Anda di halaman 1dari 6

NAMA: EMANUEL BAGAS PRIMA JAYA KELAS: E-1

LAPORAN MEMBACA BUKU

A. FIKSI
Judul : Divergent
Pengarang : Veronica Roth
Penerbit : Katherine Tegen Books
Kota terbit , tahun terbit : 2011
SINOPSIS ISI BUKU
Cerita dimulai di Chicago (masa depan). Manusia-manusia dipisahan berdasarkan
sifat yang dimilikinya ke dalam 5 faction/faksi (golongan) yang berbeda-beda . Ada
Abnegation yang menganut ketidakegoisan, Dauntless bagi mereka yang menganut
keberanian, Erudite yang menganut pengetahuan, Candor yang meganut kejujuran, serta
Amity yang menganut kedamaian. Kelima faksi ini hidup rukun, dan masing-masing faksi
memiliki peran spesifik dalam kehidupan bermasyarakat. Abnegation sebagai pemerintah,
Dauntless sebagai penjaga kota, Erudite sebagai peneliti, Candor sebagai hakim-hakim, dan
Amity yang memilih pergi dari kehidupan kota dan berladang.

Beatrice Prior dan keluarganya merupakan Abnegation, yang budayanya


mengharuskan mereka untuk selalu mementingkan orang lain terlebih dahulu, misalnya
dengan selalu mengalah kepada orang lain, memakai baju abu-abu agar tidak menarik
perhatian serta selalu siap untuk menolong dan mengabdi kepada orang lain. Sikap-sikap
tidak egois ini membuat Abnegation ditunjuk oleh faksi lain untuk memegang pemerintahan
karena dalam teorinya pemerintah merupakan orang-orang yang rela bekerja dan mengabdi
bagi rakyatnya.

Saat seseorang telah berusia 16 tahun, setiap orang akan mengikuti Choosing
Ceremony untuk menentukan apakah mereka akan melanjutkan hidup di faksi yang sama atau
pindah ke faksi lain. Sebelum menentukan faksi yang dipilih, seseorang akan mengikuti tes
yang dapat menunjukkan kecenderungan sifat seseorang, hasil tes Beatrice menunjukkan
bahwa dia tidak hanya memiliki satu sifat yang menonjol, namun memiliki tiga: Abnegation,
Dauntless dan Erudite. Orang-orang yang cocok di lebih dari satu faksi disebut Divergent.
Keberadaan seorang Divergent sangat jarang dan Beatrice diperingatkan untuk tidak
menceritakan hasil tesnya kepada siapapun karena menjadi seorang Divergent sangatlah
berbahaya. Karena menurut Erudite, Divergent akan merusak sistem faksi yang telah ada
karena mereka memiliki beberapa sifat yang menonjol.

Pada saat Choosing Ceremony, Beatrice memutuskan untuk meninggalkan


keluarganya dan bergabung dengan Dauntless. Setelah memilih Dauntless belum berarti ia
merupakan anggota Dauntless,. Beatrice dan calon anggota Dauntless yang lain harus melalui
proses inisiasi, dan dari 20 orang calon anggota hanya 10 orang yang akan lulus inisiasi dan
berhak menjadi Dauntless. Sepuluh orang yang tereliminasi akan dikeluarkan dari Dauntless
dan menjadi factionless, yaitu orang-orang yang tidak termasuk dalam faksi manapun dan
mereka akan menjadi gelandangan di pinggir kota.
NAMA: EMANUEL BAGAS PRIMA JAYA KELAS: E-1

Setibanya di Dauntless, Beatrice mengubah namanya menjadi Tris. Hampir seluruh


buku ini menceritakan proses inisiasi yang dilalui Tris dan teman-temannya. Dari belajar
bertarung dengan tangan kosong, melempar pisau, hingga melalui fear simulation, yaitu
simulasi yang menguji ketahanan para anggota terhadap ketakutan-ketakutan terbesar
mereka. Dengan tes-tes di atas, satu per satu anggota baru Dauntless akan disingkirkan, dan
Tris yang berasal dari Abnegation, yang tidak pernah bertarung/berkonflik pastinya
kesusahan. Namun dengan bantuan Four, seseorang yang merupakan anggota Dauntless
senior, Tris diajari cara bertarung dan melewati fear simulation.

Sementara di Dauntless para anggota berjuang untuk menjadi yang terbaik, di dunia
luar mulai terjadi pergolakan, ketika para Erudite mulai mempertanyakan keberadaan
Abnegation yang menjadi pelaku pemerintahan. Erudite mencoba menghasut masyarakat
dengan menyebarkan berita bahwa Abnegation menyalahgunakan kekuasaan yang
dimilikinya. Hal-hal yang terjadi di luar mulai mempengaruhi kondisi di Dauntless serta
pandangan Tris terhadap dirinya sendiri dan dunianya.
NAMA: EMANUEL BAGAS PRIMA JAYA KELAS: E-1

B. NONFIKSI

Judul : Soegija
Pengarang : Ayu Utami
Penerbit : KPG
Kota terbit , tahun terbit : 2012
SINOPSIS ISI BUKU
Soegija lahir di Solo tahun 1896. Ayahnya, Karijosoedarmo, adalah seorang abdi
dalem Keraton Surakarta. Ia bukan dari keluarga Katolik dan bukan beragama Katolik.
Namun, pertemuannya dengan Romo Van Lith mengantarkan Soegija melihat kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan yang bagus, menyamai pendidikan Belanda, dan terbuka
untuk anak pribumi. Untuk tidak kalah dengan kaum penjajah, ia harus maju seperti mereka.
Maka Soegija pun bersekolah di Kolase Xaverius yang dipimpin oleh Romo Van Lith.
Melalui pendidikan merupakan satu-satunya cara untuk membangun kehidupan yang baik.

Soegija kecil merupakan anak yang cerdas, suka membantah, penuh daya kritis, dan
pertanyaan. Setelah satu tahun menjalani pendidikan di Kolase Xaverius, tahun 1910, Soegija
dibaptis dengan nama baptis Albertus. Hal ini tentu tidak mudah bagi orang tuanya untuk
menerima perpindahan iman putranya. Bagi orang Jawa semua agama itu bagus asal
dijalankan dengan betul dan membuat manusia menjadi baik. Hal ini menunjukkan
kerendahan hati bahwa kita tidak bisa memaksakan kebenaran yang kita imani kepada orang
lain. Kesadaran bahwa ia datang dari masyarakat dengan spiritual tinggi itu membuat Soegija
tidak minder menghadapi gereja Katolik yang sangat berbudaya Eropa.

Kemudian Soegija menjalani pendidikan teologi dan novisiat di Belanda pada tahun
1919 sampai dengan 1926. Pendidikan untuk menjadi seorang imam katolik berjenjang-
jenjang. Ia harus belajar banyak hal, mulai dari belajar bahasa, teologi, filsafat, memperdalam
panggilan imannya, dan ia juga harus membiasakan diri dengan aturan ordo (satu kongregrasi
dalam Gereja Katolik Roma yang anggotanya terdiri dari rohaniwan dan rohaniwati) di mana
mereka mau dan diterima untuk bergabung. Setelah menyelesaikan pendidikannya di tahun
1926, Soegija kembali ke Muntilan sebagai frater dan guru di Kolase Xaverius, sekolahnya
dahulu. Tahun kedua pengabdiannya, Soegija memutuskan untuk kembali melanjutkan
pendidikan filsafat di Belanda.

Pertemuan Soegija dengan Paus Pius XI di tahun 1929 membawa pengaruh baginya.
Bahwa gereja adalah bertubuh. Dalam tubuh itu, mau tidak mau, terlibat dalam dunia.
Terlibat juga dalam tindakan politik. Bahwa seorang imam wajib berdiplomasi dan
bernegosiasi untuk mempertahankan sesuatu yang baik dan tidak ada ras yang lebih unggul
daripada ras yang lain.

Dengan pengalaman, pendidikan serta bimbingan dari guru-guru yang dikasihinya,


Soegija pun menjadi pribadi yang matang dan mandiri. Pada tahun 1933, ia ditugaskan untuk
memimpin Paroki di Bintaran. Ia yang seorang pastor Jawa dibantu oleh Pater A de Kuijper
yang notabene seorang Belanda untuk mengelola paroki tersebut. Dalam penunjukan
seseorang untuk menjadi pastor atau imam dalam hierarki gereja Katolik tidak berdasarkan
kehebatan bangsa tertentu. Sebuah paroki pribumi selayaknya dipimpin oleh bumiputera pula,
yang diandaikan dapat memahami umat dengan sebaik-baiknya. Di paroki itu pastor Soegija
tidak saja menjalankan tugasnya sebagai pastor paroki, atapi ia juga terlibat sebagai kepala
NAMA: EMANUEL BAGAS PRIMA JAYA KELAS: E-1

redaktur Swaratama, majalah berbahasa jawa dalam lingkungan Katolik yang membahas
masalah publik, serta penasihat pada komisi pelayanan misi Serikat Yesus.

Tujuh tahun setelah memimpin Paroki Bintaran, tepatnya di tahun 1940, Soegija
ditunjuk oleh Vatikan untuk menjadi uskup di Vikariat Apostolik Semarang. Sebelumnya
Keuskupan Hindia meliputi Batavia, Bogor, Semarang, Jogjakarta, dan daerah sekitarnya.
Seiring perjalanan waktu gereja Katolik di Jawa Tengah memiliki banyak umat dari kalangan
kaum pribumi dengan prosentase melebihi jumlah orang Katolik di Eropa. Bahkan, beberapa
pemuda Jawa yang telah lulus pendidikan iman, kini telah ditasbihkan menjadi pastor. Orang
jawa kini telah mulai melayani masyarakatnya sendiri. Karena hal inilah Monsiyur Willekens
menulis surat ke Roma berupa surat permohonan kepada Roma agar Jawa Tengah dipisahkan
dari Batavia dan berdiri menjadi Vikariat Apostolik sendiri dengan uskupnya sendiri. Sebuah
keuskupan dengan pusat pemerintahan di Semarang.

Pada saat pendudukan bangsa Jepang di tahun 1942, gereja-gereja direbut paksa, para
rohaniawan ditangkap, serta para suster diwajibkan untuk mengikuti wajib militer. Politik
jepang saat itu adalah menghapus semua pengaruh barat di tanah jajahannya termasuk agama
kristen. Soegija sebagai seorang imam yang harus melindungi umat sembari merawat iman
berusaha melakukan negosiasi dengan penguasa Jepang. Seiring dengan berjalannya waktu,
secara perlahan berkembang juga rasa percaya antara para opsir jepang dan Soegija.

Ketegangan terjadi lagi ketika Jepang menyerah tanpa syarat setelah AS mengebom
Hiroshima dan Nagasaki. Di Semarang sendiri, pada masa itu pasukan jepang tak mau
dilucuti karena perintah dari atasan mereka adalah menyerah kepada sekutu, bukan kepada
pribumi. Pertempuran tanpa henti dalam beberapa hari antara pihak indonesia melawan
militer jepang terus terjadi. Melihat keadaan ini Uskup Soegija menggunakan posisinya untuk
mengusahakan gencatan senjata. Demi alasan kemanusiaan, Ia bernegosiasi dengan para
perwira inggris dan jepang, dan kepada wartawan dan perwakilan asing yang datang ke
Indonesia. Hari itu setelah perundingan yang sangat sengit, perintah gencatan senjata pun
dikeluarkan. Peristiwa itu dikenang sebagai pertempuran lima hari di semarang.

Uskup Soegija menutup usai pada tahun 1963, saat hendak memenuhi undangan dari
Sri Paus untuk menghadiri Konsili Vatikan II. Perjuangan yang dilakukan Soegija tidaklah
dengan menggunakan senjata. Ia menggunakan posisi dan kedudukannya untuk menjaga
umat sembari terus merawat iman.
NAMA: EMANUEL BAGAS PRIMA JAYA KELAS: E-1
NAMA: EMANUEL BAGAS PRIMA JAYA KELAS: E-1

NB: Tulis dengan menggunakan times new roman 11, spasi 1,15

Anda mungkin juga menyukai