Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

Tulang tengkorak memiliki sejumlah ruang berisi udara yang disebut sinus.
Ruang ini membantu mengurangi berat tengkorak dan memberikan perlindungan
daerah tengkorak dan membantu dalam resonansi suara.1 Terdapat empat pasang
sinus, yang dikenal sebagai sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis di daerah dahi,
sinus maksilaris di belakang tulang pipi, sinus etmoidalis diantara kedua mata dan
sinus sphenoidalis di belakang bola mata.1,2,3 Sampai saat ini sinus paranasal
merupakan salah satu organ tubuh pada manusia yang sulit dideskripsikan karena
bentuknya bervariasi pada tiap individu.2 Terdapat membran yang melapisi sinus
tersebut yang mensekresikan mukus, yang mana akan mengalir ke rongga hidung
melalui sebuah saluran kecil pada setiap sinus tersebut. Sinus yang sehat tidak
mengandung bakteri yang belum steril.

Gambar 1. Sinus paranasal

1
Sinus maksila mulai berkembang pada usia tiga bulan kehamilan, yang
merupakan bagian dari ektoderm. Ukurannya pada saat lahir 7x4x4 mm, namun
setelah lahir sampai dewasa sinus maksila mengalami pertumbuhan kearah vertikal
sepanjang 2mm dan kearah anteroposterior sepanjang 3mm. Pertumbuhan cepat sinus
maksila terjadi pada usia 3 tahun pertama dan mengalami perlambatan sampai usia 7
tahun. Pertumbuhan cepat kedua terjadi pada usia 7-12 tahun, kemudian tumbuh
lambat sampai dewasa. Pada usia 12 tahun dasar sinus maksila sejajar dengan dasar
hidung kemudian dasar sinus semakin ke inferior mendekati alveolus saat erupsi gigi
permanen.3
Makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai sinusitis maksilaris baik
akut maupun kronis. Sinusitis kronis berbeda dari sinusitis akut dalam berbagai
aspek, umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus
dicari faktor penyebab dan faktor presdiposisinya

2
BAB II
ISI
2.1 Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan
sinusitis sfenoid.1,2,3
Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid,
sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang sering
terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak
ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus
maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar
gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila,
(4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius , disekitar hiatus semilunaris yang
sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Sinusitis akut dapat
sembuh sempurna jika diterapi dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan jaringan
mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan signifikan
pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan atau lebih
dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari.1,2,5

2.2 Epidemiologi
Angka kejadian sinusitis sulit diperkirakan secara tepat karena tidak ada
batasan yang jelas mengenai sinusitis. Dewasa lebih sering terserang sinusitis
dibandingkan anak. Hal ini karena sering terjadinya infeksi saluran napas atas pada
dewasa yang berhubungan dengan terjadinya sinusitis. Di US dilaporkan bahwa lebih
dari 30 juta pasien menderita sinusitis.3

3
2.3 Anatomi
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior adalah
permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya ialah
permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga
hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dining inferiornya ialah prosesua
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada disebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. 1

Gambar 2. Sinus paranasal dan ostiumnya

2.4 Patofisiologi
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
(1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan
udara dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.1,3
Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pertahanan
mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh baik lokal maupun

4
sistemik.2,3,5 Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa
bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya.

Gambar 3. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus

Gambar 4. Perubahan silia pada sinusitis

5
Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya
berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak
dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga
silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa sinus menjadi lebih
kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila
sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul
infeksi oleh bakteri anaerob.1 Bakteri yang sering ditemukan pada sinusitis kronik
adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis,
Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman anaerob jarang
ditemukan.1 Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista.1,2,3

Gambar 5. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi

Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas.


Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan
mengeluarkan fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding pembuluh
darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana terjadi pada selaput
lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi peningkatan produksi mukus
dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan murni sebagai nanah, tetapi
mukopus.5

6
Gambar 6. Sinusitis akut menjadi sinusitis kronik

Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya sinusitis kronis, yaitu:5
1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan.
2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.
3. Sinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.

Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan5


Biasanya mulai pada masa kanak-kanak. Serangan infeksi terjadi berulang-
ulang. Waktu antara dua serangan makin lama makin pendek. Kekebalan makin
terkalahkan dan resolusi terjadi hampir tidak pernah sempurna. Pengaruh terhadap
mukosa adalah penebalan dengan disertai infiltrasi limfosit yang padat. Fibrosis sub
epitel menyebabkan pengurangan jumlah kelenjar karena iskemia dan bila

7
berlangsung lebih lanjut akan menyebabkan ulserasi mukosa. Pada tahap berikutnya
periosteum akan terkena dan hiperemia meluas ke tulang-tulang yang kemudian
menjadi osteoporosis dan akhirnya menjadi sklerotik.
Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.5
Penderita memiliki salah satu dari dua tipe alergi. Pertama adalah alergi
umum diatesis yang timbul pada permulaan bersama asma, eksema, konjungtivitis
dan rinitis yang kemudian menjadi rinitis musiman (hay fever) pada anak lebih tua.
Kedua mngkin tidak didapatkan keluhan dan tanda dari alergi sampai umur 8 atau 9
tahun secara berangsur-angsurmukosa makin “penuh terisi air” yang menyebabkan
bertambahnya sumbatan dan secret hidung. Polip dapat timbul karena pengaruh gaya
berat terhadap selaput mukosa yang penuh dengan air dan dapat memenuhi rongga
hidung.

Gambar 7. Mekanisme terjadinya sinusitis kronis

2.5 Sinusitis maksilaris akut


Etiologi
Penyebab sinusitis akut ialah (1) rinitis akut, (2) infeksi faring, seprti faringitis,
adenoiditis, tonsilitis akut, (3) infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3 serta P1 dan P2

8
(dentogen), (4) berenang dan menyelam, (5) trauma dapat menyebabkan perdarahan
mukosa sinus paranasal, (6) barotrauma dapat menyebabkan nekrosis mukosa. 1,5,6
Sinusitis maksilaris dengan asal geligi. Bentuk penyakit geligi-maksilaris
yang khusus bertanggung jawab pada 10 persen kasus sinusitis yang terjadi setelah
gangguan pada gigi. Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar
pertama, dimana sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris
ikut terangkat.2

Gambar 8. a. Fistula oroantral b. Sinusitis maksilaris


Gejala klinis
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik
ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang
kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung
tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus,
sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga.
Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan.
Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila
peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.1,2,5,6
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak
pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan

9
sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).1,5,6

Gambar 9. Pus pada meatus medius

Gambar 10. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis

Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga tampak
lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal.1,5,6
Pemeriksaan radiologik yang dibuat adalah posisi waters. Akan tampak
perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air fluid level) pada
sinus yang sakit.1,2,5

10
Gambar 11. Gambaran suatu sinus yang opak

Pemeriksaan mikrobiologik atau biakan hapusan hidung dilakukan dengan


mengambil sekret dari meatus medius. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri
yang merupakan flora normal atau kuman patogen, seperti Pneumokokus,
Streptokokus, Stafilokokus dan Haemofilus influenza. Selain itu mungkin ditemukan
juga virus atau jamur.1

Pengobatan
Pengobatan umum
1. Istirahat
Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan
sebaiknya beristirahat ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur
mempunyai suhu dan kelembaban udara tetap.

11
2. Higiene
Harus tersedia sapu tangan kertas untuk mengeluarkan sekrat hidung.
Perlu diperhatikan pada mulut yang cenderung mengering , sehingga
setiap selesai makan dianjurkan menggosok gigi.
3. Medikamentosa
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik selam 10-14 hari,
meskipun gejala klinik telah hilang. Antibiotik yang diberikan ialah
golongan penisilin. Diberikan juga obat dekongestan lokal berupa tetes
hidung, untuk memperlancar drainase sinus. Boleh diberikan analgetik
untuk menghilangkan rasa nyeri
Pengobatan lokal
1. Inhalasi
Inhalasi banyak menolong penderita dewasa karena mukosa hidung dapat
istirahat dengan menghirup udara yang sudah dihangatkan dan lembab.
2. Pungsi percobaan dan pencucian
Apabila cara diatas tak banyak menolong mengurangi gejala dan
menyembuhkan penyakitnya dengan cepat, mungkin karena drainase sinus
kurang baik atau adanya kuman yang resisten. Kedua hal tersebut dapat
diketahui dengan pungsi percobaan dan pencucian. Dengan anestesi lokal,
trokar dan kanula dimasukkan melalui meatus inferior dan ditusukkan
menembus dinding naso-antral. Kemudian dimasukkan cairan garam faal
steril ke dalam antrum dan selanjutnya isi antrum dihisap kembali
kedalam tabung suntikan. Apabila setelah dua sampai tiga kali pencucian
infeksi belum sirna, maka mungkin diperlukan tindakan antrostomi
intranasal.

12
Gambar 12. Pungsi dan irigasi sinus maksila

Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila


telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri
yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan

2.6 Sinusitis Kronis

Etiologi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan sinusitis kronik diantaranya adalah
pneumatisasi yang tidak memadai, makanan yang tak memadai, reaksi atopik,
lingkungan kotor, sepsis gigi dan variasi anatomi.5
Variasi anatomi memegang peranan lebih besar mekanisme etiologi sinusitis
kronis. Variasi anatomi yang sering ditemukan deviasi septum, prosessus unsinatus
melengkung ke lateral, konka media mengalami pneumatisasi, bula etmoid sel dan
etmoid yang meluas.4

13
Gambar 13. Sinusitis akibat devisi septum

Gejala klinis
Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat biasanya
adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti dengan malaise,
nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip) ,
gangguan penciuman dan pengecapan.5,7
Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus
medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke
tenggorok.1

Pemeriksaan penunjang
Transluminasi1
Transluminasi dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan sinus
frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan
transluminasi tampak gelap didaerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh
pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila
terdapat kista yang besar didalam sinus maksila, akan tampak terang pada
pemeriksaan transluminasi.

14
Radiologi7
Pemeriksaan radiologik pada sinusitis kronis tidak dianjurkan, penggunaannya
dibatasi hanya untuk sinusitis maksilaris akut atau sinusitis frontalis.
CT scan7
CT scan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
dan mengevaluasi anatomi dan patologi sinus.

Gambar 14. CT Scan memperlihatkan penebalan mukosa sinus.

Staging dapat dilakuan dengan menggunakan CT scan. Sistem stagging ini


sederhana, mudah diingat dan sangat efektif untuk mengklasifikasikan sinusitis
kronis. Stagging ini membantu dalam perencanaan operasi dan hasil terapi. Stagging
didasarkan pada perluasan penyakit setelah terapi medis. Stagging tersebut terbagi
atas:7
- stage I : satu fokus penyakit
- stage II : penyakit noncontiguous melalui labirin ethmoid
- stage III : difuse yang responsif terhadap pengobatan
- stage IV : difuse yang tidak responsif dengan pengobatan.

Pengobatan

15
Pengobatan sinusitis kronis lebih bersifat paliatif daripada kuratif. 5
Pengobatan paliatif yang dapat diberikan pada penderita dengan sinusitis kronis
dibagi menjadi:
A. Pengobatan konservatif 1,5,8
Pengobatan konservatif yang adekuat merupakan pilihan terapi untuk sinusitis
maksilaris subakut dan kronis. Antibiotik diberikan sesuai dengan kultur dan uji
sensitivitas. Antibiotik harus dilanjutkan sekurang-kurangnya 10 hari. Drainase
diperbaiki dengan dekongestan lokal dan sistemik. Selain itu juga dapt dibantu
dengan diatermi gelombang pendek selama 10 hari, pungsi dan irigasi sinus.
Irigasi dan pencucian sinus ini dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5
atau 6 kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen
berarti mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal, maka perlu dilakukan
operasi radikal.

B. Pengobatan radikal1,8
Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan koservatif gagal. Terapi radikal
dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari
sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc.
Pembedahan ini dilaksanakan dengan anestesi umum atau lokal. Jika dengan
anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan menempatkan tampon kapas
yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2% dengan efedrin 1% diatas dan
dibawah konka media. Prokain atau lidokain 2% dengan tambahan ephineprin
disuntika di fosa kanina. Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital.
Incisi horizontal dibuat di sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi
dilakukan di superior gigi taring dan molar kedua. Incisi menembus mukosa dan
periosteum. Periosteum diatas fosa kanina dielevasi sampai kanalis infraorbitalis,
tempat saraf orbita diidentifikasi dan secara hati-hati dilindungi.

16
Gambar 15. prosedur Caldwell Luc

Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau alat
bor. Lubang diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai jari
kelingking dapat masuk. Isi antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding nasoantral
meatus inferior selanjutnya ditembus dengan trokar atau hemostat bengkok.
Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam kerison dan cunam yang
dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini sekurang-kurangnya
1,5 cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding
tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak
diperlukan. Setelah antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang
tertinggal, incisi ginggivobukal ditutup dengan benang plain cat gut 00. biasanya

17
tidak diperlukan pemasangan tampon intranasal atau intra sinus. Jika terjadi
perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup dimasukan
kedalam antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari
ke-1 atau ke 2. kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk
mencegah edema, hematoma dan perasaan tidak nyaman.

C. Pembedahan tidak radikal 1


Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan
menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
(BESF). Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan daerah kompleks ostio-
meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan
drenase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami. Dengan demikian
mukosa sinus akan kembali normal.

2.7 Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotika.1 Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis
dengan eksaserbasi akut.1 Komplikasi yang dapat terjadi adalah:
Komplikasi Orbita2
Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata (orbita).2 Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab komplikasi orbita
yang tersering kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis. Terdapat lima tahapan
terjadinya komplikasi orbita ini.2
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan
b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding
tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis

18
d. Abses periorbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan
bercampur dengan isi orbita
e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat
penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di
mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septic.

Gambar 16. Komplikasi penyakit sinus pada orbita

19
Komplikasi Intrakranial1,7
Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses
otak.

Gambar 17. Sistem vena sebagai jalur perluasan komplikasi ke intrakranial

Kelainan Paru1
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut
sinobronkitis. Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan bronkiektasis.
Selain itu juga dapat timbul asma bronkhial.

20
BAB III
KESIMPULAN
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal.Yang paling sering ditemukan
ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid. Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut,
berulang atau kronis.
Sinusitis akut dapat disebabkan oleh rinitis akut, infeksi faring, infeksi gigi
rahang atas (dentogen), trauma. Gejala klinis dapat berupa demam dan rasa lesu. Pada
hidung dijumpai ingus kental. Dirasakan nyeri didaerah infraorbita dan kadang-
kadang menyebar ke alveolus. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi
waktu membungkuk ke depan. Pada pemeriksaan tampak pembengkakan di pipi dan
kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan
edema. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Terapi medikamentosa berupa antibiotik selam 10-14 hari. Pengobatan lokal dengan
inhalasi, pungsi percobaan dan pencucian.
Sinusitis kronik dapat disebabkan oleh pneumatisasi yang tidak memadai,
makanan yang tak memadai, reaksi atopik, lingkungan kotor, sepsis gigi dan variasi
anatomi. Gejala berupa kongesti atau obstruksi hidung, nyeri kepala setempat, sekret
di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip), gangguan penciuman dan pengecapan.
Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pengobatan sinusitis kronik
dilakukan secara konservatif dengan antibiotik selama 10 hari, dekongestan lokal dan
sistemik, juga dapat dilakukan diatermi gelombang pendek selama 10 hari di daerah
sinus maksila, pungsi dan irigasi sinus. Jika gagal dapat dilakukan operasi Caldwell-
Luc dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional.
Komplikasi dari sinusitis dapat berupa komplikasi orbita, intrakranial dan
kelainan paru.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA,


Iskandar N (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
leher. 5th Ed. Jakarta: Gaya Baru; 2001.pp.120-124.

2. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA,
editor. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.

3. Kennedy E. Sinusitis. Available from:


http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm

4. Nizar W. Anatomi Endoskopik Hidung-Sinus Paranasalis dan Patifisiologi


Sinusitis. Kumpulan Naskah Lengkap Pelatihan Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional Juni 2000.p 8-9

5. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F,


Soejak S. Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-
91

6. Sobol E. Sinusitis, Acute, Medical Treatment. Available from:


http://www.emedicine.com/ent/topic337.htm

7. Razek A. Sinusitis, Chronic, Medical Treatment. Available from:


http://www.emidicine.com/ent/topic338.htm

8. Ballenger, J.J. Infeksi Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan Jilid 1 Edisi 13, halaman 232-245, Binarupa Aksara, Jakarta
Indonesia 1994

22

Anda mungkin juga menyukai