Anda di halaman 1dari 10

TUGAS ANALISIS

SENI BUDAYA
MUHAMMAD ZUHAL DZIKRU RAHMAT
XII IPA 6
SMA NEGERI 6 TAMBUN SELATAN
11 DESEMBER 2019
Analisis Musik “Orang Basah” Karya Harry Roesli
Ada berbagai permasalahan yang penulis hadapi ketika memulai menganalisis
karya ini. Pertama, yaitu dokumen karya “orang basah” yang penulis peroleh untuk
sementara ini adalah dokumen yang berupa rekaman audio saja. Sedangkan dokumen
tertulis seperti notasi, coretan dan lain-lain tidak ditemukan karena kebanyakan karya-
karya Harry Roesli dibuat dalam arsip komputer melalui program/software yang
namanya SP Gold (untuk system WS sebelum window), persoalannya computer jenis
tersebut sudah sangat langka. Untuk itu dalam beberapa pembahasan penulis mencoba
membuat notasi yang bersifat analitis (bukan notasi lengkap) yang berdasar pada
dokumen audio tersebut.
Persoalan di atas di dasari oleh suatu pemikiran seperti apa yang dikemukakan oleh
Suka Hardjana, antara lain :
…cukup banyak karya-karya baru dan lama dari para pencipta musik seni di
Indonesia yang bagus-bagus hilang atau dilupakan begitu saja karena tiadanya
dokumen-dokumen tertulis otentik memadai yang memungkinkan untuk bisa dilacak
kembali melalui studi kearsipan manuskrip. Kita tidak tahu, bagaimana seluruh proses
penciptaan musik yang hebat-hebat itu dibuat. Dokumen dalam bentuk rekaman
audio-visual tidak cukup memadai untuk menelaah kembali studi karya musik.
Dokumen tertulis dalam berbagai deskripsi teks, tanda-tanda, corat-coret kode, dan
petunjuk simbol-simbol, maupun notasi komposisi, masih tetep relevan dan menjadi
sumber bukti utama untuk suatu telaah musik. Dari telaah studi tertulis inilah ‘musik
baru’ dikembangkan. Bukan dari spekulasi daya dengar yang seolah-olah. (17:2003).

Kedua adalah, dalam hal kaitan antara musik dengan syair, tidak akan dibahas
dikarenakan beberapa masalah, salah satunya adalah penulis sampai saat ini belum
mendapat informasi yang jelas tentang isi syair tersebut, sebab artikulasi syair pada
rekaman audio ini tidak semuannya terdengar jelas. Oleh karena itu, daripada terjadi
kesalahpahaman sebaiknya aspek ini untuk sementara penulis abaikan.

Ketiga, dalam mengidentifikasi mengenai nama-nama instrumen secara spesifik


(kaitan dengan warna suara, register/range dll), terutama bunyi/sound instrument
synthesizer, penulis merasa ragu untuk menyebutkan atau menentukan nama
instrumen secara pasti. Hal ini dikarenakan ada dua kategori sound yang digunakan,
antara lain sound synthesizer yang merupakan tiruan dari alat musik akustik
dan soundsynthesizer murni yang merupakan proses olahan secara elektronik yang
dapat memungkinkan terciptanya berbagai karakter/warna suara yang lain (selain alat
musik akustik).

SASARAN ANALISIS
Dalam melakukan analisis sebuah karya musik, tentunya kita berupaya agar hasil
dari analisis tersebut dapat bersifat obyektif. Namun pada kenyataannya, sering kali
sebuah analisis karya musik dapat bermacam-macam hasilnya, tergantung dari sudut
pandang mana kita dapat menilainya. Hal ini dikarenakan tools (meminjam istilah dari
Suka Hardjana) atau wahana masing-masing orang sangat berbeda. Sehingga jika satu
karya musik kemudian dianalisis oleh dua orang akan terjadi dua hasil yang berbeda,
walaupun secara kebetulan memiliki arah yang sama tetapi tidak mungkin persis
detailnya. Oleh karena persoalan di atas, penulis mencoba membatasi sasaran analisis
dalam dua aspek, antara lain:
1. Kesan Afektif
Bagi orang awam, aspek ini adalah aspek yang pertama kali ditangkap ketika
seseorang mendengar karya musik. Dari aspek ini timbul kesan yang sifatnya lebih
subyektif yang berhubungan dengan perasaan-perasaan seperti sedih, gembira,
menggangu, menyakitkan, enak, tidak enak dan lain-lain. Kemudian dari aspek ini juga
akan terbentuk suatu selera pribadi yang kadang-kadang memungkinkan timbul kesan
positif maupun negatif. Oleh karena itu aspek ini akan sangat sulit diukur karena
berbagai kesan afektif yang dirasakan masing-masing orang akan sangat berlainan.
Namun demikian aspek ini sangat penting karena tanpa aspek ini mendengarkan musik
akan sangat membosankan.
REPORT THIS AD
2. Kesan Parametris
Aspek ini merupakan aspek yang berhubungan dengan hal teknis yang setidak-
tidaknya dapat diukur. Aspek ini meliputi sebagai berikut:
a) Bentuk
b) Frekwensi (Tinggi Rendah Nada)
c) Durasi (Ritme, Tempo)
d) Dinamika
e) Warna Suara/Warna Bunyi
f) Artikulasi

Dalam uraian analisis, baik kesan afektif maupun kesan parametris, dalam
prosesnya diperlukan interprertasi dari penulis yang bertujuan agar dapat menemukan
keunikan-keunikan yang ada dalam karya ini. Selain itu analisis ini tidak berurutan
berdasar pada unsur-unsur di atas, tetapi berdasarkan pada urutan peristiwa bunyi
yang terjadi dalam karya itu.
1. Pembukaan
Musik ini diawali oleh bunyi “gong” (synthesizer) sebagai tanda dimulainya
karya ini. Kemudian muncul “marimba”. Dengan adanya aksen, sudah sangat jelas untuk
sementara dapat kita tentukan bahwa karya ini berbirama 4/4 dan motif ini diulang dua
kali (4 Bar). Selanjutnya pada bar ke-4 muncul melodi sebagai tanda ada tambahan
bunyi lain. Melodi ini kita sebut sebagai “melodi pendek”. Secara sekilas, oleh karena
warna suaranya melodi ini terdengar agak asing, namun jika kita lihat jumlah nada serta
susunan intervalnya melodi ini bersifat pentatonic mirip laras degung atau pelog jawar.
Jika kita identifikasi serta urutkan nadanya dari yang paling tinggi. Kemudian bunyi “sax”
masuk. Dengan tambahan bunyi “sax” menghasilkan tekstur ritme yang lebih tebal,
karena antara motif “marimba” awal dengan motif “sax” ini memiliki aksen yang kurang
lebih sama, apa lagi dalam nada “sax” terdapat nada yang meloncat satu oktaf dan
sangat dirasakan sebagai aksen juga (malahan lebih kuat), sehingga kedua motif ini
terkesan saling mengisi. Motif sax ini diulang tiga kali (6 Bar). Sampai di sini, peristiwa
bunyi dari mulai bunyi “gong” sampai bunyi “sax” dapat dikatakan sebagai bagian
pembukaan. Selanjutnya tekstur tersebut menjadi suatu landasan atau semacam
“ancang-ancang” untuk bagian selanjutnya.

2. Bagian A
Peristiwa selanjutnya adalah masuknya bunyi tutti (bunyi bersama-sama)
dengan tekstur melodi yang cepat dan padat, kita sebut saja sebagai bagian A. Bagi
penulis bagian ini dapat dirasakan sebagai “awal suatu adegan” karena teksturnya yang
sangat kontras dibanding dengan peristiwa bunyi sebelumnya. Selain itu kalimat
melodinya terasa mulai “membicarakan sesuatu”, menurut penulis hal ini dikarenakan
oleh beberapa faktor antara lain, kehadiran vocal dengan syair dan adanya nada akhir
yang sama dari semua frase-frase melodi. Oleh karena itu, seolah-olah kemana pun
nada-nada itu bergerak selalu memiliki arah serta tujuan tertentu seperti sebuah “topik
pembicaraan”. Bagian ini dapat diidentifikasi memiliki empat frase melodi dengan nada
akhir yang selalu sama yaitu nada E. Kalau kita perhatikan melodi di atas, bahwa frase 1,
2 dan 3 memiliki kalimat melodi yang masing-masing berbeda namun akhir kalimat
selalu berakhir pada ketukan arsis. Sedangkan frase 4 sebenarnya hampir mengulang
atau hampir sama dengan frase 2, hanya pada frase 4 terdapat tambahan kalimat melodi
yang memiliki fungsi mengakhiri atau menyelesaikan keseluruhan melodi bagian ini.
Selain itu pada frase 1 dan 2 tidak ada bunyi perkusi namun perkusi baru mulai masuk
pada frase ke 3. Pada bagian ini terdapat pula beberapa kalimat melodi improvisasi
yaitu semacam “lead” yang seakan-akan memberi reaksi terhadap melodi tutti secara
bergantian.
3. Bagian A’
Berikutnya, keseluruhan bagian di atas baik melodi tutti maupun aspek
improvisasi diulang, namun sebelumnya, “lead” dan motif perkusi seperti di atas
berjalan selama 4 bar, kemudian motif perkusi tersebut diulang-ulang, berfungsi
sebagai landasan melodi.

4. Bagian B
Setelah itu kembali ke bagian perkusi serta ditambah dengan vocal. Bagian ini
kita sebut sebagai bagian B. Setelah bagian ini diulang dua kali, diselesaikan oleh melodi
“penyelesaian” seperti yang terdapat pada melodi frase 4 bagian A.

5. Bagian C
Peristiwa bunyi selanjutnya mesti dikatakan sebagai bagian C oleh karena secara
materi terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Salah satu ciri khasnya adalah adanya
kesan blue not, seperti gaya melodi pada jenis musik blues atau jazz. Jika kita lihat
notasi di atas, terdapat kalimat melodi sebanyak 6 frase. Pengelompokan ini
berdasarkan pada suatu pertimbangan yang mana setiap frase dalam kalimat melodi
tersebut selalu diawali dengan not 1/16 an yang jatuh pada ketukan arsis (lihat not
yang berwarna merah), sehingga dapat dirasakan sebagai ketukan opmat. Untuk itu
suatu frase melodi yang diawali dengan ketukan tesis dapat dikategorikan sebagai
sesuatu yang lain. Penulis memberi istilah pada melodi ini yaitu selingan 1, selingan 2
serta penyelesaian seperti melodi frase 4 pada bagian A. Selain itu dari keseluruhan
melodi pada bagian ini terdapat urutan frase yang mengalami pengulangan yaitu frase 1,
frase 2, frase 3 (lihat tanda dengan block tipis) dan frase 2 frase 5 (lihat tanda dengan
block tebal). Namun karena teknik pengolahannya urutannya terasa acak, sehingga
secara auditif ulangan tersebut tidak mudah untuk diingat.

Pada prinsipnya melodi ini terkonsentrasi pada nada B dengan acciaccatura nada
Ais (blue notnya) yang selalu muncul pada ketukan pertama (tesis), sehingga sangat
terasa kuat dan menonjol. Hal ini sebenarnya merupakan suatu konsep pengolahan
serupa jika kita bandingkan dengan setiap frase melodi akhir bagian A yang selalu
berakhir dengan nada E dan akhirnya boleh kita katakan bahwa konsep pengolahan
melodi ini dianalogikan seperti sebuah sikap “to the point”.

Dari apa yang penulis dengar maupun mencoba untuk menulis notasinya, melodi
ini terasa memiliki kompleksitas yang cukup tinggi. Namun setelah diamati kembali
bahwa sebenarnya melodi ini berdasar pada lima nada (Pentatonic), yang mana nada-
nada tersebut merupakan nada pokok pada keseluruhan melodi bagian ini, sedangkan
nada-nada lain dapat dikatakan sebagai blue not atau nada lintasan saja. Lima nada
pokok tersebut yaitu.
6. Interlude
Berikutnya masuk pada bagian lain, kita sebut saja interlude, karena bagian ini
berfungsi sebagai jembatan saja untuk masuk pada bagian selanjutnya. Melodi bagian
ini merupakan melodi kutipan dari frase-frase melodi yang terdapat pada bagian A,
namun terdapat sedikit perbedaan oleh karena aspek pengolahan serta munculnya
bunyi bass dan drum sebagai landasan. Bahwa melodi interlude ini dibangun dari
materi melodi bagian A terutama frase 2 awal dan frase 4 bar ke 2 (lihat dan bandingan
dengan bagian A). Namun kutipan frase 4 bar ke 2 ini selanjutnya diolah dengan
menambah nada hingga menjadi sebuah akor vertikal dengan interval kwart murni
yang bergerak secara paralel. Selanjutnya bagian ini diakhiri oleh melodi “penyelesaian”
seperti yang telah muncul sebelumnya, hanya vocal mulai masuk pada bagian
syair ;“orang basah orang yang penting”.

7. Bagian B’
Bagian selanjutnya kita kategorikan sebagai bagian B’ (dengan aksen) karena
materi utamanya adalah materi melodi seperti pada bagian B, hanya saja teksturnya
sangat berbeda. Hal ini disebabkan oleh bunyi-bunyi instrument jadi lebih banyak
walaupun sebenarnya semua materi pada bagian ini telah muncul sebelumnya, kecuali
motif drum yang muncul paling awal pada bagian ini. Materi bunyi-bunyi instrument itu
antara lain sax, “melodi pendek”, perkusi, bass dan improvisasi “lead”. Masuknya
instrument tersebut berjalan secara berurutan, pertama Beat drum (gaya Jazz Rock),
setelah selama 2 bar disusul vocal bersamaan dengan bass serta “melodi pendek”,
dalam waktu selama 4 bar kemudian masuk perkusi, setelah 4 bar lagi masuk “sax” dan
improvisasi “lead” berjalan sampai 6 bar. Motif-motif instrument serta vocal tersebut
dapat kita lihat pada notasi di bawah ini. Selanjutnya yang tersisa hanya improvisasi
dan perkusi 1 yang menjadi jembatan untuk bagian selanjutnya.

8. Bagian D
Peristiwa bunyi yang terjadi kemudian adalah kita sebut sebagai bagian D.
bagian ini merupakan sebuah konsep pengolahan ritme yang cukup kompleks. Jalinan
ritme antara ritme perkusi dengan ritme vocal seperti berjalan sendiri-sendiri, sehingga
dapat dikatakan sebagai polyritme. Yang unik adalah bahwa materi dasar ritme
sebenarnya sangat sederhana. Hampir secara keseluruhan ritme ini bangun dengan
menggunakan not 1/16-an, hanya saja bahan ritme ini diolah sedemikian rupa sehingga
memiliki kesan aditif serta menghasilkan pola ritme yang sangat variatif. Salah satu
contoh kita lihat notasi untuk vocal. Pada intinya bagian ini merupakan permainan
ritme dengan warna suara. Syair pada setiap suku kata seperti o – rang – ba – sah – dan
– ke – ring – uh – hey, diperlakukan sebagai fonem yang memiliki warna suara
tersendiri. Apalagi ditambah dengan ritme perkusi yang diolah pula warna suaranya,
sehingga menghasilkan suatu tekstur yang yang saling bersahutan atau saling mengisi.
9. Bagian E
Berikutnya masuk pada suatu melodi yang sama sekali “baru”, alasan penulis
menyatakan baru karena gaya melodi ini sangat lain daripada sebelumnya.
Perbedaannya tampaknya terletak pada pendekatannya, yakni melodi-melodi awal
cenderung dibangun dari pendekatan secara harisontal, namun pada bagian ini
pendekatan bukan hanya secara harisontal tetapi secara vertikal. Artinya konsep jalinan
melodi berdasarkan pertimbangan suatu akor. Seperti seorang pianis jazz saat
berimprovisasi (tentunya jazz tradisional), biasanya alunan melodi yang dimainkan
dengan tangan kanan mesti ada korelasi dengan tangan kiri yang bermain akor baik
secara langsung maupun tidak. Bagian ini kita sebut sebagai bagian E.

Coba lihat not 1/16-an yang ditandai dengan diblock, not-not dalam motif melodi
tersebut bersifat repetitive serta memiliki loncatan interval yang hampir sama,
perbedaannya hanya terletak pada satu not yaitu not Bes (warna merah) dan not Gis
(warna biru). Sedangkan perbedaan ritme terletak pada posisi ketukan khususnya nada
E. ulangan pertama jatuh pada sub division 1, ulangan kedua jatuh pada sub division 3,
ulangan ketiga jatuh pada sun division 2 sedangkan dua ulangan berikutnya posisi
ketukan sama dengan ulangan pertama dan kedua. Suatu konsep dimana sebuah motif
melodi diulang dengan memilki posisi ketukan yang berbeda akan terasa memiliki
perasaan birama yang bervariasi (aditif), padahal bagian ini masih dibangun dalam
birama 4/4.

10. Bagian F
Selanjutnya pada bagian F terjadi sebuah suasana yang sangat kontradiktif,
karena tiba-tiba saja masuk angklung dan kendang dengan gaya boboyongan. Perlu
diketahui bahwa boboyongan dalam kesenian tradisional sunda memilki kesan meriah,
musik semacam ini sering dipakai salah satunya dalam upacara perayaan. Namun dalam
karya ini boboyongan tersebut memilki konteks yang lain. Aspek musikalnya tidak usah
dibahas karena hanya menggunakan motif sederhana serta diulang-ulang. Jika kita
sedikit menghubungkan dengan judul karya ini, maka konteksnya menjadi agak jelas.
Bagian ini menurut menulis merupakan “kenakalan” Harry Roesli dalam misinya
tentang protes terhadap keadaan politik di Indonesia. Akhirnya musik boboyongan ini
secara afektif terasa sangat ironis dan dapat ditafsirkan bermacam-macam. Apakah
musik ini bermaksud mengolok-olok, atau sekedar basa basi seperti kepolosan warga
kampung saat menyambut seorang pejabat yang mengunjungi desanya? Penulis kira
kita bebas untuk menafsirkannya. Yang pasti bahwa pada bagian ini aspek suasana
hiruk pikuk yang “merakyat” sangat terasa sekali.
Nampaknya suasana ini semakin menarik ketika instrument bass masuk dengan
gaya “walking bass” (seperti dalam irama swing jazz) yang terasa arahnya tak tahu
kemana seperti “orang mabuk”. Kesan ini sebenarnya dibangun dari aspek improvisasi
bass yang secara harisontal nada-nadanya melangkah secara kromatik dengan “teknik
12 nada” yang bertujuan menghindari kesan pusat nada. Selanjutnya, ternyata berbagai
motif sebelumnya muncul kembali hingga menyatu dengan musik boboyongan. Motif-
motif tersebut antara lain, motif bass seperti pada notasi 11, motif perkusi seperti pada
notasi 6, melodi pendek seperti pada notasi 2, motif sax seperti pada notasi 4, ditambah
dengan aksen-aksen drum.

11. Bagian E’
Pada bagian ini, materi dasarnya adalah melodi bagian E, hanya materi tersebut
diolah instrumentasinya. Diulang sebanyak empat kali, ulangan pertama persis seperti
pada bagian E ditambah dengan aksen-aksen, ulangan kedua dan ketiga teksturnya
dipertebal, sedangkan ulangan ketiga hanya akornya saja (lihat kunci bass).

12. Bagian G
Bagian ini merupakan kombinasi antara bagian E dan bagian A. Materi bagian E
terutama motif akord dijadikan sebagai landasan untuk melodi bagian A frase 3 dan
melodi interlude.

13. Bagian E’’


Pada prinsipnya, bagian ini bersumber dari bagian E, namun aspek
instrumentasinya diolah lagi serta ada tambahan vocal sehingga berbeda dengan olahan
sebelumnya. Materi pertama yang muncul adalah motif akordnya kemudian ulangan
kedua materi utuh bagian E.

14. Bagian B’’


Pada bagian ini melodi vocal kurang lebih sama dengan bagian B, yang berbeda
terletak pada landasannya yaitu motif marimba seperti pada bagian pembukaan.

15. Bagian C’
Bagian ini diambil dari melodi bagian C separuhnya serta dikombinasikan
dengan perkusi pada bagian D. Materi bagian ini sebenarnya tidak begitu tampak ada
pengolahan, sehingga kesan mengulang persis bagian C agak kuat. Namun karena aspek
perkusi dari materi bagian D menyebabkan teksturnya berbeda, sehingga dapat
dikatakan sebagai bagian yang lain.
16. Bagian Akhir (Penutupan)
Secara proses, bagian ini merupakan pengulangan dari motif awal atau bagian
pembukaan dengan arah mundur. Jika pada bagian pembukaan di awali dengan gong
kemudian perkusi, pada bagian ini, terjadi sebaliknya. Seperti kata pepatah asal dari
tanah kembali ke tanah.

KESIMPULAN
Dari hasil analisis ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa karya ini, mulai
dari bagian awal sampai bagian akhir tak ditemukan ulangan bagian yang sama persis.
Artinya, setiap bagian selalu mengalami perubahan, perbedaan atau perkembangan.
Dengan kata lain bahwa pengolahan bentuk Yang terjadi dalam karya ini sangat
progresif. Jika kita urutkan bagian-bagian dari bentuk karya ini, antara lain:

– PEMBUKAAN (AWAL)

– A – A’ – B – C

– INTERLUDE

– B’ – D – E – F – E’ – G – E’’ – B’’ – C’

– PENUTUPAN (AKHIR)

Selain itu, bahan atau materi dasar yang disusun dalam karya ini sangat dibatasi
sehingga terkesan hemat. Konsep hemat dalam karya ini, bukan saja terdapat pada
pengolahan bentuk secara keseluruhan tetapi juga terlihat pada materi-materi dasar
pada setiap bagian. Selanjutnya, bahan yang terbatas tersebut diolah sedemikian rupa
(“diotak-atik”) hingga akhirnya menjadi kaya.

Jika kita kaitkan antara sosok Harry Roesli (seperti yang pernah dibahas pada
bagian sebelumnya) dengan karya ini, ada beberapa hal yang perlu kita tafsirkan
kembali sejauh mana kecocokannya. Seperti tentang penggunaan idiom musik pop, rock,
dan jazz, tampaknya sangat jelas sekali terlihat dalam beberapa elemen bagian.
Misalnya, aspek “beat drum” (gaya Jazz Rock), sinkopisasi, improvisasi, blue not, akord
“kwart-kwart”, dan lain sebagainya.
Sedangkan persoalan mengenai kritik sosial politik, nampak pada judul atau
syair. Sebenarnya, jika kita menyimak sedikit dari kutipan syair yang terdengar jelas,
seperti pada bagian B, antara lain, “Orang basah – Orang yang penting – berdiri miring –
tak bisa kencing – orang bertaring”, cukup jelas dapat kita tafsirkan bahwa kata-kata
tersebut memiliki makna, maksud serta tujuan seperti di atas, yakni kritik sosial politik.
Selain itu, penggunaan melodi yang cenderung harisontal, serta penggunaan instrument
angklung secara parametris dapat ditafsirkan sebagai sikap “kepedulian lingkungan”
serta membuktikan adanya wacana tentang musik etnik (khususnya Sunda). Dalam hal
ini keterlibatan musik boboyongan pun, dapat memilki kesan kiritk juga seperti yang
telah dikemukakan dalam proses analisis.

Terakhir adalah konsep pertunjukan yang antara lain melibatkan unsur teater,
seni rupa, seni tari, gambar, film dan lain-lain yang orsinil khas “Indonesia”,
mengingatkan kita pada konsep “seni tontonan” seiring dengan semangat kesenian
tradisional seperti, Lenong, Ketoprak, Topeng Banyet, Wayang dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai