Anda di halaman 1dari 5

Aspek instrumental dan struktur komposisi

Untuk memahami unsur-unsur estetis dan etika musik yang terkandung dalam
musik tradisi, modern, dan kontemporer, terdapat beberapa model pembelajaran
yang bisa dikembangkan, yaitu:
1. Apresiasi, yaitu mendengarkan atau datang langsung untuk menyaksiskan
pergelaran karya-karyanya dan Anda memberikan komentator terhadap karya
tersebut
2. Pengalaman memainkan karya musik oleh Anda sendiri
3. Pengalaman menciptakan musik berdasarkan pengalaman musikal

Ketiga model tersebut perlu dirancang agar pemanfaatan bunyi sebagai media
akan optimal. Berikut ini beberapa contoh musik kontemporer Indonesia.
1. Tetabuhan Sungut
Karya Tetabuhan Sungut dari Slamet Abdul Syukur merupakan satu karya
yang dimainkan oleh sekelompok paduan suara laki-laki dan perempuan. Ide
utama karya ini, yaitu mentransfer bunyi-bunyi gamelan, vokal, dan alat perkusi
tradisi, seperti suara saron, kendang, dan lain-lain (dung tak gen bern jer, na no ne,
e o e, …) melalui vokal manusia. Ibarat bermain gamelan, namun menggunakan
mulut. Bunyi-bunyi tersebut dikemas menjadi satu kesatuan bunyi yang otonom.
Bukan mengimitasi ssatu gending dan dimainkan oleh suara manusia, namun
bunyi-bunyi tersebut disusun kembali hingga menajdi sebuah komposisi mandiri,
musiknya terdiri atas beberapa bagian, yaitu satu bagian yang menekankan pada
aspek bunyi-bunyi perkusi, saron, dan senggakan.

2. Jalinan Kita
Karya Jalinan Kita merupakan salah satu karya dari Dody Satya Ekagustdiman
yang dimainkan secara quatrophoni. Dalam teknik pementasannya, karya ini
dimainkan oleh empat kelompok yang saling berhadapan secara simetris. Setiap
kelompok menggunakan instrument kecapi, gelas plasik, suling, dan digunakan
vokal. Cara memainkan kecapinya sendiri sangat berbeda dengan cara dalam
mengiringi kawih tradisi. Cara memainkannya adalah dengan dipetik, kemudian
bagian bawahnya ditekan hingga menghasilkan suara baru, atau keseluruhan
kawat dibunyikan secra bersamaan (dari atas ke bawah atau sebaliknya) dengan
menggunakan klaber, atau kawat-kawat kecapi itu dipukul dengan pemukul karet.
Bunyi gelas plastik yang dipukulkan satu sama lain dengan sesekali menutup
bagian mulut gelasnya bisa menghasilkan perbedaaan bunyi yang diproduksi gelas
tersebut. Sementara itu, suling tidak digunakan sebagai alat melodis, namun
komponis memanfaatkan bunyi-bunyinya sebagai bunyi perkusi atau ritmis dan
berbagai aksentuasi. Alat vokal diproduksi menjadi warna-warna suara yang
cenderung aneh, seperti mengaum dan mendesis. Serta teknik komposisinya
sendiri menggunakan berbagai perbedaan birama.

3. Badingkut
Oya Yukarya menciptakan karya Badingkut. Dalam satu bagian tertentu, idenya
bertolak dari eksplorasi warna-warna suara vokal manusia, seperti gaya melodi
bicara dengan menggunakan suatu kalimat yang bunyi huruf vokalnya diganti
dengan hanya menggunakan vokal yang sama a, i, u, e, atau o. kesan lucu dan
akrab terasa pada bagian ini sehingga terkadang penonton mampu larut dalam
karyanya. Tentu saja kekayaan karyanya terletak pada kemampuan menyusun
bunyi-bunyi yang satu sama lain tidak selalu sama dengan menggunakan berbagai
teknik komposisi yang khas.

4. OAEO
Komposisi yang dicipta oleh Wayan Sadra yang berjudul O A E O ini terdapat
kesan menarik karena dengan menggunakan vocal ini saja mampu menjadi satu
karya baru. Dia memadukan vocal tersebut dengan beberapa alat perkusi dan
menggunakan berbagai rangkaian melodi sebagai bahan musical tradisi dengan
teknik pengulangan dan berbagai variasi di setiap bagiannya. Warna suara vocal
laki-laki dan perempuan menjadi satu kesatuan warna yang khas apalagi dalam
karya ini terdapat solois-solois, namun tidak dominan.
Pengaruh budaya Barat terhadap awal perkembangan MKI
Kalau kita berbicara tentang “tradisi Barat”, bagi seorang Barat apa yag
dimaksud “tradisi Barat” akan membingungkan. Ternyata di Indonesia sendiri
“tradisi musik Barat” selalu dihubungkan dengan musik tonal sederhana yang
muncul sekitar pada abad ke-17. Walaupun sistem tonal sendiri memang amat
berperan. Di Indonesia persepsi dan pemahaman akan tradisi Barat tertentu itu
belum mencapai hasil yang memadai, terkecuali pencapaian beberapa orang saja.
Demikianlah kalau kita analisis sebagian bentuk musik di Indonesia
penggarapannya dengan gaya barat itu. Perkembangan seni musik yang terjadi
khususnya di Indonesia tentunya mampu menjelaskan seberapa besar peranan
sistem tonal itu sendiri.

Namun penggunaan istilah kontemporer di Indonesia, terutama cara yang


ditawarkan Franki, mengarah kepada sesuatu yang bagi orang Barat sama sekali
tidak berhubungan dengan aspek “kontem-porer”, melainkan dengan suatu saat
atau masa dalam perkembangan musik Barat yang telah menyerbu Indonesia
melalui jalur kolonialisme, dalam hal ini, yaitu peranan kolonialisme saya setuju
dengan Franki (Mack, 2004: 12).

Sampai saat ini tidak ada suatu alasan pun, kenapa MKI dikaitkan secara
mutlak dengan pengaruh musik tonal Barat. Penalaran semacam ini mengabaikan
kenyataan bahwa dalam berbagai budaya musik Indonesia terdapat pembaharuan
yang juga bisa dibandingkan dengan pengertian kontemporer di Barat. Akan tetapi
selalu berhubungan dengan gramatika atau bahasa seni musik yang asli Indonesia,
misalnya gaya Kebyar di Bali.
Memang sulit untuk mengumpulkan data yang akurat mengenai pengaruh
budaya Barat terhadap MKI. Karena musik itu sendiri dimulai dari barat sendiri.
Namun, bukan berarti MKI yang terdapat di Indonesia sepenuhnya mendapat
pengaruh dari budaya Barat. MKI masuk ke Indonesia memang mengikuti
perkembangan dari gaya barat. Tetapi itu bukan argumentasi yang dapat
menyatakan bahwa MKI keluar dari tradisi musik dalam negeri sendiri.
Pembangunan suatu bangsa yang mengabaikan kebudayaannya akan
melemahkan sendi-sendi kehidupan bangsa itu sendiri. Pembangunan yang tidak
berakal pada nilai fundamental budaya bangsanya, akan berakibat pada hilangnya
kepribadian dan jati diri bangsa yang bersangkutan ( Sutrisno, 1993: 15).

Pendapat dari seorang pengamat seni seperti Franki bisa saja menimbulkan
kesalahpahaman yang besar karena pendapatnya mencoba menggabungkan
komersialisasi dengan aspek seni itu sendiri. Sementara analisisnya hanya
diperkuat dengan alibi yang menghubungkan MKI dengan objek komersial
sebagai tujuan utama dari jenis musik maka dapat disimpulkan bahwa,
argumentasi Franki yang menyatakan MKI sepenuhnya berkembang berdasarkan
musik Barat tidak sepenuhnya benar. Banyak argumen lainnya yang menyatakan
musik barat memang berpengaruh terhadap perkembangan MKI namun MKI tetap
berpegang pada kebudayaan sendiri.

Musik kontemporer di Indonesia


Menggambarkan kekhasan musik kontemporer di Indonesia adalah
(walaupun hanya satu kelompok, yaitu yang nonkarawitan) tidak mungkin karena
pasti terdapat beberapa komponis yang menarik, tetapi tidak sesuai sepenuhnya
dengan kriteria-kriteria utama tentang musik kontemporer. Kalau suatu ciri khas
kemudian dapat dikaitkan dengan satu orang saja, maka pasti masih ada beberapa
di belakangnya yang juga mesti disebut. Keanekaragaman individual musik
kontemporer di Indonesia barangkali tidak disangka sebelumnya oleh beberapa
orang, terutama ditinjau dari peranan kesadaran hidup secara individual yang
masih belum menonjol sebagai ciri khas budaya Indonesia (pengutamaan
kesadaran kelompok dan gotong royong misalnya, untuk menyebut berbagai
aspek saja).
Bagi telinga orang Barat, mula-mula kebanyakan komposisi kontemporer
di Indonesia barangkali dirasakan agak sederhana, improvisatif, bahkan seperti
“main-main saja”. Ternyata hal tersebut bisa ditafsirkan sebagai salah satu benang
merah hampir antara semua komponis di lingkungan kontemporer. Namun, tetap
saja ada konotasi negatif. Tafsiran seperti ini kurang cocok untuk sebagian karya-
karya komponis Indonesia, karena justru unsur “main-main” itu adalah metode
tertentu untuk mentransfer unsur kesadaran kolektif pada suatu konsep karya seni
yang lebih otonom.
Dengan demikian, bentuk musikal sering terjadi pada saat pementasan
salah satu karya melalui proses interaksi antar musisi. Dimana esensi kualitatif
sebagai karya seni tidak bisa dipelajari dari notasi partitur. Maka tidak
mengherankan kalau beberapa musikolog atau kritikus Barat cenderung pada
kesalahpahaman karya-karya komponis Indonesia dalam proses penilaiannya.
Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang menjadi sanggar musik dengan
anggota berumur antara 16-30 tahun merupakan semacam “play ground” untuk
semua eksperimen dan perwujudan konsep-konsep Harry (Komponis Indonesia).
Sekali lagi terasa bahwa konsep Harry adalah suatu ide kerjasama antar orang
dalam bentuk yang unik, akan tetapi sekaligus sesuai dengan salah satu ciri khas
budaya Indonesia. Hal tersebut merupakan salah satu contoh dari berbagai
komponis di Indonesia yang mampu menunjukkan identitas dari budaya Indonesia
sendiri.

Anda mungkin juga menyukai