Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN ASISDOSIS METABOLIK DAN

HEMODIALISA

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Medikal

di Ruang Hemodialisa RSU Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh :

Vina Sitta Alfinia

150070300011120

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017
LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN ASISDOSIS METABOLIK DAN


HEMODIALISA

CHRONIC KIDNEY DISEASE(CKD)


A. Pengertian
Chronic kidney disease (CKD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer, 2005).
CKD didefinisikan sebagai adanya kerusakan ginjal yang dimanifestasikan oleh
ekskresi albumin yang menurun atau penurunan fungsi ginjal yang secara kuantitatif
diukur dengan GFR (Glomerular Filtration Rate), dan terjadi lebih dari 3 bulan (Thomas et
al., 2008).
Nilai normal GFR adalah 100-140 mL/min bagi pria dan 85-115 mL/min bagi
wanita.. The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney
Foundation (NKF) mengklasifikasikan gagal ginjal kronis sebagai berikut (Pranay, 2010):
1. Stadium 1: kerusakan ginjal dengan normal atau peningkatan GFR (GFR >90
mL/min/1.73 m2)
2. Stadium 2: penurunan ringan pada GFR (GFR 60-89 mL/min/1.73 m2)
3. Stadium 3: penurunan sedang pada GFR (GFR 30-59 mL/min/1.73 m2)
4. Stadium 4: penurunan berat pada GFR (GFR 15-29 mL/min/1.73 m2)
5. Stadium 5: gagal ginjal terminal (GFR <15 mL/min/1.73 m2 atau dialisis)
Stadium gagal ginjal kronik dan potensial komplikasi (National Kidney Fundation, 2002):

B. Klasifikasi
Menurut Corwin (2001) GGK dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu:
Tahap I : Penurunan Cadangan Ginjal
- GFR 40-70 ml/min/menurun 50%
- BUN dan Creatinin normal tinggi
- Tidak ada manifestasi klinik
- CCT : 76-100 ml/min
Pada stage ini tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron sehat mampu
mengkompensasi nefron yang sudah rusak. Penurunan kemmapuan
mengkonsentrasi urin menyebabkan nokturia dan poliuria.
1. Tahap II : Insufisiensi Ginjal
- GFR 20-40 ml/min atau GFR 20-35%
- BUN dan Creatinin naik
- Anemia ringan, polyuria, nocturia, edema
- CCT : 26-75 ml/min
Nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang dterima. Mulai terjadi akumulasi sisa metabolic dalam
darah karena nefron sehat tidak mampu lagi mengkompensasi.
2. Tahap III : Gagal Ginjal
- GFR : 10-20 ml/min atau <20% normal
- Anemia sedang, azotemia
- Gangguan elektrolit : Na ↑, K ↑, dan PO4 ↑
- CCT : 6-25 ml/min
Makin banyak nefron yang mati
3. Tahap IV : ESRD (End Stage Renal Disease)
- GFR : < 10 ml/min atau <5% normal
- Kerusakan fungsi ginjal dalam pengaturan, excretory dan hormonal
- BUN dan Creatinin
- CCT : < 5 ml/min
Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Diseluruh ginjal ditemukan
jaringan parut dan atrofi tubulus. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak
seperti ureum, kreatinin, dalam darah. Ginjal tidak mampu mempertahankan
homeostatsis. Membutuhkan pengobatan dialisa / transplantasi ginjal

Rumus Perhitungan GFR :


 Pria
GFR (ml/mnt/1,73m2 (140 - umur) × berat badan
72 × kreatinin plasma (mg/dl)
 Wanita
pada wanita sedikit berbeda,
GRF (ml/mnt/1,73m2 (140 - umur) x berat badan x 0,85
72 × kreatinin plasma (mg/dl)

Menurut American Diabete Association, 2007


Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya
belum merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjal. Hal ini
disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi
100%, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam
stadium 1. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri
untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, tanda – tanda seseorang berada pada
stadium 2 juga tidak merasakan gejala karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan
baik. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri
untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
Stadium 3
Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR
moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini
akumulasi sisa–sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia.
Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia
atau keluhan pada tulang. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti:
 Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
 Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak
dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat
penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar
wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu
banyak cairan yang berada dalam tubuh.
 Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan
menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah.
Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering
trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik
dan infeksi.
 Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
 Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke seorang ahli
ginjal hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan rekomendasi terbaik serta
terapi – terapi yang bertujuan untuk memperlambat laju penurunan fungsi ginjal.
Selain itu sangat disarankan juga untuk meminta bantuan ahli gizi untuk
mendapatkan perencanaan diet yang tepat. Penderita GGK pada stadium ini
biasanya akan diminta untuk menjaga kecukupan protein namun tetap
mewaspadai kadar fosfor yang ada dalam makanan tersebut, karena menjaga
kadar fosfor dalam darah tetap rendah penting bagi kelangsungan fungsi ginjal.
Selain itu penderita juga harus membatasi asupan kalsium apabila kandungan
dalam darah terlalu tinggi. Tidak ada pembatasan kalium kecuali didapati kadar
dalam darah diatas normal. Membatasi karbohidrat biasanya juga dianjurkan bagi
penderita yang juga mempunyai diabetes. Mengontrol minuman diperlukan selain
pembatasan sodium untuk penderita hipertensi.
Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15–30% saja dan apabila
seseorang berada pada stadium ini sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan
menjalani terapi pengganti ginjal/dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi
dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada
stadium ini. Selain itu besar kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah
tinggi (hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit
kardiovaskular lainnya. Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 hampir sama
dengan stadium 3, yaitu:
 Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
 Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak
dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat
penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar
wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu
banyak cairan yang berada dalam tubuh.
 Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan
menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah.
Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering
trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik
dan infeksi.
 Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi
tidak terasa seperti biasanya.
 Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui
bau pernafasan yang tidak enak.
 Sulit berkonsentrasi
Stadium 5 (gagal ginjal terminal)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang dapat timbul pada
stadium 5 antara lain:
 Kehilangan nafsu makan
 Nausea.
 Sakit kepala.
 Merasa lelah.
 Tidak mampu berkonsentrasi.
 Gatal – gatal.
 Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
 Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
 Kram otot
 Perubahan warna kulit
Sesuai dengan test kreatinin klirens (Long, 1996) maka GGK dapat di
klasifikasikan derajat penurunan faal ginjal sebagai berikut:
Derajat Primer (LFG) Sekunder = Kreatinin
(mg %)
A Normal Normal
B 50 – 80 % normal Normal – 2,4
C 20 – 50 % normal 2,5 – 4,9
D 10 – 20 % normal 5,0 – 7,9
E 5 – 10 % normal 8,0 – 12,0
F < 5 % normal > 12,0

C. Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi
penyebab penyakit ginjal kronik antara lain:
1. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif dan difus yang sering
berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon imunologik dan hanya
jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Secara garis besar
dua mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune complex dan terbentuknya
deposit kompleks imun secara in-situ. Kerusakan glomerulus tidak langsung
disebabkan oleh kompleks imun, berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel
inflamasi, mediator inflamasi dan komponen berperan pada kerusakan glomerulus
Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal dan
perubahan eksresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah dan hipertensi.
Manifestasi klinik GN merupakan sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin
asimptomatik, sindrom nefrotik dan GN kronik. Di Indonesia GN masih menjadi
penyebab utama penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir.
2. Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. Masalah yang akan dihadapi oleh
penderita DM cukup komplek sehubungan dengan terjadinya komplikasi kronis baik
mikro maupun makroangiopati. Salah satu komplikasi mikroangiopati adalah nefropati
diabetik yang bersifat kronik progresif. Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun
2000 menyebutkan diabetes mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak penyakit
ginjal kronik dengan insidensi 18,65%
3. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain
seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain.Penyakit ginjal
hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insideni hipertensi
esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik (Kristanto, 2001)
Penyebab lain dari gagal ginjal kronis meliputi:
a) Adanya infeksi : pielonefritis kronik. Pielonefritis adalah infeksi bakteri pada salah satu
atau kedua ginjal.
b) Mempunyai penyakit peradangan : Glumerulonefritis
c) Penyakit vascular hipertensi : nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna stenosis
arteria renalis. Nefrosklerosis Maligna adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan
tekanan darah tinggi (hipertensi maligna), maligna atau penurunan tekanan darah yang
berlebihan menyebabkan aliran darah ginjal berkurang sehingga arteri-arteri yang
terkecil (arteriola) di dalam ginjal mengalami kerusakan dan dengan segera terjadi gagal
ginjal.
d) Gangguan jaringan penyambung : lupus eritematosus sistematik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistematik progresif. Lupus ini terjadi ketika antibodi dan komplemen terbentuk
di ginjal yang menyebabkan terjadinya proses peradangan yang biasanya menyebabkan
sindrom nefrotik (pengeluaran protein yang besar) dan dapat cepat menjadi penyebab
gagal ginjal.
e) Gangguan kongerital dan hereditas : penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
f) Penyakit metabolic : hipertensi,diabetes militus, gout, hiperparatiroidisme, amyloidosis
(Price&Wilson, 2006)
Semua faktor tersebut akan merusak jaringan ginjal secara bertahap dan
menyebabkan gagalnya ginjal. Apabila seseorang menderita gagal ginjal akut yang tidak
memberikan respon terhadap pengobatan, maka akan terbentuk gagal ginjal kronik.

D. Faktor risiko
Kondisi-kondisi yang meningkatkan risiko mengalami CKD:
 Riwayat penyakit ginjal polikistik atau penyakit ginjal genetik lainnya di keluarga
 Bayi dengan berat badan lahir rendah
 Anak-anak dengan riwayat gagal ginjal akut akibat hipoksia perinatal atau serangan
akut lainnya pada ginjal
 Hipoplasia atau displasia ginjal
 Gangguan urologis, terutama uropati obstruktif
 Refluks vesikoureter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih berulang dan
parut di ginjal
 Riwayat menderita sindrom nefrotik dan nefritis akut
 Riwayat menderita sindrom uremik hemolitik
 Riwayat menderita purpura Henoch-Schőnlein
 Diabetes Melitus
 Lupus Eritermatosus Sistemik
 Riwayat menderita hipertensi
 Penggunaan jangka panjang obat anti inflamasi non steroid (Suhardjono dkk, 2001)

D. Patofisiologi
(Terlampir)

E. Manifestasi klinik
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik
didapat antara lain :
 Ginjal dan sistem urin
semula perubahan berupa tekanan darah rendah, mulut kering, tonus kulit hilang,
lesu, lelah, mual dan terakhir bingung. Karena ginjal kehilangan kesanggupan
mengekskresikan natrium, penderita akan mengalami retensi natrium dan kelebihan
natrium, sehingga penderita mengalami iritasi dan menjadi lemah. Keluaran urin
mengalami penurunan serta mempengaruhi komposisi kimianya.
 Kardiovaskuler
 Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktifitas sistem
renin – angiotensin – aldosteron.
 Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit jantung
koroner (akibat aterosklerosis yang timbul dini), dan gagal jantung (akibat
penimbunan cairan dan hipertensi).
 Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis dini, gangguan elektrolit dan
klasifikasi metastastik.
 Edema akibat penimbunan cairan.
 Integumen
 Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan
urochrome.
 Gatal – gatal dengan ekskoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di
pori – pori kulit.
 Echymosis akibat gangguan hematologik.
 Urea fost : akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat.
 Bekas – bekas garukan karena gatal
 Pulmoner
Paru –paru mengalami perubahan dengan sangat rentan terhadap infeksi, terjadi
akumulasi cairan, kesakitan pneumonia serta kesulitan bernafas karena adanya gagal
jantung kongesif. Gejala lainnya berpa suara napas krekles, sputum kental dan liat,
napas dangkal, pernafasan kussmaul.
 Gastrointestinal
 Anoreksia, nausea, dan vomitus, yang berhubungan dengan gangguan
metabolisme protein di dalam usus, terbentuknya zat –zat toksik akibat
metabolisme bakteri usus seperti amonia dan metil guanidin, serta sembabnya
mukosa usus.
 Foetor uremicum disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh
bakteri di mulut menjadi amonia sehingga nafas berbau amonia. Akibat yang lain
adalah timbulnya stomatitis dan parotitis.
 Cegukan (hiccup), sebabnya yang pasti belum diketahui.
 Gastritis erosevia, ulkus peptikum dan kolitis uremika.
 Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa
panas pada telapak kaki, perubahan perilaku
 Muskuloskeletal
 “restless leg syndrome” : penderita merasa pegal di tungkai bawah dan selalu
menggerakkan kakinya.
 “burning feet syndrome” : rasa semutan dan seperti terbakar, terutama di telapak
kaki.
 Ensofalotpati metabolik :
- Lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi.
- Tremor, asteriksis, mioklonus.
- Kejang – kejang.
 Miopati : kelemahan dan hipotrofi otot – otot terutama otot – otot proksimal
ekstremitas.
 Perubahan darah
 Anemia normokrom, normositer.
- Berkurangnya produksi eritropetin, sehingga rangsangan eritropoesis pada
sumsum tulang menurun .
- Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana toksik
uremia.
- Defisiensi besi, asam folat, akibat nafsu makan yang berkurang.
- Perdarahan pada saluran pncernaan kulit.
- Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroit sekunder.
 Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia.
- Masa pendarahan memanjang.
- Perdarahan akibat agregasi & adhesi trombosit yang berkurang serta
menurunnya faktor trombosit III ADP (adenosine fosfat).
 Gangguan leukosit.
- Hipersegmentasi lekosit.
- Fagositosis dan kemotaksis berkurang, hingga memudahkan timbulnya infeksi.
 Kelenjar endokrin
 Gangguan seksual : libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki – laki akibat
produksi testoseron dan spermatogenesis yang menurun, juga dihubungkan
dengan metabolit tertentu (zink, hormon paratiroit). Pada wanita timbul gangguan
menstruasi, gangguan ovulasi sampai ameorrhoe.
 Gangguan toleransi glukosa.
 Gangguan metabolisme lemak.
 Gangguan metabolisme vitamin D.
 Gangguan Lainnya
 Tulang : osteoditrofirenal, yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa, osteosklerosis, dan
klasifikasi metastatik.
 Asam basa : asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik sebagai hasil
metabolisme.
 Elektrolit : hipokalsemia, hiperfosfatemia, hiperkalemia. Karena pada gagal ginjal
kronik telah terjadi gangguan keseimbangan homeostatik pada seluruh tubuh
maka gangguan pada suatu sistim akan mempengaruhi sistim lain, sehingga suatu
gangguan metabolik dapat menimbulkan kelainan pada berbagai sistem / organ
tubuh.

F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilaksanakan untuk menetapkan adanya gagal ginjal
kronik, menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat gagal ginjal kronik,
menetapkan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi. Gambaran
laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, hipertensi, Lupus eritomatosus sistemik (LES)
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa digunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah.
d. Kelainan urinalisasi meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria (Mansjoer, 2002)
Pemeriksaan – pemeriksaan yang umumnya dianggap menunjang kemungkinan
adanya suatu gagal ginjal kronik adalah :
 Laju endap darah meninggi yang diperberat oleh adanya anemi dan hipoalbuminemia.
 Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang menurun.
 Ureum darah dan kreatinin serum meninggi.
 Biasanya perbandingan antara ureum dan kreatinin lebih kurang 20 : 1. Perbandingan
ini bisa meninggi (ureum > kreatinin) pada perdarahan saluran cerna, demam, luka
bakar luas, penyakit berat dengan hiperkatabolisme, pengobatan steroid dan obstruksi
saluran kemih. Perbandingan ini berkurang (ureum > kreatinin), pada diet rendah protein
(TKU) dan tes kliren kreatinin (TKK) menurun.
 Hiponatremia, umumnya karena kelebihan cairan.
 Hiperkalemia biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut (TKK < 5 ml/menit) bersama
dengan menurunnya diuresis. Hipokalemia terjadi pada penyakit ginjal tubuler atau
pemakaian diuretik yang berlebihan.
 Hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
 Hipokalsemia terutama terjadi akibat berkurangnya absorbsi kalsium di dalam usus
halus karena berkurangnya sintesis 1,25 (OH)2. Hiperfosfatemia terjadi akibat gangguan
fungsi ginjal sehingga pengeluaran fosfor berkurang. Antara hipokalasemia,
hiperfosfatemia, vitamin D, parathormon serta metabolisme tulang terdapat hubungan
saling mempengaruhi.
 Fosfatase lindi meninggi, akibat gangguan metabolisme tulang, yang meninggi terutama
isoensim fosfatalase lindi tulang.
 Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia umumnya disebabkan gangguan metabolisme
dan diit yang tidak cukup / rendah protein.
 Peninggian gula darah akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal ginjal,
yang diperkirakan desebabkan oleh intoleransi terhadap glukosa akibat resistensi
terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer dan pengaruh hormon somatotropik.
 Hipertrigliseridemia, akibat gangguan metabolisme lemak, yang disebabkan oleh
peninggian hormon insulin, hormon somatotropik dan menurunnya lipapase lipoprotein.
 Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukan pH yang menurun, “base
exercise” (BE) yang menurun, HCO³ yang menurun dan PCO₂ yang menurun,
semuanya disebabkan retensi asam –asam organik pada gagal ginjal dan kompensasi
paru – paru (Mansjoer, 2002)

G. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare (2001) yaitu :
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan
diet berlebihan
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin-angiostensin-
aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialysis
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar alumunium.

H. Penatalaksanaan

1. Konservatif
Diet tinggi kalori rendah protein
Protein dibatasi karea urea, asam urat dan asam organic merupakan hasil
pemecahan protein yang akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat
gangguan pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus bernilai biologis
(produksi susu, telur, daging) dimana makanan tersebut dapat mensuplai asam amino
untuk perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan 300-600ml/24
jam. Kalori untuk mencegah kelemahan dari karbohidrat dan lemak, juga perlu
diberikan vitamin
2. Terapi pengganti
 Hemodialisa
Terapi hemodialisa merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah
manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-
zat lain melalui membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan
dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi
(Brunner & Suddarth, 2002).
Tujuan Hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada hemodialisa, aliran
darah yang penuh dengan toksik dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien
ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke
tubuh pasien (Brunner & Suddarth, 2002).
 CAPD (continous Ambulatory Peritoneal Dialysis)
CAPD adalah salah satu treatment yang tersedia dan digunakan untuk membuang
produk sisa dan kelebihan cairan dari darah ketika fungsi ginjal tidak lagi normal
(AAKP, 2005). CAPD yang lazim digunakan adalah Continous Cycling Peritoneal
Dialysis (CAPD), dimana pada proses CAPD penderita melakukan sendiri
tindakan medis tanpa bantuan mesin biasanya berlanngsung 4 kali sehari masing-
masing selama 30 menit. Peritoneal Dialysis menggunakan peritoneum – sebuah
membrane alami yang bersifat semipermeable yang menutupi organ dalam
abdomen dan membatasi dinding abdomen yang dimiliki oleh pasien. Membrane
ini berperan sebgai filter. Peritoneum adalah membrane berpori yang dapat
menyaring toksin dan cairan dari darah. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-
anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan
residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan
co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual
tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
 Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti utama karena sudah terbukti
lebih baik dibandingakan dengan dialysis terutama dalam perbaikan kualitas
hidup, salah satunya adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmanai yang lebih
baik. Transplantasi ginjal yang berhasil sebenarnya merupakan cara penanganan
gagal ginjal yang paling ideal, karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan
fungsi ginjal. Yang mana dilain pihak, dialysis hanya mengatasi akibat sebagian
jenis penurunan fungsi ginjal.
II. ASIDOSIS METABOLIK
A. DEFINISI
Asidosis metabolic adalah keasaman darah yang berlebihan,yang di tandai
dengan rendahnya kadar bikarbonat dalam darah. Bila peningkatan keasaman
melampaui system penyangga PH,darah akan benar benar menjadi asam. Seiring
dengan menurunnya PH darah,pernafasan menjadi lebih dalam dan lebih cepat sebagai
usaha tubuh untuk menurunkan kelebihan asam dalam darah dengan cara menurunkan
jumlah karbon dioksida. Pada akhirnya ginjal juga akan berusaha mengkonpensasi
keadaan tersebut dengan cara mengeluarkan lebih banyak asam dalam urin. Tetapi ke-2
mekanisme tersebut bisa terlampaui jika tubuh terus menerus menghasilkan terlalu
banyak asam. Sehingga terjadi asidosis berat dan berakhir dengan keadaan koma.
Asidosis metabolic (kekurangan HCO3 ) adalah gangguan sistemik yang di tandai
dengan penurunan primer kadar bikarbonat plasma,sehingga menyebabkan terjadinya
penurunan Ph (peningkatan [H+]). [HCO3-] ECF adalah kurang dari 22 mEq/L dan pH
nya kurang dari 7,35. Konpensasi pernapasan kemudian segera di mulai untuk
menurunkan PaCO2 melalui hoperventilasi sehingga asidosis metabolic jarang terjadi
secara akut.

B. ETIOLOGI
Penyebab asidosis metabolic dapat dikelompokkan ke dalam 3 bentuk utama :
a. Jumlah asam dalam tubuh dapat meningkat jika mengkonsumsi suatu asam atau
bahan yang diubah menjadi asam. Sebagian besar bahan yang dapat mengakibatkan
asidosis bila di makan di anggap beracun. Contohnya adalah methanol (alcohol
kayu ) dan zat anti beku (etilen glikol). Overdosis aspirinpun dapat menyebabkan
asidosis metabolic.
b. Tubuh dapat menghasilkan asam yang berlebihan sebagai suatu akibat dari
beberapa penyakit, salah satu diantaranya adalah diabetes tipe 1. Jika diabetes tidak
dikendalikan dengan baik, tubuh akan memecah lemak dan menghasilkan asam yang
di sebut keton. Asam yang berlebihan juga di temukan pada shok stadium lanjut,
dimana asam laktat di bentuk dari metabolism gula.
c. Asidosis metabolic bisa terjadi jika ginjal tidak mampu untuk membuang asam dalam
jumlah yang semestinya. Bahkan jumlah asam yang normal pun bisa menyebabkan
asidosis jika ginjal tidak berfungsi secara normal. Kelainan fungsi ginjal ini di kenal
sebagai asidosis tubulus renalis, yang biasa terjadi pada penderita gagal ginjal atau
pada penderita kelainan yang mempengaruhi kemampuan ginjal untuk membuang
asam.

C. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko terjadinya asidosis metabolic antara lain :
 Kondisi dimana banyak plasma dengan asam metabolik (Gangguan ginjal, DM)
 Kondisi tejadi penurunan bikarbonat (diare)
 Cairan infus yang berlebihan. (NaCl)
 Napas berbau
 Napas Kussmaul (dalam dan cepat)
 Letargi
 Sakit kepala
 Kelemahan
 Disorientasi
D. PATOFISIOLOGI (Terlampir)

E. MANIFESTASI KLINIS
Asidosis ringan bisa tidak menimbulkan gejala,namun biasanya penderita
merasakan mual,muntah dan kelelahan. Pernapasan lebih dalam dan menjadi lebih
cepat, namunkebanyakan penderita tidak memperhatikan hal ini. Sejalan dengan
memburuknya asidosis,penderita mulai merasakan kelelahan yang luar biasa,rasa
ngantuk,semakin mual dan mengalami krbingungan . bila asidosis semakin
memburuk,tekanan darah dapat menurun,menyebabkan syok, koma dan kematian.
Diagnosa asidosis biasanya di tegakkan berdasarkan hasil pengukuran PH darah
yang diambil dari darah arteri (arteri radialis di pergelangan tangan ). Untuk mengetahui
penyebabnya,dilakukan pengukuran kadar bikarbonat dan bikarbonat dalam darah.
Mungkin diperlukan pemeriksaan tambahan untuk membantu menentukan
penyebabnya. Misalnya kadar gula darah tinggi dan adanya keton dalam urin biasanya
menunjukkan suatu diabetes yang tak terkendali. Adanya bahan toksik dalam darah
menunjukkan bahwa asidosis metabolic yang terjadi di sebabkan oleh keracunan atau
overdosis, kadang kadang dilakukan pemeriksaaan air kemih secara mikroskopis dan
pengukuran PH air kemih.

F. PENATALAKSANAAN
Pengobatan asidosis metabolic tergantung pada penyebabnya. Sebagai contoh
,diabetes dikendalikan dengan insulin atau keracunan dilatasi dengan membuang bahan
racun tersebut dari dalam darah. Kadang-kadang perlu dilakukan analisa untuk
mengobati overdosis atau keracunan yang berat.
Asidosis metabilik juga dapat diobati secara langsung bila terjadi asidosis
ringan,yang di perlikan hanya caira intravena dan pengobatan terhadap penyebabnya.
Bila terjadi asidosis berat,diberikan bikarbonat mungkin secara intravena ,tetapi
bikarbonat hanya memberikan kesembuhan sementara dan dapat membahayakan.
Penanganan asidosis metabolic adalah untuk meningkatkan pH sistemik sampai
ke batas aman,dan mengobati penyebab asidosis yang mendasari. Untuk dapat kembali
ke batas aman pada pH 7,20 atau 7,25 hanya di butuhkan sedikit peningkatan pH.
Gangguan proses psikologis yang serius baru timbul jika HCO3- <15 mEq/L dan pH
<7,20. Asidosis metabolic aharus dikoreksi secara berlahan untuk menghindari timbulnya
komplikasi akibat pemberian NaHCO3 IV berikut ini :
a. Peningkatan cairan serebrospinal (CSF) dan penekanan pacu pernafasan, sehingga
menyebabkan berkurangnya konpensasi pernapasan.
b. Alkalosisis respiratorik respiratorik karena pasien cenderung hiperventilasi selama
beberapa jam setelah asidosis ECF terkoreksi.
c. Pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri pada komplikasi alkalosis
respiratorik,yang meningkatkan afinitas oksigen terhadap hemoglobin dan mungkin
mengurangi hantaran oksigen ke jaringan.
d. Alkalosis metabolic (karena tidak terjadi kehilangan bikarbonat potensial, dan asam-
asam keto dapat di metabolism kembali menjadi laktat ) pada penderita ketoasidosis
diabetic (DKA ). Pemakaian insulin juga biasanya dapat memulihkan keseimbangan
asam basa ;namun penting untuk melakukan pemantauan K+ serum selama asidosis
dikoreksi ,karena asidosis dapat menutupi kekurangan K+ yang terjadi.
e. Asidosis metabolic berat di sebabkan oleh koreksi asidosis laktat yang berlebihan
akibat henti jantung. Beberapa penyelidik juga menemukan bahwa ph serum dapat
mencapai 7,9 dan bikarbonat serum 60 -70 mEq/L pada infuse NaHCO3 yang
sembarangan selama resusitasi kardiopulmonal.
f. Hipokalsemia pungsional akibat pemberian NaHCO3 IV pada pasien gagal ginjal
dengan asidosis metabolic berat (asidosis dapat menutupi hipokalsemia yang terjadi
karena [Ca++] lebih mudah larut dalm media asam;Ca++ kurang larut dalam medium
basa ), sehingga terjadi tetani,kejang dan kematian. Hemodialisis adalah penangana
yang umum di lakukan pada asidosis metabolic.
g. Kelebihan beban sirkulai yang serius (hipervolemia) pada pasien yang telah
mengalami kelebihan volume ECF, seperti pada gagal jantung kongestif atau gagal
ginjal.

G. KOMPLIKASI
Pasien dapat asimtomatik,kecuali jika [HCO3-] serum turun di bawah 15 mEq/L.
pernapasan kusmaul (napas dalam dan cepat yang menunjukkan adanya hiperventilasi
konpensatorik ) mungkin lebih menonjol pada asidosis akibat ketoasidosis diabetic di
bandingkan pada asidosis akibat gagal ginjal. Gejala dan tanda utam asidosis metabolic
adalah kelainan kardiovaskuler,neorologis dan fungsi tulang. Apabila pH di bawah 7,1
,maka terjadi penurunan kontraktilitas jantung dan respons inotropik terhadap
ketokolamin. Bisa juga terjadi vasodilatasi verifier. Efek-efek ini dapat menyebabkan
terjadinya hipotensi dan disritmia jantung.
Gejala neorologis dapat brupa kelelahan hingga koma yang di sebabkan oleh
penurunan pH cairan serebrospinal. Dapat juga terjadi mual dan muntah. Gejala-gejala
neorologik lebih ringan pada asidosis metabolic di bandingankan pada asidosis
respiratorik,karena CO2 yang larut dalam lemak lebih cepat menembus sawar darah otak
di bandingkan dengan HCO3- yang larut dalam air. Mekanisme buffer H+ oleh bikarbonat
tulang dalam asidosis metabolic penderita gagal ginjal kronis ,akan menghambat
pertumbuhan anak dan dapat menyebabkan terjadinya berbagai kelainan tulang
(osteodistropi ginjal )

III. KONSEP HEMODIALISA


A. Definisi
Dialisis adalah suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui suatu
membran berpori dari satu kompartemen cair lainnya. Hemodialisi adalah suatu mesin
ginjal buatan (atau alat hemodialisis) terutama terdiri dari membran semipermeabel
dengan darah di satu sisi dan cairan dialisis di sisi lain. (Price, 2005) Hemodoalisis adalah
suatu dialisis eksternal terdiri dari sebuah coil yang berfungsi sebagai membran
semipermeable (tembus air). Darah pasien mengalir keluar dari tubuh dan melalui coil dan
kemudian kembali ke dalam tubuh. Selain coil, terdapat juga solusi hipertonic yang
disebut dialysate yang menarik produk-produk buangan yang berasal dari darah melintasi
membran semipermeable. (Reeves, 2001) Hemodialisa adalah suatu tindakan yang
digunakan pada gagal ginjal untuk menghilangkan sisa toksik, kelebihan air, cairan, dan
untuk memperbaiki keseimbangan elektrolit, dengan prinsip filtrasi, osmosis, dan difusi,
dengan menggunakan sistem dialisa eksternal; terdapat beberapa tipe akses vaskular
yang dapat digunakan: pirau-sementara; sambungan eksternal diantara arteri dan vena;
fistula-permanen, sambungan internal atau tandur diantara arteri dan vena dilengan atau
paha; jalur subklavia atau femoral-sementara, kateter eksternal pada vena besar (Turker,
1999) .
Jadi dapat disimpulkan bahwa hemodialisa adalah suatu proses penyaringan
kotoran dan racun dalam darah dengan menggunakan suatu alat dialisis atau ginjal
buatan dengan prinsip disfusi, osmosis dan filtrasi.

B. Indikasi dan Kontraindikasi


 Indikasi
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan
biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu,
menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan
biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria ,
4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit.
Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit
berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
 Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi
yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak
organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa
adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler
sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain
diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal,
sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).

C. Komponen Hemodialisa
Terdapat lima komponen esensial pada hemodialisa yaitu: Mesin hemodialisa,
dialyzer, dialisat, akses vaskular dan sistem penyaluran darah (Pusparini, 2000; Setiati
dkk, 2014; Callaghan CO, 2007)
1) Mesin hemodialisa. Mesin hemodialisa merupakan mesin yang dibuat dengan sistem
komputerisasi yang berfungsi untuk pengaturan dan monitoring yang penting untuk
mencapai adekuasi hemodialisa.Mesin hemodialisa terdiri dari pompa darah, sistem
penyaluran dialisis, dan berbagai monitor pengaman.
2) Dialyzer. Dialyzer terdiri atas suatu alat plastik dengan fasilitas untuk mengalirkan darah
dan mendialisis kembali. Proses ini berupa pembilasan berulang kompartemen darah
dan dialisat dengan air, pembersihan dengan bahan kimiawi disertai reverse
infiltrationdari kompartemen dialisat ke kompartemen darah, menguji patensi dialyzer,
dan yang terakhir, disinfeksi dialyzer.
3) Dialisat Konsentrasi kalium dalam dialisat mungkin bervariasi dari 0 sampai 4 mmol
bergantung pada konsentrasi kalium plasma sebelum dialisis. Konsentrasi kalsium
dialisat dipusat-pusat dialisis AS biasanya adalah 1,25 mmol meskipun mungkin
diperlukan modifikasi pada situasi-situasi tertentu. Konsentrasi natrium dialisat yang
lazim adalah 140 mmol/L. konsentrasi natrium dialisat yang lebih rendah lebih berkaitan
dengan peningkatan frekuensi hipotensi, kram, mual, muntah, lesu, dan pusing. Pada
pasien yang sering mengalami hipotensi, selama proses dialisis, sering digunakan
sodium modelinguntuk mengimbangi gradient osmolar akibat urea.
4) Akses vaskular. Hemodialisa idealnya membutuhkan dua titik akses ke sirkulasi:
satu untuk mengeluarkan darah dan satu untuk mengembalikannya dari mesin
dialisis kedalam tubuh (Callaghan CO, 2007). Akses vaskular dialisis diperlukan
untuk memperoleh aliran darah yang cukup besar. Akses ini dapat berupa fistula
(arteri-vena) graft maupun kateter intravena yang berfungsi untuk mengalirkan
darah saat hemodialisa. Fistula dibuat dengan melakukan anastomosis arteri ke
vena (misalnya fistula brescia-cimino dimana dibuat anastomosis end ti side dari
vena sefalika dan arteri radialis) sehingga terbentuk suatu arterialisasi dari vena.
Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya penusukan jarum yang besar kedalam
sirkulasi sehingga dapat mengalirkan darah sampai lebih dari 300 ml/menit
fistula memiliki patensi jangka panjang paling lama diantara semua pilihan akses
dialisis. Di Amerika Serikat bayak pasien dipasang graft arteriovenosus (yaitu
interposisi bahan prostetik, biasanya politetraflouroetilen, diantara arteri dan
vena).
5) Sistem Penyaluran Darah .Sistem penyaluran darah terdiri dari sirkuit
ekstrakorporeal didalam mesin dan akses dialisis.Pompa darah mengalirkan
darah dari tempat akses, melalui dialyzer, dan kembali ke pasien.Kecepatan
aliran darah dapat berkisar dari 250-500 mL/menit, terutama bergantung pada
jenis dan integritas akses vaskular.Tekanan hidrostatik negatif di sisi dialisat
dapat dimanipulasi untuk memperoleh ultrafiltrasi atau pengeluaran cairan sesuai
keinginan.Membran dialisis memiliki berbagai koefisien ultrafiltrasi sehingga
bersama dengan perubahan hidrostatik, pengeluaran cairan dapat diubah-
ubah.Sistem penyalur larutan dialisis mengencerkan dialisat pekat dengan air
dan memantau suhu sifat hantaran, dan aliran dialisat.

D. Proses Hemodialisa
Dalam proses hemodialisa, proses difusi dan filtrasi berjalan secara bersamaan
serta dapat diprogram sesuai dengan keadaan klinis pasien. Proses dialisis memerlukan
cairan dialisat yang mengalir dengan arah berlawanan terhadap darah (countercurrent)
sehingga tetap mempertahankan kecepatan difusi optimal.
Pada hemofiltrasi yang paling sederhana, darah diberikan tekanan melewati satu
sisi dari membran yang permeabilitasnya tinggi, sehingga air dan zat yang terlarut dapat
keluar melalui membran dengan aliran konveksi, besarannya tergantung pada tipe
membran dan permeabilitasnya. Selama hemofiltrasi, filtrat akan dibuang dan pasien
menerimacairan pengganti, baik itu sebelum (predilusi) atau setelah (pascadilusi) dialyzer.
Kecepatan pembuangan cairan dan substitusi cairan infus disesuaikan dengan kebutuhan
pasien. Terdapat berbagai teknik hemofiltrasi antara lain SCHF (Slow Continous
Hemofiltration) yang digunakan pada keadaan gangguan ginjal akut sehingga dapat
mempertahankan keseimbangan cairan yang optimal. Proses hemofiltrasi ini tidak
memerlukan cairan dialisat. Apabila dilakukan dengan mesin khusus cara ini disebut
dengan CRRT (Continous Renal Replacement Treatment), yang sering dipakai pada
pasien perawatan intensif. Apabila menggunakan mesin hemodialisa yang konvensional,
tanpa dialisat, proses ini disebut juga sebagai CVVH(Continous VenoVenous
Hemofiltration) (Setiati dkk, 2014).

Gambar 2. Skema HD (Sumber: Liu & Chertow, 2010)

E. Dosis Hemodialisa
Sampai tahun 1970-an para dokter spesialis dalam bidang ginjal menentukan
dosis hemodialisa atas dasar pertimbangan klinis saja, bahkan lebih memperhatikan
pengeluaran air dibandingkan usaha untuk mengeluarkan sisa metabolisme. Efisiensi
dialisis ditentukan oleh laju aliran darah dan dialisat melalui dialyzer yang sesuai dengan
karakteristik dialyzer.
Panduan hemodialisa dari Inggris menyatakan hemodialisa minimal adalah 3 kali
seminggu.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hemodialisa yang semakin sering
lebih efektif dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas (Setiati dkk, 2014).

F. Manfaat Hemodialisa
Sebagai terapi pengganti ginjal, hemodialisa mempunyai manfaat (Jamenson dkk,
2013):
1. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
2. Membuang kelebihan air.
3. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
4. Memperbaiki status kesehatan penderita.
5. Membuang urea, kreatinin, dan asam urat.

G. Efek Samping Hemodialisa


Efek samping dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada saat
dilakukan terapi adalah (Sudoyo dkk, 2009; Widyastuti dkk, 2014; Jamenson dkk, 2013)
1) Hipotensi. Hipotensi disebabkan oleh ultrafiltrasi dengan jumlah besar disertai
mekanisme kompensasi pengisian vaskular yang tidak adekuat, gangguan respon
vasoaktif atau otonom, osmolar shift, pemberian antihipertensi yang berlebihan dan
menurunnya kemampuan pompa jantung.
2) Kram otot. Kram otot disebakan oleh gangguan perfusi otot karena pengambilan cairan
yang agresif dan pemakaian dialisat rendah sodium. Beberapa strategi yang dipakai
untuk mencegah kram otot adalah mengurangi jumlah volume cairan yang diambil saat
hemodialisa, melakukan profiling ultrafiltrasi, dan pemakaian dialisat yang mengandung
kadar natrium tinggi atau modeling natrium.
3) Mual dan Muntah. Mual dan muntah pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa disebabkan oleh penurunan kadar asam amino dan ketidakseimbangan
cairan. Kedua hal tersebut akan menyebabkan pasien mengalami penurunan nafsu
makan dan asupan nutrisi akan berkurang. Kurangnya asupan nutrisi khususnya protein
akan berdampak langsung dengan proses sintesa IgA. Hal ini akan mempengaruhi
kualitas saliva sebagai alat mekanisme pertahanan rongga mulut sehingga
memudahkan bakteri untuk berkolonisasi dan terjadinya penyakit periodontal.
4) Reaksi hipersensitif. Reaksi hipersensitif terhadap dialyzer, terutama pada pemakaian
pertama, sering dilaporkan terjadi pada membran biokompatibel yang mengandung
selulosa. Reaksi terhadap dialyzer dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu A dan B. pada
reaksi tipe A terjadi reaksi hipersensitivitas intermediate yang diperantarai ole IgE
terhadap etilen oksida yag dipakai untuk sterilisasi dialyzer yang baru. Reaksi tipe B
terdiri atas kumpulan gejala dari nyeri dada dan punggung yang tidak spesifik yang
mungkin disebabkan oleh aktivasi komplemen dan pelepasan sitokin.

H. Adekuasi Hemodialisa
Menurut Konsensus Pernefri (2003) untuk mencapai adekuasi HD diperlukan dosis
10-12 jam perminggu yang dapat dicapai dengan frekuensi HD 2 kali/minggu dengan
lama waktu 5 jam atau 3 kali/minggu dengan lama waktu 4 jam. Dalam penelitian ini,
dikatakan pasien HD reguler adalah sesuai dengan pengertian diatas, yaitu pasien yang
menjalani HD minimal 2 kali/minggu dengan lama waktu 5 jam

I. Komplikasi
Komplikasi dari hemodialisa menurut Jevon (2004) adalah sebagai berikut :
 Hemodialisis, akibat kerusakan sel darah merah ketika melewati pompa, dapat
menyebabkan hiperkalemia dan henti jantung. Amati adanya nyeri dada dan
dispnea. Darah didalam sirkuit vena mungkin memiliki tampilan “port wine” (Adam &
Obsborne 1999)
 Embolisme udara : amati adanya nyeri dada dan dispnea
 Reaksi terhadap membran : jika menggunakan cuprophane (membran dializer)
berbahandasar selulosa, dapat menyebabkan sindrom respon inflamasi sistemik
(Hakim 1993) yang dapat menyebabkan lambatnya pemulihan ginjal dan
peningkatan mortalitas (Hakim et al. 1994)
 Diskuilibrium : komplikasi ini disebabkan oleh pengeluaran ureum dan toksin uremik
secara tiba-tiba dan pasien dapat mengalami nyeri kepala, muntah, gelisah, konvulsi
dan koma (Adam 7 Osborne 1999)
 Infeksi : perhatian yang ketat harus diberikan untuk mempertahankan kondisi aseptik
setiap saat
 Hipoglikemia
 Hipertensi
 Malnutrisi
 Peningkatan berat badan berlebihan saat dialisa

J. Penatalaksanaan
a. Prinsip Dialise
Dialise berdasarkan tiga prinsip : difusi, osmose dan ultrafiltrasi. Difusi
berhubungan dengan pergeseran partikel-pertikel dari daerah konsentrasi yang tinggi ke
daerah yang lebih rendah. Didalam tubuh ini terjadi melewati membran semipermiabel.
Difusi berhubungan dengan keperluan pembersihan bahan yang terlarut dari tubuh pasien
ke hemodialise dan peritoneal dialise. Difusi menyebabkan pergeseran urea, kreatinin dan
uric acid dari darah pasien ke larutan dialisat. Larutan mengandung lebih sedikit partikel-
partikel yang harus dibuang dari aliran darah dan harus ditambah konsentrasi partikel-
partikel yang lebih tinggi. Karena dialisis tidak mengandung produk sisa protein,
konsentrasi dari zatzat ini di dalam darah akan berkurang karena peergeseran random
partikel-partikel lewat membran semipermiabel ke dialisat. Prinsip yang sama berlaku
untuk ionion potasium. Walaupun konsentrasi sel-sel eritrosit dan protein lebih tinggi
didalam darah, molekul-molekulnya lebih besar dan tidak bisa berdisfusi melalui pori-pori
dari membran karena itu tidak terbuang dari darah.

Osmone menyangkut pergeseran cairan lewat membran semipermiabel dari


daerah yang kadar pertikel-partikel rendah ke darah yang kadar partikel lebih tinggi.
Osmose bertanggung jawab atas pergeseran cairan dari pasien, terutama pada peritoneal
dialise. Pada gambar memperlihatkan bahwa glukosa telah dibubuhkan ke dialisat untuk
meningkatkan jonsentrasi partikel-partikel lebih tinggi dari yang terdapat pada aliran darah
pasien. Cairan kemudian akan bergeser lewat pori-pori dari membran dari darah pasien
ke dialisat. Ultrafiltrasi terdiri dari pergeeseran cairan lewat membran semipermiabel
dampak dari ramuan tekanan yang dikreasikan secara buatan. Ultrafiltrasi lebih efisisen
dari osmose untuk menggeser cairan dan dipergunakan pada dialise untuk tujuan
tersebut. Pada waktu dialise, osmose dan difusi atau uultrafiltrasi dan difusi terjadi
simultan. (Long, 1996)
b. Prosedur
Hemodialisa mencakup shunting / pengalihan arus darah dari tubuh pasien ke
dialisator dimana terjadi difusi dan ultrafiltrasi dan kemudian kembali ke sirkulasi pasien.
Untuk pelaksanaan hemodialisa terjadi yang masuk ke darah pasien, suatu mekanisme
yang mentraspor darah ke dan dari dialisator, dan dialisator (daerah dimana terjadi
pertukaran larutan elektrolit dan produk-produk sisa berlangsung). Sekarang terdapat lima
cara utama agar terjadi yang masuk ke aliran darah pasien. Ini terdiri dari yang berikut :
a. Fistula aerteriovena
b. External arteriovenous/arus arteriorvena eksternal
c. Kateterisasi vena femoral
d. Kateterisasi vena subklavia
Indikasi – indikasi dan berbagi implikasi cara memasukan ke vaskuler untuk
hemodialisa

Pengobatan dialisis berlangsung 3 sampai 5 jam tergantung kepada tipe dialisator yang
dipakai dan jumlah waktu yang yang diperlukan demi koreksi cairan, elektrolit, asam basa
dan masalaah produk sisa yang ada. Dialise untuk masalah yang akut harus dilaksanakan
tiap hari atau lebih sering berdasarkan kondisi pasien yang masih menjamin. Hemodialisa
bagi orang dengan gaggal ginjal kronik biasanya dikerjakan dua atau tiga kali seminggu.
(Long, 1996)

c. Perawatan Pra Dialisa


Sebelum dilakukan prosedur pasien biasanya diberi KIE terkait apa yang akan ia
rasakan selama prosedur yaitu berupa :
 Merasa sedikit nyeri saat alat-alat dipasangkan ke tubuhnya
 Durasi dialisa dilakukan
 Kondisi yang mungkin terjadi saat ataupun setelah prosedur dilakukan (pusing, mual)
Pada tahap ini perlu dilakukan monitoring berupa :
 berat badan
 tanda-tanda vital sebelum prosedur
 Mengkaji kelebihan cairan (edema pada pedis, periorbital, distensi vena leher kelainan
bunyi nafas)
 Mengkaji akses vaskular
 Tanda dan gejala infeksi
Sebelumya pasien harus diberitahukan bahwa ia akan mengalami sedikit sakit
kepala dan mual pada waktu pengobatan dan beberapa jam sesudahnya. Sakit kepala
adalah dampak dari perubahan cairan, asam dan basa, dan keseimbangan produk sisa
selama dialisis. Gejala-gejala tersebut seharusnya tidak terjadi secara berlebihan artinya
gejala tersebut akan berkurang setelah istirahat dan tidur, atau diberikan analgetik ringan
dan anti piretik. Hipertensi postural bisa juga terjadi pada saat dialisis, sifatnya sementara
dan disebabkan oleh kekurangan volume sekunder dampak dari pergeseran cairan.
Hipotensi menyebabkan pusing yang dapat disembuhkan dengan istirahat beberapa jam.
Pasien harus diyakinkan bahwa semua gejala tersebut adalah akan mereda, oleh karena
itu perawatan pada saat prosedur dialisa adalah memantau gejal-gejala tersebut tidak
terjadi secara berlebihan/menetap. (Long, 1996)
d. Perawatan Saat Prosedur
Bila pada pasien dipasang shunt eksternal tidak akan timbul nyeri pada permulaan
dialise. Namun rasa nyeri sedikit akan tetap terasa bila sedang dilakukan fungsi vena
pada fistula arteriovena. Asuhan keperawatan terdiri dari peningkatan kenyamanan fisik
karena selama proses pasien hanya akan berbaring dan berlangsung beberapa jam, hal
tersebut dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Pasien dianjurkan berkumur bila mual
dan muntah. Ekstremitas atas dipertahankanimobilitas pada waktu dialisa oleh karena itu
pasien perlu dibantu bila ada ketika membutuhkan sesuatu.
IV. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat terjadi
pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
b. Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.
c. Riwayat penyakit
1) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik.
2) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung, hipertensi,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia, prostatektomi.
3) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
d. Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam
(Kussmaul), dyspnea.
e. Pemeriksaan Fisik :
1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:
Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum, kental
dan banyak.
Tanda:
Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa sputum.
2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:
Riwayat hipertensi lama atau berat.Palpitasi nyeri dada atau angina dan sesak
nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda
Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak tangan,
Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub perikardial,
pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.
3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.
4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)
Gejala:
Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine
kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda: Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
5) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan Diare
6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam hari), kulit
gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda:
Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur tulang,
defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan gerak sendi.
f. Pola aktivitas sehari-hari
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup
sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik sehingga
menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak
mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu
adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang
kurang.dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan
klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat badan (malnutrisi)
anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia), Penggunaan diuretic,
Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori,
kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis, kuku rapuh.
3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak
dapat kencing.Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine, (pekat, merah,
coklat, berawan) oliguria atau anuria.
4) Pola tidur dan Istirahat
Gelisah, cemas, gangguan tidur.
5) Pola Aktivitas dan latihan
Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot, kehilangan
tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran).
7) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada
luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat dan
mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan
gangguan peran pada keluarga (self esteem).
9) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta
memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan libido,
amenorea, infertilitas.
10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress, perasaan
tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena ketergantungan
menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah
tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Faktor stress, perasaan tak berdaya,
tak ada harapan, tak ada kekuatan.Menolak, ansietas, takut, marah, mudah
terangsang, perubahan kepribadian.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal ginjal
kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun
mempengaruhi pola ibadah klien

B. Diagnosa Keperawatan
 Diagnosa Pre Hemodialisa
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan
tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penumpukan cairan (edema paru)
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan karena supply oksigen
menurun
4. Gangguan pola seksual berhubungan dengan penurunan hormone seksual
5. Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan gangguan filtrasi ginjal
6. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan tingginya kadar urochrome, toksik
uremik
7. Gangguan pertukaan gas berhubungan dengan peningkatan tekanan kapiler paru
dan edema paru
8. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan supply darah dan oksigen ke
jaringan menurun
9. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, perubahan status kesehatan

 Diagnosa Intra Hemodialisa


1. Resiko ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan dilakukannya
dialisat darah
2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan peningkatan atau
penurunan kadar elektrolit tubuh
3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh behubungan dengan
prognosis penyakit dan gangguan metabolik serta kadar asam basa dalam tubuh
4. Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi, aterosklerosis,
perikarditis, efusi pericardial
5. Resiko syok berhubungan dengan penarikan cairan (UF goal)

 Diagnosa Post Hemodialisa


1. Resiko perdarahan berhubungan dengan penggunaan heparin
2. Resiko Infeksi berhubungan dengan port de entry akibat penusukan daerah insersi
C. Perencanaan
1. Kelebihan volume cairan
Ditandai dengan oedema , hasil laboratorium kadar elektrolit ↑, peningkatan TD,
peningkatan BB, penurunan urine output, turgor kulit buruk
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, tanda kelebihan
volume cairan berada pada skala 2* dan 5**
Kriteria hasil:
 Pasien rileks
 Tidak terjadi oedema, asites, berat badan stabil dan turgor kulit baik
 TD 120/80 mmHg, RR 16-20x/menit, N 60-100x/menit, suhu 36,5o-37,2o
NOC: Fluid Balance
No. Indikator 5
1* Tekanan darah: 120/80 mmHg
2* Nadi: 60-100x/menit
3* Turgor kulit
4* Kestabilan berat badan
5** Hipotensi ortostatik √
6** Asites √
7** Edema perifer √
Keterangan penilaian*: criteria penilaian**:
1: sangat kompromi 1: sangat parah
2: kompromi sebagian 2: parah
3: kompromi sedang 3: sedang
4: kompromi ringan 4: ringan
5: tidak kompromi 5: tidak
NIC: Fluid/electrolyte Management
- Cek TD, suhu, nadi dan RR
- Atur intake cairan sesuai indikasi
- Monitor hasil laboratorium pada keseimbangan cairan (kematokrit, BUN, albumin,
dll)
- Monitor intake dan output
- Observasi adanya tanda retensi cairan
2. Intoleransi aktivitas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, pasien toleran
terhadap aktivitasnya
Kriteria hasil:
 TD 120/80mmHg, RR 16-20x/menit, Nadi 60-100x/menit, suhu 36,5o-37,2oC
 Pada saat evaluasi indicator NOC berada pada skor 5
NOC: toleran aktivitas
No. Indicator 5
1. TTV
2. Kekuatan otot
3. Kemudahan melakukan aktivitas
4. Kemampuan untuk berbicara saat aktivitas
fisik
Criteria penilaian:
1: selalu
2: sering
3: kadang-kadang
4: jarang
5: tidak pernah
NIC Energy Managemnent
- Kaji membrane mukosa dan warna kulit
- Monitor TTV
- Tingkatkan aktivitas motorik secara bertahap sesuai toleransi
- Bantu pemenuhan ADL klien
- Bantu keluarga dan klien mengidentifikasi tingkat kelemahan aktivitas
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
Ditandai dengan penurunan nafsu makan, porsi makan berkurang, pemasukan cairan
tidak sesuai kebutuhan, lemah
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,
ketidakseimbangan nutrisi dapat teratasi
Kriteria hasil : pada saat evaluasi didapatkan skor 5 pada indicator NOC
NOC: nafsu makan
No Indicator 5
1. Ada keinginan makan
2. Menghabiskan porsi makan
3. Pemasukan cairan sesuai kebutuhan dan
indikasi
Criteria penilaian:
1: selalu
2: sering
3: kadang-kadang
4: jarang
5: tidak pernah
NIC: Nutition Management
- Identifikasi makanan kesukaan
- Kolaborasi dengan ahli gizi dalam menentukan jumlah kalori gizi yang dibutuhkan
klien untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya
- Monitor intake dan output
- Monitor BB
- Berikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi dan bagaimana cara
memenuhinya
4. Gangguan pertukaran gas
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pertukaran gas
dalam tubuh tidak mengalami gangguan
Criteria hasil : pada saat evaluasi didapatkan skor 5 pada indicator NOC
NOC: respiratory status:gas exchange
No Indicator 5
1. PaO2
2. PaCO2
3. Saturasi oksigen
4. Dsypnea at rest
5. Dsypnea with mild exertion
6. Sianosis
7. Impaired cognition
Kriteria penilaian*:
1: severe deviation from normal range
2: substantial deviation
3: moderate deviation
4: mild deviation
5: no deviation
NIC Acid Balance
- Monitor rate, ritme, kedalaman dari nafas
- Monitor adanya suara pernafasan seperti snoring atau crowning
- Monitor pola pernafasan: bradypnea, tachypnea, hyperventilation, pernafasan
Kussmaul
- Auskultasi suara nafas
- Identifikasi suction apabila dibutuhkan
- Monitor kemampuan pasien untuk batuk efektif
- Monitor secret pernafasan pasien
- Kolaborasi terapi pernafasan (missal nebulizer) jika dibutuhkan
5. Gangguan perfusi jaringan
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, tidak terjadi
gangguan perfusi jaringan
Criteria hasil : pada saat evaluasi didapatkan skor 5 pada indicator NOC
NOC: tissue perfusion:cellular
No. Indicator 5
1. Tekanan darah
2. Fluid balance
3. Heart rhythm
4. Capillary refill
5. Urine output
6. Creatinin clearance
7. Agitation
8. Nausea
9. Vomiting
10. Pain
11. Pale, cold skin
12. Decreased level of conciousness
Kriteria penilaian*:
1: severe deviation from normal range
2: substantial deviation
3: moderate deviation
4: mild deviation
5: no deviation
NIC
- Kaji Perubahan EKG, Respirasi (Kecepatan dan kedalamannya) serta tanda – tanda
chvostek”s dan Trousseau”s.
- Rasional : Tingginya gelombang T, Panjangnya interval PR dan Lebarnya kompleks
QRS dihubungkan dengan serum Kalium ; Pernapasan kusmaul dihubungkan
dengan acidosis, kejang yang mungkin terjadi dihubungkan dengan rendahnya
calsium.
- Monitor data-data laboratorium : Serum pH, Hidrogen, Potasium, bicarbonat, calsium
magnesium, Hb, HT, BUN dan serum kreatinin.
- Rasional : Nilai laboratorium merupakan indikasi kegagalan ginjal untuk
mengeluarkan sisa metabolit dan kemunduran fungsi sekretori ginjal.
- Jangan berikan obat – obat Nephrothoxic.
- Rasional : Obat – obat nephrotoxic akan memperburuk keadaan ginjal
- Berikan pengobatan sesuai pesanan / permintaan dokter dan kaji respon terhadap
pengobatan.
- Rasional : Dosis obat mungkin berkurang dan intervalnya menjadi lebih lama.
Monitor respon terhadap pengobatan untuk menentukan efektivitas obat yang
diberikan dan kemungkinan timbulnya efek samping obat.
DAFTAR PUSTAKA

Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid
3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai
Penerbit FKUI
Rumahorbo Hotma , S.kep. 1999. “ Asuhan Keperawatan Klien dengan Sistem Endokrin “.
Jakarta : EGC.
Baradero Mary , SPC , MN. 2009.” Seri Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Endokrin “. Jakarta : EGC.
Gallo & Hundak. 1996. “Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik Volume II ”. Jakarta : EGC
Sari Pediatri. 2004.Kelainan neurologis pada penyakit sistemik. Vol. 6, No. 1 (Supplement),
Juni 2004
National Institute of Diabetes and digestive and Kidney Disease. Hypoglycemia. 2003. US
Department of Health and Human Service.
Rizza, Robert A. and F. John Service. Goldman: Cecil Medicine, 23rd ed. 2007. Saunders
Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai