
kepalanya dan dada menghadap kebawah dan 100% oksigen harus
diberikan. Jika emboli ada didalam hati, dapat dihilangkan dengan jarum
perkutan dan terapi oksigen hiperbarik.
b) Komplikasi Terkait Membran
c) Hipoksemia
Terkait hemodialisis dapat terjadi. Selama hemodialisis, Pa O2 turun
sekitar 10-20 mmHg, penurunan tersebut tidak akan menyebabkan masalah
klinis yang signifikan pada pasien dengan oksigenasi normal, namun dapat
menjadi masalah pada pasien dengan oksigenasi kurang.
5) Komplikasi Terkait Sistem Air
Pasien dengan hemodialisis akan terpapar 18.000-36.000 L air/tahun selama
hemodialisis. Proses dialisat melibatkan pemurnian air, distribusi air murni
untuk mesin hemodialisis, konsentrasi konsetrat asam dan basa dan akhirnya
mencampur konsentrat dengan air yang dimurnikan. Permasalahan terkait
sistem air dapat menyebabkan komplikasi akut dan jangka panjang. Pada
komplikasi akut dapat terjadi sepsis yang disertai dengan gejala demam,
gemetaran, mual, nyeri otot, nyeri kepala, hipotensu sampai syok jika terpapar
bakteri atau endotoksin dalam jumlah banyak.
6) Komplikasi Neurologi
Komplikasi neurologis terjadi pada pasien gagal ginjal stadium akhir
akibat gangguan metabolisme yang disebabkan oleh penyakit ginjal kronis dan
karena prosedur dialisis. Komplikasi ini dapat muncul dalam bentuk
penurunan kesadaran, sakit kepala, mual, muntah, mioklonus, tremor, fokus
dan kejang umum, serebrovaskular event (infark dan perdarahan) dan sindrom
disequilibrium.
a) Sindrom Disequilibrium
Teori penyebabnya adalah pembersihan urea cepat. Menurut teori ini,
pembersihan cepat kadar urea dari plasma pada pasien yang baru memulai
terapi hemodialisis akan menciptakan osmotic gradien antara sel-sel otak dan
plasma dan cairan memasuki sel-sel otak karena osmotic gradien tersebut.
Untuk mencegah sindrom ini, sesi dialisis awal mungkin dilakukan dengan
aliran lambat dan dalam waktu yang lebih singkat, kadar natrium dapat
dinaikkan pada dialisat.
b) Nyeri Kepala
The international headache society ICHD tahun 2004 memasukkan nyeri
kepala hemodialisis dalam klasifikasi sakit kepala. Untuk dapat disebut
sebagai sakit kepala hemodialisis, sakit kepala harus muncul setidaknya
setengah dari sesi hemodialisis, terdapat 3 serangan sakit kepala akut saat sesi
hemodialisis dan sakit kepala harus teratasi dalam waktu 72 jam setelah
hemodialisis. Faktor pemicu sakit kepala mungkin disebabkan hipertensi,
hipotensi, tingkat rendah natrium, penurunan osmolaritas serum, tingkat
rendah renin plasma, kadar BUN sebelum dan sesudah dialisis dan rendahnya
magnesium.
Penanganan sakit kepala terkait hemodialisis:
1) Kecilkan QB
2) Observasi TTV terutama TD dan Nadi
3) Kolaborasi dengan dokter jika TD tinggi atau hipertensi emegensi
4) Kompres dan massge ringan area leher dan kepala
5) Mencari penyebab lain sakit kepala untuk menentukan intervensi
selanjutnya
b. Komplikasi terkait terapi antikoagulan
- Diathesis perdarahan
c. Komplikasi lainnya seperti mual, muntah, gatal, kram.
7) Komplikasi Terkait Terapi Antikoagulan
a) Bleeding Diasthesis
Penderahan adalah faktor yang paling penting yang membatasi
penggunaan heparin pada hemodialisis, dengan angka kejadian perdarahan 10-
15%. Penggunaan terapi antikoagulan pada pasien yang menjalani
hemodialisis meningkatkan kecenderungan perdarahan. Pendekatan yang tepat
untuk mencegah komplikasi hemoragik selama hemodialisis adalah dengan
pembatasan atau menghindari antikoagulan selama hemodialisis.
8) Komplikasi Lainnya
a) Mual dan muntah
b) Gatal
c) Kram
d) Demam menggigil
(Herlan Suherman, 2017)
DAFTAR PUSTAKA