Karakteristik Peserta Didik Dalam Proses Pembelajaran
Karakteristik Peserta Didik Dalam Proses Pembelajaran
PENDAHULUAN
Sebagai seorang guru, sangat perlu memahami perkembangan peserta didik.
Perkembangan peserta didik tersebut meliputi: perkembangan fisik, perkembangan
sosioemosional, dan bermuara pada perkembangan intelektual. Perkembangan fisik dan
perkembangan sosio sosial mempunyai kontribusi yang kuat terhadap perkembangan
intelektual atau perkembangan mental atau perkembangan kognitif siswa.
Pada akhir kelas empat, pada umumnya anak perempuan mulai mengalami masa lonjakan
pertumbuhan. Lengan dan kaki mulai tumbuh cepat. Pada akhir kelas lima, umumnya anak
perempuan lebih tinggi, lebih berat dan lebih kuat daripada anak laki laki. Anak laki laki
memulai lonjakan pertumbuhan pada usia sekitar 11 tahun. Menjelang awal kelas enam,
kebanyakan anak perempuan mendekati puncak tertinggi pertumbuhan mereka. Periode
pubertas yang ditandai dengan menstruasi umumnya dimulai pada usia 12 13 tahun. Anak
laki laki memasuki masa pubertas dengan ejakulasi yang terjadi antara usia 13 16 tahun.
Perkembangan fisik selama remaja dimulai dari masa pubertas. Pada masa ini terjadi
perubahan fisiologis yang mengubah manusia yang belum mampu bereproduksi menjadi
mampu bereproduksi. Hampir setiap organ atau sistem tubuh dipengaruhi oleh perubahan
perubahan ini. Anak pubertas awal (prepubertal) dan remaja pubertas akhir (postpubertal)
berbeda dalam tampakan luar karena perubahan perubahan dalam tinggi proporsi badan
serta perkembangan ciri ciri seks primer dan sekunder.
Meskipun urutan kejadian pubertas itu umumnya sama untuk tiap orang, waktu terjadinya
dan kecepatan berlangsungnya kejadian itu bervariasi. Rata rata anak perempuan memulai
perubahan pubertas 1,5 hingga 2 tahun lebih cepat dari anak laki laki. Kecepatan perubahan
itu juga bervariasi, ada yang perlu waktu 1,5 hingga 2 tahun untuk mencapai kematangan
reproduksi, tetapi ada yang memerlukan waktu 6 tahun. Dengan adanya perbedaan
perbedaan ini ada anak yang telah matang sebelum anak matang yang sama usianya mulai
mengalami pubertas.
2. Perkembangan Sosio emosional Anak/Siswa
Menjelang masuk SD, anak telah rnengembangkan keterampilan berpikir bertindak dan
pengaruh sosial yang lebih kompleks. Sampai dengan masa ini, anak pada dasarnya
egosentris (berpusat pada diri sendiri), dan dunia mereka adalah rumah keluarga, dan taman
kanak kanaknya.
Selama duduk di kelas kecil SD, anak mulai percaya diri tetapi juga sering rendah diri.
Pada tahap ini mereka mulai mencoba membuktikan bahwa mereka "dewasa". Mereka
merasa "saya dapat mengerjakan sendiri tugas itu, karenanya tahap ini disebut tahap 'I can
do it my self'. Mereka dimungkinkan untuk diberikan suatu tugas.
Daya konsentrasi anak tumbuh pada kelas kelas tinggi SD. Mereka dapat meluangkan lebih
banyak waktu untuk tugas tugas pilihan mereka, dan seringkali mereka dengan senang hati
menyelesaikannya. Tahap ini juga termasuk tumbuhnya tindakan mandiri, kerjasama
dengan kelompok, dan bertindak menurut cara cara yang dapat diterima lingkungan
mereka. Mereka juga mulai peduli pada permainan yang jujur. Selama masa ini mereka
juga mulai menilai diri mereka sendiri dengan membandingkannya dengan orang lain.
Anak anak yang lebih muda menggunakan perbandingan sosial (social comparison)
terutama untuk norma norma sosial dan kesesuaian jenis jenis tingkah laku tertentu. Pada
saat anak anak tumbuh semakin lanjut, mereka cenderung menggunakan perbandingan
sosial untuk mengevaluasi dan menilai kemampuan kemampuan mereka sendiri.
Sebagai akibat dari perubahan struktur fisik dan kognitif mereka, anak pada kelas besar di
SD berupaya untuk tampak lebih dewasa. Mereka ingin diperlakukan sebagai orang
dewasa.Terjadi perubahan perubahan yang berarti dalam kehidupan sosial dan emosional
mereka. Di kelas besar SD anak laki laki dan perempuan menganggap keikutsertaan dalam
kelompok menumbuhkan perasaan bahwa dirinya berharga. Tidak diterima dalam
kelompok dapat membawa pada masalah emosional yang serius Teman teman mereka
menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Kebutuhan untuk diterima oleh teman sebaya
sangat tinggi. Remaja sering berpakaian serupa. Mereka menyatakan kesetiakawanan
mereka dengan anggota kelompok teman sebaya melalui pakaian atau perilaku.
Hubungan antara anak dan guru juga seringkali berubah. Pada saat di SD kelas rendah,
anak dengan mudah menerima dan bergantung kepada guru. Di awal awal tahun kelas
tinggi SD hubungan ini menjadi lebih kompleks. Ada siswa yang menceritakan informasi
pribadi kepada guru, tetapi tidak mereka ceritakan kepada orang tua mereka. Beberapa
anak pra remaja memilih guru mereka sebagai model. Sementara itu, ada beberapa anak
membantah guru dengan cara cara yang tidak mereka bayangkan beberapa tahun
sebelumnya. Malahan, beberapa anak mungkin secara terbuka menentang gurunya.
Salah satu tanda mulai munculnya perkembangan identitas remaja adalah reflektivitas yaitu
kecenderungan untuk berpikir tentang apa yang sedang berkecamuk dalam benak mereka
sendiri dan mengkaji diri sendiri. Mereka juga mulai menyadari bahwa ada perbedaan
antara apa yang mereka pikirkan dan mereka rasakan serta bagaimana mereka berperilaku.
Mereka mulai mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan. Remaja mudah dibuat
tidak puas oleh diri mereka sendiri. Mereka mengkritik sifat pribadi mereka,
membandingkan diri mereka dengan orang lain, dan mencoba untuk mengubah perilaku
mereka. Pada remaja usia 18 tahun sarnpai 22 tahun, urnumnya telah rnengembangkan
suatu status pencapaian identitas.
RINGKASAN
Pada anak perempuan sekitar kelas 6 SD, sudah mencapai puncak lonjakan tinggi badan
pada umur (10,5 13,5) tahun dan sudah mulai menstruasi umur (10,5 15,5) tahun.
Sementara itu pada anak laki laki puncak lonjakan tinggi badan tercapai (12,515,5) tahun
serta mereka juga sudah dewasa pada alat reproduksinya pada umur (12 16) tahun yaitu
dengan ditandainya penyemburan pertama air mani.
Pendidikan yang bermutu membangun rasa percaya diri baik pada anak perempuan
maupun lakilaki, dan membantu mereka mengembangkan potensi diri. Dalam masyarakat
yang adil, anak perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang sama, namun kadang-
kadang hak-hak anak perempuan terhadap pelayanan pendidikan terabaikan. Padahal,
pentingnya perempuan yang berpendikan dalam pembangunan masyakarat sudah tidak
disangkal lagi.
Perempuan yang berpendidikan lebih mampu membuat keluarganya lebih sehat dan
memberikan pendidikan yang lebih bermutu pada anaknya, Selain itu perempuan
berpendidikan lebih memiliki peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Sebaliknya, perempuan yang pendidikannya kurang akan lebih rentan terhadap tindak
kekerasan (fisik maupun non fisik), dan memiliki tingkat kesehatan dan ekonomi yang
cenderung lebih rendah.
Seringkali secara tidak sengaja, guru membedakan murid perempuan dan laki-laki karena
guru berpendapat bahwa murid perlu diperlakukan secara khusus menurut peran yang
didasarkan pada jenis kelamin. Padahal asumsi tentang peran perempuan dan laki-laki yang
dipegang oleh guru bisa mengakibatkan ketidakadilan dalam memberikan layanan
pendidikan yang terbaik bagi murid laki dan perempuan. Tentu saja penting menghargai
perbedaan antara anak perempuan dan laki, asal pembedaan itu tidak mengakibatkan
pembatasan terhadap kesempatan anak perempuan maupun laki dalam mengembangkan
potensi mereka
Interaksi Sebagai Proses Belajar Mengajar
Muhammad Faiq Dzaki
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam mengelola interaksi belajar mengajar guru harus
memiliki kemampuan mendesain program, menguasai materi pelajaran, mampu
menciptakan kondisi kelas yang kondusif, terampil memanfaatkan media dan memilih
sumber, memahami cara atau metode yang digunakan, memiliki keterampilan
mengkomunikasikan program serta memahami landasan-landasan pendidikan sebagai
dasar bertindak.
Ketika sedang mengajar di depan kelas, terjadi dua proses yang terpadu yaitu proses belajar
mengajar. Seorang pengajar dapat mengartikan belajar sebagai kegiatan pengumpulan
fakta atau juga dapat dikatakan bahwa belajar merupakan suatu proses penerapan prinsip.
Gagne (dalam Abdillah dan Abdul,1988 :17) mengatakan bahwa belajar merupakan suatu
proses yang dapat dilakukan oleh makhluk hidup yang memungkinkan makhluk hidup ini
merubah perilakunya cukup cepat dalam cara kurang lebih sama, sehingga perubahan yang
sama tidak harus pada setiap situasi baru. Sedangkan Dahar (1988 :11) mendefinisikan
belajar sebagai suatu proses dimana organisme perilakunya sebagai akibat pengalaman.
Belajar bukanlah menghafalkan fakta-fakta yang terlepas-lepas, melainkan mengaitkan
konsep yang baru dengan konsep yang telah ada dalam struktur kognitif, atau mengaitkan
konsep pada umumnya menjadi proposisi yang bermakna.
Merujuk pada kaum kontruktivis bahwa belajar merupakan proses aktif dalam
mengkonstruksi arti teks, dialog, pengalaman fisik, dll. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau
apa yang dipelajari dengan apa yang sudah dipunyai seseorang. (Suparno P , 1997 :61)
Berdasarkan beberapa pendapat tentang belajar tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar
merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu secara sadar untuk memperoleh
perubahan tingkah laku tertentu baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang
tidak dapat diamati secara langsung sebagai pengalaman (latihan) dalam interaksinya
dengan lingkungan. Atau dapat dikatakan bahwa belajar sebagai suatu aktivitas mental atau
psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan dan menghasilkan
perubahan dalam pengetahuan dan pemahaman, keterampilan serta nilai-nilai dan sikap.
Belajar fisika dalam kerangka pengajaran dan pendidikan di sekolah adalah proses aktivitas
siswa arahan dan bimbingan untuk mempelajari materi mata pelajaran fisika. Melalui
kegiatan belajar fisika siswa diharapkan memperoleh pengertian tentang fakta-fakta,
konsep fisika, prinsip, hukum, metode ilmiah dan sikap ilmiah serta saling keterkaitan antar
komponen-komponen itu. Selanjutnya semua hal yang dipelajari tersebut diharapkan dapat
diterapkan dalam kehidupan nyata dan dapat digunakan untuk mempelajari perkembangan
sains dan teknologi.
Blog dengan ID 33471 Tidak ada
Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan
suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar
berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari
kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk
belajar sendiri. (Bettencournt, 1989 dalam Suparno P,1997 :65)
Proses belajar harus tumbuh dan berkembang dari diri anak sendiri, dengan kata lain anak-
anak yang harus aktif belajar sedangkan guru bertindak sebagai pembimbing. Pandangan
ini pada dasarnya mengemukakan bahwa mengajar adalah membimbing kegiatan belajar
anak. ”Teaching is the guidance of learning activities, teaching is for the purpose of aiding
the pupil learn” ……. ( Hamalik ,2002:58)
Berdasarkan orientasi proses belajar mengajar siswa harus ditempatkan sebagai sujek
belajar yang sifatnya aktif dan melibatkan banyak faktor yang mempengaruhi, maka
keseluruhan proses belajar yang harus dialami siswa dalam kerangka pendidikan di sekolah
dapat dipandang sebagai suatu sistem, yang mana sistem tersebut merupakan kesatuan dari
berbagai komponen (input) yang saling berinteraksi (proses) untuk menghasilkan sesuatu
dengan tujuan yang telah ditetapkan (output).
Pustaka:
Abdillah, H. dan Abdul, M. 1988. Prinsip-prinsip Belajar untuk Pengajaran. Surabaya
Indonesia : Usaha Nasional.
Motivasi Belajar – Upaya untuk Meningkatkan
Muhammad Faiq Dzaki
Upaya untuk meningkatkan motivasi belaja siswa yang dapat dilakukan yaitu:
SEKOLAH DASAR
Ada beberapa karakteristik anak di usia Sekolah Dasar yang perlu diketahui para guru, agar
lebih mengetahui keadaan peserta didik khususnya ditingkat Sekolah Dasar. Sebagai guru
harus dapat menerapkan metode pengajaran yang sesuai dengan keadaan siswanya maka
sangatlah penting bagi seorang pendidik mengetahui karakteristik siswanya. Selain
karakteristik yang perlu diperhatikan kebutuhan peserta didik. Adapun karakeristik dan
kebutuhan peserta didik dibahas sebagai berikut:
Karakteristik pertama anak SD adalah senang bermain. Karakteristik ini menuntut guru SD
untuk melaksanakan kegiatan pendidikan yang bermuatan permainan lebih – lebih untuk
kelas rendah. Guru SD seyogyanya merancang model pembelajaran yang memungkinkan
adanya unsur permainan di dalamnya. Guru hendaknya mengembangkan model pengajaran
yang serius tapi santai. Penyusunan jadwal pelajaran hendaknya diselang saling antara
mata pelajaran serius seperti IPA, Matematika, dengan pelajaran yang mengandung unsur
permainan seperti pendidikan jasmani, atau Seni Budaya dan Keterampilan (SBK).
Karakteristik yang kedua adalah senang bergerak, orang dewasa dapat duduk berjam-jam,
sedangkan anak SD dapat duduk dengan tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh karena
itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah
atau bergerak. Menyuruh anak untuk duduk rapi untuk jangka waktu yang lama, dirasakan
anak sebagai siksaan.
Karakteristik yang ketiga dari anak usia SD adalah anak senang bekerja dalam kelompok.
Dari pergaulanya dengan kelompok sebaya, anak belajar aspek-aspek yang penting dalam
proses sosialisasi, seperti: belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar setia kawan,
belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar menerimanya tanggung
jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat (sportif), mempelajarai olah raga
dan membawa implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang
memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok, serta belajar keadilan dan
demokrasi. Karakteristik ini membawa implikasi bahwa guru harus merancang model
pembelajaran yang memungkinkan anak untuk bekerja atau belajar dalam kelompok. Guru
dapat meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil dengan anggota 3-4 orang untuk
mempelajari atau menyelesaikan suatu tugas secara kelompok.
Di samping memperhatikan karakteristik anak usia SD, implikasi pendidikan dapat juga
bertolak dari kebutuhan peserta didik. Pemaknaan kebutuhan SD dapat diidentifikasi dari
tugas-tugas perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang
muncul pada saat atau suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil
akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa arah keberhasilan dalam melaksanakan
tugas-tugas berikutnya, sementara kegagalan dalam melaksanakan tugas tersebut
menimbulkan rasa tidak bahagia, ditolak oleh masyarakat dan kesulitan dalam menghadapi
tugas-tugas berikutnya.
Masa usia sekolah dasar sebagai mesa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam
tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik utama siswa
sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak
segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam kognitif
dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik anak.
Menurut Erikson perkembangan psikososial pada usia enam sampai pubertas, anak mulai
memasuki dunia pengetahuan dan dunia kerja yang luas. Peristiwa penting pada tahap ini
anak mulai masuk sekolah, mulai dihadapkan dengan tekhnologi masyarakat, di samping
itu proses belajar mereka tidak hanya terjadi di sekolah.
Sedang menurut Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang
berkembang, barang kali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah
dasar sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik.
Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial meningkat.
Anak kelas empat, memilki kemampuan tenggang rasa dan kerja sama yang lebih tinggi,
bahkan ada di antara mereka yang menampakan tingkah laku mendekati tingkah laku anak
remaja permulaan.
Menurut Piaget ada lima faktor yang menunjang perkembangan intelektual yaitu :
kedewasaan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), penyalaman logika
matematika (logical mathematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan
proses keseimbangan (equilibriun) atau proses pengaturan sendiri (self-regulation )
Erikson mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar tertarik terhadap pencapaian hasil
belajar.
Mereka mengembangkan rasa percaya dirinya terhadap kemampuan dan pencapaian yang
baik dan relevan. Meskipun anak-anak membutuhkan keseimbangan antara perasaan dan
kemampuan dengan kenyataan yang dapat mereka raih, namun perasaan akan kegagalan
atau ketidakcakapan dapat memaksa mereka berperasaan negatif terhadap dirinya sendiri,
sehingga menghambat mereka dalam belajar. Piaget mengidentifikasikan tahapan
perkembangan intelektual yang dilalui anak yaitu : (a) tahap sensorik motor usia 0-2 tahun,
(b) tahap operasional usia 2-6 tahun, (c) tahap opersional kongkrit usia 7-11 atau 12 tahun,
(d) tahap operasional formal usia 11 atau 12 tahun ke atas.
Berdasarkan uraian di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit,
pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta
perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada objek-objek
kongkrit, dan mampu melakukan konservasi.
Bertitik tolak pada perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini
menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses
berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-hal yang faktual,
sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih berpijak pada prinsip
yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang dapat diamati, karena
mereka sudah diharapkan pada dunia pengetahuan.
Pada usia ini mereka masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya terjadi di
lingkungan sekolah, karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan yang nyata di
dalam lingkungan masyarakat. Nasution (1992) mengatakan bahwa masa kelas tinggi
sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1) adanya minat terhadap
kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat realistik, ingin tahu dan ingin belajar,
(3) menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus,
oleh ahli yang mengikuti teori faktor ditaksirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor,
(4) pada umumnya anak menghadap tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha
menyelesaikan sendiri, (5) pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai
ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada masa ini gemar membentuk
kelompok sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama.
Seperti dikatakan Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang
mengalami perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan
badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut tidak
sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek tersebut. Ini
suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual pada anak-anak sekolah dasar
walaupun mereka dalam usia yang sama.
Dengan karakteristik siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk dapat
mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa dengan
baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa sehari-hari,
sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak dan lebih bermakna bagi anak.
Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk pro aktif dan mendapatkan
pengalaman langsung baik secara individual maupun dalam kelompok.
Sedang menurut Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang
berkembang, barang kali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah
dasar sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik.
Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial meningkat.
Anak kelas empat, memilki kemampuan tenggang rasa dan kerja sama yang lebih tinggi,
bahkan ada di antara mereka yang menampakan tingkah laku mendekati tingkah laku anak
remaja permulaan.
Menurut Piaget ada lima faktor yang menunjang perkembangan intelektual yaitu :
kedewasaan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), penyalaman logika
matematika (logical mathematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan
proses keseimbangan (equilibriun) atau proses pengaturan sendiri (self-regulation )
Erikson mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar tertarik terhadap pencapaian hasil
belajar.
Mereka mengembangkan rasa percaya dirinya terhadap kemampuan dan pencapaian yang
baik dan relevan. Meskipun anak-anak membutuhkan keseimbangan antara perasaan dan
kemampuan dengan kenyataan yang dapat mereka raih, namun perasaan akan kegagalan
atau ketidakcakapan dapat memaksa mereka berperasaan negatif terhadap dirinya sendiri,
sehingga menghambat mereka dalam belajar. Piaget mengidentifikasikan tahapan
perkembangan intelektual yang dilalui anak yaitu : (a) tahap sensorik motor usia 0-2 tahun,
(b) tahap operasional usia 2-6 tahun, (c) tahap opersional kongkrit usia 7-11 atau 12 tahun,
(d) tahap operasional formal usia 11 atau 12 tahun ke atas.
Berdasarkan uraian di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit,
pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta
perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada objek-objek
kongkrit, dan mampu melakukan konservasi.
Bertitik tolak pada perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini
menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses
berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-hal yang faktual,
sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih berpijak pada prinsip
yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang dapat diamati, karena
mereka sudah diharapkan pada dunia pengetahuan.
Pada usia ini mereka masuk sekolah umum, proses belajar mereka tidak hanya terjadi di
lingkungan sekolah, karena mereka sudah diperkenalkan dalam kehidupan yang nyata di
dalam lingkungan masyarakat. Nasution (1992) mengatakan bahwa masa kelas tinggi
sekolah dasar mempunyai beberapa sifat khas sebagai berikut : (1) adanya minat terhadap
kehidupan praktis sehari-hari yang kongkrit, (2) amat realistik, ingin tahu dan ingin belajar,
(3) menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus,
oleh ahli yang mengikuti teori faktor ditaksirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor,
(4) pada umumnya anak menghadap tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha
menyelesaikan sendiri, (5) pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai
ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolah, (6) anak pada masa ini gemar membentuk
kelompok sebaya, biasanya untuk bermain bersama-sama.
Seperti dikatakan Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang
mengalami perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan
badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut tidak
sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek tersebut. Ini
suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual pada anak-anak sekolah dasar
walaupun mereka dalam usia yang sama.
Dengan karakteristik siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk dapat
mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa dengan
baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa sehari-hari,
sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak dan lebih bermakna bagi anak.
Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk pro aktif dan mendapatkan
pengalaman langsung baik secara individual maupun dalam kelompok. Semoga
KITA banyak sudah berbicara tentang model pembelajaran kontekstual, kita juga sudah
berbicara perbedaan antara model pembelajaran kontekstual dengan model pembelajaran
tradisional, kita sudah beberkan pula keuntungan dan kelebihan dari model pembelajaran
kontekstual.
Tidak hanya sampai di situ, dari banyak penelitian dan hasil kajian dari Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) yang dilakukan, baik oleh dosen, LSM, guru maupun mahasiswa,
menunjukkan bahwa model pembelajaran kontekstual dapat kita lakukan di dalam proses
pembelajaran.
Selanjutnya dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan, bahwa model pembelajaran
kontekstual hasil belajar siswa, motivasi siswa dalam belajar, sikap siswa dalam belajar,
keterampilan kritis dan keterampilan sosial para pelajar lebih baik dibandingkan dengan
model pembelajaran tradisional yang dilaksanakan oleh guru.
Pelaksanaan pembelajaran kontekstual ini dapat dilakukan oleh semua guru tanpa kecuali,
kemudian dapat dilakukan terhadap semua tingkat dan jenis pendidikan. Tentunya masalah
dan konsep yang diketengahkan harus sesuai dengan tingkat dan level satuan pendidikan.
Untuk tingkat pendidikan anak usia dini berbeda dengan tingkat pendidikan dasar,
demikian pula pendidikan dasar berbeda pula dengan pendidikan menengah.
Kita berharap kiranya pengelola pendidikan di kelas, mau dan menyadari bahwa model
pembelajaran ini baik, dan kami memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak yang
terlibat langsung dengan masalah pendidikan dan pengajaran.
Pihak-pihak tersebut memiliki ikatan batin dan bertanggungjawab secara moral di dalam
mewujudkan pendidikan bermutu sebagaimana yang diharapkan kita bersama.
(1) Kepada Guru di semua tingkat, jenis baik pada Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan
Dasar (SD/SMP, dan Pendidikan Menengah bahkan Pendidikan Tinggi hendaknya dapat
mengembangkan kualifikasi dan kualitas profesinya. Dengan demikian eksplorasi pustaka
dan eksperimen empirik tentang model pembelajaran kontekstual terus dilaksanakan pada
setiap pembelajaran yang dilakukannya.
Kreativitas dalam melaksanakan pembelajaran diantaranya dengan menerapkan
pendekatan belajar mengajar model kontekstual atau CTL dalam setiap mata pelajaran,
(2) Kepada para Guru disampaikan untuk senantiasa bersikap terbuka terhadap inovasi dan
merespon secara aktif dan kreatif setiap perkembangan pendidikan, sehingga apa yang
dilakukan terhadap siswa benar-benar dapat berguna, baik bagi kehidupannya sendiri
maupun orang lain,
(3) Kepada Kepala sekolah agar dapat mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan oleh Guru dan mengadakan pemantauan atau monitoring dan evaluasi secara
rutin dengan tujuan untuk mengingatkan para guru agar dapat melaksanakan proses
pembelajaran dengan baik serta tercapai peningkatan kegiatan pembelajar agar lebih
optimal,
(4) Kepada Instansi atau Lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran di sekolah, disarankan untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan, serta
workshop sehingga sosialisasi dapat merata, dan tidak ada lagi guru-guru yang tidak
mengetahui dan memahami khusus tentang pelaksanaan pembelajaran model pembelajaran
kontesktual kepada para Guru, sehingga para Guru dapat bekerja dengan lebih baik dan
profesional yang nantinya dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, dan
(5) Kepada Depdiknas, Dinas Pendidikan, Perguruan Tinggi (LPM, Lemlit, Jurusan atau
program studi yang ada di LPTK, media massa dan lembaga lain yang terkait untuk
melakukan kegiatan-kegiatan pelatihan berkenaan dengan model pembelajaran kontekstual
yang tujuannya adalah meningkatkan kemampuan dan ketrampilan guru. Semoga ***
AKTIVITAS proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara
keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Tugas utama seseorang guru
ialah mendidik dengan menggunakan mengajar sebagai pelaksanaan tugasnya, siswa aktif
belajar sebagai dampaknya, perubahan pola pikir dan perilaku sesuai dengan yang
diharapkan sebagai hasilnya (Sahabuddin, 199S). Tanggung jawab keberhasilan
pendidikan berada di pundak guru. Olehnya itu, untuk menjadi seorang guru harus melalui
pendidikan dan latihan khusus serta dengan keahlian khusus.
Perubahan peran guru yang tadinya sebagai penyampai penyetahuan dan pengalih
pengetahuan dan pengalih keterampilan, serta merupakan satu-satunya sumber belajar,
berubah peran menjadi pembimbing, Pembina, pengajar, dan pelatih, yang berarti
membelajarkan. Dalam kegiatan pembelajaran, guru akan bertindak sebagai fasilisator
yang bersikap akrab dengan penuh tanggung jawab, serta memperlakukan peserta didik
sebagai mitra dalam menggali dan mengolah informasi menuju tujuan belajar mengajar
yang telah direncanakan (Tangyong, 1996).
Beratnya tanggung jawab bagi guru menyebabkan pekerjaan guru harus memerlukan
keahlian khusus. Untuk itu pekerjaan guru tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang
diluar bidang pendidikan, sehingga profesi guru paling mudah terkena pencemaran.
Guru dalam melaksanakan tugas profesinya diperhadapkan pada berbagai pilihan, seperti
cara bertindak bagaimana yang paling tepat, bahan belajar apa yang paling sesuai, metode
penyajian bagaimanayang paling efektif, alat bantu apa yang paling cocok, langkah-
langkah apa yang paling efisien, sumber belajar mana yang paling lengkap, system evaluasi
apa yang paling tepat, dan sebagainya (Sahabuddin, 1995).
Guru sebagai pelaksana tugas otonom, harus dapat menentukan pilihannya dengan
mempertimbangkan semua aspek yang relevan atau menunjang tercapainya tujuan. Dalam
hal ini gugu bertindak sebagai pengambil keputusan.
Guru sebagai pihak yang ber-kepentingan secara operasional dan mental harus
dipersiapkan dan ditingkatkan profesionalnya, karena hanya dengan demikian kinerja
mereka dapat efektif, Apabila kinerja guru efektif maka tujuan pendidikan akan tercapai.
Yang dimaksud dengan profesionalisme disini adalah kemampuan dan keterampilan guru
dalam merencanakan, melaksanakan pengajaran dan keterampilan guru merencanakan dan
melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa.
Mengingat pentingnya profesionalisme guru dalam pencapaian tujuan pendidikan
utamanya pada skala tingkat institusional, maka perlu adanya pelatihan dan
profesionalisme guru, sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang bisa dijadikan
masukan dalam membuat dan melaksanakan kebijakan di bidang pendidikan terutama pada
tingkat sekolah dasar sampai menengah baik negeri maupun swasta.
Sejalan dengan itu berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam upaya meningkatkan
profesionalisme guru Upaya tersebut antara lain direalisasikan melalui berbagai macam
pelatihan. Hasil penelitian yang mengkaji tentang profesionalisme guru seperti dilakukan
oleh Tomajahu (2002), menunjukkan adanya perbedaan kemampuan kompetisi mengajar
guru yang sering mengikuti pelatihan dengan yang jarang serta pengalaman kerja guru
dalam mempengaruhi kompetensinya.
Motivasi lain yang mendorong perlunya dilakukan pelatihan, pelatihan tersebut sangat
berkait erat dengan bidang ilmu yang ditekuni, selanjutnya pelatihan hendaknya
difokuskann kepada proses pembelajaran, metodologi pembelajaran, pendayagunaan ICT,
pelaksanaan system evaluasi. Tak kalah pentingnya adalah pelatihan yang berkaitan
dengan pelaksanaan kurikulum yang berlaku, dan saat ini sedang di-kembangkan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kita menyadari bahwa kurikulum tingkat
satuan pendidikan belum seluruhnya diketahui oleh guru. Batas waktu implementasi secara
menyeluruh ditetapkan pada tahun 2009. Maka kiranya akan menjadi perhatian pemerintah
dan pemerintah daerah, sehingga pada waktu diterapkan semua persoalan tentang
kurkulum ini tidak menimbulkan masalah lagi.
Selanjutnya, tentunya pelatihan yang berkenaan dengan silabus dan perangkat lainnya,
karena kita menginginkan ke depan guru kita lebih professional, dan guru diharapkan
memiliki kemampuan untuk menjalankan fungsi dan perannya sebagai seorang
professional. Semoga ***
SETIAP siswa memiliki gaya belajar sendiri. Bobbi Deporter (1992) menyebutkan hal itu
sebagai unsur modalitas belajar. Menurutnya ada tiga belajar pada tiap diri siswa dimana
tiap orang memiliki kecenderungan terhadap salah satunya. Ketiga hal itu adalah visual,
auditorial, dan kinestetis. Siswa yang memiliki kece-nderungan visual akan cenderung
belajar dengan cara melihat. Siswa dengan kecenderungan auditorial akan lebih tertarik
untuk belajar dengan mendengarkan suara-suara. Sementara siswa dengan karakter
kinestetis akan lebih tertarik untuk praktek dengan me-lakukan suatu kegiatan atau
menyentuh secara langsung.
Pertama, siswa harus dipandang sebagai manusia yag sedang berkembang dan bukan
sebagai orang dewasa dalam ukuran kecil. Kemampuan belajar siswa sangat dipengaruhi
oleh level perkembangan siswa sehingga kita tidak boleh memberikan pelajaran yang tidak
sesuai dengan level perkembangan siswa tersebut. Dengan demikian guru tidak bertindak
sebagai penguasa dalam sebuah pembelajaran, namun ia berperan sebagai pembimbing
siswa dalam membimbing mereka sesuai dengan level perkembangannya.
Kedua, setiap anak memiliki kecenderungan untuk mencoba hal yang baru. Mereka akan
senang jika mendapat tantangan-tantangan yang baru. Oleh karena itu, guru berperan
sebagai pemilih objek baru dan menantang yang akan dipelajari oleh siswa. Ketiga, belajar
bagi siswa adalah mengaitkan hal-hal yang telah dikuasi dengan informasi baru yang
mereka dapatkan. Dengan demikian tugs guru adalah untuk mengaitkan informasi yang
telah ada pada siswa dengan hal baru yang ia pelajari. Keempat, belajar merupakan proses
penyempurnaan skema yang sudah ada pada diri siswa (asimilasi) dan membuat skema
yang baru (akomodasi). Dengan demikian guru bertugas untuk membantu melakukan
proses asimilasi dan akomodasi.
(a) Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa
yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok
dan Pencapaian Hasil Belajar,
Satu lagi teori pembelajaran yang dapat digunakan sebagai landasan dalam model
cooperative learning. Menurut Piaget (Dahar 1996; Hasan 1996; Surya 2003), setiap
individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut:
(1) Tingkat Sensorimotor (0-2 tahun). Anak mulai belajar dan mengendalikan
lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap
ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi
memiliki pengetahuan object permanence yaitu walaupun objek pada suatu saat tak terlihat
di depan matanya, tak berarti objek itu tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada umumnya
beranggapan benda yang tak mereka lihat berarti tak ada. Pada tahap ini, bayi memiliki
dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-
orang di sekelilingnya.
(2) Tahap Preoporational (2-7 tahun). Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir sebelum
bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan
berpikir logis. Masa 2-7 tahun, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egosentris, di
mana mereka berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang
lain, sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain. Ciri lain dari anak yang
perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya
membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap
walau bentuknya berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini
lebih mudah belajar jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada
menggunakan hanya kata-kata.
(3). Tahap Concrete (7-11 thn). Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki
kemampuan memahami konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun suatu
benda berubah bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak juga
sudah mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak se-
egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam bentuk
konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu
menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas pembelajaran yang
melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif dibandingkan penjelasan guru
dalam bentuk verbal (kata-kata).
(4) Tahap Formal Operations (11 tahun ke atas). Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah
berada pada tahap berpikir abstrak. Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung
konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau
dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal operational
mampu memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana
yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis.
Walaupun pada mulanya, Piaget beranggapan bahwa pada usia sekitar 15 tahun, hampir
semua remaja akan mencapai tahap perkembangan formal operation ini. Namun kenyataan
membuktikan bahwa banyak siswa SMU bahkan sebagian orang dewasa sekali pun tidak
memiliki kemampuan berpikir dalam tingkat ini.
Menurut Surya (2003), perkembangan kognitif pada peringkat ini merupakan ciri
perkembangan remaja dan dewasa yang menuju ke arah proses berfikir dalam peringkat
yang lebih tinggi. Peringkat berfikir ini sangat diperlukan dalam pemecahan masalah.
Proses pembelajaran akan berhasil apabila disesuaikan dengan peringkat perkembangan
kognitif siswa. Siswa hendaklah banyak diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen
dengan objek fizikal, yang disokong dengan interaksi sesama rekan sebaya.***
Anak Autis
Memiliki anak yg menderita autis memang berat. Anak penderita autis seperti seorang yg
kerasukan setan. Selain tidak mampu bersosialisasi, penderita tidak dapat mengendalikan
emosinya. Kadang tertawa terbahak, kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tdk mampu
mengendalikan dirinya sendiri & memiliki gerakan2 aneh yg selalu diulang2. Selain itu dia
punya ritual sendiri yg harus dilakukannya pada saat2 atau kondisi tertentu.
Penelitian yg intensive di dunia medis pun dilakukan oleh para ahli. Dimulai dari hipotesis
sederhana sampai ke penelitian klinis lanjutan. Dan setelah banyak membaca &
mengamati, saya sebagai orang awam yg sederhana ini dapat menarik kesimpulan
sementara, yaitu:
Autis bukan karena keluarga (terutama ibu yg paling sering dituduh) yg tdk dapat mendidik
penderita. Anak autis tidak memiliki minat bersosialisasi, dia seolah hidup didunianya
sendiri. Dia tidak peduli dgn orang lain. Orang lain (biasanya ibunya) yg dekat dengannya
hanya dianggap sebagai penyedia kebutuhan hidupnya. (Baca: Teory of Mind, yg ditulis
oleh seorang autis).
Jarang sekali anak autis yg benar2 diakibatkan oleh faktor genetis. Alergi memang bisa
saja diturunkan, tapi alergi turunan tidak berkembang menjadi autoimun seperti pada
penderita autis.
Terjadi kegagalan pertumbuhan otak yg diakibatkan oleh keracunan logam berat seperti
mercury yg banyak terdapat dalam vaksin imunisasi atau pada makanan yg dikonsumsi ibu
yg sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yg tinggi.
Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yg diperlukan dalam pertumbuhan otak
tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya.
Terjadi autoimun pada tubuh penderita yg merugikan perkembangan tubuhnya sendiri
karena zat2 yg bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun adalah
kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit. Sedangkan autoimun adalah
kekebalan yg dikembangkan oleh tubuh penderita sendiri yg justru kebal terhadap zat2
penting dalam tubuh & menghancurkannya.
Akhirnya tubuh penderita menjadi alergi terhadap banyak zat yg sebenarnya sangat
diperlukan dalam perkembangan tubuhnya. Dan penderita harus diet ekstra ketat dengan
pola makan yg dirotasi setiap minggu. Soalnya jika terlalu sering & lama makan sesuatu
bisa menjadikan penderita alergi terhadap sesuatu itu.
Autis memiliki spektrum yg lebar. Dari yg autis ringan sampai yg terberat. Termasuk di
dalamnya adalah hyper-active, attention disorder, dll.
Kebanyakan anak autis adalah laki-laki karena tidak adanya hormon estrogen yg dapat
menetralisir autismenya. Sedang hormon testoteronnya justru memperparah keadaannya.
Sedikit sekali penderitanya perempuan karena memiliki hormon estrogen yg dapat
memperbaikinya.
Memang berat & sangat sulit menangani anak penderita autis yg seperti kerasukan setan
ini. Perlu beberapa hal yg perlu diketahui, dipahami & dilakukan, yaitu:
Anak autis tidak gila & tidak kerasukan setan. Penanganan harus dilakukan secara medis
& teratur.
Penderita autis sebagian dapat sembuh dengan beberapa kondisi, yaitu: ditangani & terapi
sejak dini; masih dalam spektrum ringan; mengeluarkan racun atau logam berat dalam
tubuh penderita (detoxinasi).
Perlu pemahaman & pengetahuan tentang autis & ditunjang oleh kesabaran & rasa kasih
sayang dalam keluarga penderita. Terutama bagi suami-istri karena banyak kasus anak
autis menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.
Dewasa ini penelitian yg berkesinambungan telah mencapai perkembangan yg luar biasa.
Semakin besar harapan sembuh bagi penderita.
Terapi harus dilakukan terus menerus tidak terputus walau pun tingkat perkembangan
perbaikan kondisi penderita dirasa tidak ada.
Diet harus terus dilakukan secara ketat, terus-menerus & sangat disiplin. Perbaikan kondisi
penderita karena diet berlangsung sangat lambat, tetapi pelanggaran diet dapat
menghancurkan semuanya dalam waktu yg sangat cepat.
Siapa yg tidak ingin anak autisnya dapat hidup mandiri, dapat berkarya & berprestasi baik
serta dapat diterima di masyarakat? Kunci terpenting adalah dengan terus berdoa kepada
Tuhan agar anak dapat diberi kesembuhan & keluarga diberi kemampuan, kekuatan,
kesabaran serta ketabahan dalam membesarkan & mendampingi si anak penderita autis.
Juga agar diberi jalan terbaik dalam kehidupan ini agar dapat membantu & mendukung
proses perbaikan perkembangan penderita.
Metode belajar yang tepat bagi anak autis disesuaikan dengan usia anak serta, kemampuan
serta hambatan yang dimiliki anak saat belajar, dan gaya belajar atau learning style masing-
masing anak autis. Metode yang digunakan biasanya bersifat kombinasi beberapa metode.
Banyak, walaupun tidak semuanya, anak autis yang berespon sangat baik terhadap stimulus
visual sehingga metode belajar yang banyak menggunakan stimulus visual diutamakan
bagi mereka. Pembelajaran yang menggunakan alat bantu sebagai media pengajarannya
menjadi pilihan. Alat Bantu dapat berupa gambar, poster-poster, bola, mainan balok, dll.
Pada bulan-bulan pertama ini sebaiknya anak autis didampingi oleh seorang terapis yang
berfungsi sebagai guru pembimbing khusus
Kartono (2000) berpendapat bahwa Autisma/Autisme adalah gejala menutup diri sendiri
secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar keasyikan ekstrim dengan
fikiran dan fantasi sendiri.
upratiknya (1995) menyebutkan bahwa penyandang autis memiliki ciri-ciri yaitu penderita
senang menyendiri dan bersikap dingin sejak kecil atau bayi, misalnya dengan tidak
memberikan respon ( tersenyum, dan sebagainya ), bila di ‘liling’, diberi makanan dan
sebagainya, serta seperti tidak menaruh perhatian terhadap lingkungan sekitar, tidak mau
atau sangat sedikit berbicara, hanya mau mengatakan ya atau tidak, atau ucapan-ucapan
lain yang tidak jelas, tidak suka dengan stimuli pendengaran ( mendengarkan suara orang
tua pun menangis ), senang melakukan stimulasi diri, memukul-mukul kepala atau
gerakan-gerakan aneh lain, kadang-kadang terampil memanipulasikan obyek, namun sulit
menangkap.
Dari keterangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Autisma/Autisme adalah gejala
menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar,
merupakan gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku, dengan
akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang
lain dan tidak tergantung dari ras, suku, strata-ekonomi, strata sosial, tingkat pendidikan,
geografis tempat tinggal, maupun jenis makan